• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peranan Wanita Jepang Pada Zaman Meiji Dan Sesudah Zaman Meiji

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Peranan Wanita Jepang Pada Zaman Meiji Dan Sesudah Zaman Meiji"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

SEJARAH KEDUDUKAN WANITA JEPANG HINGGA ZAMAN MEIJI

2.1 Wanita Jepang

Pada abad ke-21 ini kajian wanita semakin marak dilakukan oleh para pakar

dan pencinta ilmu-ilmu sosial, baik di dalam maupun di luar lingkungan

perguruan tinggi. Dalam rangka mengangkat harkat dan martabat wanita serta

menempatkan pada posisiyang proporsional, maka sudah sepantasnya masalah

wanita diangkat sebagai sentralkajian, tidak terkecuali bidang sejarah. Sejarah

yang memusatkan perhatiannya padaperanan wanita, emansipasi dan persamaan

hak belum banyak ditulis sejarawan.Bagaimanapun dan di manapun kaum wanita

turut memberikan adil dalam berbagaibidang kehidupan masyarakat, apalagi di

negara industri maju seperti Jepang.

Di Jepang, peranan wanita kiranya sudah dimulai sejak permulaan

perkembanganmasyarakat. Dalam naskah-naskah Cina kuno, Jepang disebut-sebut

sebagai “NegeriRatu”. Kata ratu ini sangat jelas menunjuk kepada sosok wanita

pemimpin atau penguasanegeri. Maka istilah “Negeri Ratu” mengindikasikan

bahwa di Jepang pada zaman kunoterdapat banyak negara kecil-kecil yang

dipimpin oleh kaum wanita. Hal inimenunjukkan kedudukan dan peranan wanita

dalam kehidupan masyarakat sangat besar.Pengertian “Negeri Ratu” menghilang

dari catatan sejarah sejalan dengan perkembangansosial dan politik Jepang.

(2)

Kaum wanita pada awal sejarah Jepang memiliki kedudukan sosial dan

politikyang tinggi. Mereka memiliki banyak kebebasan dalam kehidupan dan

banyak menguasaikesusasteraan. Pada awal masa feodal, hak waris kaum wanita

atas kekayaan masihdiakui dan peranan mereka dalam sistem sosial dan politik

masih dapat dikenali. Namun,kedudukan dan fungsi sosial kaum wanita

berangsur-angsur berubah menjadi sangat kecilsetelah sistem feodal bertambah

kokoh. Selama modernisasi berlangsung, Jepang tidakpernah dipimpin oleh kaisar

putri. Kehidupan kaum wanita belum banyak disentuh oleh modernisasi pada

masa Restorasi Meiji. Lalu apakah kaum wanita tidak mempunyaiperanan dalam

industrialisasi ? Pemulihan peranan wanita dalam kehidupan sosial danpolitik

berjalan lambat karena adat yang merintangi sudah berakar kuat dalammasyarakat.

Seiring dengan laju industrialisasi yang begitu kencang, terutama pada

pascaPerang Dunia II, maka kedudukan dan fungsi sosial wanita berubah menjadi

lebih baik.

2.1.1 Wanita Jepang dalam Permulaan Sejarah

Menurut naskah-naskah Cina, bahwa di Jepang dalam abad ke-3 terdapat

banyak wanita yang memegang kepemimpinan negara.Hal ini sesuai benar dengan

mitologi bangsa Jepang, yang menceritakan asal usul garis kekaisaran berasal dari

Dewi Matahari. Pada awal perkembangan sejarahnya, wilayah Jepang terbagi-bagi

menjadi daerah-daerah kesukuan atau klen (disebut Uji) yang dipimpin oleh

seorang kepala. Sebelum wilayah Jepang terintegrasi secara geopolitik menjadi

sebuah kekaisaran terdapat 100 Uji atau lebih yang masing-masing dipimpin oleh

(3)

(suku atau klen). Uji berdiri semi otonom, hubungan antara Uji yang satu dengan

yang lain bersifat terbatas, yaitu hanya dalam bidang ekonomi perdagangan yang

sempit.

Dalam masyarakat Jepang kuno terdapat suatu ciri yang jelas,yakni masyarakat

didasarkan pada matriarkal. Namun,wanita dan pria memiliki hak yang sama

dalam menduduki jabatan sebagai pemimpin politik dan agama (Shinto). Kepala

Uji tidak saja berkedudukan sebagai pemimpin politik melainkan juga sebagai

pemimpin agama sehingga tidak ada pemisahan antara istana dan kuil.

