• Tidak ada hasil yang ditemukan

Agensi dan dan Internasionalisme Memanggungk

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Agensi dan dan Internasionalisme Memanggungk"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

#kajianseni | 1

#kajianseni

Agensi dan

Internasionalisme

Memanggungkan Indonesia di

Peta Seni Rupa Global

1

Oleh: Alia Swastika

(2)

#kajianseni | 2

Membaca buku Pak Djon, “Aku Datang, Aku Lapar, Aku Pulang” yang berkisah

tentang kedekatan relasinya dengan Affandi, membawa kita pada gambaran yang lebih riil atas seniman yang menjadi legenda dalam sejarah seni Indonesia. Pak Djon menggambarkan Affandi sebagai sosok yang unik di tengah kehidupan kosmopolitannya. Ya, memang tidak bisa disangkal bahwa Affandi merupakan pelopor dalam masuknya Indonesia dalam peta seni internasional, terutama pada tahun 1950an ketika ia menggelar pameran besar di New York dan terlibat dalam perhelatan penting seperti Venice Biennale dan Sao Paulo Biennale. Menelusuri kembali gagasan internasionalisme, pada 1950an ini, untuk bangsa yang masih belia seperti Indonesia, ada banyak temuan menarik yang menunjukkan bagaimana politisi, diplomat, kaum intelektual dan seniman pada masa itu telah bergerak menjadi bagian dari arus dunia. Meskipun

terpecah ideologi, pada masa ini justru kita mewarisi banyak perdebatan bermutu tentang identitas ke-Indonesia-an, dan sekaligus kita melihat

bagaimana Negara mengambil peran dalam merespon dinamika internasional dan politik kebudayaan di tingkat lokal. Soekarno, Presiden Pertama Indonesia, membuka misi-misi diplomatik di seantero dunia, dan ia sendiri melakukan perjalanan kenegaraan secara rutin ke luar negeri, misalnya ke Amerika Serikat dan terutama ke Negara blok sosialis seperti Cina, Jepang, Timur Tengah dan Afrika. Jennifer Lindsay menyebut dalam pengantar buku “Ahli Waris Budaya Dunia”, mimpi Soekarno, yang juga terefleksi dalam pemikiran-pemikiran intelektual pada masa itu, menjadi Indonesia berarti menjadi modern. Ada rasa

girang terhadap “kebaruan” menjadi “terlahir” sebagai bangsa dan warga baru.

Kata-kata “baru”, “lahir” dan “modern” merembes ke tulisan-tulisan periode tersebut.

Secara umum, penelitian mengenai bagaimana Indonesia dipanggungkan dalam dunia seni internasional ini sendiri banyak terinspirasi oleh penelitian Jeniffer Lindsay dan kawan-kawan, yang berfokus pada periode 1950 – 1960. Buku

“Ahli Waris Budaya Dunia” memberikan gambaran penting bagaimana Negara menempatkan kebudayaan sebagai alat dasar untuk memahami Indonesia pada zaman itu. Salah satu ilustrasi dari nilai penting kebudayaan adalah bagaimana di tengah perjuangan dan pergolakan untuk mempertahankan kemerdekaan pada 1948, di mana kekuasaan Republik masih sebatas di beberapa bagian Sumatera dan Jawa, pemerintah menggelar Kongres Kebudayaan yang pertama di Magelang. Lindsay kemudian mencatat bahwa pada akhirnya, sebagaian besar penelitian tentang kebudayaan pada masa 1950 hingga 1960an banyak berfokus pada sastra atau sebagian kecil mengenai film, yang terutama

(3)

#kajianseni | 3

Menggabungkan catatan-catatan personal tentang kehidupan para seniman besar dengan penelitian ilmiah dari para sarjana seperti Jeniffer Lindsay memberi gambaran menarik tentang dinamika menjadi Indonesia di mata para pekerja seni, dari satu periode ke periode yang lain, terutama untuk melihat siapa yang menjadi agen dari internasionalisasi seni. Setelah 1965, setelah rezim Soekarno jatuh dan tampak bahwa Soeharto tidak memberi ruang signifikan pada diplomasi kebudayaan, siapa yang menjadi aktor dalam upaya memanggungkan Indonesia? Apakah seniman sebagai individu, sebagai yang tercatat pada Affandi, merupakan agen yang signifikan pada masa Orde Baru? Jika Soekarno tertarik pada gagasan mengenai Indonesia sebagai bagian dari warga dunia, maka gagasan apa yang mendasari kebijakan politik kebudayaan pada masa sesudahnya? Adakah agen-agen lain yang berperan dalam

memanggungkan Indonesia di panggung internasional ketika peran Negara tidak dominan? Apakah narasi dan ideologi yang mendasari para agen ini

berseberangan atau beriringan dengan ideologi kebudayaan pasca Orde Lama?

PERIODE 1950an: Ahli Waris Budaya Dunia

Dalam antologi “Ahli Waris Budaya Dunia” yang merangkum narasi-narasi di seputar pergolakan internasional dan pembentukan identitas Indonesia ini, harus disebutkan bahwa tidak ada bagian khusus yang membahas tentang seni rupa. Film, Seni Pertunjukan, Sastra dan perdebatan kebudayaan secara umum diulas dengan sangat menarik dengan data-data yang berharga,2 sehingga bisa

didapat gambaran umum tentang bagaimana situasi internasional pada masa itu dan apa dampaknya bagi dinamika seni di berbagai wilayah dunia, termasuk bagaimana pemerintah setempat menyikapi gejolak politik yang terus menerus berada dalam ketegangan. Hubungan internasional pada masa itu memang mengarah pada dua cabang besar: persekutuan dengan Amerika di satu sisi, dan kedekatan Soekarno dengan Cina dan Rusia pada sisi yang lain. Pada 1955, Richard Wright, seorang penulis Amerika keturunan Amerika datang untuk menghadiri Konferensi Asia Afrika, sebagai bagian dari program Congress for

2 Buku Ahli Waris Budaya dunia ini terdiri dari 18 bab, ditulis baik oleh para akademisi pengaji

(4)

#kajianseni | 4

Cultural Freedom yang dibiayai oleh CIA. Selain itu, dikenal pula sebuah lembaga bernama USIA yang membantu mempromosikan budaya Amerika ke seluruh dunia, di mana pada pertengahan 1950an mereka berfokus pada Asia Tenggara, sebagai sebuah kawasan yang dilihat sebagai rawan terhadap

komunisme. Salah satu program USIA misalnya mendatangkan Martha Graham dan kelompoknya untuk berpentas di Indonesia pada 1953. Setelahnya, melalui berbagai lembaga di bawahnya, Amerika mengundang seniman-seniman

Indonesia untuk belajar dan melihat secara langsung kehidupan seni di Amerika, di mana di antaranya mereka seperti Usmar Ismail, Trisno Sumardjo, lalu

belakangan juga W.S Rendra dan Sardono Kusumo. Affandi dan Sudjana Kerton termasuk pula mereka yang sempat mengenyam kehidupan seni di Amerika.

Pada saat yang sama, peranan Negara blok komunis seperti Cina dan Rusia terhadap perkembangan kebudayaan di Indonesia semakin kuat. Dalam majalah Konfrontasi, sebagaimana yang dianalisis oleh Keith Foulcher, pada edisi 21, dimuat tulisan panjang mengenai refleksi Ramadhan K.H ketika mengunjungi Cina bersama beberapa seniman lain atas undangan pemerintah Cina, dan juga laporan-laporan mengenai kedatangan delegasi budaya Cina ke Indonesia. Bahkan misi resmi kebudayaan Indonesia yang pertama juga melawat ke Cina, pada 1954, sebuah rombongan besar, dimana delegasi seni rupa pada waktu itu dipimpin oleh Henk Ngatung. Mereka juga melakukan misi kesenian ke Negara-negara non imperialis seperti Uni Soviet, Korea Utara dan Vietnam Utara. Delegasi Indonesia juga berpartisipasi dalam peristiwa-peristiwa kebudayaan internasional seperti New York World Expo 1964, di mana setelahnya mereka menggelar pertunjukan di Paris dan Amsterdam. Misi-misi penting ini terutama terjadi ketika Prijono menjabat sebagai Menteri Kebudayaan dalam kabinet Soekarno.

