• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 1 PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 1 PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

1. Latar Belakang Masalah

Bagi setiap manusia, ingatan terhadap pengalaman-pengalaman pribadinya merupakan suatu hal yang sangat mengesankan. Dengan itu, dia memperoleh perasaan identitasnya, bahkan mungkin kesadarannya. Tanpa itu dia tidak bisa mengambil suatu keputusan yang penting. Tidak bisa memperbaiki kondisinya dan tidak bisa bertahan. Manusia atau para leluhur mereka sudah lama belajar. Sejak kesempatan ada, belajar yang menyebabkan mereka menunda dan menunggu aksi. Penemuan penggunaan refleksi dan perenungan harus sudah merupakan suatu kejadian terpenting di dalam evolusi mereka.

Oleh karena itu, cerita sebagaimana kita ketahui berperan didalam lingkungan kelompok-kelompok sebagian dilakukan berdasarkan ingatan (memory) dalam lingkungan individu-individu itu. Ibarat seseorang dapat menyebut sejarah (history) yang merupakan ingatan dari kelompok-kelompok itu.

Seorang ahli sejarah Belanda berkata: “Sejarah bukan ingatan

(memory-geheugen), tetapi rekoleksi (He-reinnering). Ingatan (memory) adalah

komprehensif, sedangkan rekoleksi merupakan pengunjung yang cerdas, yang mengenal apa yang dilihat dan diperhatikannya, dan apa pula yang sudah terjadi”.9 Penulis Belanda ini lupa bahwa memori itu sebenarnya selektif terhadap dirinya sendiri, namun tidak ada relevansinya. Tugas ahli sejarah adalah untuk merawat, menjaga. Memory ini dapat dipelihara terus dan ditinggalkan kepada perilaku-perilaku lain yang akan dapat dipergunakan dan dari bahan-bahan yang terkumpul itu yang akan disajikannya.

Ingatan kita perlu ditarik ke belakang lagi. Bahwasannya filsafat sejarah adalah penelitian yang seksama dan tidak tergesa-gesa terhadap sejarah dan masa lalu masalahnya. Selama ini, sejarah harus dilakukan untuk menandakan

1

G.J. Renier, Metode dan Manfaat Ilmu Sejarah, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, Cetakan I, 1997, hlm. 14-15

(2)

keduanya, baik sejarah maupun isinya. Perbedaan ini jelas dilakukan oleh Baner, yang mengatakan ada dua macam filsafat sejarah. Pertama, merupakan suatu Geschichtsphilosophie formal yang meneliti logika dan epistemologi sejarah. Ini tentu saja merupakan studi sejarah sistematis sebagai suatu cerita (story). Kedua, (Baner menyebutnya dengan filsafat sejarah dalam pengertian sempit, sebagaimana yang diterapkannya). Filsafat sejarah disini dimaksudkan dengan perjalanan peristiwa-peristiwa sejarah, menjadikannya sejarah dalam pengertian yang berkenaan dengan masa silam umat manusia yang beradab. Ini adalah pengertian yang disebut dalam bahasa Perancis Philosophie de

L’historie.10

Sebagaimana kita ketahui sejarah umat manusia itu berkembang dalam suatu tatanan masyarakat. Dikarenakan masyarakat merupakan suatu sistem sosial, yang unsur-unsurnya saling mempengaruhi satu dengan lainnya. Perubahan salah satu bagian akan mempengaruhi bagian yang lain, yang akhirnya mempunyai dampak terhadap kondisi sistem secara keseluruhan. Masyarakat dan kebudayaannya merupakan dwi tunggal yang sukar dibedakan, di dalamnya tersimpul sejumlah pengetahuan yang terpadu dengan kepercayaan dan nilai, yang menentukan situasi-situasi kondisi perilaku anggota masyarakat. Dengan kata lain, dalam kebudayaan tersimpul suatu simbol maknawi (symbolic system of meaning).