Pada abad ke-3 muncul Uji terbesar, yakni klen Yamato, yang menurut tradisi

mitologi berasal dari garis keturunan Dewi Matahari. Pendiri klen Yamato

mengklaim dirinya mendapat mandat untuk memimpin Jepang.Dengan alasan

itulah dilakukan konsolidasi yang berhasil di hampir seluruh wilayah Jepang dan

kemudian mengangkat dirinya sebagai kaisar pertama. Penyatuan Jepang

dilanjutkan oleh klen Soga sehingga seluruh wilayah Jepang di bawah

supremasinya (abad ke-6). Kepala-kepala Uji taklukan dijadikan pegawai kerajaan.

Sepanjang sejarah tidak dijumpai seorang kaisar sebagai penakluk, orang-orang

dekat kaisar adalah yang memegang kendali kekuasaan yang nyata.

Selama abad ke-7 dan 8 keadaan di Jepang ditandai adanya perubahan sosial

dan politik sebagai akibat datangnya pengaruh budaya Cina secara besar-besaran,

termasuk agama Budha dan ajaran Confusiansme. Ketika itu lahir kelas aristokrasi

militer baru dan diikuti oleh munculnya hak-hak istimewa. Kemunduran Kerajaan

(4)

menyatakan dirinya sebagai kaum bangsawan sipil (Kuge). Perubahan sosial dan

politik itu mengawali pudarnya peranan wanita dalam kepemimpinan di Jepang,

dan pengertian ”Negeri Ratu”menjadi samar-samar dan lama-lama tidak terdengar

lagi. Hal ini bukan berarti tahta kekaisaran hanya diduduki oleh kaisar pria,

melainkan terdapat pula kaisar putri yang memerintah Jepang.

Sejak permulaan kekaisaran Jepang sampai dengan tahun 1973 terdapat 127

orang kaisar yang memerintah, 11 orang di antaranya adalah wanita. Pada zaman

Nara (abad ke-8) terjadi keseimbangan perbandingan jumlah kaisar wanita dan

pria, yaitu 3 : 4. Namun, setelah itu pemimpin kekaisaran didominasi oleh kaisar

pria. Pergantian kaisar berdasarkan garis keturunan, maka pria dan wanita

memiliki kesempatan yang sama dalam menjabat posisi teratas pada struktur

politik dan sosial. Kontinuitas sukses kekaisaran tidak ada masalah sehingga

kekaisaran Jepang dikatakan terpanjang di dunia ini. Meskipun sesungguhnya di

Jepang sering terjadi seorang kaisar yang diangkat segera digantikan oleh adik

atau saudaranya karena alasan tertentu, atau mengundurkan diri sesudah bebas

dari ritual-ritual pemerintah.

Heian (sekarang: Kyoto) dan bahkan peranannya masih cukup besar hingga

pada awal masa feodal. Wanita memiliki peran penting bagi suatu keluarga (klen)

yang hendak merebut pengaruh politik di istana, yaitu melalui perkawinan politik.

Cara ini ditempuh karena dalam pandangan bangsa Jepang, kaisar adalah sebagai

orang suci dan kramat, sehingga pemberontakan untuk merebut kekuasaan

(5)

Peperangan adalah cara lain yang dilakukan oleh keluarga aristokrasi militer

tetapi bukan untuk memerangi kaisar, melainkan untuk memperluas hegemoni,

agar dapat memiliki pengaruh politik dan dekat dengan kaisar. Dengan demikian

perkawinan politik merupakan cara yang sangat strategis, dan wanita dipakai

sebagai alat politik untuk menciptakan garis keturunan kaisar. Seorang anak

keturunan dari hasil perkawinan antara kaisar dengan seorang wanita dari suatu

keluarga (seperti keluarga Fujiwara) memiliki hak waris dalam kekuasaan

kerajaan.

Pada umumnya selama periode Fujiwara, anak dari keluarga kerajaan dijadikan

kaisar dan dipaksa untuk mengawaini wanita dari keluarga Fujiwara. Ketika

kaisar sudah dewasa, posisinya digeser dan digantikan oleh seorang anak kecil

dari keluarga terdekat yang pada gilirannya dikawinkan dengan wanita dari

keluarga Fujiwara. Para anggota keluarga dapat menikmati kekuasaan politik,

yaitu sebagai Mangkubumi dalam pemerintahan kaisar-kaisar kecil tersebut.

Pada akhir periode Heian di mana Jepang dilanda perang antar keluarga

aristokrasi militer yang berkepanjangan,maka peranan wanita dalam kehidupan

sosial dan politik mengalami pergeseran. Adanya pandangan bahwa secara fisik

kaum wanita tidak cukup kuat dalam peperangan adalah mengurangi peranan

wanita.Sehingga konflik bersenjata merupakan satu penyebab mundurnya status

wanita, hak hidupnya dilanggar, hak pendidikan anak perempuan tidak terpenuhi,

(6)

Di samping itu periode ini adalah masa transisi ke budaya gaya aristokrasi yang

feodalistik, ini berarti status laki-laki meningkat bersamaan dengan naiknya

kekuasaan golongan samurai. Sebaliknya status wanita merosot dan lambat laun

dikeluarkan dari struktur feodal dan menerima peran yang tidak penting serta

hanya sebagai pelengkap kaum pria.

