• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perbanyakan Tunas Boesenbergia Flava dengan Pemberian BAP dan NAA Secara In Vitro

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Perbanyakan Tunas Boesenbergia Flava dengan Pemberian BAP dan NAA Secara In Vitro"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA

Berdasarkan ZipcodeZoo.com (2012) klasifikasi tanaman

Boesenbergia flava Holttum adalah Kingdom: Plantae, Class: Magnoliopsida

Ordo: Zingiberales, Family: Zingiberaceae, Genus: Boesenbergia ,

spesies: Boesenbergia flava Holttum.

(2)

Batang yang berdaun pendek dengan masing-masing 4 daun dan pelepah

merah di pangkalnya. Helaian daun yang ke 20 dengan panjang 6 cm, agak

simetris, berbentuk bulat panjang hijau dengan tanda keperak-perakan ditengah

(dengan pelepah dan sebuah tanda di kedua sisi itu) panjang tangkai daun 2-4 cm.

Panjang ligula-lobus 1 cm, tipis, merah muda: pelepah memerah atau

belang-belang dengan warna merah hampir seluruhnya. Perbungaan seluruhnya di

sembunyikan oleh daun seperti dalam B. Pandurata dan dengan bentuk yang

mirip. Panjang bracts sekitar 5 cm dan kemerah-merah mudaan. Panjang

corolla – tube 1- 1,5 cm lebih panjang dari bracts. Panjang lobus kuning 2-2,5 cm,

lebarnya 2 cm, hampir datar kekuning-kuningan menempel di dekat pucuk dan

bercak merah di kedua sisi garis tengah menuju pangkal. Panjang serabut hampir

1-5 cm, pucat kekuning-kuningan ± sedikit merah ke merah mudaan: panjang

anther sekitar 5 mm, kantung serbuk sari agak di pucuk. Sambungan di

perpanjang menjadi 1 mm panjangnya tidak lebih lebar dari pada anther, sedikit

melipat dengan ujung yang sangat pendek (Bulletin, 1950).

Spesies ini awalnya di kenalkan oleh Ridley dari sebuah tanaman yang

di budidayakan di Penang, di bawa dari kabupaten Batang Padang (perak) gambar

yang berwarna ada di Singapura dan juga contoh keringnya di buat dari gambar

tanaman. Bunga dari Boesenbergia flava besar dan warnanya kuning dengan

tanda merah khusus (Bulletin, 1950).

Kultur Jaringan

Kultur jaringan itu sendiri dapat diartikan suatu metode untuk mengisolasi

(3)

bagian tersebut dapat memperbanyak diri dan beregenerasi menjadi tanaman

lengkap (Hartman dkk, 2002).

Berbeda dengan teknik perbanyakan vegetatif konvensional, kultur

jaringan melibatkan pemisahan komponen-komponen biologis dan tingkat

pengendalian yang tinggi dalam memacu proses regenerasi dan perkembangan

jaringan. Setiap urutan proses dapat dimanipulasi melalui seleksi bahan tanaman,

medium kultur dan faktor-faktor lingkungan, termasuk eliminasi mikroorganisme

seperti jamur dan bakteri. Semua itu dimaksudkan untuk memaksimalkan produk

akhir dalam bentuk kuantitas dan kualitas propagula berdasarkan prinsip

totipotensi sel (Zulkarnain, 2009).

Dibanding dengan perbanyakan tanaman secara konvensional,

perbanyakan tanaman secara kultur jaringan mempunyai beberapa kelebihan

sebagai berikut:

1. Untuk memperbanyak tanaman tertentu yang sulit atau sangat lambat

diperbanyak secara konvensional. Perbanyakan tanaman secara kultur

jaringan menawarkan peluang besar untuk menghasilkan jumlah bibit

tanaman yang banyak dalam waktu relatif singkat sehingga lebih ekonomis.

2. Perbanyakan tanaman secara kultur jaringan tidak memerlukan tempat yang

luas.

3. Teknik perbanyakan tanaman secara kultur jaringan dapat dilakukan

sepanjang tahun tanpa bergantung pada musim.