Sepanjang periode tersebut, dalam dunia seni rupa sendiri, pergolakan pemikiran yang terjadi saya kira tidak terlalu berbeda jauh dengan bidang-bidang lain; ada ketegangan identitas ke-Indonesia-an yang cukup kental. Salah satu perdebatan yang penting pada periode itu adalah antara Trisno Soemardjo dan Oesman Effendi tentang identitas seni lukis, atau perdebatan yang

melahirkan kredo terkenal Sudjojono “Kami tahu ke mana seni lukis Indonesia

akan kami bawa”. Jeniffer Lindsay menyatakan dalam sebuah percakapan kami

(5)

#kajianseni | 5

setimbang terhadap berbagai keragaman budaya yang muncul dari berbagai daerah di Indonesia. 3

Identitas keindonesiaan, dalam misi-misi kebudayaan tersebut, dirumuskan sebagai sesuatu yang berkaitan dengan keberagaman, tidak melulu

menunjukkan dikotomi Barat dan Timur, atau komunis dan anti-komunisme. Sudjojono sendiri sebuah tulisan yang menjawab gugatan-gugatan Trisno Sumardjo menjawab bahwa ia telah menolak pengaruh yang berasal dari tradisi Indonesia serta Barat, dan menempatkan dirinya dalam posisi netral dalam hubungannya dengan dunia Indonesia. Karya-karya Affandi, misalnya, yang banyak menjadi wakil Indonesia dalam berbagai pameran internasional menunjukkan sebuah ekspresi individual yang dipengaruhi kedekatannya dengan tradisi seni lukis Barat, tetapi ia menampilkan dirinya yang Indonesia melalui pelototannya yang khas, garisnya, spontanitasnya. Ini berbeda dengan Salim, misalnya, yang hidup di Paris hingga akhir hayatnya, meskipun ia masih mengaku sebagai seniman Indonesia, cenderung menampilkan pengaruh aliran abstrak, realisme dan surealisme yang sedang marak di Perancis, ketika ia pertama kali datang ke sana pada akhir 1920an. 4

Secara umum, periode 1950an menunjukkan dominasi Negara sebagai agen dari pergaulan seniman dengan dunia seni internasional, berangkat dari gagasan untuk menjadi kosmopolit. Menjadi kosmopolit, sekali lagi, tidak saja dipahami dalam kerangka frekuensi pertunjukan, pameran dan pergaulan dengan

seniman-seniman dunia, tetapi pada saat yang sama, menyerap nilai-nilai humanisme universal yang pada saat itu menjadi kepercayaan yang banyak melandasi kubu manifesto kebudayaan. Namun, harus dicatat bahwa yang terpenting dari gagasan tentang Indonesia pada masa itu, menjadi kosmopolit dan menjadi modern bukanlah tentang mendukung Barat dan imperialisme Amerika, akan tetapi bagaimana kita sendiri mampu keluar dari perangkap nilai-nilai feodalisme.

Soekarno menyadari betul arti penting seni sebagai bagian dari representasi identitas kebangsaan. Ia sendiri merupakan seorang nasionalis yang melampaui gagasan Negara bangsa yang terkotak-kotak. Ia memiliki kesadaran bahwa kebudayaan merupakan bagian dari konstruksi sosial yang kompleks, dan

3 Dalam misi ke Cina, misalnya, Sumatera diwakili seniman Medan dan Padang, sementara

Sulawesi menampilkan penari pakarena terkenal, Andi Nurhani Sapada. Terkadang ditampilkan juga kesenian dari Aceh, dan bahkan sebuah misi kesenian yang relatif kecil pada 1958 hanya diwakili seniman dari Indonesia Timur.

4Yangni, Stanislaus. “Mozaik Salim di Perancis” dalam Dari Khaos ke Khaosmos, Yogyakarta:

(6)

#kajianseni | 6

gagasan tentang kebangsaan selalu dibayang-bayangi ideologi yang lain seperti Ketuhanan, kemanusiaan, demokrasi, dan lain sebagainya (Faruk, 2002).

ORDE BARU DAN ABSENNYA NEGARA SEBAGAI AGEN

Kehidupan kebudayaan masa Orde Baru mengalami situasi yang sangat berbeda jika dibandingkan dengan Orde Lama. Turunnya Sukarno sebagai patron dalam gelanggang kebudayaan membuat aktivitas seni tidak lagi berkait langsung dengan politik. Orde Baru juga memukul mundur beberapa pemain utama seperti Pramoedya Ananta Toer, Sudjojono, dan beberapa nama lain yang dikaitkan dengan Partai Komunis Indonesia. Sebaliknya, seiring dengan makin dekatnya hubungan antara pemerintah Orde Baru dengan Amerika Serikat selama Perang Dingin, dimulai pada 1980an, perkembangan budaya populer menjadi meluas di Indonesia. Budaya populer memainkan peranan penting pada periode 1980an berkaitan dengan kontestasi dan konstruksi pembentukan identitas ke Indonesiaan. Gagasan tentang ke-Indonesia-an di masa Orde Baru, misalnya seperti dijelaskan oleh Ariel Heryanto (2012), berpijak pad empat pilar utama yaitu ke-Jawa-an, Islam, liberalisme dan

beberapa pandangan yang cenderung kiri (menggantikan marxisme).5 Jawa dan

Islam terutama merupakan dua kekuatan utama yang dianggap bisa

merepresentasikan Indonesia. Heryanto mencatat bahwa sikap rezim Orde Baru terhadap Islam mulai berubah semenjak akhir 1980an, dan politik Islam menemukan momentum kebangkitannya pada tahun 1990. Soeharto

melakukan serangkaian strategi politik seperti pembebasan pemimpin Islam yang dipenjara serta merangkul kelas menengah Islam (misalnya dengan mencabut larangan berjilbab). Beberapa tahun setelahnya, muncul sebuah identitas baru Islam yang bertumbuh bersama industri kapitalisme global. Analisis Heryanto tentang hubungan antara Orde Baru dan Islam ini menarik untuk menjadi titik masuk melihat bagaimana Negara melanjutkan atau mengubah arah diplomasi budaya keluar negeri selama akhir 1970an hingga akhir kekuasaannya.

Pada akhir 1970an, seni lukis Indonesia mulai diwarnai oleh empat pilar seniman: A.D Pirous, Amri Yahya, Ahmad Sadali dan Amang Rahman (Susanto, 2003). AD Pirous dan Ahmad Sadali secara lebih jelas berada di jalur “seni

5Heryanto, Ariel (2012). “Budaya Pop dan Persaingan Identitas” dalam Heryanto, Ariel: Budaya

Populer di Indonesia: Mencairnya Identitas Pasca Orde Baru, Yogyakarta: Jalasutra

(7)

#kajianseni | 7

Islam” yang diinterpretasi sebagai seni yang mempunyai hubungan erat dan jelas dengan tanda-tanda Allah (Yuliman, 2001).6 Harus dicatat, selain

menggarisbawahi munculnya Islam dalam identitas seni rupa Indonesia pada masa Orde Baru, Sanento Yuliman juga melihat pada 1960an inilah muncul kecenderungan seni abstrak di Indonesia. Di awal-awal tahun 1970an,

melanjutkan beberapa program misi kebudayaan dengan pemerintah baru yang masih sangat muda, berlangsung beberapa pameran Indonesia di luar negeri, seperti di Amerika dan Inggris, dengan sponsor perusahaan asing seperti Mobil Oil Company. 7 Persoalan bagaimana identitas atas seni Indonesia ini dibentuk

oleh negara sebagai sesuatu yang non-politis ini bisa dilihat lebih jauh pada tulisan Irham Nur Ansyari.

