• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 1 PENDAHULUAN. 1 Ziarah yang obyek tujuannya bukan tempat-tempat keagamaan dan intinya merupakan penghormatan kepada seorang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 1 PENDAHULUAN. 1 Ziarah yang obyek tujuannya bukan tempat-tempat keagamaan dan intinya merupakan penghormatan kepada seorang"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 1 PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Ziarah merupakan sebuah fenomena yang lazim dijumpai dalam masyarakat. Masyarakat Jawa mengenal ziarah kubur untuk mengingat/menghormati sanak saudara yang sudah meninggal atau menghormati tokoh-tokoh penting yang sudah meninggal, misalnya berziarah ke makam mantan presiden Indonesia, Bung Karno. Bagi umat Islam, mereka mempunyai kewajiban untuk berziarah ke Mekkah (naik haji). Umat Kristiani mengenal tradisi ziarah ke gua Maria dan juga ziarah ke Yerusalem. Berdasarkan fenomena tersebut, ziarah dapat dibedakan menjadi dua yaitu ziarah non-religius1 dan ziarah religius. Fenomena ziarah religius terjadi pada semua agama2, hal ini dapat dibuktikan dengan melihat setiap agama mempunyai tempat-tempat ziarah. Namun meskipun setiap tempat ziarah mempunyai afiliasi formal dengan tradisi agama tertentu, dalam banyak kasus tempat ziarah tersebut seringkali tidak hanya diziarahi oleh umat dari satu agama saja tapi juga dari umat beragama lainnya.3 Misalnya saja di Mesir, sudah sejak lama orang Kristen Koptik dan Muslim saling berbagi tokoh suci beserta makam keramat mereka. Sayyida Nafisa binti al-Hasan, merupakan tokoh yang sangat dihormat dan dimintai doa oleh penduduk non-Muslim di Mesir. Sebaliknya, banyak Muslim juga menghormati dan memohon pelbagai berkat dari santo Koptik, atau bahkan para imam Koptik yang masih hidup. Juga setiap awal bulan September, para peziarah Hindu dan Katolik di wilayah Tamil Nadu, India, datang ke situs Santo Yohanes de Britto untuk mengadakan festival bersama-sama, atau pergi ke Velankanni untuk menghormati Bunda Maria dengan pesta meriah selama seminggu.4

Pada akhir abad XX, fenomena melakukan perjalanan ziarah religius menjadi semakin populer. Mengutip tulisan dalam artikel Bernhard Kieser, pada tahun 2006 jumlah orang yang melakukan perjalanan ziarah adalah 150 juta orang. Pada tahun 2007 diprediksi jumlahnya meningkat hingga angka 200 juta orang.5 Angka itu mencakup orang yang naik haji ke Mekkah,

1

Ziarah yang obyek tujuannya bukan tempat-tempat keagamaan dan intinya merupakan penghormatan kepada seorang pribadi yang pernah mempunyai hubungan personal dengan yang bersangkutan atau kebetulan juga menjadi tokoh-tokoh panutan.

2

Kees de Jong, “Ziarah Menyentuh Yang Adi Kodrati”, dalam Lima Titik Temu Agama-Agama, Yogyakarta: Duta Wacana University Press, 2000, hal 267.

3

Bagus Laksana, Ziarah Kasiyo Sarkub, dalam BASIS no. 9-10, tahun ke-56, 2007, hal 17.

4

Bagus Laksana, Ziarah Kasiyo Sarkub, dalam BASIS no. 9-10, tahun ke-56, 2007, hal 17-18.

5

(2)

yang bersemadi di Lumbini tempat kelahiran Pangeran Siddharta yang menjadi Gautama Buddha, serta mereka yang berziarah ke Roma dan Lourdes. Sedangkan perjalanan ziarah di Indonesia belum termasuk ke dalam angka itu. Padahal di Indonesia, ziarah merupakan praktik religius yang dekat dengan kehidupan masyarakat. Terutaman di kalangan Katolik, banyak tempat-tempat ziarah dibangun sebagai salah satu bentuk sarana bakti umat Katolik.

