• Tidak ada hasil yang ditemukan

POLA ALI DASAR PENDIDIKAN ISLAM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "POLA ALI DASAR PENDIDIKAN ISLAM"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

POLA DASAR PENDIDIKAN ISLAM Muh. Idris

Email : idristunru02@gmail.com IAIN Manado

Jl. Dr. SH. Sarundajang Kawasan Ringroad I Manado

A.Pendahuluan

Pendidikan Islam merupakan salah satu disiplin ilmu keislaman yang memiliki daya tarik sendiri untuk dikaji secara lebih mendalam dan komprehensif sehingga selalu hangat untuk dibicarakan, terutama oleh kalangan akademisi. Hal ini karena pendidikan Islam berperan untuk membina manusia secara utuh dan seimbang, baik dari segi aspek rohani maupun jasmani. ( Mahmud dalam Heri Gunawan: 2014, h. iii). Secara ideal pendidikan Islam berusaha mengantarkan manusia mencapai keseimbangan pribadi secara menyeluruh. Hal ini dapat dilakukan melalui latihan-latihan kejiwaan, akal pikiran, kecerdasan, perasaan ataupun pancaindra. Oleh karena itu pendidikan Islam berupaya mengembangkan semua aspek dalam kehidupan manusia yang meliputi spiritual, intelektual, imajinasi, keilmiahan dan lain-lain baik secara individu maupun kelompok menuju kebaikan dan pencapaian kesempurnaan hidup baik dalam hubungannya dengan Khalik, sesama manusia, dan alam. (Muslih Usa: 1991, h. 8)

Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Hasan Langgulung (Hasan Langgulung : 1993, h. 62) yang menjelaskan bahwa pendidikan Islam adalah suatu proses spiritual, akhlak, intelektual, dan social yang berusaha membimbing manusia baik individu maupun social yang berusaha membimbing manusia dan memberinya nilai-nilai, prinsip-prinsip dan teladan ideal dalam kehidupan yang bertujuan mempersiapkan kehidupan dunia akhirat. Sementara itu menurut Ahmad Watik Pratiknya (Ahmad Watik Pratiknya, “Muslih Usa, (Ed), 1991, h. 99) menjelaskan bahwa pendidikan agama (pendidikan Islam) adalah suatu upaya untuk mengembangkan/mengarahkan anak didik supaya dapat menjadi manusia masa depan yang ideal, dengan cara menjadikan anak didik tersebut sebagai manusia yang lebih lengkap dalam dimensi religiusnya. Hal ini berarti, suatu proses pengkondisian agar anak didik menjadi lebih mengetahui, memahami, mengimani, dan mengamalkan agamanya sebagai ajaran yang menjadi pandangan dan pedoman hidup.

(2)

B. Pengertian Pendidikan Islam

Dalam sejarah pendidikan Indonesia maupun dalam studi kependidikan, sebutan pendidikan Islam umumnya dipahami sebatas sebagai “ciri khas” jenis pendidikan yang berlatar belakang keagamaan. Demikian pula batasan yang ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. (A.Malik Fadjar : 1998, h.3). Batasan yang sama juga terdapat dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem pendidikan Nasional.

A.Malik Fadjar dengan mengutip pendapat Zarkowi Soejoeti mengemukakan bahwa Pendidikan Islam paling tidak mempunyai tiga pengertian. Pertama, lembaga pendidikan Islam itu pendirian dan penyelenggaraannya didorong oleh hasrat mengejewantahkan nilai-nilai Islam yang tercermin dalam nama lembaga pendidikan itu dan kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan. Dalam pengertian ini Islam dilihat sebagai sumber nilai yang harus diwujudkan dalam kehidupan lembaga pendidikan yang bersangkutan. Kedua, lembaga pendidikan yang memberikan perhatian dan yang menyelenggarakan kajian tentang Islam yang tercermin dalam program kajian sebagai ilmu dan diperlakukan sebagai ilmu-ilmu lain yang menjadi program kajian lembaga pendidikan Islam yang bersangkutan. Ketiga, mengandung dua pengertian di atas dalam arti lembaga tersebut memperlakukan Islam sebagai sumber nilai bagi sikap dan tingkah laku yang harus tercermin dalam penyelenggaraannya maupun sebagai bidang kajian yang tercermin dalam program kajiannya.( A.Malik Fadjar, 2006, h.144-145).

