• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengaruh Model Problem Based Learning (PBL) terhadap Kemampuan Berpikir Kritis Matematika Siswa Kelas 4 SD Negeri Kebumen 01 Dan SD Negeri Kebumen 03 Semester 2 Tahun Pe

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengaruh Model Problem Based Learning (PBL) terhadap Kemampuan Berpikir Kritis Matematika Siswa Kelas 4 SD Negeri Kebumen 01 Dan SD Negeri Kebumen 03 Semester 2 Tahun Pe"

Copied!
35
0
0

Teks penuh

(1)

5

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1Kajian Teori 2.1.1 Belajar

Belajar merupakan kebutuhan setiap orang, sebab dengan belajar

seseorang dapat memahami dan menguasai sesuatu sehingga kemampuannya

dapat ditingkatkan. Salah satu pertanda bahwa seseorang telah belajar adalah

adanya perubahan tingkah laku dirinya. Perubahan tingkah laku tersebut

menyangkut baik perubahan yang bersifat pengetahuan (kognitif) dan

keterampilan (psikomotor) maupun yang menyangkut nilai dan sikap (afektif)

(Sadiman, 2007: 2)

Belajar merupakan kegiatan berproses yang dilakukan dalam pendidikan.

Belajar dapat membuat siswa dari yang tadak tahu menjadi tahu, dari yang

tidak bisa menjadi bisa dan siswa banyak mendapatkan informasi dari proses

belajar. Ini berarti berhasil atau gagalnya siswa sangat bergantung yang dialami

siswa baik ketika di sekolah, maupun lingkungan di rumah atau keluarga

(Hasanah, 2010: 8)

Pengertian belajar yang dikemukakan Fontana (Panen, 2001: 1.2) yaitu “

suatu proses perubahan relatif tetap dalam perilaku individu sebagai hasil dari

pengalaman”. Chaplin (Syah, 2010:88), membatasi belajar dengan dua macam

rumusan yaitu:

a. Acquisition of any relatively permanent change in behaviour as result of

practice and experience. Belajar adalah perolehan perubahan tingkah laku

yang relatif menetap sebagai akibat praktik dan pengalaman.

b. Process of acquiring responses as a result of special practice. Belajar

ialah proses memperoleh respon-respon sebagai akibat adanya pelatihan

khusus.

Menurut Hakim (Fathurrohman, 2007: 6) belajar adalah “ suatu

perubahan di dalam kepribadian manusia dan perubahan tersebut di tampakkan

dalam bentuk peningkatan kualitas dan kuantitas tingkah laku seperti

(2)

keterampilan, daya fikir”. Sedangkan Hilgard dan Marquist (Sagala, 2009:13) berpendapat bahwa “Belajar merupakan proses mencari ilmu yang terjadi

dalam diri seorang melalui latihan, pembelajaran, dan sebagainya sehingga terjadi perubahan dalam diri”.

Sejalan pendapat para ahli, Sadiman (2007) dan Sagala (2009) di atas,

dapat disimpulkan bahwa belajar adalah proses perubahan tingkah laku yang

mengakibatkan siswa dapat merespon ilmu pengetahuan yang diberikan

sehingga terjadi peningkatan daya pikir, keterampilan, pemahaman, sikap,

pengetahuan, dan lain-lain yang dilakukan melalui pembelajaran.

2.1.2 Pembelajaran

Pembelajaran berdasarkan makna leksikal berarti proses, cara perbuatan

mempelajari (Suprijono, 2009:13). Menurut Gagne, Brigss, dan Wager (Panen,

2001: 1.5) pembelajaran adalah “serangkaian kegiatan yang dirancang untuk memungkinkan terjadinya proses belajar pada siswa”. Sedangkan (Depdiknas, 2007:17) kata “pembelajaran” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah kata benda yang diartikan sebagai proses, cara menjadikan orang, atau makhluk

hidup belajar. Menurut (Sanjaya, 2008:213) istilah mengajar bergeser pada

istilah pembelajaran yang dapat diartikan sebagai proses pengaturan

lingkungan yang diarahkan untuk mengubah perilaku siswa ke arah yang

positif dan lebih baik sesuai potensi dan perbedaan yang dimiliki siswa.

Pada pembelajaran guru telah merancang kegiatan-kegiatan apa saja yang

harus dilakukan dalam proses belajar, seperti materi, model, dan media

sehingga dapat memudahkan siswa untuk memahami materi dan rancangan

kegiatan tersebut harus sesuai dengan tujuan pembelajaran (Hasanah, 2010:11).

Pembelajaran mempunyai dua karakteristik, yaitu (1) dalam proses

pembelajaran melibatkan proses mental siswa secara maksimal, bukan hanya

menuntut siswa sekedar mendengar, mencatat, akan tetapi menghendaki siswa

dalam proses berpikir, (2) dalam pembelajaran membangun suasana dialogis

dan proses tanya jawab terus menerus yang diarahkan untuk memperbaiki dan

(3)

berfikir itu dapat membantu siswa untuk memperoleh pengetahuan yang

mereka konstruksi sendiri (Sagala, 2009:63).

Sejalan dengan Sanjaya (2008) dan Hasanah (2010) dari pendapat di atas,

pembelajaran adalah usaha yang dilakukan guru agar siswa melakukan belajar

melalui rancangan yang telah dibuat. Pada pembelajaran siswa yang lebih

banyak berperan dari pada guru, guru hanya menjadi fasilitator saja. Oleh

karena itu dalam pembelajaran siswa dituntut untuk aktif baik secara mental

maupun fisik sehingga siswa dapat menggunakan kemampuan berfikir dan

keterampilan-keterampilan dalam proses belajar.

2.2. Pembelajaran Matematika untuk Sekolah Dasar 2.2.1 Hakekat Matematika

Menurut (Suhendar, 2007: 7.4) istilah kata matematika menurut berbagai

bahasa antara lain mathematics (bahasa Inggris), mathematik (bahasa Jerman),

mathematique (bahasa Perancis), matematico (bahasa Italia), matematiceski

(bahasa Rusia) dan mathematick (bahasa Belanda). Istilah matematika yang

dinyatakan dalam berbagai ungkapan tersebut berasal dari bahasa Yunani,

yaitu mathematike yang mengandung pengertian hal-hal yang berhubungan

(relating to learning). Kata tersebut mempunyai akar kata mathema yang

artinya pengetahuan atau ilmu. Kata ini pun berhubungan erat dengan kata lain,

yaitu mathamein yang maknanya adalah belajar.

Terdapat beberapa pengertian matematika menurut para ahli, diantaranya

seperti yang diungkapkan Paling (Abdurrahman, 2002: 252) yaitu matematika

adalah suatu cara untuk menemukan jawaban terhadap masalah yang dihadapi

manusia, suatu cara menggunakan informasi, menggunakan pengetahuan

tentang bentuk dan ukuran, menggunakan pengetahuan tentang menghitung,

dan yang paling penting adalah memikirkan dalam diri manusia itu sendiri

dalam melihat dan menggunakan hubungan-hubungan. Sedangkan James dan

James (Suherman, 2003: 16) mengatakan bahwa matematika adalah ilmu

tentang logika mengenai bentuk, susunan, besaran, dan konsep-konsep yang

berhubungan satu dengan yang lainnya dengan jumlah yang banyak yang

(4)

Menurut Skemp (Shadiq, 2009) inti belajar matematika adalah “agar siswa memiliki pemahaman relasional dimana para siswa dapat melakukan

sesuatu namun ia juga harus dapat menjelaskan mengapa ia harus melakukan”.

Sejalan pendapat Abdurrahman (2002) dan Suherman (2003) di atas

matematika adalah ilmu yang berisi struktur-struktur, konsep yang saling

berhubungan satu sama lainnya. Agar siswa mengetahui dan memahami

konsep-konsep serta struktur-struktur yang ada di matematika, maka

diperlukan belajar matematika.

2.2.2 Karakteristik Pembelajaran Matematika di Sekolah Dasar.

Menurut Jean Piaget (Nyimas, 2007), menyatakan bahwa “proses berpikir manusia sebagai suatu perkembangan yang bertahap dari berpikir intelektual konkret ke abstrak”. Menurut Bruner (Nyimas, 2007)

mengungkapkan bahwa dalam “proses belajar anak sebaiknya diberi

kesempatan memanipulasi benda-benda atau alat peraga yang dirancang

secara khusus dan dapat diotak-atik siswa dalam memahami suatu konsep matematika”.

Dengan demikian pembelajaran matematika di Sekolah Dasar tak bisa

lepas dari sifat-sifat matematika yang abstrak dan perkembangan intelektual

siswa yang masih konkret. Oleh karena itu perlu memperhatikan beberapa sifat

atau karakteristik pembelajaran matematika di Sekolah Dasar (Wigar,

2012:15-16).

1. Pembelajaran matematika berjenjang (bertahap) dimulai dari konsep yang

sederhana ke konsep yang lebih sukar.

2. Pembelajaran matematika mengikuti metode spiral. Dalam setiap

memperkenalkan konsep atau bahan yang baru perlu memperkenalkan

konsep atau bahan yang telah dipelajari siswa sebelumnya. Bahan yang

baru selalu dikaitkan dengan bahan yang telah dipelajari dan sekaligus

untuk mengingatkannya kembali.

