5
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1Kajian Teori 2.1.1 Belajar
Belajar merupakan kebutuhan setiap orang, sebab dengan belajar
seseorang dapat memahami dan menguasai sesuatu sehingga kemampuannya
dapat ditingkatkan. Salah satu pertanda bahwa seseorang telah belajar adalah
adanya perubahan tingkah laku dirinya. Perubahan tingkah laku tersebut
menyangkut baik perubahan yang bersifat pengetahuan (kognitif) dan
keterampilan (psikomotor) maupun yang menyangkut nilai dan sikap (afektif)
(Sadiman, 2007: 2)
Belajar merupakan kegiatan berproses yang dilakukan dalam pendidikan.
Belajar dapat membuat siswa dari yang tadak tahu menjadi tahu, dari yang
tidak bisa menjadi bisa dan siswa banyak mendapatkan informasi dari proses
belajar. Ini berarti berhasil atau gagalnya siswa sangat bergantung yang dialami
siswa baik ketika di sekolah, maupun lingkungan di rumah atau keluarga
(Hasanah, 2010: 8)
Pengertian belajar yang dikemukakan Fontana (Panen, 2001: 1.2) yaitu “
suatu proses perubahan relatif tetap dalam perilaku individu sebagai hasil dari
pengalaman”. Chaplin (Syah, 2010:88), membatasi belajar dengan dua macam
rumusan yaitu:
a. Acquisition of any relatively permanent change in behaviour as result of
practice and experience. Belajar adalah perolehan perubahan tingkah laku
yang relatif menetap sebagai akibat praktik dan pengalaman.
b. Process of acquiring responses as a result of special practice. Belajar
ialah proses memperoleh respon-respon sebagai akibat adanya pelatihan
khusus.
Menurut Hakim (Fathurrohman, 2007: 6) belajar adalah “ suatu
perubahan di dalam kepribadian manusia dan perubahan tersebut di tampakkan
dalam bentuk peningkatan kualitas dan kuantitas tingkah laku seperti
keterampilan, daya fikir”. Sedangkan Hilgard dan Marquist (Sagala, 2009:13) berpendapat bahwa “Belajar merupakan proses mencari ilmu yang terjadi
dalam diri seorang melalui latihan, pembelajaran, dan sebagainya sehingga terjadi perubahan dalam diri”.
Sejalan pendapat para ahli, Sadiman (2007) dan Sagala (2009) di atas,
dapat disimpulkan bahwa belajar adalah proses perubahan tingkah laku yang
mengakibatkan siswa dapat merespon ilmu pengetahuan yang diberikan
sehingga terjadi peningkatan daya pikir, keterampilan, pemahaman, sikap,
pengetahuan, dan lain-lain yang dilakukan melalui pembelajaran.
2.1.2 Pembelajaran
Pembelajaran berdasarkan makna leksikal berarti proses, cara perbuatan
mempelajari (Suprijono, 2009:13). Menurut Gagne, Brigss, dan Wager (Panen,
2001: 1.5) pembelajaran adalah “serangkaian kegiatan yang dirancang untuk memungkinkan terjadinya proses belajar pada siswa”. Sedangkan (Depdiknas, 2007:17) kata “pembelajaran” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah kata benda yang diartikan sebagai proses, cara menjadikan orang, atau makhluk
hidup belajar. Menurut (Sanjaya, 2008:213) istilah mengajar bergeser pada
istilah pembelajaran yang dapat diartikan sebagai proses pengaturan
lingkungan yang diarahkan untuk mengubah perilaku siswa ke arah yang
positif dan lebih baik sesuai potensi dan perbedaan yang dimiliki siswa.
Pada pembelajaran guru telah merancang kegiatan-kegiatan apa saja yang
harus dilakukan dalam proses belajar, seperti materi, model, dan media
sehingga dapat memudahkan siswa untuk memahami materi dan rancangan
kegiatan tersebut harus sesuai dengan tujuan pembelajaran (Hasanah, 2010:11).
Pembelajaran mempunyai dua karakteristik, yaitu (1) dalam proses
pembelajaran melibatkan proses mental siswa secara maksimal, bukan hanya
menuntut siswa sekedar mendengar, mencatat, akan tetapi menghendaki siswa
dalam proses berpikir, (2) dalam pembelajaran membangun suasana dialogis
dan proses tanya jawab terus menerus yang diarahkan untuk memperbaiki dan
berfikir itu dapat membantu siswa untuk memperoleh pengetahuan yang
mereka konstruksi sendiri (Sagala, 2009:63).
Sejalan dengan Sanjaya (2008) dan Hasanah (2010) dari pendapat di atas,
pembelajaran adalah usaha yang dilakukan guru agar siswa melakukan belajar
melalui rancangan yang telah dibuat. Pada pembelajaran siswa yang lebih
banyak berperan dari pada guru, guru hanya menjadi fasilitator saja. Oleh
karena itu dalam pembelajaran siswa dituntut untuk aktif baik secara mental
maupun fisik sehingga siswa dapat menggunakan kemampuan berfikir dan
keterampilan-keterampilan dalam proses belajar.
2.2. Pembelajaran Matematika untuk Sekolah Dasar 2.2.1 Hakekat Matematika
Menurut (Suhendar, 2007: 7.4) istilah kata matematika menurut berbagai
bahasa antara lain mathematics (bahasa Inggris), mathematik (bahasa Jerman),
mathematique (bahasa Perancis), matematico (bahasa Italia), matematiceski
(bahasa Rusia) dan mathematick (bahasa Belanda). Istilah matematika yang
dinyatakan dalam berbagai ungkapan tersebut berasal dari bahasa Yunani,
yaitu mathematike yang mengandung pengertian hal-hal yang berhubungan
(relating to learning). Kata tersebut mempunyai akar kata mathema yang
artinya pengetahuan atau ilmu. Kata ini pun berhubungan erat dengan kata lain,
yaitu mathamein yang maknanya adalah belajar.
Terdapat beberapa pengertian matematika menurut para ahli, diantaranya
seperti yang diungkapkan Paling (Abdurrahman, 2002: 252) yaitu matematika
adalah suatu cara untuk menemukan jawaban terhadap masalah yang dihadapi
manusia, suatu cara menggunakan informasi, menggunakan pengetahuan
tentang bentuk dan ukuran, menggunakan pengetahuan tentang menghitung,
dan yang paling penting adalah memikirkan dalam diri manusia itu sendiri
dalam melihat dan menggunakan hubungan-hubungan. Sedangkan James dan
James (Suherman, 2003: 16) mengatakan bahwa matematika adalah ilmu
tentang logika mengenai bentuk, susunan, besaran, dan konsep-konsep yang
berhubungan satu dengan yang lainnya dengan jumlah yang banyak yang
Menurut Skemp (Shadiq, 2009) inti belajar matematika adalah “agar siswa memiliki pemahaman relasional dimana para siswa dapat melakukan
sesuatu namun ia juga harus dapat menjelaskan mengapa ia harus melakukan”.
Sejalan pendapat Abdurrahman (2002) dan Suherman (2003) di atas
matematika adalah ilmu yang berisi struktur-struktur, konsep yang saling
berhubungan satu sama lainnya. Agar siswa mengetahui dan memahami
konsep-konsep serta struktur-struktur yang ada di matematika, maka
diperlukan belajar matematika.
2.2.2 Karakteristik Pembelajaran Matematika di Sekolah Dasar.
Menurut Jean Piaget (Nyimas, 2007), menyatakan bahwa “proses berpikir manusia sebagai suatu perkembangan yang bertahap dari berpikir intelektual konkret ke abstrak”. Menurut Bruner (Nyimas, 2007)
mengungkapkan bahwa dalam “proses belajar anak sebaiknya diberi
kesempatan memanipulasi benda-benda atau alat peraga yang dirancang
secara khusus dan dapat diotak-atik siswa dalam memahami suatu konsep matematika”.
Dengan demikian pembelajaran matematika di Sekolah Dasar tak bisa
lepas dari sifat-sifat matematika yang abstrak dan perkembangan intelektual
siswa yang masih konkret. Oleh karena itu perlu memperhatikan beberapa sifat
atau karakteristik pembelajaran matematika di Sekolah Dasar (Wigar,
2012:15-16).
1. Pembelajaran matematika berjenjang (bertahap) dimulai dari konsep yang
sederhana ke konsep yang lebih sukar.
2. Pembelajaran matematika mengikuti metode spiral. Dalam setiap
memperkenalkan konsep atau bahan yang baru perlu memperkenalkan
konsep atau bahan yang telah dipelajari siswa sebelumnya. Bahan yang
baru selalu dikaitkan dengan bahan yang telah dipelajari dan sekaligus
untuk mengingatkannya kembali.
3. Pembelajaran matematika menekankan pada pola pendekatan induktif.
Matematika adalah ilmu deduktif. Matematika tersusun secara deduktif
dalam pembelajaran matematika perlu ditempuh dengan pola pikir atau
pendekatan induktif.
