• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kitin - Penggunaan Natrium Tripolifosfat Untuk Pembuatan Nanopartikel Kitosan Dari Cangkang Belangkas

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kitin - Penggunaan Natrium Tripolifosfat Untuk Pembuatan Nanopartikel Kitosan Dari Cangkang Belangkas"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kitin

Kitin adalah kopolimer dari unit N-asetil-D-glukosamin dan D-glukosamin yang bertautan dengan ikatan β-(1-4) glikosida, di mana unit N-asetil-D-glukosamin adalah yang mendominasi dalam rantai polimerik. Bentuk deasetilasi dari kitin adalah kitosan. Kitin dan kitosan dapat ditemukan sebagai material penyusun dalam banyak organisme akuatik, organisme yang hidup di daratan, dan beberapa mikroorganisme (Tokura dan Tamura, 2007).

Kitin dan kitosan adalah polisakarida yang menarik karena kehadiran gugus fungsi amino yang cocok untuk memodifikasi struktur yang diinginkan. Selain dari gugus amino, mereka memiliki 2 gugus hidroksil untuk membantu modifikasi kimia. Sama seperti selulosa, kitin dan kitosan dapat mengalami banyak reaksi seperti eterifikasi, esterifikasi, dan ikat silang.

Struktur kitin menyerupai struktur selulosa dan berbeda pada gugus yang terikat di posisi atom C-2. Gugus pada C-2 selulosa adalah gugus hidroksil, sedangkan pada C-2 kitin adalah gugus N-asetil (-NHCOCH3, asetamida) seperti yang dapat dilihat pada gambar di bawah ini (Gambar 2.1.) :

O

(2)

Kitin merupakan bahan yang tidak beracun dan bahkan mudah terurai secara hayati (biodegradabel). Bentuk fisiknya merupakan padatan amorf yang berwarna putih dengan kalor spesifik 0,373±0,03 kal/g ̊ C (Knorr, 1984) dan derajat rotasi spesifik [α]D18+ 22 ̊ pada konsentrasi asam metanasulfonat 1,0%. Sebagai biopolimer kristalin, kitin terdapat dalam 3 bentuk kristal di alam, yaitu α, β, dan γ (Sugita, 2009).

Kitin hampir tidak larut dalam air, asam encer, dan basa, tetapi larut dalam asam format, asam metanasulfonat, N,N-dimetilasetamida yang mengandung 5% litium klorida, heksafluoroisopropil alkohol, heksafluoroaseton, dan campuran 1,2-dikloroetana-asam trikloroasetat dengan nisbah 35:65(%[v/v]) (Hirano, 1986). Asam mineral pekat seperti H2SO4, HNO3, dan H3PO4 dapat melarutkan kitin sekaligus menyebabkan rantai panjang kitin terdegradasi menjadi satuan-satuan yang lebih kecil (Bastaman, 1989). Sifat fisika dan kimia kitin di atas telah dijadikan bagian dalam spesifikasi kitin (Tabel 2.1.).

Tabel 2.1. Spesifikasi kitin

Parameter Ciri – ciri

Ukuran partikel Serpihan dalam bentuk serbuk

Kadar air (%) ≤ 10,0

Kadar abu (%) ≤ 2,0

N-deasetilasi (%) ≥ 15,0

Kelarutan dalam :

- Air Tidak larut

- Asam encer Tidak larut

- Pelarut organik Tidak larut

- LiCl2/ dimetilasetamida Sebagian larut

Enzim pemecah Lisozim dan kitinase

(3)

2.2. Kitosan

Kitosan adalah poli-(2-amino-2-deoksi-β-(1 4)-D-glukopiranosa) dengan rumus molekul (C6H11NO4)n yang dapat diperoleh dari deasetilasi kitin. Kitosan juga dijumpai secara alamiah di beberapa organisme. Struktur polimer kitosan dapat dilihat pada gambar (Gambar 2.2.) di bawah ini :

O

NH2

OH CH2OH

O O

O

NH2

OH CH2OH

O

n

Gambar 2.2. Struktur polimer kitosan (Sugita, 2009)

Proses deasetilasi kitosan dapat dilakukan dengan cara kimiawi maupun enzimatik. Proses kimiawi menggunakan basa, misalnya NaOH, dan dapat menghasilkan kitosan dengan derajat deasetilasi yang tinggi, yaitu mencapai 85-93 % (Tsigos et al., 2000). Namun proses kimiawi menghasilkan kitosan dengan bobot molekul yang beragam dan deasetilasinya juga sangat acak (Martinou et al., 1995; Tsigos et al., 2000), sehingga sifat fisik dan kimia kitosan tidak seragam. Selain itu, proses kimiawi juga dapat menimbulkan pencemaran lingkungan, sulit dikendalikan, dan melibatkan banyak reaksi samping yang dapat menurunkan rendemen (Chang et al., 1997; Tokuyasu et al., 1997).