Konsep pendidikan Islam sebagaimana yang dikemukakan oleh Zarkowi Soejoeti tersebut menurut A.Malik Fadjar walaupun belum memadai secara falsafi untuk disebut sebagai pendidikan Islam, tetapi dapat dijadikan sebagai pengantar dalam memahami pendidikan Islam secara lebih mendasar. (A. Malik Fadjar, 199, h. 31)

Berdasarkan pengertian ini A.Malik Fadjar berpendapat bahwa keberadaan pendidikan Islam tidak sekedar menyangkut persoalan ciri khas, melainkan lebih mendasar lagi yaitu tujuan yang diidamkan dan diyakini sebagai yang paling ideal yaitu insân kâmil atau muslim paripurna. (A. Malik Fadjar, 1998, h. 4)

Orientasi pendidikan Islam ini, sekaligus mempertegas bahwa misi dan tanggung jawab yang diemban pendidikan Islam lebih berat lagi. Dalam pembicaraan ini jenis dan pengertian pendidikan Islam mencakup ketiga-tiganya, karena memang ketiga-tiganya itu yang selama ini tumbuh serta berkembang di Indonesia dan sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari sejarah maupun kebijakan pendidikan secara nasional. Bahkan tidak berlebihan kalau secara politis dikatakan bahwa kehadiran dan keberadaannya merupakan bagian dari andil umat Islam dalam perjuangan maupun dalam mengisi kemerdekaan. A.Malik Fadjar, Visi Pembaruan Pendidikan Islam, h. 4

(3)

álamiin. Oleh karena itu pendidikan Islam bertujuan menciptakan insan kamil. Terbinanya kepribadian muslim atau insan kamil yang merupakan ketetapan tujuan pendidikan Islam masih merupakan idea statis. Namun kualitasnya dinamis dan berkembang nilai-nilainya. Tujuan pendidikan Islam itu sarat dengan nilai-nilai fundamental yang memungkinkan terwujudnya kepribadian muslim atau insân kâmil yaitu yang kondisi fisik dan mentalnya merupakan satu kesatuan secara terpadu. Sehingga dalam penampilan dan kegiatannya tidak terjadi dikotomi antara jasmani dan rohani, duniawi dan ukhrawi. (A.Malik Fadjar, dalam Imron Nasri dan A. Hasan Kunio, (Ed) : 1994, h. 21-22).

Sedangkan menurut Hamka, bahwa untuk membentuk peserta didik yang memiliki kepribadian paripurna, maka eksistensi pendidikan agama merupakan sebuah kemestian yang harus diajarkan, meskipun pada sekolah-sekolah umum. Namun demikian dalam dataran operasional prosesnya hanya tidak dilakukan sebatas mentransfer ilmu pengetahuan, tetapi jauh lebih penting adalah bagaimana ilmu yang mereka peroleh mampun membuahkan suatu sikap yang baik sesuai dengan pesan nilai ilmu yang dimilikinya. (Hamka, :1962, h. 204). Pendidikan bukan berarti hanya berorientasi pada hal-hal yang bersifat metafisik belaka. Dalam melaksanakan tugasnya sebagai khalîfah fi al-ardl, manusia juga memerlukan pendidikan yang bersifat material. Hanya melalui pendekatan kedua proses tersebut manusia akan dapat melaksanakan tugas dan fungsinya di muka bumi ini dengan sebaik-baiknya. Berkaitan dengan tujuan pendidikan Islam, Hamka menyatakan bahwa pendidikan Islam bertujuan mengenal dan mencari keridaan Allah, membangun budi pekerti untuk berakhlak mulia, serta mempersiapkan peserta didik untuk hidup secara layak dan berguna di tengah-tengah komunitas sosialnya. (Hamka,: 1983, h. 2-3)

C.Tujuan Pendidikan Islam

Tujuan pendidikan Islam pada dasarnya untuk mencapai derajat menuju iman dan taqwa kepada Allah Swt. Dalam proses pencapaian tersebut, didasarkan pada materi pembelajarannya, jam pelajarannya dan metode penyampaiannya. Target pencapaiannya pada dasarnya membentuk insan kamil.

