• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambaran Stomatitis Aftosa Rekuren Dalam

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Gambaran Stomatitis Aftosa Rekuren Dalam"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

1

Rahmat Ibrahim; Elizabeth Fitriana Sari, drg., Sp.PM.; Erna Herawati, drg., M.Kes. Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Padjadjaran

Jl. Sekeloa Selatan 1 Bandung, Jawa Barat, Indonesia, 40132

Alamat: Jl. Sekeloa Selatan 1 Bandung, Jawa Barat, Indonesia 40132 (www.fkg.unpad.ac.id ; email: fkg@unpad.ac.id)

ABSTRAK

Stomatitis aftosa rekuren (SAR) merupakan penyakit mulut yang paling umum terjadi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran profil pasien SAR dan karakteristik SAR khususnya di instalasi penyakit mulut Rumah Sakit Gigi dan Mulut Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Padjadjaran (RSGM FKG Unpad).

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif retrospektif dengan cara mengambil data pada semua kasus SAR yang ada dalam kartu rekam medis di instalasi penyakit mulut RSGM FKG Unpad periode Juli 2009 – Juli 2011. Data ini mencakup profil pasien SAR yang terdiri dari jenis kelamin, usia, tingkat pendidikan, dan pekerjaan; serta karakteristik SAR yang terdiri dari tipe, lokasi, lamanya penyembuhan, dan penatalaksanaan SAR.

Hasil penelitian ini didapatkan profil pasien SAR sebagian besar terjadi pada: (1) perempuan 74,23%, (2) rentang usia 20-29 tahun 84,66%, (3) tingkat pendidikan universitas

52,15%, dan (4) pada ibu rumah tangga (IRT) dan pasien yang tidak bekerja 84,66%. Sedangkan, karakteristik SAR sebagian besar terjadi pada: (1) tipe SAR minor 96,32%, (2) lokasi mukosa labial 44,29%, (3) durasi sembuh 7-14 hari 63,19%, dan (4) obat antiseptik 64,32%.

Simpulan dari penelitian ini adalah gambaran profil pasien SAR lebih banyak terjadi pada perempuan, usia 20-29 tahun, tingkat pendidikan universitas, dan pekerjaan IRT dan pasien yang tidak bekerja. Sedangkan, gambaran karakteristik SAR lebih banyak terjadi pada tipe SAR minor, lokasi mukosa labial, durasi sembuh 7-14 hari, dan penatalaksanaan yang umum diberikan adalah obat antiseptik.

(2)

ABSTRACT

Recurrent aphthous stomatitis (RAS) is the most common oral diseases. This study

aims to know the description of RAS patient’s profile and its characteristic, especially in

installation of oral medicine Rumah Sakit Gigi dan Mulut Fakultas Kedokteran Gigi

Universitas Padjadjaran (RSGM FKG Unpad).

The method of this study was retrospective descriptive by collecting all the data on the

existing RAS cases from the medical record in the installation of Oral Medicine RSGM FKG

Unpad during July 2009 - July 2011 period of time. This data divided into RAS patient’s

profiles which consists of gender, age, education level, and occupation; and also RAS

characteristic which consists of RAS type, location, duration of healing, and treatment of

RAS.

These results showed that RAS patient’s profiles occurs majority in (1) 74.23%

female, (2) 84.66% in 20-29 years range of age, (3) 52.15% patients in the level of university,

(4) 84.66% happen mostly in housewife and unemployee patients. RAS characteristics occurs

majority in (1) 96.32% as minor type of RAS, (2) 44.29% the location at labial mucosa, (3)

63.19% healing period within 7-14 days, and (4) 64.32% treated with antiseptic.

The conclusion that the description of RAS patient’s profiles is more common in

women, aged 20-29 years, the level of study is in university, and happen mostly in housewife

and unemployee patients. The description of RAS characteristics is more common in minor

type of RAS, location at labial mucosa, healing period within 7-14 days, and most of

treatment by antiseptic.

Keywords: RAS, Patient profiles of RAS, Characteristics of RAS

PENDAHULUAN

Di bidang kedokteran gigi sariawan dikenal sebagai canker sore, stomatitis aftosa atau ulser aftosa. Sedangkan pada individu yang setiap bulan mengalami sariawan disebut sebagai sariawan berulang atau Stomatitis Aftosa Rekuren (SAR). SAR merupakan salah satu

penyakit mulut yang paling umum terjadi, tetapi prevalensi SAR di Indonesia masih belum diketahui secara pasti dan masih belum banyak penelitian yang dilakukan mengenai profil pasien dan karakteristik SAR (Harahap, 2006; Wray, et al., 2001).