Perkembangan praktik religius ziarah terkait dengan berkembangnya devosi kepada Bunda Maria. Devosi berarti suatu sikap hati serta perwujudannya, yang dengannya orang secara pribadi mengarahkan diri kepada sesuatu atau seseorang, yang dihargai, dijunjung tinggi, dicintai. Devosi itu mencakup keterlibatan personal yang meliputi seluruh manusia, khususnya segi emosional dan afektif, tidak hanya terutama otak dan akal serta pemikiran.6 Dalam perjalanan sejarah, munculnya tempat-tempat ziarah dimulai sekitar tahun 200 ketika para martir menjadi sasaran devosi rakyat.7 Awalnya para martir tersebut tidak menjadi sasaran devosi, mereka hanya menjadi alasan untuk memuji serta bersyukur kepada Allah karena apa yang Allah kerjakan melalui para martir tersebut. Jadi apa yang terjadi pada para martir itu mendorong umat untuk berdoa pada Allah. Namun pada perkembangannya, para martir dipahami sebagai sabahat Yesus Kristus, yang mempunyai kekuatan untuk menolong sehingga mereka menjadi sasaran devosi. Pada abad IV-VI tradisi untuk berziarah ke makam para martir atau membawa relikwi dari para martir menjadi sangat populer. Relikwi merupakan benda-benda peninggalan dari orang-orang yang meninggal atau bahkan bagian dari tubuh orang itu yang dipercaya mempunyai kekuatan semacam jimat.8 Dengan diakuinya agama Kristen sebagai agama negara pada abad IV maka zaman martir berakhir. Orang-orang Kristen tidak lagi dianiaya dan dibunuh, sehingga tidak ada lagi orang Kristen yang mati sebagai martir karena mempertahankan imannya. Selanjutnya, kehidupan devosi berkembang tidak hanya kepada para martir namun juga kepada orang-orang yang hidup demi Kristus dan taat pada-Nya seperti Bunda Maria. Pada kenyataannya, devosi pada Bunda Maria lebih menonjol dibandingkan devosi pada santo atau santa lainnya. Devosi pada Bunda Maria tersebut selanjutnya disalurkan melalui ziarah.9

Makin maraknya devosi kepada Bunda Maria mendorong munculnya tempat-tempat ziarah di Indonesia seperti Sendangsono, Sendang Sriningsih, gua-gua Maria, yang merupakan sarana bagi

6

C. Groenen, Mariologi Teologi & Devosi,Yogyakarta: Kanisius, 1992, hal 150-151.

7

C. Groenen, Mariologi Teologi & Devosi, Yogyakarta: Kanisius, 1992, hal 158-159.

8

Michael Collins & Matthew A. Price, Millennium The Story of Christianity, Yogyakarta: Kanisius, 2006, hal 91.

9

Ziarah itu sendiri sesungguhnya juga merupakan salah satu bentuk devosi, selain jalan salib, pendalaman iman/kitab suci, berbagai kebaktian, dsb. Lih Frans Harjawiyata (editor), Kehidupan Devosional, Yogyakarta: Kanisius, 1993, hal 12.

(3)

umat berdevosi kepada Bunda Maria. Gua Maria Kerep Ambarawa merupakan salah satu tempat ziarah di Jawa Tengah dan di tempat inilah umat datang untuk berdevosi pada Bunda Maria. Di kawasan Gua Maria Kerep terdapat sarana bakti berupa dua jalur jalan salib, tempat untuk mengenang kisah sengsara Yesus sampai pada kematian-Nya. Jalur pertama merupakan jalur pendek yang terdapat di dalam kawasan Gua Maria Kerep, tempat 14 stasi perhentian jalan salib. Sedangkan jalur jalan salib lainnya merupakan jalur sepanjang 1,2 km yang dimulai dari pasturan Santo Yusuf Ambarawa dan berakhir di dekat pintu masuk Gua Maria Kerep Ambarawa. Selain rute jalan salib, dalam kawasan Gua Maria Kerep juga terdapat Gua Maria di mana umat biasa berdoa sambil meletakkan air, lilin, dan bunga di hadapan patung Bunda Maria. Di Gua Maria Kerep, juga terdapat sumber mata air, salib milenium, kapel Adorasi, dan taman doa. Dalam taman doa, beberapa tempat di tanah Palestina “dihadirkan”, seperti sungai Yordan tempat Yesus dibaptis, Kana tempat mujizat air diubah menjadi anggur, padang rumput luas tempat Yesus bermujizat dengan 5 roti dan 2 ikan, danau Galilea, serta kubur Yesus. Pembangunan taman doa ini dimaksudkan sebagai tempat untuk merenungkan peristiwa-peristiwa hidup Yesus. Dengan tersedianya berbagai sarana bakti di tempat ziarah Gua Maria Kerep, diharapkan dapat membantu devosi umat pada Bunda Maria dan Yesus.

