• Tidak ada hasil yang ditemukan

Article Text 234 1 10 20180519

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Article Text 234 1 10 20180519"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

Studi perubahan nilai budaya masyarakat etnis samawa di

kawasan tambang PT. Newmont Nusa Tenggara: Aplikasi

nilai teori

A study on the change of cultural value within Samawa etnic

group at the mining area of PT. Newmont Nusa Tenggara: An

application of theoretical value

Nuning Juniarsih

Fakultas Pertanian Universitas Mataram

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji perubahan nilai budaya masyarakat Etnis Samawa ditinjau dari aplikasi nilai teori, yaitu landasan masyarakat dalam bertindak dan berprilaku. Penelitian menggunakan metode survei yang didesain dengan model studi kasus. Objek penelitian adalah masyarakat Etnis Samawa yang berdomisili di pusat pertumbuhan, yaitu Desa Maluk dan Desa Benete. Pengumpulan data menggunakan teknik triangulasi, yaitu:dengan mengkombinasikan 4 teknik secara bersamaan, yakni: pengamatan lapang, wawancara terstruktur, wawancara mendalam dan studi pustaka. Analisis data menggunakan metode deskriptif. Data disajikan dalam bentuk tabel dan uraian-uraian penjelasan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebelum masuk proyek pertambangan, masyarakat Etnis Samawa dalam mengaplikasikan nilai teori dilandasi oleh nilai-nilai mistis sistemis, pengalaman, perasaan dan gerak intuisi; menggunakan peralatan tradisional, dan dalam melakukan kegiatan gotong royong dan tolong menolong masih menggunakan barang dan tenaga kerja (basiru) menurut kebiasaan. Setelah masuk proyek pertambangan, meskipun masih dilandasi oleh nilai mistis sistemais, tapi penyelenggaraan semakin praktis, mulai menggunakan kekuatan berfikir secara rasional dan ilmiah; peralatan semakin modern dan kegiatan gotong royong dan tolong menolong menggunakan uang atas dasar efisiensi. Perubahan-perubahan tersebut menandakan masyarakat Etnis Samawa mulai berubah dari ciri-ciri masyarakat tradisional pedesaan menuju ciri-ciri masyarakat modern perkotaan.

(2)

ABSTRACT

This study examined changes in cultural values of Samawa ethnics, as perceived from the application of theoretical values such as basic philosophy, attitude and behavior. Samawa ethnic groups living in development centers such as Maluk and Benete villages were the object of this research. Data were collected with a technical triangulation method, combining several research techniques, namely: field observation, structured interview, in-depth interview and desk study. Collected data were analyzed with descriptive statistics. The research results were, as follows. In the period before the establishment of mining project, the ethnic groups applied theoretical values which were based on systematical mystics, experience, feeling and intuition; used traditional tools, carried out the gotong royong, helped each other in daily life, used goods and labors on cultural bases. After the project, the groups applied more practical values. They used more logical and scientific values, modern utensils and efficient economic decisions. These changes in cultural values shifted the Samawa society to modern urban society, from traditional rural society.

Key Words: cultural value, theoretical value, traditional rural society, modern urban society

Pendahuluan

Perubahan sosial dan kebudayaan dalam suatu masyarakat merupakan suatu fakta yang tidak terhindarkan dan terjadi sepanjang waktu. Cepat lambatnya perubahan tersebut tergantung pada kuatnya faktor pendorong atau faktor pengham-bat yang ada dalam masyarakat itu.

Menurut Soekanto (1990) proses perubahan sosial dan kebudayaan dalam masyarakat akan didorong oleh adanya kontak dengan kebudayaan lain, adanya sistem pendidikan yang maju, semakin toleran masyarakat terhadap perbuatan yang menyimpang, terbukanya sistem lapisan masyarakat, penduduk yang semakin heterogin, adanya ketidakpuasan masyarakat terhadap bidang kehidupan tertentu, orientasi masyarakat ke masa depan dan adanya nilai bahwa manusia harus senantiasa berikhtiar untuk memperbaiki hidupnya.

