• Tidak ada hasil yang ditemukan

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Dasar Wilayah dan Kawasan Perdesaan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Dasar Wilayah dan Kawasan Perdesaan"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Dasar Wilayah dan Kawasan Perdesaan

Menurut Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, pengertian wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur yang terkait yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan atau aspek fungsional. Menurut Rustiadi, et al. (2011) wilayah dapat didefinisikan sebagai unit geografis dengan batas-batas spesifik tertentu dimana komponen-komponennya memiliki arti di dalam pendeskripsian perencanaan dan pengelolaan sumberdaya pembangunan. Batasan wilayah tidaklah selalu bersifat fisik dan pasti tetapi seringkali bersifat dinamis. Dengan demikian istilah wilayah menekankan interaksi antar manusia dengan sumberdaya-sumberdaya lainnya yang ada di dalam suatu batasan unit geografis tertentu.

Menurut Hagget et al. (1977) dalam Rustiadi et al. (2011), konsep wilayah yang paling klasik mengenai tipologi wilayah dikelompokan ke dalam tiga kategori, yaitu: (1) wilayah homogen (uniform/homogenous region), (2) wilayah nodal (nodal region), dan (3) wilayah perencanaan (planning region atau programming region). Sejalan dengan pendapat tersebut, Glason (1974) dalam Tarigan (2005), mengklasifikasikan region/wilayah berdasarkan fase kemajuan perekonomian, yaitu : (1) fase pertama yaitu wilayah formal yang berkenaan dengan keseragaman/homogenitas, yaitu suatu wilayah geografik yang seragam menurut kriteria tertentu, seperti keadaan fisik geografi, ekonomi, sosial dan politik, (2) fase kedua yaitu wilayah fungsional yang berkenaan dengan koherensi dan interdependensi fungsional, saling hubungan antar bagian-bagian dalam wilayah tersebut yang terkadang juga disebut wilayah nodal atau polarized region dan terdiri dari satuan-satuan yang heterogen, seperti desa-kota yang secara fungsional saling berkaitan, (3) fase ketiga yaitu wilayah perencanaan yang memperlihatkan koherensi atau kesatuan keputusan-keputusan ekonomi.

Dalam Undang-undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang disebutkan kawasan perdesaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama pertanian, termasuk pengelolaan sumberdaya alam dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perdesaan dan pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial dan kegiatan ekonomi. Dengan kondisi demikian, strategi pembangunan bagaimana yang mampu menjawab tantangan pembangunan perdesaan, sehingga mampu mengangkat kondisi kawasan ini untuk maju dan seimbang dengan kawasan perkotaan belum terjawab secara sempurna. Pembangunan perdesaan selama orde baru yang identik dengan pembangunan padi, secara keseluruhan telah mendudukkan posisi petani sebagai salah satu alat (obyek) untuk menyukseskan skenario besar pembangunan pertanian, khususnya untuk mencapai swasembada beras. Untuk mendukung pembangunan pertanian di era orde baru dilaksanakan berbagai program baik yang sifatnya fisik: pembangunan irigasi, jalan, pasar, dan lain-lain, maupun pembangunan sumberdaya manusia dan kelembagaan di perdesaan (Rustiadi dan Hadi, 2006).

Pembangunan sektor pertanian dan wilayah perdesaan sekarang dianggap sangat penting, karena apabila pembangunan sektor ini di wilayah tersebut

(2)

menjadi tidak berhasil dikembangkan, terutama dalam jangka menengah dan jangka panjang, dapat memberi dampak negatif terhadap pembangunan nasional keseluruhannya, berupa terjadinya kesenjangan yang semakin melebar antar wilayah dan antar kelompok tingkat pendapatan. Pada gilirannya keadaan ini menciptakan ketidakstabilan (instabillity) yang rentan terhadap setiap goncangan yang menimbulkan gejolak ekonomi sosial yang dapat teriadi secara berulang ulang (Anwar dan Rustiadi, 1999).

2.2 Konsep Perencanaan Pembangunan Wilayah

Perencanaan merupakan kegiatan yang sering dilakukan oleh berbagai pihak, baik perorangan maupun suatu organisasi. Perencanaan adalah suatu aktifitas yang dibatasi oleh lingkup waktu sehingga diartikan sebagai suatu kegiatan terkoordinasi untuk mencapai suatu tujuan tertentu di dalam waktu tertentu. Untuk memahami kegiatan yang dilakukan dalam perencanaan, sangat bervariasi tergantung dari kompleksitas masalah dan tujuan yang ingin dicapai.