Pada zaman modern seperti saat ini, perkembangan teknologi seperti di bidang transportasi, sangat mempengaruhi segala sisi kehidupan manusia, termasuk dalam penghayatan keagamaan.10 Ziarah yang merupakan salah satu bentuk penghayatan keagamaan turut mengalami perubahan seiring dengan kemajuan di bidang teknologi transportasi. Pada awalnya, ziarah dilakukan dengan susah payah karena perjalanan yang sulit serta waktu yang lama, namun hal itu terkadang juga dimaksudkan agar pahala dari ziarah lebih tinggi.11 Pada saat ini, ziarah dapat dijalankan dengan mudah dan waktu yang relatif singkat karena kemajuan di bidang transportasi. Bahkan karena kemajuan itu, saat ini bermunculan agen-agen ziarah yang menawarkan satu paket kunjungan ke beberapa tempat (misalnya saja ziarah 9 gua Maria). Hal ini tentu saja mengandaikan biaya yang mahal, yang hanya terjangkau oleh kalangan ekonomi kuat. Praktik ziarah semacam ini semakin memperkuat kesan bahwa ziarah modern merupakan wisata rohani yang ikut memupuk budaya konsumtif yang pada akhirnya turut mempengaruhi pemaknaan ziarah umat.12 Ketika umat berziarah ke tempat-tempat yang suci di mana Bunda Maria berkarya dan mengabulkan doa-doa,

10

Paul Budi Kleden, “Pembelajaran Solidaritas Lewat Ziarah”, dalam BASIS no 9-10, tahun ke-56, 2007, hal 40.

11

Kees de Jong, “Ziarah Menyentuh Yang Adi Kodrati”, dalam Lima Titik Temu Agama-Agama, Yogyakarta: Duta Wacana University Press, 2000, hal 270.

12

(4)

umat seringkali datang dengan berbagai ujud-ujud. Jikalau ujud-ujud menjadi satu-satunya motivasi dalam perziarahan, maka tujuan tersebut dapat mendangkalkan makna dari ziarah.13 Keprihatinan mengenai pemaknaan umat pada ziarah diungkapkan oleh Bernhard Kieser dalam tulisannya berjudul “Berjiwa Ziarah Asli”.14 Kieser mengatakan, seiring dengan perkembangan zaman, praktik ziarah pun ikut mengalami perkembangan, mulai dari cara melakukan perjalanan hingga motivasi di balik praktik ziarah. Namun seharusnya, yang menjadi pokok dari perjalanan ziarah ialah bagaimana para peziarah berjiwa ziarah asli. Yang dimaksudkan dengan berjiwa ziarah asli adalah perubahan dalam kehidupan peziarah. Ketika seseorang pergi berziarah, maka seharusnya orang itu mengalami perubahan dalam hidupnya sehingga ia menjadi tulus dan berdaya dalam dunia ini. Berjiwa ziarah asli artinya perubahan yang mendayakan orang untuk melakukan sesuatu bagi dunia.

Sesungguhnya, ziarah merupakan praktik religius yang dimaksudkan untuk membangun spiritualitas umat. Tradisi Gereja Katolik mengakui bahwa ziarah dapat menguatkan iman, ziarah dapat membimbing umat menuju Allah, melalui ziarah umat memperoleh pengalaman yang kelihatan, nyata, dan terasa serta teraba tentang kerinduannya akan Allah.15 Namun sering terjadi bahwa dalam praktik berziarah umat menjalankannya berdasarkan kemauan dan kebutuhan pribadi yang dipengaruhi oleh mitos dan kebiasaan kebudayaan, yang justru bertentangan dengan ajaran gereja. Oleh karena itu, Paus Paulus VI menganjurkan dalam surat apostolis Marialis Cultus (1974) agar praktek ziarah dijauhkan dari segala takhayul dan justru makin di arahkan pada tuntunan Injil.16 Menurut ajaran Konsili Vatikan II, ziarah yang berpusat pada devosi Maria : harus berinspirasikan Kitab Suci, devosi Maria harus berada dalam keharmonisan dengan liturgi gereja, devosi itu harus bersikap ekumenis.17 Dengan demikian diharapkan perziarahan dapat menandai perubahan hidup lama menjadi hidup baru, yakni cara hidup Kristiani.

B. Identifikasi Masalah

Kehidupan keagamaan tidak hanya dipahami namun juga dihayati dan dirasakan oleh umat. Penghayatan umat tersebut dicapai salah satunya melalui praktik religius ziarah. Penghayatan serta pemaknaan ziarah sendiri mengalami perkembangan dari awal munculnya praktik tersebut. Terlebih lagi pada zaman modern ini yang menyediakan kecanggihan teknologi, yang pada akhirnya

13

G.P. Sindhunata, S.J., “Peziarah-Peziarah yang Rapuh Imannya”, dalam Utusan,No.08 tahun ke-54, Agustus 2004.