4. Pembelajaran matematika menganut kebenaran konsisten. Kebenaran
matematika sesuai dengan struktur deduktif aksiomatiknya.
Kebenaran-kebenaran dalam matematika pada dasarnya merupakan Kebenaran-kebenaran
konsistensi, tidak ada pertentangan antara konsep yang satu dengan konsep
yang lainnya. Dalam pembelajaran matematika di SD kebenaran
konsistensi tersebut mempunyai nilai didik yang sangat tinggi dan amat
penting untuk pembinaan sumberdaya manusia dalam kehidupan
sehari-hari.
Pada proses pembelajaran matematika, para guru matematika harus
memberikan kesempatan kepada siswa untuk dapat berpikir sesuai dengan
kreativitasnya, karena pengetahuan tidak dapat dipindahkan begitu saja dari
otak seorang guru ke otak siswanya. Setiap siswa harus membangun
pengetahuan itu di dalam otaknya sendiri-sendiri berdasar pada pengetahuan
atau pengalaman yang sudah dimiliki atau pernah dialami siswa (Hasanah,
2010: 12). Menurut Gagne (Suherman, 2003: 33), mengatakan bahwa dalam
belajar matematika ada dua objek yang diperoleh siswa, yaitu objek langsung
dan objek tak langsung. Objek langsung adalah objek yang diterima secara
langsung oleh siswa melalui penjelasan guru atau diskusi, seperti fakta, konsep,
definisi dan lain-lain. Jadi, secara langsung siswa mendapatkan pemahaman
tentang konsep-konsep, aturan-aturan yang ada di dalam matematika.
Sedangkan objek tidak langsung adalah ketika siswa mempunyai pengetahuan
dan pemahaman tentang matematika secara tidak langsung siswa mampu
memecahkan masalah, dapat belajar mandiri dengan menggunakan proses
berpikir dan kreativitas-kreativitas yang mereka miliki untuk memecahkan
masalah
Permendiknas No. 22 tahun 2006 mengenai Standar Isi dijelaskan bahwa
mata pelajaran matematika bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan
1. Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antar konsep dan
mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes, akurat, efisien, dan
tepat, dalam pemecahan masalah.
2. Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi
matematika dalam generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan
gagasan dan pernyataan matematika.
3. Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah,
merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan
solusi yang diperoleh.
4. Mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagaram. Atau media
lain untuk memperjelas keadaan atau masalah.
5. Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu
memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari
matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah.
Cornelius (Abdurrahman, 2002: 253) mengemukakan lima alasan perlunya
belajar matematika, yaitu:
1. Sarana berpikir yang jelas dan logis.
2. Sarana untuk memecahkan masalah dalan kehidupan sehari-hari.
3. Sarana mengenal pola-pola hubungan dan generalisasi pengalaman.
4. Sarana untuk mengembangkan kreativitas.
5. Sarana untuk meningkatkan kesadaran terhadap perkembangan budaya.
Pada pembelajaran matematika diperlukan keterampilan untuk dapat
mewujudkan objek-objek yang abstrak menjadi yang lebih konkret, sehingga
siswa dapat lebih mudah memahaminya (Hasanah, 2010:13).
Brownell (Suhendar, 2007:8.13) mengemukakan bahwa salah satu cara
agar anak-anak dapat mengembangkan pemahaman tentang matematika adalah
dengan menggunakan benda-benda yang telah mereka kenal dan relevan
dengan konsep yang dibahas. Contohnya: guru menjelaskan konsep
penjumlahan dan pengurangan. Guru bisa menggunakan benda-benda yang
tersebut dapat disusun dengan cara mereka sendiri hingga terbentuk formasi
penjumlahan dan pengurangan.
Menurut Kilpatrick, Swatford, dan Findell (Suhendar, 2007:9.6) terdapat
lima kompetensi dalam matematika, yaitu: pemahaman konsep, pemahaman
prosedur, kemampuan strategis, bernalar secara adaptif, dan disposisi yang
produktif. Pemahaman konsep adalah kompetensi awal yang diperlukan dalam
belajar matematika. Pahamnya siswa terhadap suatu konsep siswa akan mampu
menerapkan suatu konsep dalam suatu masalah. Selanjutnya adalah
pemahaman prosedur, kemampuan siswa menerapkan konsep dengan urutan
atau langkah-langkah kerja secara logis dan sistematis serta memecahkan
masalah. Kemampuan strategis adalah kemampuan siswa dalam memecahkan
masalah dengan memilih strategi yang tepat untuk masalah tersebut. Bernalar
secara adaptif adalah kemampuan siswa untuk berpikir secara logis, kreatif,
serta dapat menjelaskan hasil pekerjaanya dengan argumen-argumen yang
logis. Disposisi produktif adalah kemampuan siswa untuk menilai bahwa
matematika itu adalah pelajaran yang bermanfaat, bermakna, dan selalu
bersikap positif untuk memahami dan menguasai matematika.
Kompetensi-kompetensi tersebut dimulai dari kompetensi yang paling
dasar, yaitu pemahaman konsep. Oleh karena itu dalam pembelajaran
matematika perlu diberi penekanan pada pemahaman konsep yang baik dan
benar. Agar kompetensi-kompetensi tersebut dapat dicapai dengan baik, maka
dalam pembelajaran matematika perlu dilakukan belajar yang bermakna. Teori
Ausabel (Suherman, 2003: 32) dikenal dengan teori belajar bermakna, pada
belajar bermakna materi yang telah diperoleh dikembangkan lagi dengan
keadaan lain sehingga belajarnya dapat lebih dimengerti. Pengetahuan atau
pengalaman baru yang di dapat siswa berkaitan dengan pengetahuan lama yang
sudah diketahui atau dialami siswa sebelumnya.
2.3 Berpikir Kritis 2.3.1 Definisi Berpikir
Pengertian berpikir menurut beberapa ahli pendidikan, diantaranya
1. (Suryasubrata, 1990:54) berpendapat bahwa berpikir merupakan proses yang
dinamis yang dapat dilukiskan menurut proses dan jalannya.
2. (Khodijah, 2006:117) berpikir adalah sebuah representasi simbol dari beberapa
peristiwa atau item.
3. Solso (Khodijah, 2006:117) berpikir adalah sebuah proses dimana representasi
mental baru dibentuk melalui transformasi informasi dengan interaksi yang
komplek atribut-atribut mental seperti penilaian, abstraksi, logika, imajinasi,
dan pemecahan masalah.
Ciri utama dari berpikir adalah adanya abstraksi. Sejalan dengan para ahli
dapat disimpulkan bahwa berpikir adalah sebuah representasi simbol dari
beberapa peristiwa atau item yang dapat dilukiskan menurut proses dan
jalannya melalui transformasi informasi dengan interaksi yang komplek
atribut-atribut mental seperti penilaian, abstraksi, logika, imajinasi, dan
pemecahan masalah.
2.3.2 Definisi Kemampuan Berpikir Kritis
Beberapa ahli mengungkapkan beragam definisi berpikir kritis tetapi ada
beberapa komponen yang mengandung kesamaan. Krulik & Rudnick
(Sumardyono dan Ashari S, 2010: 9) mendefinisikan berpikir kritis sebagai
berpikir yang menguji, menghubungkan, dan mengevaluasi semua aspek dari
situasi masalah. Termasuk di dalam berpikir kritis adalah mengelompokkan,
mengorganisasikan, mengingat, dan menganalisis informasi.
Berpikir kritis juga merupakan kemampuan untuk membaca dengan
pemahaman dan mengidentifikasi materi-materi yang diperlukan. Selain itu
juga merupakan kemampuan untuk mengambil kesimpulan dari sekumpulan
data yang diberikan dan untuk menentukan inkonsistensi dan kontradiksi.
Berpikir kritis adalah berpikir analitis dan reflektif. Sejalan dengan hal
tersebut, (Norris dan Ennis dalam Davidson B. W. Dan Dunham R. A., 1997:3)
menyatakan bahwa berpikir kritis adalah berpikir yang beralasan dan reflektif
yang fokus untuk memutuskan apa yang dapat dipercaya dan apa yang tidak
dapat dipercaya. Berpikir kritis menurut (Walker, Paul dan Finney, Nicholas,
mengaplikasikan, menganalisis, mensintesis, dan atau mengevaluasi berbagai
informasi yang didapat dari hasil observasi, pengalaman, refleksi, di mana hasil
proses ini diguanakan sebagai dasar saat mengambil tindakan.
Sejalan pendapat Krulik & Rudnick (Sumardyono dan Ashari S, 2010)
dan (Walker, Paul dan Finney, Nicholas, 1999) di atas dapat disimpulkan
bahwa kemampuan berpikir kritis adalah kemampuan berpikir yang menguji,
menghubungkan, dan mengevaluasi semua aspek dalam mengelompokkan,
mengorganisasikan, mengingat, menganalisis informasi, berpikir yang
beralasan dan reflektif dalam memecahkan suatu masalah.