2.1.2 Wanita Jepang dalam Zaman Feodal dan Zaman Meiji

Sistem feodal di Jepang berlangsung sejak abad ke-12 hingga pertengahan abad

ke-19, dengan ditandai munculnya keluarga aristokrasi militer yang memiliki

kekuasaan di daerah-daerah. Pada periode Edo berkembang sistem feodal terpusat

yang merupakan masa kekuasaan kaum ksatria (samurai) di bawah pimpinan

Shogun Tokugawa. Pemerintahan militer mendasarkan pada ajaran filsafat

Confusius yang berintikan pendidikan moral.

Ajaran Confusius dan Shinto digunakan untuk membuat pedoman hidup

samurai, atau kode etik samurai yang disebut Bushido.Selama masa feodal

kedudukan kaisar hanya sebagai pemimpin tertinggi agama dan lambang

persatuan bangsa,kekuasaan dalam politik diambil alih oleh shogun. Sebagaimana

disebut di atas bahwa tahta kekaisaran Jepang didominasi oleh kaum pria. Antara

tahun 794 sampai dengan tahun 1973 hanya ada dua orang kaisar wanita yang

memerintah Jepang.

Ada dua periode panjang dalam pemerintahan Jepang tanpa kaisar wanita,

yaitu tahun 794 – 1600 dan tahun 1868 – 1973. Jabatan kaisar wanita yang

(7)

membuktikan bahwa hak waris wanita untuk menjadi kaisar masih diakui selama

masa feodalisme. Ketika itu mulai terjadi perubahan peranan wanita yang

disebabkan oleh kuatnya pengaruh ajaran Confusianisme, dan juga adanya

pandangan tentang kekuatan fisik wanita tidak cocok untuk menjadi samurai

(tentara) yang tugas utamanya berperang.

Ajaran Confusius sebagai warisan masyarakat patriarkal yang menunjukkan

dominasi kaum pria Cina, membatasi kebebasan kaum wanita dan memaksa

mereka tunduk kepada kaum pria. Dalam ajaran Confusius antara lain dikatakan

bahwa istri harus menghormati suami, seorang istri diharapkan untuk

mengabdikan dirinya tanpa memikirkan kepentingan sendiri guna kesejahteraan

keluarga sang suami,dan istri lebih penting untuk melahirkan anak dan objek cinta.

Sistem politik isolasi (sakoku) masa Shogun Tokugawa turut berpengaruh pada

kedudukan dan peranan wanita. Pembatasan kekuasaan kaisar itu sekaligus

memperkecil peranan kaum wanita, karena kekuasaan golongan samurai semakin

besar. Posisi kaum wanita dalam hierarki sosial sangat rendah, peranan wanita

hanyalah mengabdi kepada kaum pria. Kaum wanita dididik agar taat setia kepada

keluarga, terutama orang tua.

Wanita dari golongan bangsawan diajarkan tentang etika tradisional agar dapat

melayani tamu dengan baik.Fungsi sosial kaum wanita dihargai sebagai kaum ibu

yang karena melahirkan anak, dan membesarkan para pengganti kepala

keluarga.Kedudukan dan fungsi sosial kaum wanita tersebut sangat jelas terdapat

(8)

dilihat peranan wanita tani dalam membantu mencari nafkah. Kaum wanita tani

tetap penting sebagai teman kerja kaum pria di ladang-ladang dan karena itu lebih

memiliki kebebasan individual daripada di kalangan atas.

Pada zaman modern terjadi perubahan sosial dalam masyarakat desa, wanita

tani menjadi tenaga pokok di pertanian karena kaum pria lebih senang bekerja di

pabrik, baik sebagai buruh tetap maupun musiman. Meskipun demikian keluarga

petani hanya bisa meningkatkan status sosial yang relatif karena umumnya anak

petani enggan mendapat jodoh dengan anak petani. Disamping itu tingkat

pendidikan mereka umumnya masih rendah dan jarang yang mencapai perguruan

tinggi.

Walaupun sesungguhnya tingkat melek huruf kaum wanita sejak zaman feodal

sudah 15% berbanding 45% kaum pria, namun umumnya anak perempuan tidak

bersekolah tetapi berlatih di rumah dalam hal pekerjaan rumah dan etika. Jumlah

wanita yang berpendidikan mulai meningkat pada akhir pemerintahan Shogun

Tokugawa, terutama di Terakoya (sekolah model biara untuk rakyat). Materi yang

diajarkan di sekolah-sekolah untuk wanita terbatas pada moral dan etika sesuai

dengan kodrat wanita.

