• Tidak ada hasil yang ditemukan

Halaman Judul Report Sub Kegiatan A Conduct a workshop on public consultation on the policy brief on model development of Sustainable Management

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Halaman Judul Report Sub Kegiatan A Conduct a workshop on public consultation on the policy brief on model development of Sustainable Management"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

LAPORAN

Melaksanakan lokakarya konsultasi publik mengenai briefing kebijakan tentang pengembangan model Pengelolaan Hutan Desa dan Kehutanan Masyarakat Berkelanjutan di Sumatera Selatan.

Palembang, Februari 2017

Penyusunan Policy Brief Tentang Proyeksi

(2)

Halaman Judul

Report Sub Kegiatan A.2.3.3

Conduct a workshop on public consultation on the policy brief on model development of Sustainable Management of Village Forest and Community Forestry in South Sumatera.

Penyusunan Policy

Brief Tentang

Proyeksi

Perkembangan Perhutanan Sosial di Sumatera

Selatan

Disusun Oleh :

Tim Panitia Diskusi Kelompok Terfokus Koordinator /Konsultan Tim :

MASRUN ZAWAWI Anggota Tim

BEJOE DEWANGGA SIGID WIDAGDO Laporan :

Hutan Kita Institute (HaKI)

OFFICE Jl. YUDO NO H8 RT 31 Kel Lorok Pakjo Palembang 30137 Telp : +62(711)5732460

Program : FA

Photo Cover : Copyright Hutan Kita Institute 2017 Photo oleh : Sigid Widagdo dan Bejoe Dewangga

(3)

Ringkasan Eksekutif

Perhutanan social sendiri merupakan salahsatu program pemerintah Nasional dalam kurun waktu 5 tahun program nawacita Jokowi- JK hingga 2019 dengan target 12,7 Juta Hektar.

Untuk memenuhi target tersebut maka pemerintah melalui KLHK surat keputusan KLHK Nomor 22/MENLHK/SETJEN/PLH.0/1/2017 tentang PIAPS, berdasarkan SK tersebut Sumatera Selatan mencapai 591.190,57 ha. Namun realita provinsi Sumatera Selatan jika di lihat dari sebarannya potensi WKM yang ada mencapai 1 juta Ha yang tersebut di 14 Kabupaten Kota dan 124 Kecamatan terletak di areal kawasan Hutan Produksi, Hutan Produksi tetap dan Hutan Lindung. Potensi ini dapat di kembangkan skema perhutanan social sesuai kondisi dan areal kawasan hutan tersebut.

Untuk memproyeksikan areal 1 juta ha tersebut, Hutan Kita Institute melakukan pendataan areal-areal yang berpotensi sebagai WKM dengan metodologi groundcheck areal, digitasi peta sebaran WKM, dan data-data dari dinas kabupaten kota yang terkait. Untuk memastikan sebaran WKM tersebut, maka Diskusi Kelompok Terfokus ini sangat di perlukan sebagai bentuk masukan dan pemutahiran data potensi WKM di provinsi Sumatera Selatan.

Data base potensi WKM ini sebagai usulan perubahan PIAPS yang baru, hal ini sangat penting dan di butuhkan melihat areal potensi tersebut sangat di perlukannya legalitas pengelolaan WKM masyarakat, untuk memastikan berapakah potensi WKM yang ada di Sumatera Selatan perlu adanya pembahasan khusus antara pemangku wilayah seperti dinas kehutanan dan pendamping masyarakat CSO, untuk itu pertemuan diskusi kelompok terfokus ini membahas beberapa point penting dalam potensi WKM di Sumatera Selatan ebagai berikut :

(4)

1) Tujuan dari kegiatan ini adalah, Menyampaikan potensi Wilayah Kelola Masyarakat 1 Juta Ha versi CSO, Menyampaikan motodologi database membaca sebaran WKM 1 Juta Ha di Sumatera Selatan 2) Perhutanan Sosial ini berdasarkan Permen LHK No. P 83 tahun

2016 pada bulan Oktober tentang Perhutanan Sosial. Perhutanan Sosial dasar hukumnya adalah Peraturan Menteri LHK No. P 32 tahun 2016 tentang Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan. Perhutanan Sosial adalah sistem pengelolaan hutan lestari yang dilaksanakan dalam kawasan hutan Negara atau Hutan Hak/Hutan Adat yang dilaksanakan oleh masyarakat setempat dalam kawasan hutan sebagai pelaku utamanya dalam rangka meningkatkan kesejahteraan, ekonomi dan dari segi lingkungan. Bentuk Perhutanan Sosial ada HD, HKm, HTR, Kemitraan Kehutanan yang ada di dalam kawasan hutan dan Hutan Hak/Adat berada di luar kawasan hutan.