Secara umum kebudayaan sering diartikan sebagai seperangkat sistem pengetahuan dan keyakinan yang terwujud dalam pola-pola tindakan sebagaimana ditunjukkan ke berbagai kehidupan sosial seperti ekonomi, kegiatan sosial, kegiatan keagamaan (ritual) dan kegiatan berkesenian. Pada term ini, kebudayaan adalah suatu kumpulan pedoman atau pegangan yang berguna sebagai alat operasional dalam hal manusia menghadapi lingkungan-lingkungan tertentu untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya dan untuk

10

(3)

dapat hidup secara lebih baik. Karena itu, kebudayaan juga dinamakan sebagai desain menyeluruh dari kehidupan (blueprint).3

Kebudayaan itu merupakan khas insani yang tidak dimiliki oleh mahluk lain. Misalnya, sejenis hewan. Bahkan yang bersifat transenden sekaligus. Hanya manusialah yang dengan dirinya dapat mewujudkan eksistensinya. Dengan akalnya guna memenuhi segala keinginan baik yang serupa nilai dan peradaban.4 Peranan kebudayaan bagi umat manusia sangatlah besar. Bermacam-macam yang harus dihadapi manusia. Seperti, kekuatan alam di mana ia tinggal, maupun kekuatan-kekuatan lain dalam masyarakat itu sendiri yang tidak selalu baik baginya. Kecuali daripada itu, manusia memerlukan kepuasan baik di bidang spiritual maupun di bidang material.5

Bertolak daripada pengertian di atas, Cina pernah terlibat langsung pada proses sejarah kebudayaan bangsa Indonesia baik dari sisi spirituil maupun sisi materiil (arsitektur, pakaian, makanan, dan lain-lain), yang dapat kita saksikan lewat apa yang lazim disebut oleh sejarawan, yaitu Sino

Javanese Muslim Culture pada kurun abad ke-15 dan 16. Peranan bangsa Cina

dalam proses penyebaran Islam di Indonesia merupakan fenomena yang menarik untuk diteliti lebih mendetail lagi. Karena sampai saat ini belum ada kata sepakat di kalangan para sejarawan tentang asal-usul Islam di Nusantara ini. Ada yang mengatakan Islam Indonesia dibawa oleh orang-orang dari Gujarat (India), ada yang berpendapat dibawa oleh orang-orang Cina Yunnan, bahkan ada pula yang mempunyai statement bahwa Islam masuk ke Indonesia langsung dari Mekkah.6

Terlepas dari “khilafiyah” itu, Cina memang pernah berperan besar dalam perkembangan Islam di Indonesia. Fakta ini dibuktikan dari beberapa peninggalan-peninggalan Cina Muslim di Indonesia. Misalnya, di Ancol

3

M. Mukhsin Jamil, Pemulihan Khong Hu Chu di Indonesia, Makalah pada Seminar Nasional Agama Khong Hu Chu pada Tanggal 12 Februari 2000 di Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang, hlm. 1

4

J.W.M. Baker SJ, Filsafat Kebudayaan Sebagai Pengantar, Kanisius, Yogyakarta, 1992, hlm. 14

5

Soejono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, CV. Rajawali, Jakarta, 1982, hlm. 167 6

H.J. de. Graff, dkk, Cina Muslim di Jawa Abad XV dan XVI Antara Historisitas dan Mitos, Tiara Wacana, Yogyakarta, 2004, hlm. 1

(4)

Jakarta, dan Gedung Batu Semarang. Dan yang paling monumental hingga sampai sekarang adalah Masjid Agung Demak. Berdasarkan beberapa catatan sejarah, dapat dipastikan pula beberapa Sultan dan Sunan yang mempunyai andil sangat besar dalam penyiaran Islam di Jawa, ternyata adalah keturunan Cina. Misalnya, Raden Fatah yang mempunyai nama Cina Jin Bun sebagai Raja Demak Pertama, Sunan Ampel, Sunan Gunung Djati, dan lain sebagainya.

Selanjutnya, peristiwa politik bersejarah dan yang paling fenomenal ialah saat terjadinya ekspedisi Cheng Ho di masa pemerintahan Yung Lo dari Dinasti Ming. Yang melibatkan ribuan orang Cina. Sebagian besar awak kapal beragama Islam. Beberapa petinggi ekspedisi, selain tokoh legendaris Cheng Ho, yakni Ma Huan, Hasan, Wang Jing Hong (dikemudian hari terkenal dengan sebutan Kiai Dampoawang), Kung Wu Ping, Fei Hsin, dan lain-lain, juga seorang Muslim yang dikenal taat beragama.7

Menurut Parlindungan dan Slamet Mulyana, yang penulis kutip dari Sumanto Al-Qurtuby dalam bukunya Arus Cina Islam Jawa, ekspedisi sejak awal abad ke-15 itu tercatat tiga kali mengunjungi Jawa. Setiap misi muhibahnya selalu meninggalkan jejak historis yang mengagumkan. Kegiatan penjelajahan samudera yang dipimpin langsung oleh Laksamana Cheng Ho ini tidak sekadar bermuatan politik dan ekonomi belaka. Tetapi juga menyimpan