Buku Jitsugokyo merupakan pedoman, yang isinya menekankan kewajiban

wanita sebagai anak, istri dan ibu. Inti ajarannya adalah kedudukan wanita rendah

dan kewajibannya yang terpenting adalah patuh pada orang tua (ketika masih

anak-anak), patuh pada suami (setelah menikah), patuh pada anak tertua (setelah

(9)

mempunyai suami maka baginya yang penting dapat melahirkan anak, karena

menjadi ibu berarti memperoleh status. Seorang istri yang tidak dapat

menghasilkan anak akan berakibat kedudukannya dalam keluarga goyah,

kemungkinan disisihkan dan tidak akan dapat menjadi mertua.

Pada masa Meiji, pengaruh pendidikan Barat dengan cepat meluas hingga

dianggap melampaui batas kewajaran, maka kaisar menginstruksikan agar

pendidikan kembali pada prinsip-prinsip Confusianisme. Maklumat Kerajaan

tahun 1890 menjadi pedoman arah pendidikan Jepang bagi semua perilaku politik

dan kemasyarakatan Jepang. Sekolah-sekolah dasar, sekolah menengah dan

lembaga-lembaga militer menanamkan dengan kuat kepercayaan tentang

kekuasaan absolut kaisar. Propaganda mitos politik tentang kesucian dan

kekeramatan lembaga kekaisaran didengungkan.

Meiji Tenno dihormati oleh rakyat bagaikan dewa, meskipun menurut Jenderal

Nogi dan istrinya, penghormatan itu bersifat semu. Kaisar Mutsuhito menekankan

dasar Neo-Confusianisme sebagai dasar ideologi negara. Kebijakan kaisar

mengenai birokarasi berdasarkan ajaran Confusius, akibatnya terjadi diskriminasi

karena seseorang yang duduk dalam pemerintahan diutamakan orang yang

berpendidikan, bukan hanya mendapatkan jabatan dari keturunan. Jabatan-jabatan

tinggi negara, baik sipil maupun militer, diisi oleh kaum pria yang berpendidikan

Barat, terutama berasal dari klen Chosu dan Satsuma. Kelihatannya dalam sistem

status mulai terbuka dengan diterapkannya jalur achievement, namun mobilitas

(10)

Diskriminasi terjadi karena pendidikan bagi kaum wanita masih terbatas,

apalagi hanya sedikit peluang bagi wanita untuk mengenyam pendidikan pada

tingkat perguruan tinggi. Antara 1870-1900 telah didirikan sekolah-sekolah putri

dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi, dan dimulainya sistem pendidikan

modern. Namun demikian bagi anak-anak perempuan setelah tamat sekolah wajib

6 tahun hanya diberikan kesempatan melanjutkan ke sekolah menengah untuk

wanita (4 atau 5 tahun), sedangkan untuk anak laki-laki mendapat kesempatan

memilih ke sekolah menengah (5 tahun) atau ke kejuruan.

Setelah taraf ini, untuk wanita hanya dapat meneruskan ke sekolah khusus (3

atau 4 tahun), sedikit sekali yang dapat melanjutkan ke universitas. Bagi anak

laki-laki diberikan kesempatan memilih 3 sekolahan, yaitu sekolah khusus (3 atau

4 tahun), universitas (5 tahun) atau sekolah menengah (3 tahun) kemudian ke

universitas (3 tahun). Selain itu kurikulum sekolah untuk wanita berorientasi ke

arah pendidikan calon ibu rumah tangga, berbeda dengan tujuan pendidikan untuk

anak-anak laki-laki yang mengutamakan masalah-masalah praktis.

Oleh karena itu ilmu pengetahuan yang dimiliki kaum wanita lebih sempit dari

pada kaum pria. Akibatnya jabatan dalam birokrasi Jepang diduduki oleh kaum

pria. Pekerjaan di perusahaan-perusahaan dikerjakan oleh kaum pria, sedangkan

kaum wanita mengerjakan pekerjaan rumah tangga.

(11)

Ellis Amdur menyatakan, bahwa peran wanita dalam kisah-kisah Jepang

hanyalah sekedar peran-peran romantis, peran tragis saat wanita melakukan bunuh

diri atas kematian suaminya, istri setia yang ditangkap sebagai tawanan, ibu yang

membesarkan anak laki-lakinya untuk membalas dendam bagi kematian ayahnya,

wanita penyayang yang “lemah” dan “feminisme”, dan ada juga wanita penggoda

prajurit yang sedang bertugas, sehingga prajurit tersebut lalai dalam tugasnya.

