• Tidak ada hasil yang ditemukan

EFEKTIFITAS PEMBERIAN KOLOSTRUM PADA SAPI NEONATUS YANG DITANTANG DENGAN Escherichia coli K-99. Oleh: ALI HUJARAT B

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "EFEKTIFITAS PEMBERIAN KOLOSTRUM PADA SAPI NEONATUS YANG DITANTANG DENGAN Escherichia coli K-99. Oleh: ALI HUJARAT B"

Copied!
50
0
0

Teks penuh

(1)

EFEKTIFITAS PEMBERIAN KOLOSTRUM PADA SAPI NEONATUS YANG DITANTANG DENGAN Escherichia coli K-99

Oleh: ALI HUJARAT

B04051030

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2009

(2)

EFEKTIFITAS PEMBERIAN KOLOSTRUM PADA SAPI NEONATUS YANG DITANTANG DENGAN Escherichia coli K-99

Oleh: ALI HUJARAT

B04051030

Skrpisi

Sebagai Salah Satu Syarat dalam Menyelesaikan Program Pendidikan Sarjana Kedokteran Hewan

pada Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2009

(3)

HALAMAN PENGESAHAN

Judul Tugas akhir : Efektifitas Pemberian Kolostrum pada Sapi Neonatus yang Ditantang dengan Escherichia coli K-99

Bentuk Tugas akhir : Penelitian Nama Mahasiswa : Ali Hujarat

NIM : B04051030

Disetujui

Dr. Drh. Anita Esfandiari M.Si Dr. Drh. Sus Derthi Widhyari M.Si Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Diketahui

Dr. Nastiti Kusumorini Wakil Dekan FKH

(4)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI

Dengan ini saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengsn judul ” PENGAMATAN DIARE PADA SAPI NEONATUS YANGDITANTANG ANTIGEN Escherichia coli K-99 “ adalah karya asli sendiri dengan pengarahandosen pembimbing akademik. Bahan rujukan dari karya skripsi terlampir pada daftar pustaka. Demikian saya buat pernyataan dengan sebenar-benarnya.

Bogor, September 2009 Pembuat Pernyataan

Nama : Ali Hujarat NRP : B04051030

(5)

RIWAYAT HIDUP

Ali Hujarat, lahir di Pati, Jawa Tengah, Tanggal 29 Agustus 2009 merupakan putra pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Rejo dan Suparni.

Penulis menyelesaikan pendidikan pada MI hijriyah 7 Ulu palembang (1993-1999), SMP Negeri 7 Palembang (1999-2001), SMP Negeri 1 Winong (2001-2002), dan SMA Negeri 2 Pati (2002-2005).

Bulan April Tahun 2005, Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI. Setelah menyelesaikan pendidikan Tingkat Persiapan Bersama (2005-2006), penulis diterima di Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pretanian Bogor. Dalam aktifitas kampus penulis ikut dalam berbagai organisasi seperti Ikatan Keluarga Mahasiswa Pati, HIMPRO HKSA, STERIL, dan Putra Pantura JABOTABEK.

Skripsi penulis dengan Judul ” PENGAMATAN DIARE PADA SAPI NEONATUS YANGDITANTANG ANTIGEN Escherichia coli K-99 “ merupakan syarat memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada di Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pretanian Bogor.

(6)

KATA PENGANTAR

Syukur alhamdulillah penulis panjatkan ke hadirat Illahi Rabbi yang telah memberikan karunia dan hidayah sehingga penulis dapat menyelesaikan dengan baik penelitian dengan judul ” PENGAMATAN DIARE PADA SAPI NEONATUS YANGDITANTANG ANTIGEN Escherichia coli K-99 “. Shalawat dan salam selalu terhatur kepada Nabi Besar Muhamad SAW yang telah menuntun umat dari zaman jahiliyah menuju zaman Islamiyah. Skripsi tersebut merupakan salah satu syarat dalam menyelesaikan pendidikan Sarjana Kedokteran Hewan dalam Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.

Terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya penulis berikan kepada : 1. Kedua pembimbing Dr. Drh Anita Esfandiari MS dan Dr drh. Sus Derti Widyari

yang telah sabar dan senantisa memberikan petunjuk dalam membantu penulis menyelesaikan tugas akhir.

2. Dr. Drh. Aryani S. Satjaningtjas M.Si dan drh. Titiek Sunartatie M. Si atas peran dan kerjasama sebagai dosen penilai dalam memberikan masukan dan saran sehingga karya ini nantinya dapat berguna bagi yang membutruhkan.

3. Semua staf yang berkecimpung dan membantu dalam penelitian ini. Pak Djajat, pak suryono, pak Kamidi, Mas ali rizki (sekarang di WWF), pak engkos, pak dahlan, mas david

4. Ayahanda Rejo dan Ibunda Suparni yang dengan segala upaya selalu menjadi teladan bagi penulis. Pakdhe, Bu dhe, Pak lek dan Bu lek, eyang Nur Ikhsan dan Eyang Siti Syariah, eyang Sawi yang selalu memanjakan penulis.

5. Kakak dan adik tercinta. Mas arif, Dwi, Ena yang telah memberikan support dan motifasi sehingga penulis tetap memiliki semangat juang dalam mencari jatidiri. 6. Temen-temen sepenelitianku (mizwar, fera, dinar, nuri) atas kerjasama dan

bahu-membahu dan pendahulu kita ( mas hasan, mbak icha, mba opink, mba ita, mba winda, mas ichal dan mas aki/tresna). We all never walk alone!!!!!

7. Temen-temen gobleters atas kekompakan dan kegilaanya. Temen-temen Asteroidea, temen-temen aesculapius yang seru selamat bergabung gianuzzi dan welcome to FKH buat angkatan 45. Semangattttttt!!!!!

(7)

8. Bandzena 35 ( pipit, ndah, ellies, pupunk, nao), BAR( beny & Ragil), the2 ( beken, lek man, yoga, pujex, mapood, yudi), dan Under pass (amin, Ragil, eta, ayu) & van Alle (ivan, yerry, michael) atas semua perjuangan. Kita semua adalah juara

9. Steel Warrior (Arief, Ipunk, Roland, Ender) dan Sintopati (Udin, Yoga, Rief, o-punk) yang memberikan pelajaran berharga tentang musik dan kehidupan

10. Alumni yakuza 10 Balebak (wawan, rofian, topan, dedi, supri, anwar, wahyu, roni, ragil yudi) atas donasi, dukungan dan kebersamaan dan sakinah crew ( ika, dina, endah, binda, beki, dewi, desti, ratih de el el) selalu menajdi supprter setia ”the young pati”.

11. Anggita Putri Eka Fahrini Lubis dan keluarga yang memberi dukungan dalam semangatnya dan selalu mendampingi dalam suka dan duka.

12. Mardiono Djojodiningrat STP atas semua dukungan dan kebersamaan. 13. Temen2 IKMP dari semua angkatan moga lebih kompak aja.

14. ”The fasnet &

orico

crew, the ucuy’s band ”, ami ucuy , aan, Oblack, mas manto, mbak nana, aa’ zanuar, mbak nurul, fitri, syifa, dan kiki yang selalu bawa cucian atas dukungan dan partisipasinya dalam membantu kesulitan penulis. 15. Kak Mutia Lubis & Nadya atas dedikasinya kepada penulis

16. Putra pantura comunity atas kebersamaan dan contactnya. Semoga makin kompak dan selalu dijalan yang benar.

17. Angkatan 38 (Teh de2, uni idja, mas ali, de el el) atas simpati dan kekompakan. 18. Drh. Tamara, drh mahfud dan Ema Effendi, drh Rajanti, drh Iwan budi, dan drh

Bambang Sukemi atas dedikasinya dan kesabaran mengajari penulis.

19. ” Baso Kabayan dan Baso Sabar ” dalam menyiapkan menu minuman dan vespanya.

20. Bless salon (aa’ Rahmad dan aa’ dick) dalam penataan model kontroversial.sukses!!!!

21. Beatles, Queen, scorpion, metalica, rolling stones, sex pistols, van Hallen, white lion, Rush, nirvana, cranberries, GnR, eric clapton, garry moore, Aerosmith,

(8)

muse, my chemical romance, LP, koespuls dan slank dengan semua lagu inspirasinya.

22. Semua anak vespa dan motor classic seluruh Indonesia. 23. Pihak-pihak lain yang belum tersebut namanya.

Semoga karya ini dapat bermanfaat bagi penulis dan orang lain yang membutuhkan.

Bogor, Agustus 2009

(9)

DAFTAR ISI DAFTAR ISI ... DAFTAR TABEL ... DAFTAR GAMBAR ... ABSTRAK ... PENDAHULUAN ... 1 Latar Belakang ... 1 Tujuan ... 2 Manfaat ... 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 3

Sapi Friesian Holstein ... 3

Sistem Pencernaan Sapi Neonatus ... 5

Feses Sapi/Ruminansia ... 6

Escherichia coli ... 7

Escherichia coli Penyebab Diare ... 8

Patogenisitas Escherichia coli ...10

Gejala Klinis Escherichia coli ... 11

Pengobatan Escherichia coli pada Ternak ... 11

Diare ... 14

Kolostrum Sapi ... 16

METODE PENELITIAN ... 19

Waktu dan Tempat Penelitian ... 19

Bahan dan Alat ... 19

Hewan Percobaan ... 19

Alat dan Bahan ... 19

Metode Penelitian ... 19

Vaksinasi Induk Sapi Bunting ... 19

Koleksi Kolostrum Sapi ... 20

Pemberian Kolostrum kepada Sapi Neonatus ... 20

Uji Tantang pada Sapi Neonatus ... 20

(10)

Pemeriksaan Sampel Feses Sapi Neonatus ... 20

Analisis data ... 21

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 22

Morfologi feses Feses (Warna, Bau, Bentuk dan Konsistensi) ... 23

Frekuensi Defekasi, Durasi dan Onset Diare, Tingkat Keparahan dan Identifikasi Bakteri ... 26

Frekuensi Defekasi ... 26

Durasi Diare ... 28

Onset Diare ... 29

Tingkat Keparahan dan Identifikasi Bakteri ... 30

SIMPULAN DAN SARAN ... 32

Simpulan ... 32

Saran ... 32

(11)