Menurut al-Ghazali sebagaimana yang dikutip oleh Fathiyah Hasan Sulaiman menyatakan bahwa tujuan umum pendidikan Islam tercermin dalam dua segi yaitu:

1. Insan purna yang bertujuan mendekatkan diri kepada Allah

2. Insan purna yang bertujuan mendapatkan kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat. Kebahagiaan di dunia dan akhirat dalam pandangan al-Ghazali adalah menempatkan kebahagiaan dalam proporsi yang sebenarnya. Kebahagiaan yang lebih memiliki nilai universal, abadi, dan lebih hakiki itulah yang diprioritaskan. (Fathiyah Hasan Sulaiman : 1986, h. 24)

(4)

pendidikan Islam K.H Ahmad Dahlan menurut A.Malik Fadjar mengacu pada tiga matra yang saling terkait, yaitu: 1). Tauhid yang akan mendudukkan harkat manusia sebagai insân ahsani taqwîm, punya daya tahan terhadap segala ujian hidup dan siap memihak kepada kebenaran. 2). Jiwa dan pandangan hidup Islam yang akan membawa cita rahmatan lil alamîn. 3). Kemajuan yang akan menempatkan manusia hidup kreatif.

Tiga matra ini sifatnya masih normatif, oleh karena itu masalah yang dihadapi adalah bagaimana menfungsikan yang normatif ini sehingga berhasil guna sebagai self realization maupun pemberi jawaban terhadap realita hidup dan kehidupan kini serta mendatang dalam perolehan duniawi dan ukhrawi yang hasanah. (A.Malik Fadjar, dalam Imron Nasri dan A. Hasan Kunio, (Ed : 1994, h. 22)

Athiyah al-Abrasyi dalam kajiannya tentang pendidikan Islam menyimpulkan lima tujuan yang asasi dalam pendidikan Islam yaitu: untuk membantu pembentukan akhlak yang mulia, mempersiapkan kehidupan dunia dan akhirat, persiapan untuk mencari rezki dan menjaga kemaslahatan, menumbuhkan roh ilmiah pada anak didik dan memenuhi rasa keingintahuannya serta memungkinkan untuk mengkaji berbagai ilmu, menyiapkan anak didik untuk menguasai profesi tertentu. 1 (Muhammad Athiyah al-Abrasyi :1969, h. 37). Di samping itu dengan pendidikan, seseorang dimungkinkan mengenal diri dan alam sekitarnya. (Muhammad Athiyah al-Abrasyi, : t.th, h. 263).

Ahmad Tafsir menyatakan bahwa tujuan pendidikan terkait dengan pandangan hidup. Jika pandangan hidupnya adalah Islam, maka tujuan pendidikan harus dari ajaran Islam. (Ahmad Tafsir, : 1994, h. 46), Sementara itu menurut al-Attas tujuan pendidikan Islam adalah tercapainya manusia yang baik. (Syed Muhammad al-Nuqaib al-Attas, :1979, h. 1), sedangkan menurut Marimba, tujuan pendidikan Islam adalah terbentuknya kepribadian muslim.(Ahmad D. Marimba : h. 37). Dengan pendidikan akan terwujudnya keseimbangan dalam diri seseorang dalam bentuk pemenuhan kebutuhan badan, jiwa, pikiran, dan perbuatan yang akan melahirkan akhlak yang mulia, kasih sayang, dan tolong menolong. (Hasan Syahâtah, : 1994, h. 21).

(5)

membawa kemelaratan diri. Di samping pendidikan akal, ia pun mementingkan pendidikan spiritual. Dengan demikian ia tidak hanya mengharapkan lahirnya generasi yang mampu berfikir tetapi juga yang memiliki akhlak yang mulia dan jiwa yang bersih. Dengan pendidikan spiritual diharapkannya moral yang tinggi akan terbentuk, sehingga sikap-sikap yang mencerminkan kerendahan moral dapat terhapuskan. Dengan demikian kedua aspek, akal dan spiritual menjadi sasaran utama pendidikan Muhammad Abduh. Ia berkeyakinan bila kedua aspek tersebut dididik dengan akhlak agama maka umat Islam akan dapat berpacu dengan Barat dalam menemukan ilmu pengetahuan baru dan dapat mengimbangi mereka dalam kebudayaan. (Muhammad Rasyid Ridha, Târikh al-Ustâz al-Imâm al-Syaikh Muhammad Abduh, Jilid II, h. 17, 420).