(3)

diteliti (Jurge, et al., 2006; Gurenlian, 2003). Terdapat beberapa penelitian lain yang

dilakukan diberbagai negara, antara lain pada penelitian yang dilakukan Donatsky (1973) terhadap 512 mahasiswa kedokteran gigi di Denmark, dilaporkan prevalensi SAR mencapai 56% (289/512). Dan dari 289 mahasiswa yang terkena SAR, sekitar 50% pria dan 62% wanita. Dalam populasi yang sama prevalensi SAR sekitar 45% dibawah umur 16 tahun dan 17% umur 16-18 tahun. Di Swedia, penelitian yang dilakukan pada populasi umum didapatkan prevalensi SAR sekitar 17.7% (Jurge, et al., 2006). Di Indonesia, berdasarkan penelitian yang dilakukan di klinik penyakit mulut di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo pada tahun 1988-1990 didapatkan kasus SAR sekitar 26.6% (Harahap, 2006).

Berdasarkan penelitian mengenai status sosioekonomi pasien SAR di Turki, bahwa status sosioekomoni menengah ke atas (27,9%) lebih beresiko terkena penyakit SAR daripada status sosioekonomi yang rendah (22,8%). Tingkat pendidikan ataupun pekerjaan merupakan salah satu bagian dari status sosioekonomi setiap individu (Jurge, et al., 2006; Cicek, et al., 2004).

Selain itu, terdapat berbagai penelitian mengenai karakteristik SAR seperti penelitian tentang tipe, bahwa SAR diklasifikasikan dalam 3 tipe, yaitu ulser minor, ulser mayor, dan ulser herpetiform. SAR minor adalah tipe yang paling umum terjadi sekitar 80% pada

penderita SAR, sedangkan SAR mayor (10-15%) dan ulser herpetiform yang jarang terjadi (Preeti, et al., 2011; Jurge, et al., 2006). Dilaporkan dari hasil penelitian di Inggris pada 209 pasien penyakit mulut yang telah didiagnosa SAR, bahwa ulserasi biasanya muncul pada mukosa labial (39%), mukosa bukal (30%), atau vestibulum (29%) (McCullough, et al., 2007).

Hingga saat ini etiologi SAR masih belum diketahui, tetapi terdapat faktor yang dapat memicunya, antara lain faktor nutrisi, stres, trauma, alergi, infeksi, berhenti merokok, nutrisi, genetik, endokrin, dan imunitas. Oleh karena itu, penatalaksanaan pasien SAR dapat dibagi kedalam pencegahan terbentuknya ulser dan perawatan simptomatik (Murray, et al., 2004; Wray, et al., 2001).

(4)

pada 2/3 partisipan kurang dari 7 hari, sedangkan 29% partisipan durasi ulserasinya sampai 2

minggu dan minoritas (4%) hingga mencapai lebih dari 2 minggu (Safadi, 2009).

Berdasarkan uraian diatas dan RSGM FKG Unpad merupakan salah satu rumah sakit yang memiliki instalasi penyakit mulut, juga belum pernah ada yang melakukan penelitian tentang gambaran profil pasien SAR dan karakteristik SAR. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk meneliti gambaran profil pasien yang terdiri dari jenis kelamin, umur, tingkat pendidikan, pekerjaan; dan karakteristik SAR yang terdiri dari tipe, lokasi, lamanya penyembuhan, dan penatalaksanaan SAR.

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan memberikan informasi tentang gambaran profil pasien dan karakteristik SAR, di instalasi penyakit mulut RSGM FKG Unpad pada periode Juli 2009 – Juli 2011. Memudahkan dokter gigi dalam menegakkan diagnosis dan memberikan pengobatan pada pasien SAR, juga dapat mendorong penelitian-penelitian lebih lanjut mengenai SAR.

BAHAN DAN METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif retrospektif dengan cara mengambil data

sekunder dari kartu rekam medis kasus SAR di instalasi penyakit mulut RSGM FKG Unpad pada periode Juli 2009 – Juli 2011.

Populasi pada penelitian ini adalah semua kasus SAR yang ada dalam rekam medis di instalasi penyakit mulut RSGM FKG Unpad. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini

adalah semua kasus SAR yang ada dalam rekam medis di instalasi penyakit mulut RSGM FKG Unpad. pada periode Juli 2009 – Juli 2011.