Konsep perencanaan secara sederhana menurut Tarigan (2005) adalah menetapkan suatu tujuan dan memilih langkah-langkah yang diperlukan untuk mencapai tujuan tersebut. Selanjutnya secara lebih lengkap Tarigan (2005) memberikan pengertian bahwa perencanaan berarti mengetahui dan menganalisis kondisi saat ini, meramalkan perkembangan berbagai faktor yang tidak dapat di kontrol (noncontrolable) namun relevan, memperkirakan faktor-faktor pembatas, menetapkan tujuan dan sasaran yang diperkirakan dapat dicapai, serta mencari langkah-langkah untuk mencapai tujuan tersebut. Menurut Kay dan Alder (1999) dalam Rustiadi et al. (2011) perencanaan adalah suatu proses menentukan apa yang ingin dicapai di masa yang akan datang serta menetapkan tahapan-tahapan yang dibutuhkan untuk mencapainya. Dengan demikian proses perencanaan dilakukan dengan menguji berbagai arah pencapaian serta mengkaji berbagai ketidakpastian yang ada, mengukur kemampuan (kapasitas) kita untuk mencapainya kemudian memilih arah-arah terbaik dan memilih langkah-langkah untuk mencapainya.

Pembangunan secara filosofis dapat diartikan sebagai upaya yang sistematik dan berkesinambungan untuk menciptakan keadaan yang dapat menyediakan berbagai alternatif yang sah bagi pencapaian aspirasi setiap warga yang paling humanistik sedangkan UNDP mendefinisikan pembangunan dan khususnya pembangunan manusia sebagai suatu proses memperluas pilihan-pilihan bagi penduduk (a process of enlarging people’s choices). Todaro (2000), mendefinisikan pembangunan sebagai proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat dan institusi- institusi nasional sebagai akselerasi pertumbuhan ekonomi, pengurangan ketimpangan pendapatan serta pengentasan kemiskinan. Pembangunan juga dapat diartikan mengadakan, membuat atau mengatur sesuatu yang belum ada (Rustiadi et al.,2011).

Dalam menyusun perencanaan pembangunan berbasis pengembangan wilayah menurut Rustiadi et al. (2011), memandang penting keterpaduan sektoral, spasial serta keterpaduan antarpelaku pembangunan di dalam dan antarwilayah. Salah satu ciri penting pembangunan wilayah adalah adanya upaya mencapai

(3)

pembangunan berimbang (balanced development), dengan terpenuhinya potensi-potensi pembangunan sesuai dengan kapasitas pembangunan setiap wilayah maupun daerah yang beragam sehingga dapat memberikan keuntungan dan manfaat yang optimal bagi masyarakat di seluruh wilayah.

Sebagai upaya mewujudkan pembangunan berimbang, maka seperti dikemukakan oleh Anwar (2005), bahwa dalam pembangunan wilayah perlu senantiasa diarahkan pada tujuan pengembangan wilayah, antara lain mencapai: (1) pertumbuhan (growth), yaitu terkait dengan alokasi sumber daya-sumber daya yang langka terdiri atas sumber daya manusia, sumber daya alam, dan sumber daya buatan untuk hasil yang maksimal sehingga dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan manusia dalam meningkatkan kegiatan produktivitasnya; (2) pemerataan (equity), yang terkait dengan pembagian manfaat hasil pembangunan secara adil sehingga setiap warga negara yang terlibat perlu memperoleh pembagian hasil yang memadai secara adil, dalam hal ini perlu adanya kelembagaan yang dapat mengatur manfaat yang diperoleh dari proses pertumbuhan material maupun non-material di suatu wilayah secara adil; serta (3) keberlanjutan (sustainability), bahwa penggunaan sumber daya baik yang ditransaksikan melalui sistem pasar maupun di luar sistem pasar harus tidak melampaui kapasitas kemampuan produksinya.

Untuk dapat mencapai tujuan pembangunan wilayah dimaksud perlu adanya perencanaan pembangunan wilayah yang berdimensi lokasi dalam ruang dan berkaitan dengan aspek sosial-ekonomi wilayah. Perencanaan pembangunan wilayah yang berdimensi ruang menyangkut perencanaan dalam tata guna tanah, tata guna air, tata guna udara, serta tata guna sumber daya alam lainnya sebagai satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Perencanaan pembangunan wilayah dari aspek ekonomi adalah penentuan peranan sektor-sektor pembangunan dalam mencapai target pembangunan yaitu pertumbuhan, yang kemudian diikuti dengan kegiatan investasi pembangunan baik investasi pemerintah maupun swasta. Penentuan peranan sektor-sektor pembangunan diharapkan dapat mewujudkan keserasian antar sektor pembangunan, sehingga dapat meminimalisasi inkompabilitas antar sektor dalam pemanfaatan ruang, mewujudkan keterkaitan antar sektor baik ke depan maupun ke belakang, serta proses pembangunan yang berjalan secara bertahap ke arah yang lebih maju dan menghindari kebocoran maupun kemubaziran sumber daya (Anwar, 2005).

