1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Pendidikan di sekolah dasar merupakan awal bagi siswa dalam
mengembangkan sikap dan pengetahuan. Melalui pendidikan di sekolah dasar,
karakter siswa dikembangkan sesuai dengan kompetensi yang dimiliki siswa.
Langkah dalam mengembangkan karakteristik siswa sekolah dasar harus dekat
dan sesuai dengan karakter siswa agar siswa tidak merasa dipaksa untuk belajar.
Maka salah satu cara yang dapat digunakan dan dekat dengan dengan dunia
mereka adalah bermain sambil belajar.
Bermain sambil belajar salah satu karakteristik siswa sekolah dasar.
Umumnya, usia siswa SD berada pada usia sekitar 7-12 tahun. Pada usia tersebut,
siswa berada dalam masa senang bermain dan memiliki sikap egosentris yang
sangat tinggi. Siswa ingin pendapatnya atau dirinya lah yang menjadi pusat
perhatian. Kurniawan (dalam Wardani, 2012:5) mengatakan bahwa “empat
karakteristik siswa SD adalah 1) senang bermain, 2) senang bergerak, 3) senang
bekerja dalam kelompok, 4) senang merasakan atau melakukan sesuatu secara langsung”. Dengan demikian pendidikan sekolah dasar bertujuan untuk mengembangkan sikap siswa agar dapat bekerja sama dalam kelompok, dapat
bertanggung jawab, dan memimpin teman dalam kelompok merupakan arah
pengembangan sikap dari urgensi pendidikan sekolah dasar.
Untuk mewujudkan pengembangkan karakter siswa sekolah dasar maka
dibutuhkan sarana yang dapat mengatur keterlaksanaan pendidikan dalam sebuah
kurikulum. Sarana tersebut berupa kurikulum yang disusun untuk mengarahkan
karakter siswa. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional (Permendikbud nomor 67 tahun 2013) menyebutkan “kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan
2
Kurikulum berisikan seperangkat rencana untuk mencapai tujuan
pendidikan berisikan penjabaran dari Standar Proses dan Standar Kriteria Lulusan
yang ditetapkan oleh pemerintah. Penentuan isi kurikulum di Indonesia mengikuti
perkembangan zaman dan globalisasi sehingga disesuaikan dengan kehidupan
mendatang.
Perubahan kurikulum mendasari perubahan isi dan struktur, sistem
penilaian, dan tujuan. Perubahan kurikulum dilakukan untuk menyempurnakan
tujuan pendidikan di Indonesia yang disesuaikan dengan kebutuhan sumber daya
manusia di masa sekarang maupun mendatang. Menurut Herliyati (dalam Slideshare: 2013) “sejarah perubahan kurikulum yang terjadi di Indonesia sejak Indonesia merdeka tahun 1945 adalah pada tahun 1947, 1952, 1964, 1968, 1975,
1984, 1994, 1999, 2004 dan 2006”. Perubahan kurikulum ini mengakibatkan
perubahan sosial budaya, ekonomi dan politik dalam masyarakat karena
perkembangan kurikulum yang disesuaikan dengan tuntutan dan perubahan yang
terjadi di masyarakat. Kurikulum ini memiliki masa yang lebih dikenal dengan
masa pemberlakuan kurikulum yaitu kurikulum sederhana (1947-1964),
pembaharuan kurikulum (1968 dan 1975), kurikulum berbasis keterampilan
proses (1984 dan 1994), dan kurikulum berbasis kompetensi (2004 dan 2006).
Salah satu kurikulum yang diterapkan di Indonesia sebagai perbaikan
kurikulum sebelumnya adalah Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)
yang diterapkan pada tahun 2006. Tujuan kurikulum KTSP adalah kurikulum
yang diterapkan dimasing-masing satuan pendidikan yang menyesuaikan
kebutuhan satuan pendidikan karena dengan otonomi daerah, pendidikan yang
dahulu bersifat sentralistik diubah menjadi desentralistik. Sekolah dapat
mengembangkan kurikulum KTSP sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan
sekolah tersebut. Dengan kurikulum ini diharapkan tujuan pendidikan akan
tercapai dengan menyesuaikan kebutuhan siswa dan kebutuhan daerah.