2.3.3 Aspek Kemampuan Berpikir Kritis
Norris dan Ennis (Davidson B. W. Dan Dunham R. A., 1997: 3)
menyebutkan bahwa orang yang berpikir kritis idealnya mempunyai dua belas
kemampuan yang dikelompokkan menjadi lima aspek kemampuan berpikir
kritis. Berikut kelima aspek dalam berpikir kritis:
1. Elementary clarification (memberikan penjelasan dasar) yang meliputi:
1.1Fokus pada pertanyaan (dapat mengidentifikasi pertanyaan/masalah,
dapat mengidentifikasi jawaban yang mungkin, dan apa yang
dipikirkan tidak keluar dari masalah itu).
1.2Menganalisis pendapat (dapat mengidentifikasi kesimpulan dari
masalah itu, dapat mengidentifikasi alasan, dapat menangani hal-hal
yang tidak relevan dengan masalah itu).
1.3Berusaha mengklarifikasi suatu penjelasan melalui tanya- jawab.
2. The basis for the decision (menentukan dasar pengambilan keputusan)
yang meliputi:
2.1Mempertimbangkan apakah sumber dapat dipercaya atau tidak
2.2Mengamati dan mempertimbangkan suatu laporan hasil observasi.
2.3Inference (menarik kesimpulan) yang meliputi:
2.3.1 Mendeduksi dan mempertimbangkan hasil deduksi.
2.3.2 Menginduksi dan mempertimbangkan hasil induksi.
2.3.3 Membuat dan menentukan pertimbangan nilai.
2.4.1 Mendefinisikan istilah dan mempertimbangkan definisi
tersebut.
2.4.2 Mengidentifikasi asumsi.
2.5Supposition and integration (memperkirakan dan menggabungkan)
yang meliputi:
2.5.1 Mempertimbangkan alasan atau asumsi-asumsi yang diragukan
tanpa menyertakannya dalam anggapan pemikiran kita.
2.5.2 Menggabungkan kemampuan dan karakter yang lain dalam
penentuan keputusan.
Dalam penelitian ini hanya akan dipilih empat aspek dari lima aspek
kemampuan berpikir kritis yang dikemukakan Norris dan Ennis (Davidson B.
W. Dan Dunham R. A., 1997: 3), yaitu:
1. Elementary clarification (memberikan penjelasan dasar).
Dalam menyelesaikan soal matematika siswa harus fokus tentang apa
masalahnya, apa yang diketahui dan apa yang merupakan inti persoalan
sebelum ia memutuskan untuk memilih strategi atau prosedur yang tepat.
2. The basis for the decision (menentukan dasar pengambilan keputusan).
Dalam menentukan suatu keputusan, siswa harus menyertakan alasan
(reason) yang tepat sebagai dasar sebelum suatu langkah ditempuh.
Alasan itu dapat berasal dari informasi yang diketahui, teorema ataupun
sifat. Alasan ini digunakan siswa untuk bersikap kritis terhadap suatu
situasi, misalnya situasi yang disediakan dalam bentuk suatu soal, ataupun
situasi yang muncul karena pikiran sendiri yang perlu dikritisi berdasarkan
alasan-alasan yang tepat agar kebenaran pemikiran itu mendapat
penguatan.
3. Inference (menarik kesimpulan).
Penarikan kesimpulan yang benar harus didasarkan pada langkah-langkah
dari alasan-alasan ke kesimpulan yang masuk akal atau logis. Kesimpulan
dapat melahirkan sesuatu yang baru yang dapat berperan sebagai fokus
untuk dipikirkan, sedangkan alasan merupakan dasar bagi suatu proses
4. Advanced clarification (memberikan penjelasan lanjut).
Mendefinisikan istilah dan mempertimbangkan definisi tersebut dan
mengidentifikasi asumsi.
2.3.4 Ciri- ciri Orang Berpikir Kritis
Ciri orang berpikir kritis menurut Raymon S. Nickerson (Lipman
Matthew, (2003:58) adalah sebagai berikut:
1. Menggunakan bukti yang kuat dan tidak memihak.
2. Dapat mengungkapkan secara ringkas dan masuk akal.
3. Dapat membedakan secara logis antara simpulan yang valid dan tidak
valid.
4. Menggunakan penilaian, bila tidak ada bukti yang cukup untuk
mendukung sebuah keputusan.
5. Mampu mengantisipasi kemungkinan konsekkuensi dari suatu tindakan.
6. Dapat mencari kesamaan dan analogi (kemiripan).
7. Dapat belajar secara mandiri.
8. Menerapkan teknik Problem Based Learning (PBL)
9. Menyadari fakta bahwa pemahaman seseorang selalu terbatas.
10.Mengakui kekurangan terhadap pendapatnya sendiri.
2.4 Model Problem Based Learning (PBL) 2.4.1 Pengertian Model Pembelajaran
Model adalah bentuk representasi akurat sebagai proses aktual yang
memungkinkan seseorang atau sekelompok orang mencoba bertindak
berdasarkan model itu (Mills dalam Suprijono, 2012: 45). Pemilihan model
yang tepat perlu memperhatikan tujuan pengajaran.
Model pembelajaran adalah kerangka konsptual yang melukiskan
prosedur yang sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk
mencapai tujuan belajar tertentu, dan berfungsi sebagai pedoman bagi para
perancang pembelajaran dan para pengajar dalam merencanakan aktivitas
belajar mengajar Soekamto (dalam Aris Shoimin, 2014:23).
Arends (dalam Aris Shoimin, 2014:23) menyatakan, “The term teaching
syntax, environment, and management system.” Artinya, istilah model
pengajaran mengarah pada suatu pendekatan pembelajaran tertentu termasuk
tujuan, sintaks, lingkungan, dan sistem pengelolaannya.
Joyce & Weil (dalam Rusman, 2011: 133), berpendapat bahwa model
pembelajaran adalah suatu rencana atau pola yang dapat digunakan untuk
membentuk kurikulum (rencana pembelajaran jangka panjang), merancang
bahan-bahan pembelajaran, dan membimbing pembelajaran di kelas atau yang
lain. Model pembelajaran dapat dijadikan pola pilihan, artinya para guru boleh
memilih model pembelajaran yang sesuai dan efisien untuk mencapai tujuan
pendidikan.
Model pembelajaran merupakan landasan praktik pembelajaran hasil
penurunan teori psikologi pendidikan dan teori belajar yang dirancang
berdasarkan analisis terhadap implementasi kurikulum dan implikasinya pada
tingkat operasional di kelas (Suprijono, 2012: 46). Fungsi model pembelajaran
yaitu guru dapat membantu peserta didik mendapat informasi, ide
keterampilan, cara berpikir dan mengekspresikan ide. Sehinga model
pembelajaran dapat diartikan sebagai suatu rencana atau pola yang digunakan
dalam mangatur materi pelajaran dan memberi petunjuk kepada pengajar di
kelas.
Sejalan dengan pendapat para ahli, Joyce & Weil (dalam Rusman, 2011)
dan Arends (dalam Aris Shoimin, 2014), model pembelajaran adalah pola
yang digunakan sebagai pedoman dalam merencanakan kegiatan belajar
mengajar (KBM) secara sistematis untuk mencapai tujuan belajar yang
maksimal.
2.4.2 Model Problem Based Learning (PBL)
Problem Based Learning (PBL) adalah seperangkat model mengajar
yang menggunakan masalah sebagai fokus untuk mengembangkan
keterampilan pemecahan masalah, materi, dan pengaturan diri, menurut Hmelo,
Serafino dan Ciccheli (Eggen Kauchak, 2012:307).
Menurut Akinoglu & Tandogan (Kartika, 2014), PBL merupakan salah
proses belajar menuju pada suatu proses yang diselaraskan dimana
keterampilan pemecahan masalah, kemampuan berpikir kritis dan belajar
untuk belajar dikembangkan.
“Problem Based Learning (PBL) is a method of learning in which learners first encounter a problem followed by a systematic, learner-centered
inquiry and reflection process” (Teacher & Educational Development, 2002:2)
buku Scholaria PGSD hal.116. Artinya: Problem Based learning (PBL) adalah
suatu metode pembelajaran di mana pembelajar bertemu dengan suatu masalah
yang tersusun sistematis; penemuan terpusat pada pembelajar dan proses
refleksi (Teacher & Educational Development, 2002:2) dalam buku Scholaria
PGSD hal.116.
Sejalan dengan Wahyudi, (Supinah, 2010:17) berpendapat Problem Based
Learning (PBL) adalah strategi pembelajaran yang berpusat pada siswa di
mana siswa mengelaborasikan pemecahan masalah dengan pengalaman
sehari-hari.