DAFTAR TABEL

1. Perubahan warna feses pada masing-masing perlakuan sebelum dan

sesudah uji tantang dengan E. coli K-99 ... 23

2. Perubahan bau feses pada masing-masing perlakuan sebelum dan

sesudah uji tantang dengan E. coli K-99 ... 24

3. Perubahan konsistensi feses pada masing-masing perlakuan

sebelum dan sesudah uji tantang dengan E. coli K-99... 24

4. Frekuensi defekasi, durasi dan onset diare akibat E. coli K-99

pada sapi neonatus semua kelompok perlakuan sesudah uji tantang dengan E. coli K-99... ... 26 5. Tingkat keparahan diare pada sapi neonatus kelompok kolostrum

(12)

DAFTAR GAMBAR

1. Induk Sapi Friesian Holstein ... 4

2. Perbandingan proporsi lambung ruminansia sejak lahir hingga dewasa ... 5

3. Morfologi Escherichia coli dengan berbagai pandangan mikroskop ... 8

4. Vaksin Escherichia coli ... 13

5. Cara kerja vaksin ... 14

6. Anak sapi penelitian yang terkena diare ... 15

7. Rata-rata frekuensi defekasi pada sapi neonatus kelompok kolostrum dan non-kolostrum sesudah uji tantang dengan E. coli K-99 ... 27

8. Rata-rata durasi diare pada sapi neonatus kelompok kolostrum dan non-kolostrum sesudah uji tantang dengan E. coli K-99... 28

9. Rata-rata onset diare pada sapi neonatus kelompok kolostrum dan non-kolostrum sesudah uji tantang dengan E. coli K-99... 29

(13)

ABSTRAK

ALI HUJARAT. Efektifitas Pemberian Kolostrum pada Sapi Neonatus yang Ditantang dengan Escherichia coli K-99. Dibawah Bimbingan ANITA ESFANDIARI dan SUS DERTHI WIDHYARI.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efikasi dan efek protektif kolostrum dari induk sapi Friesian Holstein yang divaksin dengan vaksin Escherichia coli (E. coli) polivalen yang diberikan kepada sapi neonatus yang ditantang dengan E. coli K-99 melalui pengamatan terhadap kejadian diare. Sebanyak sepuluh ekor sapi neonatus Friesian Holstein yang sehat secara klinis dibagi kedalam dua kelompok perlakuan, yaitu kelompok kolostrum (diberi kolostrum sapi) dan kelompok non-kolostrum (diberi susu sapi). Kolostrum/susu sapi diberikan kepada masing-masing kelompok perlakuan sebanyak 10% BB setiap 12 jam selama tiga hari, setelah itu semua sapi neonatus diberi minum susu sapi. Uji tantang dilakukan per-oral pada saat anak sapi berumur 12 jam, menggunakan bakteri E. coli K-99 hidup sebanyak 5x1010 colony forming unit (CFU) terhadap semua kelompok sapi neonatus. Pengamatan terhadap sampel feses dilakukan setiap 12 jam selama satu minggu, terhadap makroskopis feses, frekuensi defekasi, onset dan durasi diare, tingkat keparahan dan identifikasi bakteri dalam feses. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua anak sapi pada dua kelompok perlakuan mengalami diare sesudah uji tantang. Namun demikian, pada kelompok sapi neonatus non-kolostrum memperlihatkan frekuensi diare lebih tinggi, konsistensi feses lebih cair, durasi lebih lama, dan menunjukkan gejala klinis diare yang lebih parah dibandingkan dengan kelompok kolostrum. Feses sapi neonatus dari semua kelompok perlakuan menunjukkan hasil positif adanya bakteri E. coli K-99. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa kolostrum dari induk sapi yang divaksin dengan E. coli polivalen mampu memproteksi sapi neonatus terhadap infeksi E. coli K-99.

(14)

ABSTRACT

ALI HUJARAT. The Effectivity of Colostrum Administration on Neonatal Calves Challenged with Escherichia coli K-99. Under the supervision of ANITA ESFANDIARI and SUS DERTHI WIDHYARI.

This experiment was conducted to study the efficacy of bovine colostrum from cows vaccinated with polivalen Escherichia coli vaccine given to neonatal calves challenged with Escherichia coli K-99. Observations were conducted to study the characteristic of diarrhea. Ten healthy neonatal calves were used in this experiment, and divided into two groups. Each group received bovine colostrum (colostrums group) and milk (non-colostrum group), respectively. Colostrum/milk were given to the calves 10% of body weight immediately after calving every 12 hours, for three days. After three days all neonatal calves consumed milk. Challenges were done orally to all of neonatal calves groups at 12 h after calving, using life E. coli K-99 (5x1010 colony forming unit). Faecal examination were done every 12 hours for one week. Results of this study indicated that all of neonatal calves suffered from diarrhea following E. coli K-99 challenges. However, neonatal calves on non-colostrum group indicated severe and more frequent diarrhea, faecal consistency more watery and longer duration of diarrhea compared to the group of neonates consumed colostrum. In conclusion, colostrum from cows vaccinated with E. coli K-99 performed protective properties against E. coli K-99 infection in neonatal calves.

Keyword : diarrhea, faeces, Escherichia coli, neonatal calves, colostrums

(15)

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Diare disebabkan oleh beberapa macam mikroorganisme, salah satunya Escherechia coli (E. coli). Escherechia coli merupakan salah satu bakteri penyebab kolibasilosis pada anak sapi, terutama pada periode neonatal. Bakteri ini menyerang anak sapi dibawah umur 14 hari, bahkan pada banyak kasus, kematian pada anak sapi terjadi pada umur kurang dari 1 minggu (Seddon 1967). Agen infeksius ini memiliki banyak serotipe, dan serotipe yang banyak terdapat di lapangan adalah E. coli Enterotoksigenik (ETEC) K99, F41 atau K99F41. Penyakit infeksius yang disebabkan oleh bakteri ETEC K-99 ditandai dengan gejala klinis diare berupa feses berwarna putih kekuning-kuningan, konsistensi encer, dehidrasi, bahkan kematian jika kondisi anak sapi rentan (Supar 1996a).

Menurut Supar (1996a), kejadian diare pada anak sapi pada beberapa kabupaten di Bogor, Cianjur, Sukabumi, Bandung dan sekitarnya berkisar antara 7-16%. Supar (2001) juga melaporkan bahwa prevalensi diare pada anak sapi perah berkisar antara 20 -31% dengan mortalitas 65-85%. Tingginya tingkat mortalitas pada anak sapi penderita diare sangat merugikan para peternak. Kerugian yang timbul tidak hanya berupa kematian, namun juga biaya pengobatan, penurunan berat badan dan terganggunya pertumbuhan.

Selama dua dasawarsa terakhir, pengobatan diare menggunakan antibiotik dinilai ampuh untuk membunuh bakteri. Seiring dengan seringnya penggunaan antibiotik untuk pengobatan diare menyebabkan terjadinya resistensi terhadap pengobatan yang menggunakan antibiotik. Selain itu, biaya yang dikeluarkan untuk pengobatan terlalu mahal (Soeripto 2002).

Salah satu alternatif solusi pengendalian kolibasilosis adalah imunisasi pasif melalui pemberian kolostrum dari induk yang divaksin dengan E. coli polivalen kepada sapi neonatus. Menurut Soeripto (2002), vaksinasi dinilai efektif sebagai tindakan pencegahan karena aman dari residu dan resistensi terhadap antibiotik serta biaya aplikasi yang lebih murah. Pemberian kolostrum yang berasal dari induk sapi yang divaksin dengan vaksin E. coli polivalen pada saat bunting trimester akhir kepada anak sapi sesegera mungkin setelah kelahiran akan melindungi anak sapi tersebut dari infeksi kolibasilosis.

(16)

2 Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efikasi dan efek protektif kolostrum dari induk sapi yang divaksin dengan vaksin Escherichia coli polivalen yang diberikan kepada sapi neonatus yang ditantang dengan Escherichia coli K-99 melalui pengamatan terhadap kejadian diare.

Manfaat

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang efektifitas pemberian kolostrum dari induk sapi yang telah divaksin dengan vaksin Escherichia coli polivalen kepada sapi neonatus yang ditantang dengan Escherichia coli K-99.

(17)

3 TINJAUAN PUSTAKA

Sapi Friesian Holstein

Sapi Friesian Holstein (FH) merupakan jenis sapi perah yang banyak menghasilkan susu. Taksonomi sapi FH menurut Dale et. al. (1984) dalam Kristiyanti (2008) sebagai berikut:

Kingdom : Animalia Filum : Chordata Kelsa : Mamalia Ordo : Artiodactila Subordo : Ruminansia Famili : Bovidae Genus : Bos Spesies : Bos taurus

Sapi jenis ini pada awalnya dikembangkan di provinsi Friesland di Belanda dan sering disebut sebagai sapi Fries Holland. Bangsa Sapi FH adalah bangsa sapi perah yang paling menonjol di Amerika Serikat, jumlahnya cukup banyak antara 80 % sampai 90 % dari seluruh populasi sapi perah yang ada. Berasal dari negeri Belanda yaitu provinsi North Holland dan West Friesland, dimana kedua daerah ini memiliki padang rumput yang bagus (Blakely dan Bade 1998)

Sapi FH memiliki ciri fisik, seperti warna bulu belang hitam putih (Gambar 1) dengan perbatasan tegas sehingga tidak terdapat warna bayangan, pada dahi terdapat warna putih berbentuk segitiga, pada bagian dada, perut bawah, kaki dari teracak sampai lutut dan bulu ekor kipas berwarna putih, memiliki tanduk berukuran kecil, menjurus ke depan. Selain itu sapi FH memiliki sifat yang tenang, jinak sehingga mudah dikuasai. Sapi ini tidak tahan terhadap panas, namun mudah beradaptasi, lebih suka pada tanah yang datar dan berumput baik serta lambat dewasa. Sapi FH merupakan sapi perah dengan ukuran tubuh besar. Berat badan sapi jantan mencapai 850 kg, sedangkan sapi betina mencapai 625 kg (Anonim 2007; Blakely dan Bade 1998).

(18)

4 Menurut Syarief (1984), ciri-ciri sapi FH antara lain warna bulu belang hitam putih dengan batas yang jelas, dahi, perut dan ambing berwarna putih, bulu kipas ekor berwarna putih, dan keempat kaki dari lutut ke bawah berwarna putih. Menurut USDA (2004), karakteristik sapi FH berupa warna rambut belang hitam dan putih. Produksi susu yang dihasilkan pada tiap laktasi sangat tinggi mencapai 23.400 lb (pon), dengan kadar lemak berkisar antara 3,4-3,8 %.