AD Pirous semenjak tahun 1970an telah secara aktif mewakili Indonesia dalam peristiwa seni internasional, terutama berhubungan dengan pameran teknik cetak atau pameran yang berbasis pada identitas ke-Islam-an. Selain bersama koleganya yang telah tersebut di atas, A.D Pirous juga aktif dalam kelompok Decenta yang beranggotakan G. Sidharta, A.D. Pirous, Priyanto Sunarto, Sunaryo, T. Sutanto, Diddo Kusdinar yang banyak mengeksplorasi bentuk-bentuk abstrak baik dalam karya patung, lukisan atau beberapa karya pesanan dari Pemerintah.

Dibandingkan dengan masa Orde Lama, pengiriman misi kebudayan ke luar negeri berkurang secara drastis pada periode Soeharto. Selama 1980an, dapat dikatakan tidak ada inisiatif skala besar dari pemerintah untuk mempromosikan kesenian Indonesia keluar negeri dan membangun dialog antara seni Indonesia dengan dunia internasional. Salah satu projek seni internasional terbesar pada masa Orde Baru adalah Kesenian Indonesia Amerika Serikat (KIAS), yang diselenggarakan oleh Kementrian Luar Negeri (pada waktu itu yang menjabat sebagai menteri adalah Mochtar Kusuma Atmaja) sepanjang 1990-1991. Perjalanan selama satu tahun ini melibatkan ratusan seniman, dari seni tari, musik, rupa, dan sebagainya. Untuk bagian seni rupa, mitra penyelenggara adalah Joseph Fischer, seorang akademisi asal Amerika Serikat (UC Berkeley) yang banyak mempromosikan karya-karya Indonesia, yang memublikasikan

6Yuliman, Sanento (1976). “Seni Lukis Indonesia Baru” dalam Hasan, Asiki: Dua Seni Rupa,

Jakarta: Pustaka Kalam, 2001.

7 Tahun 1969 misalnya, berlangsung pameran keliling lukisan Indonesia di Inggris, salah satunya

(8)

#kajianseni | 8

sebuah buku yang pada akhirnya banyak menjadi rujukan bagi berbagai institusi seni untuk mempelajari seni Indonesia.8

Meskipun KIAS menandai inisiatif pemerintah skala besar untuk

memperkenalkan budaya Indonesia ke Amerika, referensi yang ditemukan sepanjang penelitian ini mengenai pameran seni rupa dalam KIAS cenderung memberikan nada negatif, terutama berkaitan dengan bagaimana Indonesia dipresentasikan sebagai wilayah “lain” dengan kekuatan seninya yang berbasis

pada bentuk-bentuk tradisi dan primitif.

Setelah KIAS, tidak ada program-program yang cukup signifikan diadakan oleh Pemerintah Indonesia di luar negeri, kecuali pameran-pameran yang secara sporadis diselenggarakan oleh Kedutaan Besar Indonesia di sebuah negara, yang terutama sangat berkait dengan kebijakan individual dari Duta Besarnya, sehingga tidak merepresentasikan kebijakan politik luar negeri berkaitan

dengan diplomasi budaya secara umum. Seniman-seniman seperti Affandi, Amri Yahya, AD Pirous, dan beberapa nama lain, memang terlibat dalam

penyelenggaraan beberapa pameran internasional sepanjang akhir 1970an hingga 1980an, akan tetapi hampir semuanya merupakan hasil jejaring kerja yang mereka kembangkan sendiri, atau diinisiasi oleh lembaga asing yang tertarik untuk memperkenalkan Indonesia sebagai wilayah kesenian baru.

Menilik kembali apa yang dikatakan Heryanto di atas, di mana fokus hubungan Indonesia dan Amerika Serikat pada saat itu adalah penyebaran produk industri budaya pop Amerika (yang ini berlangsung di seluruh dunia menjelma menjadi fenomena massif globalisasi), maka tampak bahwa berkaitan dengan relasi internasional dalam berkesenian, pada masa Orde Baru, Indonesia lebih berposisi sebagai konsumen pasif. Pada saat yang sama, masuknya arus baru konsumtivisme ini juga memberi peluang pada terbukanya akses informasi yang lebih luas dan penyerapan budaya-budaya pop ke dalam bentuk seni. Dalam seni rupa, semangat pembaruan muncul dimulai pada pertengahan 1970an dengan berbagai peristiwa seperti Desember Hitam di Jakarta tahun 1974, lahirnya kelompok Seni Rupa Kepribadian Apa pada 1977 dan Gerakan Seni Rupa Baru pada 1974, yang semuanya menunjukkan keinginan untuk

menggambarkan identitas (seni) Indonesia yang baru, yang terhubung dengan

8 Selain terutama menunjukkan ketertarikan besar pada seni lukis, Joseph Fischer juga menjadi

(9)

#kajianseni | 9

gerakan-gerakan lain di dunia, misalnya Fluxus atau Artepovera di Eropa pada kisaran akhir 1960an.

KONTESTASI PARA AGEN

Setelah sekian lama seniman Indonesia vakum dalam pameran skala besar di dunia internasional, salah satu langkah awal yang penting adalah keterlibatan para seniman anggota Gerakan Seni Rupa Baru di ajang ARX di Perth Australia pada 1989. Jim Supangkat menyebut pameran ini sebagai momentum penting menandai masuknya Indonesia ke peta seni rupa internasional. Empat seniman yang mewakili Indonesia pada pameran ini adalah Gendut Ryanto, I Nyoman Nuarta, Sri Malela, dan Jim Supangkat sendiri. Pameran ini berlangsung empat

tahun setelah pameran mereka “Pasar Raya Dunia Fantasi” diselenggarakan di

Taman Ismail Marzuki, dan menjadi penanda penting bagi modus estetika baru dalam dunia seni rupa Indonesia. Pada pameran ARX tahun 1989 ini, beberapa media menyebut pameran ini sebagai tonggak baru dalam kiprah seniman Indonesia di dunia internasional, terutama memasuki era yang disebut sebagai seni rupa kontemporer. Setelah itu, para seniman GSRB dan generasi muda di bawahnya seperti Arahmaiani, Heri Dono, Eddie Hara atau Nindityo

Adipurnomo, menjadi bagian penting dari dinamika seni kontemporer Indonesia, baik pada pameran di dalam maupun luar negeri. Mengusung estetika baru dan memberi label seni rupa Indonesia mengundang perdebatan yang cukup pelik pada saat itu. Dalam pandangan negara, perdebatan tentang baru menjadi tidak berarti karena baru itu berbicara tentang dinamika dan ini tidak sesuai dengan gagasan melestarikan nilai luhur. Dalam pembukaan pameran ARX di Jakarta, misalnya, Rudini (Menteri Dalam Negeri tahun 1987-1992) menyatakan:

(10)