Wardhani (Supinah, 2010: 17) mengemukakan bahwa Problem Based
Learning (PBL) merupakan model pembelajaran yang bertujuan merangsang
terjadinya proses berpikir tingkat tinggi dalam situasi yang berorientasi
masalah. Lebih lanjut dikemukakan PBL utamanya dikembangkan untuk
membantu siswa sebagai berikut.
a. Mengembangkan keterampilan berfikir tingkat tinggi. Menurut Lauren
Resnick (dalam Arends, 1997) berfikir tingkat tinggi mempunyai ciri-ciri:
(1) non algoritmik yang artinya alur tindakan berfikir tidak sepenuhnya
dapat ditetapkan sebelumnya, (2) cenderung kompleks, artinya
keseluruhan alur berfikir tidak dapat diamati dari satu sudut pandang saja,
(3) menghasilkan banyak solusi, (4) melibatkan pertimbangandan
interpretasi, (5) melibatkan penerapan banyak kriteria, yang
kadang-kadang satu dan lainnya bertentangan, (6) sering melibatkan
ketidakpastian, dalam arti tidak segala sesuatu terkait dengan tugas
yangtelah diketahui, (7) melibatkan pengaturan diri dalam proses berfikir,
diijinkan adanya bantuan orang lain pada setiap tahapan berfikir, (8)
melibatkan pencarian makna, dalam arti menemukan struktur pada
keadaan yang tampaknya tidak teratur, (9) menuntut dilakukannya kerja
keras, dalam arti diperlukan pengerahan kerja mental besar-besaran saat
melakukan berbagai jenis elaborasi dan pertimbangan yang dibutuhkan.
b. Belajar berbagai peran orang dewasa. Dengan melibatkan siswa dalam
pengalaman nyata atau simulasi (pemodelan orang dewasa), membantu
siswa untuk berkinerja dalam situasi kehidupan nyata dan belajar
melakukan peran orang dewasa.
c. Menjadi pelajar yang otonom dan mandiri. Pelajar yang otonom dan
mandiri ini dalam arti tidak sangat tergantung pada guru. Hal ini dapat
dilakukan dengan cara, guru secara berulang-ulang membimbing dan
mendorong serta mengarahkan siswa untuk mengajukan pertanyaan,
mencari penyelesaian terhadap masalah nyata oleh mereka sendiri. Siswa
dibimbing, didorong dan diarahkan untuk menyelesaikan tugas-tugas
secara mandiri. Kemampuan untuk menjadi pelajar yang otonom dan
mandiri ini diharapkan dapat mendorong tumbuhnya kemampuan belajar
secara autodidak dan kesadaran untuk belajar sepanjang hayat yang
merupakan bekal penting bagi siswa dalam mengarungi kehidupan pribadi,
sosial maupun dunia kerja selanjutnya.
HS Barrows (Supinah, 2010: 18) menyatakan bahwa proses Problem
Based Learning (PBL) adalah suatu model pembelajaran yang didasarkan pada
prinsip menggunakan masalah sebagai titik awal akuisisi dan integrasi
pengetahuan baru. Sementara itu (Supinah, 2010: 18) mendefinisikan Problem
Based Learning (PBL) sebagai suatu model pembelajaran dengan membuat
konfrontasi kepada siswa dengan masalah-masalah praktis, berbentuk
ill-structured, atau open ended melalui stimulus dalam belajar.
Sementara itu Moffit (Supinah, 2010: 18) mendifinisikan Problem Based
Learning (PBL), sebagai suatu model pembelajaran yang melibatkan siswa
dalam penyelidikan dalam pemecahan masalah yang memadukan ketrampilan
Karena penyelidikan adalah bentuk Problem Based Learning (PBL),
menerapkan pelajaran Penyelidikan sama dengan menerapkan pelajaran untuk
Problem Based Learning (PBL) mana pun. (Eggen Kauchak, 2012:328).
Penyelidikan, kadang disebut penyelidikan ilmiah, adalah model pengajaran
yang dirancang untuk memberi murid pengalaman metode ilmiah. Metode
ilmiah adalah polo pemikiran yang menekankan pada pengajuan pertanyaan,
mengembangkan hipotesis untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan dan
menguji hipotesis dengan data (Eggen Kauchak, 2012:324).
Sejalan pendapat para ahli Wahyudi (2012) dan Supinah (2010) di atas
mendefinisikan Problem Based Learning yang selanjutnya disebut “PBL”,
sebagai model pembelajaran yang diawali dengan pemberian masalah kepada
siswa di mana masalah tersebut dialami atau merupakan pengalaman
sehari-hari siswa. Selanjutnya siswa menyelesaikan masalah tersebut untuk
menemukan pengetahuan baru. Secara garis besar Problem Based Learning
(PBL) terdiri dari kegiatan menyajikan kepada siswa suatu situasi masalah
yang autentik dan bermakna serta memberikan kemudahan kepada mereka
untuk melakukan penyelidikan dan inkuiri.
2.4.3 Alasan Peneliti Menerapkan Model Problem Based Learning (PBL) Wardhani (Supinah, 2010: 19) mengemukakan PBL mengikuti tiga aliran
pikiran utama yang berkembang pada abad duapuluh yaitu sebagai berikut:
a. Pemikiran John Dewey dan Kelas Demokratisnya (1916). Menurut
Dewey, sekolah seharusnya mencerminkan masyarakat yang lebih besar
dan kelas merupakan laboratorium untuk pemecahanmasalah kehidupan
yang nyata. Pendapat Dewey ini memberikan dasar filosofis dari PBL.
b. Pemikiran Jean Piaget (1980). Menurut Piaget, anak memiliki rasa ingin
tahu bawaan dan secara terus menerus berusaha memahami dunia di
sekitarnya. Rasa ingin tahu itu memotivasi anak untuk secara aktif
membangun tampilan dalam otak merekatentang lingkungan yang mereka
hayati. Ketika tumbuh semakin dewasadan memperoleh lebih banyak
kemampuan bahasa dan memori, tampilan mentalmereka tentang dunia
anak perlu memahami lingkungan mereka, memotivasi mereka untuk
menyelidiki dan membangun teori-teori yangmenjelaskan lingkungan itu.
c. Pemikiran Lev Vygotsky (1934) dengan Konstruktivismenya, serta Jerome
Bruner dengan Pembelajaran Penemuannya. Vygotsky berpandangan
bahwa interaksi sosial dengan teman lain memacu terbentuknya ide baru
dan memperkaya perkembangan intelektual siswa. Bruner menyatakan
pentingnya pembelajaran penemuan, yaitu model pembelajaran yang
menekankan perlunya membantu siswa memahami struktur atau ide dari
suatu disiplin ilmu, perlunya siswa aktif terlibat dalam proses
pembelajaran dan yakin bahwa pembelajaran yang sebenarnya adalah yang
terjadi melalui penemuan pribadi.
2.4.4 Ciri-ciri Model Problem Based Learning (PBL)
Menurut Krajcik et.al, dan Slavin et.al, (Supinah, 2010: 20), ciri-ciri
khusus dari PBL adalah sebagai berikut:
a. Pengajuan pertanyaan atau masalah. Pertanyaan dan masalah yang
diajukan pada awal kegiatan pembelajaran adalah yang secara sosial
penting dan secara pribadi bermakna bagi siswa.
b. Berfokus pada keterkaitan antar disiplin. Masalah yang diangkat
hendaknya dipilih yang benar-benar nyata sehingga dalam pemecahannya
siswa dapat meninjaunya daribanyak mata pelajaran.
c. Penyelidikan autentik. Penyelidikan autentik, berarti siswa dituntut untuk menganalisis dan mendefinisikan masalah, mengembangkan hipotesis dan
membuat ramalan, mengumpulkan dan menganalisis informasi, melakukan
eksperimen (jika diperlukan), membuat inferensi, dan merumuskan
kesimpulan. Metode yang digunakan tergantung pada masalah yang
dipelajari.
d. Menghasilkan produk atau karya dan memamerkannya. Siswa dituntut
untuk menghasilkan produk tertentu dalam bentuk karya nyata atau
artefak. Artefak yang dihasilkan antara lain dapat berupa transkrip debat,
menjelaskan bentuk penyelesaian masalah yang ditemukan. Penjelasan
antara lain dapat dilakukan dengan presentasi, simulasi, peragaan.
2.4.5 Tahap-tahap Model Problem Based Learning (PBL)
Sebagai model pembelajaran, Arends dalam (Supinah, 2010: 21)
mengemukakan ada lima tahap pembelajaran pada PBL. Lima tahap ini sering
dinamai tahap interaktif, yang sering juga sering disebut sintaks dari PBL.
Lama waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan tiap tahapan pembelajaran
tergantung pada jangkauan masalah yang diselesaikan.
Tabel 2.1
Tahap-tahap model Problem Based Learning (PBL)
Tahap Kegiatan Tingkah Laku Guru
1.