Pendidikan perlu menjadi bekal demi kesiapan manusia untuk memahami keberagaman manifestasi nilai-nilai dalam peri kehidupannya sebagai anggota masyarakat. (Fuad Hassan, 1975, h. 64). Kesanggupan untuk memahami keberagaman itu menurut Fuad Hasan harus sudah mulai dibentuk melalui sistem pendidikan nasional sejak jenjang pendidikan dasar dan berlanjut pada jenjang berikutnya. Bentuk penyajiannya tentu disesuaikan dengan tingkat perkembangan anak. P endidikan tidak hanya terpusat pada usaha pencerdasan logika, tetapi juga pada terbentuknya kepedulian etika dan kepekaan estetika. Upaya peningkatan kesadaran religius bisa ditambahkan sebagaimana berlaku di Indonesia menurut UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pendidikan melalui upaya dalam lingkungan keluarga juga meliputi usaha sosialisasi yang menyiapkan manusia sebagai warga masyarakat. Perkenalan peserta didik dengan berbagai bidang itu dapat disiapkan sepanjang perjalanan pendidikannya, baik melalui jalur sekolah maupun luar sekolah. Perkenalan dengan berbagai ranah itu memperluas spektrum pilihan bagi peserta didik untuk memiliki nilai yang dijadikan orientasi bagi perkembangan dirinya.Peserta didik harus diperkenalkan ke berbagai bidang. Perkenalan itu akhirnya membuka perspektif bagi seseorang untuk membuat pilihan, apakah ia ingin menjadi homo religiosus, homo aestheticus, homo politicus, homo economicus, homo academicus, dan sebagainya. (Fuad Hassan, 1975, h. 64)

(6)

h. 10).

Dinamika kehidupan manusia mesti merujuk pada ajaran agama. Berbagai pendidikan di Indonesia menurut A. Malik Fadjar memiliki prinsip dasar yang tertera dalam al-Quran dan sunnah.(A. Malik Fadjar, kata pengantar dan editor “Islam dan Dinamika Kebebasan Akademi”, dalam Ahmed O. Altawaijri : 1983, h. 3). Dengan demikian kaidah-kaidah agama tidak sekedar menjadi pewarna, tetapi merupakan sumber inspirasi dan melandasi setiap aktivitas dan derap kehidupan manusia. Sebagai agama terakhir, Islam menawarkan sekian prinsip mulia yang terkait dengan pendidikan. Surat al-Alaq dan al-Ashr, misalnya secara implisit mengajarkan prinsip-prinsip pendidikan dalam meningkatkan kedisiplinan dalam etika perburuan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam peningkatan etos kerja. Surat al-Alaq ayat 1-5, adalah wahyu pertama yang diturunkan Allah kepeda Muhammad Saw. Melalui firman itu, Allah mengajak dialog kepada manusia untuk membaca alam semesta, diri manusia dan lingkungan sekitarnya mencakup berbagai aspek kehidupan pendidikan, sosial, politik, ekonomi dan budaya. A. Malik Fadjar berpendapat bahwa manusia yang berkualitas menurut al-Qur’an, paling tidak bertumpu pada tiga indikator yakni: 1)Berkualitas dalam berfikir, 2)Berkualitas dalam berzikir dan berkualitas dalam berkarya/beramal. (A.Malik Fadjar : 14 Mei 1999)

Ali Ashraf menyatakan bahwa manusia dalam Islam dianggap sebagai wakil Tuhan di bumi dan seluruh ciptaan lainnya tunduk kepada manusia. (Syed Ali Ashraf :1985, h.3). Dengan kebesaran-Nya, Tuhan menciptakan segalanya dari tiada menjadi ada. Menurut al-Qur’an Tuhan adalah awal dan akhir, satu-satunya Yang Maha Kuasa pada awalnya yang hingga akhirnya tetap satu juga. Kesatuan itulah yang menjadi kekuatan di alam ini dan itulah yng dijadikan potensi untuk membangun peradaban manusia.

Dalam proses pendidikan untuk memulai segala sesuatu diawali dengan ketidaktahuan, sebagaimana Nabi Muhammad pertama kali menerima wahyu. Kemudian secara bertahap dapat mengetahui segala sesuatu sesuai dengan usahanya dan itu melalui guru (Jibril) sebagai medium pengajaran. Dengan proses pendidikan tersebut dalam konteks kekinian dilakukan melalui lembaga pendidikan sehingga dapat terukur pada proses pendidikannya.

