• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA TRAFFICKING YANG MERAMPAS ANAK SEBAGAI JAMINAN UTANG (Study Kasus Wilayah Hukum Polda Lampung) Jurnal

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA TRAFFICKING YANG MERAMPAS ANAK SEBAGAI JAMINAN UTANG (Study Kasus Wilayah Hukum Polda Lampung) Jurnal"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA TRAFFICKING YANG MERAMPAS ANAK

SEBAGAI JAMINAN UTANG

(Study Kasus Wilayah Hukum Polda Lampung)

Jurnal

Oleh M Ilmi Arrafi

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

(2)

ABSTRAK

PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA TRAFFICKING YANG MERAMPAS ANAK

SEBAGAI JAMINAN UTANG

(Study Kasus Wilayah Hukum Polda Lampung)

Oleh

M Ilmi Arrafi, Damanhuri, Nikmah Rosidah (Email : ilmirafi90@gmail.com)

Masalah perdagangan perempuan dan anak atau dikenal dengan istilah human trafficking akhir-akhir ini muncul menjadi suatu masalah yang banyak diperdebatkan baik ditingkat regional maupun global dan dikatakan sebagai bentuk perbudakan masakini serta melanggar HAM. Perdagangan manusia merupakan bagian kelam bangsa Indonesia artinya persoalan trafficking manusia adalah realitas yang tidak mungkin dapat dipungkiri. Permasalahan yang diangkat dalam penelitan ini adalah Bagaimana Penegakan hukum terhadap pelaku trafficking dan faktor-faktor penghambat penegakan hukum terhadap pelaku tindak trafficking yang merampas anak sebagai jaminan utang. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekataan yuridis normatif dan yuridis empiris dengan data primer dan data sekunder. Analisis data yang digunakan adalah analisis kualitatif. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana trafficking yang merampas anak sebagai jaminan utang menggunakan teori penegakan hukum pidana ,yang menjadi persoalan paling relevan yaitu pada tahap formulasi yang mengedepankan yuridis formal dengan menonjolkan penghukuman, adapun faktor penghambat penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana trafficking yang merampas anak sebagai jaminan utang adalah faktor hokum, penegak hokum, sarana atau fasilitas, masyarakat, dan kebudayaan. Factor yang paling utama adalah factor masyarakat karena sering kali masyarakat tidak memahami apa dan bagaimana yang tergolong tindak pidana trafficking. Berdasarkan hasil penelitian maka penulis memberikan saran :1. Diharapkan perlu adanya sikap dan tindakan yang pro-aktif dari aparat penegak hukum, khususnya dari aparat kepolisian dan lembaga pendidikan serta keagamaan. 2. Pemerintah juga berperan penting terutama dalam kebijakan formulasi sanksi pidana yang tegas yang dirumuskan dalam Undang-Undang Nomor. 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang terutama terhadap anak.

(3)

ABSTRACT

THE LAW ENFORCEMENT AGAINST PERPETRATORS OF CHILD TRAFFICKING USED AS DEBT GUARANTEE

(A Case Study In Lampung Police Jurisdiction)

By

M Ilmi Arrafi, Damanhuri, Nikmah Rosidah (Email: ilmirafi90@gmail.com)

The problem of trafficking on women and children, also known as human trafficking is becoming a matter of debate at both regional and global scale, where it is called as modern human slavery and human rights violation. Human trafficking is a dark fact in Indonesia, it means that the issue of human trafficking is an undeniable reality. Thus, the problems in this research are formulated as follows: how is the law enforcement against perpetrators of child trafficking used as debt guarantee? and what are the inhibiting factors in the implementation of law enforcement against perpetrators of child trafficking used as debt guarantee? This research was conducted using normative and empirical approaches with primary and secondary data sources. The data were analyzed qualitatively. Based on the results and discussion of the research, the law enforcement against perpetrators of child trafficking was viewed from theory of criminal law enforcement with the most relevant issue of the formulation stage which considered a formal jurisdiction emphasized the punishments; while the inhibiting factors of law enforcement against child trafficking used as debt guarantee included: law factor, the law enforcement authority, infrastructures or facilities, society, and culture. The most important factor was the factor of society because in general, people were lack of knowledge regarding what kinds of conditions to be classified as human trafficking. According to the research, it is suggested that: 1. It is important that the law enforcement officers, especially the police authority, educational and religious institutions to show a pro-active attitude and action 2. The Government should also play an important role in policy formulation, especially in imposing criminal sentences as defined under Act Number. 21/ 2007 concerning the Eradication of Human Trafficking, especially children trafficking.