14

Bernhard Kieser, “Berjiwa Ziarah Asli”, dalam BASIS no. 9-10, tahun ke-56, 2007, hal 10-13.

15

G.P. Sindhunata S.J., Mengasih Maria-100 tahun Sendangsono, Yogyakarta: Kanisius, 2004, hal 180.

16

G.P. Sindhunata S.J., Mengasih Maria-100 tahun Sendangsono, Yogyakarta: Kanisius, 2004, hal 168-169.

17

(5)

mempengaruhi pemaknaan pada praktik ziarah. Penyusun yang berlatarbelakangkan tradisi Kristen Protestan merasa tertarik untuk mengetahui serta belajar mengenai praktik religius ziarah tersebut. Maka penyusun merumuskan masalah yang akan diangkat dalam skripsi ini dapat dalam pertanyaan-pertanyaan berikut :

1. Apakah makna ziarah bagi umat yang melakukan ziarah di gua Maria Kerep Ambarawa? 2. Bagaimana pemahaman teologis tentang ziarah berdasarkan hasil analisis pemaknaan umat

atas ziarah yang mereka lakukan di Gua Maria Kerep Ambarawa?

C. Batasan Masalah

Untuk memfokuskan pada permasalahan, maka perlu diberikan batasan-batasan. Adapun batasan masalah sebagai berikut :

1. Meneliti serta menganalisa pemaknaan ziarah umat berdasarkan pengalaman ziarah mereka di gua Maria Kerep Ambarawa terkait dengan ritual, simbol atau obyek kudus dan arsitektur suci. Pemaknaan atas ziarah berdasar ketiga aspek tersebut akan diteliti dari berbagai sarana bakti yang terdapat di Gua Maria Kerep. Sarana bakti tersebut antara lain jalan salib, kapel Adorasi, salib milenium, Gua Maria, ruang doa, taman doa.

2. Subyek yang diteliti ialah umat yang melakukan perjalanan ziarah ke gua Maria Kerep Ambarawa.

3. Pandangan teologis mengenai ziarah dilihat pula dari aspek sejarah terbentuknya pemaknaan ziarah/teologi ziarah, dari awal kemunculan tradisi ziarah, perkembangan ziarah, dan ziarah pada saat ini.

D. Alasan Pemilihan Judul

Dalam penulisan skripsi ini, penulis memilih judul :

PEMAKNAAN UMAT TERHADAP PRAKTIK ZIARAH DI GUA MARIA KEREP AMBARAWA

Praktek ziarah merupakan sebuah praktek religius yang cukup kontroversial bagi umat Kristen Protestan, sehingga permasalahan ini menarik dan penting untuk dibahas lebih lanjut.

Pemaknaan umat terhadap ziarah, merupakan usaha untuk meneliti serta menganalisis praktik

(6)

Pemaknaan praktik ziarah ini ditinjau dari 3 aspek yaitu ritual, obyek kudus/simbol, dan arsitektur suci (sarana bakti di Gua Maria Kerep).

Gua Maria Kerep Ambarawa, menjadi pilihan penelitian penulis karena tempat ini merupakan

tempat ziarah yang cukup populer dan ramai dikunjungi para peziarah, meskipun Gua Maria Kerep sebenarnya tidak mempunyai sejarah yang menonjol seperti Sendangsono.

E. Tujuan Penulisan

Tujuan dari penulisan ini ialah untuk mengetahui pemaknaan atas ziarah yang dilakukan umat di Gua Maria Kerep Ambarawa terkait dengan keberadaan berbagai sarana bakti yang tersedia seperti Jalan Salib, kapel Adorasi, salib milenium, Gua Maria, ruang doa dan taman doa. Kemudian pemaknaan ziarah umat tersebut akan dianalisa secara kritis kemudian ditinjau secara teologis dari pandangan Kristen Protestan.

F. Kerangka Teori

Praktek ziarah dalam perjalanan sejarah mengalami banyak perkembangan dan juga menimbulkan kontroversi. Terjadi sikap pro dan kontra terhadap keberlangsungan praktek religius tersebut. Kontra terhadap praktek ziarah diungkapkan oleh Erasmus (1466-1536) sebagai praktek takhyul, serta penyembahan pada berhala.18 Bersamaan dengan reformasi yang dilakukan Martin Luther, maka praktek religius ziarah pun akhirnya dipertanyakan dasar teologisnya.19 Martin Luther pada tahun 1510 datang ke Roma untuk menentang sikap gereja yang menetapkan sistem indulgensi.20 Kritikan Martin Luther tersebut pada akhirnya berimbas pula pada praktek ziarah. Martin Luther mengkritik praktek ziarah yang dipahami sebagai perbuatan baik seseorang akan berkonsekuensi kepada penyangkalan bahwa pembenaran yang sesungguhnya terjadi hanya oleh iman. Seolah-olah dengan perbuatan baiknya itu, seseorang dapat mendatangkan keselamatan pada dirinya sendiri. Senada dengan hal itu, Calvin pun berpendapat bahwa ziarah merupakan suatu usaha

18

Simon Coleman & John Elsner, Pilgrimage-Past and Present in The World Religions, Cambridge: Harvard University Press, 1995, hal 117.

