• Tidak ada hasil yang ditemukan

MENDESAIN PARLEMEN YANG dan DEMOKRATIS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "MENDESAIN PARLEMEN YANG dan DEMOKRATIS"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

MENDESAIN PARLEMEN YANG DEMOKRATIS; BUKAN “PARLEMENSIASATI”

Pada umumnya, sistem kepartaian mampu mendesain jalannya penyelenggaraan Pemilu yang benar-benar bermakna bagi rakyat Indonesia. Banyak variabel-variabel yang harus dirumuskan dalam rangka mewujudkan jalannya hajatan besar demokrasi tersebut karena hal ini bersinggungan dengan wadah masyarakat dalam memberikan mandat untuk mewakili aspirasinya, dapat dikatakan bahwa Pemilu adalah urat nadi demokrasi, yang mewakili harus mampu merasakan duka yang dialami oleh yang diwakili, merekahkan harapan, merawat serta menguatkan yang rapuh. Salah merumuskan sistem demokrasi melalui penyederhanaan sistem kepartaian dan penyelenggaraan pemilu akan menjadi bom waktu, salah satunya adalah korupsi yang kemudian menghancurkan harapan dari demokratisasi tersebut, terjebak dalam akal busuk “parlemensiasati”.

Pengaturan sistem Pemilu di Indonesia selalu mengalami perubahan dari waktu ke waktu dalam setiap penyelenggaraan Pemilu. Dalam proses pembuatan pergantian regulasi setiap Pemilu memiliki dinamika politik hukum, yakni latar belakang politik ekonomi, sosial, budaya atas lahirnya produk UU Pemilu. Pertanyaan yang kemudian lahir adalah apakah ini merupakan salah satu perwujudan dari desain parlemter yang demokratis karena mengikuti perkembangan zaman? Perkembangan zaman manakah yang diikuti, kehendak rakyat sebagai roh dari demokrasi atau “parlemensiasati” yang didemokratisasi?

Perubahan paket UU Politik dalam setiap Pemilu yang berbeda ini membuktikan, bahwa telah terjadi perubahan sosial politik di Indonesia yang menuntut diakomodasi dalam Pemilu untuk menuju politik hukum berupa kebijakan negara tentang hukum yang akan diberlakukan dalam rangka mencapai tujuan negara. Namun hingga kini Indonesia belum memiliki peraturan Pemilu yang stabil. Baik dalam arti sistem Pemilu (Electroral Laws), maupun dari aspek proses penyelenggaraan Pemilu (Electroral Process).

(2)

perundangan di bidang politik yang sederajat. Seharusnya kedua undang-undang ini haruslah memiliki asas-asas yang sama untuk mencapai tujuan harmoni antara maksud dan tujuannya. Namun pada kenyataannya, ada ketidakharmonisan diantara keduanya yakni dapat dilihat dari asas-asas pembentukannya. Asas-asas yang saling bertentangan antara UU Parpol dan UU Pemilu adalah Asas Sistem Multipartai Sederhana dan Asas Pelembagaan Kepartaian.

Saat ini sistem pemerintahan Indonesia adalah sistem presidensial, sebagaimana dikehendaki oleh UUD 1945 Pasca amandemen tercermin melalui Pasal 6 A (Presiden dipilih secara langsung oleh rakyat), Pasal 7 (Pembatasan masa jabatan Presiden), dan Pasal & 7 C (Presiden dan DPR berkedudukan sama kuat dan tidak bisa saling membubarkan). Namun dalam prakteknya di era Pemerintahan Presiden SBY-JK periode 2004-2009 dan SBY-Boediono periode 2009-2014, serta Jokowi-JK 2014-2019 terjadi ketidakharmonisan, karena sistem kepartaiannya adalah multipartai ekstrim dan susunan dan kedudukan DPR cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan Presiden.

Secara resmi DPR bertugas dan menjalankan fungsi legislasi, fungsi anggaran dan fungsi pengawasan atas jalannya pemerintahan, namun dengan beberapa wewenang, DPR nyaris menjadi lebih kuat posisinya dibandingkan Presiden. Padahal dalam sistem pemerintahan presidensial posisi kedua lembaga ini adalah seimbang dan saling mengontrol (Checks and Balances).