(4)

I. PENDAHULUAN

Masalah perdagangan orang di indonesia masih menjadi salah satu ancaman besar dimana setiap tahun hampir ribuan perempuan dan anak di Indonesia yang harus menjadi korban

trafficking yang terkadang tidak pernah merasa bahwa dirinya adalah korban, pemasalahan ini bukanlah masalah baru dan tidak hanya terjadi di Indonesia saja melainkan di Negara-negara lain juga terjadi. Bahkan masalah perdagangan orang sebenarnya telah terjadi sejak abad ke empat dimana pada masa itu perdagangan orang masih merupaan hal biasa terjadi dan bukanlah merupakan bentuk suatu kejahatan dimana saat itu masih marak-maraknya perbudakan manusia dimana seorang manusia dapat diperjual belikan dan dijadikan sebagai objek keadaan seperti itu terjadi dan marak karena masih kurangnya pemahaman bahwa setiap manusia memiliki harkat dan derajat yang sama tanpa adanya perbedaan satu sama lain. dan hal itu terus mengalami perkembangan sampai dengan sekarang tanpa dapat dicegah.

Penyebaran kasus trafiking hampir merata di seluruh wilayah Indonesia baik di kota-kota besar maupun di pedesaan. Perempuan dan anak adalah kelompok yang paling banyak menjadi korban trafiking, hal ini akan mengancam kualitas penerus bangsa serta memberi dampak negatif bagi bangsa yang mengalaminya terutama bangsa indonesia dimata dunia.

Perlindungan hak-hak anak pada hakikatnya menyangkut langsung pengaturan dalam peraturan perundang-undangan. Kebijaksanaan, usaha dan kegiatan yang menjamin terwujudnya perlindungan hak-hak anak, pertama-tama didasarkan atas pertimbangan bahwa anak-anak merupakan golongan

yang rawan dan dependent, disamping karena adanya golongan anak-anak yang mengalami hambatan dalam pertumbuhan dan perkembangan, baik rohani, jasmani, maupun sosial.1

Perlindungan anak bermanfat bagi anak dan orang tuanya serta pemerintahnya, maka koordinasi kerja sama perlu diadakan dalam rangka mencegah ketidak seimbangan kegiatan per-lindungan anak secara keseluruhan.2 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yang mempertegas tentang perlunya pemberatan sanksi pidana dan denda bagi pelaku kejahatan terhadap anak terutama kepada kejahatan seksual yang bertujuan untuk memberikan efek jera, serta mendorong adanya langkah konkrit untuk memulihkan kembali fisik, psikis dan sosial anak.

Perdagangan anak bukanlah hal baru, namun baru beberapa tahun belakangan masalah ini muncul kepermukaan dan menjadi perhatian tidak saja pemerintah Indonesia, namun juga menjadi masalah transnasional. Berbagai latar belakang dapat dikaitkan dengan meningkatnya masalah perdagangan anak seperti; lemahnya penegakan hukum, faktor ekonomi, peraturan perundang-undangan yang ada, peran pemerintah dalam penanganan maupun minimnya informasi tentang trafficking.

Perdagangan orang yang mayoritas perempuan dan anak, merupakan jenis perbudakan pada era modern ini merupakan dampak krisis

(5)

2

dimensional yang dialami Indonesia. Dalam pemberitaan saat ini sudah dinyatakan sebagai masalah global yang serius dan bahkan telah menjadi bisnis globalyang telah memberikan keuntung-an besar terhadap pelaku.3

Kasus perdagangan orang pada kenyataannya yang banyak menjadi korban adalah perempuan dan anak karena merekalah yang sering menjadi sasaran dan dianggap paling rentan. Korban perdagangan orang biasanya ditipu, diberlakukan secara tidak manusiawi, dan dieksploitasi. Bentuk-bentuk eksploitasi itu sendiri di antaranya dengan cara memperlakukan korban untuk bekerja yang mengarah pada praktik-praktik eksploitasi seksual, perbudakan, sampai penjualan bayi yang dimaksudkan untuk tujuan dan kepentingan mendapatkan keuntungan besar bagi para pelaku perdagangan orang, khususnya perdagangan anak4

