• Tidak ada hasil yang ditemukan

STRATEGI STRATEGI UNTUK BERTAHAN hidup

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "STRATEGI STRATEGI UNTUK BERTAHAN hidup"

Copied!
91
0
0

Teks penuh

(1)

STRATEGI-STRATEGI

UNTUK

BERTAHAN

(2)

STRATEGI-STRATEGI

UNTUK

BERTAHAN

(3)

Yayasan Internasional

Untuk Perlindungan Pembela-pembela Hak Asasi Manusia

81 Main St, Blackrock, County Dublin, Irlandia

Copyright © 2010 Front Line

ISBN: 978-0-9558170-4-5

Untuk meminta/memesan sebuah salinan silahkan hubungi: Front Line

The International Foundation for the Protection of Human Rights Defenders 81 Main St, Blackrock, County Dublin, Ireland Tel: 00 353 1 212 37 50

(4)

TABEL ISI

Daftar singkatan . . . iii

Sambutan . . . v

Kata Pengantar. . . vii

INDONESIA: PERALIHAN KEKUASAAN DAN KELANGGENGAN MASA LALU . . 1

I. Kata Pengantar . . . 2

II. Pembela Hak Asasi Manusia yang paling beresiko. . . 2

Aktivis anti-korupsi . . . 2

Pembela Hak Asasi Manusia Perempuan (WHRDs). . . 3

Aktivis hak minoritas. . . 3

Hak-hak atas tanah dan lingkungan hidup . . . 3

Aktivis LGBTI . . . 4

Advokat bagi pertanggung jawaban kejahatan masa lalu . . . 4

Pembela Hak Asasi Manusia di wilayah konflik . . . 5

Mahasiswa . . . 5

Para wartawan. . . 5

III. Jenis ancaman terdahap Pembela Hak Asasi Manusia . . . 6

Pembunuhan dan jenis kekerasan lain . . . 6

Ancaman kekerasan . . . 8

Kriminalisasi dan gugatan perdata . . . 8

Stigmatisasi . . . 11

Ancaman terhadap anggota keluarga. . . 11

Penyadapan dan pemantauan lain . . . 11

Ancaman terhadap perempuan pembela Hak Asasi Manusia . . . 11

IV. Strategi Perlindungan . . . 12

Perencanaan keamanan . . . 12

Pembelaan legislatif . . . 13

Advokasi internasional . . . 14

Bekerja dalam koalisi . . . 15

Membangun dukungan dalam masyarakat . . . 15

“Back up” dan dukungan dari pihak berwenang . . . 16

Evakuasi . . . 17

Pengorganisiran dan dukungan terhadap korban yang membuat kesaksian . . . 18

Menyesuaikan pesan . . . 19

Perjuangan untuk pertanggungjawaban. . . 19

KOLOMBIA: SEBUAH WARISAN KONFLIK . . . 21

I. Kata Pengantar . . . 21

II. Pembela Hak Asasi Manusia yang paling beresiko. . . 23

Pengacara Hak Asasi Manusia dan LSM . . . 23

Pengungsi . . . 23

Serikat buruh . . . 24

Pimpinan petani dan aktivis desa lain . . . 24

Aktivis lingkungan hidup . . . 24

Pemimpin perempuan. . . 24

Wartawan . . . 25

Orang pribumi dan pemimpin Afro-Kolumbia . . . 25

Pembela para korban pelanggaran bersejarah . . . 25

Aktivis LGBTI . . . 26

III. Jenis ancaman terhadap pembela hak asasi manusia . . . 27

Pembunuhan dan tindakan kekerasan lain . . . 27

(5)

Penahanan sewenang-wenang dan tuduhan

tanpa landasan hukum . . . 28

Stigmatisasi . . . 29

Memata-matai dan pengintaian tanpa alasan hukum . . . 30

Ancaman khusus bersifat gender pada pemimpin dan pembela HAM perempuan . . . 31

IV. Strategi Perlindungan . . . 32

Mekanisme perlindungan masyarakat sipil . . . 32

Koordinasi . . . 34

Penambahan dan pengurangan Visibilitas . . . 36

Perlindungan negara. . . 37

Opini umum sebagai mekanisme perlindungan. . . 40

Penguatan korban yang mencari keadilan . . . 41

Strategi perlindungan budaya dari manusia pribumi dan masyarakat keturunan Afro-Kolombia . . . 42

ZIMBABWE: OTORITARIANISME AND DAYA TAHANNYA . . . 45

I.Kata Pengantar . . . 46

II. Pembela Hak Asasi Manusia yang paling terancam . . . 46

Pembela HAM yang Melakukan Protes. . . 46

Aktivis di pedesaan dan kota kecil . . . 47

Pengacara Hak Asasi Manusia . . . 47

Serikat buruh . . . 47

Wartawan . . . 48

Mahasiswa . . . 48

III. Jenis ancaman terhadap pembela Hak Asasi Manusia . . . 49

Kekerasan fisik . . . 49

Penculikan, penghilangan paksa, dan penahanan tanpa landasan hukum . . . 49

Membuat tuduhan tanpa landasan hukum . . . 51

Stigmatisasi . . . 51

Memata-matai . . . 53

Ancaman terhadap mata pencaharian dan para anggota keluarga. . . . 54

Pembatasan pada kebebasan berasosiasi, berkumpul dan berekspresi . . . 54

IV. Strategi Perlindungan . . . 55

Perencanaan keamanan . . . 56

Advokasi kebijakan . . . 56

Pengumuman serangan atau cara pembelaan internasional lain . . . 57

Membangun solidaritas sosial . . . 58

Koordinasi . . . 58

Penggunaan bahasa . . . 59

Perwakilan hukum dan pembelaan . . . 59

KESIMPULAN DAN TINJAUAN PRAKTEK-PRAKTEK TERBAIK . . . 61

(6)

DAFTAR SINGKATAN

Asociación de Familiares de Detenidos-Desaparecidos

Auto Defensas Unidas de Colombia

Colectivo de Abogados José Alvear Restrepo

Comisión Colombiana de Juristas

Comisión Interamerican de los Derechos Humanos

Comité de Reglamentación y Evaluación de Riesgos

Comité de Solidaridad con los Presos Políticos

Departamento Administrativo de Seguridad

Ejército de Liberación Nacional de Colombia

Fuerzas Armadas Revolucionarias de Colombia

Movimiento de Víctimas de Crímenes de Estado

Cuatro grandes coaliciones • Organizaciones Sociales y Afines • Asamblea Permanente de la Sociedad

Civil por la Paz

• Plataforma Colombiana de Derechos Humanos, Democracia y Desarrollo;

Pasukan Bersatu Bela Diri Kolumbia (milisi yang kerjasama dengan pemerintah)

Persatuan Pengacara- Pengacara Jose Alvear Restrepo

Komisi Yuris Indonesia

Komisi Hak Asasi Manusia Inter-Amerika

Komisi evaluasi risiko kelompok- kelompok milisi kecil yang bersenjata • Aliansi Sosial dan Organisasi

Sepemikiran

• Persatuan Permanent Organisasi Masyarakat Sipil untuk Perdamaian • Panggung Hak Asasi Manusia,

Demokrasi, dan Pembangunan • Koordinasi Kelompok

Kolombia-Eropa-Amerika Serikat

(7)

INDONESIA

Komite Aksi Solidaritas untuk Munir

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan

Lembaga Bantuan Hukum

Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia

Bahasa Inggris

Islamic Defenders Front

Human Rights Support Facility

Victims’ Solidarity Network for Justice

Solidarity Action Committee for Munir

National Commission on Human Rights

The Commission for the Disappeared and Victims of Violence

Legal Aid Institute

The Indonesian Legal Aid and Human Rights Association

Undang-undang tentang Akses pada Informasi dan Perlindungan Ruang Pribadi

Uni Afrika

Organisasi Intelijen Pusat

Gay dan Lesbian di Zimbabwe

Perjanjian Politik Global

Gerakan untuk Perubahan Demokratis

Asosiasi Organisasi Non-Pemerintah Nasional

Majelis Umum Konstitusi Nasional

Akte Ketertiban Umum dan Keamanan

Komunitas Pembangunan Afrika Selatan

Solidaritas Perjanjian Perdamaian

Kebangkitan Perempuan Zimbabwe

Zimbabwe African National Union - Patriotic Front

Jaringan Pemilu Zimbabwe

Kongres Serikat Buruh Zimbabwe

(8)

SAMBUTAN

Laporan ini ditulis oleh konsultan kami, Matthew Easton, dengan partisipasi dari Andrea Rocca, Caitriona Rice dan Andrew Anderson dari Front Line. Bab mengenai Kolombia ditulis bersama dengan Carolina Aldana dari Somos Defensores – PNGPDDH, suatu program dari La Asociacion MINGA.

Laporan ini didasari oleh puluhan wawancara dan enam lokakarya di tiga negeri yang berbeda. Para pengarang ingin mengucapkan terima kasih pada banyaknya pembela hak asasi manusia yang berbagi waktu dan keahliannya dengan kami. Kami khusus mengucapkan terima kasih kepada organisasi yang membantu merancang buku ini dan menyelenggarakan beberapa lokakarya mengenai topik buku ini: Pengacara Zimbabwe untuk Hak Asasi Manusia (Zimbabwe), Kontras, Imparsial dan Foker (Indonesia) dan Somos Defensores, Corporacion Compromiso para el Desarrollo del Oriente dan NoMADESC (Kolombia). Somos Defensores juga membantu mengorganisir fokus kelompok-kelompok di sekitar strategi kunci dan menjadi kawan sepenulis dari pada bab yang ditulis soal Kolombia.

Ucapan terima kasih juga diarahkan kepada Pembela Hak Asasi Manusia di masing- masing negeri yang membaca konsep awal dari buku ini dan memberikan komentar yang sangat bernilai bagi kami, termasuk Otto Saki, Kamal Chandrakirana, Usman Hamid, Dan Papang Hidayat. Laporan ini tidak akan dibuat tanpa bantuan teman - teman ini. Terima kasih lebih lanjut diucapkan pada Chris Collier, Andrew Hudson dan Mary Jane Real buat komentar mereka dan kepada Eleanor Taylor-Nicholson dan Elizabeth Jordan.

(9)

PREFACE

Best Practice: Protection strategies of human rights defenders in

Colombia, Indonesia and Zimbabwe

“No measure is perfect, especially in the middle of conflict. We are in dialogue with the authorities, because human rights are the responsibility of the State. But we are not naive. While we do our work we have a preservation strategy or what some people would call contingency plans.”