3) Hal yang sangat penting dan berhubungan dengan Perhutanan Sosial adalah PIAPS (Peta Indikatif Areal Perhutanan Sosial). Sebelum melakukan perhutanan sosial perlu adanya peta indikatif sebagai bahan untuk merencanakan kegiatan, karena bila tidak ada peta indikatif khawatir akan melebar kemana mana. Peta indikatif memuat tentang areal kawasan hutan Negara yang dicanangkan untuk Perhutanan Sosial. PIAPS sebagai dasar pemberian hak pengelolaan HD. PIAPS ditetapkan oleh Menteri. PIAPS diprioritaskan untuk penyelesaian konflik, restorasi gambut dan restorasi ekosistem. 4) Perizinan perhutanan sosial : Perhutanan sosial dilakukan dengan

skema pemberian izin. Untuk HD diberikan pengelolaan Hak HD (HPHD). HKm diberikan izin usaha pemanfaatan HKm (IUPHKm), HTR diberikan izin pemanfaatan kayu HTR(IUPHHK-HTR). Kemitraan Kehutanan ada persetujuan dari Menteri Kehutanan.Kemitraan Kehutanan ada : Kemitraan pemegang izin dan Kemitraan Pengelola. Salah satunya adalah KPH.

(5)

5) Lokasi areal perhutanan sosial :

HD : HP/HL non izin dan wilayah tertentu KPH.

HKm bisa di HP dan HL yang belum ada izin dan wilayah tertentu KPH.

Kemitraan Kehutanan ada di areal izin pemanfaatan dan di areal pengelolaan hutan.

Hutan Hak/Hutan Adat di areal yang dibebani hak atas tanah 6) Penerbitan perizinan : untuk HPHD, IUPHHKm dan dan

IUPHHK-HTR, Kemitraan Kehutanan dan persetujuan penetapan Hutan Hak : diberikan oleh Menteri, yaitu Menteri LHK dan Kehutanan. Pada aturan yang lama penerbitan diberikan kepada Gubernur atau Bupati. Untuk pemberian Hak HD, HKm dan HTR dapat didelegasikan kepada Gubernur dan diatur oleh Menteri dengan syarat bila di Provinsi sudah memasukan Perhutanan Sosial dalam rencana jangka menengah Daerah. Ada Pergub Perhutanan Sosial dan anggaran untuk Perhutanan Sosial. Wewenang pemberian izin pendelegasian diberikan kepada Gubernur. Kemitraan dan Hutan Hak dilakukan di Menteri Kehutanan.

7) Yang dapat melakukan kegiatan Perhutanan Sosial atau memohon Perhutanan Sosial: diberikan kepada kelompok masyarakat dengan koperasi serta masyarakat HA.

Pemohon HD bisa koperasi HD atau koperasi milik desa setempat, atau bisa dengan BUMDes.

 Untuk HKm, pemohon adalah ketua kelompok masyarakat atau Ketua gapoktan dapat membentuk koperasi dan melakukan permohonan untuk Perhutanan Sosial.

 Pemohon HTR bisa Kelompok Tani Hutan (KTH) yang membentuk koperasi.

Ada juga diberikan kewenangan kepada masyarakat perseorangan yaitu pendamping atau penyuluh Kehutanan untuk membuat koperasi bersama masyarakat setempat dan melakukan permohonan Perhutanan Sosial.

(6)

Pemohon untuk Kemitraan Kehutanan bisa 2 skema :

1. Pemegang izin pemegang izin atau pengelola HTI. KPH bisa melakukan izin Kemitraan.

2. Masyarakat kelompok Mitra bisa melakukan perizinan untuk menyelesaikan konflik yang difasilitasi oleh Menteri Kehutanan.  Masyarakat Hutan Adat, perorangan atau kelompok koperasi juga

bisa mengajukan. Hutan Hak bisa beraktifitas di hutan sosial. 8) Tata cara permohonan Perhutanan Sosial :

Permohonan diajukan kepada Menteri, dengan tembusan ke Gubernur, Bupati, Ka KPH, Ka UPT. Difasilitasi oleh pokja percepatan Perhutanan Sosial. Sudah ada pokja yang diberikan Gubernur, didalamnya masuk KPH. Permohonan difasilitasi oleh pokja PPS. Tugas pokja : membantu percepatan pelaksanaan Perhutanan Sosial karena pokja akan memfasilitasi dan pendampingan. Apabila perlu juga ada pembiayaan.