2.3 Konsep Agropolitan

Konsep pengembangan agropolitan muncul dari permasalahan adanya ketimpangan pembangunan wilayah antara kota sebagai pusat kegiatan dan pertumbuhan ekonomi dengan wilayah perdesaan sebagai pusat kegiatan pertanian yang tertinggal. Proses interaksi ke dua wilayah selama ini secara fungsional ada dalam posisi saling memperlemah. Wilayah perdesaan dengan kegiatan utama sektor primer, khususnya pertanian, mengalami produktivitas yang selalu menurun akibat beberapa permasalahan. Di sisi lain wilayah perkotaan sebagai tujuan pasar dan pusat pertumbuhan menerima beban berlebih sehingga memunculkan ketidaknyamanan akibat permasalahan permasalahan sosial (konflik, kriminal, dan penyakit) dan lingkungan (pencemaran dan buruknya

(4)

sanitasi lingkungan permukiman). Hubungan yang saling memperlemah ini secara agregat wilayah keseluruhan akan berdampak pada penurunan produktivitas wilayah (Rustiadi dan Hadi, 2006).

Konsep pengembangan wilayah dengan basis pengembangan kota-kota pertanian atau yang lebih dikenal dengan agropolitan menjadi pilihan utama pemerintah daerah dalam melaksanakan otonominya. Daerah-daerah yang berbasis pertumbuhan pada ekonomi pertanian hampir tidak banyak menderita akibat krisis ekonomi nasional. Karena itu menjadi acuan Pemerintah Daerah setelah mendapatkan kewenangan mengatur rumah tangga dan model pembangunan daerahnya secara lebih leluasa (Harun, 2004).

Konsep agropolitan sebenarnya lahir sebagai respon dari munculnya ketimpangan desa-kota dan kebijakan pembangunan yang bersifat urban bias yang dalam jangka pendek merugikan bagi perkembangan kawasan perdesaan dan dalam jangka panjang merugikan tatanan kehidupan bangsa secara nasional. Agropolitan adalah suatu konsep yang berbasis pada pengembangan suatu sistem kewilayahan yang mampu memfasilitasi berkembangnya kawasan perdesaan dalam suatu hubungan desa-kota yang saling memperkuat (Rustiadi et al. 2011).

Menurut Rustiadi et al. (2011), agropolitan adalah kawasan yang merupakan sistem fungsional yang terdiri dari satu atau lebih kota-kota pertanian (agropolis) pada wilayah produksi pertanian tertentu, yang ditunjukkan oleh adanya system keterkaitan fungsional dan hierarki keruangan satuan-satuan sistem permukiman dan sistem agribisnis, terwujud baik melalui maupun tanpa melalui perencanaan. Agropolis adalah lokasi pusat pelayanan sistem kawasan sentra-sentra aktivitas ekonomi berbasis pertanian.

Sementara itu, menurut Anwar (2004), pengertian agropolitan adalah merupakan tempat-tempat pusat (central places) yang mempunyai struktur berhierarki, dimana agropolis mengandung arti adanya kota-kota kecil dan menengah di sekitar wilayah perdesaan (Micro Urban-village) yang dapat bertumbuh dan berkembang karena berfungsinya koordinasi pada sistem kegiatan-kegiatan utama usaha agribisnis, serta mampu melayani, mendorong, menarik, menghela kegiatan pembangunan pertanian di kawasan sekitarnya. Oleh karenanya kawasan agropolitan diartikan sebagai sistem fungsional satu atau lebih kota-kota pertanian pada wilayah produksi pertanian tertentu, yang ditunjukkan oleh adanya sistem hierarki keruangan (spatial hierarchy) satuan-satuan permukiman petani, yang terdiri dari pusat agropolitan dan pusat-pusat produksi disekitarnya.

Menurut Ertur (1984), penekanan utama dalam penguatan daerah agropolitan didasarkan pada metode sebagai berikut:

1. Peningkatan produktivitas dan diversifikasi pertanian dan agroindustri. 2. Peningkatan partisipasi tenaga kerja.

3. Peningkatan permintaan barang dan jasa. 4. Peningkatan inovasi teknologi dan produksi. 5. Perluasan kapasitas untuk ekspor.