Akan tetapi perubahan sosial dan kebudayaan akan dihambat bila masyarakat kurang berhubungan dengan masyarakat lain, adanya vested interests, perkembangan ilmu pengetahuan yang lambat, sikap masyarakat yang masih tradisional, adanya prasangka masyarakat terhadap hal-hal baru, kuatnya adat kebiasaan, adanya rasa takut terhadap kegoyahan integritas masyarakat, adanya hambatan-hambatan yang bersifat ideologis dan adanya nilai bahwa hidup pada hakekatnya buruk dan tidak mungkin diperbaiki (Soekanto,1990).

(3)

Karena proyek tambang ini selain membawa teknologi maju yang merubah kondisi fisik wilayah, juga mendatangkan penduduk dari berbagai daerah dan negara yang notabene kondisi sosial ekonomi dan sosial budayanya lebih maju dibandingkan masyarakat Etnis Samawa yang menjadi penduduk asli kawasan itu (PPLH Unram, 2001).

Dalam proses perubahan sosial dan budaya tersebut, ada perubahan yang dikehendaki dan ada pula perubahan yang tidak dikehendaki (Soekanto,1990). Perubahan yang dikehendaki dapat dinilai sebagai dampak positif dari kegiatan tambang itu. Sebaliknya perubahan yang tidak dikehendaki dinilai sebagai dampak negatif dari kegiatan tambang tersebut.

Untuk menghindari adanya dampak negatif, maka PT. Newmont Nusa Tenggara (PTNNT) selaku pelaksana kegiatan tambang telah melakukan berbagai pembinaan kepada masyarakat lokal (YPESB, 2000). Namun meskipun pembinaan yang dilakukan di arahkan untuk tujuan positif, akan tetapi perubahan yang terjadi tentu sangat tergantung pada nilai budaya masyarakat dalam merespon perubahan yang terjadi di kawasan itu.

Untuk melihat perubahan nilai budaya masyarakat, dalam kaitannya dengan proses modernisasi menurut Suriasumantri (2002), dapat diketahui dari perubahan masyarakat dalam mengaplikasi nilai teori, nilai sosial, nilai ekonomi, nilai kuasa (politik) dan nilai agam

Tulisan ini difokuskan untuk mendeskripsikan perubahan nilai budaya masyarakat Etnis Samawa dalam mengaplikasikan nilai teori sejak sebelum sampai setelah masuknya proyek pertambangan PT NNT di Kabupaten Sumbawa Barat

Metode penelitian

Penelitian ini menggunakan metode survei (Singarimbun dan Effendi, 1995) yang didesain dengan model studi kasus. Jenis kasus yang diteliti dibatasi pada perubahan nilai budaya yang berkaitan dengan proses perubahan atau modernisasi masyarakat Etnis Samawa di kawasan tambang PT NNT ditinjau dari aspek nilai teori.

Penelitian dilakukan dalam dua tahap: Tahap pertama pada Bulan Oktober-Nopember 2003 dan Bulan Januari 2004. Tahap Kedua, pada Bulan Agustus-Oktober 2004.

(4)

Masyarakat yang menjadi objek penelitian adalah masyarakat atau rumahtangga lokal Etnis Samawa yang berdomisili di kawasan tambang minimal dua tahun sebelum kegiatan tambang dimulai. Populasi rumahtangga dikelompokkan menjadi dua, yaitu: (1) rumahtangga yang memiliki anggota bekerja pada perusahaan yang berkaitan dengan pertambangan dan (2) rumahtangga yang tidak memiliki anggota bekerja pada perusahaan yang berkaitan dengan pertambangan. Penarikan sampel dilakukan dengan menggunakan metode acak sederhana (simple random sampling), yaitu sebanyak 50 % dari 204 jumlah populasi rumahtangga (43 rumahtangga karyawan dan 161 non karyawan). Berarti rumahtangga sampel adalah sebanyak 102 rumahtangga (22 karyawan dan 80 non karyawan).

Pengumpulan data menggunakan teknik “triangulasi”, yaitu dengan mengkombinasikan 4 (empat) teknik pengumpulan data secara bersamaan, yaitu: pengamatan lapang (fieldobser vation), wawancara mendalam (in-depth interview) dengan informan kunci (key informant), wawancara terstruktur (structuredinterview) dengan responden dan studi pustaka (desk study) terutama dari hasil-hasil penelitian sebelumnya, seperti: Rona Lingkungan (1996), PT NNT (1996), Lemlit Unram (1998a, 1998b), PPLH Unram (2001-2004).