“hidden agenda” berupa Islamisasi. Hal ini terbukti dengan penempatan para

konsul dan duta keliling Muslim Cina di setiap daerah yang dikunjunginya. Kemungkinan besar sebagian Cina Islam yang turut serta dalam rombongan Cheng Ho ini enggan pulang kembali ke negerinya. Baik karena alasan pengembangan bisnis di daerah baru yang dinilai lebih menjanjikan atau faktor kenyamanan politik, maupun alasan dorongan keagamaan untuk menyebarkan syi’ar Islam di “negeri kafir”.8

Jejak-jejak historis yang ditaburkan Cheng Ho ini begitu terasa mengurat dalam benak kehidupan masyarakat Jawa. Tidak hanya muncul

7

Sumanto Al Qurtuby, Arus Cina Islam Jawa, Inspeal Press, Yogyakarta, 2003, hlm. 43 8

(5)

lewat tradisi lesan melalui tokoh mitologi Kyai Dampo Awang. Tetapi juga beberapa peninggalan kesejarahan seperti bangunan mercusuar di Cirebon maupun berbagai kelenteng kuno yang dikaitkan dengan sang legendaris Laksamana Cheng Ho. Salah satunya adalah Kelenteng Sam Po Kong di Gedung Batu Semarang.

Kelenteng ini keberadaannya sangatlah monumental sekaligus fenomenal. Sangat menarik untuk dijadikan objek penelitian dari berbagai segi. Utamanya dari segi bangunan kelenteng tersebut. Pengaruh Cina yang cukup kuat dan menimbulkan dugaan bahwa pada bentangan abad ke-15/16 telah terjalin apa yang disebut Sino-Javanese Muslim Culture. Dimana fungsi awal bangunan tersebut adalah sebagai Masjid (tempat sholat Cheng Ho beserta rombongan, hal ini dibuktikan dengan adanya Bedug dan tulisan pada dindingnya dalam bahasa Cina yang artinya “Bacalah Al-Qur’an”).9 Kemudian beralih fungsi menjadi tempat peribadatan umat Khong Hu Chu (fakta sekarang memang demikian adanya) merupakan “suatu fenomena yang harus kita terima”. Bisa jadi, disamping fungsi awalnya sebagai Masjid, tidak menutup kemungkinan untuk peribadatan awak kapal Cheng Ho lainnya yang non-Muslim. Karena, pada rombongan ekspedisi tersebut ada yang beragama Tao, Khong Hu Chu, dan Buddha (tiga kepercayaan tertua di Cina).

Namun demikian, ada kemungkinan ketiga yang muncul. Yaitu hanya sebagai “tempat singgah” rombongan ekspedisi Laksamana Cheng Ho yang tercatat tujuh kali melakukan pelayaran ke Kepulauan Nusantara. Di Semarang sendiri rombongan Cheng Ho tercatat mengunjungi sebanyak tiga kali. Hingga penulis menduga, Kelenteng Sam Po Kong atau Sam Po Tay Djien itu “hanya sekadar” Ekspresi Kebudayaan Cina Jawa Islam yang terletak di Gedung Batu Simongan Semarang.

Hal tersebut perlu penelitian lebih mendalam lagi. Sehingga “ketidakselarasan informasi” yang selama ini membelenggu bisa “terluruskan”. Karena Kelenteng tersebut merupakan cagar budaya. Maka

9

Djawahir Muhammad (ed), Semarang Sepanjang Jalan Kenangan, Pemda Dati II Semarang, Dewan Kesenian Jawa Tengah, Aktor Studio Semarang, 1995, hlm. 145

(6)

harus senantiasa dijaga dan dilestarikan bersama. Supaya generasi dimasa yang akan datang bisa menyaksikan. Bahwasannya antara Cina-Jawa (yang “lazim” disebut pribumi-non pribumi) pernah hidup rukun bergandengan jauh dari perasaan saling curiga. Yang terwadahi dalam media Sino Javanese

Muslim Culture. 2. Pokok Masalah

Berdasarkan dari sekelumit deskripsi di atas, maka permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah :

2.1.Bagaimanakah Sejarah dan Fungsi Kelenteng Sam Po Kong di Gedung Batu dalam Kehidupan Sejarah Kota Semarang?