Beberapa hal yang searah antara pendekatan pembangunan agropolitan dengan permasalahan dan tantangan kewilayahan dalam pembangunan perdesaan saat ini adalah : 1) Mendorong ke arah terjadinya desentralisasi pembangunan maupun kewenangan; 2) Menanggulangi hubungan saling memperlemah antara perdesaan dengan perkotaan; dan 3) Menekankan pada pengembangan ekonomi

(5)

yang berbasis sumberdaya lokal dan diusahakan dengan melibatkan sebesar mungkin masyarakat perdesaan itu sendiri (Rustiadi dan Hadi, 2006).

Pengembangan kawasan agropolitan menekankan pada hubungan antara kawasan perdesaan dengan kawasan perkotaan secara berjenjang. Dengan demikian beberapa argumen mengemukakan bahwa pengembangan kota-kota dalam skala kecil dan menengah pada beberapa kasus justru akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat perdesaan. Hal ini karena dengan tumbuhnya kota-kota kecil menengah tersebut fasilitas-fasilitas pelayanan dasar bisa disediakan dan pasar untuk produk-produk perdesaan juga bisa dikembangkan. Jadi sebenarnya semuanya sangat tergantung pada bagaimana perekonomian dari kota kecil menengah bisa dikembangkan dan bagaimana keterkaitannya dengan komunitas yang lebih luas bisa diorganisasikan. Karena itu dalam pengembangan agropolitan sebenarnya keterkaitan dengan perekonomian kota tidak perlu diminimalkan. Keterkaitan yang sifatnya berjenjang dari desa, kota kecil, kota menengah, kota besar akan lebih bisa mendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat desa. Hanya saja keterkaitan inipun harus diikuti oleh kebijakan pembangunan yang terdesentralisasi, bersifat bottom up dan mampu melakukan empowerment (pemberdayaan) terhadap masyarakat perdesaan untuk mencegah kemungkinan kehadiran kota kecil menengah tersebut justru akan mempermudah kaum elit dari luar dalam melakukan eksploitasi sumberdaya (Rustiadi dan Hadi, 2006).

Menurut Rustiadi dan Hadi (2006), Kawasan Agropolitan merupakan kawasan perdesaan yang secara fungsional merupakan kawasan dengan kegiatan utama adalah sektor pertanian. Dengan demikian penetapan tipologi kawasan agropolitan harus memperhatikan : 1) Pengertian sektor pertanian ini dalam arti luas meliputi beragam komoditas yaitu : pertanian tanaman pangan, perkebunan, peternakan, perikanan, maupun kehutanan; 2) Kawasan agropolitan bisa pula dilihat dari persyaratan agroklimat dan jenis lahan, sehingga dapat pula dibedakan dengan : pertanian dataran tinggi, pertanian dataran menengah, pertanian dataran rendah, pesisir dan lautan; 3) Kondisi sumberdaya, manusia, kelembagaan, dan kependudukan yang ada juga menjadi pertimbangan; 4) Aspek posisi geografis kawasan agropolitan; dan 5) Ketersediaan infrastruktur.

Pengembangan agropolitan ditujukan untuk meningkatkan produksi pertanian dan penjualan hasil-hasil pertanian, mendukung tumbuhnya industri agro prosesing skala kecil menengah dan mendorong keberagaman aktivitas ekonomi dari pusat pasar. Segala aktivitas harus diorganisasikan terutama untuk membangun keterkaitan antara perusahaan di kota dengan wilayah suplai di perdesaan dan untuk menyediakan fasilitas, pelayanan, input produksi pertanian dan aksesibilitas yang mampu memfasilitasi lokasilokasi pemukiman di perdesaan yang umumnya mempunyai tingkat kepadatan yang rendah dan lokasinva lebih menyebar. Investasi dalam bentuk jalan yang menghubungkan lokasi-lokasi pertanian dengan pasar merupakan suatu hal penting yang diperlukan untuk menghubungkan antara wilayah perdesaan dengan pusat kota. Perhatian perlu diberikan terhadap penyediaan air, perumahan, kesehatan dan jasa-jasa sosial di kota-kota kecil menengah untuk meningkatkan produktivitas dari tenaga kerja. Perhatian juga perlu diberikan untuk memberikan kesempatan kerja di luar sektor produksi pertanian (off farm) dan berbagai kenyamanan fasilitas perkotaan di kota-kota kecil (Rustiadi dan Hadi, 2006).

