BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
NAPZA (Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lain) adalah bahan/zat/obat
jika masuk kedalam tubuh manusia akan memengaruhi tubuh terutama otak/susunan
saraf pusat, sehingga menyebabkan gangguan kesehatan fisik, psikis, dan fungsi
sosialnya karena terjadi kebiasaan, ketagihan (adiksi) serta ketergantungan
(dependensi) terhadap NAPZA (BNP Jabar, 2010).
Masalah penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lainya
(NAPZA) atau istilah yang populer dikenal masyarakat sebagai NARKOBA
(Narkotika dan Bahan/ Obat berbahanya) merupakan masalah yang sangat kompleks,
yang memerlukan upaya penanggulangan secara komprehensif dengan melibatkan
kerja sama multidispliner, multisektor, dan peran serta masyarakat secara aktif yang
dilaksanakan secara berkesinambungan, konsekuen dan konsisten.
Menurut laporan United Nations Office Drugs and Crime pada tahun 2009 menyatakan 149 sampai 272 juta penduduk dunia usia 15-64 tahun yang
menyalahgunakan obat setidaknya satu kali dalam 12 bulan terakhir. Dari semua jenis
obat terlarang ganja merupakan zat yang paling banyak digunakan di seluruh dunia
yaitu 125 juta sampai dengan 203 juta penduduk dunia dengan prevalensi 2,8%-4,5%
Berdasarkan hasil survei Badan Narkotika Nasional (BNN) bekerjasama
dengan Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia (UI) memperkirakan
prevalensi penyalahgunaan NAPZA pada tahun 2009 adalah 1,99% dari penduduk
Indonesia berumur 10-59 tahun. Pada tahun 2010, prevalensi penyalahgunaan
NAPZA meningkat menjadi 2,21%. Jika tidak dilakukan upaya penanggulangan
diproyeksikan kenaikan penyalahgunaan NAPZA dengan prevalensi 2,8% pada tahun
2015 (BNN, 2011).
Berdasarkan data Perhimpunan Ahli Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI)
cabang DKI Jaya dari sekitar 2 juta orang pengguna NAPZA di Indonesia, mayoritas
pengguna berumur 20-25 tahun dan pengguna adalah pria dengan proporsi 90%. Usia
pertama kali menggunakan NAPZA rata-rata 19 tahun. Kota-kota besar seperti
Medan, Jakarta, Bandung, Surabaya, Denpasar menjadi daerah tujuan pasar narkotika
Internasional. Target utama pasar narkotika adalah remaja (BKKBN, 2002).
Survei Nasional BNN Tahun 2006 tentang Penyalahgunaan dan Peredaran
Gelap NAPZA pada Kelompok Pelajar dan Mahasiswa di 33 Propinsi di Indonesia
diperoleh hasil bahwa dari 100 pelajar dan mahasiswa rata-rata 8 orang pernah pakai
dan 5 orang dalam setahun terakhir pakai NAPZA. Total penyalahgunaan NAPZA
pada kelompok pelajar dan mahasiswa sebesar 1,1 juta jiwa dengan angka prevalensi
5,6% (BNN, 2007).
Kasus NAPZA yang telah diungkap oleh BNN selama tahun 2011 sejumlah
sebanyak 23.531 kasus. Dari data tersebut, peningkatan tajam secara persentase
adalah jenis psikotropika yaitu 55,75%. Untuk jenis narkotika, yang paling terbanyak
diungkap adalah ganja sebanyak 23.186.122 gram, ekstasi sebanyak 780.885 tablet,
dan shabu sebanyak 433.868 gram. Jenis psikotoprika, yang terbanyak adalah Daftar
G sebanyak 1.666.401 buah, kemudian Benzo sebanyak 470.758 buah. Uang yang
berhasil diselamatkan dari kasus yang berhasil diungkap berikut barang bukti
mencapai hampir 1 trilyun rupiah dan pemakai pemula yang dapat diselamatkan
adalah 93.980.980 jiwa (NapzaIndonesia, 2012).
Berdasarkan laporan Direktorat IV Narkoba dan KT BARESKRIM POLRI
pada tahun 2007 diketahui kasus narkotika, psikotropika, dan bahan berbahaya
sebanyak 22.630 kasus yaitu proporsi kasus narkotika 50,28%, proporsi kasus
psikotropika 43,43% dan proporsi kasus bahan berbahaya 6,29%. Sumatera Utara
merupakan peringkat ketiga kasus terbanyak setelah Jawa Timur dan Metro Jaya
(BNN, 2008). Berdasarkan data BNN jumlah pengguna NAPZA di Provinsi Sumatera
Utara tahun 2010 sebanyak 2.065 kasus dan tahun 2011 sebanyak 2.068 kasus (BNN,
2011).
Meningkatnya jumlah pemakai NAPZA, terutama yang menggunakan jarum
suntik, telah menambah jumlah penderita penyakit menular seksual seperti
HIV/AIDS. HIV/AIDS adalah penyakit yang mematikan, mudah menular, dan belum
namun akhirnya dapat menular kepada keluarganya dan masyarakat luas
(Partodiharjo, 2008).
Berdasarkan Surveilans Terpadu-Biologis Perilaku (STBP) pada kelompok
berisiko tinggi di Indonesia tahun 2011, pengguna NAPZA suntik memiliki jumlah
kasus HIV tertinggi di antara kelompok paling berisiko di Indonesia dengan
prevalensi Jakarta 56,4%, Surabaya 48,8%, Medan 39,2%, dan Bandung 25,2%
(Depkes, 2011).