Analisis data menggunakan metode deskriptif, yaitu data yang telah dikumpulkan dikelompokkan dan diklasifikasikan berdasarkan urutan permasalahan penelitian Kemudian disajikan dalam bentuk tabel dan diuraikan untuk menjelaskan hubungan antara variable satu dengan variable lain atau antara katagori satu dengan katagori lain pada variable tertentu.

Hasil penelitian

Nilai teori dalam kaitannya dengan nilai budaya pada hakekatnya merupakan penemuan kebenaran melalui pengalaman, kebiasaan, intuisi atau melalui berbagai metode, seperti rasionalisme, empirisme atau metode ilmiah. Nilai teori terutama berkaitan erat dengan aspek penalaran (reasoning), ilmu dan teknologi (Suriasumantri, 2002). Nilai ini memberikan informasi tentang landasan teoritis masyarakat dalam berperilaku, bertindak atau mengambil keputusan.

Dalam masyarakat tradisional, aplikasi nilai teori masih dominan berlandaskan atas hal-hal yang bersifat mistik sistemik, pengalaman, perasaan dan intuisi, menggunakan peralatan primitif atau tradisional, dan dalam melakukan suatu kegiatan masih didasarkan atas kebiasaan. Sebaliknya masyarakat modern lebih banyak menggunakan kekuatan berfikir yang bersifat analisis, rasional ilmiah, menggunakan teknologi modern dan menekankan pada aspek efisiensi (Suriasumantri, 2002).

(5)

dalam menjalankan kehidupan sosial, kehidupan ekonomi, penggunaan peralatan produksi dan pemanfaatan faktor produksi tenaga kerja.

Landasan pelaksanaan upacara di sekitar daur hidup

Hasil penelitian menunjukkan bahwa masyarakat Etnis Sanawa banyak menyelenggarakan upacara-upacara sepanjang daur hidup. Penyelenggaraan upacara-upacara tersebut dimulai dari upacara cuci perut (beso tian), kelahiran (ngana), pemberian nama (peda api), cukur rambut (kurisan), turun tanah (turin tana), hitanan (sunatan), perkawinan (merari) sampai upacara kematian.

Penyelenggaraan upacara-upacara di atas, sebelum maupun setelah tambang masih tetap bersifat mistik sistemik, yaitu berdasarkan kebiasaan secara turun temurun, sehingga banyak masyarakat yang tidak memahami nilai filosofis dari upacara-upacara itu. Masyarakat melakukan upacara-upacara itu hanya didasarkan atas keyakinan mistis, yakni kehidupan manusia di atas dunia terkait erat dengan pengaruh kekuatan alam (kosmos), sehingga kalau tidak dilakukan maka akan merasa bersalah, dan merasa khawatir alam akan membawa petaka bagi kehidupannya.

Perubahan yang terjadi bukan terletak pada landasan penyelenggaran dari upacara-upacara tersebut, tapi pada cara penyelenggaraan, yaitu dari cara duduk begibung menjadi cara prasmanan dan makan jalan .(lihat Tabel 1).

Tabel 1. Perubahan cara penyelenggarakan upacara di sekitar daur hidup

Cara penyelenggaraan upacara sekitar daur hidup

Sebelum proyek tambang

Setelah proyek tambang

Orang % Orang (%)

Duduk begibung

102 100 12 11,76

Prasmanan dan makan jalan 0 0 90 88,24

Sumber: Analisis data primer rumahtangga (2004)

Proses perubahan tanpa melalui perencanaan (un-planned changes) dan berlangsung relatif cepat (revolutive), karena dalam waktu relatif singkat (1997-2004) hampir semua masyarakat (88,24%) telah merubah cara penyelenggaraan upacara dari duduk begibung yang sudah dilakukan secara turun temurun ke cara prasmanan dan makan jalan yang biasa diterapkan oleh masyarakat perkotaan.

(6)

Faktor-faktor utama yang teridentifikasi sebagai pendorong perubahan adalah: a) akulturasi budaya dengan masyarakat pendatang, b) berubahnya gaya hidup, c) waktu luang semakin berkurang, sehingga masyarakat memilih cara yang lebih praktis dan d) tingginya apresiasi masyarakat terhadap perubahan.

