• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA Ruang dan Penataan Ruang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA Ruang dan Penataan Ruang"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA

Ruang dan Penataan Ruang

Ruang (space) dalam ilmu geografi didefinisikan sebagai seluruh permukaan bumi yang merupakan lapisan biosfer, tempat hidup tumbuhan, hewan dan manusia (Jayadinata 1992). Berdasarkan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, ruang didefinisikan sebagai wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara termasuk ruang didalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lainnya hidup dan melakukan kegiatan serta memelihara kelangsungan hidupnya.

Ruang itu terbatas dan jumlahnya relatif tetap. Sedangkan aktivitas manusia dan pesatnya perkembangan penduduk memerlukan ketersediaan ruang untuk beraktivitas senantiasa berkembang setiap hari. Hal ini mengakibatkan kebutuhan akan ruang semakin tinggi. Ruang merupakan sumber daya alam yang harus dikelola bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang menegaskan bahwa bumi dan air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Sehingga dalam konteks ini ruang harus dilindungi dan dikelola secara terkoordinasi, terpadu, dan berkelanjutan (Dardak, 2006).

Ruang dalam wilayah nasional adalah wadah bagi manusia untuk melakukan kegiatannya. Hal ini tidak berarti bahwa wilayah nasional akan habis dibagi oleh ruang-ruang yang diperuntukkan bagi kegiatan manusia (fungsi budidaya) akan tetapi harus dipertimbangkan pula danya ruang-ruang yang mempunyai fungsli lindung dalam kaitannya terhadap keseimbangan tata udara, tata air, konservasi flora dan fauna serta kesatuan ekologi (Sugandhy, 1999).

Rustiadi et al. (2006) menyatakan bahwa tata ruang merupakan wujud pola dan struktur pemanfaatan ruang yang terbentuk secara alamiah dan sebagai wujud dari hasil pembelajaran (learning process). Selanjutnya proses ’pembelajaran” tesebut merupakan rangkaian siklus tanpa akhir berupa pemanfaatan - monitoring - evaluasi - tindakan pengendalian -perencanaan (untuk memperbaiki

(2)

dan mengatisipasi masa depan) – pemanfaatan -..., dan seterusnya yang disebut penataan ruang.

Tata ruang perlu dikelola berdasarkan pola terpadu melalui pendekatan wilayah dengan memperhatikan sifat lingkungan alam dan lingkungan sosial. Sebagai suatu keadaan, tata ruang mempunyai ukuran kualitas yang bukan semata menggambarkan mutu tata letak dan keterkaitan hierarkis baik antar kegiatan maupun antara kegiatan dengan fungsi ruang, akan tetapi juga menggambarkan mutu komponen penyusunan ruang. Mutu ruang itu sendiri ditentukan oleh terwujudnya keserasian, keselarasan dan keseimbangan pemanfaatan ruang yang mengindahkan faktor daya dukung lingkungan, lokasi, dan struktur dalam mendayagunakan sumberdaya alam untuk memajukan kesejahteraan umum seperti termuat dalam Undang-Undang Dasar 1945 (khususnya pasal 33) dan untuk mencapai kebahagiaan hidup perlu di usahakan pelestarian kemampuan lingkungan hidup yang serasi dan seimbang untuk menunjang pembangunan yang berkesinambungan, dilaksanakan dengan kebijaksanaan terpadu dan menyeluruh serta memperhitungkan kebutuhan generasi sekarang dan mendatang (Ditjen Penataan Ruang, 2005).

Pengaturan ruang di Indonesia telah ditetapkan melalui Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Urgensi pengaturan ruang ini secara jelas telah dituangkan dalam alasan menimbang yang mendasari penetapan Undang-Undang ini. Disebutkan antara lain bahwa letak dan kedudukan strategis Indonesia sebagai negara kepulauan dengan keanekaragaman ekosistemnya merupakan sumberdaya alam yang perlu dikelola dan dilindungi untuk mewujudkan tujuan pembangunan nasional, yaitu sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat (UU No. 5/1960). Untuk itu pengelolaan sumberdaya alam yang berada di daratan, lautan dan udara perlu dilakukan secara terkoordinasi dan terpadu dengan sumberdaya manusia dan sumberdaya buatan dalam pola yang berkelanjutan dengan mengembangkan tata ruang dalam dalam satu kesatuan tata lingkungan yang dinamis serta tetap memelihara kelestarian kemampuan lingkungan hidup (Djajono, 2006).

Untuk memenuhi kebutuhan semua pihak secara adil, menghindari persengketaan serta menjamin kelestarian lingkungan dibutuhkan proses yang

(3)

dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 disebut penataan ruang. Dalam kegiatan tersebut, berbagai sumberdaya alam ditata dari segi letak maupun luas sebagai satu kesatuan dengan memperhatikan keseimbangan antara berbagai pemanfaatan, misalnya pemukiman dengan lahan pertanian, kawasan pertambangan dengan kawasan hutan lindung dan tata letak jalur transportasi (Dardak, 2005).

Rustiadi et al. (2006) menyatakan setidaknya terdapat dua unsur penataan ruang, pertama menyangkut proses penataan fisik ruang dan kedua menyakut unsur kelembagaan/institusional penataan ruang. Selanjutnya secara lebih tegas penataan ruang dilakukan sebagai upaya (1) optimasi pemanfataan sumberdaya (mobilitas dan alokasi pemanfaatan sumberdaya) (prinsip efisiensi dan produktifitas), (2) alat dan wujud distribusi sumberdaya : asas pemerataan, keberimbangan dan keadilan, dan (3) keberlanjutan (sustainability).