Variabel dalam penelitian ini adalah profil pasien SAR yang terdiri dari jenis kelamin, usia, tingkat pendidikan, dan pekerjaan; dan karakteristik SAR yang terdiri dari tipe SAR, lokasi SAR, lamanya penyembuhan, dan penatalaksanaan.

(5)

HASIL

Hasil penelitian pada tabel 4.1 menunjukkan bahwa jumlah kasus stomatitis aftosa rekuren adalah 163 kasus atau 21,94% dari seluruh kasus penyakit mulut di instalasi penyakit mulut RSGM FKG Unpad periode Juli 2009 – Juli 2011 yang berjumlah 743 kasus.

Pada tabel 4.2 berdasarkan jenis kelamin, gambaran pasien SAR sebagian besar terjadi pada perempuan, yaitu dengan jenis kelamin perempuan berjumlah 121 orang (74,23%) dan laki – laki berjumlah 42 orang (25,77%).

Pada tabel 4.3 menunjukkan bahwa pasien SAR berdasarkan usia sebagian besar terjadi pada rentang usia 20 – 29 tahun dengan jumlah 138 orang atau dengan persentase 84,66% dan paling sedikit terjadi pada rentang usia <10 dan 50 – 59 tahun (1,23%).

(6)

Pada tabel 4.5 menunjukkan bahwa pasien SAR berdasarkan pekerjaan sebagian besar

terjadi pada pekerjaan ibu rumah tangga (IRT) dan tidak bekerja dengan jumlah 138 orang atau 84,66% dari 163 pasien SAR.

Berdasarkan hasil penelitian pada tabel 4.6 menunjukkan bahwa jumlah kasus SAR, yaitu 163 orang. Dari jumlah tersebut, berdasarkan tipe SAR sebagian besar terjadi pada tipe SAR minor dengan jumlah 157 orang (96,32%), diikuti SAR mayor dengan jumlah hanya 6 orang (3,68%) dan untuk SAR herpetiform tidak ditemukan pasien yang datang ke instalasi penyakit mulut RSGM FKG Unpad periode Juli 2009 – Juli 2011.

Pada tabel 4.7 menunjukkan bahwa penyakit SAR berdasarkan lokasi SAR sebagian besar terjadi pada mukosa labial dengan jumlah 93 atau 44,29% dari 210 lokasi SAR yang ada. Selain itu, lokasi SAR yang umum muncul setelah mukosa labial adalah mukosa bukal dengan persentase 26,67%.

Pada tabel 4.8 menunjukkan bahwa durasi penyembuhan dari munculnya ulser sampai

setelah pemberian penatalaksanaan pasien SAR yang sebagian besar sembuh pada durasi 7 - 14 hari (63,19%), > 14 hari (26,99%), dan < 7 hari (9,82%).

(7)

PEMBAHASAN

Berdasarkan data yang diperoleh dari rekam medis penyakit mulut kasus SAR, gambaran profil pasien dan karakteristik SAR di instalasi penyakit mulut RSGM FKG Unpad periode Juli 2009 – Juli 2011, yang terdiri dari jenis kelamin, umur, tingkat pendidikan, pekerjaan, tipe SAR, lokasi SAR, penatalaksanaan dan lamanya penyembuhan dapat diteliti. Hasil penelitian pada tabel 4.1 menunjukkan bahwa jumlah kasus yang menderita penyakit Stomatitis Aftosa Rekuren di instalasi penyakit mulut RSGM FKG Unpad selama periode Juli 2009 – juli 2011, yaitu 163 kasus atau dengan persentase 21,94% dari 743 kasus penyakit mulut. Pada penelitian yang telah dilakukan di klinik penyakit mulut di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo pada tahun 1988-1990 didapatkan kasus SAR sekitar 26.6% (Harahap, 2006). Literatur lain juga menyatakan bahwa prevalensi SAR dapat terjadi sekitar 5 – 60% pada populasi umum atau tertentu (Sawair, 2010; Jurge, et al., 2006). Penelitian lain pada pelajar diperoleh kasus SAR paling banyak terjadi sekitar 27,79% dari 331 kasus penyakit mulut (Crivelli, et al., 1988). Pada penelitian ini hasilnya sesuai dengan literatur dan penelitian yang telah dilakukan, bahwa kasus SAR banyak terjadi pada pasien penyakit mulut. Berdasarkan jenis kelamin pada tabel 4.2, gambaran pasien SAR sebagian besar terjadi pada pasien dengan jenis kelamin perempuan, yaitu 121 orang atau 74,23% daripada

