BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Bank
2.1.1 Pengertian Bank
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1992 tentang
perbankan yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998
menyebutkan:
- Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam
bentuk simpanan dan menyalurkan kepada masyarakat dalam bentuk kredit
dan/atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup
rakyat banyak.
- Perbankan adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang bank, mencakup
kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan
kegiatan usahanya.
Adapun defenisi bank secara umum, bank merupakan sebuah lembaga
keuangan yang beroperasi secara aktif maupun pasif. Secara aktif, dalam hal ini bank
menyalurkan dana kepada masyarakat yang membutuhkan. Sedangkan secara pasif,
bank dalam hal ini menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk giro, tabungan,
2.1.2 Jenis-jenis Bank
Dalam praktik perbankan di Indonesia saat ini terdapat beberapa jenis
perbankan yang diatur dalam Undang-Undang perbankan antara lain (Kasmir, 2009 :
34):
1. Dilihat dari Segi Fungsinya
Menurut Undang-Undang Pokok Perbankan Nomor 14 Tahun 1967 jenis
perbankan menurut fungsinya terdiri dari:
a. Bank Umum
b. Bank Pembangunan
c. Bank Tabungan
d. Bank Pasar
e. Bank Desa
f. Lumbung Desa
g. Bank Pegawai
h. Dan bank lainnya
Namun setelah keluar UU Pokok Perbankan Nomor 7 Tahun 1992 dan
ditegaskan lagi dengan keluarnya Undang-Undang RI Nomor 10 Tahun
1998 maka jenis perbankan terdiri dari:
a. Bank Umum
Bank umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara
b. Bank Perkreditan Rakyat (BPR)
Bank Perkreditan Rakyat (BPR) adalah bank yang melaksanakan
kegiatan usaha secara konvensional dan atau berdasarkan prinsip syariah
yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas
pembayaran.
2. Dilihat dari Segi Kepemilikannya
Ditinjau dari segi kepemilikannya maksudnya adalah siapa saja yang
memiliki bank tersebut. Kepemilikan ini dapat dilihat dari akte pendirian
dan penguasaan saham yang dimiliki bank yang bersangkutan. Jenis bank
dilihat dari segi kepemilikan tersebut adalah:
a. Bank milik pemerintah
Dimana baik akte pendirian maupun modalnya dimiliki oleh pemerintah
sehingga seluruh keuntungan bank ini dimiliki oleh pemerintah pula.
b. Bank milik swasta nasional
Bank jenis ini seluruh atau sebagian besarnya dimiliki oleh swasta
nasional serta akte pendiriannya pun didirikan oleh swasta, begitu pula
pembagian keuntungannya untuk keuntungan swasta pula.
c. Bank milik koperasi
Kepemilikan saham-saham bank ini dimiliki oleh perusahaan yang
d. Bank milik asing
Bank jenis ini merupakan cabang dari bank yang ada di luar negeri, baik
milik swasta asing atau pemerintah asing. Jelas kepemilikannya pun
dimiliki oleh pihak luar negeri.
e. Bank milik campuran
Kepemilikan saham bank campuran dimiliki oleh pihak asing dan pihak
swasta nasional. Kepemilikan sahamnya secara mayoritas dipegang oleh
warga negara Indonesia.
3. Dilihat dari Segi Status
Kedudukan atau status ini menunjukkan ukuran kemampuan bank dalam
melayani masyarakat baik daari segi jumlah produk, modal maupun kualitas
pelayanannya. Status bank yang dimaksud adalah:
a. Bank devisa
Merupakan bank yang dapat melaksanakan transaksi ke luar negeri atau
yang berhubungan dengan mata uang asing secara keseluruhan.
b. Bank non devisa
Merupakan bank yang belum mempunyai izin untuk melaksanakan
transaksi sebagai bank devisa sehingga tidak dapat melaksanakan
transaksi seperti halnya bank devisa, dimana transaksi yang dilakukan
4. Dilihat dari Segi Cara Menentukan Harga
a. Bank yang berdasarkan prinsip konvensional
b. Bank yang berdasarkan prinsip syariah, aturan perjanjian berdasarkan
hukum Islam antara bank dengan pihak lain untuk menyimpan dana atau
pembiayaan usaha atau kegiatan perbankan lainnya.
2.1.3 Tugas dan Fungsi Bank
Pada dasarnya tugas pokok bank menurut Undang-Undang Nomor 19 Tahun
1998 adalah membantu pemerintah dalam hal mengatur, menjaga, dan memelihara
stabilitas nilai rupiah, mendorong kelancaran produksi dan pembangunan serta
memperluas kesempatan kerja guna peningkatan taraf hidup rakyat banyak.
Sedangkan fungsi bank pada umunya (Siamat, 2005 : 276):
1. Menyediakan mekanisme dan alat pembayaran yang lebih efisien dalam
kegiatan ekonomi.
2. Menciptakan uang.
3. Menghimpun dana dan menyalurkan kepada masyarakat.
4. Menawarkan jasa-jasa keuangan lain.
2.1.4 Kegiatan-kegiatan Bank
Adapun kegiatan-kegiatan perbankan yang ada di Indonesia dewasa ini adalah
sebagai berikut (Siamat, 2005 : 276):
1. Menghimpun dana dari masyarakat.
3. Membeli, menjual atau menjamin atas resiko sendiri maupun untuk
kepentingan dan atas perintah nasabahnya.
4. Memindahkan uang baik untuk kepentingan sendiri maupun nasabah,
menempatkan dana pada, meminjamkan dana dari, atau meminjamkan dana
pada pihak lain, menyediakan tempat untuk menyimpan barang dan surat
berharga, melakukan kegiatan penitipan untuk kepentingan pihak lain
berdasarkan suatu kontrak.
5. Melakukan kegiatan anjak piutang maupun kartu kredit.
6. Menyediakan pembiayaan dengan prinsip bagi hasil.
7. Melakukan kegiatan lain seperti kegiatan dalam valuta asing, melakukan
penyertaan modal pada bank atau perusahaan lain di bidang keuangan
seperti sewa guna usaha, modal ventura, perusahaan efek dan asuransi.
2.1.5 Sasaran Manajemen Bank
Dalam melaksanakan kegiatan operasionalnya, bank memiliki sasaran yang
dapat dibedakan berdasarkan jangka waktu, yaitu (Siamat, 2005 : 277):
1. Sasaran Jangka Pendek
Sasaran jangka pendek berkaitan dengan penggunaan waktu dalam
operasional bank untuk mencapai tujuan yang bersifat jangka pendek,
misalnya pemenuhan likuiditas, menyediakan jasa-jasa lalu lintas
pembayaran dan penanaman dana dalam bentuk surat-surat berharga jangka
2. Sasaran Jangka Panjang
Sasaran jangka panjang manajemen bank adalah bagaimana memperoleh
keuntungan dari kegiatan bank untuk meningkatkan nilai perusahaan dan
memaksimalkan kekayaan pemilik bank.
Secara umum bahwa sasaran pokok manajemen bank pada dasarnya adalah
untuk memaksimalkan nilai investasi dari pemilik bank. Oleh karena itu dalam upaya
mencapai sasaran tersebut, manajemen bank harus memperhatikan dan menguasai
prinsip pengelolaan bank baik aktiva maupun kewajiban-kewajibannya.
2.1.6 Resiko Usaha Bank
Resiko usaha merupakan tingkat ketidakpastian mengenai pendapatan yang
diperkirakan akan diterima. Resiko usaha yang dapat dihadapi oleh bank antara lain
(Siamat, 2005 : 279):
1. Resiko kredit (Default risk), yaitu resiko akibat kegagalan atau
ketidakmampuan nasabah mengembalikan jumlah pinjaman yang diperoleh
dari bank beserta bunganya sesuai dengan jangka waktu yang telah
ditentukan atau dijadwalkan.