– Woman Human Rights Defender, Cali, December 2009

Human rights defenders are some of the bravest people in the world. Every day they face the challenge of survival in situations where simply to be a human rights defender is to put your life on the line.

Since it was founded in 2001 Front Line has dedicated itself to working to protect human rights defenders by providing fast and effective action to improve their security and to enable them to continue their work defending the rights of others. Human rights defenders are the key to a better future for all.

This report is the result of a project to gather examples of best practice in security and protection from the human rights defenders communities in Colombia, Indonesia and Zimbabwe. In each country human rights defenders have been forced by the nature of the repression they have faced to develop creative and resilient strategies for protection. The choice of countries also reflects a diversity of political and human rights contexts.

Identifying the right mix of approaches requires an ongoing and reflective process and in talking to human rights defenders in each country, it was clear that there is no one-size-fits-all approach to protection. Nevertheless it also became clear that there is a huge reservoir of knowledge and experience among the community of human rights defenders. By gathering and sharing that experience Front Line hopes that this report will help human rights defenders to learn from each other and continue their vital work with a greater degree of security.

Front Line would like to give special thanks to Matt Easton who coordinated this project and to all the human rights defenders who have given so generously of their time and experience.

It is human rights defenders who best embody the spirit of passionate commitment to creating the world outlined in the Universal Declaration of Human Rights where everyone can live "free and equal in dignity and rights". This report is dedicated to them.

(10)

KATA PENGANTAR

Makin jelas rasanya bahwa pemerintah - pemerintah sedang bertukar informasi mengenai bagaimana menekan pembela-pembela Hak Asasi Manusia (Human Rights Defender/HRD). Sekarang sangat penting bagi pembela HAM agar dapat belajar bersama untuk saling menjaga dari represi langkah - langkah pelanggar hak asasi manusia.1

Front Line didirikan untuk melindungi pembela hak asasi manusia dan untuk meningkatkan perlindungan hak asasi manusia yang sedang beresiko diserang pelanggar HAM. Guna membangun untuk memperbaiki perlindungan terhadap pembela hak asasi manusia yang kerjanya beresiko, dengan menghadapi kebutuhan yang disinyalir oleh pembela pembela itu sendiri dan dengan pemberian kesempatan agar pembela HAM saling membela dengan jaringan yang mereka bangun bersama. Untuk membangun atas tujuan kembar berikut, yakni, mendengar kebutuhan para pembela HAM dan memberdayakan pertukaran gagasan antar pembela HAM, kami memutuskan untuk menghimpun praktek praktek terbaik dalam melindungi mereka yang membela hak asasi manusia. Usaha-usaha tersebut disusun dengan tujuan melengkapiprotection manual dengan contoh dan gagasan kongkrit yang telah dipelajari bersama para pembela HAM untuk menggunakan segala contoh dengan tujuan praktis dan bermanfaat.2

Pada akhir 2009, seorang konsultan, Matt Easton, berjalan bersama staf Front Line ke Zimbabwe, Kolombia, dan Indonesia, negeri-negeri yang terpilih karena sejarah panjang pembelaan manusia di masing- masing negeri, yang memiliki pembela HAM yang kuat dan keanekaragaman politik dan budaya yang sama-sama kuat. Mereka mewakili tiga bidang luas dalam hak asasi manusia yang sama- sama telah atau sedang menghadapi sifat otoriter, konflik, dan dampak- dampak peralihan kekuasaan. Di masing- masing negeri, kami mewawancarai pembela hak asasi manusia dan, melalui organisasi -organisasi lokal, menyelenggarakan total enam lokakarya kecil untuk membahas ancaman – ancaman yang mereka hadapi dan strategi yang mereka mengunakan untuk melindungi diri. Laporan ini mewujudkan temuan - temuan dari penelitian tersebut.

Strategi - strategi yang dibahas di bawah bisa dibagi sebagai berikut; mereka yang terarah pada peningkatan biaya-biaya politik bila mencederai pembela HAM dan mereka yang bekerjasama dengan pemerintah, bekerja guna meningkatkan perlindungan fisik dan memperbaiki kerangka hukum dan kebijakan yang melayani warga negaranya. Pengalaman- pengalaman pada ketiga negeri tersebut menunjukkan bahwa pendekatan-pendekatan paling efektif adalah multi aspek, dengan menggunakan campuran konfrontasi dan berkolaborasi, dan suatu kesinambungan antara berbagai strategi dengan masing-masing pendekatan, seperti litigasi, protes, dan kewaspadaan bagi pembela HAM. Kami menemukan bahwa strategi strategi yang paling efektif selalu menggunakan campuran pendekatan yang melibatkan kerangka jaringan dan koordinasi domestik maupun internasional.

(11)
(12)

INDONESIA: PERALIHAN KEKUASAAN DAN

KELANGGENGAN MASA LALU

I. KATA PENGANTAR

Pada saat Presiden Suharto turun dari kekuasaannya di tengah-tengah protes massal pada tahun 1998, lebih dari empat dasawarsa pemerintahan otoriter di bawah dua presiden telah berakhir. Indonesia mengawali proses reformasi, atau perbaikan: militer meninggalkan politik praktis dan pencabutan larangan atas kebebasan berbicara dan kebebasan berkumpul tanpa ijin oleh negara dan Pemilihan Umum yang bebas dan langsung diselenggarakan pertama untuk pemilihan parlemen dan, pada 2004, untuk pemilihan presiden.

Pada tahun-tahun awal reformasi, Indonesia mengalami arus kekerasan horisontal maupun vertikal, termasuk darurat militer di Aceh, pembumihangusan di Timor-Timur dalam referendum yang berhasil dalam memenangkan kemerdekaan penuh. Lantas, muncul pula kekerasan horisontal antara orang berbeda agama di Sulawesi Tengah dan Maluku. Walaupun demikian, tanpa memasukkan Papua, kebanyakan konflik di atas telah berakhir dengan perdamaian. Setelah tsunami menghantam Aceh, perang berakhir dalam perjanjian perdamaian. Kemerdekaan di Timor-Timur berakhir dengan negara independen Timor-Leste dan berhentinya kekerasan komunal terburuk.

Pada waktu yang sama, Indonesia juga menjadi latihan penting bagi yang mengamati batas-batas perbaikan. Transisi di Indonesia adalah proses yang sering terlalu pelan atau tersendat- sendat. Dalam kekosongan politik yang mengikuti jatuhnya Suharto, pemimpin-pemimpin yang paling menonjol dan kelompok politik yang telah menyempurnakan seni pembuatan ‘deal’ dan kompromi di bawah Suharto. Salah satu aspek yang pantas disayangkan mengenai periode penuh kompromi itu adalah bahwa banyak figur politik dan militer mempertahankan posisi dan pengaruhnya dan dikuatirkan bisa menghalangi upaya perbaikan.3

Salah satu dampak dari masa itu adalah, sampai sekarang ini, tidak ada satu pun pelanggaran hak asasi manusia dari era Suharto yang telah diajukan dan dituntaskan secara hukum. Pejabat negara yang bertanggungjawab atas pelanggaran hak asasi manusia dari era tersebut tidak pernah diajukan dan diselesaikan secara hukum. Pada tahun 2004, enam tahun setelah reformasi dimulai, pemimpin hak asasi manusia di Indonesia, Munir, diracuni dan dibunuh oleh racun bernama arsenik. Pihak berwenang Indonesia belum berhasil dalam menarik mereka yang bertanggungjawab atas kematiannya untuk divonis dan diadili secara hukum. Aparat keamanan tetap memata-matai dan melakukan penindasan hak asasi manusia para pembela hak tersebut, terutama di wilayah paling timur di Papua dan Papua Barat.

Situasi buat pembela HAM di Indonesia tetap berbagi citra yang sering tampak pada negeri- negeri dalam transisi atau peralihan kekuasaan:

• Ada jenis intimidasi yang berubah dari kekerasan langsung dan menjadi tuduhan tanpa alasan dan pencemaran nama baik dan pelanggaran lain;

• Ancaman lainnya adalah warisan dari rejim sebelumnya seperti pemberian cap atau label buruk pada aktivis sebagai komunis atau separatis.;

• Polisi telah mengambil tanggungjawab dari militer untuk keamanan internal, yang telah mengarah kepada peningkatan pelanggaran hak asasi manusia masyarakat sipil oleh polisi secara umum dan pembela hak asasi manusia secara spesifik;

(13)

• Aktivis merasa relatif aman setelah bertahun- tahun di bawah kekuasaan otoriter; suatu perasaan baru yang membuat mereka lebih gampang mengabaikan ancaman dan intimidasi yang barangkali akan berakhir dengan kekerasan;

• Lembaga negara seperti parlemen dan polisi menjadi lebih peka kepada keluhan pub-lik perihal keadilan dan perbaikan hukum.

Ancaman baru telah muncul atau meningkat; ancaman seperti kelompok Muslim garis keras. Transisi telah berbarengan dengan peningkatan fundamentalis agama dan politisasi agama pada setiap lapisan masyarakat, yang telah menyumbang kepada penyusunan peraturan maupun hukum baru yang diskriminatif terhadap agama maupun moralitas sesama warga negara maupun orang asing. Pembela hukum syariat telah berhasil meloloskan peraturan yang mengancam regulasi hak-hak pembela HAM, terutama perempuan.

Isu-isu yang dulu menjadi tabu, seperti korupsi oleh PNS, sekarang menjadi subyek-subyek perdebatan dan subyek-subyek perdebatan itu telah dipergunakan dalam peradilan, dan dalam beberapa kasus menjadi or menggunakan? senapan, untuk membisukan kritik- kritik mereka.