Penataan ruang adalah suatu konsep pemikiran atau gagasan yang mencakup penataan semua kegiatan beserta karakteristiknya berkaitan dengan ruang atau lokasi dalam suatu wilayah kawasan. Untuk meningkatkan manfaat wilayah atau kawasan yang maksimal diperlukan perhatian yang teliti terhadap perlindungan lingkungan, efisiensi, sinergi dan keserasian pada potensi ekonomi di lingkungan tersebut. Ini dapat diartikan bahwa pentingnya keterpaduan dalam perencanaan pembangunan adalah untuk mencapai peningkatan kesejahteraan yang maksimal (Ditjen Penataan Ruang, 2006).

Menurut UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, disebutkan bahwa penataan ruang terdiri atas : perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Penataan ruang disusun berasaskan (a) pemanfataan ruang bagi semua kepentingan secara terpadu, berdaya guna, serasi, selaras, seimbang dan berkelanjutan (b) keterbukaan, persamaan, keadilan dan perlindungan hukum.

Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, yang meletakkan pelaksanaan otonomi daerah yang luas dan nyata kepada Daerah Kabupaten dan Daerah Kota, maka penyelenggaraan penataan ruang secara operasional, termasuk perizinan pun dilakukan oleh Daerah Kabupaten dan Daerah Kota.

(4)

Adapun kewenangan Pemerintah Kabupaten/Kota dibidang penataan ruang meliputi:

a. Menyusun Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota beserta perangkat regulasi (insentif dan disinsentif) pemanfaatan ruang

b. Melakukan konsultasi/koordinasi teknis dalam rangka penataan ruang dengan instansi / pemerintah yang lebih tinggi

c. Melakukan diseminasi rencana tata ruang kepada seluruh instansi pemerintah daerah Kabupaten/Kota dan masyarakat

d. Melakukan penyelenggaraan (pengelolaan) pemanfaatan ruang, pengawasan dan pengendalian pemanfaatan ruang.

Selanjutnya rencana tata ruang adalah hasil perencanaan ruang dalam wujud struktur pemanfaatan ruang. Adapun yang dimaksud dengan pemanfaatan ruang adalah susunan unsur-unsur pembentuk lingkungan secara hierakis dan saling berhubungan satu sama lainnya. Sedangkan yang dimaksud dengan pola pemanfaatan ruang adalah tata guna tanah, air, udara dan sumberdaya alam lainnya.

Menurut Rustiadi et al. (2006) perencanaan tata ruang dapat diartikan sebagai bentuk pengkajian yang sistematis dari aspek fisik, sosial dan ekonomi untuk mendukung dan mengarahkan pemanfaatan ruang di dalam memilih cara yang terbaik untuk meningkatkan produktifitas agar dapat memenuhi kebutuhan masyarakat secara berkelanjutan. Sehingga rencana tata ruang dapat merupakan dokumen pelaksanaan pembangunan yang harus dipatuhi oleh semua pihak termasuk masyarakat setempat.

Perencanaan tata ruang yang terintegrasi antar-daerah dalam satu ekosistem dimaksudkan agar keseimbangan (dalam bentuk ruang yang nyaman, produktif, dan berkelanjutan) dapat diwujudkan dalam satu kesatuan ekosistem, tidak hanya terbatas pada wilayah yang direncanakan. Pengabaian terhadap prinsip ini akan mengakibatkan kerusakan lingkungan hidup di wilayah lain, misalnya di wilayah hilir apabila perencanaan di wilayah hulu tidak memperhatikan dampak yang ditimbulkan dari implementasi rencana tata ruangnya terhadap wilayah hilir (Dardak, 2005).

(5)

Menurut tingkat administrasi pemerintahan, perencanaan tata ruang dilaksanakan secara berhierarki mulai dari Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN), Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi (RTRWP), dan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota (RTRWK). Dikaitkan dengan substansinya, RTRWN berisi arahan struktur ruang dan pola pemanfaatan ruang yang memiliki nilai strategis nasional (sistem nasional). RTRWP berisi arahan struktur ruang dan pola pemanfaatan ruang yang merupakan sistem propinsi dengan memperhatikan sistem nasional yang ditetapkan dalam RTRWN. Sementara RTRWK berisi arahan struktur ruang dan pola pemanfaatan ruang di wilayahnya dengan memperhatikan hal-hal yang telah diatur dalam rencana tata ruang pada hirarki di atasnya. Rencana tata ruang yang berhierarki ini harus dilaksanakan dengan memperhatikan kewenangan yang dimiliki oleh masing-masing tingkat pemerintahan, untuk menghindari tumpang tindih pengaturan pada obyek yang sama. Dengan kata lain, perencanaan yang berhirarki harus memenuhi prinsip saling melengkapi (komplementer) (Dardak, 2006).

Terkait dengan perencanaan, penyusunan rencana tata ruang wilayah (RTRW) diharapkan dapat mengakomodasikan berbagai perubahan dan perkembangan di wilayah perencanaan. RTRW Kabupaten/Kota disusun berdasarkan perkiraan kecenderungan dan arahan perkembangannya untuk memenuhi kebutuhan pembangunan di masa datang sesuai dengan jangka waktu perencanaannya.

Di samping keterpaduan antar-daerah dalam satu ekosistem, perencanaan tata ruang juga harus disusun dengan memperhatikan daya dukung dan daya tampung lingkungan, sebagaimana ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007, perhatian terhadap daya dukung dan daya tampung lingkungan dimaksudkan agar pemanfaatan ruang tidak sampai melampau batas-batas kemampuan lingkungan hidup dalam mendukung dan menampung aktivitas manusia tanpa mengakibatkan kerusakan lingkungan. Kemampuan tersebut mencakup kemampuan dalam menyediakan ruang, kemampuan dalam menyediakan sumberdaya alam, dan kemampuan untuk melakukan perbaikan kualitas lingkungan apabila terdapat dampak yang mengganggu keseimbangan ekosistem.