Gambar 1. Induk Sapi Friesian Hoelstein Penelitian

Menurut Smith dan Mangkoewijoyo (1998) dalam Kristiyanti (2008), lama kebuntingan sapi FH berkisar antara 275-283 hari dengan berat badan betina dewasa berkisar antra 300-680 Kg dan 350–1000 kg pada hewan jantan. Berat lahir anak sapi FH berkisar antara 22–50 kg dengan jumlah per-kelahiran sebanyak 1-2 ekor. Menurut Syarief (1984), standar berat badan untuk sapi Holstein betina adalah 1250 pounds (567 kg) dan untuk pejantan berat paling rendah 1800 pounds (816 kg). Sapi Friesian Holstein lebih besar dibandingkan dengan sebagian besar ternak yang lain dalam satu breed/bangsa. Bangsa sapi perah Holstein mempunyai kemampuan menghasilkan air susu lebih banyak dibandingkan dengan sapi perah lainnya, yaitu mencapai 5982 liter per-laktasi dengan rata-rata kadar lemak sebesar 3,7 persen.

(19)

5 Sistem Pencernaan pada Sapi Neonatus

Anak sapi yang baru dilahirkan memiliki lambung depan kecil dan belum berfungsi. Rumen, retikulum dan omasum hanya menempati 39% dari keseluruhan lambung (Gambar 2) (Lake and Duke dalam Esfandiari 2005).

Menurut Ruckebush et al. (1991), perkembangan lambung depan ruminansia muda terbagi kedalam tiga tahap antara lain: (1) tahap baru lahir hingga umur tiga minggu pada saat ruminoretikulum belum berfungsi; (2) umur 3-8 minggu pada saat ruminoretikulum mulai berkembang dan; (3) umur lebih dari 3-8 minggu pada saat ruminoretikulum berkembang. Rumen dan retikulum pada anak sapi yang baru lahir hanya menempati 39% dari keseluruhan lambung. Ruminoretikulum terus berkembang pada umur tiga minggu, delapan minggu, sampai pada tahap dewasa.

Gambar 2. Perbandingan proporsi lambung ruminansia sejak lahir hingga dewasa (sumber : Leek and Duke dalam Esfandiari 2005)

Populasi mikroba di lambung depan belum berkembang, sedangkan omasum masih rudimenter (Lake and Duke dalam Esfandiari 2005). Mukosa abomasum belum terdapat sel-sel parietal sehingga belum menghasilkan asam lambung maupun enzim proteolitik sehingga kolostrum dapat langsung menuju abomasum tanpa harus melalui proses pemecahan (Ruckebush 1991).

Saat masih pedet, air susu yang diminum akan langsung menuju ke abomasum karena adanya saluran yang disebut “oeshopageal groove”. Saluran

(20)

6 ini akan menutup bila pedet mengkonsumsi air susu, sehingga susu tidak jatuh ke dalam rumen. Proses membuka dan menutupnya saluran ini mengikuti pergerakan refleks. Semakin besar pedet, maka gerakan reflek ini semakin menghilang (Anonim 2009b)

Zat makanan yang dapat dicerna pada saat pedet adalah protein susu (kasein), lemak susu atau lemak hewan lainnya, gula-gula susu (laktosa, glukosa), vitamin dan mineral. Pedet mampu memanfaatkan lemak terutama lemak jenuh seperti lemak susu, lemak hewan, namun kurang dapat memanfaatkan lemak tak jenuh misalnya minyak jagung atau kedelai. Sejak umur 2 minggu pedet mulai dapat mencerna pati-patian, setelah itu secara cepat akan diikuti kemampuan untuk mencerna karbohidrat lainnya, namun tetap tergantung pada perkembangan rumen (Imron 2008).

Perkembangan alat pencernaan dimulai sejak umur 2 minggu. Populasi mikroba rumen mulai berkembang setelah pedet mengkonsumsi pakan kering. Semakin besar, pedet akan mencoba mengkonsumsi berbagai jenis pakan dan akan menggertak berkembangnya rumen dan mengalami modifikasi fungsi (Imron 2008).

Tahap mencapai alat pencernaan seperti pada sapi dewasa umumnya terjadi pada umur 8 minggu. Namun demikian, kapasitas rumen pada umur 8 minggu masih rendah sehingga pedet belum dapat mencerna/memanfaatkan rumput atau pakan kasar lainnya secara maksimal. Setelah disapih, pedet akan mampu memanfaatkan protein vegetal dan setelah penyapihan alat pencernaan berkembang sangat cepat (Imron 2008).

Feses Sapi/ Ruminansia

Menurut Sugono (2008), feses adalah kotoran atau hasil buangan yang dikeluarkan dari alat pencernaan ke luar tubuh melalui anus, mengandung zat-zat makanan yg tidak dapat dicernakan dan zat-zat yg tidak berasal dari makanan, misalnya jaringan yang rusak, mikroba yang mati dan sebagainya. Menurut Sihombing (2000), umumnya setiap kilogram susu yang dihasilkan ternak perah menghasilkan 2 kg limbah padat (feses), dan setiap kilogram daging sapi menghasilkan 25 kg feses.

(21)

7 Feses seringkali digunakan sebagai salah satu indikator ketika hewan terpapar E. coli. Hal tersebut dapat dilihat dari warna, bau dan konsistensi yang berubah menjadi cair setelah terinfeksi bakteri E. coli. Hewan yang terinfeksi E. coli pada umumnya mengalami diare profus dengan frekuensi defekasi meningkat, dengan durasi yang bervariasi tergantung lamanya terpapar dan tingkat keparahan. Infeksi E. coli juga dapat menyebabkan terjadinya hemoragi pada usus halus yang dapat berakibat ditemukannya darah pada feses, adanya luruhan sel akibat kerusakan mukosa usus dan sebagainya (Anonim 2008; Iswandi 1993).

Escherichia coli

Bakteri Escherichia coli (E. coli) hidup secara normal dalam saluran pencernaan hewan dan manusia. Menurut Todar (2008), klasifikasi Escherichia coli adalah sebagai berikut :

Kingdom: Bacteria Filum: Proteobacteria

Kelas: Gamma Proteobacteria Ordo: Enterobacteriales Famili: Enterobacteriaceae Genus: Escherichia Spesies: Escherichia coli

Bakteri E. coli termasuk kedalam famili Enterobacteriaceae, bersifat Gram negatif, bentuk batang tak berspora, berukuran 2-3 x 0.6 μm, bentuk dan besar bakteri bervariasi, beberapa strain dapat bergerak dan mempunyai alat gerak (flagela) (Gambar 3). Sifat lain dari bakteri ini adalah tidak tahan asam dan fakultatif anaerob. Bakteri E. coli pertama kali diisolasi pada tahun 1885 oleh ilmuwan kebangsaan Jerman bernama Theodor Von Escherich (Johnson 2007).

Bakteri E. coli dapat ditemukan dalam litter, feses, debu atau kotoran dalam kandang. Debu dalam kandang ayam mengandung 105 sampai 106 E. coli per gram (Tabbu 2000 dalam Wardiman 2008). Menurut Gross dan Barness (1997), bakteri ini dapat bertahan lama dalam kandang, terutama dalam keadaan kering.

(22)

8

Gambar 3. Morfologi Escherichia coli (Sumber. http://commons.wikimedia.org) [30 April 2008]

Bakteri E. coli yang bersifat patogen memiliki struktur dinding sel yang disebut phili. Faktor virulensi bakteri ini dipengaruhi oleh ketahanan terhadap fagositosis, kemampuan perlekatan pada epitel saluran pernafasan, dan daya bunuh serum (Todar 2008).

Escherichia coli Penyebab Diare

Escherichia coli yang menyebabkan diare sangat sering ditemukan. Escherichia coli diklasifikasikan oleh ciri khas sifat-sifat virulensinya dan setiap grup menimbulkan penyakit melalui mekanisme yang berbeda, antara lain:

a. Escherichia coli Enteropatogenik (EPEC)

Penyebab penting diare pada bayi, khususnya di negara berkembang. Escherichia coli Enteropatogenik melekat pada sel mukosa. Akibat dari infeksi EPEC adalah diare cair yang biasanya sembuh sendiri, namun dapat juga kronis.

(23)

9 Lama diare akibat EPEC dapat diperpendek dengan pemberian anibiotik. Diare dapat terjadi pada manusia, kelinci, anjing, kucing dan kuda. Seperti ETEC (E. coli Enterotoksigenik), EPEC juga menyebabkan diare tetapi mekanisme molekular dari kolonisasi dan etiologi berbeda. Escherichia coli Enteropatogenik memiliki sedikit fimbria, toksin ST (stabile temperature) dan LT (labile temperature). Escherichia coli Enteropatogenik menggunakan adhesin yang dikenal sebagai intimin untuk mengikat inang. Sel EPEC invasif (jika memasuki sel inang) dan menyebabkan radang usus (Pelczar 1988; Collier 1998).

b. Escherichia coli Enterotoksigenik (ETEC)

Escherichia coli Enterotoksigenik (ETEC) merupakan penyebab “diare wisatawan” dan diare pada bayi di negara berkembang. Beberapa strain ETEC menghasilkan eksotoksin tidak tahan panas. Ketika timbul diare, pemberian antibiotik secara efektif dapat mempersingkat durasi penyakit. (Pelczar 1988; Collier 1998).