(4)

Kitosan merupakan padatan amorf yang berwarna putih kekuningan dengan rotasi spesifik [∝]D11 -3 hingga -10 ̊ (pada konsentrasi asam asetat 2%). Kitosan larut pada kebanyakan larutan asam organik (Tabel 2.2.) pada pH sekitar 4,0, tetapi tidak larut pada pH lebih besar dari 6,5, juga tidak larut dalam pelarut air, alkohol, dan aseton. Dalam asam mineral pekat seperti HCl dan HNO3, kitosan larut pada konsentrasi 0,15-1,1 %, tetapi tidak larut pada konsentrasi 10%.

Tabel 2.2. Kelarutan kitosan pada berbagai pelarut asam organik Konsentrasi asam organik Konsentrasi asam organik (%)

10 50 >50

Asam asetat + ± -

Asam adipat - - -

Asam sitrat + - -

Asam format + + +

Asam laktat + - -

Asam maleat + - -

Asam malonat + - -

Asam oksalat + - -

Keterangan : + larut; - tidak larut; ± larut sebagian (Sugita, 2009)

(5)

Tabel 2.3. Spesifikasi kitosan

Parameter Ciri – ciri

Ukuran partikel Serpihan sampai bubuk

Kadar air (%) ≤ 10,0

Kadar abu (%) ≤ 2,0

Warna larutan Tidak berwarna

N-deasetilasi (%) ≥ 70,0

Kelas viskositas (cps) :

- Rendah < 200

- Medium 200799

- Tinggi pelarut organik 8002000

(Sugita, 2009)

Kitosan dalam bentuk terprotonasi menunjukkan kerapatan muatan yang tinggi dan bersifat sebagai polielektrolit kationik, seperti yang dapat dilihat pada Gambar 2.3 dan sangat efektif berinteraksi dengan biomolekul bermuatan negatif dan biomolekul permukaan. Sedangkan dalam bentuk netralnya, kitosan mampu mengompleks ion logam berat berbahaya seperti Cu, Cr, Cd, Mn, Co, Ph, Hg, Zn, dan Pd.

(6)

2.3. Kegunaan Kitin dan Kitosan

Dewasa ini aplikasi kitin dan kitosan sangat banyak dan meluas. Di bidang industri, kitin dan kitosan berperan antara lain sebagai koagulan polielektrolit pengolahan limbah cair, pengikat dan penjerap ion logam, mikroorganisme, mikroalga, pewarna, residu pestisida, lemak, tanin, PCB (poliklorinasi bifenil), mineral dan asam organik, media kromatografi afinitas, gel dan pertukaran ion, penyalut berbagai serat alami dan sintetik, pembentuk film dan membran mudah terurai, meningkatkan kualitas kertas, pulp, dan produk tekstil. Sementara di bidang pertanian dan pangan, kitin dan kitosan digunakan antara lain untuk pencampur ransum pakan ternak, anti mikrob, anti jamur, serat bahan pangan, penstabil, pembentuk gel, pembentuk tekstur, pengental dan pengemulsi produk olahan pangan, pembawa zat aditif makanan, flavor, zat gizi, pestisida, herbisida, virusida tanaman, dan deasidifikasi buah-buahan, sayuran, dan penjernih sari buah. Fungsinya sebagai antimikrob dan antijamur juga diterapkan di bidang kedokteran.

(7)

2.4. Aplikasi Kitosan dalam Bidang Lingkungan

Lingkungan sangat berpotensi tercemar zat organik, anorganik, maupun logam berat. Keberadaan zat-zat pencemar tersebut akan mengganggu ekosistem yang ada, termasuk juga manusia. Oleh sebab itu, kelestarian lingkungan dari zat pencemar harus dijaga dan terus mendapatkan perhatian dari masyarakat sekitar, yang merupakan elemen dari lingkungan hidup itu sendiri. Salah satu cara yang dapat digunakan untuk mengurangi zat pencemar pada lingkungan adalah dengan menggunakan kitosan sebagai adsorben.