2. Resiko investasi (Invesment risk), yaitu berkaitan dengan kemungkinan
terjadinya kerugian akibat suatu penurunan nilai portofolio surat-surat
berharga, misalnya obligasi dan surat-surat berharga lainnya yang dimiliki
3. Resiko likuiditas (Liquidity risk), yaitu resiko yang mungkin dihadapi oleh
bank untuk memenuhi kebutuhan likuiditasnya dalam rangka memenuhi
permintaan kredit dan semua penarikan dana oleh penabung pada suatu
waktu.
4. Resiko operasional (Operating risk), yaitu berupa kemungkinan kerugian
dari operasi bank bila terjadi penurunan keuntungan yang dipengaruhi oleh
struktur biaya operasional bank dan terjadinya kegagalan atas jasa-jasa dan
produk-produk baru yang diperkenalkan.
5. Resiko penyelewengan (Fraud risk), yaitu berkaitan dengan
kerugian-kerugian yang dapat terjadi akibat ketidakjujuran, penipuan, atau moral dan
perilaku yang kurang baik dari pejabat, karyawan dan nasabah bank.
6. Resiko fidusia (Fiduciary risk), yaitu resiko ini akan timbul akibat usaha
bank dalam memberikan jasa dengan bertindak sebagai wali amanat baik
untuk individu maupun badan usaha.
7. Resiko tingkat bunga (Interest rate risk), yaitu resiko yang timbul akibat
berubahnya tingkat bunga yang pada gilirannya akan menurunkan nilai
pasar surat-surat berharga dan pada saat yang sama bank membutuhkan
likuiditas.
8. Resiko solvensi (Solvency risk), yaitu resiko yang disebabkan oleh ruginya
9. Resiko valuta asing (Foreign currency risk), yaitu resiko ini terutama
dihadapi oleh bank-bank devisa yang melakukan transaksi dalam valuta
asing, baik dari sisi aktiva maupun dari sisi pasiva (kewajiban).
10.Resiko persaingan (Competitive risk), yaitu resiko yang dihadapi bank
dalam upaya memberi pelayanan pada nasabahnya, dimana bank akan
bersaing dengan bank lain secara profesional dan paling baik untuk
kelangsungan operasional bank itu sendiri.
2.1.7 Sumber Dana Bank
Sumber dana bank merupakan dana yang diperoleh oleh bank, baik bersumber
dari masyarakat luas, dana dari bank itu sendiri, maupun dana dari lembaga
keuangan lainnya, seperti BLBI. Sesuai defenisi tersebut, maka sumber dana bank
terdiri atas tiga sumber, yaitu (Kasmir, 2004 : 45):
1. Dana yang bersumber dari bank itu sendiri
Perolehan dana dari sumber bank itu sendiri (modal sendiri) maksudnya
adalah dana yang diperoleh dari dalam bank. Perolehan dana ini biasanya
digunakan apabila bank mengalami kesulitan untuk memperoleh dana dari
luar. Adapun pencarian dana yang bersumber dari bank itu sendiri terdiri
dari:
a. Setoran modal dari pemegang saham yaitu, merupakan modal dari para
pemegang saham lama atau pemegang saham baru.
b. Cadangan laba, yaitu merupakan laba yang setiap tahun dicadangkan
c. Laba bank yang belum dibagi, merupakan laba tahun berjalan tapi belum
dibagikan kepada para pemegang saham.
2. Dana yang berasal dari masyarakat luas
Dana tersebut merupakan dana yang dihimpun oleh bank yang berasal dari
kegiatan pasifnya, yaitu menghimpun dana dari masyarakat baik dalam
bentuk giro, tabungan dan deposito.
3. Dana yang bersumber dari lembaga lain
a. Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), merupakan kredit yang
diberikan Bank Indonesia kepada bank-bank yang mengalami kesulitan
likuiditasnya.
b. Pinjaman antar bank (call money). Biasanya pinjaman ini diberikan
kepada bank-bank yang mengalami kalah kliring di dalam lembaga
kliring data tidak mampu untuk membayar kekalahannya. Pinjaman ini
bersifat jangka pendek dengan bunga yang relatif tinggi dibandingkan
dengan pinjaman lainnya.
c. Pinjaman dari bank-bank luar negri. Merupakan pinjaman yang diperoleh
perbankan dari pihak luar negeri.
d. Surat Berharga Pasar Uang (SBPU). Dalam hal ini pihak perbankan
menerbitan SBPU kemudian diperjualbelikan kepada pihak yang
berminat, baik perusahaan keuangan maupun non keuangan. SBPU
2.2 Kredit
2.2.1 Pengertian Kredit
Kata kredit berasal dari bahasa yunani, yaitu credere, yang berarti
kepercayaan. Jadi istilah kredit memiliki arti khusus yaitu meminjamkan uang
(penundaan pembayaran). Dalam arti luas kredit ini didasarkan atas komponen
kepercayaan, resiko dan pertukaran ekonomi masa yang akan datang.
Menurut Undang-Undang Perbankan Nomor 10 Tahun 1998 menyebutkan
bahwa kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan
dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjaman meminjam antara
bank dan pihak lain yang mewajibkan dengan pihak peminjam untuk melunasi
utangnya selama jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.
Pengertian kredit secara umum merupakan pemberian, baik uang, barang,
maupun jasa yang dilakukan oleh pihak kreditur, yang didasari dengan unsur
kepercayaan kepada debiturnya, serta terdapat kesepakatan antara kreditur dengan
debitur, baik mengenai jangka waktu pengembalian barang, jasa dan uang, maupun
kesepakatan mengenai balas jasa (bunga) yang diperoleh dari operasi tersebut.
2.2.2 Unsur-unsur kredit
Unsur-unsur yang terkandung dalam pemberian suatu fasilitas kredit adalah
sebagai berikut (Kasmir, 2009 : 98):
1. Kepercayaan
Yaitu suatu keyakinan pemberi kredit bahwa kredit yang diberikan (berupa
masa datang. Kepercayaan ini diberikan oleh bank, dimana sebelumnya
sudah dilakukan penelitian dan penyelidikan nasabah baik secara intern
maupun ekstern. Penelitian dan penyelidikan tentang kondisi masa lalu dan
sekarang terhadap nasabah pemohon kredit.
2. Kesepakatan
Disamping unsur percaya didalam kredit juga mengandung unsur
kesepakatan antara si pemberi kredit dengan si penerima kredit.
Kesepakatan ini dituangkan dalam suatu perjanjian dimana masing-masing
pihak menandatangani hak dan kewajibannya masing-masing.
3. Jangka waktu
Setiap kredit yang diberikan memiliki jangka waktu tertentu, jangka waktu
ini mencakup masa pengembalian kredit yang telah disepakati. Jangka
waktu tersebut bisa berbentuk jangka pendek, jangka menengah atau jangka
panjang.
4. Risiko
Adanya suatu tenggang waktu pengembalian akan menyebabkan suatu
risiko tidak tertagihnya/macet pemberian kredit. Semakin panjang suatu
kredit semakin panjang risikonya demikian pula sebaliknya. Risiko ini
menjadi tanggungan bank, baik risiko yang disengaja oleh nasabah yang
lalai, maupun risiko yang tidak disengaja. Misalnya terjadi bencana alam
5. Balas jasa
Merupakan keuntungan atau pemberian suatu kredit atau jasa tersebut yang
kita kenal dengan nama bunga. Balas jasa dalam bentuk bunga dan biaya
administrasi kredit ini merupakan keuntungan bank. Sedangkan bagi bank
yang berdasarkan prinsip syariah balas jasanya ditentukan dengan bagi hasil.
2.2.3 Tujuan dan Fungsi Kredit
Kasmir (2009 : 100) menyebutkan bahwa pemberian suatu fasilitas kredit
mempunyai tujuan tertentu. Tujuan pemberian kredit tersebut tidak akan terlepas dari
misi bank tersebut. Adapun tujuan utama pemberian suatu kredit antara lain:
1. Mencari keuntungan
Yaitu bertujuan untuk memperoleh hasil dari pemberian kredit tersebut
terutama dalam bentuk bunga yang diterima oleh bank sebagai balas jasa
dan biaya administrasi kredit yang dibebankan kepada nasabah.