Orientasi siswa
pada situasi
masalah
Menjelaskan tujuan pembelajaran, logistik
yang dibutuhkan untuk menyelesaiakan
tugas, memotivasi siswa agar terlibat pada
aktivitas pemecahan masalah yang
dipilihnya.
2.
Mengorganisasi
siswa untuk relajar
Membantu siswa mendefinisikan dan
mengorganisasikan tugas belajar yang
berhubungan dengan masalah tersebut.
Mendorong siswa untuk mengumpulkan
informasi yang sesuai, melaksanakan
eksperimen untuk mendapatkan
Membantu siswa dalam merencanakan dan
menyiapkan karya yang sesuai sebagai
hasil pelaksanaan tugas, misalnyaberupa
laporan, video, dan model serta
membantumereka untuk berbagi tugas
dengan temannya
Mengevaluasi proses
pemecahan masalah
atau evaluasi terhadap penyelidikan
mereka dan prosesproses yang mereka
tempuh atau gunakan
Menurut Fogarty, dalam (Supinah, 2010: 22-31) proses pembelajaran
dengan Problem Based Learning (PBL) dijalankan dengan delapan langkah,
seperti berikut:
1. Menemukan masalah
Siswa diberikan masalah yang tidak terdefinisikan secara jelas
(ill-defined) yang diangkat dari konteks kehidupan sehari-hari. Pernyataan
permasalahan diungkapkan dengan kalimat-kalimat yang pendek dan
memberikan sedikit faktafakta di seputar konteks permasalahan.
Pernyataan permasalahan diupayakan memberikan peluang pada siswa
untuk melakukan penyelidikan. Siswa menggunakan kecerdasan inter dan
intra-personal untuk saling memahami dan saling berbagi pengetahuan
antar anggota kelompok terkait dengan permasalahan yang dikaji.
2. Mendefinisikan masalah
Siswa mendefinisikan masalah menggunakan kalimatnya sendiri.
Permasalahan dinyatakan dengan parameter yang jelas. Siswa membuat
beberapa definisi sebagai informasi awal yang perlu disediakan. Pada
langkah ini, siswa melibatkan kecerdasan intra-personal dan kemampuan
awal yang dimiliki dalam memahami dan mendefinisikan masalah.
3. Mengumpulkan fakta-fakta.
Siswa membuka kembali pengalaman yang sudah diperolehnya
dan pengetahuan awal untuk mengumpulkan fakta-fakta. Siswa melibatkan
kecerdasan majemuk yang dimiliki untuk mencari informasi yang
berhubungan dengan permasalahan. Pada tahap ini, siswa
mengorganisasikan informasi-informasi dengan menggunakan istilah “apa
yang diketahui (know)”, “apa yang dibutuhkan (need to know)”,dan “apa
yang dilakukan (need to do)” untuk menganalisis permasalahan dan fakta
4. Menyusun dugaan sementara
Siswa menyusun jawaban-jawaban sementara terhadap
permasalahan dengan melibatkan kecerdasan logic-mathematical. Siswa
juga melibatkan kecerdasan interpersonal yang dimilikinya untuk
mengungkapkan apa yang dipikirkannya, membuat hubungan-hubungan,
jawaban dugaannya, dan penalaran mereka dengan langkah-langkah yang
logis.
5. Menyelidiki
Siswa melakukan penyelidikan terhadap data-data dan informasi
yang diperolehnya berorientasi pada permasalahan. Siswa melibatkan
kecerdasan majemuk yang dimilikinya dalam memahami dan memaknai
informasi dan faktafakta yang ditemukannya. Guru membuat struktur
belajar yang memungkinkan siswa dapat menggunakan berbagai cara
untuk mengetahui dan memahami (multiple ways of knowing and
understanding) dunia mereka.
6. Menyempurnakan permasalahan yang telah didefinisikan
Siswa menyempurnakan kembali perumusan masalah dengan
merefleksikannya melalui gambaran nyata yang mereka pahami. Siswa
melibatkan kecerdasan verbal-linguistic memperbaiki pernyataan rumusan
masalah sedapat mungkin menggunakan kata yang lebih tepat. Perumusan
ulang permasalahan lebih memfokuskan penyelidikan, dan menunjukkan
secara jelas fakta-fakta dan informasi yang perlu dicari, serta memberikan
tujuan yang jelas dalam menganalisis data.
7. Menyimpulkan alternatif-alternatif pemecahan secara kolaboratif
Siswa berkolaborasi mendiskusikan datadan informasi yang
relevan dengan permasalahan. Setiap anggota kelompok secara kolaboratif
mulai bergelut untuk mendiskusikan permasalahan dari berbagai sudut
pandang. Pada tahap ini proses pemecahan masalah berada pada tahap
menyimpulkan alternatif-alternatif pemecahan yang dihasilkan dengan
alternatif pemecahan masalah yang menghasilkan alternatif yang lebih
baik ketimbang dilakukan secara individual.
8. Menguji solusi permasalahan
Siswa menguji alternatif pemecahan yang sesuai dengan
permasalahan aktual melalui diskusi secara komprehensip antar anggota
kelompok untuk memperoleh hasil pemecahan terbaik. Siswa
menggunakan kecerdasan majemuk untuk menguji alternatif pemecahan
masalah dengan membuat sketsa, menulis, debat, membuat plot untuk
mengungkapkan ide-ide yang dimilikinya dalam menguji alternatif
pemecahan.
Pembelajaran dengan Problem Based Learning (PBL) memuat
langkah-langkah yang koheren dengan proses pemecahan masalah. Telah dibahas
sebelumnya empat tahap strategi pemecahan masalah dikemukakan Polya
(1981) yaitu yaitu: (1) memahami masalah, (2) menyusun rencana pemecahan,
(3) menjalankan rencana pemecahan, (4) menguji kembali penyelesaian yang
diperoleh.
2.4.6 Karakteristik Model Problem Based Learning (PBL)
Menurut Satyasa (2008: 2-3), karakteristik PBL adalah sebagai berikut.
a. Belajar dimulai dengan suatu permasalahan,
b. Memastikan bahwa permasalahan yang diberikan berhubungan dengan
dunia nyata siswa,
c. Mengorganisasikan pelajaran di seputar permasalahan, bukan di seputar
disiplin ilmu,
d. Memberikan tanggung jawab sepenuhnya kepada siswa dalam mengalami
secara langsung proses belajar mereka sendiri,
e. Menggunakan kelompok kecil, dan
f. Menuntut siswa untuk mendemonstrasikan apa yang telah mereka pelajari
dalam bentuk produk atau kinerja (performance).
2.4.7 Pelaksanaan Model Problem Based Learning (PBL)
Menurut Wardhani (2006: 10-18), prinsip-prinsip yang harus diacu dalam
a. Tugas-tugas perencanaan
Perencanaan yang dilakukan guru akan memudahkan pelaksanaan
berbagai tahap kegiatan pembelajaran dan pencapaian tujuan yang
diinginkan, yaitu antara lain sebagai berikut.
1. Menetapkan tujuan pembelajaran
Guru menetapkan tujuan pada saat perencanaan dan tujuan itu
dikomunikasikan dengan jelas kepada siswa pada tahap berinteraksi.
2. Merancang situasi masalah yang sesuai
Hal penting yang harus dilakukan guru adalah adalah merancang
situasi masalah yang sesuai dan merencanakan cara-cara untuk memberi
kemudahan bagi siswa dalam melaksanakan proses perencanaan
penyelesaian masalah.
Situasi masalah yang baik memenuhi lima kriteria, yaitu:
1. Masalah harus autentik, artinya masalah harus lebih berakar pada
dunia nyata daripada berakar padaprinsip-prinsip disiplin ilmu
tertentu
2. Masalah seharusnya tak terdefinisi secara ketat dan dapat
menghadapkan siswa pada suatu makna misteri atau teka-teki, hal
tersebut akan mencegah jawaban sederhana dan dapat
menimbulkan adanya alternatif pemecahan yang masing-masing
alternatif memiliki kekuatan dan kelemahan.
3. Masalah hendaknya bermakna bagi siswa dan sesuai dengan tingkat
perkembangan intelektual mereka, artinya masalah yang diberikan
terjangkau oleh pikiran siswa dan modal dasar untuk
menyelesaikan masalah sudah dimiliki siswa.
4. Masalah hendaknya cukup luas untuk memungkinkan guru
menggarap tujuan pembelajaran mereka dan masih cukup terbatas
untuk membuat layaknya pelajaran dalam waktu, tempat dan
5. Masalah hendaknya efisien dan efektif bila diselesaikan secara
kelompok, artinya masalah itu memang layak dikerjakan dalam
kelompok dan dengan dilaksanakan dalam kelompok akan lebih
lancar dibandingkan kalau dilaksanakan secara individu, bukan
sebaliknya.