Dalam kerangka perlindungan hak asasi manusia, pada hakikatnya, perlindungan terhadap perempuan dan anak merupakan salah satu perwujudan hak untuk hidup, hak untuk bebas dari perhambaan (servitude) atau perbudak-an (slavery). Hak asasi ini bersifat langgeng dan universal, artinya berlaku untuk setiap orang tanpa membeda-bedakan asal usul, jenis kelamin, agama, serta usia sehingga, setiap

negara berkewajiban untuk

menegakkannya tanpa terkecuali. Upaya perlindungan hukum terhadap perem-puan dan anak, salah satunya melalui pencegahan dan pemberantasan perdagangan manusia, perlu secara terus menerus dilakukan demi tetap terpeliharanya sumber daya manusia

3 Farhana, Aspek Hukum Perdagangan Orang di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika 2012, hlm. 5.

4 Ibid. hlm. 6

yang berkualitas. Kualitas perlindungan terhadap perempuan dan anak hendaknya memiliki derajat/tingkat yang sama dengan perlindungan terhadap orang-orang dewasa maupun pria, karena setiap orang memiliki kedudukan yang sama di depan hukum

(equality before the law).

Berdasarkan latar belakang diatas maka penulis menarik suatu permasalahan yaitu:

a. Bagaimanakah penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana

trafficking yang merampas anak sebagai jaminan utang ?

b. Apakah faktor penghambat penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana trafficking yang merampas anak sebagai jaminan utang ?

Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan pendekatan yuridis normative dan yuridis empiris. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan data sekunder yang terdiri dari 3 (tiga) sumber bahan hukum yaitu bahan hukum primer, sekunder dan tersier. Analisis data yang digunakan adalah analisis kualitatif.

II. PEMBAHASAN

A.Penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana trafficking yang merampas anak sebagai jaminan utang

(6)

3

diintegrasikan satu dengan yang lainnya. Apabila sarana pidana dipanggil untuk menanggulangi kejahatan, berarti akan dilaksanakan politik hukum pidana, yakni mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa-masa yang akan datang. Seperti kasus di lampung utara bayi ayla yang baru 7 bulan anak dari pasangan suami-istri harjito dan siti fatonah dirampas oleh M selaku mandor bangunan tempat harjito bekerja, lantaran sang ayah harjito tidak mampu membayar utang kepada M sebesar Rp 9.5 juta, M selaku mandor bangunan baru akan mengembalikan ayla jika harjito mampu membayar utang kepadanya.

Penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana merupakan bagian dari usaha penegakan hukum pidana. Maka penegakan hukum pidana merupakan bagian dari hukum yang dilakukan oleh pihak kepolisian sebagai aparat penegak hukum dalam memberantas tindak pidana perdagangan orang (trafficking) dapat digunakan dalam rangka penyelesaian nilai-nilai atau norma-norma yang ada pada masyarakat.

Penegakan hukum pidana apabila dilihat sebagai bagian dari mekanisme penegakan hukum (pidana), maka

“pemidanaan” yang biasa juga diartikan

“pemberian pidana” tidak lain

merupakan suatu proses kebijakan yang sengaja direncanakan. Artinya pemberi-an pidpemberi-ana itu untuk benar-benar dapat terwujud direncanakan melalui beberapa tahap yaitu:

a. Tahap Formulsai yaitu tahap penetapan pidana oleh pembuat undang-undang;

b. Tahap Aplikasi yaitu pemberian pidana oleh badan yang berwenang;

c. Tahap Eksekusi yaitu pelaksanaan pidana oleh instansi pelaksana yang berwenang5

Penegakan hukum terhadap tindak pidana perdagangan orang (trafficking)

adalah melakukan penyelidikan dan penyidikan. Berdasarkan wawancara dengan Zarialdi6 yaitu menerima laporan setiap orang lalu dilakukan disposisi dari kasus yang dilaporkan. Setelah itu akan dilakukan proses pertama yaitu memastikan terlebih dahulu unsur-unsur tindak pidana yang dilanggar apakah ada atau tidak yang gunanya untuk mengetahui apakah benar setelah memenuhi rumusan tindak pidana, unsur-unsur tersebut yaitu : a. Perbuatan manusia

b. Memenuhi rumusan undang-undang (syarat formil)

c. Bersifat melawan hukum

Bila memenuhi ketiga unsur-unsur diatas barulah pihak kepolisian akan menindak lanjuti kasus tersebut dengan cara melakukan penyidikan yaitu mencari alat bukti, keterangan saksi pelapor bila terbukti korban akibat perdagangan, dengan tujuan bila dapat dinyatakan sebagai tindak pidana dan alat-alat bukti telah lengkap maka penyidik pembantu membuat berita acara dan menyerahkan berkas perkara kepada pihak penyidik, kecuali perkara dengan acara pemeriksaan singkat yang dapat langsung diserahkan kepada jaksa penuntut umum.