2. Membantu usaha nasabah
Yaitu untuk membantu usaha nasabah yang memerlukan dana, baik dana
investasi maupun dana untuk modal kerja. Maka pihak debitur akan dapat
mengembangkan dan memperluaskan usahanya.
3. Membantu pemerintah
Bagi pemerintah semakin banyak kredit yang disalurkan oleh pihak
perbankan, maka semakin baik, karena akan meningkatkan penerimaan
pajak, membuka kesempatan kerja, meningkatkan jumlah barang dan jasa,
Kemudian disamping tujuan diatas suatu fasilitas kredit memiliki fungsi
sebagai berikut:
1. Untuk meningkatkan daya guna uang.
Dengan adanya kredit dapat meningkatkan daya guna uang maksudnya jika
uang hanya disimpan saja tidak akan menghasilkan sesuatu yang berguna.
Dengan diberikannya kredit uang tabungan tersebut menjadi berguna untuk
menghasilkan barang atau jasa oleh si penerima kredit.
2. Untuk meningkatkan peredaran dan lalu lintas uang.
Dalam hal ini uang yang diberikan atau disalurkan akan beredar dari satu
wilayah ke wilayah lain sehingga suatu daerah yang kekurangan uang
dengan memperoleh kredit maka daerah tersebut akan memperoleh
tambahan uang dari daerah lainnya.
3. Untuk meningkatkan daya guna barang.
Kredit yang diberikan oleh bank akan dapat digunakan oleh si debitur untuk
mengolah barang yang tidak berguna menjadi berguna atau bermanfaat.
4. Meningkatkan peredaran barang.
Kredit dapat pula menambah atau memperlancar arus barang dari satu
wilayah ke wilayah lainnya sehingga jumlah barang yang beredar dari satu
wilayah ke wilayah lain bertambah atau kredit dapat pula meningkatkan
5. Sebagai alat stabilitas ekonomi.
Dengan memberikan kredit dapat dikatakan sebagai stabilitas ekonomi
karena dengan adanya kredit yang diberikan akan menambah jumlah barang
yang diperlukan oleh masyarakat. Kemudian kredit dapat pula membantu
dalam mengekspor barang dari dalam negri ke luar negri sehingga
meningkatkan devisa negara.
6. Untuk meningkatkan kegairahan berusaha.
Bagi si penerima kredit tentu akan dapat meningkatkan kegairahan
berusaha, apalagi bagi si nasabah yang memang modalnya pas-pasan.
7. Untuk meningkatkan pemerataan pendapatan.
Semakin banyak kredit yang disalurkan, akan semakin baik, terutama dalam
hal meningkatkan pendapatan. Jika sebuah kredit diberikan untuk
membangun pabrik, maka pabrik tersebut akan membutuhkan tenaga kerja
sehingga dapat pula mengurangi pengangguran. Di samping itu, bagi
masyarakat sekitar pabrik juga akan dapat meningkatkan pendapataannya
seperti membuka warung dan menyewakan rumah kontrakan atau jasa lain.
8. Untuk meningkatkan hubungan internasional.
Dalam hal pinjaman internasional akan dapat meningkatkan saling
membutuhkan antara si penerima kredit dan si pemberi kredit. Pemberian
2.2.4 Jenis-jenis Kredit
Kredit yang diberikakn bank umum dan bank perkreditan rakyat untuk
masyarakat terdiri dari berbagai jenis. Secara umum jenis-jenis kredit dapat dilihat
dari berbagai segi antara lain (Kasmir, 2009 : 103):
1. Dilihat dari segi kegunaan
a. Kredit investasi
Biasanya digunakan untuk keperluan perluasan usaha atau membangun
proyek/pabrik baru atau untuk keperluan rehabilitasi. Contoh kredit
investasi misalnya untuk membangun pabrik atau membeli mesin-mesin.
b. Kredit modal kerja
Digunakan untuk keperluan meningkatkan produksi dalam operasinya.
Sebagai contoh kredit modal kerja diberikan untuk membeli bahan baku,
membayar gaji pegawai atau biaya-biaya lainnya yang berkaitan dengan
proses produksi perusahaan.
2. Dilihat dari segi tujuan kredit
a. Kredit produktif
Kredit yang digunakan untuk peningkatan usaha atau produksi atau
investasi. Kredit ini diberikan untuk menghasilkan barang atau jasa.
Sebagai contohnya kredit untuk membangun pabrik yang nantinya akan
b. Kredit konsumtif
Kredit yang digunakan untuk dikonsumsi secara pribadi. Dalam kredit ini
tidak ada pertambahan barang dan jasa yang dihasilkan, karena memang
untuk digunakan atau dipakai oleh seseorang atau badan usaha. Sebagai
contoh kredit untuk perumahan.
c. Kredit perdagangan
Kredit yang digunakan untuk perdagangan, biasanya untuk membeli
barang dagangan yang pembayarannya diharapkan dari hasil penjualan
barang dagang tersebut. Kredit ini sering diberikan kepada supplier atau
agen-agen perdagangan yang akan membeli barang dalam jumlah besar.
3. Dilihat dari segi jangka waktu
a. Kredit jangka pendek
Merupakan kredit yang memiliki jangka waktu kurang dari 1 tahun atau
paling lama 1 tahun dan biasanya digunakan untuk keperluan modal
kerja. Contohnya kredit untuk peternakan ayam atau jika untuk pertanian
misalnya tanaman padi atau palawija.
b. Kredit jangka menengah
Jangka waktu kreditnya berkisar antara 1 tahun sampai 3 tahun, biasanya
untuk investasi. Contohnya kredit untuk pertanian seperti jeruk, atau
c. Kredit jangka panjang
Merupakan kredit yang masa pengembaliannya paling panjang. Kredit
jangka panjang waktu pengembaliannya di atas 3 tahun atau 5 tahun.
Contohnya kredit untuk perkebunan karet, kelapa sawit atau manufaktur
dan untuk kredit konsumtif seperti kredit perumahan.
4. Dilihat dari segi jaminan
a. Kredit dengan jaminan
Kredit yang diberikan dengan suatu jaminan, jaminan tersebut dapat
berupa barang berwujud atau tidak berwujud atau jaminan orang.
b. Kredit tanpa jaminan
Merupakan kredit yang diberikan tanpa jaminan barang atau orang
tertentu. Kredit ini diberikan dengan melihat prospek usaha dan karakter
serta loyalitas atau nama baik si calon debitur selama ini.
5. Dilihat dari segi sektor usaha
a. Kredit pertanian, merupakan kredit yang dibiayai untuk sektor
perkebunan atau pertanian rakyat.
b. Kredit peternakan, dalam hal ini untuk jangka pendek misalnya untuk
peternakan ayam dan jangka panjang kambing atau sapi.
c. Kredit industri, yaitu kredit untuk membiayai industri kecil, menengah
atau besar.
e. Kredit pendidikan, merupakan kredit yang diberikan untuk membangun
sarana dan prasarana pendidikan atau dapat pula berupa kredit untuk para
mahasiswa.
f. Kredit profesi, diberikan kepada profesional seperti dosen, dokter atau
pengacara.
g. Kredit perumahan, yaitu kredit untuk membiayai pembangunan atau
pembelian perumahan.
h. Dan sektor-sektor lainnya.
2.2.5 Prinsip-prinsip Pemberian Kredit
Dalam melakukan penilaian kriteria-kriteria serta aspek penilaian tetap sama.
Begitu pula dengan ukuran-ukuran yang ditetapkan sudah menjadi standar penilaian
setiap bank. Biasanya kriteria penilaian yang harus dilakukan oleh bank untuk
mendapatkan nasabah yang benar-benar menguntungkan dilakukan dengan analisa 5
C dan 7 P (Kasmir, 2009 : 108).
