• Tidak ada hasil yang ditemukan

STATUS TERKINI PENANGGULANGAN KEBAKARAN hilmi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "STATUS TERKINI PENANGGULANGAN KEBAKARAN hilmi "

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

STATUS TERKINI PENANGGULANGAN KEBAKARAN HUTAN

DAN LAHAN BERDASARKAN KARAKTERISTIK SUBSTRAT

(STUDI KASUS DI PROVINSI RIAU)

Oleh:

Eko Sutrisno

Mahasiswa Pasca Sarjana Ilmu Lingkungan Universitas Riau Jln. Pattimura No. 09 Gedung I Gobah, Pekanbaru

Email :ekokuoksutrisno@gmail.com

Abstrak

Kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di Provinsi Riau, lebih didasari oleh motif ekonomi. Pengolahan dan eksploitasi sumber daya alam yang ada tidak dibarengi dengan pengetahuan mengenai karakteristik sumber daya alam yang akan diolah. Hutan dan lahan yang terbakar pada umumnya dibakar sebagai tahap awal pembukaan lahan untuk perkebunan baik itu milik koorporasi maupun perorangan. Jika dikategorikan kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di provinsi Riau sebagai bencana, maka sudah seyogyanya menjadi tanggung jawab kita untuk melakukan pencegahan dan pengendalian jika hal itu terjadi. Mengingat wilayah Riau didominasi oleh sebaran gambut, perlu pengetahuan dan teknologi yang tepat guna dalam pengolahan dan pengelolaan sumber daya alam. Pengambilan kebijakan dalam hal eksploitasi, perlu dipertimbangkan secara matang agar sejalan dengan program berwawasan lingkungan.

Kata kunci : eksploitasi, kebakaran, kebijakan

PENDAHULUAN

Pada Tanggal 01 Januari 2001, dikenal sebagai pencanangan otonomi daerah. Hal

ditandai dengan diberlakukannya Undang – Undang Otonomi Daerah No. 22 tahun 1999

juncto Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah serta

Undang-Undang No. 25 tahun 1999 juncto Undang-Undang-Undang-Undang No. 33 tahun 2004 tentang

Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Kebijakan otonomi daerah

tersebut memberikan wewenang yang lebih luas sekaligus kewajiban pemerintah daerah

untuk mengatur dan mengurus sendiri, yaitu dalam hal urusan pemerintah dan kepentingan

masyarakat menurut aspirasi masyarakat setempat. Implikasi dari kebijakan

undang-undang tersebut mendorong perintah daerah memaksimalkan potensi daerah (baik potensi

sumber daya alam dan sumber daya manusia) untuk membangun daerah maupun untuk

(2)

daerah mengharuskan setiap daerah harus mampu bersaing baik dalam skala regional

maupun nasional.

Provinsi Riau merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang terletak di tengah

pulau Sumatera dan terkenal dengan pendapatan asli daerahnya yang tinggi. Provinsi ini

memiliki sumber daya alam, baik kekayaan yang terkandung di perut bumi, berupa

minyak bumi dan gas, serta emas, maupun hasil hutan dan perkebunannya. Seiring dengan

diberlakukannya otonomi daerah, secara bertahap mulai diterapkan sistem bagi hasil atau

perimbangan keuangan antara pusat dengan daerah. Aturan baru ini memberi batasan tegas

mengenai kewajiban penanam modal, pemanfaatan sumber daya, dan bagi hasil dengan

lingkungan sekitar.

Perkebunan yang berkembang adalah perkebunan karet dan perkebunan kelapa

sawit, baik itu yang dikelola oleh negara ataupun oleh rakyat. Selain itu juga terdapat

perkebunan jeruk dan kelapa. Untuk luas lahan perkebunan kelapa sawit saat ini provinsi

Riau telah memiliki lahan seluas 1.34 juta hektare. Selain itu telah terdapat sekitar 116

pabrik pengolahan kelapa sawit (PKS) yang beroperasi dengan produksi coconut palm

oil (CPO) 3.386.800 ton per tahun (Anonim, 2014).

Pembangunan kehutanan pada hakekatnya mencakup semua upaya memanfaatkan

dan memantapkan fungsi sumber daya alam hutan dan sumber daya alam hayati lain serta

ekosistemnya, baik sebagai pelindung dan penyangga kehidupan dan pelestarian

keanekaragaman hayati maupun sebagai sumber daya pembangunan. Namun dalam

realitanya tiga fungsi utamanya sudah hilang, yaitu fungsi ekonomi jangka panjang, fungsi

lindung, dan estetika sebagai dampak kebijakan pemerintah yang lalu.

