BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) diatur pada pasal 222 sampai
dengan pasal 294 UU Kepailitan dan PKPU. Adapun PKPU ini berkaitan dengan
ketidakmampuan membayar (involensi) debitur terhadap utang-utangnya terhadap
kreditor.
Penundaan pembayaran utang adalah suatu masa yang diberikan oleh
undang-undang melalui putusan hakim pengadilan niaga di mana dalam masa tersebut kepada
pihak kreditor dan debitur diberikan kesempatan untuk melakukan restrukturisasi
dengan memberikan rencana pembayaran seluruh atau sebagian dari utangnya atau
dengan kata lain PKPU sejenis dengan legal moratorium (rencana perdamaian).1
Namun, PKPU bukanlah satu-satunya cara untuk melepaskan si debitur dari
kepailitan dan lukuditas terhadap harta bendanya. Ada dua cara untuk melepaskan si
debitur dari kepailitan ini, yaitu dengan mengajukan penundaan kewajiban pembayaran
utang dan dengan mengadakan perdamaian antara debitur dengan kreditornya, setelah
debitur dinyatakan pailit oleh pengadilan. Perdamaian ini memang tidak dapat
menghindarkan kepailitan, karena kepailitan itu sudah terjadi, akan tetapi apabila
1
perdamaian itu tercapai maka kepailitan debitur yang telah diputus oleh pengadilan itu
menjadi berakhir.2
Urgensi antara kepailitan dengan PKPU merupakan upaya untuk menghindari
dari putusan sita harta akibat gagal bayar sebagai implikasi dari putusan hakim. PKPU
membuka kembali peluang untuk renegosiasi antara kreditor dan debitur. Karena jika
debitur lebih memilih jalur pengadilan dan hingga ia mendapati bahwa kalah dan
dinyatakan pailit oleh hakim maka ia akan berhadapan dengan akibat hukum secara
garis besar adalah debitur kehilangan kewenangan atau tidak bisa berbuat bebas atas
harta kekayaan yang dimilikinya.3
2
Sutan Remy Sjahdeini, Hukum Kepailitan: Memahami Fallisment Voordering, Junto Undang-Undang No,37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan, (Jakarta : Penerbit Pustaka Utama, 2009), hlm 321
3
Andhika Prayoga, Solusi Hukum ketika Bisnis Terancan Pailit (Bangkrut), Cetakan pertama, (Yogyakarta: Penerbit Pustaka Yustisia, 2014), hlm 33
Di Indonesia tidak dikenal adanya "insolvency test" terlebih dahulu sebelum
diajukan permohonan pailit. Harusnya Undang-Undang Kepailitan juga memberikan
pengaturan tentang kondisi keuangan debitor sebagai syarat untuk bisa dinyatakan
pailit. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 mengandung prinsip kelangsungan usaha,
dimana debitor yang masih prospektif dimungkinkan untuk melangsungkan usahanya.
Untuk melihat prospektif debitor salah satunya dapat dilihat dari keadaan keuanganya.