(7)

C. Orientasi Pendidikan Islam

Orientasi umat Islam sekitar tujuh abad menguasai dunia tak terpisah dari semangat kompetisi positif, dan budaya kritik konstruktif, serta pendidikan yang membebaskan. Masa kejayaan yang dikenyam umat Islam tidak terbatas pada periode maupun geografis tertentu. Masa ini melibatkan lebih dari satu periode dan mencakup beberapa kawasan. A.Malik Fadjar mengutip pandangan Ahmad Othman al-Tawaijri, bahwa masa keemasan itu terbagi atas tiga tahapan. Pertama, masa Nabi Saw., yang ditandai dengan kemerdekaan merumuskan pemikiran-pemikiran aktual dan kontekstual atas dasar al-Qur’an dan Sunnah. Semangat intelektual ini kemudian dikenal dengan sebutan ijtihad yang dirumuskan sebagai upaya maksimal setiap muslim merumuskan keputusan-keputusan (kesimpulan-kesimpulan) hukum dari dua ajaran Islam itu. (A. Malik Fadjar, kata pengantar dan editor “Islam dan Dinamika Kebebasan Akademi”, dalam Ahmed O. Altawaijri, h.6-7).

Pada fase kedua, merupakan masa penafsiran perorangan dan kolektif yang menjamur setelah Nabi saw. wafat. Kelompok-kelompok suku di Madinah terlibat dalam perdebatan yang panas tentang berbagai persoalan. Masalah hukum yang bermuara pada persoalan politik kemudian tercatat sebagai tema sentral yang paling dominan. Pergumulan pemikiran yang semakin mewarnai dinamika umat Islam ditandai dengan kehadiran para cendikiawan (ulama) yang menggantikan posisi dan peran Nabi dalam menyebarluaskan ajaran Islam. Meski tak terhindar dari friksi-friksi yang terlibat dalam perselisihan politik dan pertikaian fisik, namun secara umum mereka merujuk kepada semangat Islam yang membolehkan berbeda pendapat.

Ketiga, keterpanggilan para cendikiawan muslim memadukan ilmu pengetahuan dan tekhnologi dengan ajaran Islam. (A. Malik Fadjar, kata pengantar dan editor “Islam dan Dinamika Kebebasan Akademi”, dalam Ahmed O. Altawaijri, h.7-8).

Oleh karena itu berkaitan dengan prestasi yang dicapai oleh umat Islam, semuanya itu tidak tidak terlepas dari sikap dan wawasan keagamaan yang dimiliki oleh seorang muslim. Orientasi pada sikap dan wawasan keagamaan seorang muslim tercermin dalam pandangannya terhadap alam, manusia dan Islam, serta hubungan agama dan ilmu pengetahuan.

1. Tentang Alam

(8)

2. Tentang Manusia

Manusia sebagai salah satu makhluk ciptaan Tuhan telah mengundang untuk menjadi sarana studi atau pembicaraan yang menarik, baik dari sudut ilmu pengetahuan maupun agama. Namun pembicaraan itu tidak pernah selesai dan tidak pernah secara tuntas memperoleh kesimpulan yang tepat mengenai keseluruhan aspeknya. Begitulah seterusnya manusia tetap menjadi objek yang menarik yang tidak ada habis-habisnya sepanjang zaman dan tetap akan menempati pandangan yang unik. Nilai yang unik tersebut terletak pada pengembangan intelektual bermuara pada tujuan esensial dari pendidikan.

Pandangan Islam tentang manusia adalah sebagai berikut:

a. Manusia adalah ciptaan Tuhan yang tertinggi, paling sempurna dan merupakan makhluk yang paling unik yang merupakan puncak dari ciptaannya.

b. Manusia berkemauan bebas, artinya berbeda dengan makhluk lainnya karena ia dilengkapi dengan akal pikiran yang melahirkan kemampuan untuk berfikir dan menentukan sikap. Kemauan bebas (free will) itu antara lain yang terdapat pada manusia dalam menghadapi hukum-hukum dan ketentuan-ketentuan Tuhan bagi manusia sehingga memungkinkan mereka ada yang tunduk dan patuh (muslim) dan ada yang ingkar (kafir).

c. Manusia diciptakan untuk mengabdi kepada Tuhan.

d. Manusia itu bersifat hanief artinya menurut kodratnya ia condong, mencari dan memihak kepada kebenaran. Hal ini sesuai dengan fitrah atau kejadian asal yang bersifat suci.

e. Manusia adalah kholifah atau wakil Tuhan di muka bumi, artinya bahwa manusia ditugaskan oleh Tuhan untuk menggarap/mengolah masalah dunia karena dunia ini dijadikan untuk kepentingannya. Amanat ini kemudian akan dipertanggung jawabkan kepada Tuhan dalam pelaksanaannya.

f. Individu manusia adalah suatu kenyataan, artinya bahwa tiap-tiap dari individu manusia bertanggung jawab atas segala perbuatannya, baik ataupun buruk.