Tahun 2013 dilakukan penyempurnaan kurikulum dari KTSP ke
kurikulum 2013. Kurikulum 2013 berorientasi pada dua dimensi kurikulum yang
pertama adalah rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran.
3
pertama mengenai pembelajaran yang disusun dengan mengintegrasikan mata
pelajaran menjadi satu tema karena siswa sekolah dasar belajar melalui
keterkaitan mata pelajaran dengan kehidupan sehari-hari. Dimensi kedua berupa
kegiatan pembelajaran yang menciptakan suasana kelas yang aktif dan berpusat
kepada siswa.
Berdasarkan Permendikbud Nomor 67 Tahun 2013 dua tantangan yang
dialami dalam penggembangan kurikulum meliputi tantangan internal dan
tantangan eksternal. Tantangan internal menyangkut pada delapan aspek standar
pendidikan di Indonesia dan perkembangan usia produktif di Indonesia yang lebih
banyak daripada usia tidak produktif yang diperkirakan pada tahun 2020-2035
usia produktif mencapai 70%. Tantangan eksternal meliputi perkembangan
globalisasi dan berbagai isu tentang masalah lingkungan hidup, perkembangan
teknologi, budaya, dan perkembangan pendidikan di tingkat dunia.
Dengan adanya tantangan eksternal terhadap perkembangan globalisasi,
akan memicu perkembangan teknologi yang dapat digunakan di dalam
pelaksanaan pendidikan. Berdasarkan Paradigma Pembelajaran abad 21, dapat
dilihat bahwa ciri-ciri pembelajaran abad 21 menekankan pada siswa untuk
mendapatkan informasi kapan saja dan di mana saja, tidak hanya menggunakan
buku cetak tetapi dapat juga menggunakan media elektronik, dapat menjangkau
segala pekerjaan rutin, dan dapat diperoleh dari siapa saja dan di mana saja.
Berdasarkan ciri-ciri pembelajaran abad 21, nampak bahwa model
pembelajaran yang semula konvensional berubah menjadi pembelajaran aktif dan
mandiri. Pembelajaran diarahkan agar peserta didik mencari tahu segala informasi
dengan berbagai macam pendekatan tanpa diberi tahu. Pembelajaran diarahkan
untuk mampu merumuskan masalah dari informasi yang diperoleh, bukan hanya
dapat menjawab pertanyaan. Menurut Kemdikbud (2012):
4
Untuk mengimplementasikan perubahan paradigma pendidikan abad 21
dalam pendidikan Indonesia maka KTSP disempurnakan dengan kurikulum 2013.
Dalam pelaksanaan kurikulum 2013, semua yang telah disusun oleh pemerintah
tidak dapat berjalan dengan baik tanpa adanya dua faktor penentu yang
mempengaruhi. Menurut Kemdikbud (2012):
Pertama faktor penentu, yaitu kesesuaian kompetensi pendidik dan tenaga kependidikan (PTK) dengan kurikulum dan buku teks. Kedua faktor pendukung yang terdiri dari tiga unsur, 1) ketersediaan buku sebagai bahan ajar dan sumber belajar yang mengintegrasikan standar pembentuk kurikulum; 2) penguatan peran pemerintah dalam pembinaan dan pengawasan; dan 3) penguatan manajemen dan budaya sekolah.
Faktor penentu pada penerapan kurikulum 2013 adalah kesesuaian
kompetensi pendidik dan tenaga pendidikan. Dalam ketercapaian faktor tersebut,
guru harus dipersiapkan yang melibatkan tim pengembang kurikulum di tingkat
pusat dan instruktur diklat terdiri dari dinas pendidikan, dosen, widyaswara, guru
inti, pengawas, kepala sekolah, dan guru kelas. Dalam Kurikulum 2013, guru
harus dapat menerapkan pendekatan saintifik yang bertujuan untuk membuat
proses kegiatan belajar mengajar menjadi sistematis, analitis, dan bermakna bagi
siswa.