(6)

Pemanfaatan ruang adalah upaya untuk mewujudkan struktur ruang dan pola pemanfaatan ruang sesuai dengan rencana tata ruang melalui penyusunan dan pelaksanaan program beserta pembiayaannya. Program pemanfaatan ruang disusun berdasarkan rencana tata ruang yang telah ditetapkan oleh masing-masing pemangku kepentingan sesuai dengan kewenangannya. Dalam penyusunan dan pelaksanaan program masing-masing pemangku kepentingan tetap harus melakukan koordinasi dan sinkronisasi untuk menciptakan sinergi dalam mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dalam rencana tata ruang (Dardak, 2006).

Selanjutnya Iftitah (2005) menyatakan bahwa pemanfaatan ruang merupakan suatu pengambilan keputusan yang sangat penting apabila dikaitkan dengan lingkungan hidup, karena pemanfaatan ruang merupakan hasil penggabungan antar aktivitas manusia, kondisi biofisik wilayah/lahan dan keinginan manusia terhadap wilayah tersebut, sehingga dalam pemanfaatan ruang dikembangkan pola tata guna air, tata guna udara dan tata guna tanah serta tata guna sumberdaya lainnya termasuk sumberdaya hutan.

Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 1997 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN), tujuan pemanfaatan ruang adalah pemanfaatan ruang secara berdaya guna dan berhasil guna untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat dan pertahanan keamanan secara berkelanjutan melalui upaya-upaya pemanfaatan sumberdaya alam didalamnya secara berdaya guna dan berhasil guna, keseimbangan antar wilayah dan antar sektor, pencegahan kerusakan fungsi dan tatanan serta peningkatan kualitas lingkungan hidup. Sedangkan pengendalian pemanfaatan ruang dilakukan agar pemanfaatan ruang sesuai dengan rencana tata ruang yang telah ditetapkan melalui kegiatan pengawasan dan penertiban pemanfaatan ruang.

Pengendalian pemanfaatan ruang merupakan upaya untuk mengarahkan pemanfaatan ruang agar tetap sesuai dengan rencana tata ruang yang telah ditetapkan. Pengendalian pemanfaatan ruang dilaksanakan melalui peraturan zonasi, perizinan, pemantauan, evaluasi, dan penertiban terhadap pemanfaatan ruang (Dardak, 2006).

(7)

Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007, rencana tata ruang juga mencakup arahan pola pemanfaatan ruang untuk kawasan yang berfungsi lindung. Pengaturan arahan pola pemanfaatan ruang untuk kawasan lindung dimaksudkan agar:

a. Kawasan-kawasan yang memberikan perlindungan terhadap kawasan budidaya tetap terjaga keberadaannya, sehingga kawasan budidaya dapat dioptimalkan untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat, termasuk kebutuhan bagi generasi yang akan datang.

b. Kawasan-kawasan yang secara spesifik perlu dilindungi untuk kepentingan pelestarian flora dan fauna (plasma nuftah), pelestarian warisan budaya bangsa, pengembangan ilmu pengetahuan, dan kepentingan lainnya dapat tetap dipertahankan untuk jangka waktu yang tidak terbatas.

Terkait dengan upaya menjamin keberadaan kawasan lindung, dalam Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 1997, telah dirumuskan strategi untuk memelihara dan mewujudkan kelestarian fungsi lingkungan hidup meliputi : a. Menetapkan kawasan lindung baik di ruang daratan, di ruang lautan dan

ruang udara;

b. Mempertahankan luas kawasan berfungsi lindung dalam satu wilayah pulau pada tingkat sekurang-kurangnya 30 % (tiga puluh persen) dari luas pulau tersebut sesuai dengan kondisi ekosistemnya;

c. mewujudkan dan memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup dan mencegah timbulnya kerusakan lingkungan hidup melalui perlindungan kawasan-kawasan di darat, laut, dan udara secara serasi dan selaras;

d. mengembalikan dan meningkatkan fungsi kawasan lindung yang telah menurun akibat pengembangan kegiatan budidaya dalam rangka mewujudkan dan memelihara keseimbangan ekosistem wilayah.

Menurut Ditjen Penataan Ruang (2005) dalam rangka mewujudkan pembangunan berkelanjutan melalui upaya konservasi dan pengelolaan sumberdaya alam, maka prinsip penataan ruang demi terwujudnya harmonisasi fungsi ruang untuk kawasan lindung dan budidaya sebagai satu kesatuan ekosistem tidak dapat diabaikan lagi, dan diselenggarakan secara terpadu dengan memperhatikan daya dukung lingkungan wilayah.

(8)

Kawasan Hutan dan Kawasan Lindung

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, penyelenggaraan kehutanan bertujuan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan dengan menjamin keberadaan hutan dengan luasan yang cukup dan sebaran yang proporsional; mengoptimalkan aneka fungsi hutan yang meliputi fungsi konservasi, fungsi lindung dan fungsi produksi untuk mencapai manfaat lingkungan, sosial-budaya, dan ekonomi yang seimbang dan lestari; meningkatkan daya dukung daerah aliran sungai, meningkatkan kemampuan untuk mengembangan kapasitas dan keberadaan masyarakat secara partisipatif, berkeadilan dan berwawasan lingkungan sehingga mampu menciptakan ketahanan sosial dan ekonomi serta ketahanan akibat perubahan ekternal serta menjamin distribusi manfaat yang berkeadilan dan berkelanjutan.

Bahwa pasal 33 UUD 1945 menetapkan bahwa ” hutan, tanah dan air, ... untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”, wajib ditafsirkan dalam konteks maksimalisasi fungsi dan manfaat serta minimalisasi dampak/eksternalitas pengelolaannya, sehingga perlu dilindungi keberadaannya dan diatur pengelolaannya sebijaksana mungkin sesuai karakter sumberdaya-sumberdaya dimaksud, sehingga ketika tata ruang/tata guna lahan yang mencerminkan land capability dan land suitability telah disepakati didasari oleh karakteristik sumberdaya, maka konteks untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat haruslah berbasis pada konsistensi kesepakatan yang telah dibuat tersebut (Ramadhan, 2005).