Selain faktor pendorong, juga teridentifikasi beberapa penghambat perubahan, antara lain: a) adanya vested interest dari kelompok masyarakat tertentu (seperti tokoh-tokoh informal) yang takut integritasnya tergoyahkan oleh adanya perubahan; dan b) adanya masyarakat yang masih bersikap tradisional.

Faktor penting dalam perubahan ditinjau dari aspek nilai teori sebenarnya tidak ada; hanya cara penyelenggaraannya yang berubah dari cara duduk begibung ke cara prasmanan dan makan jalan sebagaimana pesta yang biasa diadakan oleh masyarakat pendatang.

Landasan masyarakat dalam menjalankan kehidupan sosial

Landasan yang digunakan masyarakat dalam menjalankan kehidupan sosial (gotong royong dan tolong menolong) menunjukkan perubahan yang sangat nyata setelah proyek tambang berlangsung. Sebelum tambang, kehidupan sosial ditandai dengan kuatnya rasa tolong menolong dan gotong royong yang berlandaskan pada kebiasaan dan perasaan senasib sepenanggungan yang diwariskan secara turun temurun. Sejak dimulainya kegiatan tambang tahun 1997, secara berangsur-angsur terjadi perubahan sosial pada masyarakat.

Dalam pandangan tokoh masyarakat setempat, setelah tambang aspek yang melandasi tindakan sosial sebagian besar adalah kemampuan analisis (rasional). Indikasinya adalah banyaknya kegiatan sosial (gotong royong atau tolong menolong) dalam bentuk bantuan natura (tenaga kerja dan barang) berganti menjadi tolong menolong dan gotong royong dengan sejumlah dana (uang). Perubahan ini diakui oleh seluruh (100%) masyarakat yang dijadikan responden (Tabel 2).

Tabel 2. Perubahan aplikasi nilai teori tentang landasan masyarakat dalam menjalankan kehidupan sosial

(7)

tanpa melalui proses perencanaan (un-planned changes), dimulai oleh masyarakat yang bekerja pada perusahaan tambang, kemudian menular kepada masyarakat lainnya

Adapun alasan yang banyak (lebih 75%) dikemukakan dalam kaitan dengan perubahan ini adalah karena cara lama dianggap tidak sesuai dengan perkembangan kawasan dan cara baru dianggap lebih praktis dan efisien.

Faktor penting yang mendorong perubahan tersebut adalah karena: a) setelah tambang “ekonomi uang” menjadi penentu kehidupan masyarakat, b) terbukanya sistem nilai di dalam masyarakat; dan c) meningkatnya ketersentuhan masyarakat dengan dunia luar.

Masyarakat menganggap perubahan nilai budaya tersebut tidak ada yang menghambatnya. Semua masyarakat tidak mempermasalahkan perubahan pola gotng royong dan tolong menolong dari bentuk natura ke bentuk uang. Dengan demikian berarti faktor penting yang berubah dalam kehidupan sosial adalah menyangkut landasannya dalam menjalankan kehidupan sosial yang semakin mengedepankan rasio dibandingkan perasaan dan kebiasaan yang sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan kawasan.

Landasan dalam menjalankan kehidupan ekonomi

Perilaku ekonomi masyarakat dipandang sebagai aspek yang paling dinamis dalam perubahan masyarakat di kawasan tambang. Dinamika perubahan dirasakan oleh masyarakat sejak dimulainya kegiatan pertambangan tahun 1997.

Sebelum masuknya kegiatan tambang perilaku dan kegiatan ekonomi masyarakat umumnya dilandasi oleh pengalaman dan perasaan (intuisi). Acuan yang digunakan adalah pengetahuan tradisional setempat (indigeneous knowledge) yaitu peta waktu tradisional yang dalam istilah masyarakat Etnis Samawa disebut “wariga” atau dalam bahasa Jawa disebut “pranata mangsa”. Selain menggunakan wariga, masyarakat juga menggunakan kitab “Tajjul Muluk” dan “Mujarrobat”, yaitu sejenis kitab ramalan tentang masa depan yang dianggap berasal dari Negara Arab yang nota bene beragama Islam. Tindakan ini diyakini sebagai cara untuk memperoleh kelancaran dan keberhasilan dari setiap aktivitas ekonomi yang dilakukan dan terhindar dari berbagai bala atau kendala yang dalam istilah setempat disebut “nahas”