3. Pembelajaran matematika menekankan pada pola pendekatan induktif.

Matematika adalah ilmu deduktif. Matematika tersusun secara deduktif

(5)

dalam pembelajaran matematika perlu ditempuh dengan pola pikir atau

pendekatan induktif.

4. Pembelajaran matematika menganut kebenaran konsisten. Kebenaran

matematika sesuai dengan struktur deduktif aksiomatiknya.

Kebenaran-kebenaran dalam matematika pada dasarnya merupakan Kebenaran-kebenaran

konsistensi, tidak ada pertentangan antara konsep yang satu dengan konsep

yang lainnya. Dalam pembelajaran matematika di SD kebenaran

konsistensi tersebut mempunyai nilai didik yang sangat tinggi dan amat

penting untuk pembinaan sumberdaya manusia dalam kehidupan

sehari-hari.

Pada proses pembelajaran matematika, para guru matematika harus

memberikan kesempatan kepada siswa untuk dapat berpikir sesuai dengan

kreativitasnya, karena pengetahuan tidak dapat dipindahkan begitu saja dari

otak seorang guru ke otak siswanya. Setiap siswa harus membangun

pengetahuan itu di dalam otaknya sendiri-sendiri berdasar pada pengetahuan

atau pengalaman yang sudah dimiliki atau pernah dialami siswa (Hasanah,

2010: 12). Menurut Gagne (Suherman, 2003: 33), mengatakan bahwa dalam

belajar matematika ada dua objek yang diperoleh siswa, yaitu objek langsung

dan objek tak langsung. Objek langsung adalah objek yang diterima secara

langsung oleh siswa melalui penjelasan guru atau diskusi, seperti fakta, konsep,

definisi dan lain-lain. Jadi, secara langsung siswa mendapatkan pemahaman

tentang konsep-konsep, aturan-aturan yang ada di dalam matematika.

Sedangkan objek tidak langsung adalah ketika siswa mempunyai pengetahuan

dan pemahaman tentang matematika secara tidak langsung siswa mampu

memecahkan masalah, dapat belajar mandiri dengan menggunakan proses

berpikir dan kreativitas-kreativitas yang mereka miliki untuk memecahkan

masalah

Permendiknas No. 22 tahun 2006 mengenai Standar Isi dijelaskan bahwa

mata pelajaran matematika bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan

(6)

1. Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antar konsep dan

mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes, akurat, efisien, dan

tepat, dalam pemecahan masalah.

2. Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi

matematika dalam generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan

gagasan dan pernyataan matematika.

3. Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah,

merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan

solusi yang diperoleh.

4. Mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagaram. Atau media

lain untuk memperjelas keadaan atau masalah.

5. Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu

memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari

matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah.

Cornelius (Abdurrahman, 2002: 253) mengemukakan lima alasan perlunya

belajar matematika, yaitu:

1. Sarana berpikir yang jelas dan logis.

2. Sarana untuk memecahkan masalah dalan kehidupan sehari-hari.

3. Sarana mengenal pola-pola hubungan dan generalisasi pengalaman.

4. Sarana untuk mengembangkan kreativitas.

5. Sarana untuk meningkatkan kesadaran terhadap perkembangan budaya.

Pada pembelajaran matematika diperlukan keterampilan untuk dapat

mewujudkan objek-objek yang abstrak menjadi yang lebih konkret, sehingga

siswa dapat lebih mudah memahaminya (Hasanah, 2010:13).

Brownell (Suhendar, 2007:8.13) mengemukakan bahwa salah satu cara

agar anak-anak dapat mengembangkan pemahaman tentang matematika adalah

dengan menggunakan benda-benda yang telah mereka kenal dan relevan

dengan konsep yang dibahas. Contohnya: guru menjelaskan konsep

penjumlahan dan pengurangan. Guru bisa menggunakan benda-benda yang

(7)

tersebut dapat disusun dengan cara mereka sendiri hingga terbentuk formasi

penjumlahan dan pengurangan.

Menurut Kilpatrick, Swatford, dan Findell (Suhendar, 2007:9.6) terdapat

lima kompetensi dalam matematika, yaitu: pemahaman konsep, pemahaman

prosedur, kemampuan strategis, bernalar secara adaptif, dan disposisi yang

produktif. Pemahaman konsep adalah kompetensi awal yang diperlukan dalam

belajar matematika. Pahamnya siswa terhadap suatu konsep siswa akan mampu

menerapkan suatu konsep dalam suatu masalah. Selanjutnya adalah

pemahaman prosedur, kemampuan siswa menerapkan konsep dengan urutan

atau langkah-langkah kerja secara logis dan sistematis serta memecahkan

masalah. Kemampuan strategis adalah kemampuan siswa dalam memecahkan

masalah dengan memilih strategi yang tepat untuk masalah tersebut. Bernalar

secara adaptif adalah kemampuan siswa untuk berpikir secara logis, kreatif,

serta dapat menjelaskan hasil pekerjaanya dengan argumen-argumen yang

logis. Disposisi produktif adalah kemampuan siswa untuk menilai bahwa

matematika itu adalah pelajaran yang bermanfaat, bermakna, dan selalu

bersikap positif untuk memahami dan menguasai matematika.

Kompetensi-kompetensi tersebut dimulai dari kompetensi yang paling

dasar, yaitu pemahaman konsep. Oleh karena itu dalam pembelajaran

matematika perlu diberi penekanan pada pemahaman konsep yang baik dan

benar. Agar kompetensi-kompetensi tersebut dapat dicapai dengan baik, maka

dalam pembelajaran matematika perlu dilakukan belajar yang bermakna. Teori

Ausabel (Suherman, 2003: 32) dikenal dengan teori belajar bermakna, pada

belajar bermakna materi yang telah diperoleh dikembangkan lagi dengan

keadaan lain sehingga belajarnya dapat lebih dimengerti. Pengetahuan atau

pengalaman baru yang di dapat siswa berkaitan dengan pengetahuan lama yang

sudah diketahui atau dialami siswa sebelumnya.

2.3 Berpikir Kritis 2.3.1 Definisi Berpikir

Pengertian berpikir menurut beberapa ahli pendidikan, diantaranya

(8)

1. (Suryasubrata, 1990:54) berpendapat bahwa berpikir merupakan proses yang

dinamis yang dapat dilukiskan menurut proses dan jalannya.

2. (Khodijah, 2006:117) berpikir adalah sebuah representasi simbol dari beberapa

peristiwa atau item.

3. Solso (Khodijah, 2006:117) berpikir adalah sebuah proses dimana representasi

mental baru dibentuk melalui transformasi informasi dengan interaksi yang

komplek atribut-atribut mental seperti penilaian, abstraksi, logika, imajinasi,

dan pemecahan masalah.

Ciri utama dari berpikir adalah adanya abstraksi. Sejalan dengan para ahli

dapat disimpulkan bahwa berpikir adalah sebuah representasi simbol dari

beberapa peristiwa atau item yang dapat dilukiskan menurut proses dan

jalannya melalui transformasi informasi dengan interaksi yang komplek

atribut-atribut mental seperti penilaian, abstraksi, logika, imajinasi, dan

pemecahan masalah.

2.3.2 Definisi Kemampuan Berpikir Kritis

Beberapa ahli mengungkapkan beragam definisi berpikir kritis tetapi ada

beberapa komponen yang mengandung kesamaan. Krulik & Rudnick

(Sumardyono dan Ashari S, 2010: 9) mendefinisikan berpikir kritis sebagai

berpikir yang menguji, menghubungkan, dan mengevaluasi semua aspek dari

situasi masalah. Termasuk di dalam berpikir kritis adalah mengelompokkan,

mengorganisasikan, mengingat, dan menganalisis informasi.

Berpikir kritis juga merupakan kemampuan untuk membaca dengan

pemahaman dan mengidentifikasi materi-materi yang diperlukan. Selain itu

juga merupakan kemampuan untuk mengambil kesimpulan dari sekumpulan

data yang diberikan dan untuk menentukan inkonsistensi dan kontradiksi.

Berpikir kritis adalah berpikir analitis dan reflektif. Sejalan dengan hal

tersebut, (Norris dan Ennis dalam Davidson B. W. Dan Dunham R. A., 1997:3)

menyatakan bahwa berpikir kritis adalah berpikir yang beralasan dan reflektif

yang fokus untuk memutuskan apa yang dapat dipercaya dan apa yang tidak

dapat dipercaya. Berpikir kritis menurut (Walker, Paul dan Finney, Nicholas,

(9)

mengaplikasikan, menganalisis, mensintesis, dan atau mengevaluasi berbagai

informasi yang didapat dari hasil observasi, pengalaman, refleksi, di mana hasil

proses ini diguanakan sebagai dasar saat mengambil tindakan.

Sejalan pendapat Krulik & Rudnick (Sumardyono dan Ashari S, 2010)

dan (Walker, Paul dan Finney, Nicholas, 1999) di atas dapat disimpulkan

bahwa kemampuan berpikir kritis adalah kemampuan berpikir yang menguji,

menghubungkan, dan mengevaluasi semua aspek dalam mengelompokkan,

mengorganisasikan, mengingat, menganalisis informasi, berpikir yang

beralasan dan reflektif dalam memecahkan suatu masalah.