Namun, Undang-undang Kepailitan sama sekali tidak menyinggung tentang kondisi
keuangan debitor sebagai syarat dijatuhkanya putusan pailit. Lembaga kepailitan
harusnya digunakan sebagai upaya terakhir (ultimum remedium) dalam menyelesaikan
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 dalam penjelasannya menyebutkan
bahwa keberadaan undang-undang ini mendasarkan pada sejumlah prinsip-prinsip
kepailitan khususnya prinsip kelangsungan usaha, Dalam undang-undang ini, terdapat
ketentuan yang memungkinkan perusahaan Debitor yang prospektif tetap
dilangsungkan. Pemerintah menegaskan bahwa Pasal 242 ayat (2) UU Nomor 37 tahun
2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU)
memungkikan kelangsungan usaha debitor. Ketentuan a quo (pasal 242 ayat (2) UU
Kepailitan) ini memungkinkan kelangsungan usaha debitor. dengan masih
berlangsungnya usaha debitur untuk melunasi utang kepada kreditur secara
keseluruhan berdasarkan rencana perdamaian yang disepakati dalam PKPU untuk
memenuhi rasa keadilan bagi para pihak yang berkepentingan.4
Kelangsungan usaha dari perusahaan membawa dampak positif bagi hubungan
tenaga kerja. Para tenaga kerja tetap dipertahankan guna menjalankan usaha yang
secara makro akan membawa kesejahteraan. Barang tentu dengan tetap eksisnya
kegiatan perusahaan. Barang tentu dengan tetap eksisnya kegiatan perusahaan, tenaga Alasan kelangsungan usaha merupakan harapan para debitur dalam
permohonan PKPU. Hal itu terutama didasarkan kepada kondisi kesulitan keuangan
(usaha) perusahaan dan jika debitur harus dinyatakan pailit, maka ia tidak dapat lagi
meneruskan usahanya serta banyaknya tenaga kerja yang harus diputus hubungan
kerjanya yang tidak mustahil akan menjadi beban (tekanan) pengangguran yang harus
ditanggung negara.
4
kerja yang bekerja pada perusahaan tetap dipertahankan, jadi dapat menghindari
pemutusan hubungan kerja (PHK).5
Proses Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang selain dimaksudkan untuk
memberikan perlindungan hukum bagi para Debitor yang beritikad baik tetapi juga
memberikan perlindungan hukum bagi pihak Kreditor, yang mungkin lebih
menguntungkan daripada apabila ditempuh dengan cara melalui gugatan Permohonan
Pailit. PKPU sesungguhnya bertujuan untuk mencegah kepailitan seorang Debitor yang
tidak dapat membayar pada saat jatuh tempo, tetapi mungkin dapat membayar dimasa
datang. Saat itu Debitor sedang mengalami kesulitan likuiditas, maka apabila diberi
tambahan waktu besar harapan Debitor dapat melunasi utangnya. Pernyataan pailit
dalam keadaan yang demikian dapat berakibat pengurangan nilai modal atau nilai
perusahaan yang tentu saja tidak menguntungkan Kreditor. Ternyata dalam Praktiknya,
penyelesaian melalui Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) tidak selalu
berakhir dengan disahkannya Perdamaian antara Pemohon PKPU dengan para
Kreditornya, namun dimungkinkan oleh Undang- Undang berdasarkan Pasal 230 ayat (1)
Undang-Undang No.37 tahun 2004, yang menyatakan : “Apabila jangka waktu
penundaan kewajiban pembayaran utang sementara berakhir, karena Kreditor tidak
menyetujui pemberian penundaan kewajiban pembayaran utang tetap atau
perpanjangannya sudah diberikan, tetapi sampai dengan batas waktu sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 228 ayat (6) belum tercapai persetujuan terhadap rencana
perdamaian, pengurus pada hari berakhirnya waktu tersebut wajib memberitahukan hal
itu melalui Hakim Pengawas kepada Pengadilan yang harus menyatakan Debitor Pailit
5
paling lambat pada hari berikutnya”. Hal tersebut dapat dilihat dalam Putusan
Mahkamah Agung Nomor 156 PK/PDT.SUS/2012 yang menyatakan Debitor dalam
keadaan Pailit setelah pembahasan Rencana Perdamaian tidak memenuhi quorum.
Berdasarkan uraian diatas, maka penulis tertarik untuk melakukan pengkajian
secara mendalam melalui sebuah penelitian (skripsi) dengan judul “PENERAPAN PRINSIP KELANGSUNGAN USAHA DALAM PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG (STUDI KASUS PUTUSAN MA NO 156 PK/PDT.SUS/2012)”.
B.
Perumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang akan dibahas di dalam skripsi ini adalah:
1. Bagaimanakah pengaturan PKPU UU No. 37 tahun 2004?
2. Bagaimanakah prinsip kelangsungan usaha dalam PKPU?
3. Bagaimanakah prinsip kelangsungan dalam PKPU dalam Putusan MA No. 156
PK/PDT.SUS/2012?
C.
