• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS MULTIKRITERIA SPASIAL DALAM PENENTUAN KETERSEDIAAN LAHAN SAWAH DI KABUPATEN CIANJUR DIAR SHIDDIQ

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ANALISIS MULTIKRITERIA SPASIAL DALAM PENENTUAN KETERSEDIAAN LAHAN SAWAH DI KABUPATEN CIANJUR DIAR SHIDDIQ"

Copied!
97
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS MULTIKRITERIA SPASIAL

DALAM PENENTUAN KETERSEDIAAN LAHAN SAWAH

DI KABUPATEN CIANJUR

DIAR SHIDDIQ

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam tesis saya yang berjudul: ‘Analisis Multikriteria Spasial Dalam Penentuan Lahan Sawah di Kabupaten Cianjur” adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutif dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Juli 2011

Diar Shiddiq NIM: A155030171

(3)

ABSTRACT

DIAR SHIDDIQ. Spatial Multi Criteria Analysis for Determining Paddy Field Availability in Cianjur Regency. Under direction of H.R SUNSUN SAEFULHAKIM and BABA BARUS.

. The research was aimed to compare Boolean Combination and Weighted Linear Combination analysis methods to determine paddy field availability; to define spatial relationship between physical, economic, and legal aspects as well as sustainability related to determining agricultural land availability; and to calculate paddy field availability. Recent methodological analysis on agricultural land availability has been considering physical or socio-economic aspects, however this would not ensure proper accounting of actual agricultural land utilization. In this research, additional aspects such as land allocation policies and erosion levels, were employed and served as supplementary variables in agricultural land availability analysis, therefore minimize possibility on conflicting land utilization and ensure agricultural sustainability. Spatial analysis using Geographical Information System coupled with Multi-criteria Evaluation was employed to investigate available lands based on previous criteria. Specifically, a Weighted Linear Combination (WLC) was assessed to provide dynamic variations of weight and adaptive to different effect of each variable. Weighting by means of Analytic Hierarchy Process (AHP) showed that physical factors (i.e. land suitability) achieved highest rank (about 16.7%), while the lowest was land utilization (6.3%). Analysis of WLC suggested that there are about 136,549 ha available for paddy field while analysis of Boolean Combination suggested 30,590 ha available for paddy field. In term of decision risk, Boolean Method was risk averse while WLC method divided the risk between aversion risk and taking risk.

(4)

RINGKASAN

DIAR SHIDDIQ. Analisis Multikriteria Spasial dalam Penentuan Ketersediaan Lahan Sawah di Kabupaten Cianjur. Dibimbing oleh H.R. SUNSUN SAEFULHAKIM DAN BABA BARUS.

Perencanaan tata ruang memiliki sasaran utama untuk menghasilkan penggunaan yang terbaik yang biasanya dapat dikelompokkan atas tiga sasaran umum: (1) efisiensi, (2) keadilan dan akseptabilitas masyarakat, (3) keberlanjutan (Rustiadi et al ,2003). Untuk memenuhi hal tersebut diperlukan lahan yang dalam proses perencanaan tata ruang ditentukan melalui identifikasi lahan tersedia. Proses identifikasi lahan tersedia melalui teknik analisis spasial dalam Sistem Informasi Geografi (SIG) telah banyak dilakukan. Pada umumnya identifikasi lahan tersedia dilakukan dengan mempertimbangkan aspek kesesuaian lahan secara fisik dan ekonomi. Kesesuaian lahan secara fisik merupakan hasil analisis yang menggabungkan aspek fisik lahan seperti kondisi kesuburan tanah, lereng, curah hujan dan lain-lain, dimana setiap jenis tanaman memiliki kebutuhan spesifik. Output analisis kesesuaian lahan adalah berupa Peta Kesesuaian Lahan yang secara umum membagi lahan menjadi dua kelas yaitu Sesuai (S) dan tidak sesuai (N). Aspek ekonomi menggambarkan kesesuaian secara ekonomi dimana satu jenis komoditi dinilai berdasarkan kesesuaiannya untuk diusahakan sehingga menghasilkan keuntungan yang optimal. Secara spasial data-data ekonomi ini dipetakan dengan menggunakan unit batas administrasi sebagai pewakil. Gabungan analisis data spasial fisik dan ekonomi inilah yang diidentifikasi sebagai lahan tersedia.

Selain aspek penggunaan lahan, ketersediaan lahan dibatasi juga oleh jenis penguasaan lahan. Secara umum penguasaan lahan meliputi penguasaan oleh pemerintah dan perorangan/masyarakat. Beberapa jenis penguasaan lahan oleh pemerintah tercantum dalam berbagai aturan/kebijakan alokasi ruang yang dikeluarkan oleh berbagai pihak, dengan produk diantaranya berupa Rencana Tata Ruang Wilayah (Bappeda), Kawasan Hutan (Departemen Kehutanan), Perijinan HGU, HGB, hak milik (BPN), dan lain-lain. Banyaknya jumlah produk kebijakan alokasi ruang berpeluang menimbulkan konflik lahan dari sisi legalitas dalam penguasaan dan pengusahaan lahan, terutama karena lemahnya koordinasi antar lembaga dan tidak terintegrasinya proses pembuatan kebijakan alokasi ruang. Dalam kaitannya dengan identifikasi lahan tersedia maka produk-produk kebijakan alokasi ruang yang telah ada perlu

(5)

dijadikan juga sebagai bahan acuan untuk meminimalisir konflik. Penelitian ini bertujuan untuk: (1) Membandingkan 2 metode analisis spasial dalam menentukan lahan tersedia untuk sawah, (2) Mendefinisikan hubungan secara spasial berdasarkan aspek fisik, ekonomi, aksesibilitas, kebijakan lahan dan keberlanjutan dalam kaitannya dengan identifikasi lahan tersedia untuk sawah, (3) Mengidentifikasi ketersediaan lahan pertanian untuk sawah

Metode boolean combination memiliki kelebihan dalam penetapan area dengan status untuk dilindungi sehingga tidak memberikan ruang lebar dalam pengambilan keputusan. Metode WLC memiliki kelebihan dalam penetapan ketersediaan lahan terutama untuk area-area budidaya, dengan memberikan ruang yang lebih fleksibel pada proses pengambilan keputusan dengan rentang derajat kesesuaian lebih lebar (1-5) dimana semakin tinggi nilai menunjukkan derajat kesesuaian yang semakin tinggi. Sebaliknya dengan metode bolean penetapan derajat kesesuaian yang lebih tegas (0-1) tidak memberikan ruang pilihan yang luas dan cenderung kaku.

Hasil pembobotan dengan AHP menunjukkan bahwa faktor kesesuaian lahan fisik memiliki nilai bobot tertinggi yaitu 16.7 % dan yang terendah adalah faktor penggunaan lahan sebesar 6.3%.

Hasil analisis WLC dengan 5 kriteria yaitu Sangat Tersedia (ST), Tersedia (T), Cukup Tersedia (CT), Kurang Tersedia (KT) dan Sangat Kurang Tersedia (TT) menunjukkan bahwa model WLC dapat digunakan dalam identifikasi lahan tersedia di Kabupaten Cianjur dengan hasil teridentifikasinya area untuk lahan pertanian sawah seluas 136.549 ha yang merupakan gabungan 2 kelas ST-T. Sedangkan metode Boolean combination menghasilkan luas ketersediaan 30,590 ha.

Kata Kunci: Kesesuaian Lahan, Analisis spasial, Evaluasi Multikriteria, Analisis bobot kombinasi linear.

(6)

©Hak cipta milik IPB, tahun 2011 Hak cipta dilindungi undang-undang

1. Dilarag mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan wajar IPB

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa ijin IPB

(7)

ANALISIS MULTIKRITERIA SPASIAL

DALAM PENENTUAN KETERSEDIAAN LAHAN SAWAH

DI KABUPATEN CIANJUR

DIAR SHIDDIQ

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Magister Sains pada

Program Studi Ilmu-ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah

dan Perdesaan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)

Judul Tesis : Analisis Multikriteria Spasial dalam Penentuan Ketersediaan Lahan Sawah di Kabupaten Cianjur

Nama : Diar Shiddiq

NIM : A155030171

Program Studi : Ilmu-ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. H.R. Sunsun Saefulhakim, M.Agr

Ketua Anggota

Dr. Ir. Baba Barus, M.Sc

Diketahui, Ketua Program Studi Ilmu-Ilmu

Perencanaan Pembangunan Wilayah Dekan Sekolah Pascasarjana Dan Perdesaan

Prof. Dr. Ir. Bambang Juanda, MS Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc. Agr.

(9)

PRAKATA Bismillaahirrohmaanirrohiim

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Sholawat dan salam sejahtera semoga tetap tercurah kepada Rasullullah SAW, keluarga, sahabat dan para pengikutnya yang setia sampai akhir zaman.

Tesis ini tidak akan selesai dengan sempurna tanpa bantuan berbagai pihak, dan penulis menghaturkan terima kasih yang setulusnya kepada:

1. Bapak Dr. Ir. H.R. Sunsun Saefulhakim, M.Agr. dan Dr. Ir. Baba Barus, M.Sc atas segala bimbingan dan arahannya yang sangat membantu penulis dalam penyelesaian studi ini, jazakumullah atas segala kesabaran dan keikhlasannya.

2. Bapak Prof. Dr. Bambang Juanda, MS dan Bapak Dr. Ir. Setiahadi, MS, sebagai Ketua dan Sekretaris Program Studi Ilmu-ilmu Perencanaan Pengembangan Wilayah dan Perdesaan (PWD)

3. Rekan-rekan P4W, Bambang, Ode, Pak Is, Diah,Didit, Andi dan lain-lain terima kasih atas dorongan dan dukungannya kepada penulis

4. Istri tercinta Euis Sufi Janingsih dan anak-anak tercinta, atas segala dorongan, dukungan, dan kesabarannya selama ini.