Infeksi oleh ETEC menyebabkan terjadinya diare tanpa disertai demam, dapat terjadi pada manusia, babi, domba, kambing, kuda, anjing, dan sapi. Escherichia coli Enterotoksigenik menggunakan fimbrial adhesi untuk mengikat sel-sel enterosit di usus halus. Escherichia coli Enterotoksigenik memproduksi dua protein enterotoksin yaitu LT dan ST. Enterotoksin LT mempunyai struktur dan fungsi toksin yang mirip dengan kolera, namun memiliki ukuran lebih kecil. Enterotoksin ST diproduksi oleh E. coli ETEC atrain K-99, F41 atau 978P. Enterotokson ST bekerja pada mukosa usus dengan mengaktifkan enzin adenilat siklase sehingga menyebabkan akumulasi cGMP pada sel target, elektrolit dan cairan sekresi ke lumen usus sehingga sekresi cairan menjadi berlebih. Strain ETEC tidak invasive dan tidak tinggal di dalam lumen usus (Amelia 2008; Pelczar 1988; Collier 1998).

c. Escherichia coli Enterohemoragik (EHEC)

Escherichia coli Enterohemoragik menghasilkan verotoksin, dinamai sesuai efek sitotoksiknya pada sel Vero, suatu sel hijau dari monyet hijau Afrika. Escherichia coli Enterohemoragik berhubungan dengan kolitis hemoragik, bentuk

(24)

10 diare yang berat dan dengan sindroma uremia hemolitik, suatu penyakit akibat gagal ginjal akut, anemia hemolitik mikroangiopatik, dan trombositopenia. Diare ini ditemukan pada manusia, sapi, dan kambing (Pelczar 1988; Collier 1998). d. Escherichia coli Enteroinvansif (EIEC)

Escherichia coli Enteroinvansif menyebabkan penyakit yang sangat mirip dengan Shigellosis. Penyakit ini sering terjadi pada anak-anak di negara berkembang. Escherichia coli Enteroinvansif melakukan fermentasi laktosa dengan lambat dan tidak bergerak. Escherichia coli Enteroinvansif menimbulkan penyakit melalui invasi terhadap sel epitel mukosa usus. Diare ini ditemukan hanya pada manusia (Pelczar 1988; Collier 1998).

e. E. coli Enteroagregatif (EAEC)

Escherichia coli Enteroagregatif menyebabkan diare akut dan kronik pada masyarakat di negara berkembang. Bakteri ini ditandai dengan pola khas perlekatannya pada sel manusia. Escherichia coli Enteroagregatif memproduksi hemolisin dan ST enterotoksin yang sama dengan ETEC (Pelczar 1988; Collier 1998).

Patogenisitas Escherichia coli K-99

Bakteri ETEC mengeluarkan toksin di dalam usus, yang kemudian beredar melalui pembuluh darah ke seluruh tubuh. Toksin terikat pada globotriosyl ceramide, suatu reseptor khusus yang terdapat pada sel endotel di glomerulus, ginjal. Proses ini menyebabkan terikatnya toksin pada reseptor yang menimbulkan kerusakan pembuluh darah kecil terutama pada ginjal dan usus besar (Kurniawati 2001).

Infeksi E coli pada hewan muda hampir serupa. Enterotoksigenik E. coli yang masuk melalui sistem pencernaan akan menempel pada mukosa usus halus dengan perantaraan fimbriae K-88, K-99, F41 atau P987. Tahap selanjutnya, bakteri tersebut melakukan perkembangbiakan dan memproduksi toksin. Toksin yang diproduksi ada dua macam yaitu heat stable toxin (HST) dan heat labile toxin (HLT). Kedua toksin bekerja menstimulasi sekresi cairan tubuh dan

(25)

11 elektrolit secara berlebihan. Sekresi yang terjadi lebih banyak dibandingkan dengan absorbsi cairan usus, yang berakibat pada terjadinya diare profus dan dehidrasi. Infeksi jika berlangsung berkelanjutan, dapat menyebabkan kematian pada hewan, terutama pada hewan muda (Supar 2001). Menurut Gross dan Barness (1997), faktor-faktor yang diduga berhubungan dengan virulensi Escherichia coli berhasil diidentifikasi pada hewan yang sakit, antara lain serotipe O tertentu (O1, O2, O35 dan O78), fermentasi adonitol, resistensi antibiotik, kemampuan mengikat warna congo red, plasmid berukuran besar (large plasmid), colicin V, motilitas, endotoksin, resistensi komplemen, kemampuan menginvasi sel dan jaringan dan kemampuan untuk berada dalam sirkulasi atau jaringan. Gejala Klinis Infeksi Escherichia coli

Pedet yang menderita diare kronis akibat ETEC memperlihatkan gejala klinis berupa lemah, lesu, tidak mampu berdiri, tidak mau menyusu, mukosa pucat, turgor kulit jelek, aritmia, suhu tubuh meningkat tajam dan disertai penurunan daya tahan tubuh. Kematian akan terjadi jika tidak segera dilakukan penanganan. Tingkat kematian yang tinggi dapat terjadi apabila kejadian diare berlangsung parah dan diikuti dengan septikemia dan perawatan yang buruk. Kematian yang terjadi tergantung pada hebatnya serangan yang dialami pedet (Supar et al. 2001)

Faktor individu yang mempengaruhi keparahan gejala klinis yang muncul pada sapi neonatus adalah penurunan daya tahan tubuh. Penyebab penurunan daya tahan tubuh diantaranya adalah intake pakan kurang, populasi terlalu padat, kualitas pakan/susu rendah, higiene pakan dan sanitasi kandang buruk, stres akibat suhu lingkungan, dan defisiensi antibodi maternal (Setiawan et al. 1983).

Pengobatan Escherichia coli pada Ternak

Antibiotik merupakan pilihan utama dalam pengobatan diare akibat kolibasilosis pada anak sapi dan babi. Penggunaan antibiotik diyakini dapat menghambat kerja bakteri Gram negatif seperti Escherichia coli. Akan tetapi hasil yang didapatkan kurang maksimal. Selain mortalitas pada pedet di lapangan tetap tinggi, hasil uji sensitifitas beberapa isolat ETEC terhadap produk antibiotik di

(26)

12 beberapa daerah di Jawa Barat memperlihatkan adanya resistensi terhadap beberapa macam antibiotik. Penggunaan antibiotik, selain sebagai obat, juga menyebabkan adanya residu antibiotik dalam daging dan anggota tubuh ternak lain. Oleh karena itu, pengawasan terhadap penggunaan antibiotik dalam berbagai kondisi perlu ditingkatkan, terutama pengawasan pada produk ternak sebagai bahan yang dikonsumsi manusia (Supar 2001).

Salah satu alternatif dalam pencegahan kolibasilosis pada anak sapi adalah pemberian vaksinasi pada induk dan transfer kekebalan pasif dari induk kepada anak melalui pemberian kolostrum. Menurut Tizard (2000), vaksinasi merupakan suatu tindakan memasukkan antigen yang telah dilemahkan ke dalam tubuh untuk merangsang kekebalan, yang diharapkan dapat melindungi individu terhadap infeksi yang diperoleh dari lingkungan. Sedangkan menurut Soeripto (2002), vaksinasi dinilai efektif sebagai tindakan pencegahan karena aman dari residu dan resistensi terhadap antibiotik serta biaya aplikasi yang lebih murah.

Aplikasi pemberian vaksin kepada induk sapi bunting trimester akhir dapat dilakukan secara intra-muskuler atau sub-kutan, kemudian dilakukan booster kembali pada 2 minggu sebelum induk melahirkan. Diharapkan dari vaksinasi tersebut dapat diperoleh antibodi terhadap E. coli yang dapat diturunkan kepada pedet melalui kolostrum. Hal tersebut dikarenakan kandungan IgG pada kolostrum 5 hari pertama setelah induk sapi melahirkan sangat tinggi. Anak sapi memerlukan antibodi maternal dari kolostrum induk karena tidak memiliki sistem pertahanan humoral pada saat lahir (Supar 2001).

Vaksin untuk beberapa penyakit dibutuhkan untuk meningkatkan kekebalan mukosal seperti halnya kekebalan sistemik. Penggunaan vaksin E. coli dilakukan melalui beberapa rute antara lain sub-kutan, intra-kutan, per-oral, dicampur dengan pakan, imunisasi transcutaneus, dan sistem pemberian depo terkontrol (Tizard 2000).

Terdapat dua macam vaksin, yaitu vaksin aktif dan inaktif. Vaksin aktif adalah vaksin yang mengandung antigen yang sudah dilemahkan untuk menghilangkan sifat virulensinya namun masih dalam keadaan hidup. Sedangkan vaksin inaktif adalah vaksin yang berisi antigen yang sudah inaktif (dimatikan)

(27)

13 tetapi masih memiliki sifat imunogenisitas. Isi vaksin dapat mengandung satu atau lebih antigen (monovalen atau polivalen) (Tizard 2000).

Vaksinasi atau imunisasi terbagi dalam dua macam, yaitu imunisasi aktif dan pasif. Imunisasi aktif merupakan suatu tindakan vaksinasi langsung ke dalam tubuh hewan. Sedangkan imunisasi pasif merupakan proses pemberian imunisasi pada hewan rentan infeksi dengan cara memberikan antibodi yang diperoleh dari hewan donor yang telah mengalami proses vaksinasi. Salah satu contoh dari proses ini adalah pemberian kolostrum dari induk kepada anak yang baru lahir (Tizard 2000).

Gambar 4. Vaksin E coli polivalen

Ketika vaksinasi berlangsung, vaksin yang berasal dari virus, bakteri atau organisme yang telah mati atau dalam bentuk yang sudah ‘dilemahkan’, disuntikkan ke dalam tubuh (Gambar 5, kiri). Vaksin merangsang sistem kekebalan tubuh untuk memproduksi antibodi terhadap suatu organisme (Gambar 5, tengah). Kapanpun tubuh terserang oleh kuman setelah vaksinasi, antibodi pada sistem kekebalan tubuh akan menyerang dan menghentikan infeksi (Gambar 5, kanan). Vaksin yang disuntikkan ke dalam tubuh akan memberikan reaksi tanggap kebal terhadap induk sapi (Scorvia 2009).

(28)

14 Gambar 5: Cara kerja vaksin (Sumber : www.sehatgroup.web.id ) [3 Juli 2009]

Diare

Secara klinis diare dibagi menjadi empat jenis, yaitu diare berair akut, diare berdarah akut, diare persisten dan diare dengan malnutrisi berat. Pembagian tersebut dengan mudah dapat dilakukan pada saat melakukan pemeriksaan fisik. Setiap tipe diare merefleksikan proses patologi dan perubahan fisiologis yang terjadi. Diare berair akut berlangsung selama beberapa jam hingga beberapa hari. Diare jenis ini dapat menyebabkan dehidrasi dan penurunan berat badan. Diare berdarah akut selain menyebabkan dehidrasi, juga menyebabkan kerusakan usus, sepsis, dan malnutrisi. Diare persisten berlangsung selama 14 hari atau lebih. Selain dehidrasi, diare persisten dapat juga menyebabkan terjadinya malnutrisi dan infeksi non-usus. Sedangkan diare dengan malnutrisi berat selain menyebabkan dehidrasi juga dapat menyebabkan infeksi sistemik yang berat, gagal jantung, serta defisiensi mineral dan vitamin (Daldiyono 1990)

Secara umum, diare dibagi menjadi dua kategori, yaitu diare yang disebabkan oleh ketidakseimbangan nutrisi (non-infeksius) dan diare yang disebabkan oleh infeksi mikroorganisme (infeksius). Diare non-infeksius biasanya disebabkan akibat adanya perubahan (yang mendadak) dari program pemberian pakan. Kejadian ini bisa terjadi ketika pedet yang pada awalnya mengkonsumsi susu sebagai sumber nutrisi, setelah tumbuh dewasa mulai mengkonsumsi serat kasar atau hijauan sebagai suplemen. Selain itu, diare non-infeksius bisa juga terjadi ketika dilakukan pemberian susu pengganti (CMR - Calf Milk Replacement) yang tidak sesuai takaran, terlalu dingin atau bahkan basi.