Walau isunya baru atau lama, keabsahan mekanisme perlindungan pembela HAM mengekspos mereka pada intimidasi dan penekanan. Satu organisasi hak asasi manusia yang memimpin di bidangnya, Imparsial, melakukan suatu kajian lima tahun tentang hak asasi manusia dan mengambil kesimpulan bahwa “negara tidak melaksanakan tugasnya sebagai otoritas yang berwenang dan harus memberi perlindungan kepada pembela hak asasi manusia.” Organisasi ini melandasi kesimpulannya pada tiga faktor: 1) Intimidasi berkelanjutan dan penyerangan terhadap pembela HAM (139 pelanggaran dalam 5 tahun) 2) fakta bahwa pelaku- pelaku adalah pelaku negara, termasuk polisi, militer dan pemerintah lokal dan jaksa; dan 3) kegagalannya dalam hal memberikan keadilan bagi yang membutuhkannya.4

Setelah kunjungannya ke Indonesia pada bulan Juni 2007,UN Special Representativebagi situasi khusus pelindung hak asasi manusia bernama Hina Jilani mendokumentasikan kemajuan negeri ini dalam mengkodifikasi hak asasi manusia dalam hukum- hukum sah di Indonesia. Walau demikian, dia juga memberi saran, “Tanpa inisiatif kongkrit dalam hak asasi manusia, belum ada inisiatif untuk mewujudkan hukumnya dalam regulasi atau menciptakan lembaga atau membakukan prosedur yang menghadapi langsung pada perlunya perlindungan khusus bagi pembela hak asasi manusia dan pertanggungjawaban bagi tindakan semena- mena terhadap mereka.”5

Bab berikut disusun berdasarkan wawancara dengan pembela hak asasi manusia dari Jakarta, Papua, Sulawesi, Maluku, Aceh, dan Nusa Tenggara Barat yang dilakukan selama Oktober 2009. Front Line bekerja dengan organisasi hak asasi Indonesia seperti KontraS, Imparsial dan Foker untuk menyelenggarakan dua lokakarya, satu dengan pembela HAM dari Jakarta dan bagian lain di nusantara, dan salah satu dengan pembela hak asasi manusia dari Papua. Lokakarya- lokakarya membantu mengorganisir pengelompokan pembela HAM, ancaman yang mereka hadapi, dan strategi perlindungan yang telah mereka bangun, yang akan dijelaskan di bawah.

II. PEMBELA HAK ASASI MANUSIA YANG PALING BERESIKO

Aktivis anti-korupsi

(14)

anti-korupsi pada tahun- tahun terakhir ini. Salah satu pembela HAM mengatakan bahwa korupsi adalah masalah yang paling sulit dikerjakannya. “Andai kalian menuduh orang melanggar hak asasi manusia, tidak ada masalah. Mungkin mereka pun bangga. Tapi bila anda menyalahkan mereka melakukan korupsi, mereka menjadi marah luar biasa. Kepekaan ini mungkin beralasan karena marahnya orang mengenai PNS berkorupsi, begitu pula berhasilnya KPK selama ini dalam menghadapi korupsi dibandingkan para pengacara yang menghadapi pelanggaran hak asasi manusia.

Menurut salah satu anggota di sebuah organisasi anti-korupsi, rekan- rekannya di sekitar mereka yang paling terancam. “Di Jakarta, masyarakat menjaga kami, dan anggota media akan mendukung kami.” Yang terburuk adalah persoalan yang muncul di wilayah lokal. Korupsinya selalu lebih buruk. Korupsinya melibatkan Walikota dan Gubernur. Mereka menguasai segalanya dan organisasi mereka dengan preman keras mengancam dengan kekerasan.”

Pembela Hak Asasi Manusia Perempuan (WHRD)

Seperti di kebanyakan negeri, pembela hak asasi manusia perempuan adalah paling rentan terancam terhadap ancaman, banyak ancaman di antaranya yang beda dengan ancaman yang membahayakan rekan laki-laki. Dalam diskusi focus group dan wawancara dengan anggota WHRD,National Commission on Violence against Women(Komnas Perempuan) menghitung dan mengkaji lebih dari 400 peristiwa kekerasan, ancaman dan intimidasi terhadap 58 anggota yang terlibat. Di banding dengan data yang dimiliki mengenai pembela hak asasi manusia secara umum, mayoritas pelaku- pelaku pelanggaran yang ditemukan adalah pelaku-pelaku sipil, termasuk anggota- anggota keluarga aktivis dan komunitasnya.6

Di luar dari menghadapi kekerasan terhadap perempuan dan masalah sosial pada umumnya, aktivis-aktivis juga menentang peraturan-peraturan lokal yang membatasi kebebasan perempuan bermobilitas dan berekspresi. Cukup banyak pemda tingkat kabupaten telah mengaktifkan peraturan-peraturan lokal bermasalah, seperti di Kabupaten Bulukumba di wilayah selatan Sulawesi, di mana perempuan yang tidak berkerudung dilarang mendapatkan pelayanan dari pemerintah. Propinsi Aceh sudah mengadopsikan hukum Qanun, termasuk peraturan seperti pemukulan dengan menggunakan tongkat dan dihukum dengan cara dihujani batu (razam) untuk perzinahan pada suami atau isteri yang melakukannya. Di tingkat nasional, suatu kebijakan nasional, kebijakan anti-pornografi termasuk pasal-pasal bermasalah yang membatasi perempuan dan kelompok minoritas. Aktivis yang menentang topik topik di atas diberikan embel anti-Islam.

Aktivis hak-hak minoritas

Kelompok- kelompok yang membela hak- hak kelompok minoritas juga dijadikan sasaran. Para pelanggar di dalam kasus- kasus ini biasanya adalah pelaku-pelaku sipil dengan simbol agama. Seorang aktivis yang menentang penindasan komunitas, Ahmadiyah sebagai orang yang dipandang melanggar hukum Tuhan, melaporkan “Kami selalu ditelpon dan diintimidasi dari Front Pembela Islam (FPI). Mereka bertanya, ‘Apakah kamu takut mati?’ Dan saya memberitahunya. ‘Suatu hari, kita semua akan mati.’” Pada tahun 2007, suatu kelompok Muslim menggerakkan aktivis Islam dalam pembelaan kebebasan beragama di Jakarta, dengan menyebabkan beberapa orang disakiti tanpa alasan jelas.

Hak-hak atas tanah dan aktivis lingkungan hidup

Penebangan pohon, kebun raya, pembagian untung pertambangan, dan kegiatan pengo-lahan tanah secara intensif sering menciptakan konflik antara komunitas lokal dan kekuatan akan minat atas bisnis and pemerintahan. Pada lokakarya di Jakarta, salah satu aktivis menulis bahwa di daerahnya di Maluku, “Sumber daya alam yang menciptakan pelang-garan hak asasi manusia. Ketika komunitas lokal menentang penebangan hutan atau ek-sploitasi sumber daya alam, mereka akan ditangkap.”

(15)

In-donesia), pada tahun 2008, polisi menangkap paling sedikit 86 pembela hak asasi manu-sia dari organisasi lingkungan hidup dan petani. Pada 11 Mei 2009, polisi di Manado, Su-lawesi Utara, menangkap Berry Forquan, direktur WALHI dan rekanya, Erwin Usman, di sebuah protes melawanWorld Ocean Conference. Tidak lama kemudian, enam aktivis lingkungan hidup di Sumatra Selatan dan tujuh di Sulawesi Tenggara ditangkap karena menyelenggarakan protes dalam solidaritas untuk dua aktivis yang tertangkap itu.

Aktivis Lesbian, Gay, Bi-seksual, Transgender dan Interseks

Aktivis Lesbian, gay, biseksual, transgender dan intersex (LGBTI) harus menghadapi ancaman dan intimidasi dari kelompok- kelompok agama. Salah satu aktivis bercerita ulang, “Pada tahun 2007, saya ada di televisi - saya mencoba menunjukkan bahwa kami ada, kami tidak tertindas, dan bahwa kamu bisa jadi orang yang bahagia sebagai perempuan lesbian di Indonesia. Setelah saya hadir di televisi, salah satu kelompok aktivis Islam radikal mengancam lewat telpon di stasiun TV tersebut. Stasiun tersebut memberikan mereka nomor telpon pribadi saya, dan mereka menelepon saya dan mengatakan akan membunuh saya, mereka tahu dimana saya tinggal. Pada saat saya melaporkan ke Polisi, mereka hanya mengatakan bahwa nomor saya harus diganti. Tidak ada penyelidikan.”

Di Aceh, orang lelaki gay yang menjadi pengacara bagi hak perempuan disiksa dan dihina termasuk pelecehan dan penindasan seksual, oleh polisi pada waktu di tahanan. Seperti di banyak negeri, aktivis LGBTI harus sering berjuang untuk penerimaan dan dukungan antara kelompok hak perempuan dan hak asasi manusia.8

Advokat bagi pertanggung jawaban kejahatan dari masa lalu

Penyerangan dan intimidasi sering meningkat ketika ada kemungkinan kemajuan pada kasus hak asasi manusia. Serangan di kantor- kantor Hak Asasi Manusia seperti (Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, atau Komnas HAM) terjadi ketika ada upaya- upaya untuk memvonis pejabat militer atas pelanggaran Hak Asasi di Timur Timor.

Selama proses peradilan tahun 2001-2003 bagi keluarga- keluarga yang meninggal akibat pembunuhan di Tanjung Priok, Jakarta pada tahun 1984, ancaman terhadap para korban kekerasan dan keluarganya meningkat. Para pengancam juga menggunakan taktik- taktik yang terarah pada memecah belah hubungan sosial para korban. Ada korban yang ditawarkan uang untuk merusak hubungan. Di gedung kehakiman kelompok- kelompok terorganisir sering menghadiri pengadilanya untuk mendukung para pelaku, guna mengacaukan ungkapan saksi dan membagikan surat yang menakuti saksi dan korban. Mugiyanto, direktur organisasi keluarga korban penghilangan paksa, mengatakan kepada Front Line:

Selama peralihan kuasa, kecuali kasus Munir, kami menghadapi ancaman yang berbeda-beda, terutama bila kasus sedang dikembangkan oleh pengadilan. Pada tahun 2003 atau 2004 IKOHI menerima surat di pintunya, ancaman pembunuhan kepada saya sendiri, [direktur Kontras] Usman, dan rektor di Universitas Tri Sakti. Ancaman itu mengatakan bahwa kami adalah penghianat negara, orang gelandangan dan komunis yang harus di hapus dalam kurun waktu tidak lebih dari 14 hari. Suratnya ditandatangani oleh Zulfikar, seorang pembela Order Baru. Kami mengajukan laporan kepada polisi dan surat mendesak kepada Kelompok Kerja atas kehilangan-kehilangan, yang kemudian mengirim surat kepada Menteri Departemen Luar Negeri. Memang itu hanya ancaman—saya masih ada! Pada saat itu Human Rights Commission sedang melibatkan diri dalam langkah langkah awal kasus penghilangan manusia.

(16)

diri mereka dan kawan senasib mereka. Laporan menemukan bahwa orang orang seperti ini sering menemukan diri mereka dilecehkan sebagai anti-nasionalis atau agen luar negeri. Mereka juga mengalami ancaman dan tindakan kekerasan dalam bentuk penangkapan tanpa alasan, penghilangan paksa, pemukulan, penyiksaan di dalam tahanan, penghinaan, dan penghancuran kantor atau pembubaran rapat dan juga pembunuhan. Salah satu contoh adalah Sumarsih, Ibu seorang mahasiswa yang terbunuh pada tahun 1998 sambil dia sendiri mengurus mahasiswa yang tertembak dan dia juga ditembak di tengah protes. Sumarsih sendiri nantinya dipukul dan ditembak pada saat banyaknya protes dalam mencari keadilan bagi pembunuhan mahasiswa.