Adapun penjelasan untuk analisis dengan 5 C kredit adalah sebagai berikut:
1. Character
Suatu keyakinan bahwa sifat atau watak dari orang-orang yang akan
diberikan kredit benar-benar dapat dipercaya, hal ini tercermin dari latar
belakang si nasabah baik yang bersifat latar belakang pekerjaan maupun
2. Capacity
Untuk melihat nasabah dalam kemampuannya dalam bisnis yang
dihubungkan dengan pendidikannya, kemampuan bisnis juga diukur dengan
kemampuannya dalam memahami tentang ketentuan-ketentuan pemerintah.
Begitupula dengan kemampuannya dalam menjalankan usahanya selama ini.
Pada akhirnya akan terlihat “kemampuannya” dalam mengembalikan kredit
yang disalurkan.
3. Capital
Untuk melihat penggunaan modal apakah efektif, dilihat laporan keuangan
(neraca dan laporan laba rugi) dengan melakukan pengukuran seperti dari
segi likuiditas, solvabilitas, rentabilitas dan ukuran lainnya.
4. Colleteral
Merupakan jaminan yang diberikan calon nasabah baik yang bersifat fisik
maupun non fisik. Jaminan hendaknya melebihi jumlah kredit yang
diberikan. Jaminan juga harus diteliti keabsahannya, sehingga jika terjadi
suatu masalah, maka jaminan yang dititipkan akan dapat dipergunakan
secepat mungkin.
5. Condition
Dalam menilai kredit hendaknya juga dinilai kondisi ekonomi dan politik
sekarang dan dimasa yang akan datang sesuai sektor masing-masing, serta
Kemudian penilaian kredit dengan metode analisis 7 P adalah sebagai berikut:
1. Personality
Yaitu menilai nasabah dari segi kepribadian atau tingkah lakunya sehari-hari
maupun masa lalunya. Selain itu juga mencakup sikap, emosi, tingkah laku
dan tindakan nasabah dalam menghadapi masalah.
2. Party
Yaitu mengklasifikasikan nasabah kedalam golongan-golongan tertentu
berdasarkan modal, loyalitas serta karakternya. Sehingga nasabah dapat
digolongkan ke golongan tertentu dan akan mendapatkan fasilitas yang
berbeda dari bank.
3. Perpose
Yaitu untuk mengetahui tujuan nasabah dalam mengambil kredit, termasuk
jenis kredit yang diinginkan nasabah.
4. Prospect
Yaitu untuk menilai usaha nasabah di masa yang akan datang
menguntungkan atau tidak, atau dengan kata lain mempunyai prospek atau
tidak.
5. Payment
Merupakan ukuran bagaimana cara nasabah mengembalikan kredit yang
6. Profitability
Untuk menganalisis bagaimana kemampuan nasabah dalam mencari laba.
Profitability diukur dari periode ke periode apakah akan tetap sama atau
akan semakin meningkat, apalagi dengan tambahan kredit yang
diperolehnya.
7. Protection
Tujuannya adalah bagaimana menjaga agar usaha dan jaminan mendapatkan
perlindungan. Perlindungan dapat berupa jaminan barang atau orang atau
jaminan asuransi.
2.2.6 Aspek-aspek dalam Penilaian Kredit
Di samping menggunakan 5 C dan 7 P, maka penilaian suatu kredit layak atau
tidak untuk diberikan dapat dilakukan dengan menilai seluruh aspek yang ada.
Aspek-aspek yang dinilai antara lain sebagai berikut (Kasmir, 2009 : 111):
1. Aspek Yuridis/Hukum
Yang dinilai dalam aspek ini adalah masalah legalitas badan usaha serta
izin-izin yang dimiliki perusahaan yang mengajukan kredit. Penilaian
dimulai dengan akte pendirian perusahaan sehingga dapat diketahui
siapa-siapa pemilik dan besarnya modal masing-masing pemilik.
2. Aspek Pemasaran
Dalam aspek ini yang dinilai adalah permintaan terhadap produk yang
3. Aspek Keuangan
Aspek yang dinilai adalah sumber-sumber dana yang dimiliki untuk
membiayai usahanya dan bagaimana penggunaan dana tersebut.
4. Aspek Teknis/Operasi
Aspek ini membahas masalah yang berkaitan dengan produksi seperti
kapasitas mesin yang digunakan, masalah lokasi, lay out ruangan, dan
mesin-mesin termasuk jenis mesin yang digunakan.
5. Aspek Manajemen
Untuk menilai struktur organisasi perusahaan, sumber daya manusia yang
dimiliki serta latar belakang pengalaman sumber daya manusianya.
Pengalaman perusahaan dalam mengelola berbagai proyek yang ada dan
pertimbangan lainnya.
6. Aspek Sosial Ekonomi
Menganalisis dampaknya terhadap perekonomian dan masyarakat umum
seperti meningkatkan ekspor barang, mengurangi pengangguran,
meningkatkan pendapatan masyarakat, tersedianya sarana dan prasarana
serta membuka isolasi daerah tertentu.
7. Aspek Amdal
Menyangkut analisis terhadap lingkungan baik darat, air, atau udara jika
proyek atau usaha tersebut dijalankan. Analisis ini dilakukan secara
mendalam apakah apabila kredit tersebut disalurkan, maka proyek yang
2.2.7 Prosedur dalam Pemberian Kredit
Prosedur pemberian dan penilaian kredit oleh dunia perbankan secara umum
antara bank yang satu dengan bank yang lain tidak jauh berbeda. Yang menjadi
perbedaan mungkin hanya terletak dari prosedur dan persyaratan yang ditetapkannya
dengan pertimbangan masing-masing. Prosedur pemberian kredit secara umum dapat
dibedakan antara pinjaman perseorangan dengan pinjaman oleh suatu badan hukum.
Kemudian dapat pula ditinjau dari segi tujuan apakah untuk konsumtif atau
produktif.
Secara umum akan dijelaskan prosedur pemberian kredit oleh badan hukum
sebagai berikut (Kasmir, 2009 : 114):
1. Pengajuan berkas-berkas
Dalam hal ini pemohon kredit mengajukan permohonan kredit yang
dituangkan dalam suatu proposal. Kemudian dilampiri dengan
berkas-berkas lainnya yang dibutuhkan. Pengajuan proposal kredit hendaknya yang
berisi antara lain:
a. Latar belakang perusahaan seperti riwayat hidup singkat perusahaan,
jenis bidang usaha, identitas perusahaan, nama pengurus berikut
pengetahuan dan pendidikannya, perkembangan perusahaan serta
relasinya dengan pihak-pihak pemerintah dan swasta.
b. Maksud dan tujuan. Apakah untuk memperbesar omset penjualan atau
c. Besarnya kredit dan jangka waktu. Penilaian kelayakan besarnya kredit
dan jangka waktunya dapat dilihat dari cash flow serta laporan keuangan
tiga tahun terakhir.
d. Cara pemohon mengembalikan kredit, dijelaskan secara rinci cara-cara
nasabah dalam mengembalikan kreditnya apakah dari hasil penjualan
atau cara lainnya.
e. Jaminan kredit. Hal ini merupakan jaminan untuk menutupi segala risiko
terhadapa kemungkinan macetnya suatu kredit baik yang ada unsur
kesengajaan atau tidak. Selanjutnya proposal ini dilampiri dengan
berkas-berkas yang telah dipersyaratkan seperti akte notaris, tanda daftar
perusahaan, nomor pokok wajib pajak, neraca dan laporan rugi laba tiga
tahun terakhir, bukti diri dari pimpinan perusahaan dan foto kopi
sertifikat jaminan.
2. Penyelidikan berkas pinjaman
Tujuannya adalah untuk mengetahui apakah berkas yang diajukan sudah
lengkap sesuai persyaratan dan sudah benar.