2.3.3 Aspek Kemampuan Berpikir Kritis

Norris dan Ennis (Davidson B. W. Dan Dunham R. A., 1997: 3)

menyebutkan bahwa orang yang berpikir kritis idealnya mempunyai dua belas

kemampuan yang dikelompokkan menjadi lima aspek kemampuan berpikir

kritis. Berikut kelima aspek dalam berpikir kritis:

1. Elementary clarification (memberikan penjelasan dasar) yang meliputi:

1.1Fokus pada pertanyaan (dapat mengidentifikasi pertanyaan/masalah,

dapat mengidentifikasi jawaban yang mungkin, dan apa yang

dipikirkan tidak keluar dari masalah itu).

1.2Menganalisis pendapat (dapat mengidentifikasi kesimpulan dari

masalah itu, dapat mengidentifikasi alasan, dapat menangani hal-hal

yang tidak relevan dengan masalah itu).

1.3Berusaha mengklarifikasi suatu penjelasan melalui tanya- jawab.

2. The basis for the decision (menentukan dasar pengambilan keputusan)

yang meliputi:

2.1Mempertimbangkan apakah sumber dapat dipercaya atau tidak

2.2Mengamati dan mempertimbangkan suatu laporan hasil observasi.

2.3Inference (menarik kesimpulan) yang meliputi:

2.3.1 Mendeduksi dan mempertimbangkan hasil deduksi.

2.3.2 Menginduksi dan mempertimbangkan hasil induksi.

2.3.3 Membuat dan menentukan pertimbangan nilai.

(10)

2.4.1 Mendefinisikan istilah dan mempertimbangkan definisi

tersebut.

2.4.2 Mengidentifikasi asumsi.

2.5Supposition and integration (memperkirakan dan menggabungkan)

yang meliputi:

2.5.1 Mempertimbangkan alasan atau asumsi-asumsi yang diragukan

tanpa menyertakannya dalam anggapan pemikiran kita.

2.5.2 Menggabungkan kemampuan dan karakter yang lain dalam

penentuan keputusan.

Dalam penelitian ini hanya akan dipilih empat aspek dari lima aspek

kemampuan berpikir kritis yang dikemukakan Norris dan Ennis (Davidson B.

W. Dan Dunham R. A., 1997: 3), yaitu:

1. Elementary clarification (memberikan penjelasan dasar).

Dalam menyelesaikan soal matematika siswa harus fokus tentang apa

masalahnya, apa yang diketahui dan apa yang merupakan inti persoalan

sebelum ia memutuskan untuk memilih strategi atau prosedur yang tepat.

2. The basis for the decision (menentukan dasar pengambilan keputusan).

Dalam menentukan suatu keputusan, siswa harus menyertakan alasan

(reason) yang tepat sebagai dasar sebelum suatu langkah ditempuh.

Alasan itu dapat berasal dari informasi yang diketahui, teorema ataupun

sifat. Alasan ini digunakan siswa untuk bersikap kritis terhadap suatu

situasi, misalnya situasi yang disediakan dalam bentuk suatu soal, ataupun

situasi yang muncul karena pikiran sendiri yang perlu dikritisi berdasarkan

alasan-alasan yang tepat agar kebenaran pemikiran itu mendapat

penguatan.

3. Inference (menarik kesimpulan).

Penarikan kesimpulan yang benar harus didasarkan pada langkah-langkah

dari alasan-alasan ke kesimpulan yang masuk akal atau logis. Kesimpulan

dapat melahirkan sesuatu yang baru yang dapat berperan sebagai fokus

untuk dipikirkan, sedangkan alasan merupakan dasar bagi suatu proses

(11)

4. Advanced clarification (memberikan penjelasan lanjut).

Mendefinisikan istilah dan mempertimbangkan definisi tersebut dan

mengidentifikasi asumsi.

2.3.4 Ciri- ciri Orang Berpikir Kritis

Ciri orang berpikir kritis menurut Raymon S. Nickerson (Lipman

Matthew, (2003:58) adalah sebagai berikut:

1. Menggunakan bukti yang kuat dan tidak memihak.

2. Dapat mengungkapkan secara ringkas dan masuk akal.

3. Dapat membedakan secara logis antara simpulan yang valid dan tidak

valid.

4. Menggunakan penilaian, bila tidak ada bukti yang cukup untuk

mendukung sebuah keputusan.

5. Mampu mengantisipasi kemungkinan konsekkuensi dari suatu tindakan.

6. Dapat mencari kesamaan dan analogi (kemiripan).

7. Dapat belajar secara mandiri.

8. Menerapkan teknik Problem Based Learning (PBL)

9. Menyadari fakta bahwa pemahaman seseorang selalu terbatas.

10.Mengakui kekurangan terhadap pendapatnya sendiri.

2.4 Model Problem Based Learning (PBL) 2.4.1 Pengertian Model Pembelajaran

Model adalah bentuk representasi akurat sebagai proses aktual yang

memungkinkan seseorang atau sekelompok orang mencoba bertindak

berdasarkan model itu (Mills dalam Suprijono, 2012: 45). Pemilihan model

yang tepat perlu memperhatikan tujuan pengajaran.

Model pembelajaran adalah kerangka konsptual yang melukiskan

prosedur yang sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk

mencapai tujuan belajar tertentu, dan berfungsi sebagai pedoman bagi para

perancang pembelajaran dan para pengajar dalam merencanakan aktivitas

belajar mengajar Soekamto (dalam Aris Shoimin, 2014:23).

Arends (dalam Aris Shoimin, 2014:23) menyatakan, “The term teaching

(12)

syntax, environment, and management system.” Artinya, istilah model

pengajaran mengarah pada suatu pendekatan pembelajaran tertentu termasuk

tujuan, sintaks, lingkungan, dan sistem pengelolaannya.

Joyce & Weil (dalam Rusman, 2011: 133), berpendapat bahwa model

pembelajaran adalah suatu rencana atau pola yang dapat digunakan untuk

membentuk kurikulum (rencana pembelajaran jangka panjang), merancang

bahan-bahan pembelajaran, dan membimbing pembelajaran di kelas atau yang

lain. Model pembelajaran dapat dijadikan pola pilihan, artinya para guru boleh

memilih model pembelajaran yang sesuai dan efisien untuk mencapai tujuan

pendidikan.

Model pembelajaran merupakan landasan praktik pembelajaran hasil

penurunan teori psikologi pendidikan dan teori belajar yang dirancang

berdasarkan analisis terhadap implementasi kurikulum dan implikasinya pada

tingkat operasional di kelas (Suprijono, 2012: 46). Fungsi model pembelajaran

yaitu guru dapat membantu peserta didik mendapat informasi, ide

keterampilan, cara berpikir dan mengekspresikan ide. Sehinga model

pembelajaran dapat diartikan sebagai suatu rencana atau pola yang digunakan

dalam mangatur materi pelajaran dan memberi petunjuk kepada pengajar di

kelas.

Sejalan dengan pendapat para ahli, Joyce & Weil (dalam Rusman, 2011)

dan Arends (dalam Aris Shoimin, 2014), model pembelajaran adalah pola

yang digunakan sebagai pedoman dalam merencanakan kegiatan belajar

mengajar (KBM) secara sistematis untuk mencapai tujuan belajar yang

maksimal.

2.4.2 Model Problem Based Learning (PBL)

Problem Based Learning (PBL) adalah seperangkat model mengajar

yang menggunakan masalah sebagai fokus untuk mengembangkan

keterampilan pemecahan masalah, materi, dan pengaturan diri, menurut Hmelo,

Serafino dan Ciccheli (Eggen Kauchak, 2012:307).

Menurut Akinoglu & Tandogan (Kartika, 2014), PBL merupakan salah

(13)

proses belajar menuju pada suatu proses yang diselaraskan dimana

keterampilan pemecahan masalah, kemampuan berpikir kritis dan belajar

untuk belajar dikembangkan.

Problem Based Learning (PBL) is a method of learning in which learners first encounter a problem followed by a systematic, learner-centered

inquiry and reflection process” (Teacher & Educational Development, 2002:2)

buku Scholaria PGSD hal.116. Artinya: Problem Based learning (PBL) adalah

suatu metode pembelajaran di mana pembelajar bertemu dengan suatu masalah

yang tersusun sistematis; penemuan terpusat pada pembelajar dan proses

refleksi (Teacher & Educational Development, 2002:2) dalam buku Scholaria

PGSD hal.116.

Sejalan dengan Wahyudi, (Supinah, 2010:17) berpendapat Problem Based

Learning (PBL) adalah strategi pembelajaran yang berpusat pada siswa di

mana siswa mengelaborasikan pemecahan masalah dengan pengalaman

sehari-hari.