Pembela Hak Asasi Manusia di wilayah konflik

Pembela Hak Asasi Manusia di daerah konflik seperti Aceh (sebelum 2005), propinsi di Maluku, dan Sulawesi Tengah pada tahun-tahun awal peralihan kekuasaan, dan Timor Barat dan Timor-Timur, sebelum tahun 1999 referendum untuk kemerdekaan, menjadi sangat rentan terhadap serangan oleh pelaku Negara dan pelaku non-negara. Contohnya termasuk paling sedikit 15 orang yang terbunuh sebagai pembela Hak Asasi Manusia. Sambil konfliknya berangsur-angsur menghilang, pembela HAM menghadapi lebih sedikit resiko dari kekerasan langsung.

Pengecualian yang paling penting terhadap sejarah ini bisa dilihat pada propinsi Papua dan Papua Barat di wilayah timur negeri ini. Pasukan keamanan di sana telah menjawab pejuang pro kemerdekaan Papua Barat yang memiliki gerakan tanpa kekerasan dan relatif ramah terhadap aparat negara, dengan ancaman, operasi militer, penyidikan dan penekanan. Aktivis Papua menulis bahwa pengawasan dan pesan berisikan ancaman melalui telepon dan pesan tertulis ataupun orang ke orang menurun pada saat mereka melakukan penelitian lapangan, terutama waktu staff diplomatik luar negeri sedang berkunjung dan pada saat mereka mengadakan rapat atau lokakarya.

Dalam laporan misinya, Hina Jilani menulis bahwa “iklim kekuasaan masih bertahan di Papua Barat, terutama bagi pembela HAM yang memihak pada hak komunitas Papua dalam partisipasi dalam pemerintahan, control atas sumber daya alam dan demiliterisasi di propinsi tersebut.”10

Mahasiswa

Seperti di banyak negeri, mahasiswa di Indonesia sering menjadi yang pertama turun ke jalan atau pun menderita akibat serangan. Sejumlah kasus luar biasa dari hari- hari terakhir masa Suharto melibatkan peran aparat negara dalam pembunuhan, penyiksaan dan protes. Banyak kasus tahun 2004-2009 kajian Imparsial adalah mahasiswa yang mengorganisir protes terhadap isu- isu ekonomi dan ditangkap dan dituduh atas pelanggarannya.

Para wartawan

Pers di Indonesia kini relatif bebas untuk melaporkan isu sensitif dibandingkan dengan tahun- tahun di jaman Suharto. Walau begitu, para wartawan tetap menghadapi bermacam-macam ancaman dan intimidasi dari mereka yang berkuasa, terutama dengan menulis laporan mengenai korupsi. Pada tahun 2009, keluarga dari seorang pejabat lokal membunuh wartawan investigasi setelah dia menyelidiki kasus korupsi publik di Bali11

Organisasi LBH Pers, yang melakukan proses pengadilan dan pembelaan guna mewakili para wartawan, telah menemukan 134 cobaan untuk menyerang atau mengintimidasi para wartawan dari tahun 2006 ke Augustus 2009. Lebih dari setengah ancamannya sangat fisik, dan sisanya sangat kriminal sifatnya dan menyangkut pencemaran nama baik.12 Salah

(17)

III. JENIS ANCAMAN TERHADAP PEMBELA HAK ASASI

MANUSIA

Kekerasan langsung telah menurun beberapa tahun terakhir, tapi intimidasi dan pelecehan tetap dihadapi oleh pembela HAM di seluruh Indonesia. Organisasi pembela HAM yang bernama Imparsial, yang melacak situasi pembela HAM di Indonesia, menemukan 139 kasus ancaman dan serangan terhadap pembela HAM dari tahun 2005 sampai 2009. Temuan- temuan mengkonfirmasikan perhatian PBB ketikaSpecial Representativenyayang mengatakan kepadaHuman Rights Counciltentang “berlangsungnya kegiatan- kegiatan polisi, militer dan inteligen atau lembaga keamanan lain dan juga satgas agama garis keras yang terarah pada pelecehan dan intimidasi terhadap pembela HAM atau membatasi akses pembela HAM terhadap korban- korban satuan formal maupun tidak formal sebagai situs pelanggaran HAM.”13Macamnya ancaman termasuk pembunuhan dan jenis kekerasan

lain, kriminalisasi dan pelanggaran hukum sipil, pelecehan keluarga korban, penyidikan, dan ancaman gender spesifik terhadap perempuan pembela HAM.

Pembunuhan dan jenis kekerasan lain

Selain pembunuhan aktivis, penghilangan, atau penyerangan di bawah rezim Suharto, paling sedikit 15 pembela HAM telah dibunuh semenjak era reformasi dimulai. Mereka yang terbunuh termasuk Jafar Siddiq Hamzah, orang Aceh yang tinggal di New York dan diculik pada saat berkunjung ke Indonesia di mana dia disiksa sampai meninggal dan Sufrin Sulaiman, seorang pengacara yang terbunuh pada saat membantu seorang klien di kantor polisi. Pada Desember 2000, tiga pekerja organisasi yang didanai oleh lembaga Dana asal Denmark bernama Rehabilitation Action for Torture Victims (RATA),dibunuh secara berturut turut oleh kelompok prajurit dan cuak (informan) sipil.

Kekerasan di Papua tetap menjadi masalah. Opinus Tabuni, pemimpin masyarakat Papua dan anggota Majelis Adat Papua (badan yang mewakili semua kelompok masyarakat adat di Papua) terbunuh oleh senjata api pada 9 April 2008, upacara peringatan pada International Day of the World’s Indigenous People. Walau saksi mata telah mengatakan bahwa satgas keamanan yang menembaki kerumunan, polisi menaruh fokus investigasinya pada pengangkatan bendera kemerdekaan yang dilarang hukum Indonesia.

Kasus terakhir menggambarkan bahayanya bagi para wartawan, atau siapa pun yang melaporkan tentang korupsi. Pada 11 Februari 2009 di Bangli, Bali, wartawan Anak Agung Narendra Prabangsa terbunuh karena melaporkan korupsi di kantor Depdiknas setempat. Dia dibunuh pembunuh bayaran yang dikira menjadi pembunuh yang dikontrak oleh kakak dari PNS yang melakukan korupsi.

Kasus Munir

“Kami yakin dalam transisi, semuanya berjalan cukup mulus, dan tiba- tiba Munir di-bunuh. Sekarang kita bisa bicarakan apa saja dengan bebas, tapi kami merasa sesuatu bisa terjadi kapan saja kepada kami”

– Pembela HAM Mugiyanto, October 2009

Pada bulan September 2004, salah satu pemimpin pembela Hak Asasi Manusia, Munir Said Thalib, meninggal pada saat terbang dengan pesawat Garuda menuju Belanda untuk belajar hukum international. Laporan Autopsi yang dibocorkan kemudian membuka bahwa dosis arsenik massif berada pada sistem tubuhnya. Tidak lama kemudian, isteri Munir menerima suatu paket yang mengandung mayat ayam dengan catatan “Be careful!!!! Janganlah mengkaitkan tentara pada kematian Munir. Maukah anda bernasib seperti ini.”

(18)

Manusia. Terkenal buat kajian dengan berhati- hati dan pembelaan yang berani, Munir berbicara lantang dan cuat melawan kekerasan dan ketakutan terhadap militer. Dia mewakili mahasiswa yang diculik pada tahun 1998-1999, dan menjabat sebagai pejabat pemeriksaan kekerasan 1999 Timor-Timor dan merekomendasikan penuntutan pejabat senior Indonesia diprosekusi atas pelanggaran yang terjadi.

Kematian Munir memang menyiasati keamanan komunitas hak asasi manusia. Wakil Khusus PBB mengatakan bahwa “Bila ada kelambanan atau kemalasan perihal mengurus kematian Munir, tidak ada satu pun pembela hak asasi manusia yang akan merasa aman di Indonesia.” President Yudhoyono mengatakan bahwa kasus Munir adalah “ujian sejarah Indonesia.”

Reaksi:Untuk menyelesaikan kasus Munir, kelompok sipil telah memperdaya beberapa strategi yang menggunakan mekanisme resmi seperti bekerja dalam koalisi, dan melakukan pembelaan international. Aktivis berusaha dalam kampanye membela kasus Munir bernama, “Justice for Munir, Justice for All,” or “Keadilan untuk Munir, Keadilan untuk semua,” dan hampir disetiap organisasi Hak Asasi Manusia di Indonesia telah memasang foto Munir pada dindingnya.

Komite Aksi Solidaritas Untuk Munir, atau KASUM, dibentuk untuk menyediakan analisa hukum dan pembelaan. Istrinya Munir, Suciwati, telah memperjuangkan keadilan bagi suaminya tanpa lelah, dan mengadakan perjalanan dari Geneva dan Washington untuk memperjuangkan tekanan international pada Indonesia agar kasusnya diurus dengan jelas. Advokasi telah mendukung berbagai campur tangan, termasuk surat- surat dari kongres Amerika Serikat dan suatu deklarasi oleh Parlemen Eropa. Dia telah menciptakan persamaan visi tujuan bersama dengan korban- korban lain, terutama isteri dan ibu mereka yang terbunuh atau hilang.