Selain itu, ada pula kisah mengenai kaum wanitayang dibunuh secara masal, atau

ditangkap sebagai pampasan perang, bahkan dijadikan pemuas nafsu dan akhirnya

akan dibunuh (Amdur,Ellis.Journal of Asian Martial Arts, vol. 5, no. 2, 1996).

Nasib wanita Jepang pada saat itu, tidak semuanya seperti yang dinyatakan

oleh Ellis Amdur diatas. Ada banyak kisah wanitayang melakukan tindakan

kepahlawanan, hanya saja, kisah- kisah mereka tampaknya tidak dipublikasikan,

atau mungkin dirahasiakan. Jepang dikenal dengan patrinialismenya, laki-laki

yang mengendalikan segala urusan, dan wanita hanya melakukan pekerjaan rumah,

suatu pekerjaan yang dianggap tidak penting yang tidak bernilai.

Sejak lama wanita Jepang merupakan kaum tertindas yang dianggap tidak

berguna. Hal ini sesuai dengan pemikiran Joan Kelly yang menyatakan bahwa,

sepanjang sejarah, wanita selalu dipisahkan dari perang, politik, kesejahteraan,

dan pengetahuan, sebaliknya kaum laki-laki difungsikan dalam aktivitas tersebut.

Selain itu terdapat beberapa faktor yang membuat penulisan sejarah wanita

terabaikan, diantaranya yaitu: paradigma yang keliru tentang sejarah wanita, yang

(12)

yang keliru tentang dunia wanita, yaitu wanita dianggap berurusan dengan

persoalan pribadi, sedangkan laki-laki berurusan dengan persoalan publik.

(Fatimah, 2008:385)

Di masa Meiji, seorang pemikir terkenal, yaitu Fukuzawa Yukichi dalam

bukunya yang berjudul Japanese Women, menyatakan “...Japanese women were

not born useless; there is a cause which makes them so,…”. Wanita Jepang tidak

lahir dalam keadaan tidak berguna, tetapi ada “hal” yang membuat mereka seperti

itu. (Yukichi, 1988: 38-39).

Disadari oleh Fukuzawa bahwa para wanita yang hidup di Jepang terikat dalam

suatu hal yang membuat mereka tidak memiliki keistimewaan dalam masyarakat.

Sejak dahulu, wanita memiliki stereotipe sebagai makhluk yang tidak memiliki

kekuatan dan tidak memiliki kepintaran. Fukuzawa juga menyatakan bahwa,

kesetaraan wanita dilakukan dengan cara menghormati wanita, pendidikan bagi

wanita, posisi wanita (terutama dalam pekerjaan), dan mengubah pola pikir pria

yang merendahkan wanita sehingga posisi wanita dalam masyarakat Jepang naik.

(Yukichi, 1988:xv). Hal seperti inilah yang harus dipertimbangkan masyarakat

Jepang, terutama oleh para laki-laki Jepang yang menganggap kaumnya lebih

eksklusif.

Dari berbagai sumber, diketahui bahwa Jepang di masa kuno sangat

menjunjung tinggi wanita. Wanita dianggap sebagai cenayang yang memiliki

hubungan dengan para dewa. Tetapi, saat masuknya ajaran Konfusianisme dan

(13)

makhluk yang lebih rendah dibandingkan laki-laki. Konfusianisme yang

memberikan penghormatan tinggi terhadap laki-laki telah melahirkan sanjukun

atau tiga kepatuhan yang harus dilakukan oleh kaum wanita, yaitu saat ia muda ia

diharuskan mematuhi ayahnya, setelah ia menikah ia juga harus mematuhi

suaminya dan setelah ia menjanda ia harus mematuhi anak laki-lakinya. (Okamura,

1983:6).

Selanjutnya, ajaran Budhisme juga menyebutkan bahwa wanita merupakan

makhluk yang kotor, berdosa dan pendusta. Meskipun demikian, salah satu ajaran

Budha yaitu amidismemengajarkan bahwa kehidupan setelah mati nanti tidak

akan ada perbedaan antara wanita dan pria, kaya dan miskin, ataupun yang lemah

dan yang kuat. Tetapi disisi lain, ternyata ada juga sebuah aliran ajaran Budha,

yang merendahkan derajat wanita. Ajaran Budha mengajarkan bahwa wanita tidak

akan menyentuh surga kecuali jiwa tersebut terlahir kembali menjadi laki-laki,

baru ia dapat menyentuh surga. (Kurihara: 97).Dengan demikian, doktrin-doktrin

agama telah memberikan legalitas yang merendahkan kedudukan wanita Jepang.