(8)

Setelah tambang, landasan masyarakat dalam melakukan kehidupan ekonomi semakin rasional dan ilmiah yang digerakkan oleh peluang usaha dan peluang pasar yang berkembang di kawasan itu. Masyarakat sudah mulai melakukan kegiatan ekonomi dengan berlandaskan akal (rasio) dan teknologi yang diperoleh dari pengembangan ilmu pengetahuan ilmiah. Karena itu, masyarakat tidak lagi terlalu tergantung pada alam dan orang-orang pintar dalam menjalankan kehidupan ekonominya.

Pada Tabel 3 ditunjukkan proporsi masyarakat yang melandaskan kehidupan ekonominya atas dasar pemikiran rasional ilmiah meningkat cukup besar, yaitu dari 5,88% sebelum tambang menjadi 73,53% setelah tambang. Ini artinya perubahan berjalan relatif cepat (revolutive) dan secara alamiah tanpa melalui proses perencanaan (un-planned changes), dimulai dari masyarakat yang mempunyai akses dengan perusahaan tambang kemudian secara simultan diikuti oleh masyarakat lainnya.

Tabel 3. Perubahan aplikasi nilai teori tentang landasan masyarakat dalam menjalankan kehidupan ekonomi

Landasan dalam menjalankan kehidupan ekonomi

Sebelum proyek tambang

Setelah proyek tambang

Orang % Orang %

Perasaan/Intuisi 96 94,12 27 26,47

Rasional Ilmiah 6 5,88 75 73,53

Sumber:Analisis data primer rumahtangga (2004)

Alasan utama yang menyebabkan terjadinya perubahan tersebut menurut pengakuan sebagian besar masyarakat (lebih 75%) adalah: a) cara lama yang mengacu pada pengalaman dan pendapat para Sandro sudah tidak sesuai dengan perkembangan kawasan; dan b) nilai lama dianggap kurang praktis dan prestisius.

Sementara faktor yang diidentifikasi sebagai pendorong perubahan yang penting adalah: a) akulturasi budaya dengan masyarakat pendatang; b) gaya hidup sebagai akibat transformasi pekerjaan; c) berkembangnya peluang kerja dan berusaha setelah tambang; dan d) meningkatnya arus barang dan jasa yang masuk ke kawasan tambang.

Sedangkan faktor-faktor yang diidentifikasi sebagai penghambat perubahan adalah: a) adanya vested interest kelompok masyarakat tertentu, terutama tokoh-tokoh informal; dan b) sikap sebagian masyarakat masih tradisional dan pendidikan masih rendah.

(9)

dan gerak intuisi kearah orientasi dan perilaku yang didasarkan atas hasil analisis rasional ilmiah.

Landasan dalam menggunakan peralatan produksi

Masyarakat Etnis Samawa di kawasan tambang pada mulanya memiliki mata pencaharian sebagai: petani sawah, petani peladang, peternak, nelayan, pemburu rusa, lebah madu, pengolah gula aren, kerajinan-kerajinan tradisional. Gambaran ini menunjukkan bahwa, sebelum tambang sebagian besar masyarakat Etnis Samawa bekerja di sektor pertanian tradisional (subsisten). Karena pola produksi yang diterapkan masih bercorak usaha tradisional, maka penggunaan faktor produksi termasuk alat produksi juga masih berupa peralatan tradisional hasil kerajinan tangan.

Setelah tambang, peralatan produksi yang dipergunakan masyarakat sebagian besar mengalami perubahan, yakni peralatan hasil teknologi maju buatan pabrik. Misalnya dalam bidang pertanian, sebelum tambang masyarakat masih menggunakan kerbau dan cangkul untuk mengolah lahan. Timba untuk membantu mengairi tanaman; dan alu untuk mengolah hasil pertanian. Setelah tambang sebagian besar masyarakat sudah menggunakan peralatan modern, seperti handtractor untuk mengolah lahan, mesin air untuk mengairi lahan; handsprayer untuk mengendalikan hama penyakit dan huller untuk mengolah padi.