19

Simon Coleman & John Elsner, Pilgrimage-Past and Present in The World Religions, Cambridge: Harvard University Press, 1995, hal 117-120.

20

Teologi yang melatarbelakangi indulgensi adalah bahwa gereja memiliki “harta kebaikan” yang dibangun oleh para rasul dan para kudus, yang sejalan dengan kehidupan Kristus yang tanpa dosa. Dengan mendapat rahmat tersebut, gereja menjual dokumen-dokumen indulgensi atau pengampunan dosa kepada anggota gereja yang ingin mengurangi atau membebaskan diri dari siksa api penyucian atau juga yang ingin membebaskan arwah orang yang telah meninggal sehingga bisa langsung masuk ke dalam Kerajaan Surga. Michael Collins & Matthew A. Price, Millennium The Story of Christianity, Yogyakarta: Kanisius, 2006, hal 132.

(7)

sia-sia untuk mendapatkan keselamatan. Ia pun menekankan bahwa satu-satunya perantara manusia pada Allah adalah Yesus Kristus, bukan orang-orang kudus,21 sehingga devosi Maria pada praktek ziarah pun dituduh sebagai penyembahan berhala. Ketika para reformator gereja membuang praktek-praktek yang dianggap tidak alkitabiah, termasuk ziarah, gereja Katolik Roma tetap mempertahankan praktek ziarah ini. Pihak gereja Katolik mempertahankan ziarah karena meyakininya dapat menguatkan iman bagi yang menjalankannya – meskipun hal ini bukan satu-satunya.22

Praktek ziarah yang ditolak oleh para reformator gereja (gereja Kristen Protestan), justru semakin berkembang dengan subur dalam tradisi Katolik. Praktek ziarah memang merupakan salah satu tradisi religius yang sudah lama hidup dalam banyak agama, lebih-lebih dalam agama rakyat.23 Kelompok orientalis24 Perancis berusaha mendefinisikan ziarah sebagai berikut: bahwa ziarah memiliki tiga ciri khusus yaitu (a) kekeramatan tempat ke mana orang pergi secara khusus (b) perjalanan bersama-sama atau sendirian ke tempat itu (c) tujuan dari perjalanan itu ialah penerimaan suatu keuntungan material atau spiritual tertentu.25 Dengan demikian, dalam ziarah setidaknya terkandung aspek-aspek (motivasi) religius, psikologis, ekonomis, dan sosiologis. Praktik ziarah ke tempat-tempat religius – seperti Gua Maria yang dianggap suci (keramat) – dipercaya dapat memenuhi kebutuhan psikologis dari para peziarah. Kebutuhan psikologis ini mencakup sikap dasar manusia yang tidak hanya terbatas pada kebutuhan sandang, pangan dan papan saja, tapi juga kebutuhan untuk bersentuhan dengan yang Adikodrati. Mengenai kebutuhan yang terakhir itu, St. Gitowiratmo mengatakan bahwa, praktik religius ziarah dapat dilihat dari sudut “sensus religiosus”,26 hal ini terkait dengan “kenikmatan religius” yang membuat hubungan manusia dengan Tuhan terasa semakin dekat. “Sensus religiosus” bisa terbentuk dari penghayatan orang-orang yang berziarah ke tempat-tempat suci untuk melakukan doa (devosi). Senada dengan St. Gitowiratmo, Sindhunata mengatakan bahwa ziarah merupakan pengalaman nyata merasa dan meraba tentang

21

Simon Coleman & John Elsner, Pilgrimage-Past and Present in The World Religions, Cambridge: Harvard University Press, 1995, hal 119.

22

St. Gitowiratmo, “Refleksi Ziarah Umat Katolik”, dalam Lima Titik Temu Agama-Agama, Yogyakarta: Duta Wacana University Press, 2000, hal 311-312.

23

Agama rakyat dikontraskan dengan agama resmi. Sehingga agama rakyat dipahami sebagai pola-pola perilaku dan keyakinan yang terkadang berlawanan dengan norma yang ditetapkan oleh lembaga agama. Robert J. Schreiter, C.PP.S, Rancang Bangun Teologi Lokal, Jakarta: BPK-GM, 2006, hal 207.