Usaha-usaha ini telah menghasilkan kemajuan demi kemajuan secara berangsur-angsur. Presiden menciptakan suatu Tim Pencari Fakta bagi Kasus Munir yang membantu mendongkrak investigasi kepolisian, yang akhirnya menggiring tiga staff perusahaan Garuda untuk peran mereka dalam pembunuhan Munir. Salah satu terdakwa adalah co-pilot penerbangan pesawat yang ditumpangi Munir melakukan percakapan berpuluh kali melalui telpon kepada seorang pejabat tinggi badan intelijen, yakni pensiunan pejabat intelijen Muchdi Purwopranjono, sekitar waktu pembunuhannya. Ada pula bukti bahwa Muchdi telah campur tangan untuk memastikan bahwa co-pilot sedang menumpang dalam penerbangan Munir. Tekanan terus menerus pada polisi dan para jaksa berhasil menuntut Muchdi, seorang mantan komandan Pasukan Khusus, pada tahun 1998. Sesudah persidangan di pengadilan di mana banyak saksi- saksi gagal hadir atau berbalik arah pada kesakian yang sudah disumpah pada polisi. Akhirnya vonis pada Muchdi tidak berhasil dibukukan oleh Hakim pada bulan Desember 2008. PengadilanTinggi mempertahankan pencabutan keputusan Hakim, namun tim advokasi tetap mendorong untuk meninjau kembali keputusan Hakim dan membuka kembali segel tim investigasi kepolisian.14

(19)

Saya berharap kejadian KontraS ini akan membuat orang merenung, kalau KontraS memang bagian dari bangsa ini.”15

Selain kehadiran preman, kelompok Islam garis keras yang dibentuk oleh inisiatif sendiri atau, dalam beberapa kasus, dengan partisipasi pihak keamanan, juga telah menyerang kantor- kantor dan demonstrasi. Pada Juni 2008, suatu persekutuan organisasi menyelenggarakan demonstrasi untuk membela kebebasan beragama di Monumen Nasional atau Monas. Ratusan anggota Front Pembela Islam menyerang demonstrasi protes tersebut, yang berakhir dengan banyaknya orang cedera. Mirip dengan kejadian pada 19 April 2006 perempuan dari Koalisi Perempuan Indonesia berdemonstrasi melawan hukum moralitas yang diskriminatif terhadap gerakan kebebasan perempuan.

Ada massa di sekitar protes mereka yang memukul dan menghina mereka. Polisi di sekitar protes tersebut hanya diam saja.16

Penyiksaan polisi dan penganiayaan selama penahanan tetap hal yang biasa terjadi di Indonesia, dan aktivis tetap menjadi yang paling sering disiksa. Sebagai contoh, paralegal LBH Jakarta Tommy Albert Tobing dan M. Haris Barkah ditahan dan diperlakukan dengan kasar di rumah tahanan Jakarta Utara pada tanggal 27 Juli 2009. Pada esok harinya, LBH Jakarta bertanya mengenai kasusnya dan polisi mengusir mereka dari kantor polisi dengan kekerasan. Kasus ini juga membuktikan keluhan yang sering terdengar dari pengacara pembela bahwa polisi tidak mengerti atau menghormati peran mereka sebagai pengacara.

Ancaman Kekerasan

Ancaman lewat email, telepon atau SMS sangat biasa, terutama di Papua. Salah satu pembela HAM berbicara kepada Front Line bahwa, “Ancaman sangat biasa bagi kami. Tidak hanya korban dan keluarga mereka, tapi aktivis tenaga kerja, mahasiswa. Selalu terjadi pada semua orang, jadi kami mengabaikannya. Kami tidak tahu, sesuatu bisa saja terjadi kapan pun.”

Dalam satu contoh dari Oktober 2007, seorang prajurit pasukan khusus yang di Papua memberitahu para wartawan bahwa Pastor John Djonga, seorang pendeta dan pembela hak asasi manusia, adalah seorang pengkhianat dan harus ‘”dikubur 700 meter di bawah tanah.” Djonga, yang nantinya memenangkan penghargaan hak asasi manusia pada tahun 2009, baru- baru ini mencela pelanggaran hak asasi manusia dan penebangan pohon liar oleh militer.

Setelah kunjungan Hina Jilani ke Indonesia pada tahun 2007, ada semacam gelombang ancaman terhadap pejuang hak asasi manusia di Papua. Pada 8 Juni, sebuah kendaraan yang digunakan anggota- anggota Komisi Perdamaian dan komisi Keadilan bagi keuskupan Jayapura ditabrak oleh mobil yang dikendarai oleh petugas intelijen negara.

Pada 11 Juni, Wakil Komnas HAM, Albert Rumbekwan menerima suatu SMS yang mengancam: “Anda yang melaporkan situasi hak asasi manusia di Papua sedang membinasakan masyarakatnya. Anda mau bukti bahwa orang sedang dibunuh, Saya akan membunuh suku anda, keluarga anda dan anak- anak anda akan menjadi tulang- tulang untuk membuktikan bahwa hanya ada satu daerah perdamaian di Papua.”

Usman Hamid, Koordinator KontraS dan anggota tim pencari fakta kasus pembunuhan Munir, telah menerima banyak ancaman menggunakan SMS bahwa dia akan ditikam di jalan, dibutakan, diculik dan dibunuh.17Walaupun mengancam adalah suatu kejahatan,

dalam suatu pemeriksaan lima tahun terakhir, pada kasus-kasus Imparsial tidak ditemukan usaha- usaha menangkap yang melanggar hukum tersebut.18

Kriminalisasi dan Gugatan Perdata

(20)

pasal karet atau “pasal karet”, kebijakan di kitab hukum pidana yang bisa diterapkan untuk kritikan terhadap presiden atau “menyebarkan kebencian” terhadap pemerintah.

Praktek macam ini masih berkelanjutan dalam bentuk yang dimodifikasi ke dalam bentuk baru dalam Indonesia demokratis. Staf di Imparsial mengatakan kepada Front Line: “Kami sering melihat kasus terhadap pelindung Hak Asasi Manusia yang terkait denganpasal karetdi dalam kitab pidana naskah hukum yang dipakai kasusnya. Pasal karet seperti ini memang dipakai dan diperalat supaya pihak aparat menguasai ruang gerak aktivis hak asasi manusia.”

Pihak pengadilan sudah mulai mengalahkan beberapa pasal karet seperti berikut:

• Pada Desember 2006, Mahkamah Konstitusi menginstruksikan bahwa butir hukum yang mengkriminalisasikan kata- kata kasar terhadap presiden dan wakil presiden (pasal 134, 136, 137) adalah peninggalan kolonial yang bertentangan dengan kon-stitusi;19

• Pada Juli 2007, pihak pengadilan menghapus butir butir hukum yang menyebarkan rasa benci (pasal 154 dan 155, dikenal dalam bahasa Belanda dengan istilah Haatzai Artikelen) yang kriminalisasi pernyataan ‘rasa kemarahan, benci atau dendam ter-hadap Pemerintah Indonesia di ter-hadapan publik” dengan hukuman yang wajib den-gan tahanan sampai 7 tahun di penjara.20

Sementara kebijakan baru ini pantas dirayakan, UU pidana masih menyimpan kebijakan yang bisa digunakan untuk menindas para Pembela Hak Asasi Manusia, termasuk tulisan tentang fitnah atau pencemaran nama baik (310-316,) penghasutan (160-161), pelecehan agama (156), dan pelecehan pihak berwenang (207-208). Pada Agustus 2008, Mahkamah Konstitusi menolak permohonan untuk menyatakan inkonstitusionalitas pada beberapa ketetapan termasuk yang menyangkut pelecehan nama baik.21

Ketetapan-ketetapan tersebut telah dipakai untuk mengintimidasi pembela HAM dalam beberapa tahun belakangan ini. Seperti contoh pada Oktober 2007, seorang pengacara Hak Asasi Manusia Sabar Olif Iwanggin ditangkap di Jayapura oleh tim gabungan yang melibatkan polisi anti terror unit 88. Iwanggin telah menyampaikan kepada beberapa kawan suatu pesan singkat dalam sirkulasi luas, yang berisi suatu rumor bahwa Presiden sedang merencanakan suatu kampanye meracuni orang-orang Papua. Rumor macam ini tidak aneh lagi di Papua dan Iwanggin menjelaskan bahwa dia sedang menyampaikannya kepada kawan-kawan sebagai suatu peringatan untuk berhati-hati dengan penghasutan. Pihak kepolisian menangkap Iwanggin tanpa surat perintah dan memeriksanya tanpa seorang pengacara. Pihak kejaksaan menuntut dia dengan penghasutan dibawah UU 160, tetapi tidak bisa dibuktikan bahwa mereka telah menulis pesannya atau bahwa dia telah menyampaikan kepada siapapun yang pernah melakukan tindakan kekerasan. Maka pengadilan tinggi Negara di Jayapura membebaskannya dari segala tuduhan pada Januari 2009, setelah setahun ditahan.

Suatu kasus dari Aceh pada tahun 2007 menunjukkan bahwa selama ada pasal-pasal berkonotasi luas di dalam buku hukum pidana, para pembela HAM dan pengritik lain akan tetap mudah dijerat oleh praktek-praktek penindasan. Seorang polisi lokal yang menangkap 8 anggota staff dari organisasi HAM karena memasang poster dan flyer tentang perseteruan kasus tanah, menjelaskan situasi: “Masalahnya adalah mereka pikir pasal karet ini bisa dipasang sesuai dengan keleluasaan kami, tetapi yang penting adalah, selama tidak dicabut oleh negara, tulisan tersebut masih sah. Maka kalau mereka tidak ingin dituntut sesuai dengan tulisan tadi mereka harus minta agar tulisan tersebut dicabut negara dan tidak lagi ditetapkan.”22Pada 14 Agustus 2008, pengadilan di kabupaten Langsa di Aceh Timur

(21)

Pidana pencemaran nama baik

Walaupun semua “pasal karet” memang bermasalah, selama 2 tahun terakhir tidak terjadi peningkatan penggunaan pencemaran nama baik tersebut. Tidak seperti penanaman kebencian yang dijelaskan diatas, pencemaran nama baik bisa dilontarkan oleh diri sendiri dan para pengusaha tidak hanya petugas pemerintah. Dalam laporan tahun 2008 tentang penggunaan tuduhan pencemaran nama baik melawan wartawan, menemukan bahwa Kitab Hukum Pidana “masih dipakai untuk menjaga pejabat negara, pejabat politik dan pengusaha... dengan cara dipenjarakan atau mengancam wartawan profesional yang membuka pakaian kotor mereka pada publik.”23Masing-masing orang yang dinamakan

oleh media juga menggunakan hukum perdata untuk menuntut jutaan dollar untuk melawan para wartawan dan terbitannya.

Kasus aktivis kebebasan pers bernama Upi Asmaradhana mendemonstrasikan bahwa kasus yang berakhir dengan pencabutan tuntutan bisa memiliki akibat serius. Seorang kepala kantor polisi di Sulawesi Selatan telah mendorong pejabat lokal untuk mengusut para wartawan yang kritis, dengan mengatakan “silahkan saja tuduh mereka, laporkan mereka dan kami akan proses mereka.”24Sebagai koordinator melawan kriminalitas pada

pers, Asmaradhana mengorganisir suatu protes. Tidak lama kemudian, kepala kantor polisi mengajukan suatu pengaduan terhadap Asmaradhana kepada para bawahannya, dalam pelanggaran prosedur kepolisian yang membutuhkan pengaduan macam itu untuk diajukan pada pemimpin yang lebih tinggi agar mengurangi efek bias dalam investigasinya.