#kajianseni | 10

tertutup. ‘Kita adalah generasi pembangunan yang mencita-citakan kemajuan,’

tegas Rudini. 9

Pada tahun 1989, peristiwa penting runtuhnya tembok Berlin di Jerman dan bubarnya Uni Soviet menjadi penanda bagi berakhirnya Perang Dingin. Negara-negara komunis kehilangan kekuasaan dalam skala besar, dan kapitalisme menjadi ideologi arus utama yang nyaris tunggal. Pada tahun 1989 pula, dalam peta seni rupa kontemporer global, terjadi pergeseran gagasan atas apa yang disebut sebagai internasional. Pada tahun ini dilangsungkan dua pameran

penting, “Magieciens de la Terra” di Center Georges Pompidou Paris, Perancis, dengan kuratornya Jean Hubert Martin, dan Biennale Havana ketiga di Kuba dengan kurator Gerardo Mosquera. Magiecien, dalam kerangka pemikiran institusi kebudayaan di Barat pada waktu itu, menjajarkan karya-karya dari Negara Barat dan Non-Barat, dalam porsi yang cukup seimbang. Pameran itu

sendiri disebut sebagai “pameran pertama seni kontemporer dari seluruh

dunia”, menandai langkah selanjutnya dari World Exhibitions di Paris 1937 dan seri-seri pameran di Museum of Modern Art, New York, sepanjang 1980an. Nilai penting dari pameran ini, menurut Lucy Steeds (2013), adalah prakarsa kerja-kerja kuratorial trans-nasional dan berbasis projek yang belum banyak terjadi sebelumnya. Steeds memberi tanda menarik atas adanya perubahan yang dilakukan Martin dari pernyataan awal tentang Negara-negara yang

terlibat hingga menjadi rilis media, dari penggunaan terma “Negara Dunia

Ketiga dan Sosialis” menjadi “wilayah-wilayah pinggiran” atau mereka yang

selama ini tidak dilihat sebagai “pusat seni dunia” (kutipan dari Steeds). Pada pameran ini, mulai terlibat pula kurator-kurator dari Asia, Amerika Selatan dan Australia, yang pada periode sesudahnya berperan penting dalam dunia

internasional seperti John Mundine dari Australia (spesialis seni indigineous) dan Fumio Nanjo dari Jepang.

Internasionalisasi seni dengan fokus pada gagasan regional dan keinginan untuk menghindar dari pusat seni Barat para periode berikutnya dapat dilihat jelas dengan prakarsa Australia untuk menyelenggarakan Asia Pacific Triennale (APT) dan juga berbagai forum di Jepang yang berfokus pada Asia Center (The Japan Foundation) serta Fukuoka Asian Art Museum yang mulai membangun koleksi Asia skala besar dan menyelenggarakan Fukuoka Asian Art Triennale (FAAT). Tiga kegiatan ini merupakan lokus penting bagi pergaulan seniman-seniman Indonesia dengan khazanah luar setelah masa Orde Baru. Pada saat

9 Sebelum diberangkatkan ke Australia, pameran ini sempat digelar di Taman Ismail Marzuki,

(11)

#kajianseni | 11

itu, sebagaimana yang dibahas lebih lanjut dalam tulisan Irham Anshari, ada ketertarikan dunia luar untuk menunjukkan bagaimana narasi seni

kontemporer Indonesia pada kisaran 1990an merupakan narasi perlawanan terhadap kontrol dominan Negara. Seniman-seniman yang terlibat dalam APT dan FAAT misalnya Dadang Christanto, Heri Dono, Nindityo Adipurnomo, Agus Suwage atau Arahmaiani, semuanya menunjukkan kecenderungan sangat politis berbicara tentang represi Negara, kekerasan/militerisme, dan isu-isu lainnya. Momen lain yang penting disebutkan adalah penyelenggaraan pameran Tradition/Tension pada 1996 di Asia Society New York dengan prakarsa

Vishaka Desai dan dikuratori oleh Apinan Poshyahanda, yang melibatkan seniman-seniman Asia Tenggara. Pada 1995, di Gwangju, Korea Selatan, dibuka sebuah pameran internasional skala besar, Gwangju Biennale, yang melibatkan Heri Dono pada edisi pertamanya, dan pada edisi 2002 melibatkan seniman Indonesia dalam jumlah yang cukup besar dengan fokus pada Ruang Seni Alternatif, dikuratori oleh Charles Esche dan Hou Hanru.

Pada periode ini, muncullah individu atau institusi yang menempatkan dirinya sebagai makelar kebudayaan (cultural broker), yang dalam amatan Arham Rahman, menjadi penghubung dalam tumbuhnya neo-liberalisme di ranah kesenian.10 Bila hendak disimpulkan, cultural brokers itu gampangannya begini;

orang yang punya kuasa menetapkan standar tertentu pada sebuah peristiwa seni (termasuk di dalamnya apa yang hendak direpresentasikan), punya akses pada dunia seni global–entah pada sumber pendanaan maupun pihak tertentu yang cukup penting–dan menjadi mediator antara seniman atau kelompok seni suatu negara dengan negara lain yang menjadi koneksinya. Cultural broker inilah yang menjadi juru bicara neoliberalisme di tingkat akar rumput (seniman dan komunitas seni) di sebuah kota hingga ke tingkat lintas negara. Stallabrass11

menyebut mereka sebagai kurator-kurator “nomaden” yang berpindah dari satu

pagelaran internasional ke pagelaran internasional yang lain–dari Sao Paulo ke Venice, Kwangju, Sydney, Kassel hingga Havana atau dari negara paling liberal lagi maju hingga ke negara-negara komunis tulen dan negara-negara

berkembang.

Lembaga-lembaga kebudayaan asing ini memasuki Indonesia dengan berbagai kepentingan dalam ranah penetrasi budaya. Australia pada saat itu

berkepentingan untuk menjadi bagian penting dari Asia sebagai rujukan regionalisme (karenanya lahir sebuah istilah geo-politik “Asia Pacific” untuk

10 Mari Carmen Ramirez,Brokering Identities; Art curators and the politics of cultural

representation,” dalam Reesa Greenberg, Bruce W. Ferguson, dan Sandy Nairne, “Thinking About Exhibitions.” 2005: 15-24.

(12)

#kajianseni | 12

menyatakan keterkaitan dua wilayah). Posisi geografisnya yang dekat dengan wilayah Asia mendorong Australia membangun kerja sama regional yang kuat, termasuk dimulainya program ARX yang disebut Jim Supangkat pada awal bagian ini. Jepang pada awal 1990an merupakan sebuah negara dengan kekuatan ekonomi yang dominan di Asia dan juga dunia, sehingga ia dilihat sebagai pusat baru bagi Asia. Inisiatif Asia Center melahirkan program-program penting bagi lahirnya sejarah kerja kuratorial dan penulisan sejarah seni di Asia secara umum. 12

Di lingkup Indonesia sendiri, inisiatif lembaga kebudayaan asing ini terhubung dengan institusi-institusi baru yang berperan sebagai agen penghubung bagi lembaga asing ini dengan para seniman. Rumah Seni Cemeti dan Yayasan Seni Cemeti banyak mengambil peran pada bidang agensi ini, selain mereka sendiri memprakarsai pameran-pameran penting di dunia internasional. Pada APT #1 1993 dan juga edisi kedua pada 1996, sebagian besar seniman yang terlibat (tersebut sebelumnya) pernah berpameran di RSC, termasuk seniman generasi lebih muda seperti S. Teddy D dan Marintan Sirait. Kemudian, hubungan erat antara Fukuoka Asian Art Museum atau Asia Society dengan Rumah Seni Cemeti menjadikan Indonesia selalu punya wakil setiap kali diselenggarakan FAAT, terutama hingga 2005 ketika perekonomian Jepang masih cukup stabil. Selepas krisis ekonomi dunia 2008 dan tumbuhnya Cina dan Korea sebagai kekuatan ekonomi baru, jumlah seniman Indonesia pada FAAT menurun cukup signifikan dan intensitas mengoleksi karya dari Asia Tenggara, termasuk

Indonesia, mulai berkurang.13 Pameran lain yang berlangsung dengan

perantaraan Rumah Seni Cemeti adalah Orientation, yang diselenggarakan di Stadelijk Museum Beaurou Amsterdam (1996), mengikuti beberapa seri pameran sebelumnya yang digelar di Belanda di mana seorang pendiri RSC, Nindityo Adipurnomo, menjadi bagian dalam pameran-pameran tersebut. 14

12 The Japan Foundation Curator Forum adalah sebuah platform bagi jejaring kerja para kurator

generasi baru di Asia. Dalam seri pertemuan ini, terlibat Fumio Nanjo, Ranjit Hoskote, Mami Kataoka, Kim Sunjung, Jim Supangkat, Asmujo Jono Irianto, dan beberapa nama lain yang sekarang menjadi figur penting seni rupa Asia. Japan Foundation juga menyelanggarakan pameran Art in South East Asia pada 1997 yang digelar di Hiroshima Museum of Contemporary Art dan Museum of Contemporary Art Tokyo.