(29)

15 Meskipun seringkali tidak terlalu membahayakan dan tidak sampai menyebabkan kematian, diare non-infeksius ini (terutama pada sapi muda/pedet) dapat dengan cepat melemahkan tubuh, yang pada akhirnya dapat menyebabkan ternak menjadi rentan terhadap diare infeksius atau penyakit lain yang lebih parah (Anonim 2006b).

Diare infeksius disebabkan oleh infeksi virus, bakteri atau protozoa. Oleh sebab itu, identifikasi terhadap sumber penyebab diare merupakan sebuah langkah penting dalam membuat program pencegahan diare. Beberapa bakteri yang berperan terhadap infeksi ini berasal dari jenis E. coli, Salmonella sp, dan Clostridium sp (Anonim 2006b).

Gambar 6. Anak sapi penelitian yang terkena diare

Diare infeksius merupakan masalah yang sering terjadi, terutama pada sapi pedet. Menurut Priyadi dan Natalia (2005), dari anak sapi perah yang mengalami gejala diare, berhasil diisolasi kuman E. coli, coliform dan C. perfringens. Sedangkan menurut Aldridge et al. (1992), E. coli merupakan kuman yang paling sering diisolasi dari anak sapi yang mengalami septikemia.

Hasil pemeriksaan sampel feses anak sapi perah asal Pengalengan dan feses anak kerbau asal Bararawa dan Sapala menunjukkan bahwa Bacillus spp., E. coli dan Cl. perfringens merupakan kuman yang paling sering ditemukan pada feses hewan, tanpa menunjukkan gejala diare. Kematian pada anak kerbau akibat infeksi E. coli dapat mencapai 40,67% dan 38,09%, masing-masing di Desa Bararawa dan Sapala (Priyadi dan Natalia 2005)

(30)

16 Kolostrum Sapi

Kolostrum atau susu jolong adalah susu yang dihasilkan oleh kelenjar ambing pada tahap akhir kebuntingan dan bebehapa hari setelah induk melahirkan (Anonim 2009c). Secara fisik, kolostrum berbeda dengan susu sapi, dengan warna kekuningan (kuning tua) dan konsistensi kental serta lebih lengket (Waterman 1998).

Menurut Lazzaro (2000), kolostrum mulai diproduksi pada 3-6 minggu sebelum induk sapi melahirkan (periode kering kandang). Kolostrum disimpan dalam kelenjar ambing selama 2-7 hari terakhir masa kebuntingan dan diekskresikan pada 2-3 hari pertama setelah induk sapi melahirkan (Rucketbusch et. al. 1991).

Kolostrum mengandung lebih dari 90 bahan bioaktif alami. Komponen utama dikelompokkan menjadi dua, yaitu faktor imun dan faktor pertumbuhan. Kolostrum juga mengandung berbagai jenis vitamin, mineral, dan asam amino yang seimbang. Semua unsur ini bekerja secara sinergis dalam memulihkan dan menjaga kesehatan tubuh (Rucketbusch et. al. 1991).

Menurut Blum dan Hammon (1999), kandungan asam amino essensial dan non-essensial dalam kolostrum lebih tinggi dibandingkan dengan susu biasa. Begitu pula dengan kandungan lemak, protein, Na, Cl, vitamin A, B12, E dan mineral lainnya (Waterman 1998). Kandungan nutrisi yang tinggi dalam kolostrum dapat digunakan dalam menunjang fungsi metabolisme optimal tubuh dan mendorong percepatan pertumbuhan neonatus. Kolostrum mengandung faktor pertumbuhan alami yang berfungsi untuk meningkatkan sistem metabolisme tubuh, memperbaiki sistem DNA & RNA tubuh, mengaktifkan sel limfosit T, mencegah penuaan dini, merangsang hormon pertumbuhan, membantu menghaluskan dan menyehatkan kulit, mencegah osteoporosis, memperbaiki dan meningkatkan pertumbuhan jaringan tubuh (Blum dan Hammon 1999).

Disamping sebagai faktor pertumbuhan, kolostrum sapi berfungsi juga sebagai sumber nutrisi dan faktor imun. Fungsi kolostrum bagi kekebalan anak yang baru dilahirkan adalah sebagai media transfer antibodi dari induk kepada anak (Watermann 1998).

(31)

17 Peran kolostrum dalam reaksi imun adalah menunjang metabolisme optimal tubuh dan meningkatkan kekebalan. Hal tersebut dikarenakan adanya komponen bioaktif diantaranya imunoglobulin, beberapa growth factor, seperti insulin like growth factor 1 (IGF-1) dan IGF-2, transforming growth factorbeta 2 (TGF-β2), dan faktor antimikrobial non-spesifik (lisozim, laktoferin, dan laktoperoksida) yang terakumulasi menjelang proses kelahiran anak. Growth faktor dan senyawa antimikrobal dalam kolostrum berperan dalam mengontrol proses kehidupan, merangsang perkembangan saluran pencernaan, dan menyediakan perlindungan non-spesifik melawan infeksi pada sapi neonatus (Elfstrad et. al. 2002; Reiter 1978; Odle et al. 1996 dalam Esfandiari 2005).

Salah satu hal yang membedakan kolostrum dengan susu sapi adalah tingginya kadar immunoglobulin (Ig) dalam kolostrum (Watermann 1998). Menurut Foley dan Otterbry (1978), kandungan IgG, IgM, dan IgA dalam kolostrum masing-masing sebanyak 50-200, 60-100, dan 25-85 kali susu biasa. Kolostrum mempunyai kandungan nutrisi 2 kali konsentrasi lemak, 4 kali konsentrasi protein, 4-62 kali IGF-1 dan 2-4 kali kandungan IGF-2 dibandingkan dengan susu sapi. Menurut Blum dan Hammon (2000), periode pelepasan kolostrum berakhir sekitar 1 minggu setelah induk sapi melahirkan.

Imunoglobulin pada kolostrum sapi terdiri dari tiga kelas utama yaitu IgG, IgM, dan IgA. Imunoglobulin G (IgG) merupakan immunoglobulin terbanyak dalam kolostrum sapi (Larson 1992). Imunoglobulin G terdiri dari dua macam sub-kelas yaitu IgG1 dan IgG2. Kandungan IgG1 dalam kolostrum sebanyak 80-90% (Larson 1992). Imunoglobulin G1 merupakan antibodi utama yang berperan dalam pengaturan respon kekebalan sekunder dan terlibat dalam kekebalan pasif pada anak yang baru dilahirkan (Roitt et al 1998 dalam Esfandiari 2005). Imunoglobulin G2 berperan dalam fiksasi komplemen, mediator sitokenisitas sel neutrofil PMN (polymorphonuclear) dan presipitasi antigen. Imunoglobulin A berperan melindungi permukaan selaput lendir (mukosa usus dan saluran pernafasan), menetralisir toksin dan mencegah terjadinya kontak (perlekatan antigen) dengan permukaan sel tubuh, meningkatkan sifat bakteriolitik dan meningkatkan komplemen antigen. Sementara IgM berperan dalam mekanisme

(32)

18 melawan septikemia, fiksasi komplemen dan proses aglutinasi (Larson et.al.1980 dan Roitt et al. 1998 dalam Esfandiari 2005)

Kolostrum sapi mengandung komponen utama IgG yang digunakan sebagai indikator untuk menentukan kualitas kolostrum yang diproduksi (Waterman 1998). Selain itu, kualitas imunoglobulin dalam kolostrum yang dihasilkan juga tergantung dari musim, ras sapi, umur induk, kesehatan kelenjar ambing, waktu pemerahan setelah partus, periode kering kandang dan kemampuan mengatasi infeksi oleh antigen (Aldrige et al. 1992; Arthington 1999). Menurut Waterman (1998), jumlah kolostrum yang diperlukan oleh hewan neonatus tergantung dari kualitas kolostrum yang dikonsumsi. Kolostrum mutlak diberikan kepada hewan neonatus sebagai transfer kekebalan pasif dari induk. Hal ini dikarenakan sapi neonatus tidak mendapat antibodi IgG dari induk melalui plasenta sehingga mutlak diberikan kolostrum sebagai pasokan IgG (Tizard 2000).

Absorbsi kolostrum berlangsung sangat cepat segera setelah kolostrum diberikan kepada anak neonatus. Kolostrum hanya efektif diberikan pada hewan neonatus sebelum hewan berumur 24 jam (Halliwell dan Gorman dalam Esfandiari 2005). Efisiensi penyerapan kolostrum pada anak dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya volume kolostrum yang diberikan, konsentrasi IgG dalam kolostrum, dan jumlah total imunoglobulin yang dikonsumsi (Scoot dan Fallen 1979 dalam Esfandiari 2005).

(33)

19 METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus 2007 sampai dengan September 2008. Penelitian dilaksanakan di Kandang Hewan Laboratorium Ruminansia Besar dan Laboratorium Patologi Klinik Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.

Bahan dan Alat Hewan Percobaan

Hewan percobaan yang digunakan adalah sepuluh ekor anak sapi Friesian Holstein (FH) baru lahir, sehat secara klinis, dengan bobot badan pada saat lahir berkisar antara 27-33 kg. Segera setelah lahir, anak sapi dipisahkan dari induk dan ditempatkan di kandang dengan ukuran 3 x 3 meter. Kandang yang digunakan dialasi dengan jerami kering.

Alat dan Bahan

Bahan yang diperlukan pada penelitian ini adalah bakteri E. coli K-99 hidup, feses, kantung plastik dan sarung tangan. Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah refrigerator dan termos es.