(3)

Jika hakikat dilaksanakannya Pemilu adalah untuk menciptakan desain perwakilan yang mampu memberikan wadah terhadap aspirasi rakyat, pertanyaannya adalah apakah UU Pemilu dan UU Parpol yang tidak harmonis dalam asas-asas pembentukannya merupakan buah tangan “parlemensiasati” yang didemokratisasi?

Keberadaan sistem multipartai ekstrim sangat mempengaruhi ketidakstabilan penyelenggaraan negara di era SBY-Boediono dan di era Jokowi-JK terutama dalam sistem pemerintahan presidensial. Realitasnya efektifitas pemerintah dalam mengambil kebijakan-kebijakan publik sangat bergantung pada dinamika politik yang berkembang di DPR. Bahkan nyaris waktu presiden SBY lebih banyak dicurahkan pada kompromi-kompromi politik di DPR akibat perbedaan dukungan partai di DPR. Kondisi ini tidak saja berbahaya bagi kelangsungan pemerintahan, melainkan juga kelangsungan dan kepercayaan terhadap demokrasi dan sistem pemerintahan.1

Pengaruh dari sistem multipartai ekstrim di Indonesia yang dikombinasikan dengan sistem presidensial adalah rendahnya kualitas produk kebijakan publik yang dihasilkan Presiden dan DPR. Ini dapat dilihat dari rendahnya kualitas produk legislasi yang dihasilkan oleh DPR-Presiden. Karena produk UU dilahirkan dalam suasana kompromi politik, sehingga UU lebih berpihak pada kepentingan kekuasaan semata. Mahfud MD menerangkan salah satu sebabnya adalah tidak profesionalnya proses legislasi antara DPR dan Pemerintah. Bahkan ada indikasi jual-beli pasal dalam pembuatan Undang-Undang.2

Adapun pengaruh ketidakharmonisan antara UU Partai Politik dan UU Pemilu, dalam jalannya proses Pemilu paling tidak ada 5 (lima) hal, yakni: (i) surat suara terlalu besar dan memuat banyak calon; (ii) penghitungan suara yang lamban dan sulit; (iii) penentuan perolehan kursi yang bermasalah; (iv) penetapan calon terpilih bermasalah; dan (v) banyaknya sengketa hasil Pemilu di Mahkamah Konstitusi.

1 Ni’matul Huda, UUD 1945 dan Gagasan Amandemen Ulang, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2008, hlm. 292.

(4)

Ketidakharmonisan antara sistem kepartaian dengan sistem Pemilu tersebut secara filosofis mencerminkan, bahwa kedua UU bidang politik tersebut tidak mampu memenuhi asas principles of legality, sebagaimana dinyatakan oleh Lon. L. Fuller,3 diantaranya yaitu: (i) suatu peraturan tidak boleh mengandung

peraturan yang bertentangan satu sama lain; (ii) harus ada kecocokan antara peraturan yang diundangkan dengan pelaksanaannya sehari-hari. Realitasnya kedua UU ini bertentangan dari asas-asas yang terkandung didalamnya. Akibatnya kedua UU ini ketika dilaksanakan di lapangan dalam penyelenggaraan Pemilu tahun tidak kompetibel antara konsep dan pelaksanaannya.

Hal ini sejalan dengan skema kerja sistem politik menurut David Easton, dimana terdapat hubungan antara sistem politik dengan lingkungan-lingkungannya. Dimana input berupa tuntutan dan dukungan akan melahirkan output berupa keputusan ataupun kebijakan yang meliputi penyetujuan terhadap input, melalui sistem politik akan mempengaruhinya kembali yang pada mulanya input menuju output setelah melalui proses konversi, akan kembali memiliki keterkaitan yakni dari hasil output tersebut akan memperngaruhi input kembali.4

David Easton mencirikan sistem politik dikenali melalui deskripsi salah satunya melalui unit-unit sistem politik seperti eksekutif, legislatif, dan yudikatif.5