Mengetahui pandangan tentang hakekat manusia tersebut sangat penting sekali terutama dalam rangka mengenal Tuhan selaku penciptanya,seperti yang diungkapkan para ahli tentang ke-Tuhanan bahwa “barang siapa yang mengenal dirinya sendiri, maka ia akan dapat mengenal Tuhannya”. Juga dalam al-Qur’an, Tuhan menyampaikan pesannya agar manusia mengenal dirinya.

3. Tentang Islam

Islam sebagai agama mengandung nilai-nilai ajaran yang sejalan dengan fitrah manusia, artinya bahwa ajaran-ajaran Islam itu sejalan dengan kejadian alamiah manusia dan sekaligus merupakan kewajiban atas pertanyaan manusia yang ada secara fitriah tentang bagaimana dan untuk apa sebenarnya manusia ini hidup, itulah sebabnya .

(9)

Dalam al-Qur’an Tuhan berfirman sekitar peristiwa turunnya Adam dan Hawa (manusia) ke dunia. Janji itu perlu diberikan karena manusia tidak mungkin dibiarkan mencari-cari jalannya sendiri untuk menemukan hukum-hukum objektif tentang hidup dan kehidupannya. 4. Tentang agama dan ilmu

Agama pada umumnya mempunyai ajaran-ajaran yang diyakini turun kepada masyarakat manusia melalui wahyu dalam arti bahwa ajaran-ajaran itu berasal dari Tuhan dan oleh karena itu bersifat benar, dan tidak akan berubah-rubah sekalipun masyarakat manusia berubah menurut perkembangan zaman. Ajaran-ajaran agama itu bersifat absolut, tidak akan berupah dan tidak akan dapat dirubah menurut peredaran masa, ia merupakan dogma. Inilah yang menimbulkan sikap dogmatis dalam tiap agama.

Ilmu pengetahuan sebaliknya tidak kenal dan tidak terikat pada waktu. Ilmu pengetahuan berpijak dan terikat pada pemikiran rasional. Itulah sebabnya secara populer orang mengatakan bahwa agama bermula dari tidak percaya. Akan tetapi meskipun titik berangkatnya berbeda, tidak berarti bahwa antara agama dan ilmu itu dalam posisi yang bertentangan. Kalau agama mempunyai nilai kebenaran yang mutlak, maka ilmu yang sifat kebenarannya relatif merupakan alat bagi manusia untuk mencari dan menemukan kebenaran-kebenaran itu. Dengan menggunakan kekuatan daya pikir dan dengan bimbingan hati nuraninya, manusia dapat menemukan kebenaran-kebenaran dalam hidupnya secara baik, yaitu beramal shaleh. Dengan kata lain bahwa ilmu pengetahuan adalah persyaratan dari amal shaleh. (A. Malik Fadjar dan Abdul Ghofir, 1981, h.25)

Sejalan dengan itulah Islam memandang kegunaan dan peranan ilmu, sehingga tidak membuat garis pemisah antara agama dan ilmu. Manunggalnya agama dan ilmu pengetahuan, menjadikan manusia betapapun tinggi tingkat ilmunya selalu bertanggung jawab. Karena akal semata tidak selalu membimbing ke jalan yang benar. Salah satu ciri akal adalah juga kemungkinannya untuk menyesatkan dan bahkan menimbulkan kerumitan bagi manusia sendiri. Diterangi oleh nilai-nilai agama, maka proses akal tidak akan terbiarkan menyusuri garis-garis yang menyesatkan. Tidak terpisahnya agama dan ilmu berarti pula berpadunya kata-hati dan pengetahuan, satunya “conscience dan science”. Oleh karena itu dapat dipahami mengapa Islam menganggap perlunya integrasi antara agama dan ilmu dan sekaligus menempatkan orang-orang yang beriman dan berilmu pada posisi yang lebih tinggi sebagaimana yang terdapat dalam surat al-Mujadalah ayat 11. (Fuad Hasan Makalah : 1975. Agama adalah nilai-nilai panutan yang memberi pedoman pada tingkah laku manusia dan pandangan hidupnya; ilmu adalah sesuatu hasil yang dicapai oleh manusia berkat bekal kemampuan-kemampuannya sebagai anugerah dari Tuhan. Ilmu tidak dibekalkan sebagai barang jadi, ilmu harus dicari dan untuk ikhtiar mencari ilmu ini, Tuhan membekali manusia dengan berbagai kemampuan yang memang kodratnya sesuai dengan keinginan untuk mengetahui apa saja.