Hilangnya ketiga fungsi diatas mengakibatkan semakin luasnya lahan kritis yang

diakibatkan oleh pengusahaan hutan yang mengabaikan aspek kelestarian. Efek

selanjutnya adalah semakin menurunnya produksi kayu hutan non Hak Pengusahaan

Hutan, sementara upaya reboisasi dan penghijauan belum optimal dilaksanakan. Masalah

lain yang sangat merugikan tidak saja provinsi Riau pada khususnya tapi Indonesia pada

umumnya, adalah masalah ilegal logging yang menyebabkan berkurangnya kawasan hutan

serta masalah pengerukan pasir secara liar.

Penebangan hutan yang merajalela telah mengurangi luas hutan secara signifikan,

dari 78% pada 1982 menjadi hanya 33% pada 2005. Rata-rata 160,000 hektare hutan habis

ditebang setiap tahun, meninggalkan 22%, atau 2,45 juta hektar pada tahun 2009 (Anonim,

(3)

telah menyebabkan kabut asap yang sangat mengganggu di provinsi ini selama

bertahun-tahun, dan berimbas ke negara tetangga. Sebagian besar kebakaran hutan diakibatkan oleh

upaya pembakaran yang sengaja dilakukan untuk membuka lahan dalam rangka

pengalihan fungsi lahan dari lahan kehutanan menjadi lahan perkebunan ataupun

pertanian.

Intervensi manusia pun sedemikian merasuk, sehingga sebuah usaha pembukaan

dan alih fungsi lahan dengan aksi membakar menjadi sebuah hal yang mudah dan semakin

semarak dilakukan. Sebaran titik api diperparah dengan lokasi kebakaran berada di lahan

gambut, sehingga sumber api akan sulit sekali dipadamkan.

KARAKTERISTIK SUBSTRAT KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN

Menurut Jikalahari (2013), Sepanjang tahun 2013 hutan alam masih terus ditebang

oleh korporasi berbasis tanaman industri dan korporasi perkebunan kelapa sawit. Selama

kurun 2012-2013, total areal yang ditebang seluas 252.172 hektare. Dibandingkan tahun

sebelumnya deforestasi sebesar 188.000 hektare, sehingga terjadi peningkatan sekitar 64

ribu lebih deforestasi pada tahun 2013. Kini sisa hutan alam tidak lebih dari 1,7 juta

hektare atau tinggal 19 persen dari luas daratan Riau (8,9 juta hektare). Data Jikalahari

menunjukkan bahwa tiga tahun belakangan (2009-2012), Riau kehilangan tutupan hutan

alam sebesar 565.197,8 (0,5 juta) hektare, dengan laju deforestasi per tahun 188 ribu

hektare — setara dengan hilangnya 10.000 kali lapangan futsal per hari. Dan 73,5 persen

kehancuran itu terjadi pada hutan alam gambut yang seharusnya dilindungi.

Melihat jenis dan tipologi lahan dan hutan yang ada di Provinsi Riau, memang

rawan akan bencana kebakaran. Menjadi dilema adalah kemajuan dan pertumbuhan

ekonomi dijadikan alasan untuk mengeksploitasi sumber daya alam yang ada. Dengan

tutupan lahan yang masih cukup banyak, tentunya ini mendukung kebijakan ekstensifikasi.

Melalui konversi hutan ke perkebunan, diharapkan mampu menjadi pemasok bahan baku

industri hilir sektor perkebunan dan kehutanan.

Sebelum kita menentukan teknologi yang akan digunakan dalam hal pengendalian

kebakaran hutan dan lahan, sebaiknya kita memahami faktor – faktor penyebab kebakaran,

yaitu bahan bakar (ukuran, susunan, volume, jenis, kadar air), cuaca, waktu dan topografi

(Purbowaseso, 2004). Dengan pemahaman faktor tersebut, setidaknya kita mampu

meminimalisir terjadinya kebakaran. Dalam implementasinya berupa pemutusan

(4)

Hampir diseluruh kabupaten kota di provinsi Riau, merupakan daerah rawan

kebakaran hutan dan lahan. Untuk menghindari kejadian serupa terulang kembali, perlu

kita pahami karakteristik kebakaran hutan yang terjadi beberapa waktu yang lalu.