5. Ayhanda (Alm) Mahmud Kholil dan Ibunda tercinta E. Muthi’ah atas segala do’anya dan didikannya selama ini,

6. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, terima kasih atas segala dukungan dan dorongannya.

Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari kesempurnaan, maka penulis mengharapkan kritik dan sarannya untuk perbaikan tulisan ini., semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat

Bogor, Juli 2011

(10)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kuningan pada tanggal 28 Februari 1970, merupakan anak ketiga dari 10 bersaudara putra pasangan Bapak Mahmud Kholil dan Ibu E. Muthi’ah.

Penulis menyelesaikan SD, SMP dan SMA di kabupaten Kuningan. Pendidikan Sarjana ditempuh pada Jurusan Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor dan lulus pada tahun 1994. Sejak tahun 1997- sekarang penulis bekerja sebagai asisten di bagian Penginderaan Jauh dan Kartografi Jurusan Tanah IPB. Tahun 2005- sekarang penulis aktif sebagai peneliti di Pusat Pengkajian Perencanaan dan Pengembangan Wilayah (P4W) LPPM-IPB. Pada Tahun 2003 penulis diterima di Program Pascasarjana IPB program studi Ilmu-ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan.

(11)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR I. PENDAHULUAN ... 1 1.1. Latar Belakang ... 1 1.2. Perumusan Masalah... 3 1.3. Tujuan Penelitian... 3 1.4. Manfaat Penelitian... 4

1.5. Ruang Lingkup Penelitian ... 4

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 5

2.1. Perencanaan Pengembangan Wilayah ... 5

2.2. Penataan Ruang ... 7

2.3. Kebijakan Alokasi Ruang ... 8

2.4. Rencana Tata Ruang Wilayah ... 8

2.5. Perijinan dalam pemanfaatan lahan ... 9

2.5.1. Kawasan Hutan ... 9

2.5.2. Kawasan HGU Perkebunan ... 9

2.6. Kesesuaian Lahan ... 9

2.7. Ketersediaan Lahan Pertanian... 10

2.8. Analisis Spasial Dalam SIG ... 11

2.9. Analisis Multikriteria Spasial ... 12

III. METODE PENELITIAN... 14

3.1. Alur Kerangka Pemikiran Penelitian ... 14

3.2. Bahan dan Alat ... 15

3.3. Tahapan Penelitian ... 15

3.4. Metode Analisis ... 16

(12)

3.5. Analisis Erosi ... 17

3.5.1. Faktor Erosivitas Hujan (R) ... 17

3.5.2. Faktor Erodibilitas Tanah (K) ... 17

3.5.3. Faktor Panjang dan Kemiringan Lereng (LS) ... 18

3.5.4. Faktor Pengelolaan Tanaman (C) ... 19

3.5.6. Faktor Konservasi Tanah (P) ... 19

3.6. Multikriteria Analisis dg SIG... 20

3.7. Derajat Ketersediaan Sub Faktor ... 22

IV. KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN ... 27

4.1. Letak dan Luas Wilayah ... 27

4.2. Iklim ... 27 4.3. DAS... 29 4.4. Penggunaan Lahan ... 29 4.6. Kesesuaian Lahan ... 32 4.7. Kawasan Hutan ... 34 4.8. Perijinan Perkebunan ... 36 4.9. Penduduk... 38 4.10. Ekonomi ... 38 4.11. Erosi ... 39

V. HASIL DAN PEMBAHASAN... 41

5.1. Derajat Kesesuaian Metode Boolean dan WLC ... 41

5.1.1. Aspek Biofisik Wilayah ... 41

5.1.2. Aspek Sosial Ekonomi ... 44

5.1.3. Aspek Legal ... 44

5.2. Kendala ... 45

5.3. Hasil Analisis AHP untuk Nilai W dari Sub Faktor ... 45

5.4. Analisis Ketersediaan dengan Model Booolean Combination ... 47

5.5. Analisis Ketersediaan dengan Model Weighted Linear Combination (WLC) ... 51

5.6. Validasi Model ... 54

5.7. Perbandingan Hasil Ketersediaan Lahan Metode Boolean dan WLC ... 56

5.8 Aplikasi Analisis WLC dalam Redsitribusi Lahan Sawah ... 57

VI. SIMPULAN DAN SARAN ... 60

6.1. Simpulan ... 60

(13)
(14)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Nilai Faktor LS ... 18

Tabel 2. Nilai Faktor C ... 19

Tabel 3. Tabel Nilai P (Arsyad, 2006) ... 19

Tabel 4. Derajat Ketersediaan untuk Faktor Biofisik ... 23

Tabel 5. Nilai Derajat Kesesuaian Lahan Faktor Sosial Ekonomi... 24

Tabel 6. Nilai Derajat Ketersediaan Sub Faktor Perijinan ... 26

Tabel 7. Luas Penggunaan Lahan Kabupaten Cianjur tahun 2007 ... 30

Tabel 8. Status Kesesuaian Lahan Kabupaten Cianjur ... 32

Tabel 9. Luas Kawasan Hutan Kabupaten Cianjur ... 34

Tabel 10. Contoh HGU Perkebunan dan Masa Berlakunya Ijin ... 36

Tabel 11. Laju Pertumbuhan PDRB Kabupaten Cianjur atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha Tahun 2006 – 2010 ... 39

Tabel 13. Nilai Bobot Sub Faktor berdasarkan AHP ... 46

Tabel 14. Simbol dan keterangan klasifikasi ketersediaan lahan sawah ... 51

Tabel 15. Luas Lahan tersedia hasil Analisis Tumpangtindih ... 55

(15)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Skema metode analisis multikriteria (a) diskret dan (b) kontinyu (Chakkar

et. al., 2007) ... 13

Gambar 2. Nomograf Penentu Nilai K (Wischmeier dalam Arsyad, 2006) ... 18

Gambar 3. Kerangka Analisis Multi criteria Evaluation ... 21

Gambar 4. Gambar Struktur hirarki faktor pendukung ketersediaan lahan sawah untuk metode AHP ... 22

Gambar 5. Peta Administrasi Kabupaten Cianjur ... 28

Gambar 6. Peta Penggunaan Lahan Kabupaten Cianjur tahun 2007 ... 31

Gambar 7. Peta Status Kesesuaian Lahan Kabupaten Cianjur (Sumber: Peta RePPProT) ... 33

Gambar 8. Peta Kawasan Hutan Kabupaten Cianjur (SK. Menhut No.195/Kpts-II/2003) ... 35

Gambar 9. Peta Perijinan HGU Perkebunan di Kabupaten Cianjur ... 37

Gambar 10. Peta Erosi Aktual di Kabupaten Cianjur (Sumber:hasil analisis) ... 40

Gambar 11. Peta Kesesuaian Lahan Sawah (a) dan Peta Akses Lahan ke Sumber Air (b) ... 42

Gambar 12. Sebaran Statistik Tingkat Erosi Aktual di Kabupaten Cianjur ... 43

Gambar 13. Peta Erosi Aktual (a) dan Peta Status Erosi (b) ... 43

Gambar 14. Peta Penggunaan Lahan dan Statusnya terhadap Ketersediaan Lahan Pertanian ... 45

Gambar 15. Peta Ketersediaan Lahan untuk Sawah Metode Boolean... 48

Gambar 16 Luas Lahan Tersedia untuk Sawah (ha) dengan metode Boolean ... 49

Gambar 17. Perbandingan Sebaran Sawah Aktual dengan Sawah hasil Analisis ... 50

Gambar 18. Peta Ketersediaan Lahan untuk Sawah Metode WLC ... 53

Gambar 19 Perbandingan Luas Lahan Sawah menurut Dinas Pertanian dan Hasil Analsis WLC ... 54

(16)

Gambar 21. Grafik Perbandingan Luas Lahan Sawah Aktual, Analisis Boolean dan WLC Sangat Tersedia (ST) (ha) ... 57

(17)

I.

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Data statistik Indonesia (Susenas, 2006) menunjukkan bahwa pada tahun 2006 jumlah penduduk miskin (yang hidup dibawah garis kemiskinan) di Indonesia mencapai 39.09 juta jiwa (17.75%), dimana 63.41% diantaranya merupakan penduduk yang tinggal di daerah perdesaan. Jika dilihat lebih detil lagi, faktor yang paling memberikan kontribusi terhadap garis kemiskinan ini adalah faktor komoditi makanan. Peranan komoditi makanan (beras, gula pasir, minyak kelapa, telur, mie instan) terhadap garis kemiskinan jauh lebih besar dari pada peranan komoditi non-makanan (perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan), yaitu mencapai 74.99%. Usaha yang terkait dengan komoditi pangan sangat terkait dengan masyarakat biasa, yang saat ini pemilikan lahannya sangat kecil atau tidak ada sama-sekali. Data hingga tahun 2006, menunjukkan bahwa petani gurem (penguasaan lahan kurang dari 0.5 ha) mencapai 56.5 % dari total jumlah petani (BPN, 2007).