Pelaksanaan penegakaan hukum terhadap pelaku perdagangan orang (trafficking) menurut Erna Dewi7 belum

(7)

4

berjalan dengan baik karena kurangnya sosialisasi mengenai undang-undang nomor 21 tahun 2007 tentang pem-berantasan tindak pidana perdagangan orang, para aparat penegakan hukum masih belum maksimal dalam menerapkannya kepada masyarakat. Seharusnya aparat penegak hukum melakukan penegakan hukum yang berpihak kepada korbannya. Selain itu pada saat pemeriksaan atau penyidikan terhadap korban, aparat penegak hukum masih belum memiliki perspektif perempuan dalam artian masih menyalahkan korban dan memojokan korban dengan pertanyaan pertanyaan kepada korban perempuan. Selain itu juga aparat penegak hukum pun masih setengah hati dalam menerapkan pasal-pasal atau aturan aturan hukum untuk kasus perdagangan orang (trafficking). a. Tahap Formulasi ialah tahap

penegakan hukum in abstracta oleh pembuat undang-undang, tahap ini dapat pula tahap kebijakan legislatif. Pihak kepolisian dalam melakukan

pencegahan tindak pidana

perdagangan orang (trafficking) telah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak pidana Perdagangan Orang bahwa setiap orang yang melakukan perekrutan, pengangkutan, penam-pungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, pengguanaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalah-gunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat walaupun memperoleh persetujuan dari orang pemegang kendali atas orang lain dengan tujuan mengeksploitasi orang tersebut di wilayah Negara Republik Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas)

tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).

b. Tahap Aplikasi ialah tahap penerapan hukum oleh aparat-aparat penegak hukum mulai dari Kepolisian sampai Pengadilan, tahap ini dapat disebut kebijakan yudikatif. Pihak kepolisian pada tahap ini sudah melakukan upaya penegakan terhadap tindak pidana perdagangan orang (trafficking) seperti melakukan melakukan kegiatan razia di tempat pelacuran, hiburan malam dan sejumlah hotel yang ada di Bandar Lampung, dengan tujuan untuk menanggulangi setiap tindak pidana perdagangan orang dan melakukan Sosialisasi dan penyuluhan- penyuluhan ke seluruh SMP dan SMA di Bandar Lampung yang melibatkan para dokter, psikolog, dan LSM sebagai upaya mencegah

perdagangan manusia yang

dilaksakan sekali dalam setahun. c. Tahap eksekusi ialah tahap

pelaksanaaan hukum pidana secara konkrit oleh aparat-aparat pelaksanaan pidana, tahap ini disebut tahap kebijakan eksekutif atau administrasi. Pihak kepolisian pada tahap ini bertugas dalam menegakkan peraturan perundang-undang yang telah dibuat oleh pembuat undang-undang melalui penerapan pidana yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak pidana Perdagangan Orang.

(8)

5

pidana perdagangan manusia

(trafficking) khususnya pada anak, agar hukumannya dapat lebih diperberat karena anak adalah generasi penerus bangsa yang harus kita lindungi bersama, para penegak hukum harusnya dapat lebih memperhatikan para korban

trafficking yang pada umumnya adalah anak yang masih dibawah umur agar tidak mengalami hal yang serupa. Pihak

kepolisian dalam melakukan

pencegahan tindak pidana perdagangan orang (trafficking) telah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak pidana Perdagangan Orang bahwa setiap orang yang melakukan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindah-an, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, pengguanaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat walaupun memperoleh persetujuan dari orang pemegang kendali atas orang lain dengan tujuan mengeksploitasi orang tersebut di wilayah Negara Republik Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).

B.Faktor-faktor Penghambat dalam Penegakan Hukum Terhadap Pelaku Trafficking

Faktor-faktor penghambat kepolisian dalam pelaksanaan mengatasi tindak pidana perdagangan anak di bawah umur yang merupakan bagian dari kejahatan internasional terorganisir yang dilakukan melewati batas negara. Tidak berlebihan apabila kejahatan ini sudah melibatkan pelaku dari berbagai

negara, jaringan internasional serta dukungan dana yang relative tidak terbatas, dengan memperhatikan karakteristik tindak pidana perdagangan orang (trafficking) yang sedemikian khas tentunya penanggulangannya tidak mudah jika dibandingkan dengan penanggulangan kejahatan konven-sional, sehingga dari waktu ke waktu penganggulangannya selalu dihadapkan pada berbagai faktor-faktor penghambat.