1. Kebakaran Pada Lahan Gambut

Menurut Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Riau, sekitar

3.167 hektare lahan terbakar. Daerah yang selalu menjadi langganan kebakaran adalah

Kabupaten Bengkalis, Kabupaten Kepulauan Meranti dan Kabupaten Siak. Daerah

tersebut merupakan sebaran gambut, baik itu yang dapat di dieksploitasi sampai

dengan tipe gambut dalam (wajib konservasi).

Sebenarnya pada kondisi alami lahan gambut sulit terbakar, hal ini dikarenakan

sifat gambut menyerupai spons yang dapat menyerap dan menahan air secara

maksimal. Sifatnya ini membuat lahan gambut tidak mengalami perubahan kondisi

meski iklim sedang hujan ataupun musim kemarau. Keseimbangan ekologisnya akan

terganggu jika adanya konversi lahan atau pembuatan kanal. Pembuatan kanal dan atau

parit merupakan upaya menurunkan muka air tanah sehingga lapisan atas dapat di olah

menjadi lahan tanam.

Pada musim kemarau, kondisi lahan gambut akan sangat kering hingga mencapai

kedalaman tertentu dan menyebabkan mudah terbakar. Sisa tumbuhan yang

terkandung dibawah permukaan lahan gambut merupakan bahan bakar yang dapat

menyebabkan api menjalar di bawah permukaan tanah secara lambat dan dan sulit

dideteksi, dan menimbulkan asap tebal. Kondisi ini diperparah karena bara api berada

beberapa meter di kedalaman tanah sehingga sulit dipadamkan dan menyebabkan asap

hingga berbulan-bulan. Secara alami hanya musim penghujan yang dapat mematikan

api secara total, seiring dengan penambahan volume air tanah dan peningkatan muka

air tanah.

Secara konvensional, penanggulangan bila terjadi kebakaran di lahan gambut

dilakukan secara fisik mekanis. Perlatan yang perlu disiapkan berupa mesin pompa

yang bertekanan tinggi berikut dengan mesin penggerak, drum penampungan air/

pompa air, selang bertekanan panjang sekitar 100 meter, tongkat penyemprot/stik

semprot, masker penahan debu dan asap serta sepatu anti panas (personal equipment).

Pompa air bertekanan tinggi dapat memadamkan api dalam radius yang luas.

Selain memadamkan api, air dari pompa juga mampu mengurangi panas yang

ditimbulkan akibat kebakaran. Dengan selang bertekanan, air yang ditembakkan dapat

(5)

yang terjadi dapat dipadamkan dengan segera. Selang ini bentuknya ramping, ringan,

tebal, tahan panas, dan gampang ditarik semakin memudahkan menuju titik sasaran

kebakaran.

2. Kebakaran Pada Lahan Mineral (Kering)

Tidak berbeda jauh karakteristik kebakaran yang terjadi pada lahan mineral.

Biasanya kebakaran pada tipe lahan ini lebih dominan dikarenakan faktor manusia.

Menurut Dephutbun (2000) terjadinya kebakaran yang disebabkan oleh faktor alam

dipicu oleh pengaruh El Nino yang menyebabkan kekeringan berkepanjangan di

Indonesia. Umumnya kebakaran yang terjadi pada tipe lahan ini adalah lebih sebabkan

oleh kelalaian pada saat pembukaan lahan. Sisa aktifitas pembersihan lahan (land

clearing) yang dikumpulkan pada satu titik menjadi bahan baku yang menghasilkan

kobaran api dan pola bakar yang besar. Biasanya untuk lahan kering kesulitannya

adalah mendapatkan sumber air, dan penentuan arah angin.

Kebakaran yang terjadi pada lahan kering berdasarkan tipe vegetasinya

dibedakan menjadi (Faidil & Dana, 2002):

a. Lahan alang – alang

Prinsip pemadaman pada tipe lahan ini adalah pemadaman langsung, yaitu

pemadaman pada sumber api. Tipe kebakarannya tergolong kecil sampai dengan

sedang. Peralatan yang digunakan cenderung portable dan bersifat mekanis.

b. Lahan semak belukar

Tipe kebakaran pada lahan ini tergolong sedang dengan tinggi api 3 – 8 meter.