Hanya sebagian kecil kisah-kisah Jepang yang ada selama ini yang

mengagungkan nama wanita, sisanya tertutup dan menghilang seiring berjalannya

waktu. Kemudian dari kisah dan sejarah Jepang yang tertulis, kita juga dapat

melihat nasib wanita Jepang pada zaman dahulu terbagi menjadi dua tipe, yaitu

wanita kelas atas dan bawah. Wanita yang berasal dari keluarga kelas atas kurang

memiliki kebebasan. Keluarganya yang akan memilih calon suaminya, dan

(14)

untuk meneruskan keluarganya. Bila sang istri melahirkan anak wanita, maka ia

harus mengajari perempuannya membaca, menulis, menjahit baju, dan cara

bersikap yang baik.

Bahkan pada era Tokugawa, wanita dilarang memiliki harta benda, dan

terdapat kebebasan membunuh istrinya apabila sang istri tidak menuruti kemauan

suami atau bermalas-malasan. Wanita hanya diperbolehkan mempelajari tulisan

hiragana, dan dilarang membaca tulisan bisnis, politik dan karya besar, yang

ditulis dengan menggunakan aksara kanji.

Sebaliknya, wanita dari kelas rendah dianggap lebih memiliki kebebasan

dibandingkan wanita dari kalangan atas.Hal ini tertulis dalam buku kurikulum

Samurai Sisters: Early Feudal Japan - Sample Activity. Wanita dan pria bekerja

secara berdampingan di sawah dan memiliki hak atas harta benda mereka. Kaum

wanita kelas bawah dapat menikah secara bebas dan pernikahannya pun lebih

harmonis, karena para lelaki membutuhkan tenaga wanita untuk membantunya

bekerja di sawah.

Meskipun demikian, tidak semua wanita kelas rendah memiliki kebebasan

yang disebutkan sebelumnya. Banyak pula kisah-kisah pilu di kalangan wanita

dari keluarga bersahaja. Misalnya, di saat pajak mulai tinggi, banyak keluarga

miskin yang menjual anak perempuannya keokiyadan menjadigeisha.Pendapatan

mereka sangat membantu keluarganyadalammembayar hutang dan pajak yang

sangat tinggi, serta mengurangi beban keluarga dalam mengurus anak lainnya.

(15)

diurus dengan baik di rumah geisha. Meskipun konotasi nya “dijual”, tetapi fakta

mengejutkan lainnya adalah, para geisha mengakui bahwa mereka memiliki lebih

banyak kebebasan dibandingkan sebelumnya. Para geisha memiliki hak untuk

tidak menikah dan hanya menjadi selir. Dengan menjadi selir, mereka masih

memiliki kebebasan, mendapat uang yang cukup banyak, dan diperlakukan sama

dengan istri-istri lainnya.

Konstruksi wanita dalam masyarakat Jepang, tergambar dalam aksara kanji.

Aksara kanji yang mengandung elemen “wanita” (onna) [ ] memiliki makna

yang merendahkan / peyoratif, di antaranya kanji (wazaogi) [妓] terdiri dari kanji

(onna) [女] dengan kanji (sasaeru) [ 支] yang berarti “mendukung”, seharusnya

memiliki arti wanita yang mendukung, tetapi sebaliknya kanji ini memiliki arti

wanita penghibur yang memiliki konotasi negatif dan sering dikaitkan dengan

wanita prostitusi yang banyak terjadi di zaman dulu. Selanjutnya, kanji

(samatageru) [妨] terdiri dari kanji (onna) [ ] dan kanji (kata) [方] yang berarti

“seseorang”, memiliki arti pengganggu. Kanji ini jelas memiliki stereotip bahwa

wanita adalah seseorang yang mengganggu. Kanji (mekake) [妾] terdiri dari kanji

(tatsu) [立] yang memiliki arti “berdiri” dan kanji (onna) [ ], memiliki arti selir.

Mungkinkah kanji ini bermakna wanita yang “diinjak”, yang mengacu pada selir

-selir kaisar zaman dahulu? Bila dibandingkan dengan kanji laki-laki (otoko) [男],

kanji ini terdiri dari kanji ladang (ta) [田] dan kanji kekuatan (chikara) [力], yang

dikaitkan dengan laki-laki yang kuat untuk bekerja di ladang. Selain itu, ada pula

(16)

Setelah melihat beberapa kanji di atas, dan melakukan perbandingan, dapat

disimpulkan bahwa posisi wanita di dalam masyarakat Jepang sangat rendah bila

dibandingkan dengan laki-laki. Faktor di atas inikah yang membuat wanita

menjadi terlupakan dalam sejarah Jepang? Faktanya sejak dahulu kaum wanita

Jepang telah berani melakukan berbagai hal yang dapat membantu keluarga dan

bangsa mereka, tetapi konstruksi wanita dalam masyarakat Jepang yang sangat

merendahkan wanita, membuat mereka berjuang untuk mempertahankan

eksistensi mereka, sehingga muncul tokoh-tokoh wanita yang mencoba keluar dari

konstruksi tradisional mereka. Di antaranya muncul wanita samurai, yang dengan

gagah berani melindungibangsanya.