Rendahnya tingkat kepemilikan lahan pertanian menyebabkan petani memiliki peluang yang kecil untuk meningkatkan kesejahteraannya. Secara teori setiap aktifitas ada batas skala operasinya yang optimal yang dalam terminologi ekonomi dikenal sebagai economies of scale. Skala ekonomi suatu kegiatan usaha adalah suatu kondisi dimana peningkatan satu unit produksi/distribusi output terjadi dengan biaya rata-rata per unit yang semakin rendah (Chandler, 2004). Dengan kepemilikan lahan di bawah 1 ha maka petani tidak dapat mengusahakan lahannya pada tingkat skala ekonominya sehingga biaya yang harus dikeluarkan menjadi lebih besar. Lahan sebagai salah satu sumberdaya alam menduduki porsi yang penting dalam kesuksesan usaha peningkatan kesejahteraan petani. Lahan merupakan jenis sumberdaya yang memiliki karakteristik berupa jumlahnya yang terbatas, tidak dapat ditambah, sedangkan disisi lain kebutuhan manusia terhadap lahan semakin meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk dari waktu ke waktu. Keterbatasan ini menimbulkan persaingan dalam penggunaan lahan. Dalam persfektif nilai lahan/land rent, lahan pertanian yang memiliki land rent lebih rendah (Suhartanto, 2009) dari penggunaan lahan lain (perumahan, jasa, industri, infrastrukur jalan) cenderung mengalami konversi menjadi bentuk penggunaan lahan lain dengan land rent yang lebih tinggi. Pengusahaan lahan pertanian yang berada di bawah skala ekonomisnya merupakan salah satu penyebab rendahnya land rent lahan pertanian. Optimalisasi pemanfaatan lahan secara teori bisa

(18)

dilakukan dengan memperluas cakupan output yang dikenal dalam ekonomi sebagai economies of scope dimana satu unit input sumberdaya dalam satu kegiatan produksi/distribusi dengan bekerjasama dapat menghasilkan beberapa jenis output (Chandler, 2004). Berkaitan dengan upaya peningkatan akses petani terhadap lahan, perlu dilakukan pada tahap awal proses identifikasi ketersediaan lahan. Identifikasi ketersediaan lahan dalam perencanaan tata ruang harus memenuhi tiga sasaran utama untuk menghasilkan penggunaan yang terbaik yaitu: (1) efisiensi, (2) keadilan dan akseptabilitas masyarakat, (3) keberlanjutan (Rustiadi et al., 2003). Untuk memenuhi hal tersebut diperlukan lahan yang dalam proses perencanaan tata ruang ditentukan melalui identifikasi lahan tersedia.

Proses identifikasi lahan tersedia melalui teknik analisis spasial dalam Sistem Informasi Geografi (SIG) telah banyak dilakukan, misalnya oleh Santé-Riveira et al. (2008) dan Wang et al. (2004)

Selain aspek penggunaan lahan, ketersediaan lahan juga dapat dibatasi oleh jenis penguasaan lahan. Secara umum penguasaan lahan meliputi penguasaan oleh pemerintah dan perorangan/masyarakat. Beberapa jenis penguasaan lahan oleh pemerintah tercantum dalam berbagai aturan/kebijakan alokasi ruang yang dikeluarkan oleh berbagai pihak, dengan produk diantaranya berupa Rencana Tata Ruang Wilayah (oleh Bappeda), Kawasan Hutan (Departemen Kehutanan), Perijinan HGU, HGB, hak milik (BPN), dan lain-lain. Dalam kaitannya dengan identifikasi lahan tersedia maka produk-produk kebijakan alokasi ruang yang telah ada perlu dijadikan sebagai bahan acuan untuk meminimalkan konflik. Namun demikian, telaah

. Pada umumnya identifikasi lahan tersedia dilakukan dengan mempertimbangkan aspek kesesuaian lahan secara fisik dan ekonomi. Gabungan analisis data spasial fisik dan ekonomi inilah yang diidentifikasi sebagai lahan tersedia. Lahan merupakan jenis sumberdaya yang memiliki karakteristik berupa cakupan yang terbatas, dan tidak dapat ditambah. Keterbatasan ini menimbulkan persaingan dalam penggunaan lahan.

Pengusahaan lahan pertanian yang berada di bawah skala ekonomisnya merupakan salah satu penyebab rendahnya nilai lahan pertanian. Optimalisasi pemanfaatan lahan secara teori bisa dilakukan jika tercapai batas skala operasinya yang optimal (economies of scale) dan dengan memperluas cakupan keluaran (economies of scope) dimana beberapa unit masukan sumberdaya dalam satu kegiatan produksi/distribusi dengan bekerjasama dapat menghasilkan suatu keluaran yang optimal (Chandler, 2004).

(19)

literatur menunjukkan kurangnya kajian tentang metode atau teknik kuantitatif yang dapat menjadi titik tolak pengembangan metodologis lebih lanjut. Kelemahan ini sangat telihat pada aspek representasi spasial, walaupun data spasial telah mulai tersedia dengan kualitas yang lebih baik.

Kinerja pembangunan kabupaten Cianjur sebagai kabupaten lumbung beras di Jawa Barat jika dinilai dari tingkat PDRB menunjukkan kecenderungan yang semakin menurun. Laju Pertumbuhan PDRB untuk sub sektor tanaman bahan makanan menurun dari 7.56% di tahun 2006 menjadi hanya 3,81% di tahun 2010 (BPS, Kab. Cianjur, 2010). Proporsi buruh tani yang ditunjukkan dengan nilai KK buruh tani yang masih di atas 50% (Podes, 2008) menjadi indikasi bahwa masih banyak petani yang belum mencapai tingkat kesejahteraan yang memadai. Upaya peningkatan akses petani terhadap lahan perlu dilakukan yang salah satunya dapat dimulai dengan identifikasi lahan sawah baik aktual maupun potensial dapat menjadi alternatif solusi awal dalam mempertahakan/meningkatkan produktifitas lahan sawah dan kesejahteraan petani.

1.2.Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:

• Bagaimana cara menentukan lokasi dan luas lahan potensial sawah tersebut agar sesuai dengan pertimbangan aspek biofisik, sosial ekonomi, legal dan keberlanjutan

• Metode analisis spasial apa yang dapat digunakan dalam mengidentifikasi ketersediaan lahan sawah dengan berbagai faktor sebagai bahan

pertimbangan?

• Berapa luas lahan tersedia dan lahan potensial sawah yang dapat dialokasikan untuk petani?

1.3.Tujuan Penelitian

Tujuan yang akan dicapai dari penelitian ini adalah:

• Membandingkan 2 metode analisis spasial dalam menentukan lahan tersedia untuk sawah

• Mendefinisikan hubungan secara spasial berdasarkan aspek fisik, ekonomi, aksesibilitas, kebijakan lahan dan keberlanjutan dalam kaitannya dengan identifikasi lahan tersedia untuk sawah

(20)

• Mengidentifikasi ketersediaan lahan pertanian untuk sawah

1.4.Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah membantu pengambil kebijakan/pemerintah dalam mempercepat proses identifikasi lahan tersedia yang memenuhi kriteria yang layak dalam mendukung usaha peningkatan kesejahteraan petani.

1.5.Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini adalah menyangkut kajian aspek lahan yang harus tersedia bagi petani dengan kriteria-kriteria yang dapat mendukung baik berdasarkan aspek biofisik, sosial ekonomi, legal, maupun keberlanjutan. Sedangkan ruang lingkup wilayah penelitian adalah Kabupaten Cianjur.

(21)

II.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Perencanaan Pengembangan Wilayah

Perencanaan pengembangan wilayah diartikan sebagai suatu kajian sistematis yang meliputi aspek fisik, sosial dan ekonomi yang mendukung dan mengarahkan pemanfaatan sumberdaya secara efisien untuk meningkatkan produktifitas yang dapat memenuhi kebutuhan masyarakat secara berkelanjutan (Rustiadi et.al., 2003).

Kajian perencanaan pengembangan wilayah memiliki sifat-sifat yang berorientasi pada kewilayahan, futuristik dan publik. Selain mengkaji seluruh aspek-aspek kewilayahan baik interaksi maupun interelasinya, dengan sifat futuristiknya membuat prediksi dan peramalan yang dilakukan dengan tujuan untuk kepentingan publik.

Pilar-pilar yang menunjang perencanaan pengembangan wilayah meliputi: (1) Inventarisasi, klasifikasi, dan evaluasi sumberdaya, (2) Aspek Ekonomi, (3) Aspek kelembagaan (institusional), (4) Aspek Lokasi/Spasial (Rustiadi et.al., 2003). Sumberdaya merupakan segala bentuk input yang menghasilkan kemanfaatan dalam proses produksi, bisa berupa barang dan jasa. Sumberdaya memiliki sifat langka dan terbatas sehingga dalam pemanfaatannya memerlukan sistem alokasi tertentu. Selain itu secara spasial sumberdaya tersebar secara tidak merata baik kualitas maupun kuantitasnya. Sementara itu pada dasarnya manusia memiliki keinginan yang tak terbatas sehingga sebelum sumberdaya dapat dimanfaatkan perlu dilakukan inventarisasi, klasifikasi dan evaluasi sumberdaya sampai dapat diketahui persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi sehingga manusia dapat memanfaatkannya. Sifat sumberdaya yang terbatas/langka dan tersebar tidak merata menyebabkan pemanfaatan sumberdaya harus dilakukan seefisien dan seefektif mungkin. Dalam tinjauan ekonomi, efisiensi menyangkut 2 aspek yaitu efisiensi produksi dan efisiensi alokasi. Efisiensi produksi berarti meminimumkan biaya seoptimum mungkin untuk menghasilkan satu unit output tertentu, sedangkan efsiensi alokasi merupakan kondisi dimana produksi output menggunakan alokasi sumberdaya yang maksimum dengan harga produksi barang sama dengan biaya marjinalnya. Pemanfaatan sumberdaya yang terbatas dan tersebar tidak merata memerlukan sistem kelembagaan yang mengatur dalam penguasaan maupun pengelolaannya. Sistem nilai yang berlaku di masyarakat dapat berperan dalam mengatur pembagian tanah atau lahan di masyarakat secara efisien, merata dan berkelanjutan. Aspek spasial/lokasi menunjukkan bahwa sumberdaya alam seringkali memiliki lokasi yang melekat

(22)

dengan posisi geografisnya. Perkembangan suatu wilayah sangat dipengaruhi oleh perkembangan wilayah di sekitarnya. Fenomena ini menunjukkan adanya interaksi dan keterkaitan antar wilayah yang bentuk dan polanya sangat khas, dipengaruhi oleh jarak dan konfigurasi spasial yang membentuk wilayah-wilayah tersebut. Uraian di atas jelas menunjukkan bahwa tujuan akhir dari perencanaan pengembangan suatu wilayah adalah tercapainya kesejahteraan masyarakat yang memperhatikan aspek pemerataan, keberimbangan dan keberlanjutan.