(10)

filosofis terhadap alam kosmik. Lebih dari itu, ilmu pengetahuan dalam pandangan Al-Qur’an perlu diarahkan secara teologis dan sosiologis atau zikir dan fikir untuk membangun hubungan yang lebih dekat antara manusia dengan Allah sebagai sumber pengetahuan serta untuk membantu manusia menjalankan tugas kekhalifahannya di muka bumi.

Oleh karena itu dapat diketahui bahwa pendidikan Islam menurut adalah suatu upaya mempertajam dan memperkuat potensi zikir (sains) dan fikir (teknologi) pada peserta didik sehingga akan mewujudkan manusia yang berwawasan modern dan berjiwa pembaru. Kesadaran akan kelemahan yang ada dalam dirinya kemudian berupaya meningkatkan potensi dalam dirinya dan menjalin hubungan secara harmonis dan humanis serta membesarkan dan menguatkan orang lain maka ia akan menjadi orang yang terbaik (khaira ummah). Tetapi seseorang yang tidak mampu mengendalikan hawa nafsunya dan merasa benar sendiri, bahkan melemahkan orang lain maka ia sendiri akan menjadi orang yang lemah sehingga ia termasuk ke dalam golongan asfala sâfilin. Dan yang membedakan antara khaira ummah dan asfala sâfilin adalah ilmu pengetahuan.

D. PENUTUP

Dari semua penjelasan di atas dapat dipahami bahwa pola dasar pendidikan Islam berorientasi pada pemberdayaan, karena merupakan keharusan untuk mengembangkan potensi manusia yang berusaha bertindak dan berbuat demi mempertahankan hak-haknya yang terus diperoleh secara adil sesuai fitrah manusianya. Nilai esensial dari hal tersebut berkorelasi dengan sistem dan hukum kehidupan yang berlangsung yang telah menciptakan kekuatan-kekuatan yang dapat mempengaruhi dan menentukan sikap umat.

(11)

Manusia

Sadar akan kelemahannya

(Tantangan)

Tidak Sadar/Merasa

benar sendiri

PROSES PENGEMBANGAN

PENDIDIKAN

Khaira Ummah

Asfala Sâfiliin Potonsi zikir (sains)

Potensi fikir (teknologi) (Tauhid)

Hawa Nafsu yang tak terkendali

Menguatkan/Mem-besarkanseseorang

(Humanis)

Melemahkan/Men-gecilkan seseorang

ILMU

ALLAH

(12)

DAFTAR PUSTAKA

Al-Abrasyi, Muhammad Athiyah , Al-Ittijahât al-Hadîtsah fi al-Tarbiyah, Mesir: Isa al-Babi al-Halabi, t.th

---, Al-Tarbiyah al-Islâmiyah wa Falsafatuha, Kairo: Isa al-Babi al-Halabi, 1969

Al-Ahwani, Ahmad Fu’ad, Al-Tarbiyah fi al-Islâm, Kairo: Dar al-Ma’arif, t.th

Ashraf, Syed Ali, New Horizons in Muslim Education, Camridge: Antony Rowe Ltd, 1985

Al-Attas, Syed Muhammad al-Nuqaib, Aims and Objective of Islamic Education, Jeddah: King Abdul Aziz University, 1979

Azra ,Azyumardi, Islam Subtantif: Agar Umat Tidak Jadi Buih, Bandung: Mizan, 2000

---,

Paradigma Baru Pendidikan Nasional Rekonstruksi dan Demokratisasi,

Jakarta : Penerbit Buku Kompas, 2002

---, Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 1999

D. Marimba, Ahmad, Filsafat Pendidikan Islam, Bandung : al-Ma’arif, 1980

Fadjar, A. Malik dan Abdul Ghofir, Pendidikan Islam di Perguruan Tinggi, Surabaya: Lembaga Penerbitan Universitas Brawijaya Malang, 1981

---, (Sambutan ketika Menteri Agama) pada acara “Pembukaan Madrasah Terpadu YASUCI Cijantung”, 14 Mei 1999, dalam Himpunan Pidato Menteri Agama RI., Tahun, 1999, disusun oleh Biro Hukum dan Humas Sekretaris Jenderal Departemen Agama RI.