(6)

Dalam kaitannya dengan proses produksi pangan dan bahan mentah, kawasan perdesaan adalah konsumen bagi produk sarana produksi pertanian, produk investasi dan jasa produksi sekaligus sebagai pemasok bahan mentah untuk industri pengolah atau penghasil produk akhir. Dengan cabang kegiatan ekonomi lain di depan (sektor hilir) dan dibelakangnya (sektor hulu), sektor pertanian perdesaan seharusnya terikat erat dalam apa yang disebut sebagai sistem agribisnis. Dalam perspektif agribisnis, sektor hulu seharusnya terdiri dari perusahaan jasa penelitian, perusahaan benih dan pemuliaan, industri pakan, mesin pertanian, bahan pengendali hama dan penyakit, industri pupuk, lembaga penyewaan mesin dan alat-alat pertanian, jasa pergudangan, perusahaan bangunan pertanian dan asuransi, agen periklanan pertanian, media massa pertanian, serta jasa konsultasi ilmu pertanian. Pandangan yang lebih maju mengharuskan adanya jasa jaminan kesehatan dan hari tua pelaku usahatani oleh koperasi petani atau lembaga yang sejenis. Karena tingginya intensitas keterlibatan sektor perdagangan, maka di sektor hulu ini perlu juga diperhatikan peran dan fungsi organisasi dagang seperti pedagang besar, pedagang ritel, serta jasa-jasa perantara. Sektor hilir agribisnis mencakup industri manufaktur makanan, industri makanan dan hotel, restoran dan toko-toko pengolah sekaligus penjual makanan (Rustiadi dan Hadi, 2006).

Integrasi antara konsep agroindustri dan pembangunan desa menjadi penting keterkaitannya dalam penyediaan dan penyaluran sarana produksi, penyediaan dana dan investasi, teknologi, serta dukungan sistem tataniaga dan perdagangan yang efektif. Pengembangan agroindustri pada dasarnya diharapkan selain memacu pertumbuhan tingkat ekonomi, juga sekaligus diarahkan untuk meningkatkan kesempatan kerja dan pendapatan petani.

Andri (2006) mengemukakan perlunya pengembangan agroindustri di perdesaan dengan memperhatikan prinsip-prinsip dasar diantaranya: 1) memacu keunggulan kompetitif dan komparatif komoditas setiap wilayah; 2) memacu peningkatan kemampuan sumberdaya manusia, menumbuhkan agroindustri yang sesuai dan mampu dilakukan di wilayah yang dikembangkan; 3) memperluas wilayah sentra-sentra agribisnis komoditas unggulan yang nantinya akan berfungsi sebagai penyandang bahan baku yang berkelanjutan; 4) memacu pertumbuhan agribisnis wilayah dengan menghadirkan subsistem-subsitem agribisnis; dan 5) menghadirkan berbagai saran pendukung berkembangnya industri perdesaan.

Menurut Mulyani (2007), program pengembangan kawasan agropolitan belum signifikan dalam meningkatkan pendapatan usahatani petani disebabkan: 1) keterbatasan petani dalam hal permodalan, 2) pembangunan infrastruktur transportasi di kawasan agropolitan tidak mengubah pola pemasaran pertanian karena petani tetap menjual komoditas pertaniannya kepada tengkulak, dan 3) petani belum melaksanakan proses pengolahan komoditas pertanian (agroprosesing) yang merupakan subsistem pemberi nilai tambah terbesar dalam sistem agribisnis. Salah satu hambatan dalam pengembangan agropolitan yang dialami oleh masyarakat perdesaan adalah hambatan keuangan (modal), hambatan untuk memiliki lahan garapan, hambatan informasi dan teknologi pertanian, serta hambatan pemasaran produk. Untuk itu dalam pengembangan usaha diperlukan satu bentuk kemitraan dalam produksi, pengolahan dan pemasaran (Hastuti, 2001).

(7)

2.4 Teori Lokasi Pusat

Lokasi Pusat (Central Place) merupakan suatu tempat dimana sejumlah produsen cenderung mengelompok di lokasi tersebut untuk menyediakan barang dan jasa bagi populasi di sekitarnya. Lokasi pusat tertata dalam suatu pola yang vertikal maupun horisontal. Kepentingan relatif lokasi pusat tergantung pada jumlah dan order barang dan jasa yang disediakan (Rustiadi et al., 2011).