Metode Penelitian

Vaksinasi Induk Sapi Bunting

Sepuluh ekor induk sapi FH bunting trimester akhir digunakan sebagai donor kolostrum. Vaksin yang digunakan adalah vaksin E. coli polivalen inaktif yang mengandung antigen O157 dan O9, 101, enterotoksigenik E. coli K-99 dan F41. Vaksinasi diberikan secara intramuskuler dengan dosis 5 ml per ekor. Vaksinasi dilakukan tiga kali yaitu pada 8, 4, dan 2 minggu sebelum induk sapi diperkirakan akan melahirkan.

(34)

20 Koleksi Kolostrum Sapi

Kolostrum dari induk sapi yang telah divaksin dikoleksi segera setelah masing-masing induk melahirkan. Kolostrum dari masing-masing induk kemudian di-pool sesuai dengan waktu pemerahan, kemudian dimasukkan ke dalam kemasan kantung plastik dan diberi label sebelum diberikan kepada sapi neonatus. Pemberian Kolostrum/Susu Sapi

Sapi neonatus dibagi ke dalam dua kelompok perlakuan yaitu kelompok yang diberi kolostrum (kelompok kolostrum) dan kelompok yang hanya diberi susu sapi (kelompok non-kolostrum). Kolostrum/susu diberikan kepada masing-masing sapi neonatus segera setelah lahir sebanyak 10%/KgBB, setiap 12 jam selama tiga hari. Setelah itu sapi neonatus semua kelompok perlakuan diberi susu sapi.

Uji tantang dengan Escherichia coli K-99

Uji tantang dilakukan per-oral dengan spoit menggunakan bakteri E. coli K-99 hidup sebanyak 5x1010 CFU (coloni forming unit) pada semua kelompok perlakuan. Uji tantang dilakukan pada saat anak sapi berumur 12 jam. Pengambilan Sampel Feses

Pengambilan sampel feses dilakukan dengan penampungan menggunakan kantung plastik. Pengambilan sampel feses dilakukan sebelum dan sesudah dilakukan uji tantang, setiap 12 jam selama satu minggu.

Pemeriksaan Sampel Feses

Sampel feses yang telah ditampung diamati secara makroskopis, yang meliputi warna, bau, dan konsistensi. Dilakukan pula pengamatan terhadap frekuensi defekasi, onset dan durasi diare, tingkat keparahan dan identifikasi bakteri dalam feses. Penilaian terhadap tingkat keparahan dilakukan melalui pemberian skoring menurut Meyers (1981), dengan kriteria sebagai berikut : normal (-) dengan feses masih berbentuk; (+) diare muncul dengan bentuk feses

(35)

21 lembek dan berlangsung 24 jam setelah uji tantang; (++) diare watery dengan disertai dehidrasi; (+++) diare watery dengan dehidrasi parah, anak sapi dalam keadaan lemah; dan (++++) anak sapi mengalami septikemia, dan akhirnya mengalami kematian. Pemeriksaan bakteriologi dilakukan untuk identifikasi terhadap bakteri E. coli K-99.

Analisis Data

(36)

22 HASIL DAN PEMBAHASAN

Diare adalah buang air besar dengan frekuensi yang tidak normal (meningkat) dan konsistensi tinja yang lebih lembek atau cair (Nelson et al. 1969; Morley 1973 dalam Suharyono 1985). Menurut Morley (1973) dalam Suharyono (1985), diare selalu dikaitkan dengan gastroenteritis karena umumnya diare muncul sebagai manifestasi adanya gangguan pada saluran gastrointestinal.

Diare akibat kolibasilosis pada sapi neonatus di Indonesia umumnya disebabkan oleh Enterotoksigenik Escherichia coli (ETEC) K-99 yang mempunyai antigen perlekatan fimbriae atau pili K-99(F5) (Supar 1996a; Priyadi dan Natalia 2005). Supar (2001) melaporkan bahwa kejadian diare pada sapi neonatal yang disebabkan oleh ETEC K-99 bersifat non-hemolitik dengan tipe non-inflamasi. Karakteristik diare ini adalah pengeluaran cairan secara cepat, tidak ada pendarahan dalam cairan diare dan diikuti dengan sedikit atau tidak ada demam. Gejala umum yang muncul adalah sakit perut, rasa tidak enak badan (malaise), mual dan muntah, nyeri perut sampai kram. Diare dan gejala lain yang mengikutinya akan berhenti secara spontan setelah 1-3 hari (Evans and Evans 2001 dalam Kifly 2009).

Kolibasilosis mengakibatkan dehidrasi akibat kehilangan cairan dan elektrolit secara cepat, yang dapat mengakibatkan shock dan kematian. Gejala klinis diare berupa feses sangat encer, bewarna putih atau profus dan berbau busuk. Hewan penderita mengalami penurunan nafsu makan dan minum (Hasnawi 2008). Derajat dehidrasi pedet dapat diperkirakan dengan melihat gejala yang tampak pada pedet. Derajat dehidrasi dapat diprediksi dengan melakukan uji elastisitas kulit, yaitu dengan melakukan penarikan/pencubitan kulit di daerah leher. Kulit pada pedet yang normal akan kembali seperti ke keadaan semula dalam waktu kurang dari 2 detik (Anonim 2009c).

Menurut Sudarjat (2009), feses hewan yang mengalami diare akan mengalami perubahan dibandingkan dengan feses hewan sehat. Mencret atau diare merupakan gejala klinis yang menunjukkan adanya perubahan fisiologis atau patologis di dalam tubuh terutama dalam saluran pencernaan. Gejala yang bisa

(37)

23 diamati meliputi perubahan konsistensi, warna, bau, dan keberadaan benda atau bahan yang terbawa di dalam feses pada waktu feses keluar.

Morfologi Feses (Warna, Bau, Bentuk dan Konsistensi)

Perubahan makroskopis feses pada masing-masing perlakuan menunjukkan adanya variasi perubahan pada semua kelompok perlakuan. Morfologi feses sapi neonatus sebelum dan sesudah uji tantang dapat dilihat pada Tabel 1, 2, dan 3

Tabel 1. Perubahan warna feses pada masing-masing perlakuan sebelum dan sesudah uji tantang dengan E. coli K-99

No Waktu pengambilan Kolostrum Non-kolostrum (jam)

1 0 Hijau Hitam Hijau Hitam

2 12 Kuning Kehijauan Coklat Tua

3 24 Kuning Kehijauan Kuning

4 36 Kuning Kecoklatan Kuning

5 48 Kuning Kuning

6 60 Kuning Kuning Kecoklatan

7 72 Kuning Kecoklatan Kuning

8 96 Kuning Kuning Kecoklatan

9 120 Kuning Kuning Kecoklatan

10 144 Kuning Kuning

11 168 Coklat Kuning Kecoklatan

Morfologi feses pada kelompok non-kolostrum dan kolostrum pada 0 jam (sebelum uji tantang) memperlihatkan feses berwarna hijau kehitaman seperti ter dengan bau tidak menyengat dan konsistensi mirip pasta. Dua belas jam setelah uji tantang, perubahan warna feses pada kelompok non-kolostrum mulai terlihat, dimana warna feses berubah menjadi coklat tua. Perubahan warna menyolok terjadi pada 60 sampai 168 jam sesudah uji tantang, dimana feses berubah menjadi kuning kecoklatan. Perubahan warna feses pada kelompok kolostrum mulai terjadi pada 12 jam sesudah uji tantang berupa kuning kehijauan. Warna feses kemudian berubah menjadi kuning pada 48-144 jam, dan menjadi coklat pada 168

(38)

24 jam sesudah uji tantang. Perubahan bau feses terjadi pada kedua kelompok perlakuan, mulai 12 jam sampai dengan 168 jam sesudah uji tantang.

Tabel 2. Perubahan bau feses pada masing-masing perlakuan sebelum dan sesudah uji tantang dengan E. coli K-99

No Waktu pengambilan Kolostrum Non-kolostrum (jam)

1 0 Tidak menyengat Tidak menyengat

2 12 Tidak menyengat Tidak menyengat

3 24 Menyengat Menyengat 4 36 Menyengat Menyengat 5 48 Menyengat Menyengat 6 60 Menyengat Menyengat 7 72 Menyengat Menyengat 8 96 Menyengat Menyengat 9 120 Menyengat Menyengat 10 144 Menyengat Menyengat 11 168 Menyengat Menyengat

Perubahan konsistensi feses yang menyolok terjadi pada kelompok non-kolostrum, dimana konsistensinya berubah menjadi cair. Perubahan terjadi pada 12-72 jam sesudah uji tantang. Setelah itu (96 jam-168 jam sesudah uji tantang) konsistensi feses berubah menjadi lembek. Konsistensi feses pada kelompok kolostrum tidak terlalu mengalami perubahan (lembek).

Tabel 3. Perubahan konsistensi feses pada masing-masing perlakuan sebelum dan sesudah uji tantang dengan E. coli K-99

No Waktu pengambilan Kolostrum Non-kolostrum (jam) 1 0 Pasta Pasta 2 12 Lembek Cair 3 24 Lembek Cair 4 36 Lembek Cair 5 48 Lembek Cair 6 60 Lembek Cair 7 72 Lembek Cair 8 96 Lembek Lembek 9 120 Lembek Lembek 10 144 Lembek Lembek 11 168 Lembek Lembek

(39)

25 Feses berwarna hijau kehitaman seperti ter dengan bau tidak menyengat dan konsistensi mirip pasta yang keluar pada 0 jam (sebelum uji tantang) pada kedua kelompok perlakuan bukan merupakan suatu kelainan. Feses dengan karakteristik tersebut merupakan mekonium. Menurut Febriyanti (2009), mekonium adalah feses yang pertama kali dikeluarkan setelah seekor hewan lahir. Mekonium merupakan kombinasi dari rambut, garam empedu, enzim pankreas, dan getah kelenjar usus, feses janin, dan air ketuban. Mekonium merupakan bahan yang kental, lengket dan berwarna hijau kehitaman seperti ter. Secara normal, mekonium keluar dalam waktu kurang dari 24 jam setelah anak dilahirkan. Setelah itu feses berubah warna menjadi kuning cerah, tidak terlalu berbau dengan konsistensi seperti pasta (Sudarjat 2009). Menurut Rucketbusch (1991), pemberian kolostrum kepada hewan neonatus dapat membantu keluarnya mekonium. Selain sebagai penyedia antibodi, kolostrum bekerja juga sebagai laksansia.