---, “Mencari Dasar Filosofi Pendidikan Islam; Sebuah Tinjauan Terhadap Pendidikan Kemuhammadiyahan dan Al-Islam, dalam Imron Nasri dan A. Hasan Kunio, (Ed), Di Seputar Percakapan Pendidikan Dalam Muhammadiyah, Yogyakarta: Pustaka SM, 1994

---, kata pengantar dan editor “Islam dan Dinamika Kebebasan Akademi”, dalam Ahmed O. Altawaijri, Academic Freedom Islam and The West: A Study of The Philosofhical Foundations of Academik Freedom in Islam, diterjemah oleh Mufid, Islam dan Kebebasan Akademi, Malang: Citra Mentari Group, 1983

---, Pidato Pengukuhan Guru Besar, “Pengembangan Pendidikan Islam yang Menjanjikan Masa Depan”, dalam Muhammad In’am Esha dan Helmi Syaifuddin (Ed.) Kumpulan Orasi Ilmiah Pengukuhan Guru Besar UIN Malang Periode 1989-2006, Malang: UIN Malang Press, 2006

(13)

---, Visi Pembaruan Pendidikan Islam, Jakarta: Lembaga Pengembangan Pendidikan dan Penyusunan Naskah Indonesia, 1998

---,”Pengembangan Pendidikan Islam yang Menjanjikan Masa Depan” dalam Jurnal Edukasi Volume 2, Nomor 1, Januari-Maret 2004

---,”Pengembangan Pendidikan Islam yang Menjanjikan Masa Depan” dalam Jurnal Edukasi Volume 2, Nomor 1, Januari-Maret 2004

Fathiyah, Hasan Sulaiman, Sistem Pendidikan Versi al-Ghazali, Penerjemah Fathur Rahman, Bandung: al-Ma’arif, 1986

Gunawan, Heri,

Pendidikan Islam: Kajian Teoritis dan Pemikiran Tokoh

, Bandung :

PT. Remaja Rosdakarya, 2014

Hamka, Lembaga Hidup,Jakarta: Djajamurni, 1962

Hasan, Fuad “Islam Sebagai Motivasi Pembangunan Nasional, Makalah, pada Lokakarya Alim Ulama di Pandaan Jawa Timur tahun 1975

Hilmi, Masdar,

Pendidikan Islam dan Tradisi Ilmiah,

Malang : Madani, 2016

Al-Kailâni, Majîd Irsân, Falsafât al-Tarbiyah al- Islâmiyah, Makah: Maktabah Hadi, 1988

Langgulung, Hasan, Asas-asas Pendidikan Islam, Jakarta: Pustaka al-Husna, 1993

Al-Nahlawi, Abdurrahman ,Ushûl al-Tarbiyah al- Islâmiyah fi al-Bait wa al-Madrasah wa al-Mujtama’, Damaskus: Dar al-Fikr, 1996

Ridha ,Muhammad Rasyid, Târikh Ustâz Imâm Syaikh Muhammad Abduh, Mesir: al-Manar, 1931

Saridjo, Marwan, ed. Mereka Bicara Pendidikan Islam : Sebuah Bunga Rampai, (Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 2009

Tafsir, Ahmad, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 1994

Referensi

Dokumen terkait

Hubungan antara tekanan darah yang meningkat mungkin juga mencerminkan white coat phenomenon .Kesimpulan dari penelitian ini adalah terdapat hubungan yang bermaknan

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui efektifitas penggunaan obat antihipertensi Hidroklorotiazid, Kaptopril dan Amlodipin terhadap penurunan tekanan darah

103 K/Sip/1972, tanggal 23 Mei 1973, yang antara lain pertimbangan hukumnya menyatakan bahwa sekalipun toko dan barang yang ada di dalamnya telah diusahai dan dialihnamakan atas

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dimana dalam penelitian yang dilakukan bersifat Deskriptif yaitu untuk mengetahui atau menggambarkan kenyataan dari

Faktor jarak tempuh yang dilalui nelayan ketika melaut merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi tingkat pendapatan karena apabila jarak tempuh yang semakin

bunyi. Siswa membuat kesimpulan saat mengamati percobaan tentang sumber energy bunyi dengan melihat percobaan kaleng yang di atasnta diberi pasir dan kemudian dipukul. Siswa

13 In deconstructing colonialism in Southeast Asia, one should unearth the intention and magnify it in the light of social danh tính, lipunan, and budaya.. In the 19 th

Hubungan antara obesitas dan hiper- tensi pada anak telah dilaporkan pada berbagai penelitian berdasarkan etnis dan ras dimana tekanan darah lebih tinggi pada anak