Dengan menggunakan framework yang digunakan dalam memahami wilayah yaitu adanya pembagian suatu wilayah menjadi pusat (center) yang dikelilingi oleh daerah belakang (hinterland), pembangunan agropolitan (kota kecil di lingkungan pertanian) merupakan pembangunan pusat-pusat pelayanan pada kota-kota kecil. Daerah belakang merupakan suatu wilayah yang dikembangkan berdasarkan konsep pewilayahan komoditas dan menghasilkan satu komoditas utama maupun beberapa komoditas pendukung yang sesuai untuk memenuhi kebutuhan. Pada daerah pusat diberikan beberapa perlengkapan infrastruktur fasilitas publik perkotaan. Fasilitas tersebut digunakan untuk mendorong keberhasilan pembangunan pertanian dan perekonomian perdesaan sehingga dapat memberikan peluang investasi dan peluang kerja. Dengan kata lain pengembangan wilayah dengan agropolitan diwujudkan sebagai pembangunan infrastruktur pendukung kegiatan ekonomi di wilayah perdesaan yang berlokasi pada pusat-pusat (central places) dan diharapkan akan menjadi pusat pertumbuhan baru (Anwar dan Rustiadi, 1999).

Implikasi pendekatan transformasi pada pusat pertumbuhan desa adalah konstruktif dan positif. Pada tingkat hirarki terendah, pasar desa adalah titik aktivitas ekonomi dasar dimana orang desa menukar produk pertanian pada barang dan jasa yang mereka butuhkan. Dalam penyebaran aktivitas ekonomi yang berhirarki, pasar desa perkotaan adalah titik dimana aliran ke atas produksi pertanian dan jenis-jenis kerajinan diperkenalkan ke tingkat yang lebih tinggi dari sistem pasar. Juga pasar desa perkotaan adalah tujuan efektif terakhir dari pergerakan barang dan jasa yang berorientasi pada konsumsi petani. Pada waktu yang singkat ini dapat menjadi konsep sederhana sebagai fungsi pembangunan dasar ekonomi agropolitan (Ertur, 1984).

2.5 Sektor Basis

Kemampuan memacu pertumbuhan suatu wilayah atau negara sangat tergantung dari keunggulan atau daya saing sektor-sektor ekonomi di wilayahnya. Nilai strategis setiap sektor dalam memacu menjadi pendorong utama (prime mover) pertumbuhan ekonomi wilayah berbeda- beda. Sektor ekonomi suatu wilayah dapat dibagi dalam dua golongan, yaitu sektor basis dimana kelebihan dan kekurangan yang terjadi dalam proses pemenuhan kebutuhan tersebut menyebabkan terjadinya mekanisme ekspor dan impor antar wilayah. Artinya industri basis ini akan menghasilkan barang dan jasa, baik untuk pasar domestik daerah maupun pasar luar wilayah/daerah. Sektor non basis adalah sektor dengan kegiatan ekonomi yang hanya melayani pasar di daerahnya sendiri, dan kapasitas ekspor ekonomi daerah belum berkembang (Rustiadi et al., 2011).

(8)

Pendekatan yang sering digunakan untuk lebih mengenal potensi aktivitas ekonomi suatu wilayah adalah analisis basis ekonomi yang merupakan rujukan dalam menentukan keunggulan kompratif dan sekaligus sektor basis. Salah satu metode untuk mengetahui potensi ekonomi suatu wilayah dapat dikatagorikan basis dan bukan basis adalah analisis Location Quotient (LQ), yang merupakan perbandingan relatif antara kemampuan sektor yang sama pada daerah yang lebih luas dalam suatu wilayah.

Asumsi dalam LQ adalah terdapat sedikit variasi dalam pola pengeluaran secara geografi dan produktivitas tenaga kerja seragam serta masing-masing industri menghasilkan produk atau jasa yang seragam. Berbagai dasar ukuran dalam pemakaian LQ harus disesuaikan dengan kepentingan penelitian dan sumber data yang tersedia (Blakely 1994 dan Rodinelli 1995 dalam Rustiadi et al. 2011). LQ juga menunjukkan efisiensi relatif wilayah, serta terfokus pada subtitusi impor yang potensial atau produk dengan potensi ekspansi ekspor. Hal ini akan memberikan suatu gambaran tentang industri mana yang terkonsentrasi dan industri mana yang tersebar (Shukla, 2000 dalam Rustiadi et al., 2011).

Arus pendapatan yang dihasilkan dari aktivitas ekonomi industri basis akan meningkatkan investasi, kesempatan kerja, pendapatan dan konsumsi, pada gilirannya akan menaikkan pendapatan dan kesempatan kerja serta menaikkan permintaan hasil industri non basis. Hal ini berarti kegiatan industri basis mempunyai peranan penggerak pertama (primer mover role), dimana setiap perubahan kenaikan atau penurunan mempunyai efek pengganda (multiplier effect) terhadap perekonomian wilayah (Rustiadi et al., 2011).

2.6 Komoditas Unggulan

Komoditas unggulan adalah komoditas andalan yang memiliki posisi strategis, baik berdasarkan pertimbangan teknis (kondisi tanah dan iklim) maupun sosial ekonomi dan kelembagaan (penguasaan teknologi, kemampuan sumberdaya manusia, infrastruktur dan kondisi sosial budaya setempat), untuk dikembangkan disuatu wilayah (BPTP, 2003).