Sehingga dengan hal ini dapat dikatakan bahwa adanya ketidakharmonisan yang tercipta antara UU Pemilu dan UU Parpol yang keduanya memiliki kedudukan yang setara, bukan semata-mata merupakan arogansi yang ditampilkan oleh legislatif, namun perlu juga dialamatkan kepada Presiden. Karena dalam sistem legislasi di Indonesia, separuh kekuasaan legislasi itu milik Presiden Pasal 20 Ayat (1) UUD 1945 memberikan kekuasaan legislasi kepada DPR. Pasal 20 Ayat (2) memberikan kewajiban bagi setiap RUU untuk dibahas dan disetujui secara bersama dengan pemerintah. Sehingga inilah yang membuat kuatnya legislasi pemerintah karena setiap UU hanya bisa dikeluarkan jika mendapatkan pembahasan serta persetujuan bersama dengan pemerintah. Sehingga dapat

3 Lon L. Fuller, The Morality of Law, dalam Agus Riwanto, Ibid., hlm. 18.

4 Dinnianggra, “Sistem & Sistem Politik menurut David Easton”, https://www.slideshare.net/mobile/dinnianggra/sistem-sistem-politik-menurut-david-easton, diunduh pada tanggal 26 Februari 2018 pukul 15.15, hlm. 14.

(5)

disimpulkan berkenaan dengan hal ini, Presiden sangat memungkinkan bermain politik dalam menghadapi perhatian publik, “lempar batu sembunyi tangan”. Yakni menunggu reaksi publik akan UU yang diberikan kesan merupakan produk politik murni DPR kemudian hadir sebagai pahlawan menyelamatkan aspirasi rakyat dengan cara mengeluarkan Perppu. Padahal sebenarnya hal ini sama saja, karena nantinya ketika Perppu akan disahkan menjadi UU, tetaplah perundingan akan terjadi antara Pemerintah dan DPR.

Pengkajian kedua undang-undang dengan melihat asas-asas pembentukannya juga menjadi penting. Menurut Satjipto Raharjo,6 mengkaji dan

mendalami sebuah UU melalui asas-asasnya ini sangat penting sebab asas hukum adalah merupakan “jantungnya” peraturan hukum. Asas hukum merupakan landasan yang paling luas bagi lahirnya suatu peraturan hukum. Jika ada persoalan dalam implementasi suatu peraturan hukum, maka dikembalikan kepada asas-asasnya. Karena itu asas hukum disebut sebagai alasan bagi lahirnya peraturan hukum, atau merupakan ratio legis dari peraturan hukum. Asas hukum ini tidak akan habis kekuatannya dengan melahirkan peraturan selanjutnya. Karena itu pula, asas hukum mengandung nilai-nilai etis.

Dalam hal ini UU Parpol dan UU Pemilu adalah dua produk perundang-undangan di bidang politik yang sederajat. Seharusnya memiliki asas-asas yang sama untuk mencapai tujuan harmoni antara maksud dan tujuan dari kedua produk UU tersebut. Adapun asas-asas yang saling bertentangan antara UU Parpol dan UU Pemilu adalah:

1. Asas Sistem Multipartai Sederhana

UU Parpol yang baru merubah cukup banyak ketentuan dalam UU No. 2 Tahun 2008 (UU parpol lama). Ada 17 pasal yang dirubah dengan penambahan 1 pasal baru. Ditingkatan ayat, ada 27 ayat yang dirubah dengan penambahan 14 ayat baru.

Salah satu ketentuan yang memicu kontroversi adalah mengenai syarat pembentukan dan pendaftaran Parpol sebagai badan hukum, yang jauh lebih berat dari pada UU sebelumnya. Di UU Parpol baru, syarat untuk mendirikan partai,

(6)

harus ada paling sedikit 30 WNI yang telah berusia 21 tahun atau sudah menikah di setiap provinsi sebagai pendiri. Baru kemudian, para pendiri yang jumlahnya minimal 30 orang disetiap provinsi itu diwakili oleh 50 diantara mereka untuk mendaftarkan partai tersebut.