Pada Tabel 4 ditunjukkan bahwa sebelum tambang, penggunaan peralatan modern juga sudah dimulai oleh sebagian kecil masyarakat (7,84%), tapi setelah tambang sebagian besar masyarakat (76,4%) sudah menggunakan peralatan modern dalam kegiatan produksinya. Ini menunjukkan bahwa kehadiran proyek tambang telah menyebabkan perubahan masyarakat dalam menggunakan peralatan-peralatan produksi.

Tabel 4. Perubahan aplikasi nilai teori tentang kualifikasi peralatan yang dipergunakan masyarakat dalam kegiatan produksi.

Kualifikasi peralatan produksi

Sebelum proyek tambang Setelah proyek tambang

Orang % Orang %

Tradisional 94 92,16 24 23,53

Teknologi Maju 8 7,84 78 76,47

Sumber:Analisis data primer rumahtangga (2004)

(10)

un-Alasan yang banyak (lebih 75%) dikemukakan oleh masyarakat dalam perubahan ini adalah: a) peralatan modern dinilai lebih praktis, efisien dan prestisius; dan b) peralatan tradisional membutuhkan banyak tenaga kerja yang upahnya sangat mahal setelah masuk proyek tambang.

Faktor yang diidentifikasi sebagai pendorong perubahan adalah: a) adanya bantuan peralatan modern dari perusahaan tambang; b) adanya pasar dan penyewaan peralatan modern di dalam kawasan, dan c) meningkatnya pengetahuan dan keterampilan masyarakat tentang peralatan modern.

Sedangkan faktor yang diidentifikasi sebagai penghambat perubahan adalah: a) hambatan fisik wilayah yang tidak memungkinkan penggunaan peralatan modern; b) adanya anggapan merusak lingkungan; dan (c) adanya komponen peralatan modern yang dinilai mahal.

Dari aspek nilai teori, faktor penting yang ada dalam perubahan ini adalah meningkatnya pengetahuan dan keterampilan masyarakat tentang peralatan modern.

Landasan dalam memanfaatkan faktor produksi tenaga kerja

Faktor produksi yang dinilai mengalami perubahan cukup mencolok setelah tambang adalah tenaga kerja. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebelum tambang sebagian besar petani maupun pengusaha lainnya menggunakan tenaga kerja yang tidak diupah dengan uang atau barang lainnya. Curahan tenaga kerja sebagian besar diperhitungkan secara kekeluargaan dalam bentuk kerja tolong menolong dan gotong royong yang istilah lokalnya disebut “basiru”. Cara ini berkembang atas kepentingan bersama dangan spirit penggeraknya adalah “rasa senasib sepenanggungan”.

Setelah adanya kegiatan tambang yang ditandai dengan perubahan struktur pekerjaan masyarakat secara umum, ternyata berpengaruh langsung terhadap pola penggunaan faktor produksi, khususnya tenaga kerja. Karena banyaknya pilihan lapangan kerja yang lebih menguntungkan secara ekonomis, maka semakin berkurang minat orang bekerja di sektor pedesaan tradisional. Akibatnya, setiap pencurahan tenaga kerja dapat disanggupi bila diimbangi dengan upah dalam jumlah uang yang memadai. Hasil pengamatan menemukan bahwa nilai upah persatuan tenaga kerja di kawasan tambang lebih tinggi dibandingkan daerah lainnya. Di pihak lain, pengguna tenaga kerja juga mempertimbangkan produktivitas dan efisiensi dalam memanfaatkan faktor produksi tersebut.

(11)

Tabel 5. Perubahan aplikasi nilai teori tentang landasan masyarakat dalam memanfaatkan faktor produksi tenaga kerja

Landasan dalam memanfaatkan faktor produksitenaga kerja

Sebelum proyek tambang Setelah proyek tambang

Orang % Orang %

Kebiasaan (Basiru) 94 92,16 0 0

Efisiensi (Uang) 8 7,84 102 100

Sumber:Analisis data primer rumahtangga (2004)

Sama seperti landasan penggunaan peralatan produksi, perubahan landasan dalam menggunakan faktor produksi juga berlangsung relatif cepat (revolutive) dan tanpa melalui proses perencanaan (un-planned changes). Alasan perubahan yang banyak dikemukakan oleh masyarakat (lebih 75%) adalah: a) untuk menyesuikan diri dengan perkembangan kawasan; b) cara upahan dinilai lebih menguntungkan dan merangsang minat tenaga kerja, karena produktivitas hasil menjadi lebih tinggi. c) dirasakan bahwa cara baru dalam menggunakan tenaga kerja tidak sulit diterapkan dan sesuai dengan harapan masyarakat. d) dengan cara baru, semakin mudah diperoleh faktor produksi terutama tenaga kerja, e) Pengusaha atau petani lebih mudah melakukan perencanaan biaya usaha dan sejenisnya.