 Permohonan dapat dilakukan secara manual atau online.

Setelah permohonan masuk, Dirjen PSKL melakukan verifikasi perlengkapan, bila belum lengkap permohonan akan dikembalikan. Pokja PPS akan masuk untuk mendampingi pemohon untuk melengkapi persyaratan permohonan.

 Bila sudah selesai Dirjen akan menunjuk UPT (bila diluar UPT, Dirgen akan menunjuk UPT yang berkaitan), seperti KPH, dan pokja PPS untuk melakukan verifikasi.

 Setelah verifikasi, Dirjen menerbitkan keputusan untuk memberikan izin untuk HD, HKm, HTR dan persetujuan untuk Kemitraan Kehutanan dan Hutan Hak.

9)Pemanfaatan Perhutanan Sosial :

Bila di HL : pemanfaatan berupa akses pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, pemanfaatan dan pemungutan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK). Di HL kayu tidak boleh di HL.

(7)

 HP berupa pemanfaatan kawasan hutan, pemanfaatan jasa lingkungan, pemanfaatan HHBK dan Hasil Hutan Kayu (HHK). Pemanfaatan hasil hutan dilaksanakan berdasarkan rencana pengelolaan untuk para pemegang Hak/izin HKm dan HTR berdasarkan rencana pengelolaan. Kemitraan berdasarkan naskah kesepakatan kerjasama. Hutan Hak berdasarkan kearifan lokal. Penyusun RKU dibantu oleh pokja PPS.

10) Rencana pengelolaan disahkan oleh :

1. Penyuluh Kehutanan (dalam 1 desa bisa 2 Perhutanan Sosial) 2. Ka KPH operasional (apabila lintas desa dalam KPH)

3. Kadis Provinsi lintas desa apabila KPH belum beroperasi 11) Jangka waktu dan evaluasi Perhutanan Sosial :

Untuk HD, HKm dan HTR berlaku 35 tahun dan bisa diperpanjang dan dievaluasi. Evaluasi dilakukan setiap 5 tahun sekali. Tiap tahun dilakukan monitoring yang dilakukan pokja PPS.

12) Tata cara monitoring diatur dalam Perdirgen. Pelaporan monitoring dilakukan manual atau dengan internet.

13) HPHD, IUPHKm dan IUPHHK-HTR hapus apabila jangka waktu berakhir, dicabut dan dikembalikan.

14) Memberikan pemahaman tentang adanya Bioclime dan HaKI selama ini, dengan Masalah, Strategi pendekatan, Kegiatan utama, Penilaian peningktan kapasitas terkait strategi penilaian HD dan HKm secara berkelanjutan HaKI sedang berusaha mengupdate 1 HD atau 1 HKm. Dasar hukum dan kebijakan geospasial dan Pokok pikiran one data policy (dalam RPJMN 2015-2019)

15) Menyampaikan metodologi proyeksi database wilayah kelola masyarakat di Sumatera Selatan

(8)

Daftar Isi

Halaman Judul...2

1. Pendahuluan...9

1.1. Latar Belakang...9

1.2. Tujuan Kegiatan :...10

1.3. Keluaran dan Capaian :... 10

2. Metodologi... 11

2.1. Waktu dan Tempat ;... 11

2.2. Pelaksana Kegiatan...11

2.3. Metode Penyusunan...11

3. PROSES KEGIATAN...12

3.1. Tahap Pertama Penyusunan Draf Policy Brief...12

3.2. Materi dan bahan Policy Brief...12

3.3. Hasil Policy Brief... 13

KERTAS KEBIJAKAN... 13

PROYEKSI PERKEMBANGAN PERHUTANAN SOSIAL DI SUMATERA SELATAN... 13

4. PENUTUP...19

4.1. Kesimpulan... 19

(9)

1.