Kesiapan guru sangat diperhatikan dalam pengimplementasian kurikulum
2013. Hal ini dikarenakan guru sebagai kunci utama dan sebagai pelaku kurikulum. Kemdikbud (2012) menyatakan “tujuan kurikulum 2013 yaitu bertujuan mendorong peserta didik, mampu lebih baik dalam melakukan
observasi, bertanya, bernalar, dan mengkomunikasikan (mempresentasikan),
terhadap apa yang mereka peroleh atau mereka ketahui setelah menerima materi
pembelajaran”.
Dengan kesiapan guru yang sudah matang dalam pelaksanaan
pembelajaran dengan menggunakan pendekatan saintifik, memiliki tujuan lain
agar siswa mengembangkan kreativitas, inovatif, dan keaktifan berpikir. Dalam
Permendikbud Nomor 65 Tahun 2013 tentang Standar Proses dinyatakan bahwa:
5
menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik. Untuk itu setiap satuan pendidikan melakukan perencanaan pembelajaran, pelaksanaan proses pembelajaran serta penilaian proses pembelajaran untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas ketercapaian kompetensi lulusan.
Kurikulum 2013 menekankan pada kompetensi pedagogis siswa dalam
pembelajaran, yaitu menggunakan pendekatan ilmiah atau pendekatan saintifik.
Adapun langkah-langkah ilmiah adalah: Mengamati (Observing), Menanya
(Questioning), Menalar (Associating), Mencoba (Experimenting),
Mengkomunikasikan (Communiting). Kriteria pendekatan saintifik menurut
Wahid (2013) ada tujuh kriteria pendekatan yang dapat dikatakan sebagai
pendekatan saintifik:
1) Materi pembelajaran berbasis pada fakta...dijelaskan dengan logika atau penalaran tertentu; 2) Penjelasan guru, respon siswa, dan interaksi edukatif guru-siswa terbatas dari prasangka yang serta-merta, pemikiran subjektif, atau penalaran yang menyimpang dari alur berpikir logis; 3) Mendorong dan menginspirasi siswa berpikir kritis, analisis,...dalam memecahkan masalah; 4) Mendorong dan menginspirasi siswa mampu berpikir hipotestik....; 5) Mendorong dan menginspirasi siswa mampu memahami, menerapkan, dan mengembangkan pola berpikir yang rasional dan objektif dalam merespon materi pembelajaran; 6) Berbasis pada konsep, teori, dan fakta empiris yang dapat dipertanggungjawabkan; 7) Tujuan pembelajaran dirumuskan secara sederhana dan jelas, namun menarik sistem penyajiannya.
Pelaksanaan kurikulum 2013 dalam dunia pendidikan Indonesia dipandang
masih memiliki kelemahan dalam penerapannya. Penyusunan yang bertujuan
untuk menyempurnakan kurikulum KTSP dirasa sangat terburu-buru dalam
pengimplementasiannya karena belum dapat dievaluasi secara merata tetapi sudah
diterapkan diseluruh sekolah. Pdt. Rugas Binti (dalam Napitupulu: 2013)
mengatakan “pelaksanaan Kurikulum 2013 sebaiknya ditunda dulu karena perlu
6
Dzakiy (2014) juga menyampaikan keraguan tersebut dengan menyoroti
ketidaksiapan pemenrintah dalam menyediakan infrastruktur implementasi
kurikulum. Banyak guru yang mengampu pelajaran di kelas belum mendapat
pelatihan kurikulum 2013. Romo Benny Susetyo (dalam Napitupulu: 2013) mengatakan “para guru hanya akan disiapkan untuk menghafal buku pegangan guru. Padahal, penerapan Kurikulum 2013 perlu mengubah paradigma guru dan kultur mendidik guru”.