laki-laki yang hanya berjumlah 42 orang atau 25,77%. Hasil ini menunjukkan bahwa kasus SAR banyak terjadi pada perempuan dibandingkan laki-laki dengan perbandingan 3:1. Besarnya persentase pasien SAR pada jenis kelamin perempuan dikarenakan perempuan memiliki faktor pemicu yang lebih banyak, seperti adanya fase menstruasi atau fase luteal dari siklus mens, banyaknya perdarahan saat menstruasi, ataupun asupan nutrisi yang tidak mencukupi (Field and Longmann, 2003). Penelitian lain yang telah dilakukan pada 500 mahasiswa di Yordania, didapatkan bahwa pasien SAR paling banyak terjadi pada perempuan (62,6%) daripada laki-laki (37,4%) (Sawair, 2010). Hasil penelitian ini sesuai dengan berbagai literatur dan penelitian yang telah dilakukan, bahwa pasien SAR banyak terjadi pada perempuan daripada laki-laki.

(8)

bertambahnya usia masa produktif dan beban pikiran yang ringan, sehingga faktor pemicu

terbentuk SAR lebih sedikit. Berdasarkan tipe, SAR minor biasa muncul pada dekade kedua kehidupan (10-19 tahun) dan merupakan kasus yang banyak terjadi (Preeti, et al., 2011; Field and Longmann, 2003). Dalam penelitian lain yang telah dilakukan, bahwa SAR biasa muncul pada rentang usia 2 – 22 dan 22 – 31 tahun, sedangkan usia diatas 60 tahun jarang terjadi (McCullough, 2007). Penelitian lain juga dilaporkan bahwa SAR banyak terjadi pada rentang usia 10 – 30 tahun (Cicek, et al., 2004). Hasil penelitian ini sesuai dengan berbagai literatur dan penelitian yang telah dilakukan, yaitu SAR banyak muncul pada rentang usia 20 – 29 tahun dan 10 – 19 tahun.

Hasil penelitian pada tabel 4.4 dan 4.5, menunjukkan bahwa pasien SAR berdasarkan tingkat pendidikan sebagian besar terjadi pada tingkat pendidikan Universitas, yaitu 52,15% atau 85 orang dari 163 pasien SAR, dan berdasarkan pekerjaan sebagian besar terjadi pada pekerjaan ibu rumah tangga (IRT) dan tidak bekerja dengan jumlah 138 orang atau 84,66% dari 163 pasien SAR. Tingkat pendidikan dan pekerjaan merupakan salah satu faktor dari status sosioekonomi. Penelitian yang telah dilakukan pada populasi di Turki, dilaporkan kejadian kasus SAR paling banyak pada status sosioekomoni ke atas, yaitu 27,9% daripada status sosioekonomi ke bawah (22,8%) (Cicek, et al., 2004). Literatur lain juga menyatakan,

bahwa pasien dengan status sosioekonomi yang lebih tinggi memiliki tingkat insidensi SAR yang tinggi juga. (Field and Longmann, 2003; Greenberg and Glick, 2003). Hasil ini sesuai dengan literatur dan penelitian yang telah dilakukan, bahwa tingkat pendidikan dan pekerjaan yang semakin tinggi memiliki tingkat insidensi SAR yang tinggi. Karena kasus SAR pada penelitian ini berada di lingkungan mahasiswa RSGM FKG Unpad, maka kasus pasien SAR yang ditemukan paling banyak terjadi pada tingkat pendidikan universitas. Dan berdasarkan pekerjaan insidensi SAR banyak terjadi pada ibu rumah tangga (IRT) dan pasien yang tidak bekerja.

(9)

mengalami proses keratinisasi pada lapisan permukaannya sehingga tidak tahan terhadap

abrasi dan tidak terikat kuat dengan lamina propria. Oleh karena itu, tipe SAR minor banyak terjadi pada penyakit mulut (Squiver and Finkelstein, 2003). Hasil yang diperoleh sesuai dengan literatur dan penelitian yang telah dilakukan, yaitu SAR paling banyak terjadi pada tipe SAR minor.