Masalah penyalahgunaan NAPZA sangat kompleks, baik latar belakang
maupun cara memperoleh serta tujuan penggunaannya. Pada umumnya NAPZA
disalahgunakan oleh mereka yang kurang mengerti efek samping yang ditimbulkan
oleh pemakaiannya, hal tersebut disebabkan antara lain oleh tata budaya, tingkat
pendidikan dan karakteristik yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia, yaitu sangat
menjunjung tinggi nilai-nilai luhur, namun kurang tanggap dan kurang bisa
membicarakan hal-hal yang dianggap negatif antara lain mengenai NAPZA. Sehingga
NAPZA dengan segala permasalahannya tetap menjadi sesuatu yang misterius bagi
kebanyakan masyarakat kita (Prasetyaningsih, 2003).
Salah satu resolusi dari Single Convention On Narcotic Drug yang diadopsi oleh Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa, menyatakan bahwa salah satu metode
terapi yang paling efektif bagi pecandu zat adalah pengobatan di unit pelayanan
kesehatan yang bersuasana bebas obat. Metode yang dimaksud adalah dengan
NAPZA ke tengah masyarakat, dapat ditempuh beberapa cara : keterampilan dan
latihan kerja, pembinaan agama, narkotik anonymous, konseling, seminar-seminar kepribadian, dan kehidupan dalam komunitas bersama (BNN, 2003).
Meskipun seorang penyalahguna NAPZA telah mengikuti program
rehabilitasi, masih banyak dari mereka yang kembali menggunakan NAPZA
(kambuh). Hal ini disebabkan oleh ada situasi atau benda-benda tertentu yang dapat
merangsang mereka untuk kembali menggunakan NAPZA. Ini suatu keadaan yang
sangat merugikan pecandu, keluarga, dan masyarakat secara umum. Di Amerika
Serikat (California), Koob, seorang ahli neurofarmakologi, mempunyai estimasi
bahwa 80% dari penyalahguna NAPZA akan kembali menggunakan NAPZA
(Hukom, 2008).
Dengan mengetahui aspek yang paling berpengaruh pada penyalahguna
NAPZA dapat dirumuskan dengan tepat cara menanganinya, agar pasien tidak
kambuh kembali, karena sebagian besar penyalahguna NAPZA yang dirawat sering
mengalami keadaan kambuh kembali dan dibutuhkan penanganan baru dengan biaya
yang lebih mahal (Dwiyanny, 2001).
Menurut penelitian Hawari yang dilakukan dari tahun 1997 sampai dengan
tahun 1999 di empat rumah sakit di Jakarta yaitu : RS. Indah Medika, RS. Agung,
RS. MM Abadi, dan RS.MH.Thamrin terdapat 2 rumah sakit dengan kekambuhan
pasien cukup besar dan meningkat dari tahun ke tahun, yaitu RS. Indah Medika
Dari hasil penelitian tersebut juga diperoleh bahwa pengaruh/bujukan teman
merupakan awal seseorang menggunakan NAPZA dengan proporsi 81,3% dan
selanjutnya dari teman itu pula kekambuhan terjadi dengan proporsi 58,36% (Hawari,
2006).
Hasil penelitian Domino, dkk (2005) menyatakan bahwa faktor risiko untuk
terjadinya kekambuhan kembali adalah pada penyalahguna NAPZA yang
menggunakan narkotika yang memberikan daya adiktif yang sangat tinggi sehingga
potensi untuk menimbulkan kekambuhan semakin kuat.
Berdasarkan hasil penelitian Husin (2008) mayoritas pasien penyalahguna
NAPZA yang kambuh kembali yang dirawat di Pusat Rehabilitasi BNN Lido-Jawa
Barat umur 20-25 tahun (53,3%) dan tingkat pendidikan SLTA (50%) dan motivasi
rendah untuk pulih kembali.
Secara teoritis, diduga faktor-faktor yang menyebabkan kekambuhan kembali
pada penyalahguna NAPZA adalah sebagai berikut (Martono, 2008) :
a. Gagal memahami dan menerima bahwa adiksi adalah penyakit.
b. Menyangkal telah kehilangan kendali.
c. Ketidakjujuran.
d. Keluarga yang tidak berfungsi normal.
e. Kurangnya program yang bersifat rohani.
f. Stres.
h. Musim libur.
i. Kembali pada teman pecandu dan kebiasaan lama.
j. Merasa bersalah tentang masa lalu.
Berdasarkan uraian di atas, maka perlu dilakukan penelitian mengenai
hubungan faktor internal (umur, pendidikan, pekerjaan, pengetahuan, sikap, motivasi,
lama pemakaian NAPZA dan jenis NAPZA yang digunakan) dan faktor eksternal
(teman sebaya) dengan kekambuhan kembali pasien penyalahguna NAPZA di
Kabupaten Deli Serdang Tahun 2012.
1.2.Permasalahan
Adapun yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah : bagaimana
hubungan faktor internal dan faktor eksternal dengan kekambuhan kembali pasien
penyalahguna NAPZA di Kabupaten Deli Serdang Tahun 2012.
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui hubungan faktor internal dan
faktor eksternal dengan kekambuhan kembali pasien penyalahguna NAPZA di
Kabupaten Deli Serdang Tahun 2012.
1.4. Hipotesis
Ada hubungan faktor internal dan faktor eksternal dengan kekambuhan
1.5. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi :
1. Bagi Dinas Kesehatan, hasil penelitian ini diharapkan menjadi masukan dalam
perencanaan program pencegahan dan penanganan NAPZA secara lebih
komprehensif dan integratif.
2. Sebagai masukan bagi pusat rehabilitasi korban NAPZA, dalam penanganan pada
saat rehabilitasi dan pasca rehabilitasi.
3. Bagi lingkungan akademisi, hasil penelitian ini sebagai informasi yang dapat
memperkaya khasanah pengetahuan tentang bahaya dan pencegahan kekambuhan