Warna feses kuning kehijauan menandakan terjadinya perubahan fisiologis pada saluran pencernaan anak sapi tersebut. Warna kuning kecoklatan dan coklat menandakan adanya infeksi pada salauran pencernaan bagian depan oleh bakteri, sedangkan warna kuning kemerahan menandakan terjadi infeksi pada intestin bagian belakang. Warna coklat diindikasikan sebagai hasil sisa infeksi yang tertahan, dan akhirnya dikeluarkan (Sudarjat 2009).

Feses yang berwarna merah dan hitam menunjukkan telah terjadi infeksi di dalam tubuh. Infeksi yang terjadi di dalam tubuh biasanya disebabkan oleh bakteri, protozoa, parasit darah atau virus. Jika disertai adanya lendir yang berbau amis kemungkinan disebabkan oleh protozoa dan parasit darah (Sudarjat 2009).

Perubahan bau feses terjadi pada semua kelompok perlakuan, dan terjadi dalam waktu 24 jam sesudah uji tantang. Menurut Sudarjat (2009), feses yang berbau busuk menunjukkan adanya infeksi oleh bakteri, protozoa atau parasit darah.

Perubahan konsistensi pada feses sering dihubungkan dengan kejadian diare pada anak sapi. Perubahan konsistensi dari padat menjadi lembek atau cair menandakan terjadinya diare akibat infeksi bakteri seperti E. coli (Siregar 2000). Anonim (2009c) melaporkan bahwa feses yang cair atau berair selalu abnormal

(40)

26 dan dipertimbangkan sebagai diare, dan jika disertai dengan lendir dalam feses bisa disebabkan karena infeksi oleh parasit ataupun luruhan epitel mukosa usus halus.

Kejadian diare yang berlangsung lama pada kelompok non-kolostrum menyebabkan terjadinya penurunan kondisi kesehatan berupa kelemahan. Anak sapi terlihat sempoyongan, susah untuk berdiri, cenderung berbaring, dan nafsu makan menurun. Kematian terjadi pada satu ekor sapi neonatus dari kelompok non-kolostrum.

Frekuensi Defekasi, Durasi dan Onset Diare, Tingkat Keparahan dan Identifikasi Bakteri

Frekuensi Defekasi

Tabel 4 memperlihatkan frekuensi defekasi, durasi dan onset diare pada sapi neonatus semua kelompok perlakuan sesudah uji tantang dengan E. coli K-99. Frekuensi defekasi adalah jumlah peristiwa keluarnya feses dalam selang waktu yang ditentukan. Tabel 4 memperlihatkan rataan frekuensi diare pada sapi neonatus semua kelompok perlakuan sesudah uji tantang dengan E. coli K-99. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa frekuensi diare pada kelompok non-kolostrum lebih tinggi (9.4 ± 3.9 kali/12 jam) dibandingkan dengan kelompok kolostrum (7.0 ± 3.5kali/12 jam).

Tabel 4. Frekuensi defekasi , durasi dan onset diare akibat E. coli ETEC K-99 pada sapi neonatus semua kelompok perlakuan sesudah uji tantang dengan E. coli K-99

No Parameter Kolostrum Non-kolostrum

1 Frekuensi (...x /12 jam) 7.0 ± 3.5 9.4 ± 3.9 2 Durasi (jam) 101.0 ± 53.9 102.2 ± 57.1 3 Onset (jam) 15.5 ± 10.6 19.2 ± 14.9

Rataan frekuensi defekasi seperti yang diperlihatkan pada Tabel 4 menunjukkan bahwa frekuensi defekasi lebih sering terjadi pada kelompok non-kolostrum dibandingkan dengan kelompok non-kolostrum. Frekuensi defekasi

(41)

27 tertinggi pada penelitian ini terjadi pada kelompok non-kolostrum, sedangkan frekuensi defekasi terendah terjadi pada 1 ekor sapi neonatus kelompok kolostrum. Grafik rataan frekuensi defekasi pada semua kelompok perlakuan sebelum dan sesudah uji tantang dengan E. coli ETEC K-99 dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 7. Rata-rata frekuensi defekasi pada sapi neonatus kelompok kolostrum dan non-kolostrum sesudah uji tantang dengan E. coli K-99.

Frekuensi defekasi menunjukkan seberapa sering respon dari individu terhadap infeksi E. coli. Menurut Sudarjat (2009), semakin sering frekuensi sekresi feses semakin terlihat gejala diare pada hewan. Menurut Reither (1978) dan Odle et al (1996) dalam Esfandiari 2005, dalam kolostrum terdapat senyawa antimikrobial yang berperan menyediakan perlindungan non-spesifik melawan infeksi bagi sapi neonatus. Menurut Waterman (1998), kolostrum sapi mengandung komponen utama berupa imunoglobulin Gamma (IgG) yang menentukan kualitas dari kolostrum yang diproduksi, dan berperan menyediakan perlindungan spesifik bagi sapi neonatus.

Diare bukan merupakan penyakit, melainkan suatu gejala yang mengiringi adanya penyakit atau gangguan pada tubuh. Secara normal hewan melakukan defekasi sekali sehari. Perubahan yang terjadi berupa peningkatan frekuensi defekasi, volume, dan konsistensi feses (mulai dari yang lembek hingga cair) dan dapat disertai dengan ada tidaknya perubahan warna feses merupakan gejala umum diare (Bunawan 2009).

(42)

28 Durasi Diare

Durasi diare adalah lamanya kejadian diare yang terjadi dalam selang waktu yang ditentukan (pertama kali gejala diare muncul sampai dengan hilangnya gejala diare). Rataan durasi diare pada masing-masing sapi neonatus kelompok perlakuan sesudah uji tantang dapat dilihat pada Gambar 2 dan Tabel 4.

Gambar 8. Rata-rata durasi diare pada sapi neonatus kelompok kolostrum dan non- kolostrum sesudah uji tantang dengan E. coli K-99.

Hasil pengamatan durasi diare menunjukan bahwa rata-rata durasi diare paling lama terjadi pada anak sapi kelompok non-kolostrum. Kelompok kolostrum menunjukkan rataan durasi diare sebesar 101 ± 53.861 jam, sedangkan pada kelompok perlakuan non-kolostrum menunjukkan durasi diare sebesar 102.2 ± 57.081 jam.

Menurut Neill (2009), durasi diare yang berkepanjangan dapat menunjukkan tingkat keparahan. Keparahan yang terjadi dapat berupa kehilangan cairan dalam jangka waktu panjang yang berakibat pada dehidrasi dan gangguan keseimbangan cairan tubuh. Sedangkan menurut Tizard (2000), pemberian kolostrum dapat meningkatkan antibodi maternal tubuh sehingga dapat melawan serangan antigen dari luar. Dengan demikian, pemberian kolostrum dapat meningkatkan ketahanan tubuh terhadap infeksi E. coli, sehingga diare yang dialami lebih singkat.

(43)

29 Onset Diare

Onset diare adalah munculnya gejala diare pertama kali sesudah anak sapi ditantang dengan E. coli. Gambar 3 memperlihatkan onset diare pada kelompok kolostrum lebih cepat terjadi dibandingkan dengan kelompok non-kolostrum. Beberapa sapi neonatus kelompok kolostrum memiliki onset diare dibawah rata-rata, yaitu pada 1, 12, dan 12,5 jam sesudah uji tantang. Sedangkan pada kelompok non-kolostrum terdapat dua ekor sapi neonatus dengan onset diare 6 jam. Sapi yang memiliki onset paling tinggi terjadi pada perlakuan non-kolostrum yaitu pada 42 jam sesudah uji tantang. Gambar 3 memperlihatkan onset diare pada masing- masing anak sapi perlakuan.

Gambar 9. Rata-rata onset diare pada kelompok kolostrum dan non-kolostrum sesudah uji tantang dengan E. coli K-99.

Miller (2009) melaporkan bahwa onset diare pada anak sapi penderita diare akibat E. coli umumnya terjadi dalam kurun waktu 24 jam pertama setelah kelahiran. Diare tersebut berlangsung sampai anak sapi berumur 14 hari. Onset diare pada penelitian ini terjadi lebih cepat, dimana gejala diare muncul kurang dari 24 jam sesudah uji tantang.

Menurut Thived et al. 1980, Matte et al. 1982 dalam Esfandiari (2005), kemampuan penyerapan makromolekul dapat berkurang segera setelah hewan lahir. Sedangkan Tizard (2000) melaporkan bahwa penyerapan kolostrum efektif pada 24 jam pertama setelah kelahiran. Dengan demikian, dapat diperkirakan onset tejadi karena penyerapan kolostrum tidak maksimal atau bakteri E. coli

(44)

30 berkembang pesat dalam tubuh sapi neonatus kelompok kolostrum sehingga menimbulkan reaksi cepat terhadap infeksi. Kegagalan dalam proses transfer pasif imunoglobulin dalam kolostrum dapat disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain:

1. kegagalan produksi, yaitu rendahnya kualias dan kuantitas kolostrum yang dihasilkan induk,

2. kegagalan ingesti yang disebabkan metode pemberian kolostrum yang buruk atau asupan kolostrum yang tidak mencukupi,

3. kegagalan absorbsi akibat penyerapan IgG pada anak neonatus yang tidak efisien.

Tingkat Keparahan dan Identifikasi Bakteri

Tingkat keparahan diare sapi neonatus semua kelompok perlakuan dapat dilihat pada Tabel 5. Anak sapi kelompok non-kolostrum mengalami tingkat keparahan yang lebih tinggi, yang terjadi pada sapi neonatus dengan kode K4 dan K5. Anak sapi K4 memperlihatkan gejala klinis tidak mau minum, lesu, gelisah, sangat lemah, sempoyongan, tidak mampu berdiri, dan dehidrasi yang parah. Kondisi demikian terus berlanjut, dan berakibat anak sapi tidak tertolong (mengalami kematian) pada tiga hari sesudah uji tantang. Gejala dehidrasi parah juga teramati pada sapi neonatus K5. Kondisi hewan sangat lemah, hewan lebih banyak berbaring, lesu dan tidak mau minum susu. Identifikasi bakteri dalam feses sapi neonatus semua kelompok perlakuan menunjukkan hasil positif adanya E. coli K-99.