13 Fukuoka Asian Art Triennale #1 melibatkan Chusin Setiadikara dan Krisna Murti, sementara

yang kedua mengundang Nindityo Adipurnomo, hingga penyelenggaraan yang kelima pada 2014 lalu Indonesia diwakili oleh Prilla Tania.

14 Beberapa pameran yang diselenggarakan di Belanda sebelumnya adalah PAKIB Pameran

Indonesia Belanda), yang sebagian besar merupakan kelanjutan dari KIAS. Lalu juga pameran Indonesian Modern Art: Indonesian Painting Since (1945), yang keduanya diselenggarakan oleh Gate Foundation. Kurator untuk Pameran Indonesian Modern Art di antaranya adalah

(13)

#kajianseni | 13

Pada 1999, Yayasan Seni Cemeti menggelar pameran internasional Indonesia skala besar yang pertama setelah KIAS. Pameran berjudul AWAS ini

diselenggarakan di lima kota di empat benua, yakni di Indonesia sendiri (Yogyakarta), Australia (Canberra), Eropa (Berlin, Aachen, Amsterdam), Asia (Hokkaido dan Hiroshima). Di sinilah untuk pertama kalinya seni kontemporer Indonesia dirayakan dalam identitasnya sendiri, terlepas dari kotak-kotak regionalisme yang pada saat itu sangat dipengaruhi arus kepentingan politik dunia pasca perang dingin. Seniman-seniman yang terlibat dalam pameran ini terutama memang selalu dekat dengan diskusi atas konteks sosial politik Indonesia, mulai dari Agus Suwage, Tisna Sanjaya, Arahmaiani hingga generasi yang selanjutnya S Teddy D dan Apotik Komik. Alexandra Kuss mencatat: “Pada karya AWAS, kehadiran seniman baik dalam potret diri maupun secara samar dan metaforis dapat ditafsirkan sebagai manifestasi pencarian identitas personal dan sebagai usaha untuk mendefinisikan posisi seniman dalam

masyarakat.”15

Melihat posisinya sebagai agen, pada waktu itu YSC tampaknya melihat nilai penting dari menunjukkan pendekatan dan praksis berkesenian yang kritis dan politis untuk melawan hegemoni identitas yang justru memokuskan diri pada seni abstrak dan penekanan pada kepengrajinan. Selain menjadi lembaga riset dan pengumpulan arsip seni rupa YSC sendiri memokuskan kerja pada

penyelenggaraan pameran seni di Indonesia dan di luar negeri, serta memfasilitasi seniman dalam program pertukaran dan residensi, dengan penegasan sebagai berikut:

“Program YSC salah satunya adalah mengadakan pameran seni rupa

kontemporer di Indonesia dan di luar negeri. Dalam hal ini YSC mendukung

seniman yang berkualitas dan memiliki visi baru.”16

Pameran AWAS yang berlangsung selama tiga tahun (1999 – 2002) ini memberikan gambaran baru pada dunia tentang dinamika seni kontemporer Indonesia, di ruang-ruang seni yang cukup dikenal oleh masyarakat di negara-negara tersebut, meski sebagian mengambil tempat di kota-kota kecil seperti Adelaide dan Aachen. Penyelenggaraan pameran di ruang seperti Museum merupakan strategi yang penting karena dengan demikian Sebagian besar karya-karya yang diciptakan masih berkait dengan isu-isu yang gencar dilancarkan seniman sebelum rezim Soeharto jatuh pada 1998.

15 Catatan kuratorial Alexandra Kuss untuk pameran AWAS,!: Recent Art from Indonesia,

katalog terbitan Yayasan Seni Cemeti, 2002. Untuk keterangan lebih lengkap lihat bibliografi.

16 Tercantum dalam lampiran sebuah buku terbitan YSC, Aspek Aspek Seni Visual Indonesia:

(14)

#kajianseni | 14

Pada tahun 2000, berdiri Ruang Rupa yang diprakarsai oleh Ade Darmawan, Hafiz, Ronny Agustinus dan Oky Arfi Hutabarat. Ruang Rupa berperan besar dalam memperkenalkan estetika baru ke khalayak luas dan membangun

khalayak seni generasi muda di Jakarta dan mempromosikan seniman generasi baru ke publik internasional.17 Sebagai kolektif seniman, semenjak awal

berdirinya, dimulai pada 2002 di Gwangju Biennale, Ruang Rupa banyak terlibat pula dalam berbagai pameran internasional, termasuk Istanbul Biennale 2005 dan Sao Paulo Biennale 2014, keduanya dikuratori oleh Charles Esche.

Belakangan, seniman muda yang kerap terlibat dalam kerja-kerja Ruang R upa, seperti Reza Afisina, Mahardika Yuda dan Otty Widasari (keduanya juga anggota Forum Lenteng), berpartisipasi dalam berbagai pameran skala besar seperti VideoBrazil, Seoul Media City Biennale dan Impakt Festival.

Di masa awal pasca Orde Baru, sekitar 1999 hingga 2002, Yayasan Seni Rupa Indonesia (YSRI) menyelenggarakan pameran-pameran internasional di

beberapa Negara seperti Rusia, Spanyol, Jerman dan Cina. YSRI bekerja secara cukup erat dengan beberapa Kedutaan Besar RI atau perwakilan negara di wilayah setempat, mengundang beberapa kurator yang sebelumnya banyak bekerja dengan Galeri Nasional.

Melihat peran penting dari lembaga kebudayaan asing dan Institusi seni seperti Yayasan Seni Cemeti, Rumah Seni Cemeti dan Ruang Rupa dalam

penyelenggaraan pameran-pameran internasional selama absennya penyelenggaraan resmi Negara selama Orde Baru, maka dapat dikatakan seniman-seniman inilah yang menjadi bagian dari konstruksi tentang identitas ke-Indonesia-an dalam tautannya dengan dunia seni global. Sebagian besar dari mereka membawa karya yang sarat dengan kritisisme terhadap konteks sosial politik Indonesia pada pertengahan 1990an hingga jatuhnya sebuah rezim. Identitas Indonesia yang dipenuhi ketegangan-ketegangan politik dan represi kekuasaan, dengan nilai-nilai perlawanan dari kelompok menengah dan

intelektual, merupakan citra yang dominan tampil pada peristiwa-peristiwa seni internasional masa itu. Dunia internasional tampaknya tertarik pada citraan tentang seni-seni dari wilayah Asia atau pinggiran sebagai seni yang politis semacam itu. Identitas yang semacam ini sangat bertentangan dengan apa yang ingin ditampilkan oleh negara: yang cenderung mengarah pada Islam, non-politis/abstrak dan menekankan pada kepengrajinan. Identitas demikian

17 Ade Darmawan, pendiri Ruang Rupa, misalnya terlibat dalam kuratorial Pameran Have We

(15)

#kajianseni | 15

cenderung direproduksi oleh institusi yang berkait dengan negara, atau

memiliki afiliasi tertentu dengan lembaga negara, seperti YSRI yang mempunyai hubungan cukup dekat Galeri Nasional. Pameran-pameran yang

diselenggarakan YSRI lebih banyak menjelajahi tema-tema yang aman, di mana karya-karya yang tampil lebih banyak membicarakan bagaimana tradisi menjadi bagian erat dari keIndonesia-an baru, atau bagaimana timur dan Barat bertemu dalam satu rangkaian yang harmonis, ketimbang mengetengahkannya sebagai medan pertarungan kuasa.