Wardhani (Supinah, 2010: 17) mengemukakan bahwa Problem Based

Learning (PBL) merupakan model pembelajaran yang bertujuan merangsang

terjadinya proses berpikir tingkat tinggi dalam situasi yang berorientasi

masalah. Lebih lanjut dikemukakan PBL utamanya dikembangkan untuk

membantu siswa sebagai berikut.

a. Mengembangkan keterampilan berfikir tingkat tinggi. Menurut Lauren

Resnick (dalam Arends, 1997) berfikir tingkat tinggi mempunyai ciri-ciri:

(1) non algoritmik yang artinya alur tindakan berfikir tidak sepenuhnya

dapat ditetapkan sebelumnya, (2) cenderung kompleks, artinya

keseluruhan alur berfikir tidak dapat diamati dari satu sudut pandang saja,

(3) menghasilkan banyak solusi, (4) melibatkan pertimbangandan

interpretasi, (5) melibatkan penerapan banyak kriteria, yang

kadang-kadang satu dan lainnya bertentangan, (6) sering melibatkan

ketidakpastian, dalam arti tidak segala sesuatu terkait dengan tugas

yangtelah diketahui, (7) melibatkan pengaturan diri dalam proses berfikir,

(14)

diijinkan adanya bantuan orang lain pada setiap tahapan berfikir, (8)

melibatkan pencarian makna, dalam arti menemukan struktur pada

keadaan yang tampaknya tidak teratur, (9) menuntut dilakukannya kerja

keras, dalam arti diperlukan pengerahan kerja mental besar-besaran saat

melakukan berbagai jenis elaborasi dan pertimbangan yang dibutuhkan.

b. Belajar berbagai peran orang dewasa. Dengan melibatkan siswa dalam

pengalaman nyata atau simulasi (pemodelan orang dewasa), membantu

siswa untuk berkinerja dalam situasi kehidupan nyata dan belajar

melakukan peran orang dewasa.

c. Menjadi pelajar yang otonom dan mandiri. Pelajar yang otonom dan

mandiri ini dalam arti tidak sangat tergantung pada guru. Hal ini dapat

dilakukan dengan cara, guru secara berulang-ulang membimbing dan

mendorong serta mengarahkan siswa untuk mengajukan pertanyaan,

mencari penyelesaian terhadap masalah nyata oleh mereka sendiri. Siswa

dibimbing, didorong dan diarahkan untuk menyelesaikan tugas-tugas

secara mandiri. Kemampuan untuk menjadi pelajar yang otonom dan

mandiri ini diharapkan dapat mendorong tumbuhnya kemampuan belajar

secara autodidak dan kesadaran untuk belajar sepanjang hayat yang

merupakan bekal penting bagi siswa dalam mengarungi kehidupan pribadi,

sosial maupun dunia kerja selanjutnya.

HS Barrows (Supinah, 2010: 18) menyatakan bahwa proses Problem

Based Learning (PBL) adalah suatu model pembelajaran yang didasarkan pada

prinsip menggunakan masalah sebagai titik awal akuisisi dan integrasi

pengetahuan baru. Sementara itu (Supinah, 2010: 18) mendefinisikan Problem

Based Learning (PBL) sebagai suatu model pembelajaran dengan membuat

konfrontasi kepada siswa dengan masalah-masalah praktis, berbentuk

ill-structured, atau open ended melalui stimulus dalam belajar.

Sementara itu Moffit (Supinah, 2010: 18) mendifinisikan Problem Based

Learning (PBL), sebagai suatu model pembelajaran yang melibatkan siswa

dalam penyelidikan dalam pemecahan masalah yang memadukan ketrampilan

(15)

Karena penyelidikan adalah bentuk Problem Based Learning (PBL),

menerapkan pelajaran Penyelidikan sama dengan menerapkan pelajaran untuk

Problem Based Learning (PBL) mana pun. (Eggen Kauchak, 2012:328).

Penyelidikan, kadang disebut penyelidikan ilmiah, adalah model pengajaran

yang dirancang untuk memberi murid pengalaman metode ilmiah. Metode

ilmiah adalah polo pemikiran yang menekankan pada pengajuan pertanyaan,

mengembangkan hipotesis untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan dan

menguji hipotesis dengan data (Eggen Kauchak, 2012:324).

Sejalan pendapat para ahli Wahyudi (2012) dan Supinah (2010) di atas

mendefinisikan Problem Based Learning yang selanjutnya disebut “PBL”,

sebagai model pembelajaran yang diawali dengan pemberian masalah kepada

siswa di mana masalah tersebut dialami atau merupakan pengalaman

sehari-hari siswa. Selanjutnya siswa menyelesaikan masalah tersebut untuk

menemukan pengetahuan baru. Secara garis besar Problem Based Learning

(PBL) terdiri dari kegiatan menyajikan kepada siswa suatu situasi masalah

yang autentik dan bermakna serta memberikan kemudahan kepada mereka

untuk melakukan penyelidikan dan inkuiri.

2.4.3 Alasan Peneliti Menerapkan Model Problem Based Learning (PBL) Wardhani (Supinah, 2010: 19) mengemukakan PBL mengikuti tiga aliran

pikiran utama yang berkembang pada abad duapuluh yaitu sebagai berikut:

a. Pemikiran John Dewey dan Kelas Demokratisnya (1916). Menurut

Dewey, sekolah seharusnya mencerminkan masyarakat yang lebih besar

dan kelas merupakan laboratorium untuk pemecahanmasalah kehidupan

yang nyata. Pendapat Dewey ini memberikan dasar filosofis dari PBL.

b. Pemikiran Jean Piaget (1980). Menurut Piaget, anak memiliki rasa ingin

tahu bawaan dan secara terus menerus berusaha memahami dunia di

sekitarnya. Rasa ingin tahu itu memotivasi anak untuk secara aktif

membangun tampilan dalam otak merekatentang lingkungan yang mereka

hayati. Ketika tumbuh semakin dewasadan memperoleh lebih banyak

kemampuan bahasa dan memori, tampilan mentalmereka tentang dunia

(16)

anak perlu memahami lingkungan mereka, memotivasi mereka untuk

menyelidiki dan membangun teori-teori yangmenjelaskan lingkungan itu.

c. Pemikiran Lev Vygotsky (1934) dengan Konstruktivismenya, serta Jerome

Bruner dengan Pembelajaran Penemuannya. Vygotsky berpandangan

bahwa interaksi sosial dengan teman lain memacu terbentuknya ide baru

dan memperkaya perkembangan intelektual siswa. Bruner menyatakan

pentingnya pembelajaran penemuan, yaitu model pembelajaran yang

menekankan perlunya membantu siswa memahami struktur atau ide dari

suatu disiplin ilmu, perlunya siswa aktif terlibat dalam proses

pembelajaran dan yakin bahwa pembelajaran yang sebenarnya adalah yang

terjadi melalui penemuan pribadi.

2.4.4 Ciri-ciri Model Problem Based Learning (PBL)

Menurut Krajcik et.al, dan Slavin et.al, (Supinah, 2010: 20), ciri-ciri

khusus dari PBL adalah sebagai berikut:

a. Pengajuan pertanyaan atau masalah. Pertanyaan dan masalah yang

diajukan pada awal kegiatan pembelajaran adalah yang secara sosial

penting dan secara pribadi bermakna bagi siswa.

b. Berfokus pada keterkaitan antar disiplin. Masalah yang diangkat

hendaknya dipilih yang benar-benar nyata sehingga dalam pemecahannya

siswa dapat meninjaunya daribanyak mata pelajaran.

c. Penyelidikan autentik. Penyelidikan autentik, berarti siswa dituntut untuk menganalisis dan mendefinisikan masalah, mengembangkan hipotesis dan

membuat ramalan, mengumpulkan dan menganalisis informasi, melakukan

eksperimen (jika diperlukan), membuat inferensi, dan merumuskan

kesimpulan. Metode yang digunakan tergantung pada masalah yang

dipelajari.

d. Menghasilkan produk atau karya dan memamerkannya. Siswa dituntut

untuk menghasilkan produk tertentu dalam bentuk karya nyata atau

artefak. Artefak yang dihasilkan antara lain dapat berupa transkrip debat,

(17)

menjelaskan bentuk penyelesaian masalah yang ditemukan. Penjelasan

antara lain dapat dilakukan dengan presentasi, simulasi, peragaan.

2.4.5 Tahap-tahap Model Problem Based Learning (PBL)

Sebagai model pembelajaran, Arends dalam (Supinah, 2010: 21)

mengemukakan ada lima tahap pembelajaran pada PBL. Lima tahap ini sering

dinamai tahap interaktif, yang sering juga sering disebut sintaks dari PBL.

Lama waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan tiap tahapan pembelajaran

tergantung pada jangkauan masalah yang diselesaikan.

Tabel 2.1

Tahap-tahap model Problem Based Learning (PBL)

Tahap Kegiatan Tingkah Laku Guru

1.

Orientasi siswa

pada situasi

masalah

Menjelaskan tujuan pembelajaran, logistik

yang dibutuhkan untuk menyelesaiakan

tugas, memotivasi siswa agar terlibat pada

aktivitas pemecahan masalah yang

dipilihnya.

2.

Mengorganisasi

siswa untuk relajar

Membantu siswa mendefinisikan dan

mengorganisasikan tugas belajar yang

berhubungan dengan masalah tersebut.