Tujuan dan Manfaat Penulisan
Penulisan ini dilakukan dengan tujuan dan manfaat yang hendak dicapai, yaitu:
1. Tujuan penulisan
Berdasarkan perumusan masalah sebagaimana yang telah diuraikan diatas maka
tujuan dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:
a. Untuk mengetahui asuransi sebagai lembaga lembaga pengalihan resiko.
b. Untuk mengetahui keberadaan asuransi dalam pemberian kredit perbankan.
2. Manfaat penulisan
Apabila tujuan-tujuan sebagaimana dirumuskan diatas tercapai, maka
diharapkan penelitian ini memenuhi dua aspek kegunaan sekaligus, yaitu:
a. Aspek keilmuan, yakni penelitian ini diharapkan mampu memberikan kontribusi
positif bagi perbendaharaan konsep, metode maupun pengembangan teori
dalam konteks studi ilmu hukum pada umumnya, dan di bidang Hukum Asuransi
dan Hukum Perbankan pada khususnya.
b. Aspek praktis, yakni hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai informasi awal,
baik bagi peneliti yang hendak meneliti bidang kajian yang sama maupun bagi
para perencana dan pelaksana hukum sesuai dengan profesi yang diembannya
masing-masing.
D. Keaslian Penulisan
Berdasarkan hasil penelitian dan pemeriksaan di Perpustakaan Pusat Universitas
Sumatera Utara dan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara maka diketahui bahwa
belum pernah dilakukan penulisan yang serupa mengenai “Penerapan prinsip
kelangsungan usaha dalam penundaan kewajiban pembayaran utang (studi kasus
Putusan MA NO 156 PK/PDT.SUS/2012)”. Oleh karena itu, penulisan skripsi ini
merupakan ide asli penulis, adapun tambahan ataupun kutipan dalam penulisan ini
bersifat menambah penguraian penulis dalam skripsi ini. Dengan demikian keaslian
penulisan skripsi ini adalah ide penulis dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah
E.
Tinjauan Pustaka
Penundaan pembayaran diajukan oleh debitor kepada pengadilan niaga
bilamana debitor dalam keadaan masih mampu membayar utang-utangnya, akan tetapi
memerlukan waktu untuk membayar. Permohonan penundaan pembayaran harus
diajukan kepada pengadilan niaga dengan dilampirkan surat bukti yang berkenaan
dengan jumlah piutang dan utang harta pailit, yang disertai dengan identitas daripada
para pihak.
Di dalam penundaan pembayaran, debitor tidak hilang haknya untuk menguasai
dan mengurus harta kekayaan, namun demikian dalam mengurus harta kekayaan
debitor harus dibantu oleh seorang atau lebih pengurus. Pengurus berkewajiban untuk
memberi laporan kepada pengadilan niaga tentang keadaan harta kekayaan debitor
setiap triwulan. Secara formal kedudukan debitor yang diberi penundaan pembayaran
berbeda dengan kedudukan seseorang yang dinyatakan pailit, tetapi ia tidak dapat
berbuat sesuatu dalam lapangan harta kekayaan tanpa kerjasama, kuasa dan bantuan
dari pengurus, dengan sanksi pengurus berwenang melakukan segala perbuatan yang
diperlukan untuk tidak dirugikannya harta kekayaan.
