• Tidak ada hasil yang ditemukan

PROFIL PASIEN PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK (PPOK) DI RUMAH SAKIT PARU RESPIRA YOGYAKARTA PADA TAHUN Program Studi Pendidikan Dokter

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PROFIL PASIEN PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK (PPOK) DI RUMAH SAKIT PARU RESPIRA YOGYAKARTA PADA TAHUN Program Studi Pendidikan Dokter"

Copied!
64
0
0

Teks penuh

(1)

PROFIL PASIEN PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK

(PPOK) DI RUMAH SAKIT PARU RESPIRA YOGYAKARTA

PADA TAHUN 2015

Karya Tulis Ilmiah

Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh Derajat Sarjana Kedokteran

Program Studi Pendidikan Dokter

Oleh :

Nastiti Putri Arimami

14711024

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA

(2)

ii

KARYA TULIS ILMIAH

PROFIL PASIEN PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK

(PPOK) DI RUMAH SAKIT PARU RESPIRA YOGYAKARTA

PADA TAHUN 2015

Disusun dan diajukan oleh: Nastiti Putri Arimami

14711024

Telah diseminarkan tanggal: 12 Februari 2018 dan telah disetujui oleh:

Penguji Pembimbing

dr. Erlina Marfianti, M.Sc, Sp.PD dr. Ana Fauziyati, M.Sc, Sp.PD Tanggal Februari 2018 Tanggal Februari 2018

Ketua Prodi Pendidikan Dokter

dr. Erlina Marfianti, M.Sc, Sp.PD Disahkan

Dekan

(3)

iii DAFTAR ISI

Halaman Judul... i

Lembar Pengesahan... ii

Daftar Isi... iii

Daftar Tabel ... iv

Daftar Gambar ... v

Halaman Pernyataan ... vii

Kata Pengantar... viii

Intisari... x Abstract... xi Bab I Pendahuluan ... 1 A. Latar Belakang ... 1 B. Perumusan Masalah ... 3 C. Tujuan Penelitian ... 3 D. Keaslian Penelitian ...3 E. Manfaat Penelitian ... 4

Bab II Tinjauan Pustaka ...6

A. Definisi... 6 B. Faktor Risiko... 6 C. Patogenesis ... 9 D. Manifestasi Klinis ... 10 E. Diagnosis ... 11 F. Penatalaksanaan ... 13

G. Manajemen Eksaserbasi Akut ... 15

H. Kerangka Teori ... 17

I. Kerangka Konsep Penelitian ... 18

(4)

iv

A. Jenis dan Desain Penelitian ... 19

B. Waktu dan Tempat Penelitian ... 19

C. Populasi dan Subjek Penelitian ... 19

D. Identifikasi Variabel ...20

E. Definisi Operasional ... 20

F. Instrumen Penelitian ... 22

G. Alur Penelitian ... 22

H. Metode Analisis Data ... 22

I. Etika Penelitian ... 22

J. Jadwal Penelitian ... 23

Bab IV Hasil Dan Pembahasan ... 24

Bab V Simpulan Dan Saran... 44

Daftar Pustaka... 46

(5)

v

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Keaslian Penelitian ... 3 Tabel 2 Klasifikasi Derajat Keparahan Keterbatasan Aliran

(6)

vi

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Patogenesis PPOK ... 10

Gambar 2 Kategori Usia Pasien PPOK di RS Paru Respira... 25

Gambar 3 Frekuensi Jenis Kelamin Pasien PPOK di RS Paru Respira... 25

Gambar 4 Pekerjaan Pasien PPOK di RS Paru Respira... 25

Gambar 5 Riwayat Merokok Pasien PPOK di RS Paru Respira... 26

Gambar 6 Terapi Oksigen Pada Pasien PPOK di RS Paru Respira... 27

Gambar 7 Pemberian Short Acting Beta 2 Agonist (SABA) Pada Pasien PPOK di RS Paru Respira... 27

Gambar 8 Pemberian Antikolinergik Pada Pasien PPOK di RS Paru Respira... 28

Gambar 9 Pemberian Metilxantin Pada Pasien PPOK di RS Paru Respira... 29

Gambar 10 Terapi Kombinasi Pada Pasien PPOK di RS Paru Respira... 29

Gambar 11 Terapi Kortikosteroid Pada Pasien PPOK di RS Paru Respira... 30

Gambar 12 Terapi Mukolitik Pada Pasien PPOK di RS Paru Respira... 31

Gambar 13 Pemberian Antioksidan Pada Pasien PPOK di RS Paru Respira... 31

Gambar 14 Pemberian Antibiotik Pada Pasien PPOK di RS Paru Respira... 32

Gambar 15 Rehabilitasi Pada Pasien PPOK di RS Paru Respira... 33

Gambar 16 Jumlah Hospitalisasi Pasien PPOK di RS Paru Respira... 33

Gambar 17 Outcome Pasien Setelah Menjalani Pengobatan PPOK di RS Paru Respira... 34

(7)

vii

HALAMAN PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam Karya Tulis Ilmiah ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Yogyakarta, 12 Februari 2018

(8)

viii

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, taufiq dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat meyelesaikan karya tulis ilmiah (KTI) yang berjudul “Profil Pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) di RS Paru Respira Yogyakarta Pada Tahun 2015”. Shalawat beserta salam semoga tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW dan para pengikutnya.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. dr. Linda Rosita, M.Kes, Sp.PK selaku dekan Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Islam Indonesia (UII).

2. dr. Syaefudin Ali Akhmad, M.Sc selaku wakil dekan FK UII.

3. dr. Ana Fauziyati, M.Sc, Sp.PD selaku dosen pembimbing yang telah bersedia meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran untuk membimbing dan mengarahkan selama penulisan KTI ini berlangsung.

4. dr. Erlina Marfianti, M.Sc, Sp.PD selaku dosen penguji dalam seminar proposal dan seminar hasil KTI yang telah memberikan saran serta masukan kepada penelitian ini.

5. dr. Kuswati M.Sc selaku Dosen Pembimbing Akademik (DPA) yang telah memberikan motivasi dan dukungan kepada penulis selama menempuh pendidikan di FK UII.

6. Direktur RS Paru Respira Yogyakarta yang telah memberikan izin untuk penelitian.

(9)

ix

7. Staff Bagian Penelitian dan Rekam Medis RS Paru Respira Yogyakarta yang sudah berkenan membantu dalam perizinan dan penyediaan data yang dibutuhkan peneliti sehingga penelitian ini dapat berjalan dengan lancar. 8. Keluarga tercinta, papa Basis Triyono, mama Sudaryati, kak Nikita Rizky

Arimami, dan dek Agil M. Pahlevi, yang senantiasa memberikan dukungan, semangat, cinta dan doa terbaiknya.

9. Teman-teman sejawat Bistazam FK UII 2014, terutama Esna dan Winda yang telah memberikan semangat, bantuan, dan motivasi dalam perkuliahan dan penulisan KTI ini.

10. Sumber semangat dan pengingat dalam penulisan KTI ini, M. Fajar Tara S. P. 11. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu, yang telah memberikan

bantuan dan dukungan. Semoga Allah SWT membalas kebaikan kita semua, aamiin ya robbal’alamin.

Semoga KTI ini dapat memberikan manfaat bagi rekan-rekan mahasiswa serta bagi para pembaca pada umumnya, Allahumma, aamiin.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Yogyakarta, 12 Februari 2018

(10)

x

PROFIL PASIEN PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK

(PPOK) DI RUMAH SAKIT PARU RESPIRA YOGYAKARTA

PADA TAHUN 2015

Nastiti Putri Arimami1 , Ana Fauziyati2 , Erlina Marfianti3

1Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Islam Indonesia 2,3Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Islam

Indonesia

INTISARI

Latar Belakang: World Health Organization (WHO) mengemukakan bahwa

penyakit paru obstruktif kronik merupakan penyebab kematian nomor empat di dunia dan diprediksikan akan menjadi penyebab kematian nomor tiga di dunia pada tahun 2020. Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar 2013, prevalensi PPOK di Indonesia mencapai 3,7 % yang menempati urutan kedua setelah asma.

Tujuan: Untuk mengetahui profil pasien penyakit paru obstruktif kronik di Rumah Sakit Paru Respira Yogyakarta pada tahun 2015.

Metode : Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan metode cross

sectional menggunakan data sekunder berupa rekam medik dari Rumah Sakit Paru

Respira Yogyakarta pada tahun 2015. Variabel yang diteliti adalah usia, jenis kelamin, pekerjaan, riwayat merokok, klasifikasi derajat keparahan, terapi, jumlah hospitalisasi dan outcome.

Hasil dan Kesimpulan: Jumlah subjek yang diteliti berjumlah 49 subjek. Pasien PPOK di RS Paru Respira Yogyakarta paling banyak berusia >60 tahun (79,6%) dan didominasi oleh pasien laki-laki (81,6%). Buruh tani adalah pekerjaan terbanyak (51%), pasien dengan riwayat perokok (46,9%), terapi yang diberikan pada pasien adalah terapi oksigen, bronkodilator, kortikosteroid, mukolitik, antioksidan, antibiotik, dan rehabilitasi. Jumlah hospitalisasi terbanyak dalam satu tahun adalah 1 kali (81,6%). Pasien yang mengalami perbaikan setelah berobat sejumlah 98%.

(11)

xi

PROFILE OF CHRONIC OBSTRUCTIVE PULMONARY DISEASE PATIENTS AT RS PARU RESPIRA YOGYAKARTA IN 2015

Nastiti Putri Arimami1 , Ana Fauziyati2 , Erlina Marfianti3

1Students Faculty of Medical University of Islam Indonesia

2,3 Department of Internal Medicine Faculty of Medicine University of Islam

Indonesia

ABSTRACT

Background: The World Health Organization (WHO) suggest that chronic

obstructive pulmonary disease is the fourth leading cause of death in the world and predicted to be the third cause of death in the world by 2020. Based on the Basic Health Research (Riskesdas) of 2013, the prevalence of COPD in Indonesia reaches 3,7% after asthma.