Mendorong siswa untuk mengumpulkan

informasi yang sesuai, melaksanakan

eksperimen untuk mendapatkan

Membantu siswa dalam merencanakan dan

menyiapkan karya yang sesuai sebagai

hasil pelaksanaan tugas, misalnyaberupa

laporan, video, dan model serta

membantumereka untuk berbagi tugas

dengan temannya

(18)

Mengevaluasi proses

pemecahan masalah

atau evaluasi terhadap penyelidikan

mereka dan prosesproses yang mereka

tempuh atau gunakan

Menurut Fogarty, dalam (Supinah, 2010: 22-31) proses pembelajaran

dengan Problem Based Learning (PBL) dijalankan dengan delapan langkah,

seperti berikut:

1. Menemukan masalah

Siswa diberikan masalah yang tidak terdefinisikan secara jelas

(ill-defined) yang diangkat dari konteks kehidupan sehari-hari. Pernyataan

permasalahan diungkapkan dengan kalimat-kalimat yang pendek dan

memberikan sedikit faktafakta di seputar konteks permasalahan.

Pernyataan permasalahan diupayakan memberikan peluang pada siswa

untuk melakukan penyelidikan. Siswa menggunakan kecerdasan inter dan

intra-personal untuk saling memahami dan saling berbagi pengetahuan

antar anggota kelompok terkait dengan permasalahan yang dikaji.

2. Mendefinisikan masalah

Siswa mendefinisikan masalah menggunakan kalimatnya sendiri.

Permasalahan dinyatakan dengan parameter yang jelas. Siswa membuat

beberapa definisi sebagai informasi awal yang perlu disediakan. Pada

langkah ini, siswa melibatkan kecerdasan intra-personal dan kemampuan

awal yang dimiliki dalam memahami dan mendefinisikan masalah.

3. Mengumpulkan fakta-fakta.

Siswa membuka kembali pengalaman yang sudah diperolehnya

dan pengetahuan awal untuk mengumpulkan fakta-fakta. Siswa melibatkan

kecerdasan majemuk yang dimiliki untuk mencari informasi yang

berhubungan dengan permasalahan. Pada tahap ini, siswa

mengorganisasikan informasi-informasi dengan menggunakan istilah “apa

yang diketahui (know)”, “apa yang dibutuhkan (need to know)”,dan “apa

yang dilakukan (need to do)” untuk menganalisis permasalahan dan fakta

(19)

4. Menyusun dugaan sementara

Siswa menyusun jawaban-jawaban sementara terhadap

permasalahan dengan melibatkan kecerdasan logic-mathematical. Siswa

juga melibatkan kecerdasan interpersonal yang dimilikinya untuk

mengungkapkan apa yang dipikirkannya, membuat hubungan-hubungan,

jawaban dugaannya, dan penalaran mereka dengan langkah-langkah yang

logis.

5. Menyelidiki

Siswa melakukan penyelidikan terhadap data-data dan informasi

yang diperolehnya berorientasi pada permasalahan. Siswa melibatkan

kecerdasan majemuk yang dimilikinya dalam memahami dan memaknai

informasi dan faktafakta yang ditemukannya. Guru membuat struktur

belajar yang memungkinkan siswa dapat menggunakan berbagai cara

untuk mengetahui dan memahami (multiple ways of knowing and

understanding) dunia mereka.

6. Menyempurnakan permasalahan yang telah didefinisikan

Siswa menyempurnakan kembali perumusan masalah dengan

merefleksikannya melalui gambaran nyata yang mereka pahami. Siswa

melibatkan kecerdasan verbal-linguistic memperbaiki pernyataan rumusan

masalah sedapat mungkin menggunakan kata yang lebih tepat. Perumusan

ulang permasalahan lebih memfokuskan penyelidikan, dan menunjukkan

secara jelas fakta-fakta dan informasi yang perlu dicari, serta memberikan

tujuan yang jelas dalam menganalisis data.

7. Menyimpulkan alternatif-alternatif pemecahan secara kolaboratif

Siswa berkolaborasi mendiskusikan datadan informasi yang

relevan dengan permasalahan. Setiap anggota kelompok secara kolaboratif

mulai bergelut untuk mendiskusikan permasalahan dari berbagai sudut

pandang. Pada tahap ini proses pemecahan masalah berada pada tahap

menyimpulkan alternatif-alternatif pemecahan yang dihasilkan dengan

(20)

alternatif pemecahan masalah yang menghasilkan alternatif yang lebih

baik ketimbang dilakukan secara individual.

8. Menguji solusi permasalahan

Siswa menguji alternatif pemecahan yang sesuai dengan

permasalahan aktual melalui diskusi secara komprehensip antar anggota

kelompok untuk memperoleh hasil pemecahan terbaik. Siswa

menggunakan kecerdasan majemuk untuk menguji alternatif pemecahan

masalah dengan membuat sketsa, menulis, debat, membuat plot untuk

mengungkapkan ide-ide yang dimilikinya dalam menguji alternatif

pemecahan.

Pembelajaran dengan Problem Based Learning (PBL) memuat

langkah-langkah yang koheren dengan proses pemecahan masalah. Telah dibahas

sebelumnya empat tahap strategi pemecahan masalah dikemukakan Polya

(1981) yaitu yaitu: (1) memahami masalah, (2) menyusun rencana pemecahan,

(3) menjalankan rencana pemecahan, (4) menguji kembali penyelesaian yang

diperoleh.

2.4.6 Karakteristik Model Problem Based Learning (PBL)

Menurut Satyasa (2008: 2-3), karakteristik PBL adalah sebagai berikut.

a. Belajar dimulai dengan suatu permasalahan,

b. Memastikan bahwa permasalahan yang diberikan berhubungan dengan

dunia nyata siswa,

c. Mengorganisasikan pelajaran di seputar permasalahan, bukan di seputar

disiplin ilmu,

d. Memberikan tanggung jawab sepenuhnya kepada siswa dalam mengalami

secara langsung proses belajar mereka sendiri,

e. Menggunakan kelompok kecil, dan

f. Menuntut siswa untuk mendemonstrasikan apa yang telah mereka pelajari

dalam bentuk produk atau kinerja (performance).

2.4.7 Pelaksanaan Model Problem Based Learning (PBL)

Menurut Wardhani (2006: 10-18), prinsip-prinsip yang harus diacu dalam

(21)

a. Tugas-tugas perencanaan

Perencanaan yang dilakukan guru akan memudahkan pelaksanaan

berbagai tahap kegiatan pembelajaran dan pencapaian tujuan yang

diinginkan, yaitu antara lain sebagai berikut.

1. Menetapkan tujuan pembelajaran

Guru menetapkan tujuan pada saat perencanaan dan tujuan itu

dikomunikasikan dengan jelas kepada siswa pada tahap berinteraksi.

2. Merancang situasi masalah yang sesuai

Hal penting yang harus dilakukan guru adalah adalah merancang

situasi masalah yang sesuai dan merencanakan cara-cara untuk memberi

kemudahan bagi siswa dalam melaksanakan proses perencanaan

penyelesaian masalah.

Situasi masalah yang baik memenuhi lima kriteria, yaitu:

1. Masalah harus autentik, artinya masalah harus lebih berakar pada

dunia nyata daripada berakar padaprinsip-prinsip disiplin ilmu

tertentu

2. Masalah seharusnya tak terdefinisi secara ketat dan dapat

menghadapkan siswa pada suatu makna misteri atau teka-teki, hal

tersebut akan mencegah jawaban sederhana dan dapat

menimbulkan adanya alternatif pemecahan yang masing-masing

alternatif memiliki kekuatan dan kelemahan.

3. Masalah hendaknya bermakna bagi siswa dan sesuai dengan tingkat

perkembangan intelektual mereka, artinya masalah yang diberikan

terjangkau oleh pikiran siswa dan modal dasar untuk

menyelesaikan masalah sudah dimiliki siswa.

4. Masalah hendaknya cukup luas untuk memungkinkan guru

menggarap tujuan pembelajaran mereka dan masih cukup terbatas

untuk membuat layaknya pelajaran dalam waktu, tempat dan

(22)

5. Masalah hendaknya efisien dan efektif bila diselesaikan secara

kelompok, artinya masalah itu memang layak dikerjakan dalam

kelompok dan dengan dilaksanakan dalam kelompok akan lebih

lancar dibandingkan kalau dilaksanakan secara individu, bukan

sebaliknya.

3. Mengorganisasi sumberdaya dan rencana logistik

Dalam hal ini tugas guru adalah mengorganisasi sumber daya dan

merencanakan kebutuhan untuk penyelidikan siswa. Guru bertanggung

jawab dalam memasok bahan yang diperlukan dalam kegiatan. Bila bahan

yang dibutuhkan tersedia di sekolah maka tugas perencanaan yang utama

oleh guru adalah mengumpulkan bahan-bahan tersebut dan menyediakan

bahan tersebut untuk siswa.

b. Tugas interaktif

1. Mengorientasikan siswa pada situasi masalah

Pada saat pembelajaran dimulai guru seharusnya

mengkomuni-kasikan tujuan pembelajaran dengan jelas, menumbuhkan sikap-sikap

positif terhadap pelajaran, dan menguraikan apa yang diharapkan untuk

dilakukan oleh siswa. Pada tahap orientasi ini, guru perlu menyajikan

situasi masalah dengan hati-hati atau dengan prosedur yang jelas dan

melibatkan siswa dalam identifikasi masalah. Situasi masalah harus

disampaikan kepada siswa semenarik dan setepat mungkin. Dalam hal ini

yang penting diperhatikan guru adalah bahwa kegiatan orientasi pada

situasi masalah akan menentukan pada tahap penyelidikan berikutnya,

sehingga presentasinya harus menarik minat siswa dan menghasilkan rasa

ingin tahu.