24

Orang yang ahli dalam bidang bahasa, sastra dan kebudayaan bangsa-bangsa Timur.

25

Kees de Jong, “Ziarah Menyentuh Yang Adi Kodrati”, dalam Lima Titik Temu Agama-Agama, Yogyakarta: Duta Wacana University Press, 2000, hal 269.

26

St. Gitowiratmo, “Refleksi Ziarah Umat Katolik”, dalam Lima Titik Temu Agama-Agama, Yogyakarta: Duta Wacana University Press, 2000, hal 309.

(8)

kerinduan manusia pada Allah yang dinyatakan lewat devosi pada Bunda Maria. Melalui pengalaman ini, umat Katolik dibawa pada tujuan akhir ziarah yaitu melatih diri untuk menjadi pengikut Yesus Kristus.27

Dalam mengkaji tentang makna ziarah, Simon Coleman dan John Elsner melihat setidaknya ada 3 aspek yang mempengaruhi pemaknaan terhadap ziarah, yaitu ritual, obyek kudus/simbol, arsitektur suci.28

1. Ritual

Salah satu aspek dalam perziarahan yang menonjol adalah ritual. Ritual dipahami sebagai bentuk upacara atau perayaan yang berhubungan dengan agama dan ditandai oleh sifat khusus, yang menimbulkan rasa hormat yang luhur dalam arti merupakan pengalaman yang suci.29 Pengalaman itu mencakup segala sesuatu yang dibuat atau dipergunakan oleh manusia untuk menyatakan hubungannya dengan Yang Ilahi, dan hubungan atau perjumpaan itu bukan sesuatu yang sifatnya biasa atau umum, tetapi sesuatu yang bersifat khusus atau istimewa, sehingga manusia membuat suatu cara yang pantas guna melaksanakan perjumpaan itu, maka muncullah beberapa bentuk ritual agama seperti ibadat atau liturgi.30 Ibadat atau liturgi (ritual agama) merupakan sarana pengungkapan iman.31 Oleh karena itu liturgi atau ritual agama diselenggarakan pada tempat, dan waktu yang khusus, dan berbagai peralatan ritus lain yang bersifat sakral dengan tujuan untuk membawa umat pada penghayatan iman. Ritual seharusnya tidak hanya dipahami, tapi juga dihayati dan dirasakan sesuai dengan kebutuhan umat.32

2. Obyek kudus/simbol

Obyek kudus atau simbol merupakan bagian penting dalam perziarahan. Dalam sarana bakti seperti jalan salib, Sakramen Maha Kudus, patung Bunda Maria, lilin, air dan sebagainya, para peziarah dibantu untuk membangun kembali kenangan akan perjalanan suci dalam imajinasi mereka. Simbol diperlukan untuk menghubungkan imajinasi mereka dengan tujuan suci dari perjalanan ziarah dan memberi makna bagi kehidupan spiritual mereka pada kehidupan hari-hari. Simbol bukanlah sekedar informasi sebagaimana tanda. Simbol merupakan lambang yang

27

G.P. Sindhunata S.J., Mengasih Maria-100 tahun Sendangsono, Yogyakarta: Kanisius, 2004, hal 180-181.

28

Simon Coleman & John Elsner, Pilgrimage-Past and Present in The World Religions, Cambridge: Harvard University Press, 1995, hal 6.

29

Thomas F. O’Dea dalam Y. Sumandiyo Hadi, Seni dalam Ritual Agama, Yogyakarta: Penerbit Pustaka, 2006, hal 31.

30

Y. Sumandiyo Hadi, Seni dalam Ritual Agama, Yogyakarta: Penerbit Pustaka, 2006, hal 31.

31

Tom Jacobs, S.J, “Vatikan II: Pembaruan Liturgi”, dalam Gereja Indonesia Pasca-Vatikan II, Yogyakarta: Kanisius, 1997, hal 258.

32

Tom Jacobs, S.J, “Vatikan II: Pembaruan Liturgi”, dalam Gereja Indonesia Pasca-Vatikan II, Yogyakarta: Kanisius, 1997, hal 258.