Menurut Ali (1998), komoditas unggulan adalah komoditas yang mempunyai keunggulan komparatif dan kompetitif, teknologi yang sudah dikuasai dan memberikan nilai tambah bagi pelaku agribisnis yang diusahakan oleh petani dalam suatu kawasan yang tersentralistik, terpadu, vertikal, dan horisontal. Unggul secara komparatif, berupa keunggulan yang didukung oleh potensi sumberdaya alam (letak geografis, iklim, dan lahan) sehingga memberikan hasil yang tinggi dibandingkan dengan daerah lain, serta peluang pasar lokal, nasional maupun peluang ekspor. Unggul secara kompetitif, berupa keunggulan yang diperoleh karena produk tersebut diupayakan dan dikembangkan sehingga menghasilkan produksi yang tinggi, memiliki peluang pasar yang baik serta menjadi ciri khas suatu daerah.

Pada lingkup nasional kriteria komoditas unggulan diarahkan untuk ketahanan pangan dan merubah keungggulan komparatif menjadi keunggulan kompetitif. Komoditas unggulan nasional diharapkan memenuhi beberapa kriteria (Ali, 1998) yaitu : (1) mempunyai tingkat agroekologi yang tinggi; (2) mempunyai pasar yang jelas; (3) mempunyai kemampuan yang tinggi dalam

(9)

menciptakan nilai tambah; (4) mempunyai kemampuan dalam meningkatkan ketahanan pangan masyarakat berpendapatan rendah; (5) mempunyai dukungan kebijakan pemerintah dalam bidang-bidang teknologi, prasarana, sarana, kelembagaan, permodalan dan infrastruktur lain dalam arti luas; (6) merupakan komoditas yang telah diusahakan masyarakat setempat; dan (7) mempunyai kelayakan untuk diusahakan baik secara finansial maupun ekonomi.

Pada lingkup kabupaten/kota, kriteria penetapan komoditas unggulan mengacu kriteria komoditas unggulan nasional dan diarahkan pada komoditas yang dapat ditingkatkan nilai tambahnya dalam agroindustri. Komoditas unggulan kabupaten diharapkan memenuhi beberapa kriteria yaitu : (1) mengacu kriteria komoditas unggulan nasional; (2) memiliki ekonomi yang tinggi di kabupaten; (3) mencukupi kebutuhan sendiri dan mampu mensuplai daerah lain atau ekspor; (4) memiliki pasar yang prospektif, merupakan komoditas yang berdaya saing tinggi; (5) memiliki potensi untuk ditingkatkan nilai tambahnya dalam agroindustri; (6) merupakan komoditas bernilai ekonomi tinggi; dan (7) dapat dibudidayakan secara meluas di wilayah kabupaten.

Menurut Hendayana (2003), penentuan komoditas unggulan merupakan langkah awal menuju pembangunan pertanian yang berpijak pada konsep efisiensi untuk meraih keunggulan komparatif dan kompetitif dalam menghadapi globalisasi perdagangan. Langkah menuju efisiensi dapat ditempuh dengan mengembangkan komoditas yang memiliki keunggulan komparatif, baik ditinjau dari sisi penawaran maupun permintaan. Dari sisi penawaran komoditas unggulan dicirikan oleh superioritas dalam pertumbuhannya pada kondisi biofisik, teknologi dan kondisi sosial ekonomi petani di suatu wilayah.

2.7 Analytic Hierarchy Process (AHP)

Analytic Hierarchy Process (AHP) merupakan suatu teori matematika untuk pengukuran dan pembuatan keputusan yang dikembangkan oleh Thomas L Saaty pada tahun 1970-an ketika masih mengajar di Wharton School of Business University of Pennsylvania. Aplikasi AHP dapat dikelompokkan ke dalam dua kategori utama yaitu : (1) choice (pilihan), yang merupakan evaluasi atau penetapan prioritas dari berbagai alternatif tindakan yang ada, dan (2) forecasting (peramalan), yaitu evaluasi terhadap berbagai alternatif hasil di masa yang akan datang (Saaty dan Niemira, 2006). AHP juga merupakan suatu teori pengukuran relatif dengan skala mutlak dari suatu kriteria baik yang bersifat tangible maupun intangible yang didasarkan pada penilaian perbandingan berpasangan dari para ahli (Ozdemir dan Saaty, 2006).