3. Wawancara I
Merupakan penyidikan kepada calon peminjam dengan langsung
berhadapan dengan calon peminjam, untuk meyakinkan apakah
4. On the Spot
Merupakan kegiatan pemeriksaan ke lapangan dengan meninjau berbagai
objek yang akan dijadikan usaha atau jaminan.
5. Wawancara II
Merupakan kegiatan perbaikan berkas, jika mungkin ada
kekurangan-kekurangan pada saat telah dilakukan on the spot dilapangan.
6. Keputusan kredit
Dalam hal ini menentukan apakah kredit akan diberikan atau ditolak, jika
diterima, maka disiapkan administrasinya, biasanya keputusan kredit yang
akan mencakup jumlah uang yang diterima, jangka waktu kredit dan
biaya-biaya yang harus dibayar. Begitu pula bagi kredit yang ditolak, maka
hendaknya dikirim surat penolakan sesuai dengan alasannya
masing-masing.
7. Penandatanganan akad kredit/perjanjian lainnya
Kegiatan ini merupakan kelanjutan dari diputuskannya kredit, maka
sebelum kredit dicairkan maka terlebih dulu calon nasabah menandatangani
akad kredit, mengikat jaminan dengan hipotek dan surat perjanjian atau
pernyataan yang dianggap perlu. Penandatanganan dilaksanakan antara bank
8. Realisasi kredit
Realisasi kredit diberikan setelah penandatanganan surat-surat yang
diperlukan dengan membuka rekening giro atau tabungan di bank yang
bersangkutan.
9. Penyaluran/penarikan dana
Adalah pencairan atau pengambilan uang dari rekening sebagai realisasi dari
pemberian kredit dan dapat diambil sesuai ketentuan dan tujuan kredit yaitu
sekaligus atau secara bertahap.
2.3 Non Performing Loan
2.3.1 Pengertian Non Performing Loan (NPL)
Setiap bank akan menjumpai pinjaman yang membawa resiko lebih besar
daripada yang diperkirakan saat memberikan persetujuan permohonan kredit dalam
fortopolio kreditnya, bahkan juga pinjaman yang mungkin membawa resiko jauh
lebih besar daripada yang lazimnya masih bisa dihadapi. Pinjaman-pinjaman yang
demikian dikategorikan dalam pinjaman yang bermasalah.
Kredit bermasalah atau problem loan dapat diartikan sebagai pinjaman yang
mengalami kesulitan pelunasan akibat adanya faktor kesengajaan dan atau karena
faktor eksternal di luar kemampuan kendali debitur. Kredit bermasalah sering juga
disebut non performing loan yang dapat diukur dari kolektibilitasnya. Kolektibilitas
merupakan gambaran kondisi pembayaran pokok dan bunga pinjaman serta tingkat
berharga. Penilaian kolektibilitas kredit digolongkan kedalam 5 kelompok yaitu
(Kasmir, 2009 : 123):
1. Lancar (pas)
Suatu kredit dapat dikatakan lancar apabila:
a. Pembayaran angsuran pokok dan/atau bunga tepat waktu.
b. Memiliki mutasi rekening yang aktif.
c. Bagian dari kredit yang dijamin dengan agunan tunai (cash collateral).
2. Dalam perhatian khusus (special mention)
Dikatakan dalam perhatian khusus apabila memenuhi kriteria antara lain:
a. Terdapat tunggakan pembayaran angsuran pokok dan atau bunga yang
belum melampui 90 hari.
b. Kadang-kadang terjadi cerukan.
c. Jarang terjadi pelanggaran terhadap kontrak yang diperjanjikan.
d. Mutasi rekening relatif aktif.
e. Didukung dengan pinjaman baru.
3. Kurang lancar (substandard)
Dikatakan kurang lancar apabila memenuhi kriteria diantaranya:
a. Terdapat tunggakan pembayaran angsuran pokok dan atau bunga yang
telah melampaui 90 hari.
b. Sering terjadi cerukan.
d. Frekuensi mutasi rekening relatif rendah.
e. Terdapat indikasi masalah keuangan yang dihadapi debitur.
f. Dokumen pinjaman yang lemah.
4. Diragukan (doubtful)
Dikatakan diragukan apabila memenuhi kriteria diantaranya:
a. Terdapat tunggakan pembayaran angsuran pokok dan atau bunga yang
telah melampaui 180 hari.
b. Terjadi cerukan yang bersifat permanen.
c. Terjadi wanprestasi lebih dari 180 hari.
d. Terjadi kapitalisasi bunga.
e. Dokumen hukum yang lemah, baik untuk perjanjian kredit maupun
pengikatan jaminan.
5. Macet (loss)
Dikatakan macet apabila memenuhi kriteria antara lain:
a. Terdapat tunggakan pembayaran angsuran pokok dan atau bunga yang
telah melampaui 270 hari.
b. Kerugian operasional ditutup dengan pinjaman baru.
c. Dari segi hukum dan kondisi pasar, jaminan tidak dapat dicairkan pada
nilai yang wajar.
NPL mencerminkan resiko kredit, semakin kecil NPL semakin kecil pula
Bank Indonesia menetapkan kriteria rasio NPL net di bawah 5%. NPL dapat
diperoleh dengan cara menghitung rasio antara kredit bermasalah dengan total kredit.
Rumus: NPL
=
Kredit BermasalahTotal Kredit x 100%
Sumber. SEBI No.6/23/DPNP Tahun 2004
Rasio ini menunjukkan kemampuan manajemen bank dalam mengelola kredit
bermasalah yang diberikan oleh bank. Artinya, semakin tinggi rasio ini maka akan
semakin buruk kualitas kredit bank yang menyebabkan jumlah kredit bermasalah
semakin besar maka kemungkinan suatu bank dalam kondisi bermasalah semakin
besar yaitu kerugian yang diakibatkan tingkat pengembalian kredit macet.
2.3.2 Faktor-faktor Penyebab Terjadinya Non Performing Loan
Dari sisi perspektif bank, terjadinya kredit bermasalah disebabkan oleh
berbagai faktor yang dapat dibedakan sebagai berikut (Siamat, 2005 : 360):
1. Faktor Internal
Faktor internal kredit bermasalah berhubungan dengan kebijakan dan
strategi yang ditempuh pihak bank, yaitu:
a. Kebijakan perkreditan yang ekspansif
Bank yang memiliki kelebihan dana (excess liquidity) sering menetapkan
kebijaksanaan perkreditan yang terlalu ekspansif yang melebihi
pertumbuhan kredit secara wajar, yaitu dengan menetapkan sejumlah
target kredit yang harus dicapai untuk waktu tertentu yang cenderung
dalam memilih calon debitur dan kurang menerapkan prinsip-prinsip
perkreditan yang sehat dalam menilai permohonan kredit sebagaimana
seharusnya.
b. Penyimpangan dalam pelaksanaan prosedur perkreditan
Pejabat bank sering tidak mengikuti dan kurang disiplin dalam
menerapkan prosedur perkreditan sesuai dengan pedoman dan tata cara
pemberian kredit dalam suatu bank. Hal yang sering terjadi, bank tidak
mewajibkan calon debitur membuat studi kelayakan dan menyampaikan
data keuangan yang lengkap. Penyimpangan sistem dan prosedur
perkreditan tersebut bisa disebabkan karena jumlah dan kualitas sumber
daya manusia yang menangani masalah perkreditan belum memadai,
maupun karena adanya pihak dalam bank yang sangat dominan dalam
pemutusan kredit.
c. Lemahnya sistem administrasi dan pengawasan kredit
Hal ini dapat dilihat dari dokumen kredit yang seharusnya diminta dari
debitur tapi tidak dilakukan oleh bank, berkas perkreditan tidak lengkap
dan tidak teratur, pemantauan terhadap usaha debitur tidak dilakukan
secara rutin, termasuk peninjauan langsung pada lokasi usaha debitur
secara periodik. Lemahnya sistem administrasi dan pengawasan tersebut
menyebabkan kredit yang secara potensial akan mengalami masalah
d. Lemahnya sistem informasi kredit
Sistem informasi kredit yang tidak berjalan sebagaimana seharusnya
akan memperlemah keakuratan pelaporan bank yang pada gilirannya
akan sulit melakukan deteksi dini. Hal tersebut dapat menyebabkan
terlambatnya pengambilan langkah-langkah yang diperlukan untuk
mencegah terjadinya kredit bermasalah.
e. Itikad kurang baik dari pihak bank
Pemilik atau pengurus bank seringkali memanfaatkan keberadaan
banknya untuk kepentingan kelompok bisnisnya dengan sengaja
melanggar ketentuan kehati-hatian perbankan terutama ketentuan legal
lending limit. Skenario lain adalah pemilik dan atau pengurus bank
memberikan kredit kepada debitur yang sebenarnya fiktif hanya untuk
kepentingan pemilik atau pengurus bank.