4. Bibit yang dihasilkan lebih sehat.

5. Memungkinkan dilakukannya manipulasi genetik.

(4)

Pada dasarnya kultur in vitro merupakan suatu proses perbanyakan sel,

jaringan, organ atau protoplasma dengan teknik steril. Keberhasilan teknologi in

vitro masih terbatas pada beberapa tanaman tertentu saja. Kultur in vitro juga

memberikan pengertian tentang studi fisiologi, biokimia, genetika pertumbuhan

dan perkembangan spesies tanaman pada tingkat molekuler (Nasir, 2000)

Eksplan

Kondisi fisiologis eksplan memiliki peranan penting bagi keberhasilan

teknik kultur jaringan. Pierik (1997) menyatakan bahwa pada umumnya

bagian-bagian vegetatif lebih siap beregenerasi daripada bagian-bagian-bagian-bagian generatif. Eksplan

mata tunas yang diperoleh dari tanaman yang sedang istirahat, lebih sulit

berpoliferasi daripada mata tunas yang diperoleh dari tanaman yang sedang aktif

tumbuh. Hal itu sama halnya dengan kasus dormansi pada eksplan biji. Kondisi

fisiologis dari suatu tanaman bervariasi secara alami, sejalan dengan pertumbuhan

tanaman yang melewati fase-fase yang berbeda dan perubahan kondisi lingkungan

(Zulkarnain, 2009).

Dalam pemilihan bagian tanaman, perlu juga dipertimbangkan tujuan dari

kulturnya. Bagian-bagian tertentu akan memberikan variasi dalam jumlah

kromosom maupun variasi dalam beberapa gen. Endosperma hanya digunakan

untuk mendapatkan kultur yang triploid. Selain bagian tanaman, genotip atau

varietas yang digunakan juga ikut menentukan keberhasilan regenerasi

(Gunawan, 1995).

Eksplan adalah bagian kecil jaringan atau organ yang di pisahkan dari

(5)

tergantung pada faktor yang meliputi genotif eksplan, umur fisiologis juga sumber

jaringan (Hughes, 1982).

Pada tanaman herba, eksplan diambil baik dari pucuk apikal maupan

lateral yang mengambil jaringan meristematik namun sering kali digunakan mata

tunas yang diharapkan akan berkembang membentuk daun dan batang sempurna.

Bagian tanaman yang digunakan sebagai eksplan adalah tunas lateral atau

terminal yang panjangnya kurang lebih 20 mm. Pengaruh dominasi apikal dapat

dihilangkan dengan menambahkan zat pengatur tumbuh (terutama sitokinin)

kedalam medium. Sebagai hasilnya adalah tunas dengan jumlah cabang yang

banyak (Wattimena, 1992).

Media Kultur

Sebelum membuat medium, maka terlebih dahulu kita harus menentukan

medium apa yang akan kita buat. Jenis medium dengan komposisi unsur kimia

yang berbeda dapat digunakan untuk media tumbuh dari jaringan tanaman yang

berbeda pula (Hendaryono dan Wijayani, 1994).

Medium yang digunakan untuk kultur in vitro tanaman dapat berupa

medium padat atau cair. Medium padat digunakan untuk menghasilkan kalus yang

selanjutnya diinduksi membentuk tanaman yang lengkap (disebut sebagai planlet),

sedangkan medium cair biasanya digunakan untuk kultur sel. Medium yang

digunakan mengandung lima komponen utama yaitu senyawa anorganik, sumber

karbon, vitamin, zat pengatur tumbuh dan suplemen organik (Yuwono, 2008).

Media yang digunakan secara luas adalah media MS yang dikembangkan

pada tahun 1962. Dari berbagai komposisi dasar ini kadang-kadang dibuat

(6)

makro yang digunakan (1/2 MS) atau menggunakan komposisi garam makro

berdasarkan MS tetapi mikro dan vitamin berdasarkan komposisi Heller. Zat

pengatur tumbuh yang akan digunakan disesuaikan dengan tujuan inisiasi kultur

(Gunawan, 1995).

Jenis dan komposisi media sangat memerlukan biaya produksi dan

keberhasilan perbanyakan tanaman secara in vitro. Teknik perbanyakan bibit

secara in vitro dapat di lakukan setiap waktu tanpa dipengaruhi oleh musim.

Walaupun demikian, biaya produksi bibit jahe dengan teknik kultur jaringan

sangat mahal, karena pada umumnya di gunakan Murashige dan skoog (MS) yang

merupakan media pertumbuhan dengan bahan pemadat agar yang diperkaya

dengan berbagai senyawa organik, vitamin dan zat pengatur tumbuh

(Sutarto dkk, 2003).