Kitosan lazimnya disintesis dari deasetilasi kitin yang berasal dari limbah kulit udang atau kepiting. Oleh karena itu, penggunaan kitosan sejak awal telah berperan dalam mengurangi pencemaran lingkungan. Manfaat kitosan dalam bidang lingkungan adalah untuk menjerap logam berat maupun zat warna yang banyak dihasilkan dari industri tekstil atau kertas. Logam berat merupakan limbah yang sangat berbahaya. Hal tersebut dikarenakan logam berat dapat menimbulkan toksisitas akut pada manusia maupun habitat yang ada di lingkungan perairan.

(8)

2.5. Modifikasi Kitosan

Kitosan dapat dimodifikasi, kitosan sebagai adsorben dapat berada dalam berbagai bentuk, antara lain bentuk butir, serpih, hidrogel, dan membran (film). Kitosan sebagai adsorben sering dimanfaatkan untuk proses adsorpsi ion logam berat. Besranya afinitas kitosan dalam mengikat ion logam sangat bergantung pada karakteristik makrostruktur kitosan yang dipengaruhi oleh sumber dan kondisi pada proses isolasi.

Perbedaan bentuk kitosan akan berpengaruh pada luas permukaannya. Semakin kecil ukuran kitosan, maka luas permukaan kitosan akan semakin besar, dan proses adsorpsi pun dapat berlangsung lebih baik. Modifikasi kimia kitosan menjadi gel kitosan dapat meningkatkan kapasitas jerapnya. Keunggulan ini disebabkan oleh bentuk butiran gel mempunyai volume pori yang lebih besar dibandingkan dengan bentuk serpihan, tetapi daya absorpsi butiran gel kitosan dipengaruhi oleh kestabilan sifat gel yang dibentuk (Rao, 1993).

2.6. Natrium Tripolifosfat

Tripolifosfat atau biasa disebut juga natrium tripolifosfat merupakan suatu serbuk berwarna putih dan sedikit higroskopis. Tripolifosfat bersifat mudah larut dalam air dan tidak larut dalam etanol. Disosiasi natrium tripolifosfat dalam air dapat dilihat pada gambar (Gambar 2.4.) di bawah ini :

𝑁𝑁𝑁𝑁5𝑃𝑃3𝑂𝑂10 + 5𝐻𝐻2𝑂𝑂 →5𝑁𝑁𝑁𝑁++𝐻𝐻5𝑃𝑃3𝑂𝑂10+ 5𝑂𝑂𝐻𝐻−

𝐻𝐻5𝑃𝑃3𝑂𝑂10 +𝑂𝑂𝐻𝐻−→ 𝐻𝐻4𝑃𝑃3𝑂𝑂10−+𝐻𝐻2𝑂𝑂

𝐻𝐻4𝑃𝑃3𝑂𝑂10−+𝑂𝑂𝐻𝐻−→ 𝐻𝐻3𝑃𝑃3𝑂𝑂102−+𝐻𝐻2𝑂𝑂

(9)

Tripolifosfat ada dalam bentuk garam natrium yang terdapat dalam bentuk anhidrat maupun heksahidratnya (FAO, 2006). Salah satu contoh senyawa polifosfat adalah natrium tripolifosfat dengan rumus molekul Na5P3O10 dan memiliki bobot molekul 368 g/mol. Natrium tripolifosfat dibuat dengan memanaskan campuran dinatrium fosfat (Na2HPO4) dan natrium fosfat (NaH2PO4) sesuai dengan persamaan reaksi berikut :

2𝑁𝑁𝑁𝑁2𝐻𝐻𝑃𝑃𝑂𝑂4+𝑁𝑁𝑁𝑁𝐻𝐻2𝑃𝑃𝑂𝑂4 → 𝑁𝑁𝑁𝑁5𝑃𝑃3𝑂𝑂10+ 2𝐻𝐻2𝑂𝑂 (2.1)