Objective: To find out the profile of chronic obstructive pulmonary disease patients

at RS Paru Respira Yogyakarta in 2015.

Method: This research is an observational study with cross-sectional design using

medical record from RS Paru Respira Yogyakarta in 2015. The variables in this study were age, sex, occupation, smoking history, classification of severity, therapy, number of hospitalization and outcome.

Results and Conclusions: The number of subjects studied amounted to 49 subjects.

Patients of COPD at RS Paru Respira Yogyakarta were at most> 60 years old (79.6%) and dominated by male patients (81.6%). Most frequence occupation were farmer (51%), patients with smoking history (46.9%), therapy given to patients were oxygen therapy, bronchodilators, corticosteroids, mucolytics, antioxidants, antibiotics, and rehabilitation. The largest number of hospitalizations in one year was 1 time (81.6%). Patients who experienced improvement after treatment amounted to 98%.

(12)

1

Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) merupakan penyakit yang ditandai dengan hambatan aliran udara paru-paru yang disebabkan oleh ketidaknormalan dari saluran napas, alveolus, atau keduanya. Saluran napas dan alveolus yang abnormal umumnya disebabkan oleh pajanan terhadap partikel atau gas berbahaya (GOLD, 2017). PPOK menjadi masalah kesehatan yang cukup penting baik di Indonesia maupun di dunia. PPOK merupakan salah satu dari beberapa penyakit kronis yang meningkatkan angka mortalitas di dunia (Afonso, 2011). World Health

Organization (WHO) mengemukakan bahwa penyakit paru obstruktif kronik

merupakan penyebab kematian nomor empat di dunia dan diprediksikan akan menjadi penyebab kematian nomor tiga di dunia pada tahun 2020. PPOK menempati urutan kelima pada negara maju dan urutan keenam pada negara berkembang dalam daftar penyakit utama yang menyebabkan kematian (Oemiati, 2013).

Prevalensi PPOK di Amerika Serikat mencapai 10,1% pada tahun 2007. Di Asia Tenggara, prevalensi PPOK mencapai 6,3% dengan Vietnam dan China sebagai negara dengan prevalensi tertinggi (Oemiati, 2013). Studi PLATINO yang dilakukan pada lima negara di Amerika Latin, yaitu Brazil, Chili, Uruguay, Meksiko, dan Venezuela menunjukkan prevalensi sebesar 14,3 % dengan perbandingan laki-laki lebih banyak dibandingkan perempuan. Studi BOLD yang menggunakan metode sama dengan PLATINO mendapatkan prevalensi PPOK sebesar 10,1 % yang didapatkan dari 12 negara (Soeroto, 2014). Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar 2013 (Riskesdas), prevalensi PPOK di Indonesia mencapai 3,7 % yang menempati urutan kedua setelah asma. Dari data tersebut, Nusa Tenggara Timur menjadi daerah dengan prevalensi PPOK tertinggi di Indonesia, yaitu 10%. Sementara urutan kedua ditempati oleh Sulawesi Tengah dengan prevalensi 8% dan urutan ketiga ditempati Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat dengan masing-masing prevalensi sebesar 6,7%. Prevalensi PPOK meningkat pada

(13)

2

laki-laki dibandingkan perempuan dan seiring bertambahnya usia (Soeroto, 2014). Prevalensi PPOK di Yogyakarta mencapai 3,1 % pada tahun 2013 (Riskesdas, 2013). Menurut Puspasari (2016), prevalensi PPOK di Yogyakarta meningkat signifikan pada tahun 2013, yaitu sebanyak 3100 jiwa dibandingkan dengan tahun 2006 yang hanya sebanyak 1514 jiwa.

Peningkatan prevalensi PPOK baik di Indonesia maupun di dunia disebabkan oleh berbagai macam faktor. Minimnya informasi yang diketahui masyarakat maupun yang diberikan kepada masyarakat turut menyumbang peningkatan prevalensi PPOK. Merokok merupakan faktor utama penyebab PPOK. Zat -zat yang terkandung dalam rokok menyebabkan kerusakan pada saluran pernapasan. Pajanan terhadap zat-zat berbahaya tersebut dalam kurun waktu yang cukup lama dapat menyebabkan obstruksi pada saluran napas yang akhirnya dapat berkembang menjadi PPOK (Susanti, 2015). Faktor utama kedua penyebab PPOK adalah peningkatan polusi udara. Peningkatan jumlah penggunaan kendaraan bermotor berkontribusi terhadap polusi udara sebesar 70-80% yang disebabkan oleh gas buangan dari kendaraan motor tersebut. Sedangkan aktivitas industri menyumbang pencemaran udara sebesar 20-30% (Nathalia, 2015). Faktor risiko lain yang berkontribusi dalam peningkatan prevalensi PPOK adalah faktor genetik, usia, jenis kelamin, status sosioekonomi, infeksi saluran napas, dan keadaan hiperresponsivitas jalan napas. Salah satu gejala yang muncul pada pasien PPOK adalah sesak napas yang progresif. Sesak dapat timbul saat pasien beraktivitas fisik, berbicara, dan istirahat sehingga dapat menurunkan kualitas hidup pasien (Burkhadt, 2014). Pemeriksaan diagnostik yang umum dilakukan untuk pasien yang dicurigai PPOK adalah spirometri. Pemeriksaan ini dilakukan untuk menilai derajat keparahan keterbatasan aliran udara pada pasien PPOK (Burkhadt, 2014). Tatalaksana yang diberikan terhadap pasien PPOK memiliki beberapa tujuan penting seperti mencegah progresivitas penyakit dan meningkatkan kualitas hidup pasien (PDPI, 2011).

Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik untuk mengadakan penelitian dengan judul “Profil Pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) Di Rumah Sakit Paru Respira Yogyakarta Pada Tahun 2015”.

(14)

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang, perumusan masalah dalam penelitian adalah “Bagaimana profil pasien penyakit paru obstruktif kronik di Rumah Sakit Paru Respira Yogyakarta pada tahun 2015?”.

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui profil pasien penyakit paru obstruktif kronik di Rumah Sakit Paru Respira Yogyakarta pada tahun 2015. D. Keaslian Penelitian

Sampai saat ini dalam pengetahuan penulis belum pernah dilakukan penelitian tentang PPOK di Rumah Sakit Paru Respira Yogyakarta pada tahun 2015, tetapi penulis menemukan penelitian yang serupa, yaitu :

Tabel 1. Keaslian Penelitian

No Judul Penulis Persamaan Perbedaan

1. Karakteristik Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) Di Rumah Sakit Umum Daerah Indramayu Pada Periode 1 Januari – 31 Desember 2012 Ayu Wahyuni (2013) 1. Metode penelitian cross sectional

1.Perbedaan tempat penelitian, yaitu RSUD Indramayu

2.Variabel penelitian dalam penelitian Ayu Wahyuni adalah usia, jenis kelamin, pekerjaan, dan lokasi tempat tinggal. 2. Gambaran Karakteristik

Penderita Rawat Inap Penyakit Paru Obstruktif Kronik di RSU WZ Johanes Kupang-NTT Periode 1 Januari 2012-30 Juni 2012 Cindy Carissa Primaputri (2013) 1. Metode penelitian cross sectional

1.Perbedaan tempat penelitian, yaittu RSU WZ Johanes Kupang 2.Variabel penelitian dalam penelitian Cindy Carissa Primaputri adalah usia, jenis kelamin, pekerjaan, pendidikan, kebiasaan merokok, dan keluhan utama

3. Profil Penderita Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) Yang Dirawat Inap di RSUD Arifin Achmad Provinsi Riau Tahun 2013 Tuko Gustari Lisa (2015) 1. Metode penelitian cross sectional

1.Perbedaan tempat penelitian, yaitu RSUD Arifin Achmad Riau

2.Variabel penelitian dalam penelitian Tuko Gustari Lisa adalah umur, jenis kelamin, pekerjaan, riwayat merokok, keluhan utama, keluhan tambahan, dan riwayat eksaserbasi

(15)

4

Penelitian serupa pernah dilakukan oleh Ayu Wahyuni pada tahun 2013. Persamaan dengan penelitian ini adalah metode yang digunakan, yaitu cross

sectional. Perbedaan dengan penelitian ini adalah tempat penelitian yang dilakukan

di RSUD Indramayu dan variabel penelitian. Pada penelitian yang dilakukan oleh Ayu Wahyuni variabel yang digunakan adalah usia, jenis kelamin, pekerjaan, dan lokasi tempat tinggal. Dalam penelitian ini, variabel yang digunakan adalah usia, jenis kelamin, pekerjaan, riwayat merokok, klasifikasi derajat keparahan PPOK menurut spirometri, terapi yang digunakan, jumlah hospitalisasi dalam setahun, dan

outcome setelah pengobatan. Penelitian lain dilakukan oleh Cindy Carissa

Primaputri pada tahun 2013. Persamaan dengan penelitian ini adalah metode yang digunakan, yaitu cross sectional. Perbedaan dengan penelitian ini adalah tempat penelitian yang dilakukan di RSU WZ Johanes Kupang, NTT dan variabel penelitian. Pada penelitian yang dilakukan oleh Ayu Wahyuni variabel yang digunakan adalahusia, jenis kelamin, pekerjaan, pendidikan, kebiasaan merokok, dan keluhan utama. Penelitian serupa juga pernah dilakukan oleh Tuko Gustari Lisa pada tahun 2015. Persamaan dengan penelitian ini adalah metode yang digunakan, yaitu cross sectional. Perbedaan dengan penelitian ini adalah tempat penelitian yang dilakukan di RSUD Arifin Achmad Riau dan variabel penelitian. Pada penelitian yang dilakukan oleh Ayu Wahyuni variabel yang digunakan adalah umur, jenis kelamin, pekerjaan, riwayat merokok, keluhan utama, keluhan tambahan, dan riwayat eksaserbasi.