Lingkungan In Vitro

Lingkungan kultur merupakan hasil interaksi antara bahan tanaman,

wadah kultur, dan lingkungan eksternal ruang kultur, memiliki pengaruh yang

sangat besar terhadap suatu sistem kultur jaringan. Secara teoritis, semua variabel

di dalam setiap wadah kultur pada ruang kultur yang sama adalah seragam.

Sebagai konsekuensinya, hal yang sama terjadi pula di wadah-wadah kultur pada

sruang kultur yang lain. Agar pertumbuhan kultur seragam maka keseragaman

faktor lingkungan harus diupayakan, tidak hanya di dalam ruang kultur, tetapi

juga di dalam semua wadah kultur dengan cara menggunakan wadah yang

(7)

Lingkungan tumbuh yang dapat mempengaruhi regenerasi tanaman

meliputi: Temperatur, Penyinaran: panjang penyinaran, intensitas penyinaran, dan

kualitas sinar, serta ukuran wadah kultur (Gunawan, 1995).

Temperatur di dalam ruang kultur jaringan diharapkan dapat diatur.

Banyak laporan mengatakan bahwa temperatur yang baik untuk pertumbuhan

tanaman dalam in vitro antara 20-280 c yang merupakan suhu ruangan normal.

Suhu ruangan untuk negara tropis dapat diturunkan dengan pemasangan AC.

Pemakaian AC mutlak karena ruang kultur merupakan ruangan tertutup yang

sedikit sekali mempunyai aliran udara bebas (Gunawan, 1987).

Pengaruh intensitas cahaya terhadap pembentukan akar bergantung pada

cara pemberian cahaya tersebut. Protokorm Cymbidium yang berwarna hijau akan

membentuk akar dan tunas bila diberi intensitas cahaya 2200 sampai 2500 lux.

Namun, bila disimpan dalam gelap hanya membentuk tunas. Pembentukan akar

disini diduga ada kaitannya dengan metabolism nitrogen yang terjadi dengan

adanya cahaya. Untuk keperluan kultur jaringan cahaya putih dari lampu

flourscent dengan intensitas 1000 lux untuk fase inisiasi dan subkultur, sedangkan

untuk fase pengakaran dan persiapan planlet sebelum dilakukan aklimatisasi

menggunakan intensitas 3000 sampai 10000 lux. Intensitas yang lebih rendah

akan menghasilkan planlet yang mengalami etiolasi dengan daun yang berwarna

pucuk. Lama penyinaran yang dianjurkan adalah 16 jam per hari

(Wattimena dkk, 1992).

Zat Pengatur Tumbuh

Zat pengatur tumbuh memegang peranan penting dalam pertumbuhan dan

(8)

zat pengatur tumbuh antara lain jenis zat pengatur tumbuh yang akan digunakan,

konsentrasi, urutan penggunaan, dan periode masa induksi dalam kultur tertentu

(Gunawan, 1995).

Pierik (1997) mengemukakan bahwa fitohormon adalah senyawa-senyawa

yang dihasilkan oleh tanaman tingkat tinggi secara endogen. Senyawa tersebut

berperan merangsang dan meningkatkan pertumbuhan serta perkembangan sel,

jaringan dan organ tanaman menuju arah diferensiasi tertentu. Senyawa-senyawa

lain yang memiliki karakteristik yang sama dengan hormone, tetapi diproduksi

secara eksogen, dikenal sebagai zat pengatur tumbuh.

Untuk meningkatkan daya regenerasi dari eksplan tunas diperlukan

penambahan zat pengatur tumbuh dalam media tanam. Kebutuhan nutrisi dan zat

pengatur tumbuh untuk memacu proses morfogesis pada kultur in vitro akan

berbeda untuk setiap jenis tanaman dan eksplan yang digunakan ( Marlin, 2005)

Naftalen asam asetat (NAA)

Auksin adalah sekelompok senyawa yang fungsinya merangsang

pemanjangan sel-sel pucuk yang spektrum aktivitasnya menyerupai IAA

(indole-3-acetic-acid). Pierik (1997) menyatakan bahwa pada umumnya auksin

meningkatkan pemanjangan sel, pembelahan sel, dan pembentukan akar adventif.