Penerapan pelaksanaan upaya kepolisian dalam penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana perdagangan orang (trafficking) seringkali dijumpai hambatan. Faktor-faktor penghambat yang dapat mempengaruhi pelaksanaan upaya kepolisian dalam penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana perdangan orang (trafficking), yaitu:8 a. Faktor hukum itu sendiri, artinya

harus ada payung hukumnya.

b. Faktor penegak hukum, yaitu pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum.

c. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung pelaksanaan penegakan hukum terhadap pelaku tindak

pidana perdagangan orang

(trafficking).

d. Faktor maskarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan.

e. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia dalam pergaulan hidup sehari-hari.

Berdasarkan wawancara dan analisis yang dilakukan oleh penulis, maka yang menjadi faktor-faktor penghambat penegakan hukum terhadap pelaku

(9)

6

tindak pidana trafficking yang merampas anak sebagai jaminan utang di wilayah hukum polda Lampung adalah:

1. Faktor hukumnya

Suatu produk hukum itu dikatakan baik apabila hukum itu mengundang kepastian hukum dalam arti penjatuhan sanksi, jika sanksi itu sulit dilaksanakan maka akan jadi tawar-menawar hukum, disamping memberi kepastian hukum, juga memberikan manfaat dan keadilan hukum.

Menurut Zarialdi9 belum maksimalnya kerja sama para penegak hukum di Indonesia, seperti vonis yang di jatuhkan hakim terhadap pelaku tindak pidana perdagangan orang yang dianggap polri terlalu ringan. Seperti Contoh karna Perdagangan orang yang dilakukan oleh M yang telah merampas Alya (8 bulan) dari kedua orang tua nya terbebut termasuk perbuatan tindak pidana sebagaimana tertera pada Pasal 1 (2) jo Pasal 2 Ayat (1) jo Pasal 4 dapat dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah), Pelaku tersebut dapat Pasal 5 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah), dikarenakan menjanjikan sesuatu atau merampas sesuatu dengan maksud untuk dieksploitasi

9 Berdasarkan wawancara dengan Kombes Pol . Zarialdi sebagai Dir ReskimumPolda Lampung pada tanggal 16 september 2016 .

Menurut Erna Dewi10. Aparat polisi menghadapi persoalan kelemahan dalam menganalisis dan menerapkan hukum yang telah ada, sehingga terkadang dalam menangani kasus tidak memahaminya sebagai tindak pidana perdagangan orang (trafficking). Bahkan sering kali kasus-kasus yang dihadapi cenderung diselesaikan secara kekeluargaan karena antara korban dan pelaku yang memang memiliki hubungan dekat dan adanya beberapa petugas yang terlibat dalam tindak pidana perdagangan anak perempuan di bawah umur sehinga, pada saat proses penyidikan dan penyelidikan banyak hambatan yang terjadi seperti bocornya informasi razia dan penggerebekan petugas di tempat-tempat yang di sinyalir sebagai tempat terjadinya transaksi tindak pidana perdagangan orang khususnya perdagangan anak perempuan di bawah umur. Seperti di hotel-hotel dan tempat hiburan malam serta di sejumlah lokalisasi di Provinsi Lampung.

2. Faktor penegak hukum

Mentalitas petugas yang menegakan hukum seperti kepolisian, kejaksaan, dan hakim adalah hal yang sangat penting, karena sebaik apapun hukumnya kalau mentalitas aparat penegak hukumnya kurang baik maka akan terjadi gangguan pada sistem penegakan hukum.

Menurut Zarialdi11 faktor aparat polisi Polda Lampung menyediakan Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) yang ditangani oleh Polisi Wanita (Polwan). PPA ini sangat

10 Berdasarkan wawancara dengan Erna Dewi sebagai dosen fakultas hukum pidana universitas lampung

(10)