PASCA ORDE BARU, PASCA POLITIK

Satu dekade setelah Magicien de la Terre, perluasan pergaulan seni kontemporer di tingkat internasional telah menjadi sangat intensif, yang

ditandai dengan munculnya berbagai inisiatif pameran internasional di kawasan Asia, Afrika dan Amerika Selatan. Seniman Asia generasi awal seperti Yoko Ono, Yayoi Kusama dan Nam June Paik telah diakui kiprahnya dalam perkembangan seni global. Awal tahun 2000 juga menyaksikan melejitnya Cina sebagai

kekuatan baru di ranah seni, terutama berkembangnya pasar seni dunia dalam skala besar, hingga mencapai puncaknya pada pertengahan tahun 2000an. Seniman-seniman Cina menjadi bintang dalam berbagai pameran internasional, misalnya nama-nama seperti Cai Gao Xiang, Ai Weiwei, Song Dong, Huang Yong Ping, dan lain sebagainya. Pelahan, seniman-seniman Jepang dan Korea seperti Takashi Murakami, Yoshitomo Nara, Lee Ufan, dan Kim Sooja juga menjadi pemeran utama dalam penetrasi Asia di ajang internasional. Lembaga-lembaga bergengsi seperti Tate Museum, Asia Society, Museum of Modern Art atau Guggenheim, mulai mengembangkan secara serius koleksi seni Asia dengan membentuk beberapa komite khusus yang bertugas untuk membangun narasi dari wilayah yang dianggap liyan ini.18 Meningkatnya pasar seni Asia dan

pencarian atas “teritori baru” inilah yang kemudian mendorong munculnya inisiatif-inisiatif yang beruntun untuk menampilkan Asia Tenggara dan

khususnya Indonesia di panggung seni internasional. Dua kombinasi kekuataan ekonomi politik ini pada akhirnya juga memberikan pengaruh besar dalam

18 Sebelum Indonesia, contoh yang menarik untuk dikemukakan adalah munculnya India dalam

(16)

#kajianseni | 16

ketegangan representasi identitas Indonesia pasca Orde Baru pada khalayak internasional.

Salah satu pameran awal yang mencoba menampilkan wajah Indonesia pasca Orde Baru adalah Reformasi (2002) di Sculpture Square Singapura dengan kurator Iola Lenzi. Semangat merefleksikan perlawanan terhadap negara tampaknya masih kuat ditampilkan di sini, terutama dengan hipotesis bahwa seni dan seniman memang memiliki peran dalam perubahan sosial politik. Akan tetapi, setelah titik ini, meminjam istilah Ariel Heryanto, identitas seni Indonesia menjadi lebih cair, dengan makin terjaminnya kebebasan berekspresi dan

hilangnya satu musuh bersama, sehingga tidak ada lagi kecenderungan seni politik sebagai kanon. Salah satu inisiatif penting adalah tampilnya Paviliun Indonesia di Venice Biennale 2003, menampilkan seniman Dadang Christanto, Arahmaiani, Tisna Sanjaya dan Made Wianta dengan kurator Amir Sidharta. Diinisiasi oleh inisiatif privat (Indonesian Exposition) dengan penyelenggara Sumarti Sarwono, pameran ini mendapatkan dukungan dana dari pemerintah justru ketika sudah siap. Demikian pula yang terjadi padda 2005, ketika pavilion Indonesia tampil dengan kurator M Dwi Marianto, melibatkan seniman Entang Wiharso, Noor Ibrahim, Yani Mariani dan Krisna Murti.

Seniman-seniman Indonesia yang mampu keluar dari bayang pembicaraan politik tentang represi negara, dan memasuki ketegangan antara politik sebagai pertarungan kuasa dalam kehidupan sehari-hari terus diundang sebagai bagian dari perayaan globalisme seni, sebut saja di ajang-ajang seperti Gwangju

Biennale, Lyon Biennale, Yokohama Triennale, Istanbul Biennale dan

sebagainya. Meski diawal mereka banyak dipromosikan oleh institusi seperti RSC atau beberapa galeri komersial, tetapi karya mereka menjadi agen bagi dirinya sendiri dalam memasuki gelanggang baru ini.

(17)

#kajianseni | 17

yang menandai masuknya galeri Indonesia dalam pasar internasional,

khususnya Asia. Tahun 2010, dibuka bursa seni Art HK yang dianggap paling bergengsi, yang semakin membuka jalan seniman Indonesia untuk

mendapatkan posisi khusus dalam pasar.

Harus dicatat bahwa krisis ekonomi dunia yang terjadi pada 2008 juga memberikan pengaruh besar pada perekonomian Eropa, yang kemudian berpengaruh pada pemotongan subsidi kebudayaan yang cukup signifikan dan mengubah banyak hal dalam sirkuit seni dunia. Belanda, salah satu negara yang paling banyak menyelenggarakan pameran seni Indonesia pada kisaran 1990an, dan memberikan sumbangan cukup besar pada organisasi-organisasi budaya di Indonesia, mengalami kesulitan untuk mempertahankan berbagai aktivitas diplomasi kebudayaannya. Demikian pula yang terjadi dengan Jepang.19 Krisis

ekonomi ini menyebabkan dana kebudayaan dipotong sehingga museum-museum dan institusi budaya tidak bisa lagi menyelenggarakan pameran skala internasional skala besar tanpa mengandalkan dukungan dana dari pihak

swasta atau sokongan individual dari para kolektor. Karenanya, dapat dikatakan institusi komersial, baik melalui perusahaan maupun individual, semenjak akhir 2000an mempunyai peranan besar dalam tatanan baru seni rupa kontemporer di seluruh dunia.

Galeri-galeri Eropa berdatangan ke wilayah Asia dan memperkenalkan nama-nama baru ini kepada kolektor mereka, terutama dengan partisipasi mereka dalam bursa seni Asia. Primo Marella Gallery di Milan, Ardnt Gallery dan Michael Janssen di Berlin, Ben Brown Fine Arts di London, Tyler Rollins dan Lombard Freid di New York, secara agresif menampilkan seni-seni Asia, termasuk Indonesia kepada khalayak Eropa dan Amerika, bahkan untuk kolektor-kolektor di kawasan Arab. Galeri-galeri Indonesia juga semakin aktif memasarkan karya seniman melalui bursa seni, bahkan beberapa bursa seni

memberi fokus khusus untuk melihat Indonesia sebagai “pasar baru”. Ada gagasan untuk memperluas pasar seni Asia, meski pada akhirnya hal ini menjadi titik balik yang problematis karena orientasi komersial yang kuat ini tidak dibarengi dengan usaha yang cukup signifikan dalam penulisan dan penyebaran

19 Dua lembaga utama yang banyak memberikan sumbangan bagi keberlangsungan praktik seni

(18)

#kajianseni | 18

sejarah dan pengetahuan seni Asia pada publik baru ini.20 Pertumbuhan mitos

Indonesia sebagai pasar seni bar terus meluas dengan model-model promosi yang membawa Indonesia sebagai fokus khusus dalam berbagai bursa seni seperti Art Paris + Guests (2010), Art Dubai Marker focus on Indonesia (2012), Paviliun Indonesia di Art Stage (2013), atau bagian dari South East Asia Focus pada penyelenggaraan Korean International Art Fair (2014).

Di titik inilah, muncul sebuah identitas ke-Indonesia-an baru yang dibentuk oleh entitas komersial—galeri, bursa seni, kolektor—yang tetap cair, sebagai hasil dari kontestasi identitas yang beragam, tetapi juga, siap kemas, untuk dijual kepada pasar, terutama dengan slogan-slogan yang sekiranya menjual semacam

“Indonesian Art Now”, “contemporary art today from Indonesia”, dan

sebagainya. Dalam kategori siap kemas ini, beragam sifat bisa ditemui: Indonesia yang Islam, Indonesia yang politis, Indonesia dengan identitasnya yang terbagi, Indonesia yang tradisional dan sebagainya, tinggal disesuaikan saja dengan pasar yang sedang dituju.