E. Manfaat Penelitian

Manfaat yang diperoleh dari penelitian adalah 1. Peneliti

Peneliti dapat menambah wawasan mengenai PPOK dan belajar melakukan penelitian

2. Masyarakat

Menambah pengetahuan mengenai PPOK sehingga diharapkan akan menambah kepedulian terhadap penyakit ini terutama mengenai faktor-faktor risiko PPOK

(16)

3. Mahasiswa Kedokteran

Menambah pengetahuan mengenai profil PPOK dan dapat dijadikan sebagai salah satu referensi belajar

(17)

6 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

American Thoracic Society dan European Respiratory Society (2007)

mendefinisikan penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) sebagai penyakit yang ditandai dengan hambatan aliran udara yang dapat dicegah dan diobati. Hambatan aliran udara tersebut bersifat progresif. Penyakit yang umumnya disebabkan oleh rokok ini berhubungan dengan respon inflamasi kronis paru terhadap gas dan partikel yang berbahaya (Viegi et al., 2007 ; Celli et al., 2015 ). Menurut Global

Initiative for Chronic Obstructive Pulmonary Disease (GOLD) (2017), PPOK

merupakan penyakit dengan karakterisitik hambatan aliran udara paru-paru yang disebabkan oleh ketidaknormalan jalan napas, alveolus, atau gabungan keduanya. Saluran napas dan alveolus yang abnormal umumnya disebabkan oleh pajanan terhadap partikel atau gas berbahaya. Gabungan penyakit saluran napas kecil seperti bronkiolitis obstruktif dan destruksi parenkim (emfisema) menyebabkan hambatan aliran kronis pada PPOK yang kontribusinya bervariasi pada pasien satu dengan pasien yang lain.

B. Faktor Risiko

Penyakit paru obstruktif kronik memiliki cukup banyak faktor risiko. Faktor risiko PPOK yang paling umum dan penting adalah merokok. Menurut GOLD (2017), prevalensi PPOK berhubungan dengan prevalensi merokok. Selain merokok, pajanan terhadap polusi indoor, outdoor, dan polusi di tempat kerja menjadi faktor risiko mayor terjadinya PPOK. Faktor risiko lain yang turut berkontribusi terhadap kejadian PPOK adalah faktor genetik, usia, jenis kelamin, status sosioekonomi, infeksi saluran napas, dan hiperresponsivitas jalan napas.

1. Merokok

Merokok merupakan faktor risiko terpenting yang berhubungan dengan prevalensi PPOK. Merokok merupakan penyebab 85% kasus PPOK sementara 15%

(18)

sisanya disebabkan oleh penyebab selain merokok (Brashier, 2012). Menurut Reilly (2008), terdapat hubungan antara intensitas merokok dengan penurunan volume ekspirasi paksa detik pertama. Perokok pasif juga memiliki risiko terkena PPOK. Penghirupan partikel berbahaya dari rokok dapat menyebabkan kerusakan pada paru-paru (Oemiati, 2013).

2. Polusi

Pajanan terhadap polusi merupakan faktor risiko utama PPOK selanjutnya setelah kebiasaan merokok. Polusi indoor, outdoor, dan polusi di tempat kerja berkontribusi terhadap perkembangan PPOK. Polusi outdoor didapatkan dari kegiatan industri, kendaraan, dan sumber-sumber yang lain. Eisner et al. (2010) mengemukakan bahwa terdapat hubungan antara peningkatan level polutan outdoor dengan penurunan fungsi paru-paru. Pajanan terhadap polusi outdoor dapat menghasilkan stres oksidatif pada jalan napas, kerusakan silia pada jalan napas, inflamasi paru, dan peningkatan reaktivitas bronkial yang akhirnya menyebabkan penurunan fungsi paru dan berkembang menjadi PPOK. Polusi indoor umumnya dihasilkan dari asap pembakaran kayu, kotoran hewan, arang dan sebagainya yang biasa digunakan untuk memasak dan pemanas dalam rumah dengan ventilasi yang buruk. Penggunaan bahan bakar biomassa di dalam rumah berasosiasi dengan peningkatan prevalensi PPOK pada wanita yang tidak merokok (Zhou, 2013). Pajanan kronik terhadap bahan berbahaya yang dihasilkan dari bahan bakar biomassa seperti CO, SO2, dan NO2 dapat menurunkan fungsi paru dan disfungsi saluran napas. Setidaknya dibutuhkan waktu selama 25 tahun terpapar polutan dari penggunaan bahan bakar biomassa tersebut untuk menghasilkan penurunan fungsi paru yang akan menyebabkan PPOK (Brashier, 2012). Beberapa jenis pekerjaan memiliki hubungan dengan perkembangan PPOK seperti pekerja industri tekstil, industri semen, mekanik kendaraan, dan penambang. Paparan terhadap bahan iritan di dalam lingkungan kerja merupakan risiko terjadinya PPOK pada pekerja di industri tersebut. Debu, silika, stimulus fisik dan kimia merupaka iritan pada tempat kerja yang berkontribusi terhadap kejadian PPOK (Brashier, 2012; Zhou, 2013).

(19)

8

Faktor genetik turut berkontribusi terhadap kejadian PPOK. Menurut Oemiati (2013), sekitar 1-3 % kasus PPOK melibatkan masalah genetik. Defisiensi α1-antitripsin merupakan faktor risiko genetik yang berhubungan dengan PPOK. α1-antitripsin merupakan suatu protein yang dapat memberikan proteksi terhadap jaringan paru. Kombinasi antara defisiensi protein ini dan berbagai pajanan lingkungan berperan dalam perkembangan PPOK (Supriyadi, 2013).

4. Usia Dan Jenis Kelamin

Usia dan jenis kelamin memegang peranan dalam perkembangan PPOK. Zhou (2013) mengatakan bahwa semakin tua usia seseorang semakin meningkat pula risiko terkena PPOK. Penelitian yang dilakukan pada populasi berusia 70 tahun atau lebih menunjukkan bahwa terjadi peningkatan risiko 9,94 kali dibandingakan dengan populasi yang berusia 40 tahun. Berdasarkan jenis kelamin, laki-laki lebih berisiko terkena PPOK dibandingkan perempuan. Hal ini berhubungan dengan kebiasaan merokok yang lebih tinggi pada laki-laki.

5. Status Sosioekonomi

Status sosioekonomi yang rendah berhubungan dengan perkembangan PPOK. Menurut GOLD (2017), status sosioekonomi rendah berkaitan dengan pajanan polusi baik indoor maupun outdoor, kepadatan tempat tinggal, nutrisi yang buruk, dan kejadian infeksi yang turut berkontribusi dalam perkembangan PPOK.

6. Infeksi Saluran Napas

Riwayat infeksi saluran napas berulang yang terjadi saat masa anak-anak berisiko meningkatkan prevalensi PPOK di masa mendatang. Hal ini disebabkan infeksi saluran napas berulang dapat menurunkan fungsi paru (GOLD, 2017; Zhou, 2013).

7. Hiperresponsivitas Jalan Napas

Hiperresponsif jalan napas merupakan respon berlebihan jalan napas terhadap suatu stimulus yang dapat menyebabkan obstruksi. Menurut Reilly (2008), peningkatan respon jalan napas yang berlebihan dapat menurunkan fungsi paru yang akhirnya dapat menjadi faktor risiko perkembangan PPOK.

(20)

C. Patogenesis

Perubahan fisiologi mayor pada PPOK adalah hambatan aliran udara pernapasan. Menurut Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) (2011), hambatan tersebut disebabkan oleh pajanan asap rokok atau partikel berbahaya lainnya yang menyebabkan inflamasi. Selanjutnya, inflamasi akan menyebabkan gangguan pada saluran napas kecil dan kerusakan parenkim paru (emfisema). Sel-sel inflamasi yang terlibat adalah neutrofil, makrofag, dan limfosit. Sel-Sel-sel tersebut akan mengeluarkan mediator inflamasi seperti faktor kemotaktik, sitokin pro inflamasi, dan faktor pertumbuhan. TGF β merupakan faktor pertumbuhan yang dapat menyebabkan fibrosis pada saluran napas kecil. Reilly (2008) mengemukakan bahwa kerusakan parenkim paru bermula dari pajanan asap rokok yang berlangsung kronis. Pajanan kronis ini menyebabkan perekrutan sel-sel inflamasi di dalam paru. Sel-sel inflamasi melepaskan proteinase yang akan merusak matriks ekstraseluler paru. Kerusakan matriks ekstraseluler juga berdampak pada kerusakan paru. Apabila proses repair tidak efektif akan terjadi destruksi alveolaryang disebut emfisema.

Stres oksidatif merupakan salah satu mekanisme penting dalam patogenesis PPOK. Oksidan yang dihasilkan dari inhalan asap rokok, partikel berbahaya lain, atau sel inflamasi akan menghambat α1-antitripsin. α1-antitripsin merupakan suatu antiprotease yang berfungsi menghambat enzim elastase yang berperan pada proses perusakan parenkim paru (Supriyadi, 2013). Konsekuensi yang didapatkan dari mekanisme stres oksidatif bersifat merugikan bagi paru. Selain menghambat α1-antitripsin, stres oksidatif juga menstimulasi sekresi lendir dan aktivasi dari gen inflamasi pada pasien PPOK (PDPI, 2011).