Dalam kaitannya dengan perencanaan pengembangan wilayah, sasaran wilayah yang harus mendapat perhatian yang lebih besar adalah pengembangan wilayah perdesaan dimana mayoritas penduduk Indonesia tinggal di wilayah perdesaan dengan aktifitas utama bergerak di sektor pertanian. Pertanian memiliki peranan yang strategis bagi suatu negara yang secara umum kontribusinya dapat berupa: (1) Sebagai penyedia bahan pangan, (2) penyedia lapangan kerja, (3) penyedia bahan baku bagi industri, (4) sumber devisa, dan (5) penjaga kelestarian lingkungan (Subejo, 2007). Kebijakan pembangunan ekonomi Indonesia semestinya difokuskan pada sektor yang menghidupi mayoritas penduduk yaitu penduduk yang hidup di perdesaan dengan profesi sebagai petani. Pengembangan industri juga semestinya difokuskan pada aktifitas yang memiliki keterkaitan dengan kepentingan mayoritas (Stiglitz dalam Subejo, 2007). Paradigma baru pembangunan pertanian Indonesia harus bertujuan untuk lebih menjamin keamanan pangan secara mandiri dan berkelanjutan. Menurut Samsul Bahari dalam

Sampai dengan tahun 2001, menurut data BPN seperti yang dilaporkan Syahyuti

Subejo (2007) persoalan pangan tidak hanya mencakup aspek konsumsi dan produksi saja tetapi juga menyangkut aspek daya dukung pertanian yang komprehensif. Ada empat aspek yang menjadi pra-syarat pelaksanaan pembangunan pertanian yaitu: (1) Akses terhadap kepemilikan lahan, (2) Akses input dan proses produksi, (3) Akses terhadap informasi dan pasar, dan (4) Akses terhadap kebebasan.

dalam Subejo (2007), total lahan pertanian yang sudah dikelola sebesar 36,3 juta ha dengan proporsi terbesar di Sumatera (15,2 juta ha) dan Jawa (7,7 juta ha). Luas kawasan yang dapat dipergunakan untuk pertanian 123,4 juta ha dengan proporsi terbesar di Kalimantan (38,8 juta ha), Sumatera (30,4 juta ha) dan Irian Jaya (23,6 juta ha). Areal yang masih tersisa yang dapat dipergunakan untuk lahan pertanian adalah 87,1 juta ha dengan proporsi terbesar di Kalimantan (34,2 juta ha), Irian Jaya (20,58 juta ha) dan Sumatera (15,2 juta ha). Masih luasnya lahan pertanian yang tersedia

(23)

memberikan peluang yang cukup besar bagi petani untuk mendapatkan akses yang lebih besar terhadap kepemilikan lahan.

2.2. Penataan Ruang

Perencanaan tata ruang memiliki sasaran utama untuk menghasilkan penggunaan yang terbaik yang biasanya dapat dikelompokkan atas tiga sasaran umum: (1) efisiensi, (2) keadilan dan akseptabilitas masyarakat, (3) keberlanjutan (Rustiadi et.al.,2003). Sasaran efisiensi memberikan pengertian bahwa penataan ruang diarahkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Tata ruang juga harus merupakan perwujudan keadilan dan partisipasi masyarakat dalam proses perencanaannya sehingga dapat diterima oleh masyarakat. Selain itu tata ruang juga harus memperhatikan aspek keseimbangan fisik, lingkungan dan sosial yang menjamin kesejahteraan yang berkelanjutan. Dengan istilah yang berbeda Notodiningrat (2003) menyatakan bahwa penatagunaan lahan merupakan istilah yang lebih tepat untuk menggambarkan pengarahan penggunaan lahan dengan kebijakan umum (public policy) dan program tata ruang untuk memperoleh manfaat total sebaik-baiknya secara berkelanjutan dari kemampuan total lahan yang tersediakan. Tata ruang dalam tataguna lahan tidak hanya mengalokasikan tempat untuk suatu kegiatan tertentu, akan tetapi juga menempatkan tiap kegiatan penggunaan lahan pada bagian lahan yang berkemampuan sesuai untuk kegiatan masing-masing. Dengan demikian tata ruang bukan merupakan tujuan tetapi hanya sarana, sedangkan tujuan utamanya adalah manfaat total lahan sebaik-baiknya dari kemampuan total lahan secara berkelanjutan. Untuk membuat tataguna lahan diperlukan pengertian tentang (Notodiningrat, 2003):

a. Kemampuan dan kesesuaian lahan serta persebarannya di kawasan pembangunan

b. Ketercapaian (accessibility) kawasan dan keterlintasan (trafficability) medan setiap satuan wilayah kemampuan

c. Teknologi pengelolaan lahan dan teknologi produksi yang tersediakan dalam masyarakat.

d. Kelembagaan masyarakat yang berpengaruh dalam penggunaan lahan e. Tujuan pembangunan nasional dan peranan yang diberikan kepada

(24)

Selain itu penataan ruang pada dasarnya juga merupakan upaya menciptakan berbagai keseimbangan diantarnya berupa keseimbangan partisipatif antar berbagai pihak, keseimbangan antara kepentingan jangka pendek dan jangka panjang, dan keseimbangan antara kepentingan lokalitas, regional dan makro wilayah (Rustiadi et.al., 2003),

2.3. Kebijakan Alokasi Ruang

Indonesia memiliki produk-produk hukum yang bermacam-macam terkait kebijakan alokasi ruang yang dikeluarkan oleh beberapa departemen dan badan pemerintah, diantaranya Rencana Tata Ruang Wilayah (Bappeda), Tata Guna Hutan Kesepakatan (Departemen Kehutanan), Perijinan HGU, HGB, hak milik (BPN), Perjinan Kuasa Pertambangan (Departemen ESDM). Banyaknya jumlah produk kebijakan alokasi ruang berpeluang menimbulkan konflik lahan dari sisi legalitas dalam penguasaan dan pengusahaan lahan. Dalam kaitannya dengan identifikasi lahan tersedia untuk pertanian maka produk-produk kebijakan alokasi ruang yang telah ada perlu dijadikan juga sebagai bahan acuan untuk meminimalisir konflik. Pilihan prioritas produk kebijakan alokasi ruang yang mana yang akan digunakan jika terjadi konfilk antar aturan mengikuti aturan hirarkis dalam sistem perundangan yang berlaku di Indonesia. Berdasarkan UU No.10 tahun 2004 pasal 7 ayat (1) tentang jenis dan hirarki peraturan perundang-undangan, yaitu UUD 1945, Perpu/UU, PP, Perpres dan Perda. Sedangkan aturan lain yang belum tercakup tetap dapat diberlakukan selama ada peraturan perundangan di atasnya.

2.4. Rencana Tata Ruang Wilayah

Berdasarkan UU No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, ruang didefinisikan sebagai wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan, dan memelihara kelangsungan hidupnya. Tata ruang adalah wujud struktur ruang dan pola ruang. Struktur ruang adalah susunan pusat-pusat permukiman dan sistem jaringan prasarana dan sarana yang berfungsi sebagai pendukung kegiatan sosial ekonomi masyarakat yang secara hierarkis memiliki hubungan fungsional. Pola ruang adalah distribusi peruntukan ruang dalam suatu wilayah yang meliputi peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan peruntukan ruang untuk fungsi budi daya. Penataan ruang adalah suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang.

(25)

Salah satu output dari penataan ruang adalah delineasi peruntukan kawasan (pola ruang) yang terbagi menjadi kawasan lindung dan kawasan budidaya. Kawasan lindung adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumberdaya alam dan sumberdaya buatan. Pada kawasan ini berdasarkan peruntukannya tidak diperbolehkan pemanfaatan lahan untuk kegiatan-kegiatan budidaya. Sebaliknya dengan kawasan budidaya, maka kawasan ini diperuntukan bagi kegiatan-kegiatan budidaya sesuai dengan potensi sumberdaya alam, sumberdaya manusia dan sumberdaya buatan.

2.5. Perijinan dalam pemanfaatan lahan 2.5.1. Kawasan Hutan

Undang-undang No.41 tahun 1999 tentang Kehutanan menyatakan bahwa kawasan hutan berdasarkan fungsinya dibagi menjadi tiga, yaitu (1) Hutan Lindung, Hutan Konservasi dan Hutan Produksi. Kawasan Hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan pemerintah yang keberadaannya dipertahankan sebagai hutan tetap. Hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah. Hutan Konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya.

2.5.2. Kawasan HGU Perkebunan

Perijinan dalam pemanfaatan lahan selain yang telah disebutkan di atas juga dikeluarkan oleh Badan Pertanahan Nasional dengan mengacu pada UUPA No. 5 tahun 1960 yang menjelaskan tentang jenis-jenis hak atas tanah yang meliputi: hak milik, hak guna bangunan (HGB), hak guna usaha (HGU), hak pakai, hak sewa, hak membuka tanah, dan lain-lain.