2. Faktor Eksternal
Faktor eksternal ini sangat terkait dengan kegiatan usaha debitur yang
menyebabkan terjadinya kredit bermasalah antara lain terdiri dari:
a. Penurunan kegiatan ekonomi dan tingginya tingkat bunga kredit
Kegiatan usaha debitur rentan terhadap terjadinya penurunan kegiatan
ekonomi dan dalam waktu yang sama tingkat suku bunga mengalami
kenaikan yang tinggi. Penurunan kegiatan ekonomi dapat disebabkan
tingkat bunga naik dan pada gilirannya debitur tidak lagi mampu
membayar cicilan pokok dan bunga kredit.
b. Pemanfaatan iklim persaingan perbankan yang tidak sehat oleh debitur
Persaingan bank yang sangat ketat dalam penyaluran kredit dapat
dimanfaatkan debitur yang kurang memiliki itikad baik untuk
memperoleh kredit melebihi jumlah yang diperlukan, untuk usaha yang
tidak jelas, atau untuk kegiatan spekulatif. Dalam kondisi persaingan
yang tajam, sering bank menjadi tidak rasional dalam pemberian kredit
dan akan diperburuk dengan keterbatasan kemampuan teknis dan
pengalaman petugas bank dalam pengelolaan kredit.
c. Kegagalan usaha debitur
Kegagalan usaha debitur dapat terjadi karena sifat usaha debitur yang
sensitif terhadap pengaruh eksternal (external factors), misalnya
kegagalan dalam pemasaran produk; karena perubahan harga dipasar,
adanya perubahan pola konsumen, dan pengaruh perekonomian nasional.
d. Debitur mengalami musibah
Musibah dapat saja terjadi pada debitur, misalnya meninggal dunia,
lokasi usahanya mengalami kebakaran atau kerusakan sementara usaha
3. Faktor Eksternal Bank dan Debitur
Yang mempengaruhi kelancaran usaha perusahaan atau bank yaitu:
a. Menurunnya kondisi ekonomi dan moneter negara atau sektor usaha.
Bagi banyak perusahaan dampak langsungnya adalah menurunnya hasil
penjualan barang dan jasa yang dihasilkan. Selanjutnya profitabilitas dan
likuiditas keuangan menurun, sehingga kemampuan membayar pinjaman
terpengaruhi. Manakala perekonomian mengalami krisis, maka biasanya
tabungan masyarakat akan menjadi rendah dan konsumsi akan menjadi
tinggi karena kurangnya kepercayaan pada lembaga perbankan dan
semakin mahal dan langkanya barang-barang kebutuhan.
b. Situasi politik dalam dan luar negeri yang merugikan.
c. Meningkatnya tingkat suku bunga pinjaman.
d. Bencana alam yang merusak atau memusnahkan fasilitas produksi yang
mereka miliki.
e. Peraturan pemerintah dapat menjadi sebab lain merosotnya kemampuan
debitur bank mengembalikan kredit. Peraturan yang bersifat membatasi
berdampak besar atas situasi keuangan dan operasional serta manajemen
nasabah serta adanya perubahan kebijaksanaan pemerintah di sektor rill.
f. Melemahnya kurs nilai tukar mata uang nasional terhadap mata uang
asing. Faktor kurs nilai tukar semakin besar pengaruhnya terhadap
Hal ini menyebabkan beban bunga dan pembayaran kembali kredit
meningkat sampai diluar batas debitur untuk memikulnya.
2.3.3 Indikasi Kredit Bermasalah
Deteksi merupakan suatu kemampuan untuk mengenali tanda-tanda
kemungkinan adanya suatu masalah atau paling tidak mengarah ke suatu masalah
terhadap kredit yang sedang berjalan. Indikasi kemungkinan terjadinya kredit
bermasalah dapat dibedakan dari dua sumber yaitu (Siamat, 2005 : 359):
1. Indikasi internal
a. Perkembangan kondisi keuangan yang cenderung berlawanan dari
proyeksi yang diharpkan.
b. Terjadi penundaan pembayaran cicilan pokok dan bunga.
c. Ada anggota eksekutif perusahaan yang mengundurkan diri.
d. Meningkatnya penggunaan fasilitas overdraft.
e. Permintaan penambahan kredit tanpa menyertakan data-data keuangan
yang lengkap dan mutakhir.
f. Permohonan perpanjangan atau penjadwalan ulang.
g. Usaha nasabah terlalu ekspansif.
h. Debitur menghindari penyampaian informasi keuangan pada saat
2. Indikasi eksternal
a. Adanya penyelidikan dari lemabaga-lembaga keuangan lain.
b. Kreditur lain melakukan tindakan proteksi, misalnya penambahan dan
pengikatan barang jaminan secara normal.
c. Kegagalan perusahaan membayar pajak.
d. Ada anggota eksekutif perusahaan yang mengundurkan diri.
e. Pemogokan buruh (pekerja) secara terorganisasi.
f. Permohonan perpanjangan atau penjadwalan ulang.
g. Peluncuran produksi baru oleh pesaing.
2.3.4 Penyelamatan Kredit Bermasalah
Penyelamatan kredit merupakan usaha yang dilakukan bank terhadap kredit
yang digolongkan sebagai kredit bermasalah. Penyelamatan kredit dimaksud sebagai
upaya terakhir untuk menyelesaikan kredit yang tergolong kredit bermasalah atau
non performing loan setelah semua upaya pembinaan kredit dilakukan.
Kredit yang telah diklasifikasi sebagai kredit bermasalah, sebelum dilakukan
penyelamatan dapat ditempuh beberapa usaha sebagai berikut (Siamat, 2005 : 362):
1. Peringatan tertulis untuk segera menyelesaikan kewajibannya yang
tertunggak disamping usaha lain untuk melakukan penagihan. Peringatan
tersebut dapat diulangi sampai tiga kali. Apabila debitur belum juga
menyelesaikan kewajibannya, maka bank dapat mencabut fasilitas kredit
2. Apabila setelah dilakukan peringatan tiga kali namun belum ada reaksi dan
usaha debitur untuk melunasi utangnya, dapat ditempuh jalur hukum yaitu
lembaga somatie yang ada di Pengadilan Negeri bagi bank swasta.
Sedangkan bagi bank BUMN melalui Badan Urusan Piutang dan Lelang
Negara (BUPLN).
Beberapa cara pendekatan yang dapat dipertimbangkan dalam upaya
penyelamatan kredit bermasalah sebagai berikut:
1. Rescheduling (penjadwalan ulang)
Yaitu perubahan persyaratan kredit yang hanya menyangkut jadwal
pembayaran dan atau jangka waktu kredit. Kredit yang memperoleh fasilitas
rescheduling hanyalah debitur yang memenuhi persyaratan tertentu antara
lain: usaha debitur memiliki prospek untuk bangkit kembali, debitur
menunjukkan itikad baik yaitu memiliki willingness to pay, dan adanya
keyakinan bahwa debitur tetap berminat dan berniat untuk terus mengelola
usahanya. Dalam proses rescheduling ini tunggakan pokok dan bunga
dijumlahkan (dikapitalisasi) untuk kemudian dijadwalkan kembali
pembayarannya dan untuk itu dibuat perjanjian rescheduling tersendiri.