Pada kisaran awal 2010 dan setelahnya, terutama setelah adanya kesadaran dari pemerintah baru di era Susilo Bambang Yudhoyono untuk

memperkenalkan seni Indonesia kepada dunia luas, pemerintah mengawali kembali inisiatif untuk terlibat dalam penyelenggaraan pameran-pameran luar negeri. Dua pilar utama pemerintah dalam hal ini adalah Galeri Nasional dan Bagian Seni Rupa Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kretif. Semenjak 2010, di bawah kepemimpinan Tubagus Andre, Galeri Nasional menyelenggarakan satu atau dua pameran luar negeri tiap tahun dengan fokus utama memamerkan koleksi Galeri Nasional dan bekerjasama dengan kurator Galeri Nasional.

Pameran-pameran ini terutama diselenggarakan di negara-negara Asia

Tenggara seperti Thailand, Vietnam, Kamboja, selain juga menjangkau kawasan Amerika (Washington D.C) dan Australia (Canberra). Beberapa pameran yang diselenggarakan Galnas misalnya: TABEL

Karena bersifat Government to Government, pameran-pameran Galeri

Nasional sayangnya tidak dipromosikan secara luas kepada masyarakat seni di tempat pameran itu diselenggarakan. Sulit untuk mencari ulasan pameran terutama jika tempat penyelenggaraan bukanlah ruang seni yang cukup populer di konteks lokal. Salah satu pameran mereka yang cukup berhasil adalah

pameran yang diselenggarakan di National Portrait Gallery di Canberra.

20 Problematika ini di antaranya merujuk pada fenomena di mana sebagian dari karya-karya

(19)

#kajianseni | 19

Pameran-pameran luar negeri yang diselenggarakan Galeri Nasional ini biasanya membawa karya-karya yang mengombinasikan seni modern dengan seni kontemporer.

Selain Galeri Nasional, pemain aktif lain dari barisan pemerintahan dalam mempromosikan seni Indonesia adalah PAREKRAF. Salah satu projek Bidang Seni Rupa PAREKRAF yang utama pada 2013 adalah mendukung

penyelenggaraan Paviliun Indonesia di Venice Biennale, bekerja sama dengan Yayasan Bali Purniati. Dalam penelusuran penulis proyek ini termasuk proyek yang menyerap dana cukup besar untuk program pameran di luar negeri dari masa Orde Baru hingga tahun 2014,21 sekaligus paling mengundang

kontroversi. Gagasan tentang ke-Indonesia-an yang ditawarkan menjadi

problematis ketika dihadapkan pada konteks Venice Biennale sebagai peristiwa seni rupa yang menyajikan realitas-realitas sosial yang paling mutakhir.

Menampilkan lima seniman visual—Albert Yonatan, Astari Rasjid, Entang Wiharso, Eko Nugroho dan Titarubi—serta satu orang komposer (Rahayu Supanggah) dibalut dalam tema SAKTI yang dijelajahi oleh dua kurator Carla Bianpoen dan Rifky Effendy, pavilion Indonesia tampil dengan identitas Indonesia yang masih lekat dengan nilai tradisional Paul Khoo (2013) melihat presentasi Paviliun Indonesia di Venice sebagai upaya membangun Borobudur baru.

Apakah gagasan atas identitas Indonesia semacam ini yang mendapatkan dukungan pemerintah? Dalam pandangan penulis, pemerintah sendiri sekarang ini tidak terlalu memiliki visi tentang apakah itu seni rupa kontemporer

Indonesia. Dalam program KemenParekraf sendiri, selain mendukung Paviliun Indonesia di Venice Biennale, mereka juga memberi dukungan pada seniman-seniman Indonesia yang mendapat undangan ke ajang seni internasional, seperti dukungan mereka terhadap keikutsertaan Ruang Rupa di Asia Pacific Triennale #7 pada 2012. Sangat berbeda dengan Paviliun SAKTI, projek Ruang Rupa ini justru sangat politis, menampilkan narasi (fiktif) tentang kelompok musik asal Indonesia, The Kuda, yang lari ke Australia setelah mereka dianggap pemerintah menyebarkan ideologi kiri. Proyek ini menelusuri relasi yang kompleks antara budaya populer, ketegangan ideologi (sosialisme dan kapitalisme) serta pola relasi antar budaya pada akhir 1960an dan 1970an.

21 Pemerintah melalui KemenParekraf menggelontorkan dana sebesar 3 miliar dari 9 miliar

(20)

#kajianseni | 20

Dari tiga kali penyelenggaraan Paviliun Indonesia di Venice Biennale, tampak bahwa pemerintah sendiri tidak menganggap Venice Biennale sebagai ajang yang perlu diperjuangkan (jika pun mendukung, pemerintah tidak pernah menjadi komisioner utama). Saya kira, penting untuk dilihat bahwa absennya kegiatan diplomasi kebudayaan di luar negeri selama puluhan tahun membuat pemerintah sendiri tidak mempunyai pengetahuan tentang peta baru

kebudayaan dan mengapa Indonesia sebagai sebuah bangsa perlu terlibat di dalamnya. Memang penyelenggaraan Paviliun sebuah negara di Venice selalu mengundang kontroversi di tingkat lokal, terutama karena adanya kritisisme yang menyebut bahwa Venice Biennale merepresentasikan pula soal

ketidakadilan sistem seni dunia, di mana negara-negara maju mendapatkan tempat utama di Giardini dan Arsenale dan negara lain harus berjuang di wilayah luar, sehingga seolah-olah ada pembedaan antara yang tegas antara

“Pusat” dan “Pinggiran”. Ketidakpedulian Pemerintah terhadap Venice Biennale ini sesungguhnya bisa menjadi sikap politis jika ia memang didasarkan pada sebuah pandangan ideologis dan kritis tentang fenomena ini, akan tetapi, tampaknya Pemerintah lebih cenderung tidak tahu dan tidak memahami peta, alih-alih memperjuangkan ideologi yang lain untuk memberi tawaran baru atas gagasan internasionalisme.

Di luar inisiatif-inisiatif institusional skala besar, program-program pameran Indonesia di luar negeri juga banyak melibatkan organisasi yang skalanya lebih kecil, dengan semangat self-organized yang justru memberi kemungkinan relasi yang lebih seimbang antar bangsa dan antar organisasi. Inisiatif semacam ini biasanya berangkat dari jejaring individual, misalnya melalui jaringan kerja para kurator maupun seniman, dan belakangan justru inisiatif ini yang menggerakkan pertukaran kebudayaan secara aktif, termasuk di antaranya yang melibatkan galeri komersial. Meski tetap mengandalkan dana-dana luar negeri (dari berbagai program hibah) terutama dari Australia, Korea dan beberapa negara Eropa, akan tetapi bisa dilihat bahwa inisiatif skala kecil ini membuka

(21)

#kajianseni | 21

Projek-projek prakarsa komunitas dan individu juga menunjukkan intensitas cukup tinggi dan bahkan mendapat tempat dalam ruang-ruang yang cukup bergengsi di luar negeri, terutama karena pameran yang ditampilkan lebih berbasis pada diskursus dan bukan melihat karya seni melulu sebagai presentasi objek. Dalam lima tahun belakangan, beberapa program seperti pameran Made in Commons di SMBA yang dilaksanakan oleh KUNCI (2013), program

Instrumen Builders Project yang ditampilkan di National Gallery of Victoria (2014), pertukaran proyek seni di Polandia melibatkan Jatiwangi Art Factory (2014) dan sebagainya, keluar dari gagasan atas proyek-proyek pembentukan identitas sebagaimana yang acap terjadi pada proyek pemerintah atau

kelembagaan. Proyek-proyek semacam ini, menurut Ade Darmawan, keluar dari kotak kebangsaan, dan sebagaimana yang ditunjukkan oleh Soekarno,

menunjukkan spirit untuk sejajar dengan warga dunia. Proposisi-proposisi kritis justru acap ditunjukkan melalui model pameran berbasis jejaring individual dan kolektif semacam ini.