2.6. Kesesuaian Lahan

Salah satu metode untuk menentukan kualitas fisik suatu lahan adalah dengan menggunakan penilaian kesesuaian lahan. Kesesuaian lahan adalah suatu metode penilaian kualitas lahan dengan menetapkan pengelolaan yang khas agar dapat memperoleh nisbah yang lebih baik antara manfaat dan masukan yang diperlukan baik berdasarkan pengalaman maupun antisipasi. Jadi penilaian

(26)

kesesuaian lahan merupakan sarana untuk menkasir produktivitas usahatani yang dijalankan secara khas (Murray dalam Notohadiprawiro, 1991). Penetapan kesesuaian lahan dapat dilakukan secara mutlak maupun nisbi. Dapat juga ditetapkan berdasarkan keadaan lahan sekarang ataupun keadaan lahan setelah setelah dilakukan perbaikan secara besar-besaran sehingga ciri-ciri kondisi lahan berubah secara signifikan dan dapat bertahan lama selama lebih dari 10 tahun (FAO dalam

2.7. Ketersediaan Lahan Pertanian Notohadiprawiro, 1991).

Salah satu problem utama dalam upaya peningkatan kesejahteraan petani adalah rendahnya luas kepemilikan lahan pertanian. Upaya pengidentifikasian lahan-lahan tersedia yang dapat diusahakan sebagai lahan-lahan pertanian menjadi sangat penting untuk dilakukan. Kondisi aktual penggunaan lahan menunjukkan masih banyaknya lahan-lahan yang berpeluang untuk diusahakan sebagai lahan pertanian. Tipe penggunaan lahan yang potensial untuk diusahakan misalnya semak belukar dengan asumsi bahwa lahan berupa semak belukar dapat dikategorikan sebagai lahan terlantar/lahan tidur jika kondisinya sudah berlangsung lama. Menurut buku pedoman teknis optimasi lahan yang dikeluarkan oleh Direktorat Pengelolaan Lahan Dirjen PLA Deptan (1997) terdapat beberapa kriteria lahan terlantar, diantaranya:

• Lahan Pertanian Tanaman Pangan Dan Hortikultura Semusim Terlantar adalah lahan pertanian yang tidak diusahakan selama lebih dari 3 musim tanam secara terus menerus.

• Lahan Perkebunan Terlantar adalah lahan perkebunan rakyat yang tidak diusahakan/ditinggalkan petani lebih dari 3 tahun berturut-turut karena tidak adanya modal/biaya atau penyebab faktor pembatas lainnya.

• Lahan Terlantar Di Kawasan Peternakan adalah lahan potensial yang tidak diusahakan untuk hijauan makanan ternak (HMT) dan padang penggembalaan yang dapat diintegrasikan dengan pengembangan komoditas lainnya (tanaman pangan, hortikultura dan perkebunan).

• Lahan Hortikultura Tahunan Terlantar adalah lahan pada kawasan hortikultura tahunan yang tidak diusahakan oleh petani karena tidak adanya modal/biaya atau faktor pembatas lainnya.

(27)

2.8. Analisis Spasial Dalam SIG

Sistem Informasi Geografi (SIG) adalah suatu sistem informasi berbasis komputer yang mempunyai kemampuan untuk menangani data yang bereferensi geografis yang mencakup pemasukan, manajemen data (penyimpanan data dan pemanggilan lagi), manipulasi dan analisis, dan pengembangan produk dan pencetakan (Aronof dalam Barus, 2000). Dalam pengertian yang lebih luas SIG tidak hanya menyangkut komponen perangkat lunak (software) dan perangkat keras (hardware) tetapi juga pengguna (user) dan organisasinya serta data yang dipakai, sebab tanpa komponen-komponen ini SIG tidak dapat operasional (Durana dalam

 Spatial data manipulation, yang biasanya disebut analisis spasial dalam terminologi yang digunakan oleh perangkat lunak SIG

Barus, 2000). Jadi berdasarkan definisi-definisi tersebut di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa SIG mencakup empat komponen utama yaitu: perangkat keras, perangkat lunak, organisasi (manajemen) dan pengguna (Barus, 2000).

Terdapat beberapa pengertian tentang analisis spasial (Sullivan et.al.,2003) diantaranya adalah:

 Spatial statistical Analysis, menggunakan metode statistik untuk memeriksa data spasial dalam menentukan apakah data spasial tersebut sesuai atau tidak sesuai secara relatif terhadap model statistik.

 Spatial Modelling, membuat konstruksi model untuk memprediksi hasil secara spasial. Misalnya model spasial yang digunakan untuk memprediksi arus penduduk dan barang antar beberapa lokasi atau untuk membuat optimasi lokasi-lokasi penempatan fasilitas (Wilson dalam

Dalam prakteknya seringkali ketiga makna analisis spasial tersebut di atas dimanfaatkan dalam suatu aktifitas tertentu yang bagian-bagian di dalamya memerlukan analisis spasial dalam pengertian tersebut di atas. Dalam bentuk yang lebih integratif pada setiap tahapan proses analisis yang memanfaatkan data spasial sebagai input, ketiga bentuk analisis spasial tersebut sangat diperlukan. Fungsi analisis dalam SIG (Aronof

Sullivan, 2003)

dalam Barus, 2000) secara umum dapat dikelompokkan menjadi 4 kelompok, yaitu: (1) Fungsi Pemanggilan/klasifikasi/pengukuran data; (2) Fungsi tumpang tindih/overlay; (3) Fungsi tetangga, (4) fungsi jaringan/keterkaitan.

(28)

2.9. Analisis Multikriteria Spasial

Analisis Multikriteria/Multicriteria Evaluation (MCE) secara umum didefinisikan sebagai sebuah cara pengambilan keputusan dan sebuah alat matematis yang memungkinkan perbandingan dari berbagai alternatif atau skenario berdasarkan banyak kriteria, seringkali konflik, dengan tujuan memberi petunjuk pada pengambil keputusan untuk mengambil tindakan yang adil/objektif (Roy dalam Chakkar dan Mousseau, 2007).

Diagram alur pada Gambar 4.2 menunjukkan skema umum analisis multi kriteria. Analisis multi kriteria spasial merupakan analisis multi kriteria dalam konteks spasial dimana pilihan alternatif, kriteria, dan unsur lainnya secara eksplisit mengandung informasi spasial/keruangan (Chakkar et. al., 2007).

Setelah proses identifikasi dan persiapan terhadap kriteria yang akan digunakan, tahapan selanjutnya adalah menghitung dan mengkuantifikasi pengaruh relatif/signifikansi dari masing-masing kriteria . Seringkali masing-masing kriteria memiliki pengaruh yang berbeda terhadap hasil yang dikeluarkan. Untuk mengetahui besaran pengaruh kuantitatif dari masing-masing kriteria, setiap kriteria harus diurutkan berdasarkan tingkat pengaruhnya dengan menggunakan prosedur pengurutan/rangking dan pembobotan/weighting. Penetapan rangking dan bobot dalam analisis multikriteria ini merupakan bagian yang paling sulit sehingga memerlukan proses diskusi, verifikasi lapang dan modifikasi yang berulang untuk mendapatkan hasil yang baik (Luo et. al., 2009). Beberapa prosedur pengurutan dan pembobotan diantaranya adalah rating, rangking, dan Pairwise comparison.

Ketiga metode ini hanya menghasilkan perkiraan relatif dari nilai bobot sehingga semakin besar jumlah kriterianya semakin kecil kecocokan metode-nya. Metode ini sebaiknya hanya digunakan pada kasus dimana jumlah kriterianya hanya sedikit.

(29)

Beberapa metode yang digunakan dalam analisis multikriteria (MCE) diantaranya, (1) Boolean combination, (2) index overlay, (3) algebraic combination, (4) Bayesian Probability, (5) Dempster-Shafer Theory, (6) Weighted linear faktor atau lebih dikenal dengan analytical hierarchy process/AHP, (7) fuzzy logic dan vectorial fuzzy modelling. Pilihan-pilihan metode ini tergantung pada kompleksitas data yang tersedia (Liu et. al.,2009).

Hasil akhir proses analisis spasial memungkinkan data-data dari berbagai sumber tersebut diolah bersama secara terintegrasi dengan menjadikan atribut posisi geografis sebagai faktor penghubung kunci. Proses ini merupakan analisis yang dilakukan dengan tujuan mendapatkan unit spasial baru yang diasumsikan homogen dimana pada unit tersebut terdapat seluruh informasi yang akan dijadikan dasar penetapan lahan tersedia.

Alternatif potensi Kriteria evaluasi Hambatan Fungsi objektif

Preferensi

Agregasi lokal

Solusi yang layak

Solusi tidak dominan

Analisis sensitifitas / kuat

Rekomendasi Skor

Tabel kinerja

Preferensi

Agregasi

Analisis sensitifitas / kuat

Rekomendasi

(a) (b)

Gambar 1. Skema metode analisis multikriteria (a) diskret dan (b) kontinyu (Chakkar et. al., 2007)

(30)

III.

METODE PENELITIAN

3.1. Alur Kerangka Pemikiran Penelitian

Ketersedian lahan yang siap dan sesuai untuk diusahakan oleh petani (Lahan Tersedia) pada penelitian ini didefinisikan sebagai lahan yang memiliki sifat-sifat fisik yang cocok untuk pertumbuhan tanaman pertanian, terletak pada tipe penggunaan lahan yang cocok dan memungkinkan untuk budidaya pertanian, dan secara hukum tidak terletak pada area-area yang menurut kebijakan alokasi ruang bukan untuk budidaya pertanian seperti kawasan lindung, kawasan hutan, maupun kawasan perkebunan. Lahan ini juga harus memiliki luas yang masih memungkinkan bagi petani untuk mengusahakannya dengan optimal dan mencukupi sehingga petani dapat terjamin kesejahteraannya secara berkelanjutan. Jaminan keberlanjutan bisa dilakukan salah satunya jika aspek kualitas fisik lahan tetap terjaga yang dicirikan salah satunya dengan tingkat erosinya. Berdasarkan batasan definisi tersebut di atas maka dapat diidentifikasi faktor-faktor yang harus dipertimbangkan dalam penentuan ketersediaan lahan adalah:

• Aspek Biofisik lahan, seperti kualitas fisik lahan berupa nilai kesesuaian lahan, akses terhadap sumber air, dan tingkat erosi

• Aspek Sosial ekonomi, seperti kondisi aktual penggunaan lahan, jarak ke pasar, dan jarak ke jalan

• Aspek Status peruntukan lahan berupa produk kebijakan yang dikeluarkan oleh beberapa instansi pemerintah seperti Bappeda (RTRW), Departemen Kehutanan (TGHK), BPN (HGU), Departemen ESDM (Ijin Pertambangan) Aspek fisik berarti tersedianya lahan yang memenuhi syarat fisik dalam rencana pemanfaatan lahan oleh petani yang sebagian memiliki karakteristik masyarakat pedesaan dengan mata pencaharian utama sebagai petani. Oleh karena itu lahan yang didistribusikan harus memenuhi syarat secara fisik bagi usaha budidaya tanaman. Selain itu lainnya berupa kondisi penutupan / penggunaan lahan saat ini juga harus dipenuhi sehingga pengalokasian lahan tidak bertentangan dengan kondisi sebenarnya.