2.2 Zaman Meiji

Masa Meiji (1867 – 1912) merupakan salah satu periode yang paling istimewa

dalam sejarah Jepang.Di bawah pimpinan Kaisar Meiji, Jepang bergerak maju

sehingga hanya dalam beberapa dasawarsa mencapai pembentukan suatu bangsa

modern yang memiliki perindustrian modern dan lembaga-lembaga politik

modern. Pada tahun tahun pertama pemerintahannya, kaisar Meiji memindahkan

ibukota kekaisaran dari Kyoto ke Edo. Edo pun berganti nama baru menjadi

Tokyo (ibu kota Timur). Diumumkanlah undang-undang dasar yang menetapkan

sebuah kabinet dan badan-badan legistlatif. Golongan-golongan masyarakat

selama masa Edo yang membuat masyarakat menjadi terbagi berdasarkan kasta

(17)

Kaisar Meiji membawa pencerahan dalam membimbing bangsanya melewati

peralihan yang sangat mencuat. Lalu berakhir pada saat wafatnya kaisar Meiji

pada tahun1912. Pemerintahan Meiji dimulai dengan bermacam-macam reformasi

untuk membuat struktur lembaga politik baru yang berpusat pada Kaisar.

Pemerintahan baru atau reformasi pada masa ini disebut Restorasi Meiji.

Pemerintahan yang baru pada tahun 1868 (Meiji II) memerintahkan kepada para

Daimyou agar wilayah Han dan rakyat yang tinggal di wilayah tersebut

dikembalikan dari Daimyou ke kaisar. Kebijakan selanjutnya keluar pada tahun

1871 (Meiji IV) yang memutuskan untuk menghapus sistem han (hidup hanya

dengan beras yang diberikan oleh majikannya yaitu Han.

2.2.1 Restorasi Meiji

Restorasi Meiji dikenal juga dengan sebutan Meiji Ishin, Revolusi, atau

Pembaruan, adalah rangkaian kejadian yang menyebabkan perubahan pada

struktur politik dan social Jepang. Restorasi Meiji terjadi pada tahun 1866 sampai

1869, tiga tahun yang mencakup akhir zaman Edo dan awal zaman Meiji.

Sebelum 1853 Jepang betul–betul merupakan negara yang sangat tertutup dan

diperintah dengan cara yang sangat feodalistik. Dorongan modernisasi Jepang

berawal dari hadirnya angkatan laut Amerika dibawah pimpinan Laksamana Perry.

Beliau minta pintu gerbang Jepang dibuka dan minta berunding dengan tujuan

agar Jepang membuka diri terhadap pihak asing, berdagang dan membolehkan

kapal asing merapat di pelabuhan Jepang. Mulai saat itulah bangsa Jepang terbuka

(18)

kekuatan Amerika, orang kulit putih, orang Barat (sekalipun orang Amerika itu

datangnya dari Timur). Sejak saat itu mereka berpikir untuk menjadi

sekurang-kurangnya sama kuatnya dengan orang asing.

Restorasi Meiji menghapus sistem feodal yang diterapkan oleh Tokugawa,

sehingga terbukalah peluang untuk rakyat Jepang terhadap pendidikan yang

meniru sistem pendidikan dunia Barat. Selain itu juga menerapkan sistem moneter

dan mendatangkan tenaga-tenaga ahli serta mengimpor mesin-mesin pabrik untuk

ditiru, sehingga Jepang mampu membangun dan memodernisasikan industrinya.

Kaisar Meiji melakukan berbagai perubahan dalam pemerintahan dan menerapkan

sistem luar. Raja itu ingin mengubah Jepang menjadi negara yang kuat secara

ekonomi dan militer. Dengan kekuatan itu, Kaisar Meiji ingin melindungi

negaranya dari pengaruh dan penjajahan Barat yang sudah lama ingin menduduki

Jepang. Pemerintahan Meiji menggalakkan perindustrian dalam skala besar

seperti besi baja dan tekstil. Saat itu, perusahaanjasa tidak diperhatikan, segala

perhatian diberikan kepada bidang pengeluaran. Para pedagang besar atau yang

disebut pengusaha kota membentuk kelompok produsen dan perdagangan yang

disebut Zaibatsu.

Restorasi Meiji berjalan sukses. Hanya beberapa dasawarsa kemudian Jepang

berhasil menjadi negara adidaya. Hebatnya, meskipun Kaisar Meiji membuka

pintu Jepang buat pihak asing, negera ini tidak kehilangan identitasnya. Kaisar

masih memegang peranan penting sebagai pemimpin tertinggi negara dan agama

Shinto sebagai agama negara. Restorasi Jepang itu berjalan sangat cepat dan

(19)

kekuatan militer dengan angkatan laut yang sangat tangguh sehingga dapat

mesecara mutlak armada raksasa Rusia di Selat Tsushima, menyapu bersih

kepulauan Sachalin, mengambil Korea dan Semenanjung liau-Tung dari Rusia,

serta Port Arthur dan Dairen (Wells, 1951).