Peralatan utama yang digunakan berupa pompa bertekanan tinggi dan perlatan

tanngan untuk memadamkan sisa api.

c. Lahan dengan komposisi dominan pepohonan

Kebakaran pada lahan ini dikategorikan pada tipe sedang sampai dengan besar.

Untuk mengatasi kebakaran pada lahan dengan komposisi pepohonan yang

dominan berprinsip pada penyelamatan daerah prioritas / lahan tersisa. Teknik

pemadaman ini dikenal dengan pemadaman tidak langsung melalui pembuatan

sekat bakar. Jika memungkinkan dengan infrastruktur yang memadai dapat juga

dilakukan dengan pengeboman air dari udara dan modifikasi cuaca.

(6)

INSTRUMEN PENGENDALIAN

Kebakaran hutan dan lahan, bukan sesuatu yang baru lagi di provinsi Riau.

Kejadian ini sudah dimulai pada tahun 1997 dan hampir berulang setiap tahunnya sampai

sekarang. Perlu dipahami dan disadari bahwa kerusakan yang diakibatkan kebakaran hutan

dan lahan bersifat eksplosif, yaitu terjadi dalam waktu relatif cepat dan luas. Untuk

mencegah kejadian ini terus berulang, disamping penguasaan mengenai ilmu dan

teknologi mengenai pemadaman kebakaran lahan dan hutan, pengetahuan mengenai

karakteristik lahan yang akan diolah, peningkatan teknologi pada saat pembersihan lahan

(land clearing) dan yang tidak kalah pentingnya adalah supremasi dan penegakan regulasi

terkait. Berikut diulas secara singkat menngenai beberapa instrument regulasi yang

mengakomodir pengendalian dan pencegahan kebakaran hutan dan lahan.

1. Undang Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati

dan Ekosistemnya

2. Undang Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup

3. Undang Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan

4. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1985 tentang Perlindungan Hutan

5. Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2001 tentang Pengendalian Kerusakan dan atau

Pencemaran Lingkungan Hidup yang berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan atau

Lahan.

6. Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 195/Kpts-II/1986 tentang Petunjuk Usaha

Pencegahan dan Pemadaman Kebakaran Hutan.

7. Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 188/Kpts-II/1995 tentang Pembentukan

Pusat Pengendalian Kebakaran Hutan Nasional

8. Keputusan Direktur Jenderal Perkebunan Nomor 38/KB.110/SK/DJ.BUN/05.95

tentang Petunjuk Pembukaan Lahan Tanpa Pembakaran untuk Pengembangan

Perkebunan

9. Keputusan Direktur Jenderal Pengusahaan Hutan Nomor 222/Kpts/IV-BPH/1997

tentang Petunjuk Teknis Penyiapan Lahan untuk Pembangunan Hutan Tanaman

Industri tanpa Pembakaran

10.Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Departemen

Kehutanan Nomor:21 & 22/Kpts/DJ-IV/2002 tentang Pedoman Pembentukan Brigade

(7)

Kebakaran Hutan di Provinsi Sumatera Utara, Riau, Jambi, Kalimantan Barat dan

Kalimantan Tengah.

11.Instruksi Gubernur Riau Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pembuatan Bak Penampung

Air dan Embung di Kabupaten/Kota Se-Provinsi Riau dalam rangka Pencegahan

Kebakaran Hutan dan lahan

Masih banyak lagi regulasi terkait pencegahan dan pengendalian kebakaran hutan

dan lahan. Sesuatu yang tidak boleh kita lupakan adalah eksistensi kearifan lokal. Dengan

kolaborasi antara regulasi pemerintah dan kearifan lokal yang ada menjadikannya sebuah

kombinasi yang unik namun saling melengkapi dan berlaku di masyarakat secara luas.

Menurut Pusbinluh (2000), selain melakukan pengendalian kebakaran hutan dan

lahan langkah nyata yang dapat dilakukan adalah pencegahan terjadinya kebakaran hutan

dan lahan. Kegiatan – kegiatan pencegahan tersebut meliputi : Pemetaan dan pemantauan

kondisi rawan kebakaran, melakukan patroli dan pengawasan pada daerah rawan

kebakaran, mempersiapkan SDM dan peralatan pemadaman, pendeteksian dini kebakaran,

pembuatan tempat – tempat penampungan air, pembuatan sekat bakar, pemasangan dan

sosialisasi rambu – rambu bahaya kebakaran dan pelaksanaan teknologi penyiapan lahan

tanpa bakar (zero burning).