Dengan melihat berbagai pertimbangan dan evaluasi sekolah yang telah
menerapkan kurikulum 2013, Menteri Pendidikan Anies Baswedan
memberlakukan kembali Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan yang pernah
diterapkan pada tahun 2006 pada semester genap tahun ajaran 2014-2015. Hal ini
dilakukan karena pemerintah menilai masih ada kekurangan dalam pelaksanaan
kurikulum 2013 disekolah-sekolah yang telah melaksanakannya. Dalam
pelaksanaannya, pemerintah masih menemukan kendala-kendala dalam
pelaksanaan kurikulum 2013 dan dengan proses diberhentikan sementara
pemerintah akan mengevaluasi kekurangan dalam pelaksanaan kurikulum 2013.
Kurikulum 2013 diharapkan dapat mengubah cara berpikir siswa dari yang
hanya menerima dan mendengarkan guru menjadi siswa yang mencari sendiri dan
mempunyai rasa ingin tahu yang besar. Berpikir sistematis, analisis, dan kritis
dalam menghadapi permasalahan yang disediakan guru. Pembelajaran dengan
menggunakan tematik integratif dapat membuat siswa mengaitkan pembelajaran
satu dengan pembelajaran lain sesuai kehidupan siswa sehari-hari.
Untuk melengkapi pendekatan saintifik dalam kurikulum 2013, terdapat
banyak metode yang dapat digunakan salah satunya adalah metode penemuan
(discovery learning). Metode penemuan ini merupakan metode yang menuntut
siswa menemukan jawaban dari persoalan secara sistematis dan membuat siswa
aktif. Metode discovery menekankan pada ditemukannya konsep atau prinsip yang
sebelumnya tidak diketahui.
Karakteristik dari metode discovery adalah menuntut siswa untuk
mendapatkan informasi, mengkategorikan dan berupa pembelajaran konkrit.
7
memahami pembelajaran dengan benda konkrit, suka memperagakan sesuatu, dan
senang belajar bersama temannya dalam membentuk kelompok belajar.
Pembelajaran dengan menggunakan metode discovery dirancang untuk
mengaktifkan siswa dari yang pasif ke aktif dan membimbing siswa belajar
menggunakan tahapan belajar (hirarkis).
Siswa usia sekolah dasar memiliki banyak kegiatan yang sesuai dengan
tahap perkembangan siswa. Mohammad Nuh (dalam Azizah, 2014) mengatakan:
Kegiatan yang dapat dilakukan sesuai dengan tahap perkembangan anak kelas awal (1-3) adalah: 1) anak usia 8 tahun “suka bekerjasama”. 2) guru dapat memberikan tugas untuk melakukan kegiatan berkelompok. 3) memberi kesempatan kepada anak untuk menjadi pembicara misalnya menyampaikan hasil kegiatannya, memberi komentar terhadap sesuatu dan sebagainya. 4) guru perlu menyiapkan berbagai kegiatan yang menghasilkan sesuatu karena pada usia ini mereka senang menghasilkan karya. 5) menyiapkan berbagai kegiatan yang sifatnya eksplorasi misalnya mencari fakta dalam kamus, menyelidiki lingkungan, untuk dapat mengenal dunia yang lebih luas bukan hanya yang dekat dengan dirinya.
Mohammad Nuh menyebutkan kegiatan yang cocok untuk kelas rendah
seperti bekerja sama atau berkelompok, menyampaikan hasil pekerjaan siswa di
depan kelas, dan melakukan kegiatan mencari sesuatu yang berkaitan dengan
materi. Kegiatan untuk kelas rendah tersebut sesuai dengan langkah-langkah
metode discovery sehingga metode discovery dapat diterapkan di kelas rendah.
Menurut Illahi (2012:33) “discovery merupakan salah satu metode yang
memungkinkan para anak didik terlibat langsung dalam kegiatan belajar mengajar”. Illahi mengatakan bahwa pembelajaran discovery membuat siswa terlibat langsung dalam pembelajaran sehingga siswa menjadi aktif. Pembelajaran
sekolah dasar dengan karakter belajar sambil bermain menciptakan kelas yang
aktif sehingga sesuai dengan pembelajaran discovery. Meskipun tingkat berpikir
siswa masih rendah, siswa berusaha menghasilkan suatu karya atau penemuan
dengan metode penemuan baik secara mandiri maupun melalui bimbingan guru.