2. Reconditioning (persyaratan ulang)
Yaitu perubahan sebagian atau seluruh syarat-syarat kredit yang tidak
terbatas pada perubahan jadwal pembayarannya, jangka waktu, dan atau
persyaratan lainnya, sepanjang tidak menyangkut perubahan maksimum
keringanan berupa pembebasan sebagian bunga tertunggak atau penghentian
perhitungan bunga bagi debitur yang bersifat jujur, terbuka dan cooperative,
serta bagi debitur yang usahanya masih potensial dapat beroperasi dengan
menguntungkan namun mengalami kesulitan keuangan.
3. Restructuring (penataan ulang)
Yaitu perubahan syarat-syarat kredit yang menyangkut penambahan dana
bank, konversi seluruh atau sebagian dari kredit menjadi penyertaan dalam
perusahaan, yang dapat disertai dengan penjadwalan kembali dan atau
persyaratan kembali.
4. Eksekusi Barang Jaminan
Yaitu penjualan barang-barang yang dijadikan jaminan dalam rangka
pelunasan utang. Pelaksanaan ini dilakukan terhadap kategori kredit yang
memang benar-benar, menurut bank, usaha debitur sudah tidak dapat lagi
dibantu untuk disehatkan kembali atau usaha nasabah yang sudah tidak
memiliki prospek untuk dikembangkan.
2.3.5 Dampak Non Performing Loan
Kredit macet dalam jumlah besar yang relatif besar atau bahkan informasi yang
tidak benar mengenai kredit macet yang dialami bank tertentu, jika tidak segera
diambil langkah penanggulangan, maka akan menimbulkan kegelisahan pada
nasabah bank yang bersangkutan dan memungkinkan terjadinya rush. Kredit macet
1. Makro, mengingat sebagian dana yang dihimpun bank digunakan untuk
menutup kewajiban baik jangka pendek atau panjang, maka kemampuan
bank dalam memberikan kredit baru menjadi berkurang sehingga menutup
kemungkinan calon debitur baru untuk memperoleh fasilitas kredit dari bank
yang bersangkutan. Dampak lainnya bank cenderung terlalu selektif dan
berhati-hati memberikan kredit sehingga ekspansi pemberian kredit menjadi
menurun. Selain itu proses pemberian kredit cenderung lama dari prosedur
normal dan mengakibatkan biaya dana serta bunga kredit menjadi lebih
tinggi.
2. Mikro, merugikan perkembangan usaha dan kesehatan bank. Keadaan
tersebut mempengaruhi likuiditas bank, dalam arti kemungkinan bank tidak
dapat memenuhi kewajibannya segera. Disamping itu, bekerjanya
penerimaan mempengaruhi solvabilitas dan rentabilitas bank, hal tersebut
juga akan mempengaruhi keadaan permodalan.
2.4 Loan to Deposit Ratio (LDR)
Loan to Deposit Ratio merupakan rasio yang mengukur kemampuan bank
untuk memenuhi kewajiban keuangan yang harus segera dipenuhi. Kewajiban
tersebut berupa call money yang harus dipenuhi pada saat adanya kewajiban kliring,
dimana pemenuhannya dilakukan dari aktiva lancar yang dimiliki perusahaan.
LDR menggambarkan kemampuan bank membayar kembali penarikan yang
dilakukan nasabah deposan dengan mengandalkan kredit yang diberikan sebagai
likuiditas bank. Hal ini dikarenakan penyaluran kredit merupakan salah satu tujuan
dari penghimpunan dana bank, yang sekaligus memberikan kontribusi pendapatan
terbesar bagi bank. Semakin banyak kredit yang disalurkan, maka semakin illiquid
suatu bank, karena seluruh dana yang berhasil dihimpun telah disalurkan dalam
bentuk kredit, sehingga tidak terdapat kelebihan dana untuk dipinjamkan lagi atau
untuk diinvestasikan.
Tingginya rasio LDR ini, di satu sisi menunjukkan pendapatan bank yang
semakin besar, tetapi menyebabkan suatu bank menjadi tidak likuid dan memberikan
konsekuensi meningkatnya risiko yang harus ditanggung oleh bank, berupa
meningkatnya jumlah Non Performing Loan atau Credit Risk, yang mengakibatkan
bank mengalami kesulitan untuk mengembalikan dana yang telah dititipkan oleh
nasabah, karena kredit yang disalurkan mengalami kegagalan atau bermasalah.
Namun, disisi lain, rendahnya rasio LDR, walaupun menunjukkan tingkat
likuiditas yang semakin tinggi, tetapi menyebabkan bank memiliki banyak dana
menganggur (idle fund) yang apabila tidak dimanfaatkan dapat menghilangkan
kesempatan bank untuk memperoleh pendapatan sebesar-besarnya, dan menunjukkan
bahwa fungsi utama bank sebagai financial intermediary tidak berjalan.
Bank Indonesia selaku otoritas moneter menetapkan batas LDR berada pada
tingkat 85%-100%. LDR dapat diperoleh dengan cara menghitung rasio antara total
kredit dengan dana pihak ketiga.
Rumus: LDR = Total Kredit
Total kredit merupakan jumlah seluruh kredit yang dikeluarkan oleh bank,
mencakup kredit menurut guna, kredit menurut tujuan, kredit menurut rentang waktu,
kredit menurut barang jaminan, kredit menurut usaha hingga kredit berdasarkan
tingkat kesehatan. Selanjutnya dana pihak ketiga merupakan dana yang dihimpun
oleh sebuah bank dalam bentuk simpanan misalnya giro, simpanan tabungan dan
deposito.
2.5 Capital Adequacy Ratio (CAR)
Capital Adequacy Ratio adalah kecukupan modal yang menunjukkan
kemampuan bank dalam mempertahankan modal yang mencukupi dan kemampuan
manjemen bank dalam mengidentifikasi, mengukur, mengawasi dan mengontrol
resiko-resiko yang timbul yang dapat berpengaruh terhadap besarnya modal.
Perhitungan Capital Adequacy Ratio didasarkan pada prinsip bahwa setiap
penanaman yang mengandung resiko harus disediakan jumlah modal sebesar
persentase tertentu terhadap jumlah penanamannya. Bank yang termasuk bank yang
sehat, apabila memiliki CAR paling sedikit sebesar 8% sesuai dengan standar Bank
for International Settlements (BIS). CAR dapat diperoleh dengan cara menghitung
rasio antara modal dengan aktiva tertimbang menurut resiko.
Rumus: CAR = Modal
Aktiva Tertimbang Menurut Risiko x 100%
Sumber. SEBI No.6/23/DPNP Tahun 2004
Modal yang dimaksud adalah modal inti dan modal pelengkap. Modal inti bank
terdiri dari modal disetor, agio saham, cadangan umum, cadangan tujuan, laba yang
perusahaan yang laporan keuangannya dikonsolidasikan. Sedangkan modal
pelengkap terdiri atas cadangan revaluasi aktiva, cadangan penghapusan aktiva yang
diklasifikasikan, modal kuasi dan pinjaman subordinasi (Pandia, 2012 : 33).
2.5.1 Aktiva Tertimbang Menurut Resiko (ATMR)
Aktiva Tertimbang Menurut Resiko (ATMR) adalah aktiva neraca dan aktiva
aministrastif yang telah dibobot sesuai tingkat bobot resiko yang telah ditentukan.