(21)

10

Gambar 1. Patogenesis PPOK (Brashier, 2012) D. Manifestasi Klinis

Manifestasi PPOK umumnya terdiri atas tiga gejala utama, yaitu dyspnea, batuk kronis dan produksi sputum (Han, 2017). Menurut Burkhardt (2014), tiga gejala utama yang telah disebutkan dapat ditambahkan oleh wheezing, infeksi bronkial dan penurunan berat badan. Keberadaan salah satu gejala yang telah disebutkan ditambah dengan adanya pajanan faktor risiko, umumnya merokok, dapat dicurigai sebagai PPOK.

Dyspnea atau sesak napas pada pasien PPOK digambarkan sebagai napas

yang berat, sulit, perlu usaha yang kuat, dan terengah-engah. Sesak napas bersifat persisten, progresif, dan semakin memberat saat beraktivitas. Sesak dapat muncul saat pasien beraktivitas fisik, berbicara, dan istirahat (Burkhardt, 2014). Batuk kronis merupakan gejala awal yang umumnya disadari pasien (Soeroto, 2014). Batuk bersifat hilang timbul, dapat disertai dahak atau tidak disertai dahak. Batuk kronis disertai dahak dapat menjadi indikasi PPOK (GOLD, 2017).

(22)

E. Diagnosis

Diagnosis dapat ditegakkan mulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.

1. Anamnesis

Anamnesis pada pasien yang dicurigai PPOK dapat meliputi pertanyaan tentang pajanan terhadap faktor risiko, yaitu riwayat merokok, riwayat terpajan polusi, riwayat infeksi saluran pernapasan berulang, keadaan lingkungan, batuk kronis, dan sesak napas (PDPI, 2011).

2. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik dibutuhkan untuk menyingkirkan diagnosis banding, mendeteksi gejala penyerta, dan mencari tanda-tanda khas pada PPOK. Pada awal pemeriksaan fisik, pasien PPOK mungkin memperlihatkan hasil pemeriksaan yang normal. Sementara pada pasien PPOK berat, umumnya memperlihatkan wheezing dan ekspirasi yang memanjang (Reilly, 2008; Burkhardt, 2014). Menurut PDPI (2011), pada pemeriksaan fisik pasien PPOK dapat ditemukan pursed lips breathing dimana pasien bernapas dengan mulut mencucu. Barrel chest dapat ditemukan pula pada pasien PPOK. Barrel chest merupakan salah satu kelainan bentuk dada dimana diameter anteroposterior sebanding dengan diameter transversal. Barrel chest merupakan tanda terjadinya hiperinflasi (Reilly, 2008). Reilly (2008) mengemukakan bahwa pada pasien dengan obstruksi jalan napas yang berat memperlihatkan penggunaan otot bantu dalam pernapasan dan memperlihatkan posisi “tripod” saat duduk. Dalam pemeriksaan mungkin didapatkan penampilan

pink puffer atau blue bloater. Pink puffer merupakan suatu penampilan khas pada

pasien dengan emfisema. Tubuh kurus, pursed lips breathing dan kulit berwarna kemerahan adalah gambaran khas pink puffer. Sedangkan blue bloater memberikan gambaran pasien bertubuh gemuk, terdapat edema pada tungkai, sianosis, dan rongki basah pada basal paru yang biasanya merupakan gambaran khas pada bronkitis kronik (PDPI, 2011).

(23)

12

Pemeriksaan penunjang yang rutin dilakukan pada PPOK adalah spirometri. Spirometri merupakan pemeriksaan yang dilakukan untuk menilai obstruksi jalan napas pada pasien PPOK. Pasien diminta untuk menghirup napas kemudian menghembuskan napas sekuat tenaga. Dalam prosedur ini, penghitungan dilakukan untuk mengukur volume napas ekspirasi paksa dalam 1 detik (forced expiratory

volume in one second/FEV1) dan total volume ekspirasi (forced expiratory vital capacity/FVC) (Burkhadt, 2014). Diagnosis PPOK ditegakkan apabila rasio

FEV1/FVC kurang dari 70% (The Japanese Respiratory Society, 2010). Derajat keparahan PPOK dapat ditentukan melalui pemeriksaan spirometri (Tabel 2). Tabel 2. Klasifikasi Derajat Keparahan Keterbatasan Aliran Udara Pada PPOK (GOLD, 2017)

GOLD 1 Ringan VEP1 ≥ 80% prediksi

GOLD 2 Sedang 50% ≤ VEP1 < 80% prediksi GOLD 3 Berat 30% ≤ VEP1 < 50% prediksi GOLD 4 Sangat Berat VEP1 < 30% prediksi

Pemeriksaan penunjang lain umumnya dilakukan untuk menyingkirkan diagnosis banding. Pemeriksaan lain meliputi foto toraks, EKG, analisis gas darah, dan hitung darah lengkap. Pemeriksaan foto toraks digunakan untuk mengeksklusi berbagai penyakit seperti gagal jantung kongestif, efusi pleura, dan tumor pada paru. Elektrokardiogram dapat dilakukan pada pasien yang juga memiliki penyakit jantung koroner. Analisis gas darah perlu dilakukan pada kasus PPOK yang parah atau pada pasien dengan polisitemia, kor pulmonal atau penurunan saturasi oksigen. Hitung darah lengkap digunakan untuk mengeklusikan anemia sebagai penyebab

dyspnea. Selain anemia, pemeriksaan defisiensi α1-antitripsin juga dapat dilakukan

pada pasien berusia kurang dari 65 tahun dengan kebiasaan merokok (Burkhadt, 2014).

(24)

F. Penatalaksanaan

Tatalaksana yang dilakukan pada pasien PPOK memiliki beberapa tujuan penting, yaitu mengatasi gejala, mencegah progresivitas penyakit, mencegah dan menangani eksaserbasi, meningkatkan status kesehatan pasien, dan menurunkan angka mortalitas. Tujuan-tujuan tersebut dapat dicapai melalui beberapa metode seperti penghentian merokok, terapi farmakologi, rehabilitasi, terapi oksigen, dan terapi bedah (PDPI, 2011; The Japanese Respiratory Society, 2010).

1. Penghentian Merokok

Berhenti merokok merupakan kunci dalam terapi PPOK (GOLD, 2017). Menurut PDPI (2011), berhenti merokok merupakan cara paling efektif untuk mencegah progresivitas penyakit menjadi semakin buruk. Penghentian merokok dapat dilakukan melalui terapi perilaku dan terapi farmakologi. Tenaga kesehatan harus aktif memantau pasien agar terapi penghentian merokok ini dapat berjalan sukses.

2. Terapi Farmakologi

a. Bronkodilator

Bronkodilator merupakan terapi medikasi yang dapat meningkatkan FEV1. Bronkodilator terdiri atas golongan agonis β2, golongan antikolinergik, gabungan antikolinergik dan agonis β2, dan golongan xantin (PDPI, 2011). Agonis β2 bekerja pada reseptor β2 adrenergik untuk merelaksasi otot polos jalan napas. Penggunaan agonis β2 dapat meringankan gejala seperti sesak napas dan memperbaiki FEV1. Bronkodilator yang bekerja short acting (SABA) akan menghasilkan efek selama 4-6 jam sedangkan bronkodilator yang bekerja secara long acting (LABA) akan menghasilkan efek selama 12 jam atau lebih (Soeroto, 2014). Ipratopium bromida dan tiotropium merupakan obat dari golongan antikolinergik. Obat-obat dari golongan ini bekerja pada reseptor muskarinik untuk memblokade efek asetilkolin. Efeknya adalah mengurangi gejala dan menurunkan eksaserbasi. Selain bekerja sebagai bronkodilator, golongan ini dapat mengurangi sekresi lendir (PDPI, 2011;

(25)

14

Soeroto, 2014). Teofilin merupakan obat dari derivat xantin. Teofilin memiliki efek meningkatkan FEV1 (Reilly, 2008).

b. Kortikosteroid

Obat-obat kotikosteroid seperti flutikason, budesonid, dan beklometason yang diberikan secara inhalasi dapat diberikan kepada pasien PPOK sebagai antiinflamasi. Namun, penggunaan obat-obatan ini tidak direkomendasikan untuk diberikan sebagai monoterapi pada pasien PPOK. Kortikosteroid inhalasi dapat ditambahkan pada pengobatan dengan LABA untuk mendapat efek yang baik (Antus, 2013). Kombinasi kortikosteroid yang diberikan dalam bentuk inhalasi dan

long acting β2 agonist (LABA) efektif untuk mengurangi eksaserbasi,

meningkatkan fungsi paru, dan memperbaiki kualitas hidup (GOLD, 2017). Menurut Falk (2008), flutikason dan budesonid dapat mengurangi mediator inflamasi yang memperantarai perkembangan PPOK.

c. Antioksidan

Pemberian antioksidan bertujuan mengurangi eksaserbasi dan meningkatkan kualitas hidup pasien PPOK. Obat yang termasuk dalam golongan ini adalah N-asetilsistein. Pemberian antioksidan tidak rutin dilakukan (PDPI, 2011).

d. Mukolitik

Mukolitik dapat diberikan pada pasien dengan sputum yang viscous. Contoh agen mukolitik adalah karbosistein (GOLD, 2017).

e. Phosphodiestarase-4 Inhibitor

Obat dari golongan ini berfungsi untuk mengurangi inflamasi. Roflumilast merupakan obat yang umum dipakai dan kombinasinya dengan kortikosteroid sistemik berguna mengurangi eksaserbasi (Soeroto, 2014; GOLD, 2017).

(26)

3. Rehabilitasi

Terapi rehabilitasi berguna memperbaiki kualitas hidup pasien dan memperbaiki gejala sesak napas. Rehabilitasi minimal dilakukan dalam waktu 6 bulan. Terapi ini berguna untuk mengurangi angka rawat inap pada pasien PPOK (GOLD, 2017; GOLD, 2015). Menurut PDPI (2011), pasien PPOK yang perlu mendapat rehabilitasi adalah pasien dengan gejala pernapasan yang berat, kualitas hidup yang turun, dan cukup sering masuk ke ruang gawat darurat.