Menurut Santoso (2001), Penatagunaan kawasan hutan pada hakekatnya merupakan bagian integral dari penataan ruang daerah. Upaya untuk mewujudkan hal ini telah dilaksanakan dengan sebaik-baiknya melalui kegiatan Pemaduserasian Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi (RTRWP) sejak tahun 1994 hingga 1999, yang hasilnya ditetapkan dengan Surat Keputusan Gubernur dan di beberapa propinsi dengan diketahui/disetujui oleh Ketua DPRD Propinsi.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 dan Peraturan Pemerintah Nomor 44 tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan, pemerintah

(9)

telah menetapkan dan mempertahankan kecukupan luas kawasan hutan minimal 30 % dari luas daerah aliran sungai (DAS) atau pulau dengan sebaran yang proporsional guna optimalisasi manfaat lingkungan, manfaat sosial dan manfaat ekonomi masyarakat setempat. Propinsi dan/atau Kabupaten/Kota yang memiliki kawasan hutan yang fungsinya sangat penting bagi perlindungan lingkungan Propinsi dan atau Kabupaten/Kota wajib mempertahankan kecukupan luas kawasan hutan, serta mengelola kawasan hutan sesuai fungsinya (CIFOR, 2004).

Keberadaan hutan sebagai bagian dari sebuah ekosistem yang besar memiliki arti dan peran penting dalam menyangga sistem kehidupan. Berbagai manfaat besar dapat diperoleh dari keberadaan hutan melalui fungsinya baik sebagai penyedia sumberdaya air bagi manusia dan lingkungan, kemampuan penyerapan karbon, pemasok oksigen di udara, penyedia jasa wisata dan mengatur iklim global. Sehingga pengelolaan hutan, sudah saatnya didorong untuk mempertimbangkan manfaat, fungsi dan untung-rugi apabila akan dilakukan kegiatan eksploitasi hutan. Berapa banyak nilai dari fungsi yang hilang akibat kegiatan penebangan hutan pada kawasan-kawasan yang memiliki nilai strategis seperti pada kawasan hutan di daerah hulu DAS, sehingga pertimbangan-pertimbangan tersebut dapat dijadikan sebagai masukan dan bahan pertimbangan-pertimbangan dalam melakukan perencanaan dan pengelolaan hutan di Indonesia (Suryatmojo, 2005).

Kawasan hutan dalam penataan ruang terdapat dalam kawasan budidaya dan bisa pula dalam kawasan lindung. Kawasan hutan yang masuk dalam kawasan budidaya adalah hutan produksi (hutan produksi tetap dan hutan produksi terbatas), baik itu hutan alam maupun hutan tanaman, termasuk hutan rakyat, sedang kawasan hutan yang masuk dalam kawasan lindung adalah kawasan pelestarian alam yang meliputi taman nasional, taman hutan raya, taman wisata alam dan kawasan suaka alam yang meliputi suaka margasatwa, cagar alam dan taman buru (Djajono, 2006).

Menurut Setiahadi (2006), selama ini dalam penataan ruang, luas kawasan hutan seakan-akan statis karena dikaitkan dengan masalah kewenangan sektor kehutanan, tidak perduli apakah hutan tersebut bervegetasi atau tidak. Mestinya luas hutan ditetapkan dalam sistem dinamis yang mengaitkan fungsi hutan yang

(10)

multi fungsi dengan sub-sistem biogeofisik, sub-sistem ekonomi, dan sub sistem sosial, budaya, kependudukan, bahkan hankam.

Optimasi penataan kawasan hutan dilakukan berdasarkan pertimbangan hal-hal sebagai berikut: daya dukung, potensi, kebutuhan kayu dan kebutuhan non kayu, resiko lingkungan, dan DAS prioritas. Selanjutnya dilakukan analisis berdasarkan faktor-faktor penentu dalam penataan ruang kawasan hutan yang meliputi analisis kesesuaian lahan, analisis potensi hutan (tegakan persediaan), analisis supplay-demand kayu dan non kayu, dan analisis resiko lingkungan. Pemanfaatan ruang kawasan hutan optimal dicirikan oleh: pemenuhan berbagai kebutuhan terhadap hasil hutan, pemecahan masalah sosial dan lingkungan, dan pelestarian sumberdaya hutan (Setia Hadi, 2006).

Selanjutnya dalam Peraturan Pemerintah Nomor 44 tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan, ditetapkan bahwa hutan mempunyai 3 (tiga) fungsi utama yaitu :

1. Hutan konservasi terdiri dari hutan suaka alam (cagar alam dan suaka margasatwa), hutan pelestarian alam (taman nasional, taman hutan raya,dan taman wisata alam) serta taman buru.

2. Hutan lindung

3. Hutan produksi terdiri dari produksi terbatas, hutan produksi biasa dan hutan produksi konversi.

Dalam hubungannya dengan pola pemanfaatan ruang wilayah nasional yang tercantum dalam Peraturan Pemerintah Nomor 47 tahun 1997, kawasan hutan berdasarkan fungsi pokoknya dapat dikelompokkan sebagai berikut :

1. Hutan konservasi yang meliputi kawasan suaka alam dan kawasan hutan pelestarian alam yang dikelompokkan ke dalam kawasan lindung berupa kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam.

2. Hutan konservasi yang meliputi taman buru, cagar biosfer, kawasan perlindungan plasma nutfah, kawasan pengungsian satwa dan kawasan pantai berhutan bakau dikelompokkan kedalam kawasan lindung lainnya.

3. Hutan lindung dikelompokkan ke dalam kawasan lindung berupa kawasan yang memberikan perlindungan kawasan di bawahnya bersama kawasan bergambut dan kawasan resapan lainnya.