Hasil penelitian pada tabel 4.7 menunjukkan bahwa penyakit SAR berdasarkan lokasi SAR sebagian besar terjadi pada mukosa labial dengan jumlah 93 lokasi (44,29%) dari 210 lokasi SAR yang ada dan mukosa bukal dengan persentase 26,67%. Selain di lokasi mukosa labial dan bukal yang umum muncul, terdapat juga di lokasi lidah (13,33%), gingiva (9,52%), dasar mulut (5,24%), dan palatum (0,95%). Berdasarkan dari hasil penelitian oleh McCullough, et al., pada tahun 2007, didapatkan bahwa ulserasi biasanya muncul pada mukosa labial (39%) dan mukosa bukal (30%). Literatur lain menyatakan bahwa lokasi mukosa labial dan bukal lebih banyak terjadi dengan persentase 55% dari kasus SAR yang ada (Safadi, 2009). Mukosa labial, mukosa bukal, dasar mulut, ataupun ventral lidah memiliki struktur epitel non-keratin yang merupakan lapisan permukaannya tidak tahan terhadap abrasi dan tidak terikat kuat dengan lamina propia, sehingga mudah terbentuk ulser (Squiver and Finkelstein, 2003). Hasil penelitian ini sesuai dengan literatur dan penelitian yang telah

(10)

Hasil penelitian pada tabel 4.9 menunjukkan bahwa penatalaksanaan yang umum

dipakai pada pasien SAR, yaitu obat antiseptik dengan jumlah 146 atau 64,32% dari 227 pemberian. Selain itu, vitamin yang terdiri dari vitamin B12, B komplek, dan C merupakan yang umum diberikan dengan jumlah 52 atau 22,91%. Berdasarkan penelitian terhadap mahasiswa di Jordania didapatkan pengobatan yang umum dipakai antara lain topikal analgesik/anestetik 21,7%, obat kumur antiseptik 18,4%, kortikosteroid topikal 17,2%, antibiotik 3,0%, analgesik 1,1%, dan vitamin 0,7% (Sawair, 2010). Defisiensi vitamin B12,

asam folat, dan zat besi merupakan faktor pemicu terjadinya SAR. Selain itu, defisiensi vitamin B kompleks (B1, B2, dan B6) dan zinc telah dilaporkan terdapat pada beberapa pasien SAR (Preeti, et al., 2011; Cawson and Odell, 2002). Penelitian yang telah dilakukan di AS, bahwa defisiensi vitamin B12 pada pasien SAR paling banyak terjadi sekitar 51%, kemudian

asam folat (12%), dan zat besi (8%) (Shulman, 2004; Greenberg and Glick, 2003). Zat besi, vitamin B12, dan asam folat merupakan zat gizi yang paling penting dalam pembentukan sel darah merah yang berguna untuk mengangkut oksigen dan metabolisme sel. Apabila tubuh kekurangan asupan nutrisi maka perbaikan suatu jaringan yang rusak akan menjadi terhambat (Guyton dan Hall, 2007; Winarno, 2002). Sedangkan obat antiseptik berfungsi dalam mencegah infeksi sekunder pada ulserasi mukosa (Field and Longmann, 2003). Hasil

penelitian ini berbeda dengan penelitian yang telah dilakukan, yaitu pemberian obat antiseptik merupakan salah satu penatalaksanaan yang umum diberikan dan juga vitamin B kompleks merupakan pemberian vitamin yang banyak diresepkan di instalasi penyakit mulut RSGM FKG Unpad.

Berdasarkan hasil penelitian mengenai gambaran profil pasien SAR dan karakteristik SAR di Instalasi Penyakit Mulut RSGM FKG Unpad periode Juli 2009 – Juli 2011, dapat disimpulkan:

1. Gambaran profil pasien SAR lebih banyak terjadi pada jenis kelamin perempuan, usia 20-29 tahun, tingkat pendidikan universitas, dan pekerjaan IRT dan tidak bekerja.

2. Gambaran karakteristik SAR lebih banyak terjadi pada tipe SAR minor, lokasi mukosa labial, lamanya penyembuhan 7-14 hari, dan penatalaksanaan yang umum diberikan obat antiseptik.

UCAPAN TERIMA KASIH

(11)

REFERENSI

Boras, V. V. and N. W. Savage. 2007. Recurrent aphthous ulcerative disease: presentation and management. Australian Dental Journal. 52:(1): 10-15.

Cawson, R. A. and Odell, E. W. 2002. Essentials of Oral Pathology and Oral Medicine (Cawson’s) 7ed. Oxford: Saunders.