Alasan digunakan tripolifosfat karena sifatnya sebagai anion multivalen yang dapat membentuk ikatan ikat silang dengan kitosan yang bersifat kationik (Yu-Shin et.al., 2008). Natrium tripolifosfat merupakan senyawa anorganik berbentuk padatan yang digunakan dalam berbagai bidang aplikasi, misalnya bahan pengawet makanan dan daging serta industri keramik. Dalam bidang kimia, natrium tripolifosfat digunakan untuk surfaktan, larutan bufer, bahan pengemulsi (emulsifier), dan hidrolisis lemak. Selain itu, natrium tripolifosfat juga sering digunakan untuk pengikat silang pada pembuatan membran kitosan. Membran yang terikat silang natrium tripolifosfat lebih fleksibel dan stabilitas kimianya menjadi lebih baik (Sugita, 2009). Struktur natrium tripolifosfat dapat dilihat pada gambar (Gambar 2.5.) di bawah ini :

(10)

2.7. Nanopartikel Kitosan

Secara umum nanopartikel didefinisikan sebagai partikel dengan ukuran 10 – 1000 nm (Mohanraj dan Chen, 2006). Pembuatan nanopartikel yang menggunakan polimer dapat diklasifikasikan menjadi dua tipe; pertama nanopartikel dibentuk bersamaan dengan polimernya menggunakan reaksi polimerisasi, kedua polimer dibuat terpisah umtuk selanjutnya digunakan untuk membuat nanopartikel (Swarbick, 2007).

Ada empat metode pembuatan nanopartikel yang menggunakan kitosan sebagai polimer yaitu mikroemulsi, emulsifikasi difusi pelarut, kompleks polielektrolit, dan gelasi ionik.

2.7.1. Metode Mikroemulsi

Pada pembuatan nanopartikel menggunakan metode ini kitosan dilarutkan dalam larutan asam. Kemudian surfaktan dilarutkan dalam n-heksan. Larutan kitosan dan glutaraldehid kemudian ditambahkan ke dalam larutan surfaktan dalam n-heksan dengan pengadukan menggunakan pengaduk magnetik pada temperatur kamar. Nanopartikel akan terbentuk dengan adanya surfaktan.

(11)

Nanopartikel yang dihasilkan dengan menggunakan metode ini memiliki ukuran kurang dari 100 nm dan ukuran partikel tersebut dapat diatur dengan melakukan variasi glutaraldehid yang dapat mengubah derajat cross-linking. Namun, metode ini memiliki kerugian yaitu penggunaan pelarut organik, lamanya waktu proses pembuatan, dan tahapan pencucian yang kompleks (Kurniawan, 2012).

2.7.2. Metode emulsifikasi difusi pelarut

Pada metode ini, dibuat emulsi minyak dalam air dengan cara mencampurkan fase organik sedikit demi sedikit ke dalam larutan kitosan yang mengandung penstabil seperti poloxamer dengan pengadukan menggunakan pengaduk magnetik, dilanjutkan dengan homogenisasi tekanan tinggi. Emulsi kemudian dilarutkan ke dalam sejumlah besar fase air. Presipitasi polimer terjadi akibat difusi dari pelarut organik ke dalam fase air, yang mana akan membentuk nanopartikel. Metode ini sesuai untuk zat aktif yang hidrofobik. Kelemahan metode ini adalah penggunaan pelarut organik dan tekanan tinggi selama pembuatan nanopartikel (Kurniawan, 2012).

2.7.3. Metode Kompleks Polielektrolit

(12)

2.7.4. Metode Gelasi Ionik

Metode ini melibatkan proses ikat silang antara polielektrolit dengan adanya pasangan ion multivalennya. Pembentukan ikatan ini akan memperkuat kekuatan mekanis dari partikel yang terbentuk. Contoh pasangan polimer yang dapat digunakan untuk metode gelasi ionik ini adalah kitosan dengan tripolifosfat dan kitosan dengan karboksimetilselulosa (Swabrick, 2007).

Mekanisme pembentukan nanopartikel berdasarkan interaksi elektrostatik antara gugus amin dari kitosan dan gugus negatif dari polianion seperti tripolifosfat. Prosesnya diawali dengan melarutkan kitosan dalam asam asetat, kemudian tripolifosfat ditambahkan ke dalam larutan kitosan dengan pengadukan menggunakan magnetik stirer (Kurniawan, 2012).