Atasan Asmaradhana tidak lama kemudian memecatnya, dengan mengatakan bahwa dia harus menghindari persoalan dengan polisi. Wartawan memberitahu kepada Front Line,” Yang terburuk adalah mereka telah menculik profesi saya; ekonomi saya dan hak intelektual saya telah dilanggar. Mereka tidak berhasil dalam mengancam saya, jadi mereka melangkah lebih jauh dan memaksa saya meninggalkan pekerjaan saya.” Dia juga pernah diancam dalam pembunuhan, penahanan dan tikus mati ditinggal di beranda rumah sebagai ancaman. Akhirnya dia dibebaskan, tapi kasusnya bisa dipertimbangkan pihak jaksa kapanpun.25

Makin hari, tidak hanya para wartawan yang mudah disakiti dengan pengaduan. Menurut Anggara, seorang pengacara yang telah melacak isu ini bagi LBH dan Asosiasi Hak Asasi Manusia (PBHI) “pidana pencemaran nama baik biasanya ditujukan pada wartawan, bukan aktivis. Tapi sejak 2006, tindakan besar tertuju pada aktivis anti korupsi. Maka bisa disimpulkan bahwa adatrendyang tidak lagi berupa ancaman fisik; ancaman-ancaman kepada Pembela Hak Asasi manusia berupa perangkat hukum.” Pada sebuah contoh utama, pada September 2009, Usman Hamid, Direktur Organisasi HAM bernama KontraS, dipanggil untuk pemeriksaan polisi yang berhubungan tentang sebuah keluhan oleh seorang pensiunan Jendral bernama Muchdi Purwopranjono tentang komentar-komentar mengenai keterlibatannya dalam kasus pembunuhan Munir. LBH Jakarta telah mengidentifikasi 11 orang aktivis dari berbagai organisasi yang terjerat pencemaran nama baik kriminal pada 9 bulan pertama tahun 2009 saja.

Bersama dengan wartawan, aktivis-aktivis anti korupsi merupakan yang pertama dijadikan sasaran. Seorang anggota staff Indonesia Corruption Watch, Emerson Yuntho, telah membuat daftar tentang 18 kasus pencemaran nama baik yang diajukan pada aktivis anti korupsi. Pada Oktober 2009, Yuntho dan rekannya Illian Deta Arta Sari dipanggil polisi untuk pemeriksaan sebagai tersangka kasus pencemaran nama baik. Seorang jaksa di kantor Jaksa Agung telah mengajukan suatu laporan polisi setelah para aktivis mengajukan pertanyaan mengenai jumlah uang yang telah mereka pulangkan pada kas negara melalui usaha korupsi. Memang memprihatinkan kalau kantor Jaksa Agung, suatu lembaga yang seharusnya mencegah pengaduan tanpa dasar dari jangkauan pengadilan, ternyata dua aktivis menjadi sumber keluhannya.

(22)

untuk memprioritaskan kasus korupsi sebelum mengincar pencemaran nama baik yang terkait.26Walau demikian, perintah 2005 ini belum diimplementasikan dengan baik untuk

mengurangi pelecehan terhadap aktivis anti korupsi.

Juga keprihatinan, pelecehan nama baik telah dimasukkan ke dalam undang-undang baru.27 Ada sekitar 20 ketetapan yang berbeda dalam 7 undang-undang (termasuk Kitab

Pidana) yang mengkriminalisasikan pencemaran nama baik petugas negara, bendera, pejabat luar negeri, calon untuk pejabat publik, dan anggota masyarakat dengan hukuman sampai dengan 6 tahun dipenjara dan denda sampai Rp. 1 milyar (€80,000).28

Stigmatisasi

Suatu bentuk intimidasi adalah menamakan Pembela Hak Asasi Manusia dengan istilah yang membawa noda di Indonesia:komunis, separatis, anti Islam dan juga teroris.29Di

Nusa Tenggara Timur, seorang komandan militer memberikan pidato kepada rekan-rekannya memperingatkan pada “ancaman komunis tersembunyi,” dan akhirnya menamakan sejumlah organisasi Hak Asasi Manusia lokal sebagai ancaman keamanan negara.

Disuatu lokakarya di Jakarta seorang aktivis menjelaskan betapa berpengaruh siasat ini: “Setiap kali kami melakukan advokasi, nama seperti ‘separatis’ diterapkan kepada kita, yang berdampak pada keluarga kita. Seluruh keluarga bisa dipengaruhi kalau salah satu anggota dianggap pemberontak atau seorang komunis, jadi dengan jelas ada ciri ketakutan tercampur didalamnya.”

Tuduhan menjadi anti Islam membawa resiko khusus. Salah satu aktivis menjelaskan, “Orang mudah dihasut bila kita membawa masuk agama, melebihi dari separatisme, komunisme dan terorisme.” “Bila kekerasan datang dari kelompok fundamentalis dampaknya lebih buruk lagi. Suatu pendukung Ahmadiyah telah berhenti berbicara keras. Dia tidak mau bereaksi karena dia tidak berani berbicara lantang.”

Ancaman dan tuduhan terhadap anggota keluarga

Target investigasi atau Advokasi kadang-kadang mengancam sanak saudara para Pembela Hak Asasi Manusia, terutama para pembela perempuan. Salah satu pembela HAM menjelaskan,”Saya tidak takut buat diri saya, tapi buat anak-anak saya. Suami saya dan saya, tidak apa. Tapi pada saat anak-anak saya didekati orang di sekolah yang mengatakan,’ kami akan membunuh ibumu,’ hati saya patah. Saya mengirimkan salah satu anak keluar kota untuk tinggal bersama seorang sepupu agar dia tidak menyaksikan ancaman terhadap diri saya. Saya juga mengetahui guru-guru melalui tugas anti korupsi dan mereka berjanji akan mengurus mereka sebaik-baiknya selama mereka di sekolah.”

Seorang pembela HAM yang menginvestigasi korupsi di NTB memberitahu Front Line,” Pada tahun 2007, ayah saya menghadiri pesta ulang tahun, bermain kartu. Polisi meletakkan uang pada saku bajunya dan mengancam akan menuntut dia karena bermain judi bila ayah saya tidak mau menyuruh saya berhenti. Kami tidak berkompromi dan dia dibawa ke pengadilan. Pada akhirnya ayak saya ditahan 5 bulan, usianya 76 tahun.”

Penyadapan dan pemantauan lain

Pembela Hak Asasi Manusia membicarakan kekuatiran mereka soal penyadapan, pelacakan telepon genggam dan pemantauan elektronik lainnya. Para aktivis Papua secara khusus menjelaskan memata-matai secara elektronik tanpa henti oleh agen-agen intel dalam bentuk wartawan palsu, penjual makanan keliling dan tukang ojek yang berdiam diluar kantor-kantor mereka seperti menyadap telepon dan melacak telepon genggam.

Ancaman terhadap Perempuan Pembela Hak Asasi Manusia

(23)

ancaman lain termasuk pemerkosaan dan penindasan seksual; teror dan intimidasi berdimensi seksual; serangan pada pembela HAM dari kedua fungsi mereka sebagai pembela HAM sekaligus ibu atau isteri; pembunuhan karakter berdasarkan stereotipe mereka sebagai perempuan; penolakan atas kegiatan advokasi mereka berdasarkan moralitas, agama, budaya, tradisi dan reputasi keluarga, diskriminasi gender, pelecehan seksual, termasuk dari rekan aktivis dan politik atas identitas keperempuanan, seperti pemaksaan penggunaan jilbab.30

Di Aceh, pembela HAM menghadapi pasal-pasal hukum Islam dan mereka dikritisi sebagai orang anti hukum syariat, keduanya dilakukan oleh pelaku non- negara dan olehWilayatul Hisbah, atau” sifat buruk dan akhlak patrol” dari pemerintahan lokal. Para WHRD sangat rentan terhadap stigmatisasi semacam ini. Salah satu aktivis bekerja dekat dengan perempuan Aceh memberitahu kami,” Pembela Hak Asasi Manusia Perempuan lebih memilih menghadapi militer atau dengan peluru berterbangan daripada berhadapan dengan polisiShari’adan kriminalisasi kehidupan sehari-hari.”31

Menurut Kamala Chandrakirana, mantan ketua Komnas Perempuan, mengikuti oposisi terhadap anti pelacuran menurut hukum yang termasuk metode represif terhadap semua perempuan. Perempuan yang bicara keras akan dituduh pelacur. Pembunuhan karakter pribadi sering melanda perempuan. Peran publik mereka sudah mulai berubah, mempunyai pengaruh yang sangat besar.”32

Contoh-contoh lain dari kajian Komisi termasuk pengacara yang melawan “hukum moralitas” yang menerima tulisan tanpa identitas yang menggambarkannya sebagai pelacur, seorang polisi yang membuat ancaman perkosaan melawan aktivis yang membantu korban kekerasan seksual dan serangan melawan aktivis yang membantu korban-korban kekerasan seksual oleh polisi, dan beberapa serangan pada peran mereka sebagai isteri dan ibu dengan membagikan rumor perselingkuhan. Laporan tersebut meramal bahwa masalah-masalah macam ini hanya akan memburuk karena fundamentalisme yang merajalela, Identitas politisasi, dan perkembangan budaya kekerasan yang makin hari makin buruk.33

IV. STRATEGI PERLINDUNGAN

Untuk merespon ancaman-ancaman ini, Pembela Hak Asasi Manusia sedang menggunakan spektrum strategi yang luas. Banyak diantara mereka yang menggunakan ruangan politik yang tersedia pada negara yang masih sedang transisi, seperti advokasi legislatif, mencari dukungan dari yang berwenang, atau menggunakan korban untuk bicara. Strategi lain memiliki akar pada era Suharto, seperti menggunakan saluran-saluran pribadi untuk merekrut dukungan orang-orang yang berpengaruh. Seperti di setiap negara, perencanaan keamanan adalah bangunan cetakan bagi strategi-strategi lain.