Menurut Pandia (2012 : 37), yang dimaksud dengan aktiva dalam perhitungan ini
mencakup baik aktiva yang tercantum dalam neraca maupun aktiva yang bersifat
administratif sebagaimana tercermin pada kewajiban yang masih bersifat
contingency atau komitmen yang disediakan oleh bank bagi pihak ketiga.
ATMR diperoleh dengan cara mengalikan nilai nomunal aktiva dengan bobot
resiko. Semakin likuid aktiva resikonya nol dan semakin tidak likuid bobot resikonya
100, sehingaa resiko berkisar antara 0 – 100%.
2.6 Return on Assets (ROA)
Return on Assets adalah rasio yang menunjukkan perbandingan antara laba
(sebelum pajak) dengan total aset bank, rasio ini menunjukkan tingkat efisiensi
pengelolaan aset yang dilakukan oleh bank yang bersangkutan. ROA merupakan
indikator kemampuan perbankan untuk memperoleh laba atas sejumlah aset yang
dimiliki oleh bank. ROA dapat diperoleh dengan cara menghitung rasio antara laba
setelah pajak dengan toal aktiva.
Rumus: ROA = Laba Sebelum Pajak
Berdasarkan ketentuan Bank Indonesia, maka standar ROA yang baik adalah
sebesar 1,5%. Semakin besar nilai ROA suatu bank maka semakin besar tingkat
keuntungan yang dicapai oleh bank tersebut.
2.7 Net Interest Margin (NIM)
Net Interest Margin adalah rasio yang digunakan untuk mengukur kemampuan
manajemen bank dalam mengelola aktiva produktifnya untuk menghasilkan
pendapatan bunga bersih. Pendapatan bunga bersih diperoleh dari pendapatan bunga
dikurangi beban bunga. Semakin besar rasio ini maka meningkatkan pendapatan
bunga atas aktiva produktif yang dikelola bank sehingga kemungkinan suatu bank
dalam kondisi bermasalah semakin kecil, sebaliknya ketika NIM menunjukkan
persentase yang minim, maka akan terjadi kecenderungan munculnya kredit macet.
NIM adalah perbandingan antara pendapatan bunga bersih dengan rata-rata aktiva
produktif.
Rumus: NIM = Pendapatan Bunga Bersih
Rata−rata Aktiva Produktif
x
100%Sumber. SEBI No.6/23/DPNP Tahun 2004
Adapun standar yang ditetapkan Bank Indonesia untuk rasio NIM adalah 6%
keatas. Untuk dapat meningkatkan perolehan NIM maka perlu menekan biaya dana,
biaya dana adalah bunga yang dibayarkan oleh bank kepada masing-masing sumber
dana bank yang bersangkutan. Secara keseluruhan, biaya yang harus dikeluarkan
oleh bank akan menentukan berapa persen bank harus menetapkan tingkat bunga
kredit yang diberikan kepada nasabahnya untuk memperoleh pendapatan bersih
2.8 Biaya Operasional Pendapatan Operasional (BOPO)
Rasio yang sering disebut rasio efisiensi ini digunakan untuk mengukur
kemampuan manajemen bank dalam mengendalikan biaya operasional terhadap
pendapatan operasional. Semakin kecil rasio ini berarti semakin efisien biaya
operasional yang dikeluarkan bank yang bersangkutan sehingga kemungkinan suatu
bank dalam kondisi bermasalah semakin kecil. Biaya operasional dihitung
berdasarkan penjumlahan dari total beban bunga dan total beban operasional lainnya.
Pendapatan operasional adalah penjumlahan dari total pendapatan bunga dan total
pendapatan operasional lainnya.
Rumus: BOPO = Biaya Operasional
Pendapatan Operaional x 100%
Sumber. SEBI No.6/23/DPNP Tahun 2004
Menurut ketentuan Bank Indonesia efisiensi operasi diukur dengan BOPO
dengan batas maksimum BOPO adalah 90%. Semakin kecil rasio BOPO
menunjukkan semakin efisien suatu bank dalam menjalankan aktivitas usahanya.
Efisiensi operasi juga mempengaruhi kinerja bank, BOPO menunjukkan apakah bank
telah menggunakan semua faktor produksinya dengan tepat guna dan berhasil.
2.9 Penelitian Terdahulu
Beberapa penelitian sebelumnya yang sejenis dengan penelitian ini dan terkait
faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya non performing loan secara ringkas
Tabel 2.1
Ringkasan Penelitian Terdahulu
No Nama, Tahun dan Judul
Metode Hasil Penelitian
1. Hermawan
Variabel independen yang bersifat makro seperti kurs dan inflasi mempunyai pengaruh positif terhadap terjadinya NPL, sebaliknya variabel GDP tidak cukup berpengaruh terhadap terjadinya NPL. Sedangkan untuk variabel mikro, menunjukkan bahwa kualitas aktiva produktif mempunyai pengaruh paling kuat. Sedangkan untuk variabel CAR, tingkat bunga pinjaman bank dan LDR relatif lebih lemah, namun ketiganya secara signifikan mempunyai andil dalam mempengaruhi terjadinya NPL pada bank umum komersial.
2. Iksan Adisaputra (2012)
Variabel CAR, LDR, NIM dan BOPO secara parsial dan secara simultan memiliki pengaruh signifikan dan positif terhadap NPL pada PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. Variabel CAR dan BOPO yang paling berpengaruh terhadap NPL dengan hasil uji t yang lebih besar dibandingkan dengan variabel LDR dan NIM.
No Nama, Tahun dan Judul
Metode Hasil Penelitian
4. Juliana
NPL tidak mempunyai hubungan yang sangat kuat terhadap LDR, hal ini dapat dilihat dari hasil perhitungan nilai koefisien korelasi yang tidak meningkat. Sedangkan tingkat LDR berpengaruh lemah terhadap NPL pada PT Bank BUMN di Indonesia.
Terdapat pengaruh secara simultan variabel-variabel penilaian agunan, besaran kredit, lokasi dan petugas bank terhadap non performing loan. Variabel penilaian agunan, besaran kredit dan lokasi berpengaruh positif dan variabel petugas bank berpengaruh negatif terhadap non performing loan. Variabel penilaian agunan merupakan variabel yang dominan.
Variabel kondisi internal BPR, kondisi calon debitur dan kondisi lingkungan BPR berpengaruh positif dan signifikan terhadap strategi pemberian kredit. Dan startegi pemberian kredit yang diterapkan oleh BPR berpengaruh negatif dan signifikan terhadap NPL.
Sumber: dari berbagai penelitian
2.10 Kerangka Konseptual
Dalam teori maupun dari hasil penelitian sebelumnya dapat kita ketahui bahwa
terdapat banyak variabel yang dinyatakan mempengaruhi terjadinya non performing
variabel yang digunakan adalah CAR, ROA, NIM, BOPO dan LDR, sedangkan
variabel yang lainnya dianggap konstan.
PY2X1
Keterangan: Pada gambar diatas, variabel endogeneous (LDR dan NPL)
dipengaruhi oleh variabel-variabel eksogeneous (CAR, ROA, NIM dan BOPO) serta
LDR juga mempengaruhi NPL.
2.11 Hipotesis
Hipotesis merupakan jawaban sementara berdasarkan rumusan masalah yang
kebenarannya perlu diuji secara ilmiah, berdasarkan kerangka konseptual yang sudah
dikemukakan di atas maka penulis merumuskan hipotesisnya adalah sebagai berikut:
1. Variabel Capital Adequacy Ratio (CAR), Return on Assets (ROA), Net
(BOPO) secara langsung berpengaruh terhadap variabel Loan to Deposit
Ratio (LDR) pada perbankan yang go public di Bursa Efek Indonesia.
2. Variabel Capital Adequacy Ratio (CAR), Return on Assets (ROA), Net
Interest Margin (NIM) dan Biaya Operasional Pendapatan Operasional
(BOPO) secara langsung berpengaruh terhadap terjadinya variabel Non
Performing Loan (NPL) pada perbankan yang go public di Bursa Efek