Kemampuan E. coli dalam menimbulkan keparahan diare tergantung dari faktor-faktor virulensi yang dimiliki E.coli patogenik (Kifly 2009). Koliseptikemia merupakan penyakit yang cepat menyebar dan paling umum terjadi di peternakan ruminansia. Koliseptikemia terjadi jika E.coli masuk ke dalam sirkulasi darah dan menginfeksi berbagai jaringan melalui lesi pada usus atau saluran pernafasan yang ditimbulkan oleh berbagai sebab. Gejala yang ditimbulkan pada penyakit ini disebabkan toksin yang dikeluarkan oleh bakteri akibat pertumbuhan dan multiplikasi (McMullin 2004, Sauvani 2008 dan Tabbu 2000 dalam Kifly 2009).

(45)

31 Tabel 5. Tingkat keparahan diare pada sapi neonatus kelompok kolostrum dan non-

kolostrum sesudah uji tantang dengan E. coli K-99

Kolostrum Non-Kolostrum

No Kode Tingkat Keparahan Kode Tingkat Keparahan

1 K1 + NK1 ++ 2 K2 + NK2 ++ 3 K3 + NK3 ++++ 4 K4 + NK4 +++ 5 K5 ++ NK5 ++

Peranan kolostrum dalam penelitian ini diharapkan dapat menyediakan antibodi bagi anak yang baru dilahirkan. Peranan yang paling penting dari unsur kolostrum adalah imunoglobulin (McFadden 1997 dalam Esfandiari 2005). Kolostrum sapi memiliki kandungan nutrisi dan IgG yang jauh lebih besar dibandingkan dengan susu sapi segar ( Lazzaro 2000). Menurut laporan Folley dan Otterby (1978) dalam Esfandiari (2005), kandungan immunoglobulin dalam kolostrum sapi jauh lebih tinggi (6%) dibandingkan dengan susu sapi segar (0,09%). Menurut Subowo (1993), imunoglobulin merupakan molekul glikoprotein yang terdiri dari komponen polipeptida dan karbohidrat. Komponen polipeptida dalam imunoglobulin memiliki hampir semua sifat antibodi dan memiliki kemampuan spesifik mengikat antigen.

Menurut Perino et al (1993) dalam Esfandiari (2005), transfer pasif imunoglobulin kepada anak melalui kolostrum memegang peranan penting dalam mempengaruhi kesehatan dan daya tahan anak sapi pada awal kehidupan. Kekebalan pasif ini akan tercapai apabila kolostrum yang digunakan mengandung sejumlah besar IgG yang diberikan kepada anak neonatus beberapa jam setelah kelahiran. Sedangkan menurut Rogers (1999) dalam Esfandiari (2005), faktor utama keberhasilan transfer pasif adalah umur pada saat pertama kali mengkonsumsi kolostrum dan kandungan antibodi dalam kolostrum yang dikonsumsi anak sapi.

(46)

32 SIMPULAN DAN SARAN

SIMPULAN

1. Anak sapi semua kelompok perlakuan mengalami diare sesudah uji tantang dengan E. coli K-99,

2. Kelompok anak sapi non-kolostrum memperlihatkan frekuensi defekasi lebih tinggi, konsistensi feses lebih cair, durasi lebih lama, dan menunjukkan gejala klinis diare yang lebih parah dibandingkan dengan kelompok kolostrum,

3. Kolostrum dari induk sapi yang divaksin dengan E. coli polivalen mampu menurunkan tingkat keparahan diare yang diakibatkan oleh infeksi E. coli K-99.

SARAN

1. Pemberian kolostrum dari induk sapi yang divaksin dapat digunakan sebagai salah satu alternatif pengendalian kejadian diare akibat kolibasilosis pada sapi neonatus,

2. Perlu dilakukan vaksinasi pada induk sapi bunting untuk mendapatkan kolostrum berkualitas yang mengandung antibodi terhadap E. coli K-99, sehingga dapat digunakan sebagai transfer kekebalan pasif dari induk kepada sapi neonatus untuk pengendalian kejadian kolibasilosis.

(47)

33 DAFTAR PUSTAKA

Aldridge BM, Garry FB and Adams R. 1992. Neonatal septicaemia in calves. JAVMA. 203(9): 1324 – 1329.

Amelia R. 2008. Jenis dan Patogenesitas Mikroorganisme Bakteri Penyebab Diare. Makalah Seminar. http://www.scribd.com/doc/9354029/Makalah-Jenis-dan-Patogenesis-MikroorganismeParasit-Penyebab-Diare.

[30 November 2009]

Anonim. 2006a. Pengobatan Diare yang Tepat. http://www.mediacastore.com. [11 Februari 2009]

Anonim. 2006b. Penyebab Diare dan Gejala Diare. http://www.mediacastore.com. [11Februari 2008]

Anonim. 2007. Ecsherichia Coli. http://www.wikipedia.com/ images.[ 14 Mei 2009].

Anonim. 2009a. Kamus Online Indonesia.

http://id.w3dictionary.org/index.php?q=onset [7 Agstus 2009].

Anonim. 2009b. Kolostrum dan Faktor Pertumbuhan Tubuh. http://id.wikipedia/wiki/kolostrum [3 agustus 2009]

Anonim. 2009c. Tanda-Tanda Klinis Diare Pada Hewan Kesayangan. www.anjingkita.com [ 11 Aguatus 2009]

Arthington J. 1999. Colostrum Management in newborn calves. The Florida Cattleman and Livestock Journal.

Blakely F dan Bade N. 1998. Friesian Holstein. The Journal of Biology. http://pdfdatabase.com/index.php?q=sapi+fh. [3 November 2009]

Blum JW, Hammon HM. 1999. Free Amino acid in plasmaof neonatal calves influenced by feeding colostrums for different durations or by feeding only milk replacer. J Anim Nutrition 82: 192-204

Bunawan A. 2009. Diare pada Hewan kesayangan http://www.pietklinik.com/wmview.php?ArtID=26 [7 Aguatus 2009] Collier L.1998. Microbiology and Microbial Infections. Edisi 9. 935 – 939.

Oxford. University Press, Inc.

Cowan and Steel. 1974. Manual for Identification of Medical Bacteria. Australia. Cambridge University press.

(48)

34

Daldiyono. 1990. Diare dalam Sulaiman A, Daldyono. Akbar N (ed). Gastroenterologi Hepatologi. Infomedika Jakarta.

Elfstrad L, Manson HL, Paulson M, Nyberg L, Akesson B. 2002. Immunoglobulins, groeht factor, and growth horhormon in bovine colostrums and the effect proseccing. International Dairy Journal 12: 879-887.

Esfandiari A. 2005. Studu Kinerja Kesehatan Anak Kambing Pernakan Etawah (PE) Neonatus Setelah Pemberian Berbagai Sedissn Kolostrum. Disertasi. Bogor ;Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Foley JA, Otterbry DE. 1978. Availity, storage, treatment, composition, and feeding value of surplus colostrums. J Dairy sci 61:1033-1060.

Febriyanti P. 2009. Sindrona Aspirasi Mekonium Pada Bayi. http://balipost.com/mediadetail.php?module=detailberitaindex&id=6308 [18 Agustus 2009].

Gross WB dan HT Barnes. 1997. Colibacilosis in Deseases of Poultry. Ed ke 10. Calnek et.al.editor.USA. Loa Univ Pr.

Hendarwanto. 1996. Diare akut karena infeksi dalam : Suyono S, Waspaji S (ed) Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam I. Balai Penerbit FKUI.Jakarta.

Hasnawi. 2008. Penyakit-penyakit Saluran Pencernaan Pedet. http:// disnak.sumbarprov.go.id/index.php?option=com.

Hidayat A. 2009. Colibasilosis. http://www.mensana-id.com [11 juni 2009] Imron M. 2008. Penanganan Ternak Pedet.

http://betcipelang.info/content/view/65/86/ [28 Juli 2009]

Iswandi. 1993. Analisa Escherechia Coli Pada Feses Sapi Pedaging. Jurnal Ilmiah. http://digilib.sith.itb.ac.id [ 16 juli 2008]

Johnson EA. 2007. Escherichia Coli. http://www.wikipedia.com/ images.[ 14 Mei 2009].

Karuniawati A. 2001. Waspadai Infeksi "E Coli" . Jarkarta. Kompas 8 November 2001 diunduh dari www.gizi.net.

Kristiyanti. 2008. Deteksi Kebuntingan dan Profil Esterus Pada Induk Sapi Perah. Tesis. Surabaya. Universitas Airlangga

Gambar

Gambar 1. Induk Sapi Friesian Hoelstein Penelitian
Gambar  2.  Perbandingan proporsi lambung ruminansia sejak lahir hingga dewasa             (sumber : Leek and Duke dalam Esfandiari 2005)
Gambar 3. Morfologi Escherichia coli  (Sumber. http://commons.wikimedia.org)         [30 April 2008]
Gambar 4. Vaksin E coli polivalen
+7

Referensi

Dokumen terkait

bahwa dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 180/KMK.01/2009 tanggal 12 Mei 2009 telah diatur pendelegasian sebagian wewenang kepada para pejabat eselon I di

Oleh sebab itu kebiasaan yang dibawanya sejak kecil, nilai yang dianut, sikap bawaan seseorang sangat mempengaruhi motivasinya; (b) Tingkat Pendidikan; guru yang

Penyusunan seri Buku Saku Status Merkuri pada Sektor Pertambangan Emas Skala Kecil di Indonesia ini merupakan kali pertama Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan selaku

Perlakuan hidrolisis asam pada fraksi air daun mengkudu dan batang brotowali dapat meningkatkan aktivitas penangkapan radikal DPPH yang ditunjukkan pada nilai

KBM sebagai sebuah bentuk interaksi antara tutor dan peserta tutorial (mahasiswa) serta antar peserta yang terkait dengan kegiatan belajar mengajar, membentuk jejaring sosial

dengan TG-DTA tersebut, dapat diketahui pengaruh konsentrasi NaCl terhadap perubahan berat total, titik lebur dan fenomena yang terjadi selama proses pemanasan / peleburan garam

Salah satu penyebab pitting korosi terjadi diakbatkan karena kesalahan pemilihan elektroda, elektroda yang memiliki tensile strangth lebih besar dari pada tensile strangeth

Fenomena perubahan yang menonjol adalah didirikannya bangunan rumah tinggal di tengah-tengah perkebunan yang bersifat permanen dan modern seperti rumah tinggal di kota yang