4. Terapi Oksigen

Hipoksemia yang terjadi pada pasien PPOK dapat diterapi dengan pemberian oksigen jangka panjang, yaitu 15 jam per hari 1-2 L/menit. Kekurangan oksigen yang berkepanjangan dapat menyebabkan kerusakan sel dan jaringan. Oleh karena itu, terapi oksigen bertujuan untuk mencegah terjadinya kerusakan sel, jaringan dan organ lebih lanjut (PDPI, 2011; GOLD, 2017).

G. Manajemen Eksaserbasi Akut

Eksaserbasi akut pada PPOK didefinisikan sebagai perburukan gejala PPOK yang terjadi secara akut dan membutuhkan terapi tambahan (GOLD, 2017). Perburukan tersebut dapat disebabkan oleh infeksi bakteri atau virus dan penyebab non-infeksi seperti polusi (Ko, 2016). Lawati (2008) mengemukakan bahwa terdapat tiga kriteria untuk menentukan eksaserbasi akut, yaitu peningkatan volume sputum, peningkatan dyspnea, dan peningkatan purulensi dari sputum. Eksaserbasi akut diklasifikasikan menjadi ringan, sedang, dan berat. Klasifikasi yang berbeda tersebut menentukan terapi yang akan diberikan. Terapi farmakologi yang diberikan pada PPOK eksaserbasi akut adalah bronkodilator, kortikosteroid, dan antibiotik (GOLD, 2017). Short-acting β2 agonist (SABA) inhalasi dan antikolinergik memiliki peranan penting dalam terapi eksaserbasi akut dengan mengurangi gejala. Kortikosteroid sistemik diberikan pada pasien PPOK dengan eksaserbasi akut untuk menekan inflamasi yang terjadi pada jalan napas. Kortikosteroid yang direkomendasikan adalah prednison 30-40 mg per hari selama 7 – 10 hari. Amoksisilin, tetrasiklin atau kuinolon merupakan antibiotik yang dapat

(27)

16

diresepkan kepada PPOK eksaserbasi akut. Terapi oksigen merupakan terapi non-farmakologi yang dapat diberikan kepada pasien PPOK dengan ekaserbasi akut. Terapi oksigen bertujuan mencegah hipoksemia yang dapat mengancam jiwa (KO, 2016; Lawati, 2008).

(28)

H. Kerangka Teori

Faktor Risiko lain (genetik, usia & jenis kelamin, status sosioekonomi, hiperresponsivitas jalan napas, & infeksi saluran napas)

Rokok, Partikel Berbahaya

Reaksi Inflamasi Paru

PPOK Neutrofil, Makrofag, Limfosit Fibrosis Bronkiolus Destruksi Parenkim Paru Stres Oksidatif ↓α1-antitripsin

(29)

18

I. Kerangka Konsep Penelitian

• Usia • Jenis Kelamin • Pekerjaan • Riwayat Merokok (Perokok/Non-perokok) PPOK Klasifikasi Derajat

(30)

19 A. Jenis dan Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan metode cross

sectional menggunakan data sekunder berupa rekam medik. Data rekam medik

diperoleh dari Rumah Sakit Paru Respira Yogyakarta pada tahun 2015. B. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dan pengambilan data akan dilakukan di Rumah Sakit Paru Yogyakarta selama bulan November-Desember 2017.

C. Populasi dan Subjek Penelitian

1. Populasi Penelitian

Populasi penelitian ini adalah seluruh pasien yang didiagnosis PPOK di Rumah Sakit Paru Respira Yogyakarta pada tahun 2015.

2. Subjek Penelitian

Subjek penelitian ini adalah subjek yang memenuhi kriteria inklusi, yaitu pasien yang didiagnosis PPOK di Rumah Sakit Paru Respira Yogayakarta.

3. Besar Sampel

Besar sampel dalam penelitian ini dihitung berdasarkan rumus yang dipaparkan oleh Dahlan pada tahun 2016:

𝑛 =𝑧𝛼2𝑃𝑄 𝑑2

Keterangan :

n = jumlah Subjek

Alpha (α) = Kesalahan generalisasi. Nilai ditetapkan peneliti

(31)

20

P = Proporsi dari kategori yang menjadi point of interest

Q = 1-P

d = presisi penelitian, yaitu kesalahan proporsi yang masih dapat diterima

Kesalahan generalisasi atau α ditentukan peneliti sebesar 5%. Nilai Zα = 1,96 dengan nilai presisi 5%. Proporsi yang digunakan adalah 0,031 berdasar penelitian sebelumnya. 𝑛 =(1,96)2× (0,031) × (0,969) (0,05)2 𝑛 =0,1153 0,0025 𝑛 = 46,12

Berdasarkan perhitungan rumus besar sampel, jumlah subjek yang diperlukan dalam penelitian adalah 47.

D. Identifikasi Variabel

Variabel penelitian meliputi usia, jenis kelamin, pekerjaan, riwayat merokok, klasifikasi derajat keparahan berdasarkan spirometri, terapi yang digunakan, jumlah hospitalisasi dan outcome.

E. Definisi Operasional

1. Usia

Usia adalah usia pasien pada saat dilakukan penelitian dalam satuan tahun. Kriteria usia dalam penelitian ini adalah <40 tahun, 40-50 tahun, 51-60 tahun, dan > 60 tahun.

2. Jenis Kelamin

Pembagian jenis seksual yang ditentukan berdasarkan anatomi dan fisiologi. Dinyatakan sebagai laki-laki atau perempuan.

(32)

Pekerjaan adalah kegiatan sehari-hari pasien yang dilakukan sebagai mata pencaharian utama pasien. Data pekerjaan didapatkan dari rekam medis.

4. Riwayat Merokok

Riwayat merokok adalah kegiatan menghisap rokok yang dilakukan pasien secara rutin minimal satu batang per hari. Pasien yang sudah berhenti merokok dan masih aktif merokok dimasukkan ke dalam kategori perokok. Sedangkan pasien yang tidak pernah merokok sama sekali dimasukkan ke dalam kategori non-perokok dan riwayat merokok yang tidak tercantum dalam rekam medis dimasukkan ke dalam kategori tidak ada keterangan. Data riwayat merokok didapatkan dari rekam medis.

5. Klasifikasi Derajat Keparahan PPOK

Klasifikasi derajat keparahan PPOK adalah klasifikasi derajat keparahan PPOK yang diidap pasien berdasarkan pengukuran menggunakan spirometri atau uji faal paru. Klasifikasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah klasifikasi berdasarkan GOLD. Data ini didapatkan dari rekam medis.

GOLD 1 Ringan VEP1 ≥ 80% prediksi

GOLD 2 Sedang 50% ≤ VEP1 < 80% prediksi GOLD 3 Berat 30% ≤ VEP1 < 50% prediksi GOLD 4 Sangat Berat VEP1 < 30% prediksi

6. Terapi

Terapi adalah pengobatan yang diterima pasien selama sakit. Dalam penelitian ini, terapi yang diambil adalah terapi yang berhubungan dengan PPOK dan keadaan eksaserbasi pada PPOK yang didapatkan dari data rekam medis. 7. Hospitalisasi

Hospitalisasi adalah keadaan dimana orang sakit mendapatkan perawatan di rumah sakit atau rawat inap untuk meringankan penyakitnya. Variabel ini dinilai

(33)

22

dari jumlah rawat inap masing-masing pasien dalam satu tahun. Data mengenai jumlah rawat inap pasien dalam setahun didapatkan dari rekam medis.

8. Outcome

Outcome adalah hasil pelayanan kesehatan yang telah diterima pasien

setelah menjalani pengobatan adekuat. Outcome dinyatakan sebagai terkontrol dan meninggal dunia.

F. Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian dalam penelitian ini adalah data sekunder yang berasal dari rekam medik pasien yang didiagnosis PPOK di Rumah Sakit Paru Respira Yogyakarta pada tahun 2015.

G. Alur Penelitian

1. Tahap Persiapan

Tahapan persiapan meliputi pengajuan judul, penyusunan proposal, konsultasi proposal dengan pembimbing, seminar proposal, melakukan survei ke tempat penelitian dan menyelesaikan perizinan penelitian.

2. Tahap Pelaksanaan

Tahapan pelaksanaan meliputi permohonan izin melakukan penelitian kepada pihak Rumah Sakit Paru Respira Yogyakarta dan melakukan pengambilan data di Rumah Sakit Paru Respira Yogyakarta.

3. Tahap Analisis Data

Data yang sudah diperoleh selama penelitian diolah menggunakan software analisis data.

4. Tahap Penulisan Laporan

Tahapan ini meliputi penulisan dan penyusunan laporan setelah melakukan analisis data, konsultasi hasil penelitian dengan pembimbing, dan seminar hasil penelitian.

(34)

H. Metode Analisis Data

Data yang diperoleh akan disajikan dalam bentuk grafik sesuai variabel yang diteliti.

I. Etika Penelitian

Penelitian ini dilakukan setelah mendapat izin dari Komite Etik Penelitian Fakultas Kedokteran Universitas Islam Indonesia dan Rumah Sakit Paru Respira Yogyakarta. Penelitian akan dilakukan dengan tertib dan menjaga kerahasiaan informasi pasien.