Faktor pendorong terjadinya perubahan antara lain: a) meningkatnya aksesibilitas kawasan setelah tambang yang memudahkan masuknya faktor produksi dan tenaga kerja terampil; b) tersedianya sejumlah faktor produksi di pasar setempat; c) tersedianya kelembagaan dan sistem penyaluran faktor produksi termasuk standar upah tenaga kerja, d) meningkatnya pendapatan dan status sosial masyarakat; e) meningkatnya ketersentuhan masyarakat atas informasi dari luar; dan f) meningkatnya pengetahuan dan keterampilan masyarakat dalam penggunaan teknologi produksi.

Selain faktor pendorong, ada tiga hal yang dianggap oleh masyarakat sebagai penghambat proses perubahan, yaitu: a) tingkat upah tenaga kerja terlalu mahal; b) posisi tawar (bergaining position) tenaga kerja jauh lebih kuat dibandingkan dengan pengguna tenaga kerja, dan c) masih adanya masyarakat, terutama petani yang tidak mampu melakukan sistem pengupahan sehingga cenderung tidak menggunakan faktor produksi secara optimal.

(12)

Kesimpulan dan saran

Kesimpulan

1. Sebelum masuk proyek pertambangan, masyarakat Etnis Samawa dalam mengaplikasikan nilai teori dilandasi oleh nilai-nilai mistis sistemis; pengalaman, perasaan dan gerak intuisi; menggunakan peralatan tradisional, kegiatan gotong royong dan tolong menolong masih menggunakan barang dan tenaga kerja (basiru) mengikuti kebiasaan. Setelah masuk proyek pertambangan, mengalami perubahan meskipun masih didasari oleh nilai mistis sistemais, tapi penyelenggaraan semakin praktis, menggunakan kekuatan berfikir secara rasional dan ilmiah; peralatan semakin modern dan kegiatan gotong royong dan tolong menolong menggunakan uang atas dasar efisiensi. Perubahan-perubahan tersebut menandakan masyarakat Etnis Samawa mulai berubah dari ciri-ciri masyarakat tradisional pedesaan menuju cirri-ciri masyarakat modern perkotaan.

2. Perubahan aplikasi nilai teori tersebut berlangsung secara alamiah dan tanpa melalui proses perencaan (un-planned changes. Pionir perubahan adalah kalangan muda, terutama yang bekerja pada perusahaan pertambangan kemudian secara simultan diikuti oleh anggota masyarakat lainnya.

3. Alasan utama yang menyebabkan terjadinya perubahan adalah: a) nilai budaya asli dinilai tidak dapat dipertahankan lagi, karena tidak sesuai dengan perkembangan masyarakat dan perkembangan kawasan; dan b) kemauan yang besar dari masyarakat, terutama kalangan muda untuk menjadi masyarakat maju sebagaimana masyarakat pendatang.

4. Faktor-faktor pendorong perubahan yang penting adalah: a) meningkatnya aksesibilitas kawasan, sehingga budaya dari luar banyak masuk ke kawasan tambang; b) intensifnya kontak dan interaksi sosial dengan masyarakat pendatang yang mempunyai nilai budaya lebih maju; c) meningkatnya kegiatan pembinaan, sehingga masyarakat cepat menyesuaikan diri dengan perkembangan yang terjadi; d) meningkatnya kesejahtera-an ekonomi yang memungkinkan masyara-kat dapat mengadopsi budaya lain yang lebih maju; e) terbukanya nilai budaya dan sistem lapisan masyarakat, sehingga mempercepat penetrasian budaya dari luar; dan f) adanya ketidakpuasan masyarakat, khususnya kalangan muda terhadap bidang-bidang kehidupan tertentu yang tidak bisa diatasi oleh nilai-nilai budaya lama.