Aspek kebijakan alokasi ruang berarti terkait pada produk-produk kebijakan alokasi ruang yang dikenal di Indonesia. Paling tidak ada beberapa lembaga pemerintah departemen/non departemen di Indonesia yang masing-masing mengeluarkan aturan kebijakan alokasi ruang. Diantaranya adalah Departemen

(31)

Kehutanan : Kebijakan ttg Kawasan Hutan (TGHK), Departemen Pertanian (SIUP), BPN (HGU) dan Pemda Kab/Kota (RTRW, ijin lokasi). Tidak tertutup kemungkinan bahwa produk-produk tersebut secara spasial ada yang memiliki potensi konflik dengan adanya area yang saling overlap. Dalam penelitian ini akan dilakukan analisis spasial yang dapat meminimalisir potensi konflik terutama dalam melakukan pilihan lahan yang tersedia bagi pertanian.

Selain itu, untuk menjaga keberlanjutan dari usahatani dengan budidaya jenis tanaman tertentu yang menghasilkan output berupa income yang menjamin kesejahteraan petani maka perlu diperhatikan aspek lingkungan terutama kondisi kualitas lahan. Kualitas lahan yang tetap terjaga dapat diidentifikasi dengan memperhatiakn tingkat erosi aktual yang harus tetap berada di bawah tingkat erosi yang dapat ditoleransikan/tolerable soil loss (TSL).

3.2. Bahan dan Alat

Bahan yang akan digunakan pada penelitian ini terbagi menjadi dua yaitu data spasial dan data atribut. Data spasial berupa data-data terkait kualitas lahan/kesesuaian lahan yang diambil dari data RePPProT, data rencana tata ruang wilayah (RTRW) Kabupaten Cianjur, data Kawasan Hutan, data HGU perkebunan, dan data penggunaan lahan. Sedangkan data atribut yang digunakan adalah data Potensi Desa, data Susenas, data Kabupaten Cianjur dalam angka.

Data Peta Kawasan Hutan Kabupaten Cianjur diambil berdasarkan SK Menhut No.195/Kpts-II/2003. Data penggunaaan lahan yang digunakan berasal dari hasil update Data RBI oleh citra ALOS tahun 2007.

Alat yang akan digunakan dalam penelitian ini diantaranya alat survey berupa GPS (Global Positioning System) untuk penentu posisi di lapang dan seperangkat komputer GIS, serta alat-alat untuk wawancara.

3.3. Tahapan Penelitian

Penelitian ini akan dilaksanakan dengan mengikuti beberapa tahapan diantaranya: • Tahap pertama berupa kegiatan pengumpulan data primer maupun sekunder

baik berupa data spasial maupun data tabular

• Tahap kedua melakukan studi pustaka terutama terkait penggalian tema-tema penelitian sebelumnya baik berupa jurnal ilmiah maupun hasil disertasi/tesis yang berkaitan dengan tema penelitian yang akan dilakukan

(32)

• Tahap ketiga dilakukan proses persiapan data baik spasial maupun tabular dan menyusunnya dalam bentuk database yang siap untuk dianalisis

• Tahap keempat dilakukan analisis baik spasial maupun tabular dengan metode yang akan dijelaskan pada sub bab tersendiri di bawah

3.4. Metode Analisis

Analisis yang akan dilakukan pada penelitian ini terbagi menjadi 2, yaitu: (1) Analisis Spasial dan (2) Analisis Tabular . Analisis spasial terdiri dari:

(a) Analisis jarak, untuk menghitung tingkat aksesibilitas terhadap sumber air, jalan dan pasar

(b) Analisis Arithmetic Overlay untuk menghitung nilai erosi dengan dasar model matematik Universal Soil Loss Equation (USLE)

(c) Analisis Multikriteria (Multi Criteria Evaluation) dengan pendekatan analisis spasial metode boolean combination dan Weighted Analysis untuk menetapkan Ketersediaan Lahan

Keluaran yang diharapkan dari analisis Multikriteria adalah teridentifikasinya Lahan Tersedia yang memenuhi syarat-syarat yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya tentang definisi lahan tersedia. Sedang keluaran analisis arithmetic overlay adalah berupa peta erosi.

Berikut ini adalah penjelasan lebih detil mengenai analisis-analisis yang akan dilakukan.

3.4. Analisis Jarak

Analisis jarak (distance analysis) dilakukan untuk mendapat nilai jarak ke sumber air, pasar dan jalan. Jarak ke sumber air dihitung dengan asumsi makin dekat jarak ke sumber air maka derajat kesesuaiannya menjadi semikin tinggi. Sumber air yang ditetapkan dalam analisis ini mengambil data jaringan sungai.

Jarak ke pasar dihitung dengan asumsi semakin dekat jarak lahan ke pasar maka derajat kesesuaiannya semakin tinggi. Pasar pada analisis ini ditetapkan dengan asumsi pusat kecamatan dan kabupaten adalah pusat pasar.

Jarak ke jalan dihitung dengan asumsi semakin dekat jarak lahan ke pasar maka derajat kesesuaian lahannya semakin tinggi. Jarak lahan ke jalan menggunakan data jaringan jalan.

(33)

Secara teknis analisis jarak dilakukan dengan menggunakan tool pada perangkat lunak Idrisi Andes – distance yang menghitung jarak euclidean dari target (jaringan sungai, pusat pasar/kecamatan, dan jaringan jalan).

3.5. Analisis Erosi

Erosi aktual dihitung dengan persamaan USLE (Weischmeier dan Smith dalam

3.5.1. Faktor Erosivitas Hujan (R) Arsyad, 2006) sebagai berikut:

A = R.K.L.S.C.P dimana:

A : banyaknya tanah tererosi (ton/ha/tahun) R : faktor erositivitas hujan

K : faktor erodibilitas tanah L : faktor panjang lereng S : faktor kemiringan lereng C : faktor pengelolaan tanaman P : faktor konservasi tanah

Faktor erosivitas hujan adalah merupakan nilai yang menunjukkan daya rusak hujan terhadap tanah. Terdapat banyak pendekatan dan rumus dalam menentukannya. Pada penelitian ini dengan mempertimbangkan ketersediaan data, maka diambil rumus Lenvain dalam

3.5.2. Faktor Erodibilitas Tanah (K)

Ambar dan Sjafrudin, 1976; yang dikutip dari Yoo, 2010. Rumus tersebut adalah:

dimana P= rata-rata curah hujan bulanan (cm)

Faktor erodibilitas tanah adalah nilai yang menunjukkan kepekaan tanah terhadap erosi. Faktor ini dihitung dari persentase fraksi liat, debu dan pasir, yang kemudian diplotkan pada nomograf yang akan menunjukkan nilai K seperti pada gambar berikut:

(34)

Gambar 2. Nomograf Penentu Nilai K (Wischmeier dalam

3.5.3. Faktor Panjang dan Kemiringan Lereng (LS)

Arsyad, 2006)

Nilai K pada penelitian ini mengacu pada data-data tanah yang berasal dari peta RePPProt yang disinkronisasikan/dilengkapi dengan data pada hasil studi Yoo, et. al. (2010).

LS adalah rasio antara besarnya erosi pada sebidang tanah dengan panjang dan kemiringan lereng tertentu dibandingkan dengan besarnya erosi pada tanah yang identik dengan panjang lereng 22 meter dan kemiringan 9%. Nilai LS dapat dihitung dengan persamaan Morgan dalam

dimana x adalah panjang lereng dalam m, dan s adalah kemiringan lereng dalam %. Pendekatan lain untuk mendapatkan nilai LS tanpa menghitung panjang lereng adalah dengan asumsi bahwa kemiringan lereng menghasilkan 3 kali panjang lereng pada erosi tanah, maka LS dapat diberi nilai berdasarkan tabel di bawah ini (Yoo, et.al.,2010):

Arsyad (2006):

Tabel 1. Nilai Faktor LS

Kemiringan Lereng (%) Nilai LS

0 – 8 0.40

> 8 – 15 1.40

>15 – 25 3.10

(35)

>40 9.50

3.5.4. Faktor Pengelolaan Tanaman (C)

Faktor C adalah nisbah antara besarnya erosi pada tanah yang bertanaman dengan pengelolaan tertentu terhadap besarnya erosi tanah pada tanah yang tidak ditanami dan diolah bersih. Tabel berikut ini menunjukkan nilai C (Arsyad, 2006):

Tabel 2. Nilai Faktor C

No Jenis Penggunaan Lahan Nilai C 1 Hutan Alam –serasah banyak 0.001 2 Hutan Alam –serasah kurang 0.005 3 Hutan produksi –tebang habis 0.5 4 Hutan Produksi –tebang pilih 0.2

5 Sawah 0.01

6 Perladangan 0.4

7 Tegalan tidak dispesifikasi 0.7 8 Tanah terbuka/tanpa tanaman 1.0 9 Kebun Campuran –kerapatan tinggi 0.1 10 Kebun Campuran –kerapatan sedang 0.2 11 Kebun Campuran –kerapatan rendah 0.5 12 Semak belukar/padang rumput 0.3 13 Alang-alang murni subur 0.001

3.5.6. Faktor Konservasi Tanah (P)

Faktor P adalah nisbah besarnya erosi dari tanah dengan suatu tindakan konservasi tertentu terhadap besarnya erosi dari tanah yang diolah searah dengan lereng (Arsyad, 2006). Berikut ini tabel yang menunjukkan nilai P untuk berbagai tindakan konservasi.