2.2 Bagaimanakah Bentuk Akulturasi Kebudayaan Cina Jawa Islam dalam Kelenteng Sam Po Kong di Gedung Batu Kota Semarang?

3. Tujuan dan Manfaat Penelitian

3.1 Tujuan Penelitian

Dengan permasalahan sebagaimana tersebut diatas, maka tujuan dari penelitian ini adalah :

a. Untuk mengungkap Sejarah dan Fungsi Kelenteng Sam Po Kong di Gedung Batu dalam Kehidupan Sejarah Kota Semarang.

b. Untuk mengungkap bentuk Akulturasi Kebudayaan Cina Jawa Islam dalam Kelenteng Sam Po Kong di Gedung Batu Kota Semarang.

3.2 Manfaat Penelitian

Sedangkan manfaat ataupun kegunaan dari penelitian ini, adalah: a. Sebagai bentuk kepedulian terhadap salah satu peninggalan sejarah

yang ada di Kota Semarang melalui karya ilmiah. Sekaligus media informasi tentang peranan etnis Tionghoa di Kota Semarang pada khususnya, dan Indonesia pada umumnya.

b. Sebagai satu bentuk ikhtiar, mengembalikan hubungan etnis Cina-Jawa di Kota Semarang pada khususnya, dan Indonesia pada umumnya yang pernah harmonis pada zaman dahulu. Agar tidak

(7)

terjadi lagi konflik-konflik bernuansa etnis (SARA) yang berkepanjangan.

4. Tinjauan Kepustakaan

Hal ini sengaja penulis angkat dengan melihat fenomena “ketidakselarasan informasi” atas bangunan Kelenteng tersebut, sekaligus sebagai spesifikasi penelitian atas beberapa karya terdahulu yang “terkesan” sepintas dalam membahasnya. Karya-karya tersebut, yaitu :

- Prof. Kong Yuanzhi, Hembing Wijayakusuma (ed), Muslim Tionghoa

Cheng Ho, Misteri Perjalanan Muhibah di Nusantara, Jakarta, Pustaka

Populer Obor, 2000. Buku ini menjelaskan tentang perjalanan pelayaran Laksamana Cheng Ho ke berbagai kota di Nusantara dan negara-negara tetangga di kawasan Asia Tenggara serta ke-Islaman Laksamana Cheng Ho beserta para awak kapalnya. Dan tentunya sangat berbeda dengan skripsi ini yang nantinya akan dikupas habis tentang persinggahan Cheng Ho di Semarang beserta Kelenteng Sam Po Kong-nya dan dampaknya bagi kehidupan sejarah Kota Semarang, yang mana di buku tersebut tidak disinggung hal-hal yang sebagaimana peneliti sebutkan.

- Sumanto Al-Qurtuby, Arus Cina-Islam-Jawa, Inspeal Press, 2003. Di

dalamnya dikupas habis tentang peranan orang-orang Tionghoa dalam penyebaran Agama Islam di Nusantara abad XV dan XVI, dan jejak-jejak historis dari peninggalan kepurbakalaan Islam di Jawa yang mengisyaratkan adanya pengaruh Cina yang cukup kental dalam “media”

Sino Javanese Muslim Culture. Perbedaannya dengan skripsi yang akan

penulis tulis, di situ kurang dikupas lebih dalam akan simbol-simbol yang terdapat di Kelenteng Sam Po Kong Gedung Batu Semarang.

- H.J. de Graff, dkk, Cina Muslim di Jawa Abad XV dan XVI, Yogyakarta, Tiara Wacana, Cetakan II, 2004, yang intinya “meluruskan” bahwa pembawa Islam ke Indonesia bukan “hanya” pedagang Gujarat-India, kaum sufi dari Arab (Persia), orang Cina-pun punya andil besar dalam Islamisasi Nusantara ini dan merupakan kritik atas Catatan Melayu: Teks

(8)

Perlindungan dengan Terjemahan (1964). Meski di buku ini dijelaskan

tentang teori masuknya Islam di Jawa yang konon dibawa oleh Muslim dari daratan Cina, akan tetapi tidak disinggung secara khusus masuknya Islam di Semarang yang nantinya akan dibahas pada penelitian ini.