(11)

4. Hutan produksi yang meliputi hutan produksi terbatas, hutan produksi tetap dan hutan produksi yang dapat dikonversi dikelompokkan kedalam kawasan budidaya berupa kawasan hutan produksi.

Penatagunaan hutan di Indonesia dimulai dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 680/Kpts/Um/8/81 tentang Pedoman Penatagunaan Hutan Kesepakatan (TGHK) yang antara lain menetapkan penatagunaan hutan kesepakatan di suatu wilayah propinsi adalah kegiatan yang bertujuan menentukan peruntukan hutan di wilayah propinsi yang bersangkutan menurut fungsinya berdasarkan kesepakatan antar instansi yang berkaitan dengan penggunaan lahan di daerah. Akan tetapi menurut Sitorus (1996) sistem klasifikasi ini tidak mempertimbangkan kualitas hutan di dalam penyusunannya/ pembagiannya, meskipun dapat memberikan kerangka untuk pemecahan yang mendesak dari status konflik atau penggunaan lahan.

Seperti halnya rencana umum tata ruang, TGHK-pun perlu ditinjau kembali untuk dapat disesuaikan dengan perkembangan penduduk, pembangunan prasarana, serta meningkatnya kebutuhan akan lahan. Proses penyesuaian TGHK dan tata ruang disebut 'padu serasi'. Secara praktis padu serasi menghasilkan perubahan status dari kawasan hutan menjadi bukan hutan menurut kebutuhan setempat. Sejak otonomi daerah hal ini sedikit rumit karena tidak jelasnya wewenang kabupaten dalam pengaturan tata ruang dan perubahan kawasan hutan. Secara hukum, perubahan atas kawasan hutan tetap merupakan kewenangan Menteri Kehutanan tetapi kenyataan di lapangan, Pemerintah Kabupaten bahkan masyarakat dan pengusaha telah banyak mengalihfungsikan kawasan hutan untuk keperluan lain. Masalah lain adalah tidak adanya kejelasan hak kepemilikan dan/atau penguasaan terhadap luasan lahan sehingga menimbulkan tumpang tindihnya banyak kepentingan pada satu areal lahan yang sama (CIFOR, 2002).

Di Indonesia kawasan-kawasan penting yang telah ditetapkan sebagai kawasan hutan pada kenyataannya hanya memiliki sedikit hutan atau bahkan tidak ada hutan sama sekali. Tanah-tanah tersebut sering secara otomatis diklasifikasi sebagai ‘hutan’ ketika wilayah tersebut tidak terdaftar sebagai tanah pertanian. Hasil dari proses perencanaan tersebut menyebabkan 61 % wilayah daratan Indonesia diklasifikasikan sebagai kawasan hutan. Hasil perencanaan tersebut

(12)

secara kualitas masih sangat kasar, sehingga pemerintah harus melakukan klasifikasi-ulang terhadap hutan dan melepas kawasan-kawasan yang kenyataannya sudah digunakan untuk tujuan lain atau sudah tidak lagi layak untuk dipertahankan karena tidak sesuai dengan klasifikasi kawasan hutan. Departemen Kehutanan sendiri mengakui hal ini sebagai kekeliruan sistematik yang muncul pada peruntukan status kawasan hutan sehingga menimbulkan konflik sosial yang hingga kini masih terus berlangsung (Fay dan Michon, 2005).

Manfaat pendefinisian dan pengklasifikasian kawasan hutan sangat penting bagi perdebatan hukum menyangkut prioritas pengelolaan lahan tersebut. Wilayah yang secara resmi diperuntukkan sebagai bagian dari kawasan hutan yang harus dikelola di bawah seperangkat ketentuan pembatas yang tidak hanya dapat mengarah kepada perampasan hak-hak lokal tetapi juga untuk membatasi secara administratif beberapa pola pemanfaatan hutan (ICRAF, 2006).

Penetapan suatu kawasan hutan negara didasarkan atas terpenuhinya karakteristik dimensi fungsi hutan. Sedangkan fungsi kawasan hutan dengan luasan lahan di bawahnya diklasifikasikan berdasarkan bentangan daerah aliran sungai (DAS), karena DAS mewakili topografi yang mencerminkan klasifikasi karakteristik tingkat resiko ekternalitas negatif dari pengelolaannya terhadap kepentingan umum kehidupan secara menyeluruh (sebesar besarnya bagi kemakmuran rakyat), yaitu semakin besar kemiringan lahan dan semakin tinggi lahan dari atas permukaan laut serta semakin dekat dekat dengan sumber-sumber air semakin besar potensi ekternalitas negatif pengelolaannya (ICRAF, 2006).

Berkaitan dengan penetapan fungsi kawasan tersebut, dikeluarkan beberapa kebijakan mengenai penetapan fungsi kawasan tersebut, antara lain :

1. Kriteria dan tata cara penetapan hutan suaka alam dan hutan wisata di atur dalam Keputusan Menteri Pertanian Nomor 681/Kpts/Um/8/81.

2. Kriteria dan tata cara penetapan hutan produksi konversi diatur dalam Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 682/Kpts/Um/8/81.

3. Kriteria dan tata cara penetapan hutan produksi diatur dalam Keputusan Menteri Pertanian Nomor 683/Kpts/Um/8/81.

4. Kriteria dan tata cara penetapan hutan lindung diatur dalam Keputusan Menteri Pertanian Nomor 873/Kpts/Um/11/80.

(13)

Penatagunaan kawasan hutan meliputi kegiatan penetapan fungsi dan penggunaan kawasan hutan menurut Badan Planologi Departemen Kehutanan, (2005) berupa: 1) Penetapan fungsi kawasan hutan adalah pemberian kepastian hukum mengenai fungsi suatu kawasan hutan tetap dengan Keputusan Menteri serta 2) Pinjam pakai kawasan adalah penyerahan penggunaan atas sebagian kawasan hutan kepada pihak lain untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan tanpa mengubah status, peruntukan dan fungsi kawasan hutan tersebut.