Pendahuluan

1.1. Latar Belakang

Hutan Kita Institute (HaKI) dalam 1 tahun terakhir ini konsen terhadap wilayah Kelola Masyarakat (WKM), hal ini berdasarkan program nawacita presiden Joko Widodo yang menargetkan 12,7 Juta Hektar hutan yang di berikan oleh masyarakat atau wilayah tersebut dikelola oleh masyarakat. Komitmen untuk mencapai cita-cita tersebut telah dituangkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN 2015-2019), dimana pemerintah mengalokasikan sedikitnya 12,7 juta hektar kawasan hutan negara untuk dikelola rakyat dengan skema Perhutanan Sosial seperti : Hutan Desa (HD), Hutan Kemasyarakatan (HKm), Hutan Tanaman Rakyat (HTR), Hutan Adat, Hutan Rakyat (HR) dan Kemitraan dengan Pengelola Hutan atau KPH dan Pemegang Izin (Private Sektor). Setiap tahun, pemerintah men-target 2,5 juta hektar kawasan hutan yang harus diberikan hak kelolanya kepada masyarakat. Untuk mencapai target program Perhutanan Sosial, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah menerbitkan Peta Indikator Arahan Perhutanan Sosial (PIAPS). Untuk wilayah Propinsi Sumsel ada potensi seluas 586.393 Ha (Data PIAPS, 2015).

Terkait luasan ini, masyarakat sipil di Sumatera Selatan menilai bahwa luasan ini tidak sebanding dengan kondisi kebutuhan, dimana menurut BP DAS Musi (Sekarang BP DAS HL) ada lebih dari 699 desa definitif yang berada didalam dan/atau disekitar kawasan hutan. Total luas wilayah desa tersebut ada lebih dari 2 juta Ha atau 53 % dari total luas kawasan hutan di Sumatera Selatan (BP DAS, 2013).

Hutan Kita Institute (HaKI) kemudian melakukan kajian terhadap kondisi dan potensi kelayakan pengembangan Perhutanan Sosial dan menemukan angka 1.009.791,91 Hektar. Dari data diatas diusulkan sekitar 65.388 Hektar dan menyebar di beberapa Kabupaten / Kota di

(10)

Propinsi Sumatera Selatan. Untuk mencapai target tersebut maka perlu adanya check data lapangan berdasarkan CSO di Sumatera Selatan, hal ini sangat di perlukan sebagai data perkembangan PIAPS yang di dapat di ajukan kepada kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Data tersebut di susun dalam bentuk policy Brief Wilayah Kelola Masyarakat (WKM) Sumatera Selatan berdasarkan CSO di Sumatera Selatan.

Untuk itu Diskusi Kelompok Terfokus ini sangat penting dilakukan sebagai awal penghimpunan informasi data Wilayah Kelola Masyarakat yang ada di Sumatera Selatan berdasarkan CSO, dari kegiatan ini dapat tersebut policy brief Wilayah Kelola masyarakat berdasarkan CSO di Sumatera Selatan. Kegiatan ini dilakukan sepenuhinya oleh Hutan Kita Institute yang di dukung oleh Bioclime.

1.2. Tujuan Kegiatan :

1. Menyusun konsep Policy Brief Wilayah Kelola masyarakat berdasar CSO di Sumatera Selatan

2. Mendata Wilayah Kelola Masyarakat yang ada baik yang telah masuk dalam PIAPS maupun yang belum masuk dalam PIAPS 1.3. Keluaran dan Capaian :

1. Tersusunnya Draf Policy Brief Wilayah Kelola Masyarakat berdasarkan CSO di Sumatera Selatan

2. Adanya data Wilayah Kelola Masyarakat dalam PIAPS maupun WKM yang akan di usulkan dalam PIAPS

(11)

2.

Metodologi

2.1. Waktu dan Tempat ;

Kegiatan penyusunan Policy Brief ini dilakukan selama dalam kurun waktu satu bulan penuh terhitung sejak tanggal 1 Februari 2017 sampai dengan 3 Maret 2017. Policy Brief ini disusun oleh tim dan di lakukan asistensi oleh tim untuk memastikan data dan tulisan policy Brief ini benar serta mudah di pahami oleh pembaca

2.2. Pelaksana Kegiatan

Pelaksana kegiatan penyusunan Policy Brief ini dilakukan secara tim yang terdiri dari

1. Sigid Widagdo 2. Bejoe Dewangga 3. Masrun Zawawi 2.3. Metode Penyusunan

Dalam melakukan penyusunan Policy Brief ini metode yang dilakukan adalah :

1) Pengumpulan data-data Proyeksi Perkembangan Perhutanan Sosial di Sumatera Selatan

2) Membaca peta satelit dari wilayah potensi Kelola masyarakat di sumatera selatan

3) Roadshow dan groundcheck ke wilayah-wilayah potensi Wilayah Kelola Masyarakat di beberapa kabupaten dan kota provinsi sumatera selatan

4) Konsultasi dan masukan dari publik terkait berkaitan dengan Perhutanan Sosial di Sumatera Selatan

(12)

3.