(13)

dan prasangka buruk terhadap nilai budaya baru; dan c) tingkat pendidikan sebagian masyarakat masih rendah,sehingga memperlambat pengadopsian budaya baru.

Saran-Saran

1. Untuk meningkatkan penalaran (reasioning) masyarakat dalam menghadapi perkembangan kawasan, maka perioritas pertama yang harus dilakukan oleh perusahaan tambang dan pemerintah daerah adalah peningkatan kualitas sumber daya manusia, khususnya kepada generasi muda, baik melalui peningkatan pendidikan maupun peningkatan kesehatan. Hal ini sangat penting agar masyarakat dapat berfikir dan bertidak secara rasional dalam menghadapi perkembangan kawasan yang terjadi.

2. Kegiatan pembinaan yang dilakukan oleh perusahaan tambang sebaiknya melibatkan tokoh-tokoh informal dalam masyarakat, dan haruslah berorientasi pada perubahan sikap dan perilaku secara menyeluruh, agar masyarakat cepat menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi.

Daftar pustaka

Lemlit Unram, 1998a. Perubahan perilaku sosial budaya dan pengembangan masyarakat di kecamatan jereweh, taliwang dan seteluk kabupaten sumbawa. Unram Mataram.

Lemlit Unram, 1998b. Potensi dan alternatif pengembangan ekonomi mikro masyarakat di kecamatan jereweh, taliwang dan seteluk kabupaten sumbawa. Unram Mataram.

PPLH Unram, 2001-2004. Studi dampak sosial ekonomi dan sosial budaya kegiatan penambangan pt nnt. Unram Mataram.

PT NNT, 1996. Multi sektor/terpadu rencana pengelolaan lingkungan (RPL) pertambangan tembaga emas batu hijau dati ii sumbawa propinsi ntb. Mataram.

Rona Lingkungan, 1996. Studi dampak lingkungan kegiatan pertambangan tembaga-emas di batu hijau kecamatan jereweh kabupaten sumbawa barat propinsi nusa tenggara barat (laporan utama). Batu Hijau PT. NNT. Mataram.

Singarimbun, M. dan E. Sofian, 1995. Metode Penelitian Survai. LP3ES Jakarta.

Soekanto, S., 1990. Sosiologi suatu pengantar. Rajawali Pers. Jakarta.

(14)

Gambar

Tabel 1. Perubahan cara penyelenggarakan upacara  di sekitar daur hidup
Tabel 2. Perubahan aplikasi nilai teori tentang landasan masyarakat dalam
Tabel 5.  Perubahan aplikasi nilai teori tentang landasan masyarakat dalam

Referensi

Dokumen terkait

Penggunaan nilai prior probability yang murni didapatkan dari hasil training menghasilkan performa klasifikasi yang lebih baik dari nilai uniform probability. Hal ini

Jagung merupakan salah satu serealia yang strategis dan bernilai ekonomi serta mempunyai peluang untuk dikembangkan karena kedudukannya sebagai sumber

Judul : Model Stimulus Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dalam Pengembangan Kewirausahaan Usaha Kecil Pembuatan Tempe di Kelurahan Lamper Lor Kecamatan Semarang Selatan. Program : Tahun

Seperti contoh kasus dalam mengajar Iqra atau tulis menulis, kita akan menemukan titik sulit ketika berkomunikasi dengan mereka karena mereka

Menentukan Kertas Kerja Kementerian/Jabatan/Agensi Disediakan Untuk Perbincangan Urusetia hendaklah menentukan kertas kerja yang disediakan oleh kementerian/jabatan/agensi

Sehingga lewat hikmat kita dapat memahami tentang kebenaran, keadilan, kejujuran, dan kebaikan (ay.9)... Karena Hikmat akan memberikan pengertian tentang takut akan Tuhan (

Meningkatnya angka kekerasan dalam pacaran pada remaja putri karena banyak korban (remaja) yang dipaksa atau dibujuk melakukan hubungan intim saat berpacaran (Annisa, 2008) Hasil

Injil Yohanes menyatakan bahwa Firman itu telah menjadi manusia, dan diam di antara kita, dan kita telah melihat kemuliaan-Nya, yaitu kemuliaan yang diberikan kepada-Nya sebagai