EPILOG:

Dalam konstelasi medan seni rupa kontemporer satu dasa warsa terakhir, peranan masing-masing agen kebudayaan—baik negara, institusi seni, sektor komersial dan para praktisi seni sendiri sudah menjadi bagian yang sama dengan agen-agen ekonomi politik. Jika kita merujuk pada aparat ideologis Louis Althusser, maka para dengan cara tertentu negara bekerja untuk

menciptakan super struktur yang ketat untuk menanamkan ideologi tertentu, maka Orde Baru telah menunjukkan kekuatannya untuk membentuk super struktur yang menyebarluaskan produk-produk budaya industrial dan mengetengahkan gagasan tentang Jawa, dan, dengan cara tertentu, Islam, sebagai identitas ke-Indonesia-an yang masif. Politik Kebudayaan Orde Baru yang lebih diarahkan untuk memelihara stabilitas keamanan nasional membuat strategi lebih diperuntukkan wilayah domestik, dan kurang memberi respon pada pergaulan internasional. Era kepemimpinan Soekarno melihat bahwa peran negara dalam pergaulan antar bangsa ini adalah membentuk kebanggaan bersama dengan memberikan gagasan atas identitas yang cair dan dinamis. Dalam pertarungan perang budaya pasca Perang Dingin, terutama yang kemudian didominasi oleh Amerika dan Jepang dalam konteks Asia, ketika Indonesia mengalami Orde Baru, negara justru melepaskan diri dan kehilangan

(22)

#kajianseni | 22

Gerakan-gerakan skala kecil yang telah tersebut di atas menunjukkan peran individual dan komunitas sebagai agensi, mewujudkan pola organisasi swadaya (self-organized) yang keluar dari gagasan tentang perang budaya dan lebih menjelajahi kemungkinan baru atas model kolaborasi. Pasca reformasi, tampaknya belum terlihat adanya desain besar atas dinamika kebudayaan, sehingga inisiatif-inisiatif komunitas lebih punya tempat dan mempunyai akses sendiri ke jalur-jalur internasional. Karena digerakkan oleh inisiatif komunitas, maka justru terlihat adanya keragaman imajinasi tentang identitas

ke-Indonesia-an yang diciptakan oleh para agen yang terlibat, mulai dari negara, institusi dan komunitas, individu, hingga badan-badan usaha ekonomi yang bergerak dalam sektor seni. Setiap agen mempunyai definisi, metode dan pendekatan sendiri tentang apa yang dianggap sebagai identitas Indonesia dan bagaimana mereka bisa menjualnya untuk berbagai kepentingan yang berbeda. Dalam hal ini, kita bisa melihat bahwa apparatus ideologis dalam sektor

kebudayaan telah kehilangan kekuasaannya yang nyaris absolut selama Orde Baru, dan tampak berada dalam situasi transisi untuk mendefinisikan kembali peranannya.

Self Organization community ini menjadi satu praktik yang menarik untuk dilihat sebagai contoh dari kritik institusional yang marak dibicarakan dalam wacana seni kontemporer beberapa waktu terakhir. Jika bentuk-bentuk kerja dan praktik kebudayaan yang dilakukan oleh pemerintah mempunyai landasan untuk membangun instrument (instrumentalization), maka pada organisasi skala kecil, yang diutamakan adalah bagaimana membangun dialog langsung dan menghasilkan tindakan-tindakan nyata. Model inisiatif juga membuka kemungkinan pertentangan dengan gagasan arus utama yang ditawarkan oleh lembaga-lembaga skala besar (termasuk pemerintah), sehingga dalam konteks identitas ke-Indonesia-an bisa dilihat bagaimana gagasan pemerintah tentang Indonesia justru banyak dipengaruhi oleh cara pandang kolonial yang

merefleksikan kecenderungan oksidentalisme.

Pertumbuhan yang pesat dari jejaring antar individu dan antar organisasi dalam skala kecil, yang menunjukkan semangat pengorganisasian mandiri, disinyalir Maria Lind sebagai sebuah gerakan untuk memberi posisi perlawanan. Ia

mencatat “Saya berpikir tentang inisiatif-inisiatif yang memberi posisi

perlawanan dlm hubungannya dengan kebudayaan arus utama, terutama, yang melawan instrumentalisasi. Sebagian gerakan ini menempatkan dirinya sebagai

“orang luar”, juga untuk menampilkan polemic tertentu. Beberapa dari produser

(23)

#kajianseni | 23

seni dan betapa penting menampilkan yang alternative. Dalam jalur itu, mereka mengambil langkah besar untuk menandingi produksi kebudayaan yang

sekarang, memberi ruang mediasi antara publik dan institusi komersial, serta menggarisbawahi pentingnya negosisasi, dan opacity. Dalam konteks ini, bahkan memungkinkan bagi kita untuk melihat adanya belokan baru dalam

kritik institusional dalam “pendekatan sistemik”.22

Inisiatif skala kecil, dengan perspektif ini, memberi kemungkinan adanya negosiasi atas pola relasi kekuasaan yang sudah dilihat sebagai sesuatu yang mapan dalam hubungan-hubungan internasional. Keinginan untuk keluar dari gagasan arus utama dan menghadirkan pembacaan-pembacaan alternatif atas dunia membuat pameran-pameran yang diselenggarakan oleh komunitas skala kecil ini lebih berfokus pada upaya menghubungkan praktik seni dengan

konteks yang lebih besar, sementara pada model-model kerja Pemerintah seni dihadirkan sebagai artifak dan simbol identitas yang cenderung stagnan dan tidak bertumbuh. Meski pemerintah memegang peran dalam menentukan kebijakan budaya, namun pada kenyataannya kita melihat bagaimana berbagai kekuatan memberi konter pada apparatus ideologis sehingga selalu ada

wacana-wacana tandingan yang justru memberikan dampak langsung pada komunitas tertentu, dalam hal ini komunitas seni kontemporer.

22 Lind, Maria. Complications: On Agency, Collaborations and Contemporary Arts dalam

Referensi

Dokumen terkait

dica!ai baik dengan berja"an kaki atau dengan kendaraan 4roda dua mau!un roda em!at6 serta jau. dari tem!at 2ang

Toisi dan Kussoy Wailan John (2012) menyatakan bahwa pengaruh luas bukaan ventilasi terhadap penghawaan alami pada kenyamanan termal pada rumah tinggal, dimana hasil analisanya

Dengan kondisi tersebut, kenaikan harga bahan pangan, terutama beras dan bumbu- bumbuan, relatif terkendali, lebih rendah dibanding kenaikan harga yang terjadi pada triwulan yang

Contoh dilarutkan dengan larutan buffer (Sigma Chemical) contoh dengan (perbandingan 1 : 1) dan campuran ini kemudian diinaktifkan dalam water bath (Memmert) pada suhu 60 o

Oleh karena itu pengkajian teks Kitāb Al-Farāid yang dari Betawi menyesuaikan dengan struktur sastra kitab, yang meliputi struktur penyajian teks, gaya

Sedangkan konsentrasi PO4, NO3, NO3, NH3, Fe, Cl, SO4, H2S, Fenol dan Total Koliform pada AL1 lebih tinggi dari AL2 disebabkan karena telah mengalami proses dekompisisi

permukaan yang maksimum pada metil ester sulfonate dari metil ester minyak sawit dengan menggunakan metode microwave-assisted dengan box-behnken design (BBD)

[r]