Dalam pembelajaran dengan menggunakan metode discovery, siswa
8
mengatakan bahwa “dalam discovery masalah yang dihadapkan kepada siswa semacam masalah yang direkayasa”. Berarti pembelajaran dalam discovery oleh guru telah dirancang agar guru dapat membimbing dan mengarahkan kegiatan
belajar siswa sesuai dengan tujuan pembelajaran. Guru hanya sebagai fasilitator
dan pembimbing untuk siswa, kemudian siswa harus berpikir secara kritis baik
kelompok atau individu untuk menemukan penyelesaian dari hasil penelitian maupun observasi. Kemdikbud (2012) menyatakan “siswa harus mengidentifikasi masalah kemudian mencari informasi secara mandiri bersama kelompok atau
individu tentang masalah yang dihadapi kemudian mengorganisasi apa yang
diperoleh siswa dalam bentuk pemahaman kemudian disimpulkan”.
Dengan langkah saintifik melalui metode discovery mengkombinasikan
karakteristik siswa yang senang bermain dan belajar. Siswa bekerja secara
kelompok atau mandiri dalam mencari sumber belajar lain selain guru yang
bertujuan membuat siswa aktif dan pembelajaran akan bermakna dalam pemikiran
siswa.
1.2 Identifikasi Masalah
Berdasarkan dari latar belakang yang telah dikemukakan maka dapat
diidentifikasi masalah sebagai berikut:
1) Keraguan dalam implementasi kurikulum 2013 dan menerapkan kembali
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan.
2) Tingkat berpikir siswa yang masih rendah masih sulit jika menerapkan
pembelajaran metode discovery di kelas rendah.
1.3 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah yang telah diuraikan,
maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:
1) adakah perbedaan pengaruh yang signifikan penerapan pendekatan
saintifik melalui metode discovery terhadap hasil belajar Ilmu Pengetahuan
Alam siswa kelas 2 SD Negeri Tingkir Tengah 02 Salatiga?
2) adakah perbedaan pengaruh yang signifikan penerapan pendekatan
9
Alam pada berbagai tingkat kemampuan belajar siswa kelas 2 SD Negeri
Tingkir Tengah 02 Salatiga?
1.4 Tujuan Penelitian
Berdasarkan masalah di atas dapat ditentukan tujuan yang ingin dicapai
pada penelitian ini yaitu:
1) untuk mengetahui signifikansi perbedaan pengaruh penerapan pendekatan
saintifik melalui metode discovery terhadap hasil belajar Ilmu Pengetahuan
Alam siswa kelas 2 SD Negeri Tingkir Tengah 02 Salatiga.
2) untuk mengetahui signifikansi perbedaan pengaruh penerapan pendekatan
saintifik melalui metode discovery terhadap hasil belajar IPA pada
berbagai kemampuan belajar siswa kelas 2 SD Negeri Tingkir Tengah 02
Salatiga.
1.5 Manfaat Penelitian
Adapun dua manfaat yang didapat diperoleh dalam penelitian ini, yaitu
manfaat teoritis dan manfaat praktis.
1.5.1 Manfaat Teoretis
Secara teoretis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran
tentang proses pembelajaran dengan menggunakan pendekatan saintifik melalui
metode discovery terhadap hasil belajar IPA siswa kelas 2 sekolah dasar dan
pendekatan saintifik melalui metode discovery terhadap hasil belajar IPA pada
berbagai kemampuan belajar siswa kelas 2 sekolah dasar.
1.5.2 Manfaat Praktis
Manfaat yang diperoleh khususnya pihak sekolah adalah dapat digunakan
sebagai bahan membuat kebijakan dalam meningkatkan mutu proses
pembelajaran. Untuk pihak guru, penelitian ini dapat berguna sebagai masukan
guru dalam rangka memberikan bantuan perbaikan dan penanganan masalah hasil
belajar siswa dan sebagai bahan refleksi bagi guru terhadap pembelajaran yang
telah dilaksanakan. Manfaat untuk siswa dapat meningkatkan hasil belajar siswa