2. Mengorganisasi siswa untuk belajar

PBL membutuhkan pengembangan keterampilan kolaborasi antar

siswa dalam kegiatan penyelidikan, sehingga kegiatan penyelidikan perlu

dilakukan secara bersama. Untuk itu, disarankan agar guru

mengorganisasikan siswa dalam kelompok-kelompok belajar kooperatif.

(23)

dicapai dan telah ditetapkan oleh guru dalam suatu kegiatan penyelidikan.

Tantangan bagi guru padatahap ini adalah mengupayakan agar semua

siswa aktif terlibat dalam sejumlah kegiatan penyelidikan, dan semua

penyelidikan dalam sub-sub topik itu akan menghasilkan penyelesaian

masalah umum yang telah dipilih atau ditetapkan oleh guru dan siswa. Jika

tugas penyelidikan cukup besar dan rumit maka tugas guru adalah

membantu siswa menghubungkan tugas dan aktivitas penyelidikan dengan

jadwal waktu yang dapat ditampilkan dalam bentuk diagram jadwal

kegiatan.

3. Membimbing penyelidikan individual maupun kelompok dalam mengembangkan dan menyajikan hasil karya

Teknik penyelidikan dalam rangka memecahkan masalah dapat

dilakukan secara mandiri, berpasangan, atau dalam kelompok kecil. Pada

intinya kegiatan penyelidikan mencakup: pengumpulan data dan

eksperimentasi (sesungguhnya atau secara mental), berhipotesis,

menjelaskan hipotesa, memberikan pemecahan dan mengembangkan atau

menyajikan artefak dan pameran.

4. Pengumpulan data dan eksperimentasi.

Pada tahap ini guru mendorong siswa untuk mengumpulkan data dan

melaksanakan eksperimentasi mental atau eksperimen sesungguhnya

sampai mereka betul-betul memahami dimensi-dimensi situasi

masalahnya.

Tujuannya adalah agar siswa mengumpulkan cukup informasi untuk

menciptakan dan membangun ide mereka sendiri. Untuk itu, guru dapat

membantu siswa dalam mengumpulkan informasi dari berbagai sumber

dan mengajukan pertanyaanpertanyaan yang membuat siswa memikirkan

tentang masalah dan jenis-jenis informasi yang dibutuhkan agar siswa

sampai pada; (1) pemecahan yang dapat dipertahankan; (2) berhipotesis,

menjelaskan dan memberi pemecahan. Pada tahap ini guru diharapkan

mendorong siswa untuk mengemukakan ideidenya dalam bentuk hipotesis,

(24)

pengumpulan informasi dan eksperimentasi; (3) Guru diharapkan

menerima sepenuhnya semua ide dan gagasan siswa. Selanjutnya guru

mengajukan pertanyaanpertanyaan yang dapat membuat siswa memikirkan

kelayakan dari hipotesis, penjelasan, pemecahan dan kualitas informasi

yang telah mereka kumpulkan dan ajukan; (4) mengembangkan dan

menyajikan artefak serta pameran. Artefak lebih dari sekedar laporan

tertulis, yang meliputi berbagai karya nyata, misalnya: gambar video yang

menunjukkan situasi masalah dan pemecahan yang diusulkan; (5)

menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah,pada tahap ini

guru meminta siswa untuk melakukan rekonstruksi pemikiran dan aktivitas

mereka selama tahaptahap pelajaran yang telah dilewatinya. Kapan mereka

pertama kali memperoleh pemahaman yangjelas tentang situasi masalah?

Kapan mereka merasa yakin dalam pemecahan tertentu? Mengapa mereka

dapat menerima penjelasan lebih awal dibanding lainnya? Mengapa

mereka menolak beberapa penjelasan? Mengapa mereka mengadopsi

pemecahan final mereka? Apakah mereka telah mengubah pemikirannya

tentang situasi masalah itu ketika penyelidikan berlangsung? Apa

penyebab perubahan itu? Apakah mereka akan melakukan hal berbeda di

waktu yang akan datang?

2.4.8 Tugas Manajemen dalam model Problem Based Learning (PBL) Berikut ini diuraikan tentang manajemen pada PBL.

a. Menangani situasi multi tugas

Pada situasi kelas dengan model PBL, beraneka macam tugas dapat

terjadi secara serentak, misalnya: beberapa kelompok siswa belajar di

dalam kelas, sedangkan lainnya berada di perpustakaan, dan yang lain

lagi mungkin di luar sekolah, tergantung subtopik yang sedang dipelajari.

Dapat pula terjadi pembelajaran semuanya di dalam kelas namun setiap

pasangan atau kelompok kecil berdiskusi sesuai minat atau topik

masing-masing yang saling berbeda antar kelompok, sebelum akhirnya

(25)

Agar suatu kelas dengan multi tugas berjalan baik maka kepada

siswa harus diajarkan bagaimana bekerja secara mandiri dan bagaimana

bekerjasama dalam kelompok kecil maupun secara klasikal. Aturan yang

jelas sangat dibutuhkan agar siswa mengetahui kapan mereka diharapkan

berbicara satu sama lain dan kapan diharapkan mereka mendengarkan

orang lain.

Guru diharapkan mampu mengembangkan cara-cara yang efektif

untuk mengingatkan dan membantu siswa pada saat transisi dari satu tipe

tugas belajar ke tipe tugas belajar lainnya. Penulisan jadwal waktu di

papan tulis dapat membantu. Pada tahap ini guru juga harus memantau

seberapa jauh tugas-tugas telah dikerjakan oleh siswa atau sekelompok

siswa. Hal itumemerlukan kesiapsiagaan yang tinggi.

b. Penyesuaian terhadap kecepatan penyelesaian masalah yang berbeda Masalah yang paling rumit dalam model Problem Based Learning

(PBL) yang sering dihadapi guru adalah menangani individu atau

kelompok yang menyelesaikan tugasnya lebih awal (cepat) atau lebih

akhir (lambat). Bagi siswa yang lebih awal menyelesaikan tugas dan

memliki waktu luang dapat diberi bacaan khusus, atau permainan yang

dapat diselesaikan sendiri, atau mengerjakan proyek lain, atau memberi

kesempatan untuk membantu teman lain.

Bagi siswa yang lebih lambat dalam menyelesaikan tugas dapat

diberikan waktu tambahan dan hal ini dapat berakibat siswa yang lebih

awal mengerjakan tugas memiliki waktu luang lebih panjang lagi. Cara

lain adalah dengan memberi kesempatan untuk menyelesaikan tugas di

luar jam sekolah atau pada akhir pekan. Hal ini sering menimbulkan

masalah, apalagi bila tugas dikerjakan secara tim, karena akan sulit bagi

mereka untuk berkumpul di luar jam sekolah, dan terlebih lagi siswa

yang lambat mengerjakan tugas biasanya justru siswa yang sulit bekerja

(26)

c. Memantau dan mengelola kerja siswa

Berbeda dengan model pembelajaran lain yang pada umumnya

semua siswa menyelesaikan tugas yang sama pada waktu yang sama,

PBL menuntut multi tugas, multi artefak, dan seringkali berbeda-beda

waktu penyelesaiannya. Akibatnya, pemantauan dan pengelolaan

menjadi sangat rumit. Untuk mengatasinya ada tiga hal yang harus

diperhatikan, yaitu: (a) persyaratan kerja untuk semua siswa harus secara

jelas ditetapkan, (b) pekerjaan siswa harus dipantau dan diberikan

masukan atau balikan saat pekerjaan sedang berlangsung, (c) rekaman

atau catatan harus tetap dilakukan guru.

d. Mengelola bahan dan peralatan

PBL pada umumnya menuntut perhatian lebih besar pada aspek

pengelolaan atau manajemen kelas karena melibatkan penggunaan

banyak bahan dan alat-alat penyelidikan. Untuk itu guru perlu

mengembangkan prosedur pengorganisasian, penyimpanan dan

pendistribusian bahan-bahan. Banyak guru meminta siswa untuk

membantunya dalam proses ini, namun guru tetap harus mengontrolnya

agar kegiatan dapat berjalan lancar.

e. Mengendalikan perpindahan dan tingkah laku di luar kelas

Bila kegiatan memerlukan pelaksanaan kegiatan di luar kelas tetapi

masih di sekolah, misalnya di halaman, di perpustakaan, di laboratorium

komputer atau laboratorium lain, maka harus dipastikan bahwa siswa

memahami prosedur yang berlaku saat proses pindah tempat dan aturan

yang harus ditaati pada penggunaan fasilitas yang dituju. Guru harus

memastikan bahwa perpindahan siswa tidak mengganggu kelas lain.