PROSES KEGIATAN

3.1. Tahap Pertama Penyusunan Draf Policy Brief

Dalam kegiatan ini dilakukan pengumpulan data-data dari update satelit dan ground check dampingan CSO di Sumatera Selatan, dari beberapa data perlu adanya melakukan :

1. Melakukan singkronisasi data-data wilayah kelola masyarakat di sumatera selatan

2. Melakukan sharing data wilayah kelola perhutanan sosial di sumatera selatan

3. Melakukan update data perkembangan perhutanan sosial yang ada di sumatera selatan

4. Memberikan masukan kepada dinas kehutanan dalam potensi yang ada di sumatera selatan

3.2. Materi dan bahan Policy Brief

Dalam penyusunan Policy Brief tentang Proyeksi Wilayah Kelola Masyarakat di Sumatera Selatan ini di dapat dari :

1. materi ground check wilayah potensi yang ada di tingkat masyarakat pada beberapa kabupaten yang memiliki potensi Wilayah Kelola Masyarakat

2. berdasarkan PIAPS sumatera selatan surat keputusan KLHK Nomor 22/MENLHK/SETJEN/PLH.0/1/2017 tentang PIAPS, berdasarkan SK tersebut Sumatera Selatan mencapai 591.190,57 ha. Selain itu data proyeksi didapat dari digitasi potensi melalui satelit .

(13)

3.3. Hasil Policy Brief

KERTAS KEBIJAKAN

PROYEKSI PERKEMBANGAN PERHUTANAN SOSIAL DI

SUMATERA SELATAN

Perhutanan Sosial yang menjadi salah satu agenda RPJMN diharapkan dapat menjawab beberapa permasalahan nasional yang juga terjadi di Sumatera Selatan. Terutama yang terkait dengan masyarakat yang memiliki ketergantungan pada sumber daya hutan, desa-desa yang berada disekitar dan didalam kawasan huta dan konflik ternurial. Syaratnya adalah kuatnya POKJA PPS Sumsel yang terbentuk melaui SK Gubernur No. 154 Tahun 2017, sinergi yang baik para pihak, dukungan pendanaan yang mencukupi dan kuatnya dukungan kebijakan.

LATAR BELAKANG

Masyarakat Indonesia masih banyak yang menggantungkan hidupnya pada sumber daya hutan. Dari lebih kurang 72 ribu desa, terdapat 25.863 desa berada didalam dan sekitar kawasan hutan. Demikian juga di Sumatera Selatan (Sumsel), ada 699 Desa yang ada dalam situasi tersebut. Lebih kurang 70% masyarakatnya sangat tergantung pada

sumber daya hutan.

Provinsi Sumatera Selatan kaya akan sumberdaya hutan, berdasarkan SK. Menhut No. 866/Kpts-II/2014 kawasan hutan tercatat seluas 3.466.901 Hektar terdiri dari Hutan Konservasi 790.625 hektar, Hutan Produksi 2.098.949 hektar dan Hutan Lindung 577.327 hektar.

Kondisi hutan tersebut saat ini sudah dikelola oleh Hutan Tanaman Industri (HTI), Hutan Alam (HA)

Restorai Ekosistem (RE) dan Jasa Lingkungan (JL) seluas 1,5 Juta hektar dengan masyarakat. Seluas 13.132 Ha dikelola dengan sistem pinjam pakai untuk pertambangan. Sementara yang dikelola oleh masyarakat dengan skema Perhutanan Sosial hanya 5% dari total luas hutan yang sudah berizin.

(14)

Kedepan, ketimpangan ini diharapkan dapat dikurangi melalui Perhutanan Sosial (Pehutsos), dan cita – cita pengelolaan hutan untuk kesejahteraan masyarakat sebagaimana Nawacita pemerintahan Jokowi – Jusuf Kalla dapat terwujud. Perhutsos juga diharapkan dapat menjadi salah satu solusi akan permasalahan tenurial dan keadilan pemanfaatan kawasan hutan, termasuk di Sumsel.