Perencanaan Keamanan

Ada beberapa kelompok yang telah melaksanakan pelatihan khusus mengenai keamanan dan perlindungan dengan Peace Brigades Internasional, yang juga menyediakan penyertaan perlindungan di Papua dan Aceh. Kelompok yang paling dipersiapkan untuk memasuki keprihatinan keamanan ke dalam seluruh pelatihan dan perencanaan mereka. Walau demikian, kebanyakan aktivis bereaksi kepada ancaman dan bahaya keamanan dengan metode ad hoc. Salah satu pembela HAM di Jakarta menjelaskan, “Semua orang membangun mekanisme, tapi kita tidak selalu dapat mengaturnya. Kita memiliki metode yang tidak resmi, kalau sesuatu terjadi di Papua atau pulau-pulau yang lain, mereka selalu kontak kami. Kami bisa menekan pejabat keamanan. Tapi itu tidak jelas.” Seorang pembela HAM menjelaskan:

(24)

tapi kami memiliki pola manajemen darurat. Bila ada demonstrasi, atau suatu indikasi kekerasan, kami mencari tahu siapa yang melakukannya. Lantas kami punya tanggung jawab untuk masing-masing anggota staf: advokasi, keuangan, orang pembantu kantor, pintu depan, pintu belakang- bila terjadi penyerangan.

Seperti di kebanyakan negara, ada suatu kebutuhan untuk pelatihan reguler dan bersistematik untuk mendukung pembela HAM dalam menyusun perencanaan keamanan dan mengatur strategi perlindungan yang layak. Dalam suatu contoh positif, suatu koalisi Pembela HAM dari Aceh menerbitkan sebuah manual keamanan pada tahun 2001 yang diberi judul “Hidup dan Bertahan di Wilayah Konflik: Panduan Keamanan bagi Aktivis Kemanusiaan di Aceh”34Usaha ini datang setelah mereka mendokumentasikan

serangan-serangan pada pembela HAM, termasuk 43 penangkapan dan 15 pembunuhan.

Menarik contoh dari lokakarya yang diselenggarakan oleh berbagai organisasi Internasional, panduannya termasuk informasi mengenai analisa resiko, suatu template untuk perencanaan keamanan, dan suatu seksi praktis tentang keamanan pribadi, keamanan di kantor, komunikasi, penahanan dan penculikan, evakuasi dan keamanan untuk perempuan. Setahun setelah penerbitan, darurat militer diterapkan di Aceh, dan banyak pembela HAM, termasuk mereka yang mengerjakan bukunya berpindah ke Jakarta dan tempat-tempat lain dengan keamanan relatif. Ini adalah salah satu sumber daya berbahasa Indonesia tentang perlindungan, dan semestinya diperbaharui atau disesuaikan dengan konteks beresiko tinggi seperti di Papua.

Di Jakarta, kantor-kantor yang diserang oleh kelompok-kelompok terorganisir yang dulu membangun jalur evakuasi cadangan. Di daerah-daerah yang mengalami pembobolan, ada kelompok yang menciptakan prosedur keamanan, seperti pembuatan pagar, besi buat jendela, kunci dan daftar pengunjung. Salah satu organisasi telah mengatur agar selalu ada orang berjaga dikantornya, seperti relawan mahasiswa dan rekan yang berkunjung dari luar kota. Karena organisasi di Papua juga mengurus persoalan pemantauan, mereka menekankan kebutuhan untuk kepedulian dalam perekrutan staf terpercaya dan dukungan IT.

Pembelaan Legislatif

Suatu rancangan kode kriminal telah didiskusikan selama bertahun-tahun, tetapi karena besarnya dan kerumitan proyeknya, dan juga tujuannya berseberangan dengan kelompok Muslim dan kelompok Hak Asasi Manusia, kemajuannya sedikit sekali. Para Pembela Hak Asasi manusia telah memprioritaskan dan mengeluarkan peninjauan yang sah sebagai tugas yang akan mereka kerjakan sendiri bila mereka mau mempengaruhi anggota parlemen.

Peningkatan pencemaran nama baik membutuhkan perhatian khusus oleh para pembela HAM. Selain menghadapi kasus individu melalui tim pembela hukum, para pembela HAM telah mempersiapkan metode untuk menggunakan Mahkamah Konstitusi dalam mengeluarkan instruksi guna menonaktifkan kebijakan dan undang-undang yang menyangkut pencemaran nama baik dari kitab hukum kitab hukum.35Walaupun begitu,

Mahkamah Konstitusi berhasil menghilangkan UU pencemaran nama baik, akan tetapi Mahkamah Konstitusi tidak mengeluarkan instruksi kebebasan berekspresi.

Di sisi positif, pembela HAM juga mempengaruhi pada bahasa yang mengakui dan melindungi Pembela Hak Asasi manusia dalam hukum. Walaupun perlindungan luas bagi semua warga negara tercatat pada konstitusi dan UU Hak Asasi Manusia 199936,

(25)

HRD kini mencari 2 pilihan: 1) dicetuskan suatu UU berdiri sendiri tentang Pembela Hak Asasi Manusia dan 2) pemasukan bahasa soal pembela HAM dalam penyusunan UU Hak Asasi Manusia yang terkait. Suatu daftar amendemen sudah dipersiapkan oleh Komisi Nasional tentang Hak Asasi manusia, dan banyak pembela HAM merasakannya, dengan panjangnya waktu yang dibutuhkan bagi undang-undang baru untuk dapat lolos ke Badan Pembuat Undang-Undang, jalur yang paling efektif adalah untuk menggarap kedua pasal itu. Imparsial dan Universitas Brawijaya telah mengajukan bahasa yang akan:

• mendefinisikan Pembela Hak Asasi Manusia dan menerangkan hak-haknya;

• membuat lembaga pemerintahan terobligasi untuk menghormati dan melindungi hak-hak pembela HAM dan;

• menambah perlindungan pembela HAM agar menjadi bagian dari fungsi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, termasuk kuasa agar membuat rekomendasi yang melekat pada lembaga-lembaga lain dan menjamin perlindungan fisik dalam ko-ordinasi dengan lembaga keamanan yang lain dan komisi keamanan korban dan saksi.

Menghapus hukum pidana untuk menindas pembela HAM dan menciptakan hukum perlindungan lainnya akan menjadi langkah langkah penting dalam pengurangan risiko yang sedang mereka hadapi. Walaupun begitu, contohnnya Kolombia menunjukkan bahwa mekanisme perlindungan pemerintah tidak cukup tanpa jaminan perlindungan dari aktor negara dan non negara untuk menghentikan kekerasan, stigmatisasi dan penindasan dan ancaman lain. Seorang anggota parlemen Indonesia yang mendukung legislasi soal pembela HAM, mengisyaratkan adanya kebutuhan untuk mereformasi polisi dan jaksa. Membela pembela hak asasi manusia bergantung pada pertanggungjawaban penindakan hukum. “Mereka punya kuasa untuk mengkriminalisasikan aktivis. Legislasi tidak cukup kalau agen-agennya korup.”37

Advokasi Internasional

HRD Indonesia bekerja dengan forum Internasional, beberapa organisasi dan para aktivis dengan berbagai cara. Salah satu organisasi Group Pekerja Hak Asasi Manusia, menyediakan pimpinan advokasi di PBB dan di wilayah regional, dan berbagai organisasi lokal dan nasional melaksanakan advokasi pada Dewan Hak Asasi Manusia PBB di Geneva. Organisasi Papua sangat memungkinkan sebagai pekerja melalui jaringan gereja di Eropa untuk mengatur tur untuk advokasi. Beberapa contoh yang terbaru pada pembela HAM-yang berfokus pada advokasi Internasional termasuk

• Istrinya Munir bernama Suciwati telah berkampanye secara Internasional. Bertemu dengan atau berbicara di hadapan Parlemen Eropa dan legislator di Amerika Serikat dan Jerman;

• Imparsial telah dipersiapkan dalam pernyataan bagi Dewan Hak Asasi manusia PBB yang terfokus pada situasi Pembela Hak Asasi Manusia;38

• Ketika Representatif Khusus PBB atas Pembela Hak Asasi manusia menindak lanjuti kunjungannya sampai ke Indonesia pada Juni 2007, NGO Hak Asasi Manusia mengorganisir suatu kegiatan masyarakat yang mengemukakan perny-ataan dari seluruh Indonesia, seperti rapat pintu tertutup dimana keamanan dan penjagaan ruang pribadi menjadi topik utama;

• HRD seringkali bertemu dengan wakil-wakil kedutaan di Jakarta, banyak di an-taranya mengirimkan wakil-wakilnya ke persidangan Munir.

(26)

di negara- negara lain. Pada April 2009 mereka mengatur kunjungan bagi ibu-ibu Argentina pada Plaza de Mayo ke Jakarta dan para Ibu-ibu bergabung dengan para pembela HAM pada ziarah mingguan mereka di Istana Presiden. Dalam kunjungannya, para pembela HAM mengorganisir suatu diskusi dengan para istri dan para Ibu dari wilayah yang mana mereka telah kehilangan sanak saudara: seorang Pembela Hak Asasi Manusia dari Thailand bernama Angkhana Neelaphaijit yang suaminya seorang pengacara terkemuka, “dihi-langkan” oleh polisi; para ibu korban dari Timor-Leste; istri Munir Suciwati; dan, para istri dan para ibu korban-korban pada kasus Talang sari, kasus Tanjung Priok, kerusuhan Mei 1998, dan kekerasan di Aceh dan Papua.

Bekerja dalam Koalisi

“Memang, harus diingat bahwa persoalan perlindungan masyarakat sipil, termasuk aktivis kemanusiaan, bukan semata-mata memiliki kemampuan teknis untuk menjaga diri dari usaha teror terhadap aktivis, melainkan apa yang dibutuhkan adalah suatu usaha yang melibatkan orang sebanyak mungkin”

—Hendardi, pembela HAM senior39

Sebagaimana di Zimbabwe dan Kolombia, NGO mengkhususkan dan menyampaikan kasus satu sama lain. Seperti contoh, LBH, PBHI dan KontraS mengambil alih kasus korban pelanggaran Hak Asasi Manusia, Pulih Foundation menyediakan penyuluhan dan pelayanan medis dan banyak kelompok lain yang melaksanakan advokasi kebijakan. Impartial telah membawa keluar penelitian khusus tentang para pembela HAM dan menyelenggarakan konfrensi nasional bagi pembela HAM. Pertemuan pertama, pada tahun 2007 di kota kecil Puncak, yang akhirnya melaksanakan suatu proposal bagi pusat krisis regional yang dimaksud akan yang nantinya berfungsi sebagai suatu sistem darurat siaga.

