BAB I PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang
Batuk merupakan salah satu keluhan utama pada kelainan saluran
pernapasan yang membuat pasien datang berobat ke dokter. (Rab, 2010) Batuk
merupakan mekanisme refleks yang sangat penting untuk menjaga jalan napas
tetap terbuka dengan cara menyingkirkan hasil sekresi lendir yang menumpuk,
gumpalan darah dan benda asing pada jalan napas, selain itu batuk juga dapat
disebabkan karena iritasi jalan napas. (Djojodibroto, 2009)
Batuk karena iritasi pada mukosa bronkus disebabkan oleh peradangan,
baik oleh bakteri, virus, dan jamur disertai dengan mucus yang banyak. Selain itu
batuk juga dapat disebabkan oleh penyakit kardiovaskular, tumor, dan bahan iritan
lainnya (rokok, debu, gas, bahan-bahan kimia). Terdapat 3 gejala batuk yang
menunjukkan adanya kelainan dari paru-paru yaitu: batuk yang menetap, nyeri di
dada bila batuk, produksi sputum yang banyak atau berdarah. Batuk dari saluran
napas atas tidak sehebat batuk dari saluran napas bawah. (Rab, 2010)
Batuk akibat infeksi jamur pada paru atau yang disebut dengan mikosis
paru selama ini masih merupakan penyakit yang relatif jarang dibicarakan. Akan
tetapi akhir-akhir ini perhatian terhadap penyakit ini semakin meningkat dan
kejadian infeksi jamur paru semakin sering dilaporkan. Hal ini mungkin akibat
dari meningkatnya kesadaran dan usaha penemuan infeksi jamur dengan berbagai
cara menggunakan teknik yang tepat, bertambahnya kecepatan tumbuh jamur
sebagai akibat cara pengobatan modern, terutama penggunaan antibiotik
kortikosteroid dan obat imunosuppressif lainnya serta penggunaan sitostatika,
terdapatnya faktor predisposisi yaitu penyakit kronik yang berat termasuk
penyakit kegananasan, dengan meningkatnya umur harapan hidup akan
meningkatkan insiden penyakit jamur paru, mobilitas dari manusia tinggi
sehingga kemungkinan memasuki daerah endemis fungi patogen semakin tinggi
(Sukamto, 2004)
Angka kekerapan mikosis paru di dunia dan di Indonesia belum diketahui
secara pasti. Walaupun masih relatif jarang bila dibandingkan dengan infeksi
bakterial atau virus, infeksi jamur paru penting karena dapat diobati dan
keterlambatan pengobatan dapat berakibat fatal. Walaupun infeksi jamur lokal
seperti pada mulut, esofagus, usus dan vagina cukup sering, namun yang bersifat
sistemik termasuk di paru tidak sebanyak itu. Masalah lain adalah karena sulitnya
mendiagnosis mikosis paru. Permasalahannya ialah bahwa baik gambaran klinik
maupu n radiologik penderita mikosis paru tidak khas. Sediaan apus sputum,
biakan jamur, pemeriksaan histologik paru dan uji serologik pun kadang hasilnya
membingungkan. Sehingga pengobatan terhadap infeksi jamur paru sering
terlambat diberikan. Pasien baru tertegakkan diagnosanya sebagai penderita jamur
paru dalam keadaan sudah lanjut atau terlambat, sehingga pengobatan sering
tidak berhasil. (Sukamto, 2004)
Mikosis dapat diklasifikasikan menjadi mikosis superficial, kutan,
subkutan, sistemik, dan oportunistik. Sebagian besar pasien mengalami infeksi
jamur oportunistik. Jamur oportunistik yang sering menginfeksi adalah candida
albicans dan candida sp, Cryptococcus neoformans, Aspergillus sp, Rhizopus sp,
2007) Namun jamur oportunistik yang paling sering menyebabkan infeksi jamur
invasive adalah Candida albicans, Candida spp. dan Aspergillus spp. (Klingspor
dan Jalal, 2006)
Infeksi jamur paru dapat sebagai infeksi primer maupun sekunder.