POTENSI DAN CAPAIAN

Sumsel memiliki potensi Perhutsos cukup besar, dimana berdasarkan Peta Indikatif Areal Perhutanan Sosial (PIAPS) yang dikeluarkan KLHK, SK No.22/Menlhk/ Setjen/ PLA.0/1/2017, potensi Sumsel seluas 492.263 Ha, yang tersebar di 16 kabupaten/kota (Lihat Tabel 2). Selanjutnya menurut Studi Hutan Kita Institute (HaKI) mengindikasikan potensi Perhutsos di Sumsel lebih luas lagi, yaitu sekitar 1 juta hektar.1

Tabel 1. Luas dan Sebaran Potensi Perhutanan Sosial Sumsel Menurut PIAPS

Meskipun para penggiat Perhutsos Sumsel sudah bergerak sejak awal 2007 namun perkembangannya sampai dengan awal 2017 ini baru mencapai 81.827 Ha. Perkembangan ini juga menunjukkan kecenderungan fluktuatif. Menurun pada 2011-2013, dan baru ada sedikit kenaikan pada 2015. Pada tahun 2016, meskipun ada lebih dari 10 izin baru (PAK) di Sumsel, namun dari sisi luasan hanya 4.968 Ha yang merupakan Hutan Kemasyarakatan dan Hutan Desa. (lihat

(15)

BAGAIMANA PERHUTSOS SUMSEL KEDEPAN?

Sekarang ini Perhutsos sudah menjadi program nasional dengan target 12,7 juta pada tahun 2019, walaupun banyak kalangan menganggap ini sebuah ketidakmungkinan, namun optimisme dan keberpihakan ini selayaknya di apresiasi.

Dalam kontek Sumsel, beberapa prasyarat awal untuk percepatan sudah ada ; seperti komitmen politik pemerintah daerah dan pembentukan Kelompok Kerja Percepatan Perhutanan Sosial (POKJA PPS). Selanjutnya memastikan bagaimana komitmen dan sistem tersebut bisa operasional. Ada 2 skenario yang mungkin akan terjadi dalam perjalanan Perhutsos Sumsel, dan kedua scenario ini akan memberikan dampak yang masing-masing berbeda yaitu ;

1) Skenario Bisnis Biasa

Jika Perhutsos Sumsel berjalan layaknya bisnis biasanya atau Busines as

Usual (BAU)2, dimana masing–masing penggiat bekerja sendiri - sendiri,

birokrasi yang rumit, dukungan pendanaan lemah, dukungan kebijakan kurang dan lack of effort, maka sampai pada periode akhir target PIAPS tahun 2019, luas perhutanan sosial di Sumsel maksimal hanya akan ada pada angka122.741 Ha atau hanya mengalami penambahan 8,3 persen dari target PIAPS.

2Skenario BAU diperhitungkan dari tren perkembangan Perhutsos Sumsel yang lalu dengan

membandingkan target PIAPS Sumsel.Asumsinya adalah berdasarkan tren perkembangan periode 2009 -2016 yang rata-rata penambahan adalah antara 9.091 - 10.128 Ha.

(16)

2) Skenario Percepatan

Skenario lainya adalah skenario Percepatan Perhutanan Sosial (PPS)3,

dimana ada penambahan luas wilayah kelola masyarakat sebesar 164.088 Ha setiap tahun-nya sampai dengan tahun 2019 (Llihat Grafik 3. Skenario

Perhutanan Sosial Sumsel 2017-2019).

Untuk menjadikan target tersebut tercapai maka diperlukan langkah-langkah dan tindakan strategis dan nyata mulai dari tingkat tapak yaitu KPH sampai ke kebijakan. Tindakan tersebut diperlukan untuk mempercepat beberapa proses seperti pengajuan perizinan, penyusunan rencana pengelolaan atau kerja usaha, pemanfaatan, pemenuhan kewajiban pemegang izin, dan monitoring evaluasi. Untuk percepatan tersebut diperlukan beberapa persyaratan sebagai berikut ; 1) Penguatan Kelembagaan

Ada 2 ujung tombak percepatan Perhutsos ini, yaitu birokrasi terutama KPH dan POKJA Perhutsos. KPH di Sumsel berjumlah 14 namun yang betul-betul siap beroperasi tidak sampai setengahnya, sisanya masih membutuhkan penguatan infrastruktur dan SDM.

POKJA Perhutsos sebagaimana dimaksud dalam P.

01/PKPS/PP/PSKL.0/5/2016 tentang Petunjuk Pelaksanaan Operasional Kelompok Kerja Percepatan Perhutanan Sosial, memberi titik tekan pelaksanaan fasilitasi pada POKJA PPS di tingkat Provinsi sebagai ujung tombak. POKJA PPS Sumsel yang sudah dibentuk melalui SK Gubernur Provinsi Sumatera Selatan No. 154 Tahun 2017 menjadi sangat penting karena dimandatkan untuk memfasilitasi tahapan perhutanan sosial, dari sosialisasi, proses permohonan perizinan, verifikasi, penyusunan rencana

(17)

pengelolaan atau kerja usaha, pemanfaatan, dan pemenuhan kewajiban pemegang izin Perhutanan Sosial.