Adapun beberapa kriteria penetapan hutan didasarkan pada faktor-faktor kelas lereng lapangan, kelas tanah dan kelas intensitas hujan menurut Badan Planologi Departemen Kehutanan (2005), adalah :

1. Kelerengan (L) = a/b x 100%

a = tinggi relatif b = Jarak Datar

2. Kelas tanah didasarkan tingkat kepekaannya terhadap erosi

3. Kelas intensitas hujan didasarkan perhitungan rata-rata curah hujan dalam milimeter setahun dibagi dengan rata-rata jumlah hari hujan setahun.

4. Angka penimbang (bobot) untuk faktor kelerengan = 20, jenis tanah = 15 dan intensitas hujan = 10.

a. Kriteria penetapan hutan lindung

o Kawasan hutan dengan faktor-faktor kelas lereng lapangan, kelas tanah dan kelas kelas intensitas hujan setelah masing masing dikalikan dengan angka penimbang mempunyai total nilai (skor) 175 atau lebih besar

o Kawasan hutan yang mempunyai kelas lereng lapangan 40 %

o Kawasan hutan yang mempunyai ketinggian lapangan di atas permukaan laut 2.000 m atau lebih.

o Menyimpang dari ketentuan butir 1 s/d 3 di atas, kawasan hutan perlu dibina dan dipertahankan sebagai hutan lindung apabila memenuhi salah satu atau beberapa syarat sebagai berikut :

Tanah sangat peka terhadap erosi yaitu jenis tanah regosol, litosol, organosol, renzina dengan lereng lapangan > 15 %

(14)

Merupakan jalur pengamanan aliran sungai/air, sekurang-kurangnya 100 meter di kiri dan kanan sungai/aliran air

Merupakan pelindung mata air, sekurang-kurangnya dengan jari-jari 200 meter di sekeliling mata air

Guna keperluan/kepentingan khusus, ditetapkan oleh Menteri sebagai hutan lindung.

b. Kriteria penetapan hutan produksi terbatas dan hutan produksi tetap o Hutan produksi terbatas (HPT)

Kawasan Hutan dengan faktor-faktor kelas lereng lapangan, kelas tanah dan kelas intensitas hujan setelah masing-masing dikalikan dengan angka penimbang mempunyai total nilai (skor) 125-174. o Hutan produksi tetap (HP)

Kawasan hutan dengan faktor-faktor kelas lereng lapangan, kelas tanah dan kelas intensitas hujan setelah masing-masing dikalikan dengan angka penimbang mempunyai total nilai (skor) kurang dari 124. c. Kriteria cagar alam

o Kawasan yang ditunjuk mempunyai keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa dan ekosistem.

o Mewakili formasi biota tertentu dan atau unit-unit penyusun.

o Mempunyai kondisi alam, baik biota maupun fisiknya yang masih asli dan tidak atau belum diganggu manusia.

o Mempunyai luas dan bentuk tertentu agar menunjang pengelolaan efektif dengan daerah penyangga yang cukup luas.

o Mempunyai ciri khas dan merupakan satu-satunya contoh di suatu daerah serta keberadaannya memerlukan upaya konservasi.

d. Kriteria suaka margasatwa

o Kawasan yang ditunjuk merupakan tempat hidup dan berkembangbiak dari suatu jenis satwa yang perlu dilakukan upaya konservasinya. o Memiliki keanekaragaman dan populasi satwa yang tinggi.

o Merupakan tempat dan kehidupan bagi jenis satwa migran tertentu. o Mempunyai luas yang cukup sebagai habitat jenis satwa yang

(15)

e. Kriteria hutan wisata

o Kawasan hutan yang ditunjuk memiliki keadaan yang menarik dan indah baik secara alamiah maupun buatan manusia.

o Memenuhi kebutuhan manusia akan rekreasi dan olah raga serta terletak dekat pusat-pusat pemukiman penduduk.

o Mengandung satwa buru yang dapat dikembang biakkan sehingga memungkinkan perburuan secara teratur dengan mengutamakan segi rekreasi, olah raga dan kelestarian satwa.

o Mempunyai luas yang cukup dan lapangannya tidak membahayakan. Secara umum kriteria penetapan fungsi kawasan hutan terdapat pada beberapa kebijakan diatas, dapat diklasifikasikan seperti pada Tabel 1 berikut : Tabel 1. Kriteria penetapan fungsi kawasan hutan

Fungsi Kawasan Hutan Kriteria-kriteria

Hutan lindung (HL)

Hutan produksi terbatas (HPT)

Hutan produksi tetap (HP)

Hutan produksi konversi (HPK)

- Mempunyai jumlah skoring lebih dari 175 - Mempunyai kelerengan lapangan 40 % - Mempunyai ketinggian 2000 meter

- Mempunyai tanah sangat peka terhadap erosi dengan lereng lebih dari 15 %

- Merupakan daerah resapan air

- Merupakan daerah perlindungan pantai - Mempunyai jumlah skoring antara 124-175

- Berada di luar kawasan lindung, suaka alam, hutan pelestarian alam dan taman buru.

- Mempunyai jumlah skoring kurang dari 125 - Berada di luar kawasan lindung, suaka alam,

pelestarian alam dan taman buru.

- Mempunyai jumlah skoring kurang dari 125

- Berada di luar kawasan lindung, suaka alam, pelestarian alam dan taman buru

- Secara ruang dapat dikonversi sesuai dengan perundangan - undangan yang berlaku

(16)

Menurut Sugandhy (1999), kawasan lindung (non budidaya) adalah bagian dari suatu wilayah yang mempunyai fungsi non-budidaya (dominasi fungsi lindung terhadap tanah, air, flora, fauna dan budaya) dengan sudah mempertimbangkan kelestarian lingkungan hidup, dimana di dalamnya tidak diperkenankan adanya fungsi budidaya ataupun kalau terpaksa diperkenankan dalam fungsi terbatas.