Pada tahun 2009, 5 buah organisasi berkumpul bersama untuk menciptakan suatu fasilitas dukungan Pembela Hak Asasi Manusia. HRSF melaksanakan penelitian,yang ditinjau dari pengaruh Undang-Undang pada Pembela Hak Asasi Manusia dan advokasi yang layak bagi mereka. Mereka juga menandatangani MOU dengan Komisi Nasional tentang Hak Asasi Manusia yang menyetujui kerjasama pada ringkasan soal perlindungan Pembela Hak Asasi Manusia dibawah Undang-Undang, penciptaan desk HRD di komisi dan suatu buku panduan tentang perlindungan. Pada saat masih dalam tahapan-tahapan awal, fasilitas dukungan diatas bisa berfungsi seperti Somos Defensores di Kolombia, dengan menyediakan advokasi dan dukungan teknis kepada pembela HAM diseluruh Indonesia.

LSM telah membentuk koalisi isu spesifik yang berhasil dalam reaksi pada kasus-kasus khusus atau Undang-Undang yang tertunda dengan terlibatnya Hak Asasi Manusia.Beberapa contoh terakhir termasuk koalisi yang terfokus pada kasus Munir, kebebasan beragama, kebebasan berekspresi dan hal-hal lain yang menyangkut pembela HAM dan masyarakat luas.

Selama ini penting untuk mengkoordinasikan usaha advokasi dengan Pembela Hak Asasi Manusia lain, pembela HAM menekankan pentingnya membangun hubungan dengan institusi dan jaringan diluar komunitas Hak Asasi Manusia, termasuk dengan wartawan, pimpinan tradisional, komando militer maupun polisi, dan lembaga agama.

Membangun dukungan di masyarakat

Dukungan dari komunitas, walaupun di level tetangga atau masyarakat luas, juga bisa menyediakan perlindungan. Sebagai suatu usaha untuk menyusun dukungan dan pemahaman, Komnas Perempuan telah memproduksikan sebuah film untuk memperkenalkan Pembela Hak Asasi perempuan dan pekerjaan mereka.40

(27)

pendukung dari luar komunitas HAM di NTB setelah seorang pimpinan militer menuduh mereka PKI dan pemberontak. Dalam sebuah kasus korupsi dari 2006:

Di Garut, Jawa Barat, Bupatinya melakukan transfer dana negara kepada rekening bank lokal, lalu membeli sebuah rumah di kota berbeda. Karena dia berkuasa, mantan komandan militer, seorang jaksa lokal mengatakan dia tidak bisa melakukan apa. Lantas rumah seorang pengacara anti korupsi terbakar habis. Itu menjadi berkah terselubung, kebakaran tersebut, karena kejadiannya mengakibatkan dukungan dari Parpol dan organisasi lainnya. Ada tekanan luar biasa, kelompok lain mendemonstrasikan setiap hari, PNS, Mahasiswa, pemikir agama, semua turun, Bupati yang bersalah tersebut dimasukkan ke penjara.

“Back-up” dan dukungan dari pihak berwenang

Proses demokratisasi telah membuat institusi pemerintah lebih cepat bereaksi. Pembela HAM bisa merujuk ke Parlemen, komisioner nasional, dan lembaga lain buat perlindungan. Pilihan-pilihan tersebut tersedia, walau sebelum masa transisi, DPR menjadi mandiri, komisi-komisi baru ditambah dan polisi bersikap lebih reformis. Salah satu peserta di sebuah seminar mengatakan:

Pada saat transisi sekarang, pemerintah mencoba untuk membuka dialog dengan masyarakat sipil dan menerima demokratisasi, walau pada takaran terbatas. Dalam situasi sekarang ini, memang ada kesempatan bagi pembela HAM untuk melakukan komunikasi dengan pemerintah. Seperti contoh, keluarga korban yang hilang baru mampir ke kantor pengacara Jendral. Walaupun posisi yang kami berikan pada mereka, tidak juga diterima, komunikasi antara jaksa dan korban-korban bisa maju.

Walaupun begitu, mekanisme ini tidak konsekuen dengan reaksi mereka dan tidak disesuaikan bagi para pembela HAM. Celah-celah ini diinspirasi oleh usaha-usaha akhir untuk menciptakan mekanisme-mekanisme sepertidesk-deskHRD di komisi HAM nasional. Komisi negara termasuk Komnas HAM (National Commission of Human Rights), Komisi Nasional tentang kekerasan terhadap Perempuan (National Commission on Violence against Women) dan Lembaga Perlindungan Saksi Korban baru (Witness Protection Commission). Komisi Nasional mengenai kekerasan melawan Perempuan bekerja dengan jaringan perempuan pembela HAM dan mengintegrasi sumber perhatian keamanan untuk pembela HAM kedalam metodologi penelitian dan pelaporan, lebih sering di wilayah konflik.

Komnas HAM bekerja dengan korban pelanggaran HAM berat dan ada dalam diskusi dengan kelompok HAM tentang penciptaan suatudeskyang terfokus pada pembela HAM. Pembela HAM melayani kedua komisioner dan staf, dan komisi itu sendiri telah menjadi target penyerangan. Pada Maret 2002, ratusan anggota salah satu kelompok yang bernama Forum Betawi Rempug, menyerang Aktivis miskin perkotaan dihalaman komisi sambil mereka protes masalah pengusiran. Selain itu, staf Komnas HAM di Papua telah menerima berbagai ancaman atas nyawa mereka. Dalam satu peristiwa pada Maret 2006, ketika komisinya sedang menginvestigasi protes dengan kekerasan melawan tambang Freeport dan penangkapan sejumlah orang Papua, polisi lokal memberikan mereka peringatan,:” kalau mereka melanjutkan investigasinya, polisinya akan bunuh mereka.”41

(28)

Dalam operasi semenjak Maret 2009, komisinya menerima 71 subsidi sebelum bulan Oktober pada tahun tersebut, termasuk dari beberapa pembela HAM. Badan tersebut masih dibatasi oleh keterbatasan pegawai, anggaran, dan kerja sama dari lembaga lain seperti kepolisian.

Semenjak polisi dipisahkan dari pihak militer pada tahun 1999, polisi telah mengambil berbagai langkah guna meningkatkan rasa hormat mereka bagi HAM. Mereka telah menciptakan suatu Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) yang bisa mengurus berbagai keluhan, dan pada tahun 2009 mengeluarkan peraturan tentang penggunaan kekuatan keamanan yang layak.42

Walau demikian ,Pembela Hak Asasi Manusia, tetap prihatin bahwa perubahan ini tidak akan menetes sampai derajat lebih rendah, tetap mengarah pada pelanggaran dan penghalangan terhadap penegakan hukum. Sementara itu banyak pembela HAM melaporkan ancaman dan intimidasi kepada aparat polisi, kebanyakan diantara mereka tidak puas dengan reaksi mereka. Kebanyakan pembela HAM yang dikonsultasikan bagi laporan ini menjelaskan ketidaksiagaan pada pihak polisi setelah ancaman atau serangan dilaporkan.

Dalam sebuah contoh, seorang advokat LGBT yang melaporkan ancaman pembunuhan melalui HP hanya diberitahu oleh pihak polisi untuk mengganti nomor telepon genggamnya. Ketika organisasi anti korupsi meminta perlindungan beberapa tahun lalu, polisi menjawab bahwa akan memakan waktu seminggu untuk memproses laporan mereka. Salah satu pembela HAM pun berpikir,” Bagaimana saya bisa lapor pada polisi jika merekalah pelakunya? kami malah diteror dengan lebih keras lagi. Mungkindi negeri lainkami bisa bergantung kepada polisi.” Seorang aktivis hak kebebasan beragama mengatakan,” Kami melaporkan semua keluhan kepada polisi, tapi tidak berguna. Mereka lemah dan tidak mengerti. Mereka bertanya, ‘Kenapa kamu mendukung Ahmadiyah?’ Tapi polisi tidak boleh memihak. Pertanyaannya bukan ‘apa Islam atau bukan,’ tapi apa benar atau tidak.’”

Walau demikian, banyak pembela HAM di seminar-seminar di Jakarta mengakui pentingnya bekerja sama dengan polisi pada tingkat lokal maupun nasional agar peraturan hukum dan regulasi kepolisian lebih berpengaruh. Dalam sebuah contoh belum lama ini, untuk membangun hubungan baik antara LSM dan polisi, KontraS bekerja sama dengan kepolisian untuk membangun kantor pembuatan SIM sementara di depan kantor mereka.Masyarakat bisa mendapatkan SIM tanpa bersandar pada ‘suap’, sambil polisi menguatkan jadi diri mereka pada masyarakat. Usaha satu hari tersebut membantu menyusun hubungan baik yang barangkali akan bermanfaat dalam menghindari persoalan antara polisi dan komunitas sekitar.

Beberapa pembela HAM memiliki hubungan dengan legislator yang bisa mengakses informasi, menulis surat resmi atau menyelenggarakan sidang soal pembela HAM. Sidang pada tahap awal kasus Munir membantu untuk mendorong kasus tersebut agar maju. Salah satu legislator memberitahu Front Line: “Tekanan kadang-kadang berhasil. Di Riau seorang aktivis tani disiksa. Kami kontak polisi lantas dia di bebaskan. Tapi pada kasus lain mereka hanya mengganti komandan tapi aktivisnya tidak dibebaskan.”

Para pembela HAM, antara langsung atau melalui rekan di Jakarta, juga bersandar pada jalur-jalur tidak resmi, seperti contoh dengan melalui polisi senior dan petugas militer untuk mendorong kesatuan keamanan untuk menghentikan pelecehannya.

Evakuasi

Gambar

TABEL ISIDaftar singkatan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

Referensi

Dokumen terkait

indikator tegangan (voltage) stabil; Pemeliharaan jaringan tapi listrik tetap nyala; indikator kWh meter diukur dengan akurat; Material pemeliharaan yang bermutu; Biaya pasang

Mengingat peran lembaga bimbingan belajar dalam upaya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, maka diperlukan dukungan dari berbagai pihak salah satunya adalah.. Tim IbM UMK guna

Faktor - faktor dari kualitas pelayanan yang dapat memberikan kepuasan bagi wisatawan adalah bukti langsung (berupa fasilitas fisik, perlengkapan, dan sarana komunikasai,

Hak Pelaku Usaha untuk menerima pembayaran sesuai dengan kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan, menunjukkan bahwa pelaku usaha tidak

Kemudian nilai kontrak proyek baru hingga akhir tahun 2018 adalah Rp 62 miliar yang diisi mayoritas oleh minyak dan gas sebanyak 70%..  Selain itu INTA pun memiliki

Teknik data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan teknik analisis isi.Jabrohim (2003:5-6) mengemukakan teknik analisis ini adalah teknik yang berusaha menganalisis

Melalui apa yang dirasakan konsumen mengenai value atau nilai yang akan didapatkan dari produk air minum dalam kemasan botol kaca tersebut, maka. akan mempengaruhi keinginan