7

penting artinya untuk memberikan pelayanan bagi kasus-kasus berkaitan perdagangan orang (trafficking). Secara khusus para personil PPA telah mengikuti pelatihan/kursus berkaitan dengan bidang tugasnya. Selain itu juga mengikuti berbagai seminar dan lokakarta tentang penghapusan perdagangan perempuan dan anak, baik yang diselenggarakan oleh pemerintah, pemerintah daerah maupun LSM. Namun jumlah Polisi Wanita yang bertugas di PPA yang hanya 10 (sepuluh) orang anggota, sangat kurang, mengingat persoalan yang ditangani sangat beragam, tentu tidak hanya kasus perdagangan perempuan dan anak. Keterbatasan jumlah porsonel di PPA ditambah lagi dengan fakta bahwa para Polwan anggota PPA sehari-hari tidak hanya khusus memberikan pelayanan di bagian lain, dan juga jumlah petugas yang ada tidak seimbang dengan luas jangkauan wilayah yang ditangani

Menurut Welly Dwi Saputra12, kepolisian dalam pelaksanaan menegakkan hukum terhadap tindak pidana perdagangan orang (trafficking) memerlukan bukti-bukti yang dapat menjerat pelaku karena mata rantai demikian panjang seringkali mata rantai tersebut putus-putus dengan pelaku yang berbeda. Sehingga tidak bisa dilihat secara menyeluruh dan otomatis dan tidak bisa melihat berat ringannya upaya yang dilakukan karena kecenderungan pelaku menyangkal

Menurut ErnaDewi13 kurangnya aparat penegak hukum yang perempuan dan

12 Berdasarkan wawancara dengan Briptu Welly Dwi Saputra sebagai penyidik reskrimum Polda lampung

13 Berdasarkan wawancara dengan .Erna dewi sebagai Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung Bagian hukum Pidana pada tanggal 18 september 2016 Pukul 14.00 wib

kurangnya aparat penegak hukum untuk mempercepat proses kasus perdagangan orang (trafficking). Tindak pidana perdagangan orang (trafficking) lebih banyak dialami oleh perempuan baik dewasa maupun anak-anak sehingga kasus yang menjadi korban kebanyakan adalah perempuan. Dalam hal ini penegak hukum yang menangani tindak pidana perdagangan orang (trafficking) haruslah orang yang mempunyai perspektif perempuan.

3. Faktor sarana atau fasilitas

Kurangnya sarana dan prasarana yang

mendukung untuk melakukan

penanganan dan tidak adanya dana alokasi untuk penanganan kasus-kasus perdagangan orang (trafficking).

Menurut Zarialdi14 faktor sarana dan prasarana juga menjadi faktor penghambat pelaksanaan upaya kepolisian dalam penegakan hukum terhadap pelaku perdagangan orang (trafficking) yakni Polda Lampung menyediakan Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (Unit PPA) yang ditangani oleh polisi Wanita (Polwan). Unit PPA ini sangat penting artinya untuk memberikan pelayanan bagi kasus-kasus berkaitan dengan perdagangan perempuan dan anak.

Menurut Welly Dwi Saputra15 biaya operasional juga menjadi faktor penghambat dalam penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana perdagangan orang (trafficking) yang tersedia kurang memadai, karena biaya dikeluarkan untuk proses penyidikan

14Berdasarkan wawancara dengan Kombes Pol. Zarialdi sebagai Dir Reskrimum PoldaLampung pada tanggal 16 Desember 2016 Pukul 10.00 wib

(11)

8

cukup besar. Sekali dalam melakukan proses penyidikan biaya yang di butuhkan adalah sebesar Rp 10.000.000 s/d Rp 15.000.000, sedangkan anggaran dasar yang diterima oleh penyidik yakni sebesar Rp 5.000.000 s/d Rp 10.000.000.

4. Faktor Maskarakat

Menurut Zarialdi16 faktor maskarakat atau korban menjadi salah satu faktor penghambat, karena untuk korban-korban yang di tangani oleh pihak Polda Lampung, sebagian besar dari korban bukan berasal dari kabupaten di Lampung hal ini yang menjadi kendala bagi pihak Polda Lampung yang akan melakukan penyidikan dan penyelidikan terkait dengan kasus perdagangan manusia, karena apabila dilakukan pemanggilan saksi korban, korban tidak hadir dikarenakan rumah korban tidak berkedudukan di wilayah Kabupaten Lampung.

Ditambah lagi korban tidak mau melapor karena merasa repot dikarenakan jarak rumah korban dengan Polda Lampung sangat jauh. Rata-rata korban berasal dari luar provinsi lampung. Korban mendapat ancaman dari pelaku sehinga korban takut untuk menjadi saksi dalam proses penyidikan dan penyelidikan kasus tindak pidana perdagangan manusia yang ditangani oleh pihak Polda Lampung dan Korban kurang memahami tentang hukum terutama mengenai tindak pidana perdagangan orang (trafficking).