Timbulnya infeksi sekunder pada paru disebabkan terdapatnya kelainan atau
kerusakan jaringan paru seperti pada TB paru berupa kavitas, bronkiektasis,
destroyed lung dan sebagainya. (Sukamto, 2004)
Suryatenggara dan kawan-kawan (1995) telah melakukan penelitian
retrospektif di bagian paru RS. Persahabatan Jakarta pada 28 penderita penyakit
paru yang dicurigai kemungkinan menderita infeksi jamur paru. Diteliti
kebelakang mulai tahun 1993 sampai Januari 1994, penderita yang dilakukan
pemeriksaan jamur baik pemeriksaan sputum, bilasan bronkus, biopsi, hasil
reseksi maupun pemeriksaan serologis darah dll, didapatkan hasil 23 penderita
(82,1 %) positif jamur. Kebanyakan yang positif adalah penderita dengan TB
paru, (67,8 %) baik yang masih aktif maupun yang sudah tidak aktif lagi. Hal ini
disebabkan adanya kerusakan jaringan paru atau saluran nafas akibat penyakit
tuberkulosisnya hingga memudahkan terjadinya infeksi sekunder dengan jamur.
Suryatenggara dan kawan-kawan (1995) melaporkan hasil penelitian
pemeriksaan jamur pada bilasan bronkus di Bagian Paru RS Husada Jakarta tahun
1994/1995 mendapatkan 30 penderita (45%) dengan jamur positif dari 66
penderita yang diperiksa ke arah penyakit jamur. Dari 30 penderita yang positip
jamur terdiri dari Candida sp 27, Aspergillus fumigatus 2 dan Aspergillus sp 1
Sukamto (2004) melakukan penelitian terhadap bilasan bronkus pada
penderita tuberculosis paru yang telah sembuh di RS. Haji Adam Malik Medan,
dan didapatkan 11 kasus (21,5%) jamur paru dari 40 penderita yang terdiri dari
Candida sp. 7 penderita (63,6%), Aspergillus fumigatus 3 penderita (27,3%), dan
Aspergillus niger 1 penderita (9,1%). Dari penelitian ini, gejala klinis yang paling
sering terjadi pada kasus infeksi jamur positif adalah batuk kronis yang berdahak
dan batuk darah.
Menurut penelitian yang dilakukan di India pada tahun 2002 sampai 2003
dengan kultur sputum pasien yang positif tuberculosis paru kronis dan telah
mendapatkan pengobatan, didapatkan bahwa dari 500 pasien dijumpai 200 pasien
yang menderita infeksi jamur (46%). Dimana jenis jamur yang terbanyak adalah
Aspergillus fumigatus, Aspergillus niger, Histoplasma capsulatum, dan
Cryptococcus neoforman. Dari 50 pasien yang mempunyai gejala seperti
tuberculosis, terdapat 23 pasien yang positif terinfeksi jamur tersebut. (Bansod
dan Rai, 2008)
Spesies jamur yang paling sering dijumpai pada penderita
immunokompromi yaitu infeksi kandida. Jamur kandida merupakan flora
mikrobial normal rongga mulut, saluran pencernaan dan vagina, bersifat
invasif/patogen bila daya tahan host (pejamu) terganggu. Infeksi jamur ini
umumnya terjadi di daerah mukokutaneus, tetapi dapat pula terjadi pada organ-
organ lain di dalam tubuh seperti esofagus, ginjal, hati, jantung, mata, otak dan
paru. Walaupun kasus infeksi nosokomial oleh jamur semakin banyak, tetapi
laporan mengenai infeksi jamur di paru baik primer maupun sekunder masih
yang terpenting ialah tuberkulosis paru dan keganasan paru. (Hamdi, 1997)
Sangat sulit menegakkan diagnosis kandidiasis paru karena penyakit ini dapat
menyerupai segala macam penyakit paru lain dengan gejala klinis yang tidak
khas, kurangnya karakteristik pada gambaran radiografik.(Shahid dan Bhargava,
2001) Diagnosis pasti kandidiasis paru yaitu dengan melakukan biopsi dan kultur
jaringan dari tempat lesi. Didapatinya jamur kandida di dalam sputum bukan
diagnostik pasti, karena hal ini dapat terjadi juga pada pasien normal. (Hamdi,
1997)
Aspergilosis primer sangat jarang ditemukan, yang banyak ditemukan
adalah Aspergilosis sekunder akibat adanya kelainan pada paru seperti TB paru,
bronkiektasis, asma bronkial, PPOM, asbestosis, kanker paru, kelainan sistemik
seperti leukemia, anemia aplastik, DM, AIDS, transplantasi organ.