Çiçek, Y.; V. Çanakçi; M. Özgöz; Ü. Ertas; E. Çanakçi. 2004. Prevalence and handedness correlates of recurrent aphthous stomatitis in the Turkish population. J Public Health Dent. 64(3): 151-156.

Crivelli, M. R.; S. Aguas; I. Adier; C. Quarracino; and P. Bazerque. 1988. Influence of socioeeonomic status on oral mucosa lesion prevalence in schoolchildren. Community Dent Oral Epidemol. 16: 58-60.

Field, A. and Longman, L. 2003. Tyldesley’s Oral Medicine, 5th edition. Oxford: university press, 51-58.

Greenberg, M. S. and Glick, M. 2003. Burket’s Oral Medicine. 10 ed. Bc Decker Inc, Hamilton Ontario, p. 57-60.

Gurenlian, J. R. 2003. Differentiating Herpes Simplex Virus and Recurrent Aphthous Ulcerations, (February), 30-35. Available online at http://search.ebscohost.com (diakses Februari 2012).

Guyton, A. C., dan J. E. Hall. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. Jakarta: EGC. Harahap, A. O. 2006. Kesembuhan stomatitis aftosa rekuren (SAR) minor dengan pemberian

daun pegagan (Centella asiatica). Jakarta: Jurnal Ilmiah dan Teknologi Kedoteran Gigi FKG UPDM, 92-95.

Jurge, S.; R. Kuffer; C. Scully; and S. R. Porter. 2006. Mucosal diseases series. Number VI Recurrent aphthous stomatitis. Oral Diseases. 12: 1-21.

McCullough, M. J.; S. Abdel-hafeth; and C. Scully. 2007. Recurrent aphthous stomatitis revisited; clinical features, associations, and new association with infant feeding practices?. J Oral Pathol Med 36: 615-620.

Murray C. B. E., J. J.; J. H. Nunn; and J.G. Steele. 2003. The prevention of Oral Disease. Fourth Edition. Oxford: University Press, 181-182.

Preeti L; K. T. Magesh; K. Rajkumar; and R. Karthik. 2011. Recurrent aphthous stomatitis. Journal of Oral and Maxillofacial Pathology. 15(3): 252-257.

Safadi, R. A. 2009. Prevalence of recurrent aphthous ulceration in Jordanian dental patients. BMC Oral Health. 9: 31, 1-5.

Sawair, F. A. 2010. Recurrent aphthous stomatitis : Do we know what patients are using to treat the ulcers?. The Journal of Alternative and Complementary Medicine. 16(6): 651-655.

Shulman, J. D. 2004. An exploration of point , annual , and lifetime prevalence in characterizing recurrent aphthous stomatitis in USA children and youths. J Oral Pathol Med. 33: 558-567.

Squiver, C. A.; and M. W. Finkelstein. 2003. Oral Mucosa. In. Nancy, A eds. Ten Cate’s Oral Histology Development, Structure, and Function. 6th ed. Mosby. CO. Missouri. p. 329-75.

Winarno, F. G. 2002. Kimia Pangan dan Gizi, Edisi 2009. Jakarta: Gramedia.

Wray D.; G. D. O. Lowe; J. H. Felix; and C. Scully. 2001. Textbook of General and Oral Medicine. London: Harcourt Brace, Churcill Livingstone. p. 225-231.

Referensi

Dokumen terkait

Hal ini berdasarkan survey yang dilakukan oleh Alexa.Tempo menduduki peringkat kedua dibawah Kompas,Tempo dipandang oleh sebagian masyarakat sebagai media yang objektif dan Tempo

Total APBN (Juta)

Diberitahukan bahwa berdasarkan hasil evaluasi dokumen penawaran, Kelompok Kerja 1 Unit Layanan Pengadaan Kantor Pusat Direktorat Jenderal Bea dan Cukai telah menetapkan

[r]

Pada submateri peran tumbuhan di bidang ekonomi kelas X SMA/MA, diharapkan mendapat respons yang sangat tinggi dengan adanya praktikum karena siswa telah mendapat

Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) Komoditas tanaman pangan (padi sawah, jagung, ubi kayu, ubi jalar) merupakan komoditas unggulan pada beberapa kecamatan di

Kaum wanita pada awal sejarah Jepang memiliki kedudukan sosial dan.. politikyang

b) Dengan menggunakan rumus di atas, diperoleh setoran hafalan santri dalam satu minggu adalah ¼ juz, satu bulan adalah ¾ juz, dan seterusnya. Santri akan menyelesaikan