- Dra. Misbah Zulfah Elizabeth, Simbol Islam di Kelenteng Sam Po Kong, Laporan Penelitian Individual, Pusat Penelitian IAIN Walisongo Semarang, 2003, yang menggarisbawahi bahwasannya Kelenteng Sam Po Kong yang berada di Gedung Batu Semarang disinyalir dulunya memang sebuah Masjid dilihat dari simbol-simbol ke-Islaman yang ada pada bangunan tersebut. Yang dijadikan tolok ukur perbedaan dengan skripsi ini adalah dimana penelitian yang dilakukan oleh Sdr. Zulfah Elizabeth ini, hanya berkonsentrasi pada simbol-simbol yang bernafaskan Islam pada Kelenteng tersebut. Sehingga simbol-simbol yang lain tidak begitu “dihiraukan”, dan pada skripsi ini akan dikaji lebih lanjut tidak hanya simbol-simbol Islam, namun juga simbol Cina dan Jawa.

5. Metode Penelitian

Langkah ini penulis ambil agar tidak terjadi ketumpangtindihan berbagai macam informasi yang masuk, maka dipandang perlu untuk memulainya dari: 5.1. Sumber Data

Penelitian ini adalah merupakan penelitian sejarah sehingga sangat perlu kajian yang lazim digunakan pada kegiatan serupa. Oleh karena itu, penulis menggunakan metode penelitian lapangan (field research), dan metode penelitian pustaka (library research) agar mendapatkan data yang benar-benar valid dan teruji kebenarannya. Sehingga, disamping mengambil berbagai informasi dari hasil wawancara dengan sejarawan kota Semarang serta para pengurus Kelenteng dengan observasi langsung ke lokasi penelitian tersebut, penulis juga menggunakan data-data yang diambil dari buku-buku yang secara langsung membahas tema di atas, antara lain karya Prof. Khong Yuan Zhi, Muslim Tionghoa Cheng Ho, dan Sumanto Al-Qurtuby, Arus Cina Islam Jawa (seperti yang peneliti

(9)

sebutkan di halaman 7 dan 8), karya ilmiah, manuskrip, serta cerita-cerita yang melegenda di masyarakat sebagai data pendukung.

5.2. Pengumpulan Data

Setelah mendapatkan berbagai macam sumber, data-data tersebut penulis kumpulkan dengan cara:

a. Studi/Kajian literatur atas berbagai sumber sejarah baik lisan maupun tulisan yang berkenaan dengan tema di atas.

b. Wawancara, sebagai data penguat, penulis melakukan wawancara langsung dengan sejarawan kota Semarang dan pengurus Kelenteng Sam Po Kong Gedung Batu Semarang.

c. Observasi, setelah mengadakan wawancara, penulis melakukan survei langsung ke Kelenteng Sam Po Kong Gedung Batu Semarang.

5.3. Metode Analisis Data

Untuk menganalisis data yang sudah terkumpulkan, penulis menggunakan pendekatan sejarah terutama sejarah kebudayaan dan antropologi budaya dengan metode analisis kritis. Bidang kajian sejarah kebudayaan dan masalah-masalah metodologisnya ada batasannya.

Batasan menjadi penting, karena selain menjelaskan apa yang sudah dikerjakan juga dapat memberikan gagasan baru apa yang dapat dikerjakan. Selanjutnya metodologi penting, karena setiap jenis penulisan sejarah memerlukan metodologi yang khusus pula. Setiap detail yang kecil dan tunggal sebenarnya adalah simbol dari keseluruhan dan satuan yang lebih besar. Hanya dengan pengetahuan tentang keadaan umum itu, orang akan terhindar dari perangkap kejadian-kejadian yang tak terhingga jumlahnya.

Dengan meminjam istilah Burckhardt (1818-1897) “penulisan sejarah itu ibarat lukisan”, yang komposisinya memberikan gambaran utuh sekaligus gambaran detailnya. Cara yang dipakai ialah dengan “paralelisasi fakta-fakta”, yaitu membandingkan dan melawankan, mencari persamaan dan perbedaan, sehingga antara fakta-fakta yang ada ditemukan kaitannya.