J. Jadwal Penelitian

Kegiatan Waktu (Bulan)

Desem b er ‘ 16 Jan u ar i Feb ru ar i Ma ret Ap ril Mei Jun i Ju li Ag u stu s Sep tem b er Ok to b er No v em b er Desem b er ‘ 17 Jan u ar i Feb ru ar i Proposal BAB I-III Seminar proposal Mengurus izin penelitian Penelitian Analisis hasil KTI bab IV-V Seminar hasil

(35)

24 BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Rumah Sakit Paru Respira Yogyakarta pada bulan Januari 2018. Data yang diambil adalah data pasien yang didiagnosis PPOK pada tahun 2015. Data tersebut berasal dari rekam medis. Berdasarkan perhitungan jumlah sampel, minimal dibutuhkan sampel sebanyak 47 subjek. Dalam penelitian ini, data yang diambil berjumlah 49 subjek. Adapun variabel yang diteliti adalah usia, jenis kelamin, pekerjaan, riwayat merokok, klasifikasi derajat keparahan PPOK, terapi, jumlah hospitalisasi, dan outcome pasien setelah menjalani pengobatan.

1. Usia

Gambar 2. Kategori Usia Pasien PPOK di RS Paru Respira

Berdasarkan grafik di atas, pasien PPOK di RS Paru Respira Yogyakarta paling banyak diderita oleh pasien yang berusia >60 tahun, yaitu sebanyak 79,6% (39 orang). Tidak ditemukan pasien PPOK yang berusia <40 tahun. Usia pasien termuda adalah 48 tahun, usia pasien tertua adalah 95 tahun dan rata-rata usia pasien yang menderita PPOK adalah 68 tahun.

0 2 8 39 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 <40 40-50 51-60 >60 Juml ah ( n ) Kategori Usia

(36)

2. Jenis Kelamin

Gambar 3. Frekuensi Jenis Kelamin Pasien PPOK di RS Paru Respira Berdasarkan grafik di atas, pasien yang didiagnosis PPOK paling banyak berjenis kelamin laki-laki, yaitu sebanyak 81,6% (40 orang), sedangkan pasien yang berjenis kelamin perempuan sebanyak 18,4% (9 orang).

3. Pekerjaan

Gambar 4. Pekerjaan Pasien PPOK di RS Paru Respira

J u m la h ( n ) 25 18 2 1 1 1 1 0 5 10 15 20 25 30 Juml ah ( n ) Pekerjaan

(37)

26

Berdasarkan grafik di atas, buruh tani merupakan pekerjaan yang paling banyak ditemukan pada pasien yang didiagnosis PPOK di RS Paru Respira Yogyakarta, yaitu sebesar 51% (25 orang). Persentase terendah yaitu 2% atau sejumlah 1 orang ditemukan pada pekerjaan wiraswasta, perangkat desa, purnawirawan, dan ibu rumah tangga.

4. Riwayat Merokok

Gambar 5. Riwayat Merokok Pasien PPOK di RS Paru Respira

Berdasarkan grafik di atas, diketahui dari 49 pasien, hanya 75,5% yang memiliki data riwayat merokok. Dari persentase tersebut, sebanyak 46,9% (23 orang) memiliki riwayat sebagai perokok dan sebanyak 28,6% (14 orang) masuk dalam kategori non-perokok.

J u m la h ( n )

(38)

5. Terapi

Gambar 6. Terapi Oksigen Pada Pasien PPOK di RS Paru Respira

Berdasarkan grafik di atas, jumlah pasien PPOK yang menerima terapi oksigen lebih banyak daripada yang tidak menerima terapi oksigen, yaitu sebesar 69,4% (34 orang).

Gambar 7. Pemberian Short Acting Beta 2 Agonist (SABA) Pada Pasien PPOK di RS Paru Respira J u m la h ( n ) J u m la h ( n )

(39)

28

Berdasarkan grafik di atas, pasien PPOK yang mendapat terapi SABA dalam bentuk oral paling banyak, yaitu sebesar 46,9% (23 orang) sedangkan pasien yang tidak diberikan SABA menunjukkan persentase paling rendah, yaitu sebesar 20,4% (10 orang).

Gambar 8. Pemberian Antikolinergik Pada Pasien PPOK di RS Paru Respira Berdasarkan grafik di atas, persentase pasien PPOK yang tidak mendapat pengobatan antikolinergik lebih besar daripada yang mendapat antikolinergik, yaitu sebesar 77,6% (38 orang). J u m la h ( n )

(40)

Gambar 9. Pemberian Metilxantin Pada Pasien PPOK di RS Paru Respira Berdasarkan grafik di atas, pemberian metilxantin pada pasien PPOK sebesar 40,8% (20 orang), lebih sedikit dibandingkan dengan pasien yang tidak diberikan metilxantin.

Gambar 10. Terapi Kombinasi Pada Pasien PPOK di RS Paru Respira

J u m la h ( n ) Ju m lah ( n )

(41)

30

Berdasarkan grafik di atas, terapi kombinasi diberikan kepada 61,2% (30 orang) pasien. Sedangkan pasien yang tidak mendapatkan terapi kombinasi sebesar 38,8% (19 orang).

Gambar 11. Terapi Kortikosteroid Pada Pasien PPOK di RS Paru Respira

Berdasarkan grafik di atas, pasien yang menerima terapi kortikosteroid dalam sediaan injeksi paling banyak dibandingkan dengan bentuk sediaan yang lain, yaitu sebesar 36,7% (18 orang) dan sebesar 10,2% (5 orang) tidak diberikan terapi kortikosteroid. J u m la h ( n )

(42)

Gambar 12. Terapi Mukolitik Pada Pasien PPOK di RS Paru Respira Berdasarkan grafik di atas, jumlah pasien PPOK yang menerima terapi mukolitik lebih banyak dibandingkan dengan pasien yang tidak mendapat mukolitik, yaitu sebesar 81,6% (40 orang).

Gambar 13. Pemberian Antioksidan Pada Pasien PPOK di RS Paru Respira

Ju m lah ( n ) J u m la h ( n )

(43)

32

Berdasarkan grafik di atas, pemberian antioksidan pada pasien PPOK di RS Paru Respira Yogyakarta lebih rendah dibandingkan dengan pasien yang tidak diberikan antioksidan, yaitu sebesar 22,4% (11 orang).

Gambar 14. Pemberian Antibiotik Pada Pasien PPOK di RS Paru Respira Berdasarkan grafik di atas, pasien PPOK yang menerima pengobatan antibiotik dalam sediaan oral memiliki persentase terbanyak, yaitu sebesar 36,7% (18 orang). Sedangkan pemberian antibiotik dalam bentuk injeksi memiliki persentase terendah, yaitu sebesar 30,6% (15 orang).

J u m la h ( n )

(44)

Gambar 15. Rehabilitasi Pada Pasien PPOK di RS Paru Respira

Berdasarkan grafik di atas, pasien yang menerima rehabilitasi lebih sedikit dibandingkan dengan pasien yang tidak menerima rehabilitasi, yaitu sebesar 20,4% (10 orang).

6. Jumlah Hospitalisasi

Gambar 16. Jumlah Hospitalisasi Pasien PPOK di RS Paru Respira

Ju m lah ( n ) J u m la h ( n )

(45)

34

Berdasarkan grafik di atas, jumlah hospitalisasi atau jumlah rawat inap pasien dalam setahun paling banyak adalah 1 kali, yaitu sebesar 81,6 % (40 orang). Persentase terendah adalah tidak pernah rawat inap dalam tahun 2015 atau 0 kali, yaitu sebesar 6,1% (3 orang).

7. Outcome

Gambar 17. Outcome Pasien PPOK setelah menjalani Pengobatan di RS Paru Respira

Berdasarkan grafik di atas, sebanyak 98% (48 orang) pasien PPOK yang menjalani pengobatan di RS Paru Respira Yogyakarta mengalami perbaikan atau terkontrol. Sedangkan 2 % (1 orang) meninggal dunia.

8. Klasifikasi Derajat Keparahan PPOK

Dalam penelitian ini, data mengenai klasifikasi derajat keparahan pasien PPOK di RS Paru Respira Yogyakarta yang diukur melalui pemeriksaan faal paru atau spirometri tidak ditemukan.

J u m la h ( n )

(46)

B. Pembahasan 1. Usia

Berdasar penelitian yang telah dilakukan, frekuensi pasien PPOK paling banyak diderita oleh pasien yang berusia >60 tahun. Hasil ini memiliki kesamaan dengan penelitian yang dilakukan oleh Primaputri (2013) yang menyatakan bahwa penderita PPOK paling banyak di RSU WZ Johanes Kupang berusia 66-81 tahun atau sebesar 51,5%. Dalam penelitian mengenai pola distribusi PPOK di RSU Dokter Soedarso Pontianak, Hariyanti (2013) mengemukakan sebesar 70,93% pasien PPOK berusia lebih dari 60 tahun. Lisa (2015) menemukan pasien PPOK terbanyak berada pada rentang usia 61-70 tahun dalam penelitiannya di RSUD Arifin Achmad Provinsi Riau. Wahyuni (2013) menyatakan bahwa pasien PPOK terbanyak di RSUD Indramayu adalah kelompok usia 50-69 tahun, yaitu sebesar 83%.

Usia yang semakin tua merupakan salah satu faktor risiko dalam perkembangan PPOK. Penuaan pada manusia tidak hanya terjadi pada fisik luar saja, namun juga terjadi pada berbagai organ di dalam tubuh. Salah satunya adalah paru-paru. Penuaan yang terjadi pada paru-paru memiliki peranan penting dalam terjadinya PPOK. Menurut Hanania et al. (2010), struktur dan fungsi paru merupakan hal yang akan dipengaruhi oleh penuaan. Pengurangan diameter bronkiolus, kekakuan dinding dada, berkembangnya kifosis, dan berkurangnya kekuatan otot pernapasan merupakan contoh dari perubahan struktur paru yang terjadi pada penuaan. Perubahan struktur tersebut akan berdampak pada menurunnya kemampuan compliance dan recoil paru yang akhirnya akan mengganggu sistem pernapasan (Fukuchi, 2009; Jarad, 2011).