Auksin berpengaruh pula untuk menghambat pembentukan tunas adventif dan

tunas aksilar, namun kehadirannya dalam medium kultur dibutuhkan untuk

meningkatkan embriogenesis somatik pada kultur suspensi sel. Konsentrasi auksin

yang rendah akan meningkatkan pembentukan akar adventif, sedangkan auksin

konsentrasi tinggi akan merangsang pembentukan kalus dan menekan

(9)

Pertumbuhan dari kultur jaringan atau organ dan In vitro morfogenesis

lebih dipengaruhi oleh genotipe sumber jaringan atau organ yang digunakan

dibandingkan dengan faktor lainnya. Media dan kondisi fisik lingkungan tumbuh

kultur sering kali berbeda satu genus dengan genus yang lain, atau spesies

tanaman tertentu dengan spesies lain. Tidak jarang antar varietas yang memiliki

sifat dekat namun kebutuhannya akan lingkungan dan media berbeda

(Wattimena, dkk, 1992).

Naphthalene Acetic Acid (NAA) adalah auksin sintetik yang sering

ditambahkan dalam media tanam karena mempunyai sifat lebih stabil dari pada

Indol Acetic Acid (IAA). IAA dapat mengalami degradasi yang disebabkan

adanya cahaya atau enzim oksidatif. Oleh karena sifatnya yang labil IAA jarang

digunakan dan hanya merupakan hormon alami yang ada pada jaringan

tanaman yang digunakan sebagai eksplan. Sedangkan NAA tidak mudah terurai

oleh enzim yang dikeluarkan sel atau pemanasan pada proses sterilisasi

(Wulandari dkk, 2004).

Benzil aminopurin (BAP)

Sifat paling karakteristik yang berkaitan dengan sitokinin adalah

perangsangan hormon terhadap pembelahan sel pada kultur jaringan tanaman.

Satu dari reaksi yang benar-benar dramatis terhadap sitokinin adalah

pembentukan organ-organ yang terjadi di bawah kondisi yang tepat dalam

berbagai kultur jaringan. Dengan pemprosesan sitokinin mengeluarkan

pembentukan tunas yang melimpah (Wilkins, 1989).

Sitokinin meningkatkan baik sitokineis maupun pembesaran sel, terutama

(10)

sendiri, sebab sitokinesis hanya merupakan proses pembelahan saja sitokinin

berfungsi untuk memacu pembelahan sel dan pembentukan organ, menunda

penuaan dan meningkatkan aktifitas wadah penampung hara, memacu

perkembangan pucuk dan di dukung oleh Dwidjoseputro (1980) yang menyatakan

sitokinin bukan senyawa tunggal melainkan kumpulan senyawa yang berfungsi

mirip satu dengan yang lain. Zat ini menggiatkan pembelahan sel jelas juga

pengaruhnya terhadap pertumbuhan tunas dan akar (Salisbury dan Ross, 1995).

Zat pengatur tumbuh yang diberikan harus dapat diabsorbsi dan

ditranslokasikan ke jaringan target. Hal ini tentu tergantung dari formulasi dan

konsentrasi zat pengatur tumbuh sehingga dapat dikatakan bahwa pada

konsentrasi tersebut belum dapat diabsorbsi dan ditranslokasikan oleh tanaman

untuk pertumbuhan dan perkembangan. Peningkatan konsentrasi auksin akan

menghambat inisiasi akar, pembelahan sel dan pemanjangan akar menambahkan

konsentrasi NAA yang ditingkatkan ke media pengakaran akan meningkatkan

auksin endogen sehingga terjadi akumulasi auksin. Akumulasi auksin ini akan

menghambat pemajangan akar. Konsentrasi auksin endogen yang tinggi dapat

menyebabkan pemendekan sel-sel. konsentrasi zat pengatur tumbuh untuk

pembesaran sel-sel pada batang menjadi penghambat pada pembentukan

sel-sel akar. Interaksi BAP dan NAA mempengaruhi aktivitas sel sel di batang

untuk memunculkan tunas sehingga aktivitas sel-sel di akar terhambat

(Wattimena, dkk, 1992).

Disamping merangsang pembentukan tunas adventif, sitokinin juga

merangsang multiplikasi tunas aksilar dan melawan dominasi apikal. Tunas

(11)

dikulturkan. Pengulturan dalam media yang ditambah dengan sitokinin bertujuan

untuk merangsang pecah dan tumbuhnya mata tunas samping dan mencegah

dominansi tunas apikal yang mengakibatkan terbentuknya tunas samping

(Yusnita, 2003).