Saaty (1980) mengembangkan beberapa langkah berikut ini dalam menggunakan AHP. Langkah pertama yaitu menentukan goal (tujuan) dan menentukan kriteria atau sub kriteria berdasarkan tujuan, menyusun kriteria ke dalam hirarki dari level teratas (tujuan dari sudut pandang pembuat keputusan) melalui level menengah hingga level terbawah, yang biasanya memuat beberapa alternatif. Setelah itu, menyusun matriks perbandingan berpasangan (ukuran n x n) untuk masing-masing level bawah dengan satu matrik untuk setiap unsur dalam level menengah di atasnya dengan menggunakan skala relatif. Selanjutnya yang terakhir adalah pengujian konsistensi dengan mengambil rasio konsistensi (CR)

(10)

dari indeks konsistensi (CI) dengan nilai yang tepat. Nilai CR dapat diterima jika, tidak melebihi 0.10. Jika nilai CR > 0.10, berarti matriks tersebut tidak konsisten (Saaty, 1980).

2.8 Analisis SWOT

Menurut Rangkuti (2001) proses perencanaan strategis melalui tiga tahap analisis, yaitu (1) tahap pengumpulan data, (2) tahap analisis data dan (3) tahap pengambilan keputusan. Tahap pengumpulan data pada dasarnya tidak hanya sekedar kegiatan pengumpulan data, tetapi juga merupakan suatu kegiatan pengklasifikasian dan pra analisis.

Pada tahap ini data dapat dibedakan menjadi dua yaitu data eksternal dan data internal. Model yang dapat digunakan dalam tahap ini yaitu (1) matriks faktor strategi eksternal, (2) matriks faktor strategi internal dan (3) matriks profil kompetitif. Tahap analisis setelah semua informasi yang berpengaruh dikumpulkan, ada beberapa model yang dapat digunakan yaitu (1) matriks SWOT atau TOWS, (2) matriks BCG, (3) matriks internal eksternal, (4) matriks SPACE, dan (5) matriks Grand Strategy.

Rangkuti (2001) menyatakan bahwa matriks SWOT dipakai untuk menyusun faktor-faktor strategis. Matriks ini dapat menggambarkan secara jelas bagaimana peluang dan ancaman eksternal yang dihadapi dan disesuaikan dengan kelemahan yang dimilikinya.

Matriks ini dapat menghasilkan empat set kemungkinan strategi, yaitu (1) strategi S-O, (2) strategi W-O, (3) strategi S-T dan (4) strategi W-T. Analisis SWOT mampu mengidentifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk merumuskan suatu strategi. Analisis ini didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan (strengths) dan peluang (opportunities), namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan (weaknesses) dan ancaman (threats).

Baik analisis AHP maupun analisis SWOT lazim digunakan untuk marumuskan kebijakan. Bila dilihat dari subjektivitasnya maka analisis AHP lebih baik dari analisis SWOT, oleh karena itu dengan menggabungkan kedua teknik analisis AHP dan SWOT diharapkan dapat saling menyempurnakan dan meminimalkan tingkat subjektivitas dari suatu kebijakan yang dihasilkan.

Referensi

Dokumen terkait

Tanah yang diperlukan untuk pembangunan Jalan Lintas Selatan Provinsi Jawa Tengah di Kabupaten Cilacap seluas ± 67.850 M² terletak di Desa Cisumur, Desa Sidaurip, Desa

Mempertimbangkan fase hidup produk Buana Muda sebagai layanan wisata baru sehingga masih tergolong ke tahap pengenalan, karakter pembelian yang termasuk ke dalam high level

Keadilan sebagai kesetaraan, secara kasat mata tidak memihak pada napi yang miskin dengan strata sosial lemah atau bahkan rendah, menikmati sel lapas dengan fasilitas

Hasil identifikasi fauna ikan di Kawasan Mangrove Teluk Pangpang ditemukan kelimpahan dan biomassa yang tinggi pada jenis ikan bedul ( A. caninus ) sebanyak 975 ind sebesar 18.299,56

Menurut Tjokronegoro (2005), kejadian dismenorea akan meningkat dengan urangnya berolahraga, sehingga ketika terjadi dismenorea oksigen tidak dapat tersalurkan ke

Variabel dependen (Y) dari penelitian ini adalah Jumlah permintaan mobil Toyota Avanza di Semarang, Sedangkan variabel independen (X) adalah variabel harga mobil Toyota

Sistem informasi dosen pengampu ini menyediakan informasi data dosen pengampu yang terbagi dalam status dosen tetap dan dosen luar biasa, perincian dan rekapitulasi

Adventure Shopping, Value Shopping, Idea Shopping, Social Shopping dan Relaxation Shopping berpengaruh signifikan secara simultan terhadap Impulse Buying Tendency