2.8. Reaksi Ikat Silang

Ikatan silang merupakan ikatan yang menghubungkan rantai polimer yang satu dengan rantai polimer yang lain di mana ikatan tersebut berupa ikatan kovalen atau ionik. Reaksi ikat silang memberikan pengaruh yang besar baik dalam sifat kimia maupun sifat mekanik dari polimer (Nicholson, 2006). Pembentukan ikat silang dilakukan dengan penambahan suatu agen pengikat silang ke dalam larutan bahan yang akan dimodifikasi (Berger et.al., 2004).

(13)

Akan tetapi, kedua agen pengikat silang tersebut bersifat toksik. Glutaraldehid bersifat neurotoksik, sedangkan glioksal bersifat mutagenik. Meskipun hasil modifikasi tersebut dimurnikan sebelum pemberian, keberadaan dialdehid bebas yang tidak ikut bereaksi tidak seluruhnya dapat dihilangkan dan dapat memberikan efek toksik.

Agen pengikat silang kovalen lainnya yang dapat digunakan untuk membentuk reaksi ikat silang dengan kitosan telah banyak diteliti sebagai alternatif pilihan. Di samping dialdehid, asam oksalat dan genipin terbukti dapat digunakan sebagai agen pengikat silang. Akan tetapi, sampai saat ini belum ada data yang lengkap mengenai biokompatibilitas dari senyawa-senyawa tersebut.

Kebanyakan agen pengikat silang yang membentuk ikatan kovalen dapat menginduksi toksisitas jika sebelum pemberian masih terdapat sisa dari pereaksi. Untuk mengatasi masalah toksisitas yang terjadi tersebut, dapat dilakukan reaksi ikat silang ionik. Kitosan bersifat polikationik dalam lingkungan asam. Sifat ini menyebabkan terjadinya interaksi dengan komponen bermuatan negatif (anionik), baik berupa ion-ion maupun molekul, yang membentuk hubungan ionik antara rantai polimer. Interaksi ionik terjadi antara muatan negatif dari agen pengikat silang dengan muatan positif dari rantai polimer kitosan.

(14)

2.9. Kitosan Tripolifosfat

Gambar 2.6. Ikat silang ionik kitosan dengan natrium tripolifosfat (Bhumkar, 2006)

Kitosan mikropartikel dan nanopartikel telah dibuat dengan cara ikat silang menggunakan glutaraldehid, glioksal, dan etilen glikol diglicidil eter. Walaupun senyawa berikut merupakan agen pengikat silang yang baik namun jarang digunakan karena toksisitasnya.

(15)

2.10. Karakteristik Nanopartikel

2.10.1. Particle Size Analyzer (PSA)

Ada beberapa cara yang dapat digunakan untuk mengetahui ukuran suatu partikel yaitu :

1. Metode ayakan (sieve analyses) 2. Laser diffraction (LAS)

3. Metode sedimentasi

4. Electronical zone sensing (EZS) 5. Analisis gambar (mikrografi) 6. Metode kromatografi

7. Ukuran aerosol submikron dan perhitungan

(16)

Contoh alat yang menggunakan metode LAS adalah particle size analyzer (PSA). Metode LAS dibagi dalam dua metode :

1. Metode basah, metode ini menggunakan media pendispersi untuk mendispersikan material uji.

2. Metode kering, metode ini memanfaatkan udara atau aliran udara untuk melarutkan partikel dan membawanya ke sensing zone. Metode ini baik digunakan untuk ukuran yang kasar, di mana hubungan antar partikel lemah dan kemungkinan untuk beraglomerasi kecil.

Keunggulan penggunaan particle size analyzer (PSA) untuk mengetahui ukuran partikel :

1. Lebih akurat. Pengukuran partikel dengan menggunakan PSA lebih akurat jika dibandingkan dengan pengukuran partikel dengan alat lain seperti XRD ataupun SEM. Hal ini dikarenakan partikel didispersikan ke dalam media sehingga ukuran partikel yang terukur adalah ukuran dari single particle.

2. Hasil pengukuran dalam bentuk distribusi, sehingga dapat menggambarkan keseluruhan kondisi sampel.

3. Rentang pengukurandari0,6nanometer hingga7mikrometer.(Rusli, 2011)

(17)

Dengan demikian ukuran partikel yang terukur adalah ukuran dari single particle. Selain itu hasil pengukuran dalam bentuk distribusi, sehingga hasil pengukuran dapat diasumsikan sudah menggambarkan keseluruhan kondisi sampel. Beberapa analisis yang dilakukan, antara lain :

1. Menganalisis ukuran partikel.

2. Menganalisis nilai zeta potensial dari suatu larutan sampel.

3. Mengukur tegangan permukaan dari partikel clay bagi industri keramik dan sejenisnya.

4. Mengetahui zeta potensial koagulan untuk proses koagulasi partikel pengotor bagi industri water treatment plant (Nanortim, 2010).