Tabel 3. Tabel Nilai P (Arsyad, 2006)

No Tindakan Khusus Konservasi Tanah Nilai P 1 Teras bangku:

-Konstruksi baik 0.04

-Konstruksi sedang 0.15

-Konstruksi kurang baik 0.35

(36)

2 Strip tanaman rumput bahia 0.40 3 Pengelolaan tanah dan penanaman

menurut garis kontur: -kemiringan 0-8% -kemiringan 9-20% -kemiringan >20% 0.50 0.75 0.90

4 Tanpa tindakan konservasi 1.00

Secara teknis peta erosi aktual didapatkan dengan metode arithmetic overlay dengan tool Image Calculator pada software Idrisi Andes.

3.6. Multikriteria Analisis dg SIG

Analisis ketersediaan lahan yang akan digunakan dalam menentukan lahan-lahan yang sesuai untuk lahan-lahan sawah dilakukan dengan memanfaatkan analisis multikriteria berbasis SIG dengan memanfaatkan tools yang ada dalam perangkat lunak SIG, yaitu program Idrisi Andes. Model analisis yang digunakan merupakan model decision support yaitu model analisis evaluasi mulikriteria (Multicriteria Evaluation/MCE). Kriteria-kriteria yang akan digunakan dalam analisis spasial ini didasarkan pada dua pendekatan, yaitu dengan metode boolean combination dan Weigthed Linear Combination (WLC).

Kerangka analisis MCE terdiri dari penetapan tujuan dan penetapan kriteria. Kriteria terbagi menjadi faktor dan kendala. Setiap faktor terbagi lagi menjadi sub faktor. Faktor dan sub faktor adalah kriteria yang mendukung tercapainya tujuan. Sedangkan kendala adalah semua hal yang menjadi penghalang tercapainya tujuan. Tujuan dari analisis MCE adalah membuat peta ketersediaan lahan sawah. Terdapat tiga faktor yang mendukung tercapainya tujuan yaitu (1) kondisi biofisik wilayah, (2) kondisi sosial ekonomi, dan (3) Aspek Legal. Kondisi biofisik wilayah terdiri dari kesesuaian lahan, akses lahan ke sumber air dan tingkat erosi. Kondisi sosial ekonomi terdiri dari penggunaan lahan aktual, akses lahan ke pasar dan akses lahan ke jalan. Sedangkan aspek legal meliputi Rencana Pemanfaatan Ruang dalam RTRW, perijinan (kawasan hutan dan Hak Guna Usaha perkebunan) dan hak tanah adat. Kendala yang digunakan terdiri dari alokasi RTRW untuk kawasan lindung dan kawasan permukiman, jenis penggunaan lahan permukiman dan tubuh air, serta alokasi

(37)

kawasan hutan selain areal penggunaan lain. Berikut ini gambar yang menunjukkan kerangka analisis MCE.

Gambar 3. Kerangka Analisis Multi criteria Evaluation

Analisis Weighted Linear Combination (WLC) secara umum dapat dilihat pada persamaan matematis berikut ini:

dimana: WLC = weighted linear combination, Xij=Derajat Kesesuaian faktor/Sub Faktor ke-j di lokasi ke-i, Wij=bobot faktor/Sub Faktor ke-j di lokasi ke-i, n=jumlah faktor, Cj

Metode WLC mengasumsikan bahwa bobot setiap faktor tidak sama. Pada penelitian ini bobot faktor ditentukan dengan metode analytical hierarchy process (AHP) yang diperkenalkan oleh Saaty (1994). AHP adalah metode untuk mengukur derajat kepentingan antar faktor dengan meminta pendapat ahli. Ukuran kepentingan antar faktor/subfaktor diboboti dengan selang dari 1 – 9. Konsistensi jawaban diukur dengan logika transitif dimana jika faktor x

= konstrain pada faktor/sub faktor ke-j

(38)

penting dari x3, maka x1 harus lebih penting dari x3. Ukuran konsistensi dihitung dengan persamaan berikut (Saaty dalam

dan , dimana CI = indeks konsistensi, λ Teknomo et al.,1999):

max

Lahan tersedia

Kesesuaian biofisik Kelayakan sosial ekonomis Pemenuhan aspek legal

Kemampuan lahan

Akses ke sumber air

Penggunaan lahan saat ini

Akses ke pasar Akses ke jalan raya Tingkat erosi Alokasi lahan PEMDA (RTRW) Perijinan Adat =nilai eigen terbesar dari matriks orde n, n=jumlah faktor, CR=rasio konsistensi, RI=nilai pembangkit random. Bila CI=nol berarti matriks konsisten. Ukuran inkonsistensi dilihat dari nilai CR, jika CR < 10% maka inkonsistensi yang terjadi dianggap masih dapat diterima. Berikut ini struktur hirarki faktor pendukung ketersediaan lahan sawah untuk metode AHP

Gambar 4. Gambar Struktur hirarki faktor pendukung ketersediaan lahan sawah untuk metode AHP

Latar belakang responden yang diwawancari tentang penentuan ketersediaan lahan adalah para peneliti di Pusat Pengkajian Perencanaan dan Pengembangan Wilayah (P4W) – LPPM IPB yang berjumlah 7 orang. Latar belakang pendidikan dan keahlian dari responden adalah 1 orang doktor, 4 orang master dan 2 orang sarjana dengan keahlian dibidang perencanaan wilayah, remote sensing, dan GIS.

3.7. Derajat Ketersediaan Sub Faktor

Metode boolean combination menentukan derajat ketersediaan dengan logika boolean dimana setiap faktor ditetapkan dengan kriteria sesuai dan tidak sesuai. Sedangkan WLC mengasumsikan bahwa derajat kesesuaian tidak hanya 2 kriteria sesuai dan tidak sesuai, tetapi membagi kriteria dengan pendekatan (1) faktor pendukung diberi derajat nilai lebih dari dua (misalnya pada skala 1 – 5 atau 1 – 9) dan (2) faktor kendala dengan derajat nilai mengikuti logika boolean.

Metode boolean combination menetapkan untuk setiap faktor penentu ketersediaan lahan menjadi 2 kelas yaitu sesuai atau tidak sesuai untuk lahan

(39)

pertanian yang dalam sisten pengkodean di komputer diberi nilai 1 (untuk yang sesuai) dan nilai 0 (untuk yang tidak sesuai).

Metode WLC menetapkan derajat ketersediaan untuk setiap faktor penentu ketersediaan lahan, yaitu untuk faktor pendukung nilai skala 1 -5 dan faktor kendala sama dengan logika boolean 0 dan 1. Tabel di bawah ini menunjukkan derajat ketersediaan untuk faktor Biofisik.

Tabel 4. Derajat Ketersediaan untuk Faktor Biofisik

Faktor Kode Sub Faktor Elemen/Kriteria/Jarak Boolean Non

Boolean

Konstrain

Biofisik X₁ Kesesuaian Lahan Sesuai 1 5

Agak Sesuai 1 3

Tidak Sesuai 0 0

X₂ Akses ke Sumber Air

Hitung dengan Class break

X₃ Tingkat Erosi A <= T 1 Class break

A> T 0

Sub faktor kesesuaian lahan terdiri dari kriteria sesuai, agak sesuai dan tidak sesuai. Nilai derajat ketersediaan dengan metode boolean memasukkan kriteria sesuai dan agak sesuai dengan nilai 1 dan yang tidak sesuai bernilai 0. Pada metode WLC kriteria sesuai diberi nilai 5, agak sesuai 3 dan tidak sesuai 0. Sub faktor akses ke sumber air memiliki data jarak ke sungai dalam satuan meter, dan pada metode boolean ditetapkan nilai <= nilai maksimal jarak sebagai batas nilai 1. Sedangkan pada metode WLC nilai derjat ketersediaan ditetapkan dengan terlebih dahulu mereklasifikasi (class break) data jarak menjadi lima kelas dengan selang nilai terendah berarti memiliki nilai derajat ketersediaan 5 dan kelas dengan selang tertinggi diberi nilai 1.

Penetapan nilai derajat kesesuaian untuk tingkat erosi dilakukan dengan membagi peta erosi aktual (A) dengan peta erosi yang dapat ditoleransikan (TSL) dengan kriteria sebagai berikut:

• Untuk metode Boolean Combination:

o Jika A<= TSL, maka nilai kesesuaiannya 1 (sesuai)

(40)

• Untuk metode Weighted Linear Combination (WLC), nilai derajat kesesuaian di buat dalam rentang skala 1-5 dengan pengertian makin besar nilai, maka semakin tinggi derajat kesesuaiannya.

Sub faktor penggunaan lahan terdiri dari hutan, kebun/perkebunan, ladang, sawah, sawah tadah hujan, rawa, semak belukar, permukiman, gedung, pasir pantai, tubuh air. Penetapan derajat ketersediaan lahan pada data penggunaan lahan dilakukan dengan dasar kemungkinan kesesuaian untuk penggunaan lahan sawah. Nilai tertingginya 5 untuk tipe penggunaan lahan sawah dan sawah tadah hujan, dan yang paling rendah yaitu 1 untuk permukiman dan gedung. Penetapan nilai derajat ketersediaan untuk sub faktor jarak ke pasar dan jarak ke jalan menggunakan cara yang sama dengan penetapan derajat ketersediaan pada sub faktor jarak ke sumber air. Tabel berikut ini menunjukkan nilai derajat ketersediaan lahan untuk faktor sosial ekonomi.