Aspergillus fumigatus merupakan jamur saprotrophik yang menjadi
pathogen dengan alasan biologi yang sederhana, yaitu karena jamur ini terdapat di
athmosfir dengan konsentrasi yang tinggi, tumbuh dengan cepat dibandingkan
jamur airborne lainnya pada suhu 40⁰C, dapat menjadi lawan bagi tubuh bukan
karena mekanisme virulensi yang spesifik, namun karena kegagalan respon
immune tubuh itu sendiri. (Chamilos et al, 2008)
Diketahui ada
beberapa spesies yang dapat menginfeksi manusia namun penyebab infeksi
paru-paru 90% adalah Aspergilus fumigatus.(Shahid dan Bhargava, 2001) Aspergillus
fumigatus telah dilaporkan dijumpai pada sekitar 10% penderita dengan bronkhitis
dan pada persentase yang lebih banyak lagi dijumpai pada penderita asma. (Hood,
Ada beberapa spesimen yang dapat dijadikan bahan pemeriksaan
diagnostik jamur, antara lain dari sputum, bilasan bronkus, darah, urine, cairan
spinal, apusan/kerokan lesi superfisial, biopsi jaringan, dan eksudat, namun
pengambilan bahan yang paling mudah dari paru adalah dari dahak yang
dibatukkan oleh penderita. Dahak yang dikeluarkan melalui rongga mulut
kemungkinan besar akan terkontaminasi oleh jamur kandida yang merupakan
flora normal pada rongga mulut. Sehingga biakan jamur candida dari sputum
tidak bernilai. (Mitchell , 2007) Untuk mengurangi kontaminasi terhadap bakteri
dan jamur flora normal rongga mulut, maka perlu melakukan kumur-kumur
dengan antiseptik atau dengan menyikat gigi terlebih dahulu sebelum
pengambilan spesimen. (Kumala, 2006)
Berbeda dengan infeksi lainnya, terdapat keterbatasan alat diagnostik
konvensional dengan sensitivity dan reliaibility yang rendah yang tersedia untuk
mendeteksi secara cepat dari invasive aspergillosis. Banyak penelitian yang telah
dilaporkan untuk mendeteksi asam nukleat Aspergillus dengan Polymerase Chain
Reaction (PCR) untuk memperbaiki diagnosis dari invasive aspergillosis, baik
yang berasal dari cairan BAL, serum darah, dan sputum. (Bansod et al., 2008)
Penggunaan PCR menjadi standard dan valid dalam pemeriksaan laboratorium
untuk menegakkan diagnosa invasive aspergillosis secara cepat. (WHO, 2009)
PCR dengan menggunakan cairan BAL memiliki sensitivity 67 – 100% dan
specificity 55 – 95% untuk invasiv pulmonary Aspergillosis. Dan pada sampel
serum memiliki sensitivity 100% dan specificity 65 – 92%. (Zmeili dan Soubani,
2007, Raad et al, 2002) Penggunaan PCR untuk mendeteksi asam nukleat jamur
sensitif dari metode kultur pada berbagai specimen. (Bansod et al., 2008) Deteksi
A. fumigatus dengan menggunakan PCR dari hasil kultur murni lebih cepat
dengan waktu kurang dari satu hari, dibandingkan dengan analisa kultur yang
memakan waktu berhari-hari. (Perez et al., 2001) Selain itu, diagnosa melalui
kultur, PAS stain, pewarnaan Immunohistokimia sulit dilakukan, dan kultur
Aspergillus spp. tidak membuktikan adanya suatu infeksi. (Hanazawa et al, 2000)
Metode PCR terbukti lebih sensitiv daripada deteksi antigen jamur Aspergillus.
(Stevens et al., 2000)
Berdasarkan hal tersebut diatas, penulis melakukan penelitian terhadap
sputum dari penderita batuk kronis mengenai kemungkinan terjadinya
Aspergillosis yang disebabkan oleh jamur Aspergillus fumigatus denngan
menggunakan metode Polymerase Chain Reaction (PCR) dan Kultur.
1.2Identifikasi Masalah
Dengan memperhatikan latar belakang masalah di atas, dapat dirumuskan
masalah penelitian sebagai berikut : Apakah terdapat Aspergillus fumigatus pada
sputum penderita batuk kronis yang di deteksi dengan PCR dan Kultur?
1.3Tujuan Penelitian
Tujuan umum :
Untuk menganalisa adanya Aspergillus fumigatus dengan menggunakan
Polymerase Chain Reaction (PCR) dan kultur pada sputum penderita batuk
1.4Manfaat Penelitian
1. Memberikan informasi ilmiah kepada para klinisi umum dan klinisi ilmu
penyakit paru mengenai kemungkinan penderita batuk kronis mengalami
infeksi jamur paru.
2. Dapat di aplikasikan dan menjadi pilihan metode dalam mendeteksi infeksi
jamur dengan cepat dan tepat bila fasilitas mendukung.
3. Memberikan motivasi untuk peneliti lain untuk meneliti mengenai infeksi
jamur di Indonesia mengingat kawasan Indonesia merupakan daerah