Di UU parpol baru, untuk menjadi badan hukum, sebuah partai harus mempunyai kepengurusan di 100% provinsi, dan minimal 75% dari jumlah kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan.7 Dalam UU baru aturan itu

diperketat dengan merinci bahwa partai harus memiliki kantor tetap ditingkat pusat, provinsi dan kabupaten/kota sampai tahapan terakhir Pemilihan Umum (Pemilu).8 Ini berarti dibutuhkan dana yang cukup besar dan kemampuan

mengorganisir untuk mendirikan partai baru.

Kehadiran partai politik menjelang pemilihan umum dalam praktek politik Indonesia mukhtahir juga disebabkan oleh perpecahan karena sebab-sebab perbedaan kepentingan antar elite partai politik yang mendorong sejumlah elite partai politik lepas dari induk partai politik, lalu mendirikan partai baru. Padahal penguatan sistem kepartaian bisa lebih ditingkatkan dalam mengikuti kontestasi Pemilu berikutnya dibandingkan menggunakan cara akal-akalan dengan berganti nama. Penggantian nama semata hanyalah upaya pengelabuan yang patut dicurigai.

Maraknya pendirian parpol disetiap menjelang Pemilu tidak disebabkan oleh lemahnya pengaturan pendirian parpol baru melalui undang-undang sistem kepartaian, namun juga lebih disebabkan oleh faktor-faktor di luar perundang-undangan, yakni permainan elite-elite partai yang bukan berusaha menciptakan sistem pemilu rakyat yang demokratis melainkan mencari sokongan dana yang besar hingga memangkas kader partai yang memiliki budi pekerti luhur.

Berbeda halnya dalam UU No. 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum yang menganut asas sistem multipartai ekstrim. Dengan demikian hal ini bertentangan dan tidak harmoni dengan asas-asas dalam pasal-pasal UU No. 2

7 Pasal 3 huruf c UU No. 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik.

(7)

Tahun 2008 jo. UU No. 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik yang menganut asas multipartai sederhana.

Sejumlah fakta normatif melalui pasal-pasal dalam UU Pemilu akan dijadikan pijakan dalam merumuskan argumentasi dimaksud, berdasarkan ketentuan Bab VI bagian kedua paragraf 2, tentang pendaftaran Parpol sebagai calon peserta pemilu. Parpol dapat menjadi peserta Pemilu dengan mengajukan pendaftaran untuk menjadi calon peserta Pemilu kepada KPU.9 Pendaftaran

tersebut harus dilengkapi dengan dokumen persyaratan,10 diantaranya meliputi

Berita Negara Republik Indonesia, bahwa Parpol tersebut telah terdaftar berbadan hukum.

Dari pelaksanaan Pemilu 2004. 2009, 2014 terbukti bahwa telah terjadi pembengkakkan jumlah Parpol yang mendaftar sebagai peserta Pemilu, hal ini disebabkan oleh teknis verifikasi faktual yang dilakukan oleh KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota tidak seragam. Terutama terkait dengan verifikasi faktual terhadap syarat kepemilikan kantor tetap, jumlah keanggotaan yang diperkuat dengan kepemilikan kartu Tanda Anggota, dan dalam dua hal persyaratan ini KPU Kabupaten/Kota lebih banyak berkompromi dengan pengurus tingkat Kabupaten/Kota, misalnya kantor Parpol ternyata bukan kantor yang layak sebagaimana mestinya. Begitu juga persyaratan jumlah keanggotaan dalam teknis verifikasi faktualnya KPU melakukan model sample 10 persen dan sample

tersebut tak jarang diberitahukan terlebih dahulu kepada pengurus Parpol untuk dipersiapkan di suatu tempat lalu diverifikasi KPU.

Namun idealitas tak selamanya berjalan sesuai realitas, sehingga dengan pengaplikasian peraturan seperti itu sangat memudahkan Parpol untuk menjadi peserta Pemilu. Hal ini bisa dipahami jika memandang bahwa adanya urgensitas pendirian Parpol untuk mewakili kelompok tertentu, Parpol dijadikan sebagai “jembatan penghubung” antara rakyat dan pemerintah. Dilihat dari berbagai sudut pandang itulah maka tidak heran banyak Parpol baru bermunculan sebagai wujud kelangsungan sistem demokrasi dalam ketatanegaraan.