2.2.2 Perubahan pada Zaman Meiji

Pada tahun 1854, Commodere Perry membawa surat izin dari presiden

Amerika Serikat yang ditujukan kepada penguasa pemerintah Jepang untuk

meminta izin membuka 2 pelabuhan dengan maksud untuk singgah dan

menambah perbekalan dalam pelayaran menuju daratan China ataupun sebaliknya.

Surat Perry langsung disampaikan kepada Shogun yang pada saat itu secara

de-facto menjadi penguasa Jepang, dan saat itu yang menjadi Shogun Tokugawa

Iesada ( 1853 – 1858 ). Karena Shogun menyadari bahwa permintaan Amerika

tidak bisa ditolak dengan kekerasan senjata, maka terpaksalah mengadakan

perundingan dengan perry pada 31 Maret 1854 yang terkenal dengan persetujuan

Kanagawa ( sekarang Yokohama ) bahwa Jepang mengizinkan kepada Amerika

membuka pelabuhan Shimoda di Teluk Sagami dan Hokadate di pulau Hokkaido.

a. Perubahan Sosial dan Budaya

Di bidang kebudayaan, muncul kecenderungan kuat didalam negeri untuk tetap

mempertahankan tradisi dan ada istiadat yang dirasakan mulai luntur akibat

pengaruh budaya asing (Barat) yang semakin luas. Jepang dalam hal ini mampu

(20)

Faktor utama yang mendukung keberhasilan restorasi Meiji pada waktu itu,

adalah bahwa Jepang tidak pernah mengalami konflik ideologi maupun konflik

agama, seperti yang banyak dialami oleh negara-negara lain di dunia. Bantuan

asing juga dibatasi untuk menghindari ketergantungan Jepang dari pihak luar

(asing). Hal penting lainnya yang ikut mendukung keberhasilan Jepang adalah

adalanya nilai umum (common values) yang berlaku dalam masyarakat, yang

sangat menghormati kedudukan kaisar selaku kepala negara dan sebagai faktor

pemersatu.

b. Perubahan dalam bidang ekonomi

Pemerintahan yang baru pada tahun 1868 (Meiji II) memerintahkan kepada

para Daimyou agar wilayah Han dan rakyat yang tinggal di wilayah tersebut

dikembalikan dari Daimyou ke kaisar. Kebijakan selanjutnya keluar pada tahun

1871 (Meiji IV) yang memutuskan untuk menghapus sistem han (hidup hanya

dengan beras yang diberikan oleh majikannya yaitu han, han = majikan),

membagi seluruh negeri menjadi sistem Ken (Perfektur) serta dikirimkan pegawai

pemerintahan langsung dari pusat, yang disebut pula Haihan Chiken

(penghapusan tanah feodal dan pembentukan perfektur). Dengan begitu,pajak

seluruhnya dikumpulkan oleh pemerintah dan pegawai pemerintah tinggal

Referensi

Dokumen terkait

Rapat memutuskan dengan suara bulat untuk menerima baik Laporan Keuangan Konsolidasian dan mengesahkan Laporan Posisi Keuangan Konsolidasian, Laporan Laba Rugi dan

Mathematical models based on those factors were proposed in study of bird flu infection processes within a poultry farm.. The population of susceptible birds and the population

Ciri dan warna pada ornamen rumah Melayu lontiok menggambarkan kehidupan dan kepribadian sehari-hari masyarakat Melayu yang kental dengan adat istiadat yang harus

Kedua, hasil penelitian menunjukkan bahwa promosi penjualan (X 2 ) dengan keputusan konsumen dalam pembelian sepeda motor matic (Y) terdapat hubungan yang signifikan, hal ini dapat

Berdasarkan hasil penelitian maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pertumbuhan balita di Posyandu Teratai II Kedunglumbu Pasar Kliwon Surakarta didapatkan pertumbuhan

Selama hari kedua, Annemie Dillen dari Fakultas Teologi Leuven memulai pembicaraan berdasar pada struktur perayaan pembaptisan soal unsur-unsur spesifik dalam tradisi kristiani

Skripsi Merupakan Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Di Fakultas Kehutanan Universitas Sumatera Utara.. PROGRAM STUDI KEHUTANAN

Pembagian tema pada umumnya ada dua jenis, yaitu tema mayor dan tema minor, namun penulis hanya fokus pada tema mayor karena tema mayor pada novel sangat terlihat dari awal,