Mengacu kepada pedoman WCPA(World Commission on Protected Areas) dan The World Conservation Union (IUCN, 1994) yang dimaksud kawasan lindung adalah suatu wilayah daratan dan/atau laut yang terutama diperuntukan untuk perlindungan dan pemeliharaan keanekaragaman hayati, sumberdaya alam dan sumberdaya budaya yang dikelola melalui kegiatan/bentuk yang legal dan sesuai dengan hukum. Adapun ukuran serta tata letak kawasan yang dilindungi di dunia seringkali ditentukan oleh faktor-faktor seperti sebaran manusia, nilai potensi lahan, dan upaya politik oleh warga yang berjiwa konservasi.

Kawasan lindung berdasarkan definisi menurut IUCN, terdiri dari enam (6) kategori, yaitu :

1. Kategori I a : strict nature reserve, yaitu kawasan lindung yang tujuan pengelolaannya untuk kepentingan keilmuan, yaitu suatu kawasan daratan dan atau laut yang memiliki ekosistem, penampakan geologis atau fisiologis dan atau jenis-jenis unik dan luar biasa atau mewakili yang kegunaan utamanya bagi kepentingan riset dan atau monitoring lingkungan

2. Kategori I b : wilderness area, yaitu kawasan lindung yang tujuan pengelolaannya untuk perlindungan hidupan liar, yaitu suatu kawasan daratan dan atau laut yang masih utuh dan asli yang cukup luas dan belum termodifikasi atau sedkit termodifikasi, ditetapkan untuk mempertahankan karakter-karakter dan pengaruh alami tanpa adanya okupasi pemukiman permanen atau yang significant lainnya yang dilindungi dan dikelola dalam rangka mengawetkan kondisi alam.

3. Kategori II : national park, yaitu kawasan lindung yang tujuan pengelolaannya untuk perlindungan ekosistem dan wisata, yaitu kawasan alami daratan dan atau laut yang ditetapkan untuk (i) melindungi integritas satu atau lebih ekosistem bagi generasi saat ini maupun yang akan datang;

(17)

(ii) meniadakan eksploitasi atau pemukiman yang tidak sesuai dengan tujuan penetapannya; (iii) menyediakan landasan bagi pengunjung untuk tujuan spritual, ilmiah, pendidikan, rekreasi yang ramah dan arif terhadap lingkungan dan budaya.

4. Kategori III : natural monument, yaitu kawasan lindung yang tujuan pengelolaannya untuk konservasi dari penampakan alam yang khas, yaitu suatu kawasan yang berisi satu atau lebih penampakan-penampakan lam atau gabungan alam dan budaya yang khas yang mempunyai nilai yang luar biasa (outstanding) dan unik karena kelangkaannya, secara kualitas mewakili atau estetis atau mempunyai keunggulan budaya.

5. Kategori IV : habitat/spesies management area, yaitu kawasan lindung yang tujuan pengelolaannya untuk konservasi melalui intervensi manajemen/ pengelolaan, yaitu kawasan daratan dan atau laut yang mendapatkan campur tangan aktif untuk keperluan pengelolaannya dalam rangka menjamin terpeliharanya habitat dan atau memenuhi kebutuhan yang khas dari suatu jenis.

6. Kategori V : protected landscape/seascape, yaitu kawasan lindung yang tujuan pengelolaannya untuk konservasi bentang alam atau laut dan sebagai tempat wisata, yaitu suatu kawasan daratan serta kawasan pantai dan laut yang interaksi antara manusia dan alam telah menghasilkan suatu kawasan yang mempunyai nilai estetika, ekologis dan atau budaya yang significant yang sering dibarengi dengan nilai kenekaragaman hayati yang tinggi. Menjaga integritas interaksi tradisional merupakan hal yang penting bagi pemeliharaan dan evolusi dari kawasan

7. Kategori VI : managed resource protected area, yaitu kawasan lindung yang tujuan pengelolaannya untuk keseimbangan ekosistem alam yang berkelanjutan, yaitu suatu kawasan yang memiliki sistem-sistem alami yang belum termodifikasi, yang dikelola untuk menjamin perlindungan dan pemeliharaan keanekaragaman hayati jangka panjang, yang dalam waktu yang sama menyediakan aliran yang lestari produk dan jasa bagi pemenuhan masyarakat.

(18)

Kawasan lindung memiliki manfaat yang besar bagi keberlangsungan hidup manusia didunia, menurut Mac Kinnon et al. (1986) ada beberapa keuntungan dimana kawasan yang dilindungi dapat memberikan manfaat yang berharga bagi masyarakat, antara lain :

• Menstabilkan fungsi hidrologi • Melindungi tanah

• Stabilitas iklim

• Pelestarian sumberdaya pulih yang dapat dipanen • Perlindungan plasma nutfah

• Pengawetan untuk perkembangbiakan ternak, cadangan populasi dan keanekaragaman hayati

• Pengembangan pariwisata • Menciptakan kesempatan kerja

• Menyediakan fasilitas bagi penelitian dan monitoring • Menyediakan fasilitas pendidikan

• Memelihara kualitas lingkungan hidup • Keuntungan dari perlakuan khusus • Pelestarian budaya tradisional • Keseimbangan alam lingkungan • Nilai warisan dan kebanggaan regional

Adapun kawasan lindung di Indonesia, sesuai dengan strategi dan arahan pengembangan kawasan lindung sebagaimana disebutkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 1997 meliputi langkah-langkah untuk memelihara dan mewujudkan kelestarian fungsi lingkungan hidup dan mencegah timbulnya kerusakan lingkungan hidup. Untuk itu dilakukan penetapan dan perlindungan terhadap kawasan lindung berdasarkan kriteria tertentu sebagaimana Keputusan

Presiden Nomor 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung (Aliati , 2007).