Begitu pula jika kegiatan berlangsung di masyarakat, maka guru harus

memastikan bahwa siswa telah mengetahui etika dalam melakukan

kegiatan, misalnya etika dalam wawancara, etika dalam melihat dokumen

(27)

2.4.9 Teknik Penilaian dalam model Problem Based Learning (PBL) Penilaian pembelajaran menurut paradigma konstruktivistik

merupakan bagian yang utuh dengan pembelajaran itu sendiri. Bertolak dari

pandangan ini dan mencermati tahapan yang harus dilalui siswa dalam

belajar dengan model PBL,maka penilaian PBL dilaksanakan secara

terintegrasi dengan proses pembelajaran. Oleh karenanya, penilaian pembelajaran dilaksanakan secara nyata dan autentik. O’Malley dan Pierce dalam Satyasa (2008:8), mendefinisikan authentic assesment sebagai bentuk

penilaian di kelas yang mencerminkan proses belajar,hasil belajar, motivasi,

dan sikap terhadap kegiatan pembelajaran yang relevan. Lebih lanjut

dikemukakan tentang penilaian yang relevan antara lain sebagai berikut.

a. Penilaian kinerja siswa

Pada penilaian kinerja ini, siswa diminta untuk unjuk kerja atau

mendemonstrasikan kemampuan melakukan tugas-tugas tertentu, seperti:

menulis karangan, melakukan suatu eksperimen, menginterpretasikan

jawaban pada suatu masalah, memainkan suatu lagu, atau melukis suatu

gambar.

b. Portofolio siswa

Portfolio yang merupakan kumpulan yang sistematis pekerjaan-pekerjaan

siswa yang dianalisis untuk melihat kemajuan belajar dalam kurun waktu

tertentu dalam kerangka pencapaian tujuan pembelajaran. Penilaian

dengan portfolio dapat dipakai untuk penilaian pembelajaran yang

dilakukan secara kolaboratif. Penilaian kolaboratif dalam PBL dilakukan

dengan cara evaluasi diri (selfassessment) dan (peer-assessment).

Self-assessment adalah penilaian yang dilakukan oleh siswa itu sendiri

terhadap usaha-usahanya dan hasil pekerjaannya dengan merujuk pada

tujuan yang ingin dicapai oleh siswa itu sendiri dalam belajar.

Peer-assessment adalah penilaian dimana siswa berdiskusi untuk memberikan

penilaian terhadap upaya dan hasil penyelesaian tugas-tugas yang telah

dilakukannya sendiri maupun oleh teman dalam kelompoknya. Portofolio

(28)

Hasil karya yang dapat dimasukkan sebagai portofolio siswa misalnya

adalah contoh artefak, artikel jurnal, refleksi yang mewakili apa yang telah

dilakukan siswa pada setiap mata pelajaran. Portofolio tidak hanya

berfungsi sebagai alat penilaian tetapi juga sebagai alat untuk membantu

siswa melakukan refleksi diri tentang apa yang telah dan belum berhasil

dipelajarinya.

c. Penilaian potensi belajar

Penilaian yang diarahkan untuk mengukur potensi belajar siswa, yaitu

mengukur kemampuan yang dapat ditingkatkan dengan bantuan guru atau

teman-temannya yang lebih maju. Hal itu merupakan pengaruh dari ide

Vigostsky tentang ZPD (Zone Proximal Development) atau zona

perkembangan terdekat, yaitu bahwa pada dasarnya siswa dapat

mengerjakan tugas-tugas yang belum pernah dipelajari dengan bantuan

orang dewasa atau teman sebaya yang lebih mampu. PBL yang memberi

tugas-tugas pemecahan masalah memungkinkan siswa untuk

mengembangkan dan mengenali potensi dan kesiapan belajarnya.

d. Penilaian usaha kelompok

Menilai usaha kelompok seperti yang dilakukan pada pembelajaran

kooperatif dapat dilakukan pada PBL. Penilaian usaha kelompok

mengurangi kompetisi merugikan yang sering terjadi, misalnya

membandingkan siswa dengan temannya.

2.5Kelebihan dan Kelemahan Model Problem Based Learning (PBL)

Menurut (Shoimin, 2013: 132), kelebihan dan kelemahan model Problem

Based Learning (PBL)

2.5.1 Kelebihan Model Problem Based Learning (PBL)

1. Siswa didorong untuk memiliki kemampuan memecahkan masalah

dalam situasi nyata.

2. Siswa memiliki kemampuan membangun pengetahuannya sendiri

(29)

3. Pembelajaran berfokus pada masalah sehingga materi yang tidak ada

hubungannya tidak perlu dipelajari oleh siswa. Hal ini mengurangi

beban siswa dengan menghafal atau menyimpan informasi.

4. Terjadi aktifitas ilmiah pada siswa melalui kerja kelompok.

5. Siswa terbiasa menggunakan sumber-sumber pengetahuan, baik dari

perpustakaan, internet, wawancara, dan observasi.

6. Siswa memiliki kemampuan menilai kemajuan belajarnya sendiri.

7. Siswa memiliki kemampuan untuk melakukan komunikasi ilmiah

dalam kegiatan diskusi atau presentasi hasil pekerjaan mereka.

8. Kesulitan belajar sisqwa secara individual dapat diatasi melalui kerja

kelompok dalam bentuk peer teaching.

2.5.2 Kelemahan Model Problem Based Learning (PBL)

1. PBL tidak dapat diterapkan untuk setiap materi pelajaran, ada bagian

guru berperan aktif dalam menyajikan meteri. PBL lebih cocok untuk

pembelajaran yang menuntut kemampuan tertentu yang kaitannya

dengan pemecahan masalah.

2. Dalam suatu kelas yang memiliki tingkat keragaman siswa yang tinggi

akan terjadi kesulitan dalam pembagian tugas.

2.5.3 Model Problem Based Learning (PBL)

2.5.4 Solusi dari kelemahan Model Problem Based Learning (PBL)

1. Pemilihan model pembelajaran, materi dan soal hendaknya dalam

pembelajaran lebih mengaktifkan siswa. Agar siswa bisa berbuat

dan merasakan, sehingga akan menghasilkan pemikiran kritis dari

diri siswa tinggi.

2. Agar optimal jumlah anggota kelompok 2 - 4 siswa.

3. Pemilihan soal dan materi pembelajaran hendaknya diperbarui

2.6 Model Pembelajaran Konvensional

Model pembelajaran konvensional merupakan model pembelajaran yang

biasa digunakan guru dalam mengajar dimana siswa sebagai menerima informasi

(30)

menerangkan, memberikan contoh-contoh soal sekaligus langkah-langkah untuk

menyelesaikan soal. (Sabri 2007: 52).

Kelebihan dan Kelemahan Model Pembelajaran Konvensional menurut

Sabri ( 2007: 53).

a. Kelebihan model pembalajaran konvensional, terutama:

1. Berbagai informasi yang tidak mudah ditemukan di tempat lain.

2. Menyampaikan informasi dengan cepat.

3. Membangkitkan minat akan informasi.

4. Mengajari siswa yang cara belajar terbaiknya dengan mendengarkan.

5. Mudah digunakan dalam proses belajar mengajar.

b. Kelemahan pembelajaran konvensional adalah sebagai berikut:

1. Tidak semua siswa memiliki cara belajar terbaik dengan

mendengarkan.

2. Sering terjadi kesulitan untuk menjaga agar siswa tetap tertarik

dengan apa yang dipelajari.

3. Para siswa tidak mengetahui apa tujuan mereka belajar pada hari itu.

4. Penekanan sering hanya pada penyelesaian tugas.

5. Daya serapnya rendah dan cepat hilang karena bersifat menghafal.

2.7 Penelitian yang Relevan

Penelitian yang dilakukan M. Dewi Kartika, W. Santyasa, W. Warpala (2014) yang berjudul “PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH TERHADAP KETERAMPILAN BERPIKIR KRITIS SISWA”.

Penelitian ini bertujuan (1) mendeskripsikan perbedaan keterampilan berpikir

kritis siswa antara kelas PBL dengan kelas konvensional, (2) mendeskripsikan

perbedaan keterampilan berpikir kritis siswa antara kelas PBL dengan kelas

konvensional. Penelitian dilakukan pada sejumlah siswa kelas X SMK Negeri

1 Denpasar dengan 2 kelas sampel. Pemilihan sampel dilakukan dengan teknik

Simple Random Sampling. Penelitian menggunakan rancangan Non Equivalent

Pretest-Posttest Control Group Design. Pengumpulan data menggunakan 2

jenis tes, yaitu tes pemahaman konsep fisika dan tes keterampilan berpikir

(31)

MANCOVA dengan skor pre-tes pemahaman konsep dan skor pre-test

keterampilan berpikir kritis sebagai kovariat. Pengujian hipotesis nol dilakukan

pada taraf signifikansi 5%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) terdapat

perbedaan pemahaman konsep matematika dan keterampilan berpikir kritis

siswa antara kelas PBL dengan kelas konvensional (2) terdapat perbedaan

pemahaman konsep fisika antara siswa kelas PBL dengan kelas konvensional

(3) terdapat perbedaan keterampilan berpikir kritis siswa antara kelas PBL

dengan kelas konvensional.

Penelitian lain oleh Hanifatur Rosyidah, Agus Suyudi, Mudjihartono yang berjudul “PENGARUH PENDEKATAN BERBASIS INDUKTIF TIPE PROBLEM BASED LEARNING (PBL) TERHADAP OPTIMALISASI

KEMAMPUAN BERPIKIR KRIRTIS FISIKA SISWA KELAS X SMAN 8

MALANG PENGARUH PEMBELAJARAN”. Penelitian ini bertujuan untuk

mengetahui pemahaman konsep fisika siswa yang menggunakan pendekatan

berbasis induktif tipe PBL lebih baik daripada siswa yang menggunakan model

konvensional. Penelitian ini dilakukan di SMAN 8 Malang. Metode penelitian

yang digunakan adalah quasy experiment dengan posttest control group design.

Pengambilan sampel menggunakan teknik cluster random sampling, siswa

kelas X MIA 3 sebagai kelas eksperimen menggunakan pendekatan berbasis

induktif tipe PBL dan siswa kelas X MIA 5 sebagai kelas kontrol

menggunakan model konvensional. Instrumen yang digunakan yaitu tes

pemahaman konsep fisika berupa soal uraian. Data instrumen tes dianalisis

menggunakan analisis uji-t dan hasil perhitungan t hitung > t tabel yaitu

3,4061>1,9953 pada taraf signifikansi 0,05, sehingga disimpulkan Prmahaman

berpikr kritis kelas eksperimen lebih baik daripada kelas kontrol.

Penelitian lain oleh Dasa Ismaimuza yang berjudul “PENGARUH PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH DENGAN STRATEGI

KONFLIK KOGNITIF TERHADAP KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS MATEMATIS DAN SIKAP SISWA SMP”. Kemampuan berpikir kritis matematis, dan sikap positif siswa terhadap matematika merupakan

(32)

memiliki kemampuan ini akan membantu siswa dalam memecahkan masalah

matematika, maupun masalah sehari-hari. Salah satu cara mengembangkan

kemampuan ini adalah dengan pembelajaran berbasis masalah dengan

strategi konflik kognitif (PBLKK). PBLKK merupakan pembelajaran yang

berdasarkan masalah, dimana pada masalah yang dikemukakan terdapat

fakta, keadaan, situasi yang mempertentangkan struktur kognisi siswa.

Dalam situasi ini terjadi konflik antara pengetahuan yang dimiliki siswa

dengan situasi yang sengaja disediakan. Permasalahan utama dalam

penelitian ini adalah bagaimana kemampuan berpikir kritis matematis dan

sikap siswaSMP kelas VIII Palu berdasarkan model pembelajaran, PAM siswa,

dan level sekolah. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental. Populasi

dalam penelitian ini adalah siswa SMP kelas VIII di kota Palu. Instrumen

yang digunakan dalam penelitian ini meliputi tes kemampuan matematika, nilai

rapor, tes kemampuan berpikir kritis matematis, skala sikap siswa

terhadap matematika. Tujuan dari penelitian yang akan dilakukan adalah:

mengkaji dan menganalisis perbedaan kemampuan berpikir kritis matematis,

sikap siswa siswa yang menerima pembelajaran berbasis masalah dengan

strategi konflik kognitif (PBLKK) dan pembelajaran konvensional (KV)

ditinjau dari: a) keseluruhan, pengetahuan awal siswa (tinggi, sedang, dan

rendah), dan level sekolah.

Hasil penelitian yang dilakukan Yosafat S Wongkar, Tommy M Palapa, Yeremia S Mokosuli (2014) yang berjudul “PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN PROBLEM BASED LEARNING (PBL) BERBASIS

WISATA LOKAL TERHADAP PENINGKATAN KEMAMPUAN

BERPIKIR KRITIS SISWA PADA KONSEP PENCEMARAN LINGKUNGAN DI SMA NEGERI 7 MANADO”. Penggunaan model pembelajaran yang tidak kreatif, inovatif dan menyenangkan serta kurang

memberdayakan kemampuan berpikir kritis siswa dalam kelas, menyebabkan

hasil belajar siswa rendah. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji penerapan

model pembelajaran Problem Based Learning (PBL) berbasis wisata lokal

(33)

yang digunakan adalah metode eksperimen. Hasil penelitian menunjukkan

bahwa nilai rata-rata post-test kelas eksperimen adalah 87 lebih tinggi

dibandingkan nilai rata-rata post-test kelas kontrol yaitu 64,2. Kesimpulannya,

penggunaan model pembelajaran Problem Based Learning (PBL) berbasis

wisata lokal dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa pada konsep

pencemaran lingkungan di SMA Negeri 7 Manado.

Penelitian lain oleh Gede Putra Adnyana, S.Pd., dkk (2009) yang berjudul “MENINGKATKAN AKTIVITAS BELAJAR, KETERAMPILAN BERPIKIR KRITIS, DAN PEMAHAMAN KONSEP BIOLOGI SISWA

MELALUI PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa implementasi model pembelajaran berbasis masalah pada mata pelajaran Biologi, dapat

meningkatkan: 1) aktivitas belajar siswa, 2) keterampilan berpikir kritis siswa,

dan 3) pemahaman konsep Biologi siswa, serta 4) siswa memberikan respon

positif terhadap model pembelajaran yang diterapkan. Peningkatan

keterampilan berpikir kritis hampir terjadi disemua indikator, seperti

merumuskan masalah, memberikan argumentasi, melakukan induksi, dan

memberikan penilaian, kecuali keterampilan melakukan deduksi yang

cendrung menurun dari siklus I ke siklus II. Peningkatan pemahaman konsep

biologi siswa dapat dilihat dari peningkatan rerata nilai pada siklus I sebesar

(34)

2.8 Kerangka Berpikir

Gambar 2.2 Kearangka Berpikir

Kemampuan berpikir kritis adalah kemampuan berpikir yang menguji,

menghubungkan, dan mengevaluasi semua aspek dalam mengelompokkan,

mengorganisasikan, mengingat, menganalisis informasi, berpikir yang

beralasan dan reflektif dalam memecahkan suatu masalah. Akibatnya ketika

siswa mengerjakan soal yang berbeda dengan yang diberikan contoh oleh guru

atau siswa harus mencari konsep yang belum diketahui dalam soal, siswa

belum mampu mengerjakannya kerena siswa tidak dilatih untuk berfikir tingkat

tinggi. Salah satu cara agar siswa mudah memahami konsep matematika dan

berpikir kritis, yaitu dengan melibatkan siswa secara aktif dalam pembelajaran.

Pembelajaran matematika yang melibatkan siswa aktif dapat meningkatkan

kemampuan berpikir siswa dalam memahami sebuah konsep serta dapat

menyelesaikan masalah dengan keterampilan-keterampilan dan ilmu

pengetahuan yang telah dimiliki. Para guru dapat mencoba berbagai model

yang dapat membangkitkan kemampuan berpikir siswa, salah satunya adalah Model

Pembelajaran Konvensional

Berpikir Kritis Matematika

Siswa model

Problem Based Learning

Posttest

Kelas Eksperimen

Kelas

Kontrol

Pretest

Kondisi

(35)

model Problem Based Learning (PBL) adalah strategi pembelajaran yang

berpusat pada siswa di mana siswa mengelaborasikan pemecahan masalah

dengan pengalaman sehari-hari.

2.9 Hipotesis Penelitian

Berdasarkan kerangka berpikir diatas maka dirumuskan suatu hipotesis

yaitu,

Ho : Tidak ada perbedaan yang signifikan penggunaan model Problem Based

Learning (PBL) terhadap kemampuan berpikir matematika siswa kelas 4

SDN Kebumen 01 dan kelas IV SDN Kebumen 03.

Ha : Ada perbedaan yang signifikan model Problem Based Learning (PBL)

terhadap kemampuan berpikir matematika siswa kelas IV SDN Kebumen 01

Gambar

Tahap-tahap modelTabel 2.1  Problem Based Learning (PBL)
Gambar 2.2 Kearangka Berpikir

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan penelitian ini yaitu: (1) mendeskripsikan penerapan model pembelajaran Problem Based Learning (PBL) dalam peningkatan keterampilan berpikir kritis, (2)

Meskipun MPBM dapat meningkatkan keterampilan berpikir kritis dan pemahaman konsep, tetapi belum secara optimal dapat mencapai keterampilan berpikir kritis dan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilaksanakan mengenai kemampuan berpikir kritis siswa terlihat bahwa N Gain Skor siswa yang mendapatkan pembelajaran model PBL pada

Bagaimanakah perbedaan keterampilan berpikir kritis siswa kelas eksperimen yang dibelajarkan dengan model Problem Based Learning (PBL) dengan siswa kelas kontrolMAN 3 Aceh

kasih karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan Tugas Akhir yang berjudul “Peningkatan Kemampuan Berpikir Kritis ( Critical Thinking ) Dan Hasil Belajar

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilaksanakan mengenai kemampuan berpikir kritis siswa terlihat bahwa N Gain Skor siswa yang mendapatkan pembelajaran model PBL pada

Variabel terikat adalah variabel yang dipengaruhi atau yang menjadi akibat, karena adanya variabel bebas dan yang menjadi variabel terikat dalam penelitian ini

8. Setelah selesai mengerjakan soal, guru mengoreksi jawaban siswa c. Guru dan siswa membuat penegasan atau kesimpulan cara menentukan hasil penjumlahan 2 bilangan