(8)

2. Asas Pelembagaan Sistem Kepartaian

Sesungguhnya urgensi dilakukannya perubahan terhadap UU No. 2 Tahun 2008 menjadi UU No. 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik adalah diarahkan pada dua hal, yaitu: Pertama, membentuk sikap dan perilaku Parpol yang terpola atau sistemik sehingga terbentuk budaya politik yang mendukung prinsip-prinsip dasar sistem demokrasi. Hal ini ditujukan dengan sikap dan perilaku Parpol yang memiliki sistem seleksi dan rekrutmen keanggotaan yang memadai serta mengembangkan sistem pengkaderan dan kepemimpinan politik yang kuat.

Kedua, memaksimalkan fungsi Parpol baik fungsi Parpol terhadap negara maupun fungsi Parpol terhadap rakyat melalui pendidikan politik dan pengkaderan serta rekrutmen politik yang efektif untuk menghasilkan kader-kader calon pemimpin memiliki kemampuan di bidang politik.11 Berdasarkan hal ini maka posisi UU

Parpol berada pada penguatan pelembagaan sistem kepartaian.

Pada UU Pemilu yang baru, rumusannya sudah dirasa akan jauh berkeadilan karena jumlah suara juga mencerminkan jumlah kursi, metode konversian suara menjadi kursi dengan metode sainte lague, metode ini tidak menerapkan BPP (Bilangan Pembagi Pemilih) atau harga kursi, melainkan menggunakan BPT (Bilangan Pembagi Tetap) yaitu angka serial bernomor ganjil 1, 3, 5, 7...dst. hal ini tidak memungkinkan terjadinya sisa suara, sehingga semua suara terbagi habis menurut derajat proporsionalnya. Meskipun demikian, dalam hal pelembagaan sistem kepartaian justru merupakan salah satu upaya melemahkan pelembagaan sistem kepartaian. Karena peran Parpol menjadi hilang, setiap calon akan berlomba-lomba tanpa terikat dalam masing-masing Parpol, yang terpenting adalah bagaimana memperoleh suara terbanyak.

Melihat hal ini, maka calon legislatif akan diperhadapkan pada situasi yang sulit, yakni mencari cara untuk memperoleh jumlah suara sebanyak-banyaknya. Dalam menghadapi konstestasi Pemilu, Parpol tidak lagi mengutamakan proses kaderisasi yang sebelumnya sudah dilalui, yang terpenting adalah siapa yang

(9)

mampu mencuri hati rakyat dengan menghalalkan segala cara. Sehingga inilah yang menjadi faktor utama untuk terciptanya penyebarluasan virus korupsi.

Referensi

Dokumen terkait

Sebelum ekpansi Kolonial Belanda atas Sumatera Timur, beberapa kerajaan membangun pelabuhan (dalam pengertian tempat berlabuhnya kapal-kapal) di tepi sungai sekaligus

data tersebut untuk ikan semah di perairan Musi belum tersedia. Oleh karena itu, suatu penelitian bertujuan untuk mengetahui pertumbuhan ikan semah di perairan Musi, Sumatera

Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan penelitian yang telah dikemukakan, serta dihubungkan dengan pertanyaan penelitian, maka dapat disimpulkan beberapa hal pokok yang

Perheenjäsenet ja potilaat kokivat, että perhe ei voinut olla mukana potilasta koskevissa eri ammattilaisten yhteisissä neuvotteluissa mukana, koska perheenjäsenistä noin neljäsosa

Selama tahun 2014 Dinas Kesehatan Kota Tarakan telah melakukan berbagai program kegiatan sebagai realisasi terhadap pembangunan kesehatan dengan kerja sama secara intern di

Meskipun di Desa Kampung Anyar memakai jasa pos untuk mengantar surat yang sudah selesai ke rumah warga, dari uraian tersebut menunjukkan bahwa kualitas pelayanan publik di

Berbagai jenis makanan (olahan) asal kacang hijau seperti bubur kacang hijau, minuman kacang hijau, kue/penganan tradisional, dan kecambah kacang hijau telah

Selisih antara pola output aktual ( output yang dihasilkan) dengan pola output yang dikehendaki ( output target) yang disebut error digunakan untuk mengoreksi bobot