Zat pengatur tumbuh pada tanaman adalah senyawa organik yang bukan

hara yang dalam jumlah sedikit dapat mendukung (promote), menghambat dan

merubah proses fisiologi tumbuhan. Auksin dan sitokinin adalah zat pengatur

tumbuh yang sering ditambahkan dalam media tanam karena mempengaruhi

pertumbuhan dan organogenesis dalam kultur jaringan dan organ. Auksin sintetik

perlu ditambahkan karena auksin yang terbentuk secara alami sering tidak

mencukupi untuk pertumbuhan jaringan eksplan. Auksin mempunyai peranan

terhadap pertumbuhan sel, dominasi apikal dan pembentukan kalus.

Kisaran konsentrasi auksin yang biasa digunakan adalah 0,01-10 ppm.

(Wulandari dkk, 2004)

BAP (6-Benzyl Amino Purine) merupakan golongan sitokinin sintetik yang

paling sering digunakan dalam perbanyakan tanaman secara kultur in vitro. Hal

ini karena BAP mempunyai efektifitas yang cukup tinggi untuk perbanyakan

tunas, mudah didapat dan relatif lebih murah dibandingkan dengan kinetin

(Kurnianingsih dkk, 2009).

Menurut Widyastuti (2004) bahwa akar yang tumbuh pada media tanpa zat

pengatur tumbuh kemungkinan diinduksi oleh auksin endogen.Rahardja (1989)

dan Cleland (1995) yang dikutip dari Kurnianingsih (2009) menyebutkan bahwa

dalam kultur jaringan auksin merupakan zat pengatur tumbuh yang dapat

(12)

merangsang pembentukan akar. Jika konsentrasi auksin dalam media kultur tinggi

maka akan menghambat pertumbuhan tunas (Kurnianingsih 2009).

Menurut Wiendi dkk (1991) menyatakan bahwa pada beberapa tanaman

membutuhkan waktu yang lama untuk beregenerasi. Kemungkinan sitokinin

endogen tidak mencukupi untuk pembentukan tunas berarti selain auksin zat

pengatur tumbuh sitokinin juga perlu ditambahkan ke dalam media. Pierik (1987)

menyatakan bahwa sitokinin berperan dalam memacu pertumbuhan dan

perkembangan tanaman khususnya tunas adventif yang di kutip dari Azriati

(2005) menyebutkan tanpa adanya penambahan sitokinin ke dalam media tanam

menyebabkan eksplan tidak mampu berorganogenesis membentuk tunas karena

belum adanya interaksi dan keseimbangan antara auksin dan sitokinin endogen

dengan auksin dan sitokinin eksogen. Menurut Evans, dkk (1986) yang dikutip

oleh Sobardini, dkk (2006) yang menyatakan bahwa tunas yang sedang

berkembang dapat memproduksi auksin dalam jumlah yang cukup untuk perakaran

Referensi

Dokumen terkait

Pemerintahan Gampong adalah penyelenggaraan urusan Pemerintahan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Gampong dan Tuha Peuet dalam mengatur dan mengurus masyarakat

Judul : PENGARUH LAMA PENYIMPANAN DALAM UDARA TERMODIFIKASI DAN KALIUM PERMANGANAT TER-. HADAP KUALITAS BUAH

Indonesia Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum bertentangan dengan Pasal 22E ayat (1) dan ayat (5), Pasal 27 ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945

yang semakin meningkat yang mana kebutuhan tersebut dapat dipenuhi dengan menerapkan teknologi informasi secara baik dan benar. Pada sektor perkantoran, kehadiran teknologi

Burung beo Alor di penangkaran Oilsonbai, NTT, memiliki tiga perilaku utama, yaitu perilaku diam, bergerak, dan ingestif dengan 13 aktivitas (istirahat, stationer,

Iman kepada malaikat artinya percaya bahwa malaikat adalah makhluk gaib yang asal.. kejadiannya dari nur

Mengingat seringnya terjadi masalah yang terjadi pada divisi produksi perusahaan serta belum adanya pengelolaan pengalaman sehingga menyebabkan terjadinya permasalahan yang

Terkait dengan penelitian yang akan saya teliti, dengan judul “ PENGARUH KUALITAS PELAYANAN, HARGA, DAN KUALITAS PRODUK TERHADAP KEPUASAN KONSUMEN SERTA DAMPAKNYA