2.10.2. FTIR (Fourier Transform Infra Red)

Jumlah energi yang diperlukan untuk meregangkan suatu ikatan tergantung pada tegangan ikatan dan massa atom yang terikat. Bilangan gelombang suatu serapan dapat dihitung menggunakan persamaan yang diturunkan dari hukum Hooke :

𝜈𝜈= 1

2𝜋𝜋𝜋𝜋�

𝑓𝑓(𝑚𝑚1+𝑚𝑚2)

𝑚𝑚1.𝑚𝑚2 � 1

2

(2.2)

(18)

Pancaran infra merah pada umumnya mengacu pada bagian spektrum elektromagnetik yang terletak di antara daerah tampak dan daerah gelombang mikro. Sebagian besar kegunaannya terbatas di daerah antara 4000 cm-1 dan 666 cm-1 (2,5-15,0 µm). Akhir-akhir ini muncul perhatian pada daerah infra merah dekat, 14290-4000 cm-1 (0,7-2,5 µm) dan daerah infra merah jauh, 700-200 cm-1 (14,3-50 µm) (Silverstain, 1967).

Salah satu hasil kemajuan instrumentasi IR adalah pemrosesan data seperti Fourier Transform Infra Red (FTIR). Teknik ini memberikan informasi dalam hal kimia, seperti struktur dan konformasional pada polimer dan polipaduan, perubahan induksi tekanan dan reaksi kimia. Dalam teknik ini padatan diuji dengan cara merefleksikan sinar infra merah yang melalui tempat kristal sehingga terjadi kontak dengan permukaan cuplikan. Degradasi atau induksi oleh oksidasi, panas, maupun cahaya, dapat diikuti dengan cepat melalui infra merah. Sensitivitas FTIR adalah 80-200 kali lebih tinggi dari instrumentasi dispersi standar karena resolusinya lebih tinggi (Kroschwitz, 1990).

Teknik pengoperasian FTIR berbeda dengan spektrofotometer infra merah. Pada FTIR digunakan suatu interferometer Michelson sebagai pengganti monokromator yang terletak di depan monokromator. Interferometer ini akan memberikan sinyal ke detektor sesuai dengan intensitas frekuensi vibrasi molekul yang berupa interferogram (Bassler, 1986).

Interferogram juga memberikan informasi yang berdasarkan pada intensitas spektrum dari setiap frekuensi. Informasi yang keluar dari detektor diubah secara digital dalam komputer dan ditransformasikan sebagai domain, tiap-tiap satuan frekuensi dipilih dari interferogram yang lengkap (fourier transform). Kemudian sinyal itu diubah menjadi spektrum IR sederhana. Spektrofotometer FTIR digunakan untuk :

1. Mendeteksi sinyal lemah.

Gambar

Gambar 2.1. Struktur polimer selulosa (R= -OH) dan kitin (R= -NHCOCH3
Tabel 2.1. Spesifikasi kitin
Gambar 2.2. Struktur polimer kitosan (Sugita, 2009)
Tabel 2.2. Kelarutan kitosan pada berbagai pelarut asam organik
+4

Referensi

Dokumen terkait

Akhir sekali, saya ingin menyeru kepada semua pihak untuk menjadikan Protokol Veterinar Malaysia Salmonellosis unggas bersama APTVM berkaitan sebagai panduan bagi

PERTAMA : Penyelenggara Ujian Nasional melalui rapat dewan guru menetapkan kelulusan peserta didik berdasarkan kreteria kelulusan sebagaimana yang diatur oleh Peraturan

[r]

Kaltim Tahun Anggaran 2012, menyatakan bahwa pada tanggal 30 Juli 2012 pukul 11.59 Wita tahapan pemasukan/upload dokumen penawaran ditutup sesuai waktu pada

[r]

Kewenangan ini diberikan agar pembubaran partai politik tidak terjebak pada otoritarianisme dan arogansi, tidak demokratis, dan berujung pada pengebirian kehidupan

[r]

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Yulius Ardy Wiranata (2013) dengan topik penelitian pengaruh struktur kepemilikan terhadap