Dengan adanya penundaan pembayaran yang bersifat definitif, gugurlah semua
penyitaan dan penyanderaan, akan tetapi penundaan pembayaran tidak menahan
jalannya diadakan perkara-perkara yang sedang bergantung dan tidak menghalangi
tidak dapat dipaksa untuk membayar utang-utang yang dikenakan penundaan
pembayaran.6
Penundaan kewajiban pemebayaran utang (PKPU) ini dapat diajukan terhadap
debitor yang memiliki lebih dari satu kreditor, dan debitor tidak dapat atau diperkirakan
tidak dapat melanjutkan pembayaran utang yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih.7
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) merupakan suatu istilah yang
selalu dikaitkan dengan masalah kepailitan. Istilah ini juga pada umumnya sering
dihubungkan dengan masalah insolvensi atau keadaan tidak mampu membayar dari
debitur atas utang-utangnya yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih seketika. PKPU
harus ditetapkan oleh Hakim Pengadilan Niaga atas permohonan dari debitur dan atau
kreditornya. Ketentuan mengenai PKPU ini diatur dalam Bab III dari pasal 222 hingga 294
Undang-Undang Kepailitan dan PKPU.8
Debitur yang tidak dapat memperkirakan bahwa ia tidak dapat melanjutkan
membayar utang-utangnya yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih, dapat memohon
penundaan kewajiban pembayaran utang, dengan maksud untuk mengajukan rencana
perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran seluruh atau sebagian utang kepada
para kreditor.9
Hal yang berbeda dari peraturan kepailitan sebelumnya adalah UU No.37 Tahun
2004 sudah lebih lengkap mengatur masalah penundaan kewajiban debitor untuk
6
Elsi Kartika Sari dan Advendi Simangunsong, Hukum dalam Ekonomi, Edisi revisi, (Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia, 2005), hlm 150
7
Ridwan Khairandy, Pengantar Hukum Dagang, Cetakan pertama, (Yogyakarta: FH UII Press, 2006), hlm 276
8
Gunawan Widjaja, Risiko Hukum & Bisnis Perusahaan Pailit,Cetakan Pertama, (Jakarta: Forum Sahabat, 2009), hlm 149
9
membayar utang-utangnya dengan maksud debitor yang memiliki iktikad baik untuk
menyelesaikan seluruh atau sebagian utang-utangnya dengan cara damai.10 Keadaan
yang demikian disebut “keadaan surseance”, di mana yang pailit dapat mengajukan
permohonan kepada pengadilan (niaga atau komersial) untuk suatu pengunduran umum
dari kewajibannya untuk membayar utang-utangnya dengan maksud untuk mengajukan
rencana perdamaian, baik seluruh maupun sebagian utang kepada kreditur.11
Khusus mengenai PKPU, dengan logika hukum, bahwa dengan dinyatakannya
debitor berada dalam PKPU debitor tidak bebas lagi untuk berbuat terhadap harta
kekayaannya, sehingga dengan demikian penanggung tidak dapat menunjuk harta
kekayaan debitur yang bebas, maka berarti dengan dinyatakannya debitor berada dalam
PKPU, kreditur dapat langsung menggugat atau memajukan permohonan pailit terhadap
debitor.12
F. Metode Penelitian
10
Abdul R. Salim, Hermansyah, dan Ahmad Jalis, Hukum Bisnis Untuk Perusahaan Teori & Contoh kasus, (Jakarta: Penerbit Kencana, 2005), hlm 156
11
Abdul R. Saliman, Hukum Bisnis Untuk Perusahaan Teori dan Contoh Kasus, (Jakarta: Penerbit Kencana, 2014), hlm 124
12
Penelitian merupakan suatu sarana pokok dalam pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi, oleh karena penelitian bertujuan untuk
mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodologis dan konsisten dengan
mengadakan analisa dan konstruksi.
13Untuk melengkapi penulisan skripsi ini agar tujuan dapat lebih terarah dan
dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, maka metode penulisan yang
digunakan antara lain:
1.
Spesifikasi penelitian
Penelitian yang akan dilakukan adalah penelitian hukum normatif.
Penelitian hukum normatif terutama dilakukan untuk penelitian norma hukum
dalam pengertian ilmu hukum sebagai ilmu tentang kaidah atau apabila hukum
dipandang sebagai sebuah kaidah yang perumusannya secara otonom tanpa
dikaitkan dengan masyarakat.
142.
Data Penelitian
Penelitian normatif yang didasarkan pada bahan
hukum primer dan sekunder yaitu inventarisasi peraturan-peraturan yang
berkaitan dengan penulisan skripsi ini.
di dalam penelitian, lazimnya jenis data dibedakan antara data primer, dan
data sekunder.