Kawasan yang termasuk dalam kawasan lindung menurut Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 dibedakan ke dalam :

• Kawasan yang memberikan perlindungan kawasan bawahannya, antara lain kawasan hutan lindung, kawasan bergambut dan kawasan resapan air;

(19)

• Kawasan perlindungan setempat, antara lain sempadan pantai, sempadan sungai, kawasan sekitar danau/waduk dan kawasan sekitar mata air;

• kawasan suaka alam dan cagar budaya, antara lain, kawasan suaka lam, kawasan suaka alam laut dan perairan lainnya, kawasan pantai berhutan bakau, taman nasional, taman hutan raya, taman wisata alam, cagar budaya dan ilmu pengetahuan;

• Kawasan rawan bencana alam, antara lain kawasan rawan gempa bumi, kawasan rawan tanah longsor, kawasan rawan gelombang pasang dan kawasan rawan banjir;

• kawasan lindung lainnya, misalnya taman buru, cagar biosfer, kawasan perlindungan plasma nutfah, kawsan pengungsian satwa dan terumbu karang.

Secara umum penjabaran kawasan tersebut telah diatur secara rinci dalam Peraturan Pemerintah No. 47 tahun 1997 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN), yakni :

1. Kawasan lindung

a. Kawasan yang memberikan perlindungan kawasan bawahannya - Kawasan hutan lindung (HL)

- Kawasan bergambut - Kawasan resapan air

b. Kawasan perlindungan setempat - Sempadan pantai

- Sempadan sungai

- Kawasan sekitar danau/waduk - Kawasan sekitar mata air

- Kawasan terbuka hijau kota termasuk didalamnya hutan kota c. Kawasan suaka alam

- Cagar alam (CA) - Suaka margasatwa (SM) d. Kawasan pelestarian alam

- Taman nasional (TN) - Taman hutan raya (Tahura)

(20)

- Taman wisata alam (TWA) e. Kawasan cagar budaya f. Kawasan rawan bencana alam g. Kawasan lindung lainnya

- Taman buru (TB) - Cagar biosfir

- Kawasan perlindungan plasma nutfah - Kawasan pengungsian satwa

- Kawasan pantai berhutan bakau 2. Kawasan budidaya

a. Kawasan hutan produksi

- Kawasan hutan produksi terbatas (HPT) - Kawasan hutan produksi tetap (HP)

- Kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi b. Kawasan hutan rakyat

c. Kawasan pertanian

- Kawasan pertanian lahan basah

- Kawasan tanaman tahunan/perkebunan - Kawasan peternakan

- Kawasan perikanan d. Kawasan pertambangan e. Kawasan peruntukan industri f. Kawasan pariwisata

g. Kawasan permukiman 3. Kawasan tertentu.

Dalam rangka mengoptimalkan fungsi dan manfaat kawasan lindung maka dilaksanakan upaya pengelolaan terhadap kawasan tersebut. Tujuan pengelolaan kawasan lindung adalah untuk mencegah timbulnya kerusakan lingkungan dan melestarikan fungsi lindung serta menghindari berbagai kegiatan yang merusak lingkungan (Aliati 2007). Sedangkan pengelolaan kawasan lindung dapat dikatakan berhasil jika konsisten mengarah pada tujuan optimasi ruang yang

(21)

memberikan manfaat lingkungan dan ekonomi kepada stakeholders, memelihara keseimbangan lingkungan dan tata air serta mampu mendukung pembangunan berkelanjutan (Supriadi, 2003).

Salah satu alasan mendasar pendirian kawasan lindung adalah keberadaan kawasan ini akan tetap utuh selama-lamanya, untuk melestarikan nilai-nilai biologi dan budaya yang dimilikinya. Namun, semakin banyak bukti yang memperlihatkan adanya peningkatan gangguan serius dalam berbagai sistim kawasan lindung dan akibatnya banyak kawasan lindung yang saat ini terdegradasi dan hancur. Hanya beberapa kawasan yang masih tetap ada karena berada pada lokasi yang terpencil. Pengakuan akan skala masalah yang dihadapi oleh kawasan lindung mendorong timbulnya kebutuhan untuk melakukan penilaian ulang terhadap desain dan pengelolaan kawasan dan juga kebutuhan untuk mendapatkan pengetahuan yang lebih baik mengenai status dan keefektifan pengelolaan kawasan (Marc Hocking et al, 2002).

Referensi

Dokumen terkait

Maggot merupakan suatu organisme yang berasal dari larva black soldier (BSF) dan dihasilkan pada metamorphosis fase kedua setelah fase telur dan sebelum fase

Peristiwa Lumpur panas Sidoarjo merupakan suatu fenomena geologi yang menimbulkan keluarnya semburan lumpur, dimana akan berpengaruh terhadap kondisi fisik lingkungan

Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan pergerakan inflasi (variable output) sehingga bisa di estimasi dengan mengamati empat data makro ekonomi Indonesia yaitu

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan hikmat dan kebijaksanaan-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat

The findings of this study are important due to their contribution to simultaneously teaching NOS and cell content knowledge to academically advanced science students in order

Di dalam sebuah laporan yang ditulis khusus untuk membantah klaim APA, tim dari “ National Association for Research and Therapy of Homosexuality” (NARTH) menunujukan bahwa studi

PERANCANGAN SISTEM INFORMASI TRACER STUDY BERBASIS WEB MENGGUNAKAN METODE RAPID APPLICATION DEVELOPMENT RAD PADA UNIVERSITAS BHAYANGKARA JAKARTA RAYA.. PROGRAM STUDI TEKNIK

Dalam event kerapan sapi, penonton tidak hanya disuguhi kecepatan sapi, tetapi juga tradisi lok-olok yang berlangsung setelah kerapan sapi berakhir.. Dalam