Khusus dari aspek penyidikannya bersumber dari korban perdagangan sendiri dimana korban tidak ingin kasusnya disidik, ingin cepat pulang ke kampung halamannya serta tidak

16 Berdasarkan wawancara dengan Kombes , Zarialdi sebagai Dir reskrimum polda lampung pada tanggal 16 september pukul 10.00

mengenal agen yang merekrut, memindahkan dan mengeksploitasi korban sehingga menyulitkan pelacakan, korban juga dengan sengaja memalsukan identitas baik nama maupun usianya agar mempermudah proses administrasi pembuatan paspor, tanpa disadari, korban telah dengan sengaja melakukan tindak pidana pemalsuan dokumen.

Erna Dewi17 menyatakan faktor masyarakat juga menjadi faktor penghambat dalam pelaksanaan penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana perdagangan orang (trafficking) karena masyarakat yang menjadi korban perdagangan orang pelakunya adalah orang yang masih memiliki hubungan saudara sehingga ada rasa enggan menuntut saudaranya apalagi kalau pelaku tau uang yang diterima tidak banyak. Bahkan kadang-kadang orang tua korban dalam hal ini masyarakat mendapat keuntungan dari peristiwa tersebut dan cenderung menutup-nutupi, dari pendapat ini dapat dapat dikatakan maskarakat yang menjadi salah satu faktor penghambat dalam penegakan hukum pidana terhadap pelaku tindak pidana perdagangan orang (trafficking) karena korban merasa enggan untuk menuntut pelaku sehingga banyak sekali kasus perdagangan orang yang pelakukanya dihukum lebih ringan.

5. Faktor Kebudayaan

Kebudayaan hukum pada dasarnya mencangkup nilai-nilai yang mendasari hukum yang berlaku, nilai-nilai yang merupakan konsepsi-konsepsi abstrak

(12)

9

mengenai apa yang dianggap baik dan apa yang dianggap buruk.

Berdasarkan pemaparan di atas yang dikemukakan oleh para responden dalam penelitian skripsi ini, maka penulis berpendapat bahwa diketahui faktor-faktor penghambat penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana

trafficking yang mertampas anak sebagai jaminan utang yaitu perlu diadakan pelatihan khusus bagi anggota Dir Reskrimum untuk mengenali, menganalisis dan menyelesaikan setiap kasus yang berhubungan dengan kasus tindak pidana perdagangan anak perempuan di bawah umur dan perlunya korban di sosialisasikan mengenai pentingnya masalah tindak pidana perdagangan orang (trafficking), agar korban dapat sukarela dan berani memberikan informasi penting bagi petugas kepolisian dalam melakukan penyidikan dan penyilidikan terkait kasus tindak pidana perdagangan orang (trafficking) khususnya perdagangan anak perempuan di bawah umur dan memberikan perlindungan yang lebih kepada korban dari setiap ancaman dari para pelaku.

Menurut pendapat penulis faktor penghambat penegakan hukum yang paling dominan adalah faktor masyarakat karena pada umumnya korban tidak mau melaporkan pelaku tindak pidana trafficking ke pihak kepolisian karena merasa malu atau masih ada ikatan saudara dengan pelaku jadi mereka lebih memilih diam atau cenderung menutupi kejadian yang menimpa dirinya, Bahkan kadang-kadang orang tua korban dalam hal ini masyarakat mendapat keuntungan dari peristiwa tersebut dan cenderung menutup-nutupi, dari pendapat ini dapat dapat dikatakan maskarakat yang menjadi salah satu faktor penghambat

dalam penegakan hukum pidana terhadap pelaku tindak pidana perdagangan orang (trafficking) karena korban merasa enggan untuk menuntut pelaku sehingga banyak sekali kasus perdagangan orang yang pelakukanya dihukum lebih ringan hal tersebutlah yang menghalangi pihak kepolisian untuk mengungkap kasus perdagangan manusia (trafficking)

III. PENUTUP

A.Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan dan diuraikan oleh penulis, maka dapat diambil kesimpulan bahwa :

1. Penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana trafficking yang merampas anak sebagai jaminan utang menggunakan teori Penegakan Hukum Pidana yaitu pada tahap formulasi, aplikasi dan eksekusi yang menjadi persoalan paling relevan yaitu pada tahap formulasi atau undang-undang dalam tahap formulasi ialah tahap penegakan hukum in abstracta oleh pembuat undang-undang, tahap ini dapat pula tahap kebijakan legislatif. Pihak kepolisian dalam melakukan

pencegahan tindak pidana

(13)

10

pemegang kendali atas orang lain dengan tujuan mengeksploitasi orang tersebut di wilayah Negara Republik Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).