1513
Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), hal 20.
14
Edy Ikhsan dan Mahmul Siregar, Metode penelitian dan Penulisan Hukum Sebagai Bahan Ajar, (Medan : Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 2009), hlm 54.
15
Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum,(Jakarta: Rajawali Pers, 2006), hlm. 30.
Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang terdiri dari peraturan
a.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer)
b.
UU Nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU)
Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan
mengenai bahan hukum primer, seperti rancangan undang-undang, hasil-hasil penelitian
atau pendapat pakar hukum.16
Pengumpulan data dilakukan dengan cara studi kepustakaan (library reaseacrh)
yaitu serangkaian usaha untuk memperoleh data dengan jalan membaca, menelaah,
mengklarifikasi, mengidentifikasi, dan dilakukan pemahaman terhadap bahan-bahan
hukum yang berupa peraturan perundang-undangan serta buku-buku literatur yang ada
relevansinya dengan permasalahan penelitian. Hasil dari kegiatan pengkajian tersebut
kemudian dibuat ringkasan secara sistematis sebagai inti sari hasil pengkajian studi
dokumen. Tujuan dari teknik dokumentasi ini adalah untuk mencari konsepsi-konsepsi,
teori-teori, pendapat-pendapat atau penemuan-penemuan yang berhubungan dengan
permasalahan penelitian.
3. Teknik pengumpulan data
17
Data yang berhasil dikumpulkan, data sekunder, kemudian diolah dan dianalisa
dengan mempergunakan teknik analisis metode kualitatif, yaitu dengan menguraikan
semua data menurut mutu, dan sifat gejala dan peristiwa hukumnya melakukan
pemilahan terhadap bahan-bahan hukum relevan tersebut di atas agar sesuai dengan
4. Analisis data
16
Ibid, hlm 32
17
masing-masing permasalahan yang dibahas dengan mempertautkan bahan hukum yang
ada. Mengolah dan menginterpretasikan data guna mendapatkan kesimpulan dari
permasalahan serta memaparkan kesimpulan dan saran, yang dalam hal ini adalah
kesimpulan kualitatif, yakni kesimpulan yang dituangkan dalam bentuk pernyataan dan
tulisan.18
G.
Sistematika penulisan
Skripsi ini diuraikan dalam 5 bab, dan tiap-tiap bab berbagi atas beberapa
sub-sub bab, untuk mempermudah dalam memaparkan materi dari skripsi ini yang
dapat digambarkan sebagai berikut:
BAB I
PENDAHULUAN
Bab ini merupakan gambaran umum yang berisi tentang latar
belakang, perumusan masalah, tujuan penulisan dan manfaat
penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penelitian, dan
sistematika penulisan.
BAB II PENGATURAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG (PKPU)
UNDANG-UNDANG NOMOR 37 Tahun 2004
Dalam bab ini berisi tentang Maksud dan Tujuan Mengajukan
Permohonan PKPU, dan Jenis PKPU, Akibat Hukum Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang, Berakhirnya Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang, Perdamaian dalam PKPU dan Upaya hukum
terhadap Putusan PKPU.
18
BAB III PRINSIP KELANGSUNGAN USAHA DALAM PKPU
Bab ini berisikan tentang Prinsip-prinsip PKPU, Asas-Asas Dalam
PKPU, Dunia Usaha Dalam Kepailitan dan PKPU, dan
Pembuktian Sederhana dalam Perkara PKPU
.
BAB IV
PENERAPAN PRINSIP KELANGSUNGAN DALAM PKPU
DALAM PUTUSAN MA NOMOR 156 PK/PDT.SUS/2012
Bab ini berisi tentang Pertimbangan Hukum dan Analisis Putusan Mahkamah Agung Tingkat Kasasi dan Peninjauan Kembali dan Penerapan Prinsip Kelangsungan Usaha dalam putusan Mahkamah Agung.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
Bab ini adalah merupakan bab terakhir dari penulisan skripsi ini,
dimana dalam bab V ini berisikan kesimpulan dan saran-saran dari
penulis.