Tabel 5. Nilai Derajat Kesesuaian Lahan Faktor Sosial Ekonomi

Faktor Kod

e

Sub Faktor Elemen/Kriteria Boolean Non

Boolean Konstrain Sosial Ekonomi X₄ Penggunaan Lahan Hutan 0 1 Kebun/Perkebunan 0 1 Ladang 1 3 Sawah 1 5

Sawah tadah hujan 1 5

Rawa 0 1 Semak/ Belukar 1 3 Permukiman 0 0 0 Gedung 0 0 0 Pasir Pantai 0 0 Tubuh Air 0 0 0

X₅ Akses ke Pasar Hitung dengan Class break

X₆ Akses ke Jalan Hitung dengan Class break

(41)

Sub faktor RTRW terdiri dari hutan konservasi, hutan lindung, hutan produksi, hutan produksi terbatas, kawasan resapan air, perairan, perkebunan tanaman tahunan, perlindungan geologi, permukiman pedesaan, permukiman perkotaan, pertanian lahan basah, pertanian lahan kering, sempadan sungai/danau/situ/pantai, sesuai untuk hutan lindung dan waduk. Penetapan nilai derajat ketersediaan dilakukan dengan membagi kawasan lindung dan kawasan budidaya. Kawasan lindung dimasukkan pada area konstrain bernilai 0, sedangkan kawasan budidaya cara penetapan nilainya mengikuti logika yang dilakukan ketika membuat nilai ketersediaan pada data penggunaan lahan. Tabel berikut ini menunjukkan nilai derajat ketersediaan untuk sub faktor RTRW.

Tabel 6. Nilai Derajat Ketersediaan Lahan Sub Faktor RTRW

Sub Faktor Elemen/Kriteria/Jarak Boolean Non Boolean Konstrain

RTRW

Hutan Konservasi 0 0 0

Hutan Lindung 0 0 0

Hutan Produksi 0 2

Hutan Produksi Terbatas 0 1

Kawasan Resapan Air 0 1

Perairan 0 0 0

Perkebunan/Tanaman Tahunan 0 1

Perlindungan Geologi 0 0 0

Permukiman Pedesaan 0 0 0

Permukiman Perkotaan 0 0 0

Pertanian Lahan Basah 1 5

Pertanian Lahan Kering 1 5

Sempadan

Sungai/Danau/Situ/Pantai

0 0 0

Sesuai untuk Hutan Lindung 0 0 0

(42)

Sub faktor perijinan terdiri dari dua, yaitu perijinan kawasan hutan dan perijinan HGU perkebunan. Perijinan kawasan hutan terdiri dari hutan lindung, cagar alam, taman nasional, taman wisata alam yang semuanya dimasukkan pada area konstrain bernilai 0. Sedangkan hutan produksi dan hutan produksi terbatas, pada metode Boolean diberi nilai nol, dan pada metode WLC diberi nilai masing-masing 3 dan 1. Areal penggunaan lain (APL) pada metode Boolean diberi nilai 1 dan pada metode WLC diberi nilai 5. Perijinan kawasan perkebunan, untuk area HGU diberi nilai nol, sedangkan yang bukan area HGU diberi nilai 1 pada metode Boolean dan 5 pada metode WLC. Tabel berikut ini menunjukkan nilai derajat ketersediaan lahan dari sub faktor perijinan

Tabel 7. Nilai Derajat Ketersediaan Sub Faktor Perijinan

Sub Faktor Elemen/Kriteria/Jarak Boolean Non Boolean Konstrain

Perijinan

-Kawasan Hutan

Areal Penggunaan Lain 1 5

Cagar Alam 0 0 0

Hutan Lindung 0 0 0

Hutan Produksi 0 3

Hutan Produksi Terbatas 0 1

Taman Nasional 0 0 0

Taman Wisata Alam 0 0 0

Waduk/Bendungan 0 0 0

-Ijin Perkebunan

HGU Perkebunan 0 0

(43)

IV.

KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN

4.1. Letak dan Luas Wilayah

Kabupaten Cianjur termasuk dalam wilayah administrasi Provinsi Jawa Barat yang secara geografis terletak diantara 6021” – 7025” Lintang Selatan dan 1060 42”-1070

4.2. Iklim

25” Bujur Timur. Secara administratif, kabupaten Cianjur berbatasan di sebelah Utara dengan wilayah Kabupaten Bogor dan Kabupaten Purwakarta, sebelah Barat berbatasan dengan wilayah Kabupaten Sukabumi, sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Bandung dan Garut, dan bagian Selatan merupakan wilayah Samudera Indonesia. Wilayah Kabupaten Cianjur meliputi areal seluas 361.851 ha terdiri dari 32 Kecamatan, 6 Kelurahan dan 354 Desa.

Secara geografis wilayah Kabupaten Cianjur terbagi ke dalam 3 (tiga) bagian, yaitu Cianjur Bagian Utara, Tengah dan Selatan. Cianjur Bagian Utara merupakan wilayah di kaki Gunung Gede dengan ketinggian 2.962 M di atas permukaan laut, sebagian besar merupakan daerah dataran tinggi pegunungan dan sebagian lagi merupakan dataran yang dipergunakan untuk areal perkebunan dan persawahan. Cianjur Bagian Tengah merupakan daerah yang berbukit-bukit dengan struktur tanah yang labil sering terjadi tanah longsor dan merupakan daerah yang rawan terjadi gempa bumi. Sedangkan dataran lainnya merupakan areal perkebunan dan persawahan. Cianjur Bagian Selatan merupakan daerah dataran rendah, serta terdapat banyak bukit-bukit yang diselingi oleh pegunungan yang melebar sampai ke daerah pantai Samudera Indonesia. Seperti halnya daerah Cianjur Bagian Tengah, Bagian Selatanpun tanahnya labil dan sering terjadi longsor.

Iklim di Kabupaten Cianjur umumnya bertipe iklim Af, kecuali sebagian wilayah Kecamatan Cidaun beriklim Am dan wilayah Gunung Gede beriklim Cf (tipe iklim menurut Koppen). Keadaan curah hujan di Kabupaten Cianjur menurut klasifikasi Schmidt dan Ferguson termasuk pada iklim basah yaitu type A dan type B dan sebagian kecamatan mempunyai tipe C dan D.

(44)
(45)

4.3. DAS

Kabupaten Cianjur memiliki banyak sungai yang terbagi menjadi dua Daerah Aliran Sungai (DAS), yaitu DAS Citarum dan DAS Cibuni-Cilaki. Sungai Citarum merupakan sungai utama yang mengalir ke bagian Utara dengan beberapa anak sungainya di Kabupaten Cianjur antara lain Sungai Cibebet, Sungai Cikundul, Sungai Cibalagung dan Sungai Cisokan. Sungai Citarum melintasi beberapa kecamatan mulai dari kecamatan Bojongpicung yang berbatasan dengan Kabupaten Bandung Barat sampai dengan Kecamatan Cikalongkulon yang berbatasan dengan Kabupaten Purwakarta. Di beberapa daerah, air mengalir sepanjang tahun karena curah hujan cukup tinggi, sehingga pada musim kemarau tidak terlihat adanya kekeringan. Sungai-sungai yang mengalir mempunyai pola dendritik.

Waduk Cirata yang terdapat di wilayah Kabupaten Cianjur membendung Sungai Citarum dengan luas genangan mencapai 6.400 Ha. Selain sebagai sumber air, air yang terkumpul dapat dimanfaatkan sebagai pembangkit tenaga listrik dengan kapasitas sekitar 550 MW jam/tahun.

Zona mata air di Kabupaten Cianjur terutama bersumber pada bagian lereng timur Gunung Gede, Gunung Wayang bagian Barat, Gunung Sembul dan Gunung Simpang bagian Selatan, serta Gunung Kuda bagian Selatan dan dataran tinggi Sukanagara-Campaka.

4.4. Penggunaan Lahan

Tipe penggunaan lahan yang dominan di Kabupaten Cianjur berdasarkan data penggunaan lahan tahun 2007 adalah perkebunan dengan luas mencapai 91,901 ha atau 25.40 %. Perkebunan tersebar merata hampir di seluruh kecamatan terutama di bagian Selatan, Barat dan Utara wilayah kabupaten. Tipe penggunaan lahan kedua yang dominan adalah ladang dan semak belukar dengan proporsi luas masing-masing 17 % dan 16.97%. Ladang dan semak belukar banyak tersebar di bagian Selatan dan Tengah wilayah kabupaten. Tipe penggunaan lahan hutan yang masih ada di Kabupaten Cianjur adalah seluas 46,793 ha dengan sebaran di bagian Timur-Selatan wilayah kabupaten. Sawah irigasi dan tadah hujan banyak tersebar di bagian Utara dan Selatan wilayah kabupaten dengan luas total 66,411 ha atau setara 18.35 %. Tabel 8 dan gambar 6 di bawah ini menunjukkan luas dan sebaran penggunaan lahan di kabupaten Cianjur.

(46)

Tabel 8. Luas Penggunaan Lahan Kabupaten Cianjur tahun 2007 Penggunaan Lahan Luas

Ha %

Kebun/Perkebunan 91,901 25.40 Ladang 61,511 17.00 Semak/Belukar 61,404 16.97 Hutan 46,793 12.93 Sawah Tadah Hujan 36,598 10.11 Sawah 29,813 8.24 Permukiman 22,293 6.14 Tubuh Air 10,214 2.82 Rawa 1,232 0.34 Pasir Pantai 147 0.04 Jumlah 361,851 100.00

(47)
(48)

4.6. Kesesuaian Lahan

Peta kesesuaian lahan untuk sawah menunjukkan sebaran area-area yang secara fisik dapat dibudidayakan untuk padi sawah. Kriteria kesesuaian lahan untuk sawah di kabupaten Cianjur mencakup criteria sesuai (S), agak Sesuai ($), dan tidak sesuai. Umumnya tanah-tanah di kabupaten Cianjur termasuk pada criteria cukup sesuai ($) yang banyak tersebar di bagian Utara dan Selatan Kabupaten Cianjur. Persawahan terdapat di daerah Cianjur-Ciranjang, daerah sepanjang jalur aliran sungai Citarum, Cikundul, Cisokan (Kadupandak) dan sedikit di Sindangbarang. Sebagian besar merupakan sawah berpengairan teknis dan pedesaan. Faktor ketersediaan air sangat mempengaruhi musim tanam. Umumnya sawah berpengairan teknis dan pedesaaan di Kabupaten Cianjur dapat ditanami minimal 2 x dalam setahun, bahkan di beberapa wilayah ada yang dapt ditanamai 3 x dalam setahun. Area yang termasuk pada kategori sesuai dimana kondisik biