• Tidak ada hasil yang ditemukan

Resensi buku Peradilan Agama dalam Polit (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Resensi buku Peradilan Agama dalam Polit (1)"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

PERADILAN AGAMA DALAM POLITIK HUKUM DI

INDONESIA

Dari Otoriter Konservatif menuju Konfigurasi Demokratis-Responsif

BIBLIOGRAFI

Diajukan guna memenuhi tugas

dalam mata kuliah Peradilan dan Hukum Acara Islam

Disusun Oleh :

Fariq Al Faruqie

12350011 / AS-a

(085776422025)

Dosen :

Drs. Malik Ibrahim, M.Ag.

AL-AHWAL ASY-SYAKHSIYYAH

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA

YOGYAKARTA

(2)

A. IDENTITAS BUKU

Judul Buku : Peradilan Agama dalam Politik Hukum di Indonesia

Penulis : Abdul Halim

Cetakan : I ( pertama )

Penerbit : PT. Raja Grafindo Persada

Tahun Penerbitan : 2000

B. Sistematika

Buku karangan Abdul Halim ini didahului dengan satu tulisan yang diberi tema dengan Politik Islam Penguasa sebuah Pengantar ke Politik Hukum Islam di Indonesia. Setelah itu Pendahuluan yang mengetengahkan hubungan institusi keagamaan dengan dinamika politik, di susul dengan teoritisasi politik hukum yang menjelaskan konfigurasi politik dan karakter produk hukum. Uraian ini menjelaskan kerangka piker dalam melihat konfigurasi politik dan produk hukum. Diikuti pula dengan mengedepankan perkembangan studi politik hukum Islam di Indonesia, pendekatan studi dan susunan buku.

Pada Bab II mengedepankan perkembangan Peradilan Agama yang ditulis dengan subbab Peradilan Agama dalam masyarakat muslim Indonesia, istilah-istilah Peradilan Agama, perkembangan Peradilan Agama di masa kesultanan Islam, Peradilan Agama masa kolonial Belanda, Peradilan Agama masa pendudukan Jepang dan Peradilan Agama pasca kemerdekaan.

Bab III menjelaskan konfigurasi politik rezim Soeharto dengan menjelaskan selintas rezim Orde Baru, perspektif pembangunan hukum, perkembangan konfigurasi politik dan identifikasi perpolitikan Orde Baru.

(3)

Pasca UU Nomor 35 Tahun 1999. Sedangkan sebagai penutup tulisan pada Bab V dikedepanan tema menuju konfigurasi politik demokratis-responsif.

C. Pendahuluan

Hukum Islam dan politik adalah dua sisi yang tidak bisa dipisahkan dalam suatu masyarakat Islam. Hukum Islam tanpa didukung oleh politik sulit digali (Ijtiihad istambathi) dan diterapkan (Ijtihad Tathbiqy). Politik yang mengabaikan hukum Islam akan mengakibatkan kekacauan dalam masyarakat. Semakin baik hubungan Islam dan politik semakin besar peluang hukum Islam diaktualisasikan, dan semakin renggang hubungan Islam dan politik, maka semakin kecil peluang hukum Islam diterapkan.

Saat umat Islam kuat secara politik, dengan City State Madinah1,

hukum Islam dan politik merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan, meski tanpa menyebut secara tegas hukum Islam sebagai pedoman Negara. Negara Madinah dengan Piagam Madinah (Shahifah), malah tidak disebut sebagai Negara Islam. Namun, konstitusi Negara tersebut, sanggup mengakomodasikan seluruh kepentingan masyarakat majemuk. Konstitusi Madinah membangun etika kehidupan masyarakat yang cukup modern dengan prinsip bertetangga baik, saling membantu, membela yang tertindas, saling konsultasi / musyawarah dalam urusan bersama dan kebebasan beragama. Negara Madinah membuktikan, kepentingan umat Islam dan non-Muslim terpenuhi oleh Negara tersebut tanpa ada deskriminasi terhadap golongan tertentu. Keberhasilan Nabi Muhammad SAW ditopang oleh tiga kata kunci, yaitu konstitusi yang baik dan pemerintahan legitimate serta pelaksanaan hukum yang baik.

Suatu institusi keagamaan atau kemasyarakatan sulit dipahami tanpa mengaitkan dengan perkembangan situasi social politikyang berkembang di tengah-tengah masyarakat. Karena setting social politk ikut memberikan bentuk dan warna bagi kelangsungan hidup suatu institute. Hal yang sama juga ikut berlaku dan berpengaruh terhadap pranata social lainnya.

(4)

Perjalanan sejarah lembaga keagamaan, khususnya peradilan agama Islam di Indonesia memperlihatkan bahwa setiap rangkaian historis secara terus-menerus ditandai dengan pergumulan antara politik dan institusi hukum islam, yang terkadang memihak dan menguntungkan kelangsungan institusi ini dan tidak jarangpula merugikannya.maka yang terjadi adalah gelombang pasang surut institusi peradilan islam (al-Qadla fi al-Islam) di Indonesia, seiring dengan pasang surut peran politik umat Islam.

Tarik menarik antara kepentingan politik penguasa dan kepentingan umat islam tercipta disebabkan dua kepentingan yang berbeda. Di satu pihak motivasi politik pemerintah yang ada menciptakan Legal Policy yang mengedepankan nilai-nilai sekularisme, dengan dalih hukum islam tidak relevan dengan kondisi social serta pertimbangan pluralisme yang terdapat di tengah-tengah masyarakat. Sehingga segala kebijakan politik hukum dibentuk dan diarahkan kepada pengurangan peran hukum agama.

D. Deskripsi Buku

1. Bab I

Kekuasaan kehakiman di Indonesia dilakukan oleh Pengadilan dalam lingkungan: 1Peradilan Umum, 2Peradilan Agama, 3Peradilan

Militer, dan 4Peradilan Tata Usaha Negara2.

Peradilan Agama adalah kekuasaan Negara dalam menerima, memeriksa, mengadili, memutus, dan menyeleseikan perkara-perkara tertentu antara orang-orang yang beragama Islam untuk menegakkan hukum dan keadilan.3 Perkara-perkara tertentu ini adalah perkawinan,

kewarisan, wasiat, hibah, ekonomi syari’ah, wakaf dan sadaqah yang dilakukan berdasarkan hukum islam.4

Politik hukum adalah kebijakan pemerintah yang akan atau telah dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah Indonesia. Adapun konfigurasi politik dalam kajian ini adalah sebagai susunan atau konstelasi

2Undang-undang Nomor 14 tahun 1970 Pasal 10 ayat (1).

3 Cik Hasan Bisri, Peradilan Islam dalam Tatanan Masyarakat Indonesia, (Bandung: Rosdakarya, 1997), hlm. 36.

(5)

kekuatan politik yang secara dikhotomis dibagi atas dua konsep, yaitu konfigurasi politik demokratis dan konfigurasi politik otoriter.5

Dalam menentukan karakter produk hukum masa Orde Baru yang dijadikan sebagai studi kasus pada kajian ini meminjam teori yang digunakan oleh Moh. Mahfud. Ada dua karakter produk hukum:

a. Produk Hukum Responsif / Populistik

Produk hukum responsive / populistik adalah produk hukum yang mencerminkan rasa keadilan dan memenuhi harapan masyarakat.

b. Produk Hukum Konservatif / Ortodoks / Elitis

Produk hukum yang isinya lebih mencerminkan visi social elite politik, lebih mencerminkan keinginan pemerintah, bersifat positivis instrumentalis, yakni menjadi alat pelaksana ideology dan program Negara. Berlawanan dengan hukum responsive, hukum ortodoks lebih tertutup terhadap tuntutan-tuntutan kelompok maupun individu-individu dalam masyarakat. Dalam pembuatannya peranan dan partisipasi relative kecil.

2. Bab II

Peradilan adalah salah satu pranata (institusi) dalam memenuhi hajat hidup anggota masyarakat untuk menegakkan hukum dan keadilan. Sedang pengadilan merupakan satuan organisasi (institute) yang menyelenggarakan penegak hukum dan keadilan tersebut.6

Peradilan dalam perkembangan khazanah hukum islam (fiqh) menggunakan istilah al-qadla’ untuk peradilan, mahkamah al-qadla’ bagi pengadilan, dan qadli untuk hakim.

Kualifikasi tertentu dan syarat-syarat minimal yang harus ada pada seorang hakim adalah; Pertama, memiliki pengetahuan tentang istimbath tathbiqy dan bagaimana menerapkan produk hukum syar’i serta mengetahui adat kebiasaan masyarakat. Kedua, hakim harus bisa mengambil sikap menentukan (tarjih), bukti mana dan argumentasi yang kuat diantara bukti-bukti yang diajukan di muka persidangan oleh kedua

5 Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 1998), hlm. 9.

(6)

belah pihak yang berperkara. Ketiga, mengetahui dasar-dasar pertimbangan yang digunakan dalam menetapkan putusan.

Sebelum ada penyeragaman nama, peradilan agama sering pula disebut dengan Mahkamah Syar’iyah, artinya pengadilan atau mahkamah yang menyeleseikan perselisihan hukum agama atau syara’.7 Istilah

Peradilan Agama secara tegas dinyatakan dalam Undang-undang Nomor 7 tahun 1989; “bahwa Peradilan Agama adalah peradilan bagi orang-orang yang beragama islam”.8

Untuk memberi gambaran tentang posisi lembaga peradilan agama di Indonesia orang harus memperhatikan masalah hukum Islam di Indonesia, sedikitnya pada tiga masa penting yaitu masa sebelum penjajahan yakni masa kesultanan Islam, masa penjajahan, dan masa kemerdekaan .

Sebenarnya sebelum Islam dating ke Indonesia, di negeri ini telah dijumpai dua macam peradilan, yakni Peradilan Pradata dan Peradilan Padu. Peradilan pradata mengurus masalah-masalah perkara yang menjadi urusan raja sedangka peradilan padu mengurus masalah yang tidak menjadi wewenang raja.9 Peradilan Agama dalam bentuk yang dikenal

sekarang ini merupakan mata rantai tidak terputus dari sejarah masuknya agama islam.10

a. Masa Kesultanan Islam

Bersamaan dengan perkembangan masyarakat Islam, Indonesia terdiri dari sejumlah kerajaan Islam. Maka dengan penerimaan Islam dalam kerajaan, otomatis para hakim yang melaksanakan keadilan diangkat oleh sultan atau imam.

Pada periode ini pihak kerajaan Islam mempunyai pembantu jabatan agama dalam system pemerintahannya. Misalnya di tingkat desa ada jabatan agama yang disebut Kaum, Kayim, Modin, dan Amil.

Ditingkat kecamatan disebut Penghulu Naib. Ditingkat kabupaten ada 7 Zaini Ahmad Noeh, Sejarah Singkat Peradilan Agama Islam di Indonesia, (Surabaya: Bina Ilmu, 1983), hlm. 15.

8 Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 Pasal 1 ayat (1).

9 Tresna, Peradilan di Indonesia dari Abad ke Abad, (Pradnya Paramita, 1977), hlm. 17.

10 Sharon Shiddieque, Tradisi dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara,

(7)

Penghulu Seda dan tingkat kerajaan disebut Penghulu Agung yang berfungsi sebagai hakim atau qadli yang dibantu beberapa penasihat yang kemudian disebut Pengadilan Surambi.

b. Masa Kolonial Belanda

Sebelum Belanda melancarkan politik hukum (Islam Politiek) di Indonesia, Islam mendapat tempat dalam berbagai kehidupan masyarakat muslim di belahan nusantara ini. Islam menjadi pilihan bagi masyarakat karena secara teologis ajarannya memberikan keyakinan dan kedamaian bagi penganutnya. Namun, keadaan ini kemudian menjadi terganggu dengan munculnya kolonialisme Barat yang membawa misi tertentu, mulai dari misi dagang, politik bahkan sampai misi kristenisasi.

Intervensi kolonial Belanda di akhir abad ke-16 ditandai dengan kedatangan organisasi dagang Belanda VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie) tahun 1596 di Banten. Misi VOC sebagai perpanjangan tangan pemerintah Belanda mempunyai dua fungsi,

Pertama, sebagai pedagang dan kedua sebagai badan pemerintah. Sebagai upaya pemantapan pelaksanaan kedua fungsi tersebut, VOC menggunakan hukum dan peraturan perundang-undangan Belanda. Di daerah-daerah yang kemudian satu persatu dapat dikuasai colonial akhirnya membentuk badan-badan peradilan. Upaya ini tidak secara mulus berjalan, dan dalam penerapannya mengalami hambatan.

Atas dassar berbagai pertimbangan, VOC membiarkan lembaga-lembaga asli yang ada dalam masyarakat untuk berjalan sebagaimana sebelimnya. Langkah ini diambil sebagai upaya menghindari perlawanan dari masyarakat setempat. Konsekuensinya VOC terpaksa memperhatikan hukum yang hidup dan diikuti oleh rakyat dalam kehidupan sehari-hari. Belanda tetap mengakui apa yang telah berlaku sejak berdirinya kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara, seperti Hukum Keluarga Islam, perkawinan, waris, dan wakaf.11

(8)

c. Masa Jepang

Dalam aspek perkembangan hukum, masa penjajahan Jepang (1942-1945) tidak terjadi perubahan yang mendasar tentang posisi pengadilan agama. Karena berdasarkan peraturan yang dikeluarkan Pemerintah Bala Tentara Jepang melalui dekritnya No.1 tahun 1942 menyatakan, semua badan pemerintahan beserta wewenangnya, semua undang-undang, tata hukum dan semua peraturan dari pemerintahan yang lama dianggap masih berlaku dalam waktu yang tidak ditentukan selama tidak bertentangan dengan peraturan Pemerintah Bala Tentara Jepang.

Pada masa pendudukan Jepang, meski belum sempat diterapkan, kedudukan peradilan agama pernah terancam yaitu tatkala pada akhir Januari 1945 pemerintahan Bala Tentara Jepang mengajukan pertanyaan kepada Dewan Pertimbangan Agung dalam rangka maksud Jepang akan memberikan kemerdekaaan kepada bangsa Indonesia, yaitu bagaimana sikap Dewan ini terhadap susunan penghulu dan cara mengurus kas masjid, dalam hubungannya dengan kedudukan agama dalam Negara Indonesia Merdeka kelak. Pada 14 April 1945 Dewan memberi jawaban sebagai berikut; dalam Negara baru yang memisahkan urusan Negara dengan urusan agama tidak perlu mengadakan pengadilan agama sebagai pengadilan istimewa, untuk mengadili urusan seseorang yang bersangkut paut dengan agamanya cukup segala perkara diserahkan kepada pengadilan biasa yang dapat minta pertimbangan seorang ahli agama.12

Selain itu pada masa ini ahli-ahli hukum Indonesia memikirkan untuk menghapus pengadilan agama. Pemikiran ini muncul dari Soepomo, penasihat departemen kehakiman ketika itu dan ahli hukum adat. Tetapi usul Soepomo dalam suatu laporan tentang pengadilan agama itu diabaikan oleh Jepang, karena khawatir akan menimbulkan

(9)

protes dari umat Islam.13 Jepang lebih memilih untuk tidak ikut campur

soal urusan agama umat. d. Masa Pasca Kemerdekaan

Setelah Indonesia merdeka 17 Agustus 1945, atas usul Menteri Agama yang disetujui Menteri Kehakiman, pemerintah menetapkan bahwa Pengadilan Agama diserahkan dari kekuasaan Kementerian Kehakiman kepada Kementerian Agama dengan ketetapan pemerintah nomor 5/SD tanggal 25 Maret 1946.

Sebelum merdeka pegawai pengadilan agama dan hakim tidak mendapat gaji tetap dan honorarium dari pemerintah, maka setelah merdeka anggaran belanja pengadilan agama disediakan oleh pemerintah. Sejalan dengan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945, dasar dari wewenang kekuasaan peradilan agama masih tetap berlaku sebagaimana sebelum proklamasi.

Selama revolusi fisik, pada umumnya tidak ada perubahan tentang dasar peraturan peradilan agama secara principal, selain usaha-usaha pelestarian peradilan agama itu sendiri. Akan tetapi terdapat beberapa hal yang perlu dicermati pada masa revolusi fisik ini, yaitu : - Pertama, keluarnya UU Nomor 22 tahun 1946 tentang pencatatan

nikah, talak, dan rujuk menggantikan ordonansi NTR dahulu. - Kedua, keluarnya penetapan Menteri Agama Nomor 6 tahun 1947

tentang penetapan formasi pengadilan agama terpisah dari penghulu Kabupaten, dengan kata lain pemisahan tugas antara Penghulu Kabupaten sebagai kepala Pegawai Pencatat Nikah dan urusan kepenghuluan lainnya, dengan penghulu hakim sebagai ketua pengadilan agama, juga sebagai Qadi Hakim Syar’i.

- Ketiga, keluarnya UU Nomor 19 tahun 1948 yang tidak pernah dinyatakan berlaku. Isinya antara lain dihapuskannya susunan pengadilan agama yang telah ada selama ini, tetapi materi hukum yang menjadi wewenangnya ditampung dan dimasukkan di pengadilan negeri yang secara istimewa diputus oleh dua orang

(10)

hakim ahli agama disamping hakim yang beragama islam sebagai ketua.

- Keempat, keputusan Recomba Jawa Barat NO. Rec. WJ 229/72 tanggal 2 April 1948 dan peraturan yang tercantum dalam

Javaassche Courant 1946 No. 32 dan 39 tahun 1948 nomor 25, dan 1949 No. 29 dan 65 menentukan bahwa di daerah-daerah yang dikuasai tentara sekutu dan Belanda, instansi yang dinamakan

Priesterraad diubah menjadi Penghulu Gerecht.

3. Bab III

Orde Baru adalah tatanan pemerintahan Negara Republik Indonesia yang berkuasa sejak tahun 1966 sampai Mei 1998 di bawah pemerintahan Soeharto, setelah keruntuhan rezim Soekarno dengan demikrasi terpimpinnya yang bercorak otoritarian.14 Sebagai tonggak awal kelahiran

orde baru dapat dikatakan dimulai dengan adanya penyerahan Surat Perintah 11 Maret 1966 (supersemar) kepada Soeharto oleh Presiden pertama Soekarno.

Orde Baru muncul dengan mengibarkan semangat, melahirkan semngat baru dan tekad yang baru pula. Pemerintahan ini menobatkan diri sebagai pengoreksi total terhadap kesalahan, kegagalan, keburukan rezim orde lama yang telah melakukan penyelewengan dan melanggar konstitusi UUD 1945 dan Pancasila. Tekad ini ditegaskan Soeharto selaku pejabat Presiden dihadapan siding pleno Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DRD-GR) pada awal lahirnya Orde Baru, yang berisi

mempertahankan, memurnikan wujud dan pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945.

Pada awal masa Orde Baru merupakan masa-masa yang sangat sulit bagi umat Islam, dimana Islam dianggap sebagai kekuatan yang membahayakan stabilitas dan keamanan Negara. Meski pada paruh terakhir terjadi akomodasi antara Islam dan Negara.

Didalam penjelasan UUD 1945 digunakan istilah Rechsstaat,

namun konsep Rechtsstaat yang dianut oleh Negara Indonesia bukan

(11)

konsep Negara Barat (Eropa Continental) dan pula konsep rule of law dari Anglo-Saxon, melankan konsep yang bercirikan: 1adanya hubungan yang

erat antara agama dan Negara, 2bertumpu pada Ketuhanan Yang Maha Esa, 3kebebasan agama dalam arti positif, 4ateisme tidk dibenarkan dan

komunisme dilarang, serta 5asas kkeluargaan dan kerukunan. Sementara

Negara hukum yang dimaksud mempunyai unsur pokok yaitu Pancasila, MPR, system konstitusi, persamaan dan peradilan bebas.15

Adapun model-model perpilitikan yang ada pada masa rezim pemerintahan Orde Baru adalah sebagai berikut:

a. Beamtenstaat dan Negara Pasca Kolonial b. Politik Birokratis

c. Patrimonialisme Jawa d. Korporatisme

e. Rezim Otoriter Birokrat f. Paham Integralistik

4. Bab IV

Indonesia adalah wilayah yang dihuni berbagai kelompok etnik, social, agama, dan kultur yang masing-masingnya mempunyai tanggung jawab moral untuk mempertahankan norma dan pandangan hidup mereka (Bhineka Tunggal Ika). Ikatan dalam satu kesatuan yang diikat oleh semboyan itu tidak berarti secara pemikiran dan ideologis mudah dipersatukan, terutama persoalan pergumulan pemikiran hukum di Indonesia.

Pluralisme dan dualisme hukum adalah permasalahan yang sering menjadi ganjalan bagi reformasi hukum. Masih kuatnya tingkat ketergantungan pada produk hukum terlihat dari beberapa peraturan perundangan yang masih diambil dari warisan penjajahan Belanda. Konsekuensi dari sikap ini dibuktikan dengan terjadinya pengelompokan hukum yakni: 1adanya kelompok pembela hukum adat, 2kelompok

pembela hukum Islam, dan 3kelompok pembela warisan hukum Belanda.16

15 Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum,(Jakarta: Bulan Bintang, 1991), hlm. 38-44.

(12)

Upaya pencapaian konfigurasi politik yang demokratis dengan produk hukum yang responsive, menjadi suatu keharusan untuk menciptakan situasi yang demokratis dengan melibatkan banyak kelompok masyarakat, partai politik, dan kelompok lainnya dalam masyarakat. Dalam kerangka politik hukum, maka perubahan konfigurasi politik yang responsive terhadap urusan lembaga keagamaan seperti Peradilan Agama sangat tergantung dari kemauan politik pemerintah serta peran akitif dari wakil-wakil rakyat di Dewan Perwakilan Rakyat.

Adanya konsep Negara kesatuan mendorong para pemimpin Indonesia semenjak awal kemerdekaan cenderung pada usaha unifikasi hukum. Dengan unifikasi mempermudah usaha menuju modernisasi. Dalam realitasnya, berkaitan dengan kebutuhan lain, yakni ingin menyingkirkan spirit hukum kolonial. Akan tetapi menyingkirkan secara total hukum warisan kolonial merupakan pekerjaan yang berat, bagi suatu Negara yang majemuk, seperti Negara Indonesia.

Di Indonesia, akomodasi antara Negara dan Islam dapat dilihat dalam kasus Pengadilan Agama. Semenjak kemerdekaan, evolusi system pengadian ini sedikit banyak telah merefleksikan hasil pergumulan antara kelompok nasionalis, yang mewakili kekuatan Negara, dan kelompok muslim. Melalui pemikiran intelektualisme Islam pada tahun 1970-an, akhirnya muncul kesepahaman antara Negara dan Islam. Maka pada hubungan akomodatif inilah kebijakan politik hukum Islam Orde Baru semakin aspiratif, dengan lahirnya Undang-undang Nomor 7 tahun 1989.

Selama periode pemerintahan Orde Baru telah melahirkan beberapa produk hukum dalam bentuk Undang-undang yang berhubungan dengan eksistensi Peradilan Agama di Indonesia, diantaranya yaitu:

- Undang-undang Nomor 14 tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.

- Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. - Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama.

(13)

- Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 1977

- Instruksi Presiden Nomor 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam

Dalam perspektif produk hukum, terdapat ada dua proses politik dalam suatu masyarakat untuk pembangunan hukum17, yaitu: Pertama,

produk hukum yang dihasilkan melalui kerangka strategi pembangunan hukum yang dapat disebut ortodoks, dan demikian hukum menjadi tanggap terhadap tuntutan-tuntutan kebutuhan masyarakat. Kedua, produk hukum yang dihasilkan juga bersifat opresif karena secara sepihak hukum memantulkan persepsi social para pengambil kebijakan.

Menurut Munawir Sjadzali setidaknya ada tiga mazhab pemahaman terhadap hubungan antara agama dan Negara,18 yaitu:

- Pertama, aliran berpendirian bahwa agama serba sempurna dan tidak terpisah dari Negara.

- Kedua, berpendirian bahwa Islam adalah agama dalam pengertian barat, yang tidak ada hubungannyadengan urusan agama.

- Ketiga, menolak pendapat bahwa Islam adalah suatu agama yang serba lengkap dan bahwa dalam islam terdapat system ketatanegaraan. Aliran ini juga menolak pendapat mazhab kedua diatas. Mazhab ini berpendirian bahwa dalam Islam terdapat seperangka tata nilai etika bagi kehidupan bernegara.

Implikasi dari tiga mazhab pemikiran diatas, maka menurut Ahmad Fedyani Saufuddin, ada tiga kemungkinan scenario politik keagamaan, yaitu19:

- Agama dan Negara terpisah satu sama lain.

17 Abdul Karim G. Nusantara, Politik Hukum Indonesia, (Jakarta: Yayasan LBM, 1988), hlm. 37-38.

18 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara Ajaran,Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta: UI-Press, 1993), hlm. 1-2.

(14)

- Agama dan Negara terikat satu sama lain (Integralistik) dalam pengertian bahwa agama memberi corak dominan atas Negara.

- Agama ditempatkan dalam suatu system Negara yang mengutamakan harmoni dan keseimbangan.

5. Bab V

Studi ini berupaya membuktikan bahwa hubungan antara konfigurasi politik dan karakter produk hukum menghasilakn tesis bahwa setiap produk hukum merupakan pencerminan dari konfigurasi politik yang melahirkannya. Karakter produk hukum sangat ditentukan oleh visi politik yang berkembang di tengah-tengah masyarakat. Semakin demokratis suatu rezim, semakin responsive dan aspiratif produk hukum yang dihasilkan dan sebaliknya. Karena itu, setiap perundangan dan hukum yang berkarakter responsive atau populistik seirama dengan tingkat pelaksanaan demokratis dan penghargaan terhadap upaya demokratisasi dalam kehidupan politik.

Sejarah konfigurasi politik di Indonesia memperlihatkan pasang surut dan pasang naik secara bergantian antara demokratis dan otoriter atau demokratis dan otoriterisme muncul secara bergantian dengan kecenderungan linear. Tarik menarik konfigurasi politik dengan karakter produk hukum yang berkarakter responsive dan produk hukum yang berkarakter konservatif dengan kecenderungan yang sama.

E. Sasaran Pembaca

Adapun yang menjadi segmentasi / sasaran pembaca dari buku ini secara khusus adalah orang-orang Fakultas Hukum yang terdiri dari mahasiswa dan dosen, advokat, hakim, maupun jaksa. Dan secara umum ditujkan kepada msyarakat umum guna menambah wawasan terkait Peradilan Agama dalam politik Hukum di Indonesia.

F. Kelebihan Buku

(15)

1. Telah tersusun secara sistematis 2. Bahasanya mudah dimengerti 3. Penjelasannya sangat rinci

4. Terdapat lampiran-lampiran terkait Undang-undang yang berhubungan dengan pembahasan dalam buku.

G. Kekurangan Buku

Tiada gading yang tak retak, begitu pula tidak ada karya yang tidak memiliki kekurangan. Maka kekurangan yang penyusun dapatkan dari buku karangan Abdul Halim ini diantaranya adalah sebagai berikut:

1. Tidak adanya indeks terkait kata-kata yang tidak dapat dimengerti secara seketika.

2. Kurangnya memberikan pemahaman bagi pembaca khususnya para pemula sehingga pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang tidak tersampaikan pada pembaca.

H. Kritik

Berdasarkan dari kekurangan diatas maka penyusun memberikan saran guna memberikan dampak positif bagi kita semua di waktu yang akan datang, diantaranya adalah sebagai berikut:

1. Memberikan indeks dalam buku sehingga mempermudah pembaca dalam memahami kata-kata yang sulit dimengerti

2. Dalam memberikan pemahaman sekiranya diperhatikan juga bahwa tidak semua yang membaca buku ini adalah orang yang berwawasan melainkan orang awampun (pemula) juga membaca buku ini.

I. Refrensi

Ali, Mohammad Daud, Kedudukan Islam, Jakarta: LP3ES, 1988.

Azhary, Muhammad Tahir, Negara Hukum,Jakarta: Bulan Bintang, 1991.

Bisri, Cik Hasan, Peradilan Islam dalam Tatanan Masyarakat Indonesia,

Bandung: Rosdakarya, 1997.

Haikal, Muhammam Husain, Sejarah Hidup Muhammad, Jakarta: Pustaka Jaya dan Tintamas, 1982.

(16)

Noeh, Zaini Ahmad, Sejarah Singkat Peradilan Agama Islam di Indonesia,

Surabaya: Bina Ilmu, 1983.

Noer, Deliar, Administrasi Islam di Indonesia, Jakarta: Rajawali Press, 1983. Nusantara, Abdul Karim G, Politik Hukum Indonesia, Jakarta: Yayasan LBM,

1988.

Sabrie, Zuffran, Peradilan Agama di Indonesia, Jakarta: Departemen Agama RI Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, 1999.

Shiddieque, Sharon, Tradisi dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara, Jakarta: LP3ES, 1989.

Sjadzali, Munawir, Islam dan Tata Negara Ajaran,Sejarah dan Pemikiran,

Jakarta: UI-Press, 1993.

Subekti, Law in Indonesia, Jakarta: Yayasan Proklamasi Center for Strategic and International Studies, 1982.

Tresna, Peradilan di Indonesia dari Abad ke Abad, Pradnya Paramita, 1977. Undang-undang Nomor 14 tahun 1970

Referensi

Dokumen terkait

Sesuai dengan Peraturan Bupati Jombang Nomor 15 Tahun 2009 tentang Tugas Pokok dan Fungsi Kantor Ketahanan Pangan Kabupaten Jombang, adalah : Tugas Pokok :

Pengujian ketahanan luntur warna terhadap pencucian, keringat asam dan cahaya matahari menghasilkan nilai yang masuk dalam kategori sedang sampai tinggi (3,3-4,4 dan 5) dan pada

Implementasi Pendekatan Saintifik dalam Langkah-Langkah Pembelajaran Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti dalam Jurnal Safina.. Mahnun, Nunu Media

Hasil penelitian wawancara tersebut dapat di simpulkan bahwa dalam pemberian izin SPA di Makassar cukup optimal dalam meminimalisir tempat-tempat yang di

salina yang dihasilkan pada media penambahan limbah cair tahu dan media pupuk teknis tidak dapat dimanfaatkan sebagai sumber protein karena kadar protein tertinggi yang

Desain pencahayaan yang optimal pada ruang kelas XI IPS 2 dapat diwujudkan dengan beberapa perubahan seperti perubahan pada warna dinding yang memiliki faktor

Hubungan Tingkat Kecemasan dan Depresi dengan Prevalensi Stomatitis Aftosa Rekuren (Studi Epidemiologi pada Mahasiswa FKG Universits Jember); Lubna, 111610101008; 2015; 76

Penelitian terkait tindak tutur telah banyak dilakukan, selain Fikri Yulaehah Sabrina May Prasmadita ( 2016) juga malakukan penelitian yang berjudul “ Telaah