(9)

melalui dan dalam lambang itu sendiri terjadilah, terlaksanalah dan menjadi nyatalah apa yang disimbolkan itu. Simbol bukan tampil untuk dirinya sendiri tapi untuk yang dilambangkan, dan yang dilambangkan itu hanya dapat dialami dan dipahami dalam simbol. Ada hubungan timbal balik yang tidak dapat dipisahkan antara simbol dan realitas yang disimbolkan. Simbol dan realitas yang disimbolkan merupakan satu kesatuan kenyataan simbolis.33 Bagi orang Kristiani, simbol merupakan kunci yang membuka pintu pertemuannya dengan Tuhan. Melalui pertemuan ini, mereka merasa mendapatkan ketentraman dan keselamatan. Dengan demikian, simbol dapat memberi orientasi yang lebih dalam, menunjukkan dimensi iman yang menghubungkan manusia dengan Allah sendiri.34 Simbol terwujud tidak hanya dalam benda-benda tapi juga dalam kegiatan-kegiatan simbolis dalam liturgi, seperti jabat tangan, menepuk dada, berdiri, berlutut, menumpangkan tangan, mencurahkan air, dan lain sebagainya.35

3. Arsitektur suci

Pemaknaan ziarah seringkali juga muncul dalam arsitektur tempat ziarah. Pada abad pertengahan, arsitektur gereja-gereja yang menjadi tempat ziarah atau tempat ziarah lainnya di Eropa digunakan untuk menyampaikan uraian teologis dalam kehidupan sosial masyarakat. Misalnya saja stain glass di Katedral Canterbury menunjukkan orang-orang yang berziarah dan berdoa ke makam St. Thomas, juga pahatan di Katedral Chartres yang menggambarkan inkarnasi Yesus, penyelamatan manusia, dan kemungkinan tawaran keselamatan bagi setiap peziarah yang mengunjungi Katedral Chartres tersebut.36 Melalui arsitektur dari Katedral tersebut, para peziarah yang buta huruf dapat belajar dan mengenal kehidupan Kristiani. Pemaknaan arsitektur yang demikian juga muncul dalam perziarahan saat ini. Hanya saja tujuan perziarahan di Indonesia bukan lagi gereja atau Katedral tempat dimakamkannya martir atau orang kudus tertentu, melainkan Gua Maria. Arsitektur dari tempat ziarah Gua Maria Kerep muncul dalam bentuk berbagai sarana bakti antara lain jalan salib, kapel Adorasi, salib milenium, taman doa, Gua Maria, dan ruang doa. Melalui arsitektur tersebut, umat dapat pula menyelami dan menghayati keberadaan Allah, tidak semata-mata hanya bergantung pada teks Alkitab. Arsitektur dari berbagai sarana bakti di tempat ziarah Gua Maria merupakan simbol

33

E. Martasudjita, Pengantar Liturgi: Makna, Sejarah dan Teologi Sejarah, Yogyakarta: Kanisius, 2000, hal 11-12.

34

Ernest Mariyanto, Simbol, Malang: Dioma, 2005, hal 18-19.

35

Ernest Mariyanto, “Praktek Liturgi Pasca-Vatikan II” dalam Gereja Indonesia Pasca-Vatikan II, Yogyakarta: Kanisius, 1997, hal 299.

36

Simon Coleman & John Elsner, Pilgrimage-Past and Present in The World Religions, Cambridge: Harvard University Press, 1995, hal 112.

(10)

yang melambangkan realitas yang ingin disampaikan dalam simbol tersebut. Dengan begitu aspek arsitektur suci yang berguna dalam mencari pemaknaan ziarah sudah tercakup dalam aspek obyek kudus/simbol.

Ketiga aspek tersebut turut mempengaruhi perkembangan dan pemaknaan tradisi ziarah dalam dunia agama-agama. Pada saat ini, ketika umat Katolik melakukan ziarah ke gua Maria, yang diyakini memberi arti bagi kehidupan spiritual umat, maka ketiga aspek Coleman dan Elsner yaitu ritual, obyek kudus/simbol dan arsitektur suci, akan menjadi jalan masuk yang membantu penelitian serta analisis mengenai pemaknaan umat terhadap ziarah mereka. Pada kenyataannya ketiga aspek tersebut tidak dapat dipisahkan secara tegas. Ketiganya saling kait mengait dan mempengaruhi sehingga dalam penganalisisan terhadap data lapangan ketiganya akan digunakan bersama-sama (tidak terpisah). Aspek-aspek tersebut terwujud dalam berbagai sarana bakti yang tersedia di Gua Maria Kerep, antara lain jalan salib, kapel Adorasi, salib milenium, Gua Maria beserta mata air/sendang, ruang doa, dan taman doa.

G. Metode Pengumpulan Data dan Penulisan

Dalam skripsi ini, penyusun mengumpulkan data dengan melakukan penelitian di Gua Maria Kerep Ambarawa selama 1 bulan. Dalam penelitian tersebut penyusun menggunakan pendekatan : Observasi partisipatif : pendekatan ini dilakukan dengan melakukan pengamatan secara langsung dan berinteraksi dengan subyek yang diteliti oleh penyusun.