Jika kebakaran hutan dan lahan dikategorikan sebagai bencana, maka hal yang

dilakukan setelah bancana itu terjadi diantaranya rehabilitasi dan reklamasi ekosistem,

penilaian kerugian atas hilanngnya plasma nutfah (biodiversity), penerapan perencanaan

ekologi penanaman secara vegetatif, integrasi standard perlindungan dan kesehatan hutan,

control public (berupa informasi terkait kebakaran dan asuransi hutan) (Nao,1981).

KESIMPULAN

Kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di Provinsi Riau, secara empiris dapat

diselesaikan dalam beberapa level. Dimulai dari kontribusi masyarakat sebagai subyek

yang bersinggungan langsung dengan lahan, aparatur negara sebagai kontrol dan kalangan

eksekutif selaku pengambil kebijakan mempunyai persepsi yang sama mengenai

kelestarian lingkungan. Pembangunan sebagai indikator pertumbuhan ekonomi tanpa

harus mengorbankan sumber daya. Pembukaan lahan sebagai bentuk ekstensifikasi dalam

pemenuhan produksi dapat dilakukan tanpa pembakaran. Penguasaan mengenai

pengetahuan dan teknologi dalam mengolah lahan sebagai bentuk tindakan pencegahan.

(8)

DAFTAR PUSTAKA

Anonim.2014. Provinsi Riau Terkini. http://id.wikipedia.org/wiki/Riau. Diakses pada tanggal 06 Mei 2014.

Departemen Kehutanan dan Perkebunan.2000. Buku Penyuluhan Pengendalian Kebakaran Hutan. Proyek Pencegahan dan Penanggulangan Kebakaran Hutan. Jakarta.

Faidil Sukhyar dan Dana Apriyanto.2002. Teknik Pemadaman di Lahan Kering. Prosiding Gelar Teknologi Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan Terpadu. Badan Litbang Kehutanan.

Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari).2013. Eksploitasi Hutan Riau, Potret

Buruknya Tata Kelola Kehutanan RI.

http://nationalgeographic.co.id/berita/2014/01/eksploitasi-hutan-riau-potret-buruknya-tata-kelola-kehutanan-ri. Diakses pada tanggal 12 Mei 2014.

Pusat Bina Penyuluhan Kehutanan dan Perkebunan (Pusbinluh).2000. Pencegahan Kebakaran Hutan. Departemen Kehutanan dan Perkebunan. Jakarta

Purbowaseso Bambang.2004. Pengendalian Kebakaran Hutan – Suatu Pengantar. PT Rineka Cipta. Jakarta.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan terhadap ibu post partum yang diberikan perlakuan kombinasi massage nape dan teknik marmet didapatkan hasil bahwa

Hasil dari uji t berpasangan (paired t test) terhadap rusa sambar jantan dan rusa sambar betina di pusat penangkaran rusa Desa Api-Api Kabupaten Penajam Paser Utara dengan

e-Business merupakan suatu sistem bisnis yang lebih luas dari e- Commerce, tidak hanya sekedar melakukan transaksi, melayani pelanggan, berkolaborasi dengan rekan

Roh TUHAN akan meyakinkan dunia tentang dosa, tentang kebenaran kerana Yesus telah pergi kepada Bapa, dan tentang penghakiman kerana penguasa dunia sudah pun dihukum8. Roh TUHAN

dengan tipe yang telah mendapatkan Izin Tipe atau Izin Tanda Pabrik. Pemeriksaan juga harus memastikan pemasangan Meter Ultrasonik dirancang sedemikian rupa,

58 NI LUH GDE SUMARDANI S.Pt, M.Si Fakultas Peternakan Ilmu Peternakan Pengabdian Pemberdayaan Kelompok Ternak Babi Melalui Teknik dan Manajemen Produksi Bibit di Desa

Dari hasil wawancara dengan siswa-siswi (Gita Giovani dan teman-teman) menyatakan: Dengan diterapkannya program imtaq dan tujuan program imtaq di MI Nurul Karim

a. Laporan hasil produksi Memenuhi Seluruh anggota Kelompok IRT Mapan Berkah Bersama memiliki laporan hasil produksi yang sesuai dengan catatan penggunaan kayu dan hasil