(10)

Penggambaran tulisan sejarah sebagai sebuah integrated

equivalents yang menyuguhkan pemandangan menyeluruh, tetapi

masing-masing bagian sama pentingnya, tidak ada yang sentral. Sejarah harus disuguhkan sebagai gambaran yang kongkrit. Dengan pendekatan yang sinkron, dan sistematis.10

Langkah-langkah tersebut terdiri atas:

a. Deskripsi, yaitu untuk mendapatkan gambaran umum yang meliputi sejarah pelayaran Cheng Ho ke Semarang, fungsi awal berdirinya Kelenteng Sam Po Kong di Gedung Batu dan proses penyebaran Islam di kota Semarang.

b. Interpretasi, yaitu peneliti akan menyelami dan menelaah sumber-sumber data yang diperoleh agar mendapatkan tafsiran-tafsiran yang lebih faktual dan signifikan.

c. Analisis Kritis, metode ini peneliti pergunakan untuk menganalisis (studi analitik) terhadap data yang telah diinterpretasikan dan dikritisi sehingga ditemukan suatu kesimpulan yang lebih komprehensif atas keberadaan Kelenteng Sam Po Kong tersebut.

5.4. Sistematika Penulisan

Untuk mendapatkan gambaran yang bersifat utuh dan menyeluruh serta adanya keterkaitan antara bab satu dengan bab yang lain. Untuk mempermudah proses penelitian ini, penulis akan memaparkan sistematika penelitian ini sebagai berikut :

BAB I merupakan pendahuluan dari skripsi ini yang memuat, latar belakang masalah, pokok masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan kepustakaan, metode penelitian dan sistematika penulisan skripsi. Dengan memahami bab ini, maka akan mencegah adanya kesalahpahaman atau kekeliruan dalam pembahasan selanjutnya.

10

Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah, Tiara Wacana, Yogyakarta, 2003, Edisi Kedua, hlm. 138

(11)

BAB II nantinya akan memuat landasan teori dari kegiatan penelitian ini yang membahas tentang Agama sebagai Sistem Kebudayaan dalam Masyarakat yang terdiri dari, Pengertian Kebudayaan, Akulturasi Kebudayaan Melalui Agama, dan Penggunaan Simbol-simbol Agama dalam Masyarakat.

BAB III memuat data-data tentang Sejarah Kelenteng Sam Po Kong dan Kebudayaan Cina Jawa Islam di Kota Semarang, yang terdiri dari Pelayaran Cheng Ho ke Nusantara dan Persinggahannya di Kota Semarang, Pembentukan Komunitas Cina dan Penyebaran Islam di Kota Semarang, dan Sejarah Kelenteng Sam Po Kong di Kota Semarang

BAB IV merupakan analisa dengan tema Ekspresi Simbolik Kelenteng Sam Po Kong, yang akan menjawab pokok masalah penelitian ini yang terdiri dari, Rekonstruksi Sejarah Penyebaran Islam di Kota Semarang, dan Akulturasi Kebudayaan Cina, Jawa, Islam dalam Kelenteng Sam Po Kong.

BAB V merupakan penutup yang menandakan akhir dari keseluruhan proses penelitian yang berisi kesimpulan (menerangkan hasil penelitian), saran-saran dari penulis yang terkait dengan pembahasan serta kata penutup sebagai akhir kata dan mengakhiri proses penelitian ini.

Referensi

Dokumen terkait

Penyusunan tugas akhir ini merupakan salah satu syarat yang harus ditempuh oleh setiap mahasiswa Jurusan Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Diponegoro dalam

BAB I Pendahuluan, bab ini terdiri dari Latar Belakang, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Keaslian Penelitian, Tinjauan

1) Bab pertama merupakan pendahuluan yang menguraikan latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, lingkup penelitian, dan sistematika

Struktur pasar monopolistik terjadi manakala jumlah produsen atau penjual banyak dengan produk yang serupa/sejenis, namun di mana konsumen produk tersebut

Kecamatan dengan pertumbuhan tenaga kerja sub sektor perikanan di Kabupaten Gunungkidul pada tahun 2007 hingga tahun 2011 adalah Kecamatan Playen dan yang terendah adalah

20 Tahun 2001 Tentang Pemilikan Saham Dalam Perusahaan yang Didirikan Dalam Rangka Penanaman Modal Asing yakni dalam rangka lebih mempercepat peningkatan dan perluasan kegiatan

From Incidental News Exposure to News Engagement: How Perceptions of the News Post and News Usage Patterns Influence Engagement with News Articles Encountered on

Seperti halnya penerapan ICT berdasarkan sarana dan prasarana (infrastruktur) yang ada di Museum Angkut, dimana penerapan ICT ini bertujuan untuk mempermudah