Untuk percepatan, kedua lembaga ini harus dikuatkan karena mereka-lah yang akan memfasilitasi, mulai dari usulan sampai pendampingan pengelolaan. Secara sederhana, untuk mencapai target PIAPS pada tahun 2019, setiap KPH rata-rata harus mewujudkan sekitar 35.162 Ha, atau 11.721 Ha setiap tahun.

2) Sinergi Antar Aktor

Perhutanan Sosial selama ini seakan hanya menjadi urusan kehutanan dan lingkungan semata. Padahal dengan cakupan yang luas, mulai dari wilayah dan komponen lainnya seperti perbaikan tata kelola, kelestarian lingkungan, kesejahteraan, kearifan lokal dan resolusi konflik. Maka keterlibatan dan sinergi antar pihak mutlak diperlukan.

Sinergi diperlukan antar instansi pemerintah, swasta, BUMN/D, Universitas, koperasi, dan lembaga swadaya masyarakat. Keterlibatan swasta bahkan menjadi kewajiban, terutama bagi pemegang izin IUPHHK-HTI, karena salah satu objek Perhutanan Sosial adalah 20 % di dalam konsesi mereka.

3) Dukungan Kebijakan

Dukungan kebijakan yang diperlukan adalah memasukkan Perhutanan Sosial ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) atau membuat Peraturan Gubernur Sumatera Selatan Tentang Perhutanan Sosial. Jika dukungan kebijakan daerah Perhutanan Sosial sudah masuk dalam RPJMD Sumatera Selatan atau adanya Peraturan Gubernur Sumatera Selatan, maka perizinan Perhutanan Sosial akan dialihkan dari pusat menjadi kewenangan Gubernur Sumatera Selatan.

4) Dukungan Anggaran

Selanjutnya, dukungan anggaran daerah menjadi faktor tak kalah pentingnya. Selama ini alokasi khusus untuk Perhutanan Sosial masih sangat kecil. Tidak cukup untuk memfasilitasi proses verifikasi, fasilitasi perizinan, pendampingan, penguatan kelembagaan, perencanaan, dan pemanfaatan. Sehingga donor masih menjadi andalan utama.

Dengan terbitnya peraturan baru dan keberadaan Pokja PPS Sumsel, diharapkan adanya dukungan APBD yang lebih besar dan terencana. Adapun kebutuhan dukungan anggaran meliputi kegiatan yang diantaranya ; (1) Sosialisasi program Perhutanan Sosial kepada masyarakat dan para pihak terkait, (2) Melakukan pencermatan PIAPS, (3) Memfasilitasi permohonan masyarakat terkait Hak Pengelolaan Hutan Desa (HPHD) atau Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Kayu pada Hutan Tanaman Rakyat (IUPHHK-HTR), atau (3) Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Kayu pada Hutan Kemasyarakatan

(18)

(IUPHHK-HKm), Kemitraan Kehutanan atau Hutan Adat sesuai dengan peraturan yang berlaku, dan (4) Memverifikasi permohonan masyarakat.

5) Penyelesaian konflik SDA

Konflik SDA di Sumsel cukup tinggi, dimana menurut data Pemprop Sumsel pada tahun 2015, ada paling tidak 74 kasus4 konflik yang belum tertangani

dengan baik. WALHI Sumsel (2015) mencatat ada lebih dari 300 konflik yang terkait lahan di Sumsel. Banyak dari konflik tersebut juga merupakan lokasi potensial untuk Perhutanan sosial. Konflik ini harus segera diselesaikan agar tidak menjadi ‘bom waktu’ di kemudian hari.

Ada beberapa skenario untuk penyelesaian konflik tersebut, yang pertama yaitu penegakan hukum, namun haruslah penegakan hukum yang tepat sasaran. Selanjutnya adalah dengan skema yang sudah disediakan negara seperti HKm, HTR, HD, Kemitraan dan Hutan Hak/Adat. Pilihan ketiga adalah

jurisdictional approach dimana para pihak memilih cara sendiri yang

disepakati, dikehendaki, freely chosen dan independently verified untuk menyelesaikan sengketanya. Kesemua pilihan tersedia tinggal bagaimana para pihak melaksanakannya.