2. Jenis Kelamin

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, pasien PPOK yang berobat di RS Paru Respira Yogyakarta paling banyak berjenis kelamin laki-laki, yaitu sebesar 81,6% sementara pasien yang berjenis kelamin perempuan sebanyak 18,4%. Peningkatan frekuensi PPOK pada laki-laki juga dikemukakan oleh Permatasari (2016) dalam penelitiannya di RSUD Dr. Soetomo Surabaya, yaitu

(47)

36

sebesar 96,9%. Hal ini juga ditemukan pada penelitian Aprilia (2013) dimana pasien PPOK yang berjenis kelamin laki-laki di RSUD “X” sebanyak 87%. Wahyuni (2013) mengemukakan bahwa dalam penelitiannya di RSUD Indramayu pasien yang berjenis kelamin laki-laki lebih banyak daripada pasien berjenis kelamin perempuan, yaitu sebesar 87%.

Jenis kelamin merupakan salah satu faktor risiko yang berpengaruh terhadap PPOK. Kejadian PPOK pada laki-laki meningkat dibandingkan pada perempuan. Hal ini dihubungkan dengan kebiasaan merokok yang menjadi faktor risiko utama PPOK lebih tinggi angkanya pada laki-laki dibandingkan pada perempuan. Namun, hal ini berbeda pada beberapa negara yang kebiasaan merokok pada perempuannya meningkat. Menurut Riskesdas (2013), persentase perokok yang berjenis kelamin laki-laki di Indonesia sebesar 64,9%. Hal ini yang menyebabkan pasien PPOK di Indonesia lebih tinggi pada laki-laki dibandingkan pada perempuan. Kebiasaan merokok yang meningkat pada perempuan akan menyebabkan persentase pasien PPOK lebih tinggi pada perempuan di beberapa negara. Han et al. (2007) mengemukakan bahwa perempuan memiliki kerentanan yang lebih tinggi terhadap paparan rokok dibanding laki-laki. Gangguan paru yang diinduksi rokok, keparahan sesak napas, dan status kesehatan yang buruk lebih berisiko pada perempuan meskipun merokok dalam jumlah yang sama dengan laki-laki.

3. Pekerjaan

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, pekerjaan paling banyak yang ditemukan pada pasien PPOK di RS Paru Respira Yogyakarta adalah buruh tani. Petani merupakan salah satu mata pencaharian utama di daerah Bantul. Pada penelitian yang dilakukan oleh Primaputri (2013) di RSU WZ Johannes, Kupang, Nusa Tenggara Timur, petani menempati urutan kedua pekerjaan paling banyak yang ditemukan pada pasien PPOK, yaitu sebesar 27,3% atau 9 orang dari 33 orang. Hasil yang sama juga ditemukan dalam penelitian Lisa (2015) yang menemukan petani sebagai pekerjaan terbanyak ketiga pada pasien PPOK di RSUD Arifin Achmad Riau, yaitu sebesar 16,25%. Salawati (2016) mengemukakan bahwa pasien PPOK di RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh paling banyak bekerja sebagai petani, yaitu sebesar 58,33%.

(48)

Pajanan terhadap polusi merupakan faktor risiko mayor setelah kebiasaan merokok. Jenis paparan polusi terdiri atas polusi indoor, outdoor, dan polusi di tempat kerja. Petani merupakan salah satu pekerjaan yang banyak terpapar polusi di lingkungan kerjanya. Menurut Fishwick (2015), petani adalah salah satu pekerjaan yang meningkatkan risiko terjadinya PPOK bersamaan dengan pekerja kapas, pekerja di pabrik semen, tukang kayu, tukang las, dan penambang batu bara. Hal ini disebabkan paparan debu di tempat kerja petani. Debu yang berasal dari tanah, udara, dan produk pertanian seperti padi merupakan contoh agen yang dapat menyebabkan gangguan pernapasan pada seorang petani. Penggunaan pestisida pada industri pertanian juga menjadi salah satu penyebab peningkatan PPOK di kalangan petani. Berdasarkan penelitian Mahawati (2017), paparan pestisida mempengaruhi derajat keparahan PPOK pada petani di Kabupaten Grobogan. Zat-zat yang terkandung dalam pestisida seperti pada golongan bipyridylium dan

neonicotinoid dapat menyebabkan gangguang pada paru, yaitu penurunan volume

paru.

4. Riwayat Merokok

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, data riwayat merokok pasien PPOK yang tercatat di RS Paru Respira berjumlah 37 pasien dari 49 pasien. Dari 37 pasien tersebut, sebanyak 46,9% (23 orang) memiliki riwayat merokok. Sidabutar (2013) mengemukakan bahwa sebesar 70,8% pasien PPOK di RSUP H. Adam Malik Medan adalah perokok aktif atau pernah merokok. Lisa (2015) dalam penelitiannya juga menemukan sejumlah 62,5% pasien PPOK yang dirawat inap di RSUD Arifin Achmad positif memiliki riwayat merokok. Nathalia (2015) menemukan sebesar 75% pasien PPOK di RS Immanuel Bandung memiliki riwayat merokok.

Merokok merupakan faktor risiko utama terjadinya PPOK. Bahan-bahan kimia berbahaya yang terkandung dalam rokok merupakan agen utama penyebab inflamasi jalan napas pada pasien PPOK. Logam berat, nikotin, dan zat karsinogen seperti nitrosamin merupakan beberapa zat yang terkandung dalam rokok. Merokok menyebabkan PPOK dalam beberapa cara seperti menginduksi proses inflamasi, menginduksi proses apoptosis, dan menciptakan oksidan atau radikal bebas yang

(49)

38

berbahaya bagi tubuh. Proses inflamasi yang disebabkan rokok akan memicu peningkatan produksi mukus, kerusakan jaringan paru, dan mengganggu mekanisme repair/pertahanan. Peningkatan produksi mukus akan menciptakan lingkungan yang optimal bagi pertumbuhan bakteri yang akan menyebabkan timbulnya eksaserbasi (Laniado, 2009; Khan, 2014).

5. Terapi

• Terapi Oksigen

Berdasarkan hasil penelitian, pasien PPOK yang menerima terapi oksigen sebesar 69,4%. Peneliti belum menemukan penelitian lain yang meneliti tentang terapi oksigen pada pasien PPOK. Hipoksemia yang terjadi pada pasien PPOK dapat membahayakan jiwa karena dapat mengakibatkan jaringan kekurangan oksigen (hipoksia) yang akhirnya menyebabkan kerusakan permanen. Pemberian oksigen dapat mengurangi risiko kejadian ini dan terbukti meningkatkan kualitas hidup pada pasien PPOK (Corrado, 2010).

• Bronkodilator

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, terdapat beberapa obat yang tergolong ke dalam obat bronkodilator, yaitu β2-agonis kerja cepat (SABA), antikolinergik, metilxantin, dan terapi kombinasi bronkodilator. Pasien yang diberikan terapi SABA sebanyak 79,6 % dengan 46,9% nya merupakan terapi yang diberikan secara oral. Pemberian antikolinergik pada pasien PPOK di RS Paru Respira berjumlah 22,4%. Pasien yang mendapat terapi metilxantin berjumlah 40,8% dan yang mendapat terapi kombinasi sebesar 61,2%. Sugiharta (2016) mengemukakan bahwa terdapat 88% pasien yang mendapat terapi β2-agonis, 47% pasien mendapat terapi antikolinergik, dan 66% pasien mendapat terapi metilxantin dalam penelitiannya mengenai evaluasi pengobatan bronkodilator dan kortikosteroid pada pasien PPOK di RSUP Fatmawati Jakarta. Hasibuan (2015) dalam penelitiannya di RSU dr. Pirngadi Medan mendapatkan 28,87% pasien mendapatkan terapi β2-agonis, 10,31% pasien mendapat antikolinergik, dan 60,82% pasien mendapat terapi kombinasi.

(50)

Terapi bronkodilator merupakan terapi pilihan utama yang umumnya diberikan kepada pasien PPOK untuk meredakan gejala. Obat β2-agonis bekerja dengan cara merelaksasi otot polos jalan napas. Penggunan agonis melalui inhaler berguna untuk mengurangi sesak sementara β2-agonis sediaan tablet dapat digunakan untuk pemeliharaan jangka panjang. Obat antikolinergik berguna dalam mengurangi sekresi lendir pada pasien PPOK. Pemberian metilxantin seperti teofilin dan aminofilin bertujuan untuk melegakan napas dan dapat membantu mengatasi eksaserbasi akut. Terapi kombinasi antara β2-agonis dan antikolinergik juga umum digunakan untuk menguatkan efek bronkodilator. Terapi kombinasi ini juga dianggap efektif mengurangi efek samping dibandingkan meningkatkan dosis obat bronkodilator yang digunakan secara tunggal (PDPI, 2011; GOLD, 2017).

• Kortikosteroid

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, pemberian kortikostreoid pada pasien PPOK di RS Paru Respira Yogyakarta sebesar 89,8% yang terdiri atas pemberian secara injeksi, oral, dan nebulisasi. Pemberian secara injeksi memiliki persentase paling besar diantara rute pemberian lain. Peneliti tidak menemukan penelitian yang lain yang memaparkan tentang penggunaan kortikosteroid injeksi pada pasien PPOK. Permatasari (2016) dalam penelitiannya mengemukakan sebesar 94,3 % pasien PPOK di RS Dr. Soetomo Surabaya mendapatkan terapi kortikosteroid secara inhalasi. Sugiharta (2016) menyatakan sebesar 70% pasien PPOK mendapatkan terapi kortikosteroid. Namun, tidak dijelaskan mengenai rute pemberiannya secara injeksi, oral, atau inhalasi.

Kortikosteroid merupakan obat yang diberikan pada pasien PPOK dengan tujuan menekan inflamasi. Menurut PDPI (2011), penggunaan kortikosteroid dalam bentuk injeksi dan oral ditujukan pada pasien PPOK yang mengalami eksaserbasi akut. Dalam penanganan eksaserbasi akut, kortikosteroid oral direkomendasikan sebagai terapi. Namun, akumulasi kortikosteroid setelah penggunaan jangka panjang dapat menimbulkan efek samping yang merugikan. Sebagai alternatif, kortikosteroid yang diberikan

(51)

40

secara inhalasi maupun nebulisasi lebih dianjurkan untuk meminimalisir efek samping tersebut (Woods, 2014).

• Mukolitik

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, pasien PPOK yang mendapat obat mukolitik di RS Paru Respira Yogyakarta berjumlah 81,6%. Peneliti belum menemukan penelitian sebelumnya yang meneliti hal yang sama. Mukolitik merupakan suatu obat yang bekerja untuk mengencerkan lendir. Agen ini memiliki efek dalam penipisan lendir sehingga mempermudah pengeluaran lendir dari bronkus. Melalui perannya dalam menurunkan viskositas lendir tersebut, agen mukolitik memiliki peranan penting dalam manajemen eksaserbasi akut (Aaron, 2017).

• Antioksidan

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, pemberian antioksidan pada pasien PPOK di RS Paru Respira lebih sedikit dibanding dengan yang tidak diberikan, yaitu sebesar 22,4%. Peneliti belum menemukan penelitian sebelumnya yang meneliti mengenai profil penggunaan antioksidan pada pasien PPOK.

Pemberian antioksidan digunakan sebagai salah satu obat dalam manajemen eksaserbasi. Pemberiaan antioksidan tidak rutin diberikan. Menurut Prawiro (2013), N-asetil sistein sebagai salah satu agen antioksidan yang diberikan pada pasien PPOK memiliki fungsi proteksi terhadap paru yang melindungi dari zat toksik. Pada pasien PPOK terjadi peningkatan produksi radikal bebas yang berakibat pada keadaan stres oksidatif. Dalam keadaan ini, produksi glutation sebagai antioksidan yang diproduksi oleh tubuh akan menurun. Oleh karena itu, penambahan antioksidan pada terapi pasien PPOK dapat membantu tubuh mengatasi radikal bebas yang terbentuk karena paparan rokok (Suwarti, 2012).

• Antibiotik

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, pemberian antibiotik yang diberikan pada pasien PPOK di RS Paru Respira Yogyakarta sebesar 67,3%. Persentase ini terdiri atas pemberian antibiotik secara oral dan injeksi. Pemberian antibiotik ditujukan untuk keadaan eksaserbasi pada

(52)

PPOK. Penelitian yang dilakukan oleh Febriyani (2014) mengemukakan bahwa sebesar 92,29% pasien PPOK eksaserbasi akut di RS Paru Jember mendapatkan terapi antibiotik. Penelitian lain yang dilakukan oleh Agustina (2013) menyatakan bahwa pola penggunaan antibiotik pada pasien PPOK di rumah sakit yang sama sebesar 84%.

Pengobatan antibiotik diindikasikan untuk PPOK dengan eksaserbasi akut. Eksaserbasi akut pada PPOK ditandai dengan peningkatan

dyspnea, peningkatan volume sputum, dan peningkatan purulensi dari

sputum (Lawati, 2008). Menurut Evensen (2010), penggunaan antibiotik akan mengurangi risiko kematian pada pasien PPOK dengan eksaserbasi akut.

• Rehabilitasi

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, pasien PPOK yang mendapat terapi rehabilitasi di RS Paru Respira Yogyakarta hanya 20,4% (10 orang). Peneliti belum menemukan penelitian sebelumnya yang meneliti hal yang sama. Menurut GOLD (2017), pemberian terapi rehabilitasi pada pasien PPOK dapat meningkatkan kualitas hidup pasien. Terdapat beberapa indikasi pasien yang dianjurkan mendapat terapi rehabilitasi, yaitu pasien yang menurun kualitas hidupnya, gejala pernapasan yang berat, dan sering datang ke UGD karena gejala PPOK-nya. Terapi rehabilitasi terdiri atas 3 komponen, yaitu latihan fisik, terapi psikososial, dan latihan pernapasan. Salah satu tujuan dari terapi fisik adalah untuk membantu pasien meningkatkan kemampuan otot pernapasannya sehingga memaksimalkan fungsi ventilasi. Dalam terapi psokososial, terapis perlu memperhatikan aspek psikologi pasien dengan seksama. Latihan pernapasan dilakukan untuk mengontrol gejala sesak pada pasien (PDPI, 2011).

6. Jumlah Hospitalisasi

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, jumlah hospitalisasi atau rawat inap pada seorang pasien PPOK di RS Paru Respira Yogyakarta paling banyak sejumlah 1 kali, yaitu sebesar 81,6% (40 orang). Penelitian serupa belum peneliti temukan.

(53)

42

Hospitalisasi atau perawatan di rumah sakit (rawat inap) diperlukan pada beberapa kondisi pasien PPOK seperti kondisi keparahan PPOK, usia lanjut, keberadaan komorbid dan keadaan eksaserbasi. Camargo et al. (2017) menyatakan bahwa pasien PPOK yang umumnya sering mendapatkan perawatan di rumah sakit adalah pasien yang berusia lanjut dan mengalami eksaserbasi. Angka mortalitas yang tinggi pada pasien PPOK dengan eksaserbasi membuat perawatan di rumah sakit diperlukan agar keadaan pasien dapat dipantau dengan baik.

7. Outcome

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, sebanyak 98% pasien yang menjalani pengobatan di RS Paru Respira Yogyakarta mengalami perbaikan kondisi atau terkontrol. Hariyanti (2013) menyatakan dalam penelitiannya di RSU Dokter Soedarso Pontianak terdapat 75,58% pasien membaik setelah menjalani pengobatan di rumah sakit. Penelitian Sidabutar (2013) di RSUP H. Adam Malik Medan menemukan 77,3% pasien yang diperbolehkan rawat jalan setelah mengalami perbaikan kondisi. Perbaikan kondisi yang terlihat pada pasien PPOK menggambarkan terapi yang diberikan sudah adekuat. Namun, pasien harus tetap kontrol agar penyakitnya tidak bertambah parah. Pasien yang meninggal saat menjalani pengobatan dapat disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu keparahan pada saat dimulainya perawatan, usia lanjut, dan keberadaan penyakit penyerta. Keadaan eksaserbasi meningkatkan angka kematian pada pasien PPOK (Hariyanti, 2013; Camargo et al. 2017).

8. Klasifikasi Derajat Keparahan PPOK

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, tidak didapatkan data mengenai klasifikasi derajat keparahan pasien PPOK di RS Paru Respira Yogyakarta melalui pemeriksaan faal paru atau spirometri. Menurut GOLD (2017), PPOK dapat diklasifikasikan menjadi 4 derajat berdasarkan hasil pemeriksaan menggunakan spirometri, yaitu ringan, sedang, berat, dan sangat berat. Pemeriksaan ini akan mengukur volume napas ekspirasi dalam 1 detik pertama (FEV1). Selain sebagai alat diagnostik PPOK, pemeriksaan faal paru pada pasien PPOK dapat digunakan sebagai pemantau perkembangan penyakit dan prognosis pasien (Lasut et al., 2016).

(54)

C. Keterbasan Penelitian

Penelitian ini memiliki beberapa kekurangan dan keterbatasan sebagai berikut:

1. Data beberapa pasien mengenai riwayat merokok tidak lengkap sehingga tidak dapat disimpulkan mengenai angka terendah atau tertinggi.

2. Data mengenai klasifikasi derajat keparahan PPOK berdasarkan pemeriksaan spirometri tidak didapatkan dalam penelitin ini sehingga profil mengenai klasifikasi derajat keparahan PPOK tidak dapat dipaparkan

Gambar

Tabel 1. Keaslian Penelitian
Gambar 1. Patogenesis PPOK (Brashier, 2012)  D. Manifestasi Klinis
Tabel  2.  Klasifikasi  Derajat  Keparahan  Keterbatasan  Aliran  Udara  Pada  PPOK  (GOLD, 2017)
Gambar 2. Kategori Usia Pasien PPOK di RS Paru Respira
+7

Referensi

Dokumen terkait

Diagram Perhitungan Beban Sandar 1 Pendahuluan Identifikasi Jenis Kapal dan Kondisi Perairan Perhitungan Kecepatan Sandar dan Koefisien Beban Sandar Penentuan faktor keamanan

Bertitik tolak dari rumusan masalah di atas, maka yang menjadi tujuan penelitian ini adalah Untuk mengetahui bagaimana pendidikan karakter di PAUD Alam Sayang

Bahasa asing yang dapat digunakan dalam pembukuan atau pencatatan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (4) Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum

Dari hasil simulasi terlihat bahwa: Tegangan lebih yang timbul pada isolator akibat sambaran langsung petir 46.5 kA 1/50 µs pada tiang dengan tahan kaki menara 21 Ω

Hal penting yang harus diperhatikan adalah bila suatu balok hanya mengalami satu beban terpusat gaya geser bernilai konstan di antara beban dan momen lentur

Pemeliharaan Rutin/ Berkala Sarana dan Prasarana Pasar Produksi Peternakan. Belanja Modal

Diskusi Meminta persetujuan dari peserta dan meminta kesedian peserta untuk mengikuti pelatihan ini dari awal hingga akhir  Lembar informed consent Penyampaian Materi I:

Suatu kebakaran tidak akan pernah terjadi tanpa tersedia oksigen, bahan bakar dan sumber panas yang cukup yang dapat berkombinasi dengan sesuai. Berdasarkan konsep segitiga