3. Mengorganisasi sumberdaya dan rencana logistik
Dalam hal ini tugas guru adalah mengorganisasi sumber daya dan
merencanakan kebutuhan untuk penyelidikan siswa. Guru bertanggung
jawab dalam memasok bahan yang diperlukan dalam kegiatan. Bila bahan
yang dibutuhkan tersedia di sekolah maka tugas perencanaan yang utama
oleh guru adalah mengumpulkan bahan-bahan tersebut dan menyediakan
bahan tersebut untuk siswa.
b. Tugas interaktif
1. Mengorientasikan siswa pada situasi masalah
Pada saat pembelajaran dimulai guru seharusnya
mengkomuni-kasikan tujuan pembelajaran dengan jelas, menumbuhkan sikap-sikap
positif terhadap pelajaran, dan menguraikan apa yang diharapkan untuk
dilakukan oleh siswa. Pada tahap orientasi ini, guru perlu menyajikan
situasi masalah dengan hati-hati atau dengan prosedur yang jelas dan
melibatkan siswa dalam identifikasi masalah. Situasi masalah harus
disampaikan kepada siswa semenarik dan setepat mungkin. Dalam hal ini
yang penting diperhatikan guru adalah bahwa kegiatan orientasi pada
situasi masalah akan menentukan pada tahap penyelidikan berikutnya,
sehingga presentasinya harus menarik minat siswa dan menghasilkan rasa
ingin tahu.
2. Mengorganisasi siswa untuk belajar
PBL membutuhkan pengembangan keterampilan kolaborasi antar
siswa dalam kegiatan penyelidikan, sehingga kegiatan penyelidikan perlu
dilakukan secara bersama. Untuk itu, disarankan agar guru
mengorganisasikan siswa dalam kelompok-kelompok belajar kooperatif.
dicapai dan telah ditetapkan oleh guru dalam suatu kegiatan penyelidikan.
Tantangan bagi guru padatahap ini adalah mengupayakan agar semua
siswa aktif terlibat dalam sejumlah kegiatan penyelidikan, dan semua
penyelidikan dalam sub-sub topik itu akan menghasilkan penyelesaian
masalah umum yang telah dipilih atau ditetapkan oleh guru dan siswa. Jika
tugas penyelidikan cukup besar dan rumit maka tugas guru adalah
membantu siswa menghubungkan tugas dan aktivitas penyelidikan dengan
jadwal waktu yang dapat ditampilkan dalam bentuk diagram jadwal
kegiatan.
3. Membimbing penyelidikan individual maupun kelompok dalam mengembangkan dan menyajikan hasil karya
Teknik penyelidikan dalam rangka memecahkan masalah dapat
dilakukan secara mandiri, berpasangan, atau dalam kelompok kecil. Pada
intinya kegiatan penyelidikan mencakup: pengumpulan data dan
eksperimentasi (sesungguhnya atau secara mental), berhipotesis,
menjelaskan hipotesa, memberikan pemecahan dan mengembangkan atau
menyajikan artefak dan pameran.
4. Pengumpulan data dan eksperimentasi.
Pada tahap ini guru mendorong siswa untuk mengumpulkan data dan
melaksanakan eksperimentasi mental atau eksperimen sesungguhnya
sampai mereka betul-betul memahami dimensi-dimensi situasi
masalahnya.
Tujuannya adalah agar siswa mengumpulkan cukup informasi untuk
menciptakan dan membangun ide mereka sendiri. Untuk itu, guru dapat
membantu siswa dalam mengumpulkan informasi dari berbagai sumber
dan mengajukan pertanyaanpertanyaan yang membuat siswa memikirkan
tentang masalah dan jenis-jenis informasi yang dibutuhkan agar siswa
sampai pada; (1) pemecahan yang dapat dipertahankan; (2) berhipotesis,
menjelaskan dan memberi pemecahan. Pada tahap ini guru diharapkan
mendorong siswa untuk mengemukakan ideidenya dalam bentuk hipotesis,
pengumpulan informasi dan eksperimentasi; (3) Guru diharapkan
menerima sepenuhnya semua ide dan gagasan siswa. Selanjutnya guru
mengajukan pertanyaanpertanyaan yang dapat membuat siswa memikirkan
kelayakan dari hipotesis, penjelasan, pemecahan dan kualitas informasi
yang telah mereka kumpulkan dan ajukan; (4) mengembangkan dan
menyajikan artefak serta pameran. Artefak lebih dari sekedar laporan
tertulis, yang meliputi berbagai karya nyata, misalnya: gambar video yang
menunjukkan situasi masalah dan pemecahan yang diusulkan; (5)
menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah,pada tahap ini
guru meminta siswa untuk melakukan rekonstruksi pemikiran dan aktivitas
mereka selama tahaptahap pelajaran yang telah dilewatinya. Kapan mereka
pertama kali memperoleh pemahaman yangjelas tentang situasi masalah?
Kapan mereka merasa yakin dalam pemecahan tertentu? Mengapa mereka
dapat menerima penjelasan lebih awal dibanding lainnya? Mengapa
mereka menolak beberapa penjelasan? Mengapa mereka mengadopsi
pemecahan final mereka? Apakah mereka telah mengubah pemikirannya
tentang situasi masalah itu ketika penyelidikan berlangsung? Apa
penyebab perubahan itu? Apakah mereka akan melakukan hal berbeda di
waktu yang akan datang?
2.4.8 Tugas Manajemen dalam model Problem Based Learning (PBL) Berikut ini diuraikan tentang manajemen pada PBL.
a. Menangani situasi multi tugas
Pada situasi kelas dengan model PBL, beraneka macam tugas dapat
terjadi secara serentak, misalnya: beberapa kelompok siswa belajar di
dalam kelas, sedangkan lainnya berada di perpustakaan, dan yang lain
lagi mungkin di luar sekolah, tergantung subtopik yang sedang dipelajari.
Dapat pula terjadi pembelajaran semuanya di dalam kelas namun setiap
pasangan atau kelompok kecil berdiskusi sesuai minat atau topik
masing-masing yang saling berbeda antar kelompok, sebelum akhirnya
Agar suatu kelas dengan multi tugas berjalan baik maka kepada
siswa harus diajarkan bagaimana bekerja secara mandiri dan bagaimana
bekerjasama dalam kelompok kecil maupun secara klasikal. Aturan yang
jelas sangat dibutuhkan agar siswa mengetahui kapan mereka diharapkan
berbicara satu sama lain dan kapan diharapkan mereka mendengarkan
orang lain.
Guru diharapkan mampu mengembangkan cara-cara yang efektif
untuk mengingatkan dan membantu siswa pada saat transisi dari satu tipe
tugas belajar ke tipe tugas belajar lainnya. Penulisan jadwal waktu di
papan tulis dapat membantu. Pada tahap ini guru juga harus memantau
seberapa jauh tugas-tugas telah dikerjakan oleh siswa atau sekelompok
siswa. Hal itumemerlukan kesiapsiagaan yang tinggi.
b. Penyesuaian terhadap kecepatan penyelesaian masalah yang berbeda Masalah yang paling rumit dalam model Problem Based Learning
(PBL) yang sering dihadapi guru adalah menangani individu atau
kelompok yang menyelesaikan tugasnya lebih awal (cepat) atau lebih
akhir (lambat). Bagi siswa yang lebih awal menyelesaikan tugas dan
memliki waktu luang dapat diberi bacaan khusus, atau permainan yang
dapat diselesaikan sendiri, atau mengerjakan proyek lain, atau memberi
kesempatan untuk membantu teman lain.
Bagi siswa yang lebih lambat dalam menyelesaikan tugas dapat
diberikan waktu tambahan dan hal ini dapat berakibat siswa yang lebih
awal mengerjakan tugas memiliki waktu luang lebih panjang lagi. Cara
lain adalah dengan memberi kesempatan untuk menyelesaikan tugas di
luar jam sekolah atau pada akhir pekan. Hal ini sering menimbulkan
masalah, apalagi bila tugas dikerjakan secara tim, karena akan sulit bagi
mereka untuk berkumpul di luar jam sekolah, dan terlebih lagi siswa
yang lambat mengerjakan tugas biasanya justru siswa yang sulit bekerja
c. Memantau dan mengelola kerja siswa
Berbeda dengan model pembelajaran lain yang pada umumnya
semua siswa menyelesaikan tugas yang sama pada waktu yang sama,
PBL menuntut multi tugas, multi artefak, dan seringkali berbeda-beda
waktu penyelesaiannya. Akibatnya, pemantauan dan pengelolaan
menjadi sangat rumit. Untuk mengatasinya ada tiga hal yang harus
diperhatikan, yaitu: (a) persyaratan kerja untuk semua siswa harus secara
jelas ditetapkan, (b) pekerjaan siswa harus dipantau dan diberikan
masukan atau balikan saat pekerjaan sedang berlangsung, (c) rekaman
atau catatan harus tetap dilakukan guru.
d. Mengelola bahan dan peralatan
PBL pada umumnya menuntut perhatian lebih besar pada aspek
pengelolaan atau manajemen kelas karena melibatkan penggunaan
banyak bahan dan alat-alat penyelidikan. Untuk itu guru perlu
mengembangkan prosedur pengorganisasian, penyimpanan dan
pendistribusian bahan-bahan. Banyak guru meminta siswa untuk
membantunya dalam proses ini, namun guru tetap harus mengontrolnya
agar kegiatan dapat berjalan lancar.
e. Mengendalikan perpindahan dan tingkah laku di luar kelas
Bila kegiatan memerlukan pelaksanaan kegiatan di luar kelas tetapi
masih di sekolah, misalnya di halaman, di perpustakaan, di laboratorium
komputer atau laboratorium lain, maka harus dipastikan bahwa siswa
memahami prosedur yang berlaku saat proses pindah tempat dan aturan
yang harus ditaati pada penggunaan fasilitas yang dituju. Guru harus
memastikan bahwa perpindahan siswa tidak mengganggu kelas lain.
Begitu pula jika kegiatan berlangsung di masyarakat, maka guru harus
memastikan bahwa siswa telah mengetahui etika dalam melakukan
kegiatan, misalnya etika dalam wawancara, etika dalam melihat dokumen
2.4.9 Teknik Penilaian dalam model Problem Based Learning (PBL) Penilaian pembelajaran menurut paradigma konstruktivistik
merupakan bagian yang utuh dengan pembelajaran itu sendiri. Bertolak dari
pandangan ini dan mencermati tahapan yang harus dilalui siswa dalam
belajar dengan model PBL,maka penilaian PBL dilaksanakan secara
terintegrasi dengan proses pembelajaran. Oleh karenanya, penilaian pembelajaran dilaksanakan secara nyata dan autentik. O’Malley dan Pierce dalam Satyasa (2008:8), mendefinisikan authentic assesment sebagai bentuk
penilaian di kelas yang mencerminkan proses belajar,hasil belajar, motivasi,
dan sikap terhadap kegiatan pembelajaran yang relevan. Lebih lanjut
dikemukakan tentang penilaian yang relevan antara lain sebagai berikut.
a. Penilaian kinerja siswa
Pada penilaian kinerja ini, siswa diminta untuk unjuk kerja atau
mendemonstrasikan kemampuan melakukan tugas-tugas tertentu, seperti:
menulis karangan, melakukan suatu eksperimen, menginterpretasikan
jawaban pada suatu masalah, memainkan suatu lagu, atau melukis suatu
gambar.
b. Portofolio siswa
Portfolio yang merupakan kumpulan yang sistematis pekerjaan-pekerjaan
siswa yang dianalisis untuk melihat kemajuan belajar dalam kurun waktu
tertentu dalam kerangka pencapaian tujuan pembelajaran. Penilaian
dengan portfolio dapat dipakai untuk penilaian pembelajaran yang
dilakukan secara kolaboratif. Penilaian kolaboratif dalam PBL dilakukan
dengan cara evaluasi diri (selfassessment) dan (peer-assessment).
Self-assessment adalah penilaian yang dilakukan oleh siswa itu sendiri
terhadap usaha-usahanya dan hasil pekerjaannya dengan merujuk pada
tujuan yang ingin dicapai oleh siswa itu sendiri dalam belajar.
Peer-assessment adalah penilaian dimana siswa berdiskusi untuk memberikan
penilaian terhadap upaya dan hasil penyelesaian tugas-tugas yang telah
dilakukannya sendiri maupun oleh teman dalam kelompoknya. Portofolio
Hasil karya yang dapat dimasukkan sebagai portofolio siswa misalnya
adalah contoh artefak, artikel jurnal, refleksi yang mewakili apa yang telah
dilakukan siswa pada setiap mata pelajaran. Portofolio tidak hanya
berfungsi sebagai alat penilaian tetapi juga sebagai alat untuk membantu
siswa melakukan refleksi diri tentang apa yang telah dan belum berhasil
dipelajarinya.
c. Penilaian potensi belajar
Penilaian yang diarahkan untuk mengukur potensi belajar siswa, yaitu
mengukur kemampuan yang dapat ditingkatkan dengan bantuan guru atau
teman-temannya yang lebih maju. Hal itu merupakan pengaruh dari ide
Vigostsky tentang ZPD (Zone Proximal Development) atau zona
perkembangan terdekat, yaitu bahwa pada dasarnya siswa dapat
mengerjakan tugas-tugas yang belum pernah dipelajari dengan bantuan
orang dewasa atau teman sebaya yang lebih mampu. PBL yang memberi
tugas-tugas pemecahan masalah memungkinkan siswa untuk
mengembangkan dan mengenali potensi dan kesiapan belajarnya.
d. Penilaian usaha kelompok
Menilai usaha kelompok seperti yang dilakukan pada pembelajaran
kooperatif dapat dilakukan pada PBL. Penilaian usaha kelompok
mengurangi kompetisi merugikan yang sering terjadi, misalnya
membandingkan siswa dengan temannya.
2.5Kelebihan dan Kelemahan Model Problem Based Learning (PBL)
Menurut (Shoimin, 2013: 132), kelebihan dan kelemahan model Problem
Based Learning (PBL)
2.5.1 Kelebihan Model Problem Based Learning (PBL)
1. Siswa didorong untuk memiliki kemampuan memecahkan masalah
dalam situasi nyata.
2. Siswa memiliki kemampuan membangun pengetahuannya sendiri
3. Pembelajaran berfokus pada masalah sehingga materi yang tidak ada
hubungannya tidak perlu dipelajari oleh siswa. Hal ini mengurangi
beban siswa dengan menghafal atau menyimpan informasi.
4. Terjadi aktifitas ilmiah pada siswa melalui kerja kelompok.
5. Siswa terbiasa menggunakan sumber-sumber pengetahuan, baik dari
perpustakaan, internet, wawancara, dan observasi.
6. Siswa memiliki kemampuan menilai kemajuan belajarnya sendiri.
7. Siswa memiliki kemampuan untuk melakukan komunikasi ilmiah
dalam kegiatan diskusi atau presentasi hasil pekerjaan mereka.
8. Kesulitan belajar sisqwa secara individual dapat diatasi melalui kerja
kelompok dalam bentuk peer teaching.
2.5.2 Kelemahan Model Problem Based Learning (PBL)
1. PBL tidak dapat diterapkan untuk setiap materi pelajaran, ada bagian
guru berperan aktif dalam menyajikan meteri. PBL lebih cocok untuk
pembelajaran yang menuntut kemampuan tertentu yang kaitannya
dengan pemecahan masalah.
2. Dalam suatu kelas yang memiliki tingkat keragaman siswa yang tinggi
akan terjadi kesulitan dalam pembagian tugas.
2.5.3 Model Problem Based Learning (PBL)
2.5.4 Solusi dari kelemahan Model Problem Based Learning (PBL)
1. Pemilihan model pembelajaran, materi dan soal hendaknya dalam
pembelajaran lebih mengaktifkan siswa. Agar siswa bisa berbuat
dan merasakan, sehingga akan menghasilkan pemikiran kritis dari
diri siswa tinggi.
2. Agar optimal jumlah anggota kelompok 2 - 4 siswa.
3. Pemilihan soal dan materi pembelajaran hendaknya diperbarui
2.6 Model Pembelajaran Konvensional
Model pembelajaran konvensional merupakan model pembelajaran yang
biasa digunakan guru dalam mengajar dimana siswa sebagai menerima informasi
menerangkan, memberikan contoh-contoh soal sekaligus langkah-langkah untuk
menyelesaikan soal. (Sabri 2007: 52).
Kelebihan dan Kelemahan Model Pembelajaran Konvensional menurut
Sabri ( 2007: 53).
a. Kelebihan model pembalajaran konvensional, terutama:
1. Berbagai informasi yang tidak mudah ditemukan di tempat lain.
2. Menyampaikan informasi dengan cepat.
3. Membangkitkan minat akan informasi.
4. Mengajari siswa yang cara belajar terbaiknya dengan mendengarkan.
5. Mudah digunakan dalam proses belajar mengajar.
b. Kelemahan pembelajaran konvensional adalah sebagai berikut:
1. Tidak semua siswa memiliki cara belajar terbaik dengan
mendengarkan.
2. Sering terjadi kesulitan untuk menjaga agar siswa tetap tertarik
dengan apa yang dipelajari.
3. Para siswa tidak mengetahui apa tujuan mereka belajar pada hari itu.
4. Penekanan sering hanya pada penyelesaian tugas.
5. Daya serapnya rendah dan cepat hilang karena bersifat menghafal.
2.7 Penelitian yang Relevan
Penelitian yang dilakukan M. Dewi Kartika, W. Santyasa, W. Warpala (2014) yang berjudul “PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH TERHADAP KETERAMPILAN BERPIKIR KRITIS SISWA”.
Penelitian ini bertujuan (1) mendeskripsikan perbedaan keterampilan berpikir
kritis siswa antara kelas PBL dengan kelas konvensional, (2) mendeskripsikan
perbedaan keterampilan berpikir kritis siswa antara kelas PBL dengan kelas
konvensional. Penelitian dilakukan pada sejumlah siswa kelas X SMK Negeri
1 Denpasar dengan 2 kelas sampel. Pemilihan sampel dilakukan dengan teknik
Simple Random Sampling. Penelitian menggunakan rancangan Non Equivalent
Pretest-Posttest Control Group Design. Pengumpulan data menggunakan 2
jenis tes, yaitu tes pemahaman konsep fisika dan tes keterampilan berpikir
MANCOVA dengan skor pre-tes pemahaman konsep dan skor pre-test
keterampilan berpikir kritis sebagai kovariat. Pengujian hipotesis nol dilakukan
pada taraf signifikansi 5%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) terdapat
perbedaan pemahaman konsep matematika dan keterampilan berpikir kritis
siswa antara kelas PBL dengan kelas konvensional (2) terdapat perbedaan
pemahaman konsep fisika antara siswa kelas PBL dengan kelas konvensional
(3) terdapat perbedaan keterampilan berpikir kritis siswa antara kelas PBL
dengan kelas konvensional.
Penelitian lain oleh Hanifatur Rosyidah, Agus Suyudi, Mudjihartono yang berjudul “PENGARUH PENDEKATAN BERBASIS INDUKTIF TIPE PROBLEM BASED LEARNING (PBL) TERHADAP OPTIMALISASI
KEMAMPUAN BERPIKIR KRIRTIS FISIKA SISWA KELAS X SMAN 8
MALANG PENGARUH PEMBELAJARAN”. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui pemahaman konsep fisika siswa yang menggunakan pendekatan
berbasis induktif tipe PBL lebih baik daripada siswa yang menggunakan model
konvensional. Penelitian ini dilakukan di SMAN 8 Malang. Metode penelitian
yang digunakan adalah quasy experiment dengan posttest control group design.
Pengambilan sampel menggunakan teknik cluster random sampling, siswa
kelas X MIA 3 sebagai kelas eksperimen menggunakan pendekatan berbasis
induktif tipe PBL dan siswa kelas X MIA 5 sebagai kelas kontrol
menggunakan model konvensional. Instrumen yang digunakan yaitu tes
pemahaman konsep fisika berupa soal uraian. Data instrumen tes dianalisis
menggunakan analisis uji-t dan hasil perhitungan t hitung > t tabel yaitu
3,4061>1,9953 pada taraf signifikansi 0,05, sehingga disimpulkan Prmahaman
berpikr kritis kelas eksperimen lebih baik daripada kelas kontrol.
Penelitian lain oleh Dasa Ismaimuza yang berjudul “PENGARUH PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH DENGAN STRATEGI
KONFLIK KOGNITIF TERHADAP KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS MATEMATIS DAN SIKAP SISWA SMP”. Kemampuan berpikir kritis matematis, dan sikap positif siswa terhadap matematika merupakan
memiliki kemampuan ini akan membantu siswa dalam memecahkan masalah
matematika, maupun masalah sehari-hari. Salah satu cara mengembangkan
kemampuan ini adalah dengan pembelajaran berbasis masalah dengan
strategi konflik kognitif (PBLKK). PBLKK merupakan pembelajaran yang
berdasarkan masalah, dimana pada masalah yang dikemukakan terdapat
fakta, keadaan, situasi yang mempertentangkan struktur kognisi siswa.
Dalam situasi ini terjadi konflik antara pengetahuan yang dimiliki siswa
dengan situasi yang sengaja disediakan. Permasalahan utama dalam
penelitian ini adalah bagaimana kemampuan berpikir kritis matematis dan
sikap siswaSMP kelas VIII Palu berdasarkan model pembelajaran, PAM siswa,
dan level sekolah. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental. Populasi
dalam penelitian ini adalah siswa SMP kelas VIII di kota Palu. Instrumen
yang digunakan dalam penelitian ini meliputi tes kemampuan matematika, nilai
rapor, tes kemampuan berpikir kritis matematis, skala sikap siswa
terhadap matematika. Tujuan dari penelitian yang akan dilakukan adalah:
mengkaji dan menganalisis perbedaan kemampuan berpikir kritis matematis,
sikap siswa siswa yang menerima pembelajaran berbasis masalah dengan
strategi konflik kognitif (PBLKK) dan pembelajaran konvensional (KV)
ditinjau dari: a) keseluruhan, pengetahuan awal siswa (tinggi, sedang, dan
rendah), dan level sekolah.
Hasil penelitian yang dilakukan Yosafat S Wongkar, Tommy M Palapa, Yeremia S Mokosuli (2014) yang berjudul “PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN PROBLEM BASED LEARNING (PBL) BERBASIS
WISATA LOKAL TERHADAP PENINGKATAN KEMAMPUAN
BERPIKIR KRITIS SISWA PADA KONSEP PENCEMARAN LINGKUNGAN DI SMA NEGERI 7 MANADO”. Penggunaan model pembelajaran yang tidak kreatif, inovatif dan menyenangkan serta kurang
memberdayakan kemampuan berpikir kritis siswa dalam kelas, menyebabkan
hasil belajar siswa rendah. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji penerapan
model pembelajaran Problem Based Learning (PBL) berbasis wisata lokal
yang digunakan adalah metode eksperimen. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa nilai rata-rata post-test kelas eksperimen adalah 87 lebih tinggi
dibandingkan nilai rata-rata post-test kelas kontrol yaitu 64,2. Kesimpulannya,
penggunaan model pembelajaran Problem Based Learning (PBL) berbasis
wisata lokal dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa pada konsep
pencemaran lingkungan di SMA Negeri 7 Manado.
Penelitian lain oleh Gede Putra Adnyana, S.Pd., dkk (2009) yang berjudul “MENINGKATKAN AKTIVITAS BELAJAR, KETERAMPILAN BERPIKIR KRITIS, DAN PEMAHAMAN KONSEP BIOLOGI SISWA
MELALUI PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa implementasi model pembelajaran berbasis masalah pada mata pelajaran Biologi, dapat
meningkatkan: 1) aktivitas belajar siswa, 2) keterampilan berpikir kritis siswa,
dan 3) pemahaman konsep Biologi siswa, serta 4) siswa memberikan respon
positif terhadap model pembelajaran yang diterapkan. Peningkatan
keterampilan berpikir kritis hampir terjadi disemua indikator, seperti
merumuskan masalah, memberikan argumentasi, melakukan induksi, dan
memberikan penilaian, kecuali keterampilan melakukan deduksi yang
cendrung menurun dari siklus I ke siklus II. Peningkatan pemahaman konsep
biologi siswa dapat dilihat dari peningkatan rerata nilai pada siklus I sebesar
2.8 Kerangka Berpikir
Gambar 2.2 Kearangka Berpikir
Kemampuan berpikir kritis adalah kemampuan berpikir yang menguji,
menghubungkan, dan mengevaluasi semua aspek dalam mengelompokkan,
mengorganisasikan, mengingat, menganalisis informasi, berpikir yang
beralasan dan reflektif dalam memecahkan suatu masalah. Akibatnya ketika
siswa mengerjakan soal yang berbeda dengan yang diberikan contoh oleh guru
atau siswa harus mencari konsep yang belum diketahui dalam soal, siswa
belum mampu mengerjakannya kerena siswa tidak dilatih untuk berfikir tingkat
tinggi. Salah satu cara agar siswa mudah memahami konsep matematika dan
berpikir kritis, yaitu dengan melibatkan siswa secara aktif dalam pembelajaran.
Pembelajaran matematika yang melibatkan siswa aktif dapat meningkatkan
kemampuan berpikir siswa dalam memahami sebuah konsep serta dapat
menyelesaikan masalah dengan keterampilan-keterampilan dan ilmu
pengetahuan yang telah dimiliki. Para guru dapat mencoba berbagai model
yang dapat membangkitkan kemampuan berpikir siswa, salah satunya adalah Model
Pembelajaran Konvensional
Berpikir Kritis Matematika
Siswa model
Problem Based Learning
Posttest
Kelas Eksperimen
Kelas
Kontrol
Pretest
Kondisi
model Problem Based Learning (PBL) adalah strategi pembelajaran yang
berpusat pada siswa di mana siswa mengelaborasikan pemecahan masalah
dengan pengalaman sehari-hari.
2.9 Hipotesis Penelitian
Berdasarkan kerangka berpikir diatas maka dirumuskan suatu hipotesis
yaitu,
Ho : Tidak ada perbedaan yang signifikan penggunaan model Problem Based
Learning (PBL) terhadap kemampuan berpikir matematika siswa kelas 4
SDN Kebumen 01 dan kelas IV SDN Kebumen 03.
Ha : Ada perbedaan yang signifikan model Problem Based Learning (PBL)
terhadap kemampuan berpikir matematika siswa kelas IV SDN Kebumen 01