Angket dan wawancara: Dalam upaya menggali lebih dalam mengenai pemaknaan ziarah di Gua Maria Kerep Ambarawa, penyusun menggunakan metode angket dan wawancara. Dengan menyebarkan angket, diharapkan dapat membantu penyusun mendapatkan data yang lebih luas, mengingat keterbatasan penyusun untuk mewawancara semua peziarah. Sedangkan dengan metode mewawancara umat yang berziarah ke Gua Maria Kerep Ambarawa diharapkan penyusun dapat berinteraksi secara langsung, menggali pemahaman serta pemaknaan para peziarah. Selain itu penyusun mewawancara pula Romo, suster, koster Gua Maria Kerep, serta manager Gua Maria Kerep untuk melengkapi data penelitian.

Studi literatur : penyusun mengumpulkan data yang relevan mengenai fenomena ziarah, sejarah ziarah, serta pandangan teologis mengenai ziarah.

Dalam penulisan skripsi, penyusun menggunakan metode deskripsi analitis yaitu mendeskripsikan pemaknaan ziarah berdasarkan sarana bakti yang terdapat di Gua Maria Kerep dan kemudian

(11)

menganalisis aspek simbol/obyek kudus dan ritual dari tiap sarana bakti yang diziarahi. Setelah hasil analisis didapat, maka akan ditinjau secara teologis guna melihat bagaimana pandangan teologis mengenai praktik religius ziarah.

H. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan skripsi adalah sebagai berikut :

Bab I PENDAHULUAN

Bab ini berisi tentang latar belakang pembahasan skripsi, identifikasi masalah, batasan masalah, alasan pemilihan judul, tujuan penulisan, kerangka teori, metode pengumpulan data dan penulisan, dan sistematika penulisan skripsi yang disusun. Bab ini menyajikan gambaran umum tentang isi skripsi yang akan ditulis.

Bab II HASIL PENELITIAN DAN ANALISA TERHADAP ZIARAH DI GUA MARIA KEREP AMBARAWA

Bab ini akan menyajikan gambaran singkat mengenai Gua Maria Kerep Ambarawa serta makna ziarah bagi orang-orang yang berziarah ke Gua Maria Kerep Ambarawa. Pemaknaan tersebut digali dengan menggunakan metode angket dan wawancara. Kemudian data-data tersebut akan dianalisa mengenai faktor apa saja yang muncul sebagai pemaknaan umat terhadap ziarah.

Bab III TEOLOGI ZIARAH

Pada bab ini akan dipaparkan pemahaman keKristenan mengenai ziarah. Bahasan terhadap pemahaman keKristenan ini merupakan suatu dialog atas pemaknaan umat pada ziarah yang mereka lakukan di Gua Maria Kerep Ambarawa dengan Kitab Suci.

Bab IV PENUTUP

Berisi kesimpulan dari seluruh pembahasan yang dipaparkan, dan juga beberapa saran untuk gereja yang sekiranya diperlukan bagi perziarahan umat Kristen.

Referensi

Dokumen terkait

Hasil tersebut bila dilihat dari nilai rata-ratanya menggambarkan bahwa kondisi prokrastinasi akademik siswa setelah pelaksanaan bimbingan kelompok dengan teknik role

berdasarkan hasil penelitian diatas, mayoritas responden (sekitar 70 %) termasuk pengguna facebook yang aktif dan menggunakanya untuk sekedar bersenang-senang, serta

Dari sepuluh data pengujian pada Tabel 2 dan Tabel 3 menunjukkan bahwa purwarupa pertama mampu mengendalikan suhu ruangan dengan rata- rata kesalahan lebih kecil

Tabel 8 memperlihatkan bahwa pada Fakultas Ekonomi aspek kegiatan inti pembelajaran memiliki bobot nilai yang paling tinggi dibandingkan aspek lainnya sementara

Chairul Tanjung dikenal sebagai pengusaha yang agresif, ekspansi usahanya merambah segala bidang, mulai perbankan dengan bendera Bank Mega Group, pertelivisian Trans TV dan Trans

merumuskan rencana dan program kerja Seksi Pemberdayaan Masyarakat Desa sesuai dengan ketentuan yang berlaku sebagai pedoman dalam pelaksanaan tugas;.. mempersiapkan

Besarnya bagian dari pendapatan yang digunakan untuk membeli sesuatu barang dapat mempengaruhi elastisitas permintaan terhadap barang tersebut.. Semakin besar bagian pendapatan

Based on the analysis of this study showed that there is a strong relationship between the promotion with employee morale Pekanbaru City Branch of Bank Nagari.