POKJA Perhutsos juga dapat menjadi komponen penting dalam penyelesaian konflik tersebut yaitu dengan menyediakan layanan penanganan konflik, sehingga percepatan perkembangan Perhutsos dapat terjadi. Upaya lainnya, adalah dibentuknya kelembagaan penanganan konflik kehutanan di tingkat propinsi, yang kemudian bisa bersinergis dengan POKJA Perhutsos.

KESIMPULAN

Sumsel mempunyai potensi dan kapasitas yang cukup untuk mewujudkan perkembangan Perhutsos yang lebih baik, hanya perlu tindakan nyata, usaha dan kerja keras, dan dukungan para pihak. Jika syarat skenario percepatan diatas tidak terpenuhi maka perkembangan Perhutsos Sumsel sampai 2019 tidak akan banyak mengalami perkembangan, yaitu hanya akan mengalami penambahan sekitar 8,3 % dari dari PIAPS. Namun jika para pihak bersepakat untuk mewujudkan target tersebut, semua prasyarat terpenuhi – termasuk membentuk layanan khusus penyelesaian konflik SDA yang legitimate, maka peluang untuk mencapai target PIAPS pada 2019 masih memungkinkan dicapai.

(19)

4.

PENUTUP

4.1. Kesimpulan

Dari aktivitas kegiatan penyusunan Policy Brief dapat di tarik kesimpulan sebagai berikut :

1) Perlu adanya rencana tindak lanjut untuk mensinergikan data perhutanan sosial kedalam sistem data Kehutanan karena dianggap penting dan menjadi satu pengubahan perencanaan baik untuk anggaran maupun program di lapangan.

2) Beberapa catatan penting untuk tupoksi pokja perhutanan sosial terkait penguatan kapasitas pengelolaan perhutanan sosial :

a. Update izin yang sedang dalam proses

b. Update dokumen perencanaan jangka panjang dan tahunan dari setiap potensi yang ada di wilayah eksisting perhutanan sosial Sumsel untuk bisa masuk ke skema pendanaan sosial APBN, APBD atau program prioritas. Jadi arah kerjanya sudah mengikuti tahapan yang mengarah ke skema tadi.

3) Potensi kemitraan dari konteks keterlanjuran karet dan sawit, setidaknya tadi ada 3 unsur. Perlu dipikirkan bentuk skemanya seperti apa.

4) Penetapan strategi resolusi konflik masuk dalam KPH bisa dipikirkan dengan pokja masuk kedalam skema perhutanan sosial, khususnya dari kriteria konflik penguasaan lahan lebih dari 2 ha.

(20)

4.2. Rekomendasi

Dari kegiatan ini ada beberapa hal yang perlu dilakukan antara lain :

1. Policy Brief ini sebagai bahan untuk pertimbangan dalam perubahan PIAPS setiap 6 bulan sekali

2. Policy Brief ini sebagai bahan untuk proses pengajuan Perhutanan Sosial di Sumatera Selatan sesuai PIAPS berdasarkan SK KLHK dan berdasarkan CSO di Sumatera Selatan

(21)
(22)
(23)
(24)

Gambar

Tabel 1. Luas dan Sebaran Potensi Perhutanan Sosial Sumsel Menurut PIAPS

Referensi

Dokumen terkait

Agar tidak terjadi tumpang tindih kewenangan di dalam mengatur wilayah pesisir, maka terdapat aturan-aturan yang harus diperhatikan oleh pemerintah Batang, yaitu

The result analysis of the electric field, electric force, the mixed items, the electric field lines and strength, the mixed items and the schematic items

Pada kegiatan Seminar Nasional Kimia dalam rangka Dies Natalis Ke-52 Jurusan Pendidikan Kimia FMIPA UNY dengan tema:. *Peran Kimia dan Pendidikan Kimia di Era

Tujuan penelitian yaitu mengetahui perencanaan, pelaksanaan, serta evaluasi karakter kejujuran dan kerja keras dalam pembelajaran matematika kontekstual di sekolah

Sehubungan telah dilaksanakan Evaluasi Penawaran (administrasi, teknis, dan harga), dan Evaluasi Dokumen Kualifikasi untuk Pelelangan Sederhana Dengan

[r]

Nilai koefisien sebesar 0,190 berarti bahwa dengan meningkatkan satu unit variabel responsivness dengan meperhatikan pelayanan yang cepat dan tepat pada pasien,

Cara yang pertama peneliti mengajak dengan melihat angka signifikansi yang terdapat pada olah data (output data) dari SPSS, dan yang kedua dengan membandingkan antara nilai