2. Faktor-faktor penghambat penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana trafficking yang merampas anak sebagai jaminan utang adalah faktor hukum, penegak hukum, sarana atau fasilitas, masyarakat, dan kebudayaan. Faktor yang paling utama adalah faktor masyarakat karena seringkali masyarakat tidak memahami apa dan bagaimana yang tergolong tindak pidana perdagangan orang (trafficking). Dan kurangnya aparat penegak hukum yang perempuan karena tindak pidana perdagangan orang (trafficking) lebih banyak dialami oleh perempuan baik dewasa maupun anak-anak sehingga kasus yang menjadi korban kebanyakan adalah perempuan. Dalam hal ini penegak hukum yang

menangani tindak pidana

perdagangan orang (trafficking) haruslah orang yang mempunyai perspektif perempuan.

B.Saran

Berdasarkan kesimpulan diatas maka dalam hal ini penulis dapat memberikan saran :

1. Diharapkan perlu adanya sikap dan tindakan yang pro-aktif dari aparat penegak hukum, khususnya dari aparat kepolisian dan lembaga pendidikan serta keagamaan baik, disamping penerapan sanksi hukum dalam penanggulangan kejahatan diperlukan juga

penyuluhan-penyuluhan serta pengawasan intensif dari lembaga diluar lembaga penegak hukum, karena dalam upaya penanggulangan kejahatan tidak selamanya upaya penal memberikan efek jera pada pelaku, tetapi perlu juga upaya non penal. Sikap preventif dari aparat kepolisian juga harus ditingkatkan karena apabila upaya represif saja yang diutamakan

maka kemungkinan lembaga

pemasyarakatan akan dipenuhi oleh narapidana dan menambah pekerjaan dan beban pemerintah.

2. Pemerintah dalam hal ini juga berperan penting terutama dalam kebijakan formulasi sanksi pidana yang tegas yang dirumuskan dalam Undang-Undang Nomor. 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang terutama terhadap anak

DAFTAR PUSTAKA

Farhana. 2012 Aspek Hukum

Perdagangan Orang di Indonesia,

Jakarta: Sinar Grafika

Gultom, Maidin. 2010 Perlindungan Hukum Terhadap Anak. Bandung: Refika Aditama.

Gultom, Maidin. 1997 Aspek Hukum Pencatatatan Kelahiran dalam Usaha Perlindungan Anak.

Bandung: Refika Aditama.

Muladi dan Barda Nawawi, 1992

Bunga Rampai Hukum Pidana, Bandung,

(14)

11

Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945.

Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

Undang-Undang RI Nomor 36 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban

Undang-Undang RI Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

Republik Indonesia, Keputusan Presiden RI Nomor 88 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi

Nasional Penghapusan

Perdagangan (Traffiking)

Perempuan dan Anak, Pasal 1

Referensi

Dokumen terkait

Pandangan dan sikap superioritas manusia terhadap ciptaan non human ini tidak sesuai dengan panggilan manusia sebagai minister karya cipta allah yang dipanggil

Sementara itu, skripsi yang berjudul Keterlibatan Australia dalam Disintegrasi Timor Timur dengan Republik Indonesia 1999, lebih menekankan keterlibatan Australia

Kondisi sampah disekitar lingkungan responden meliputi banyaknya sampah yang berserakan, banyaknya lalat di sekitar tumpukan sampah, banyaknya tikus berkeliaran, banyaknya

• Usaha-usaha yang dilakukan sejak lahir sampai dewasa tersebut mengindikasikan bahwa mereka telah melakukan sebuah proses yaitu proses pendidikan, dari cara yang sangat

[r]

In short, Butler’s argument for “our obligation to the practice of virtue” differs from that of most later modern philosophers, in the following ways: Unlike the Humeans,

Dan jika pendekatan antropologis dilakukan dalam studi Islam dapat diartikan sebagai salah satu upaya memahami Islam dengan cara melihat wujud praktik keagamaan yang tumbuh

Sedangkan pada pengamatan jumlah cabang tampak bahwa Pinus dengan cabang terbanyak yang dikuti oleh Mahoni dan Jati pada peringkat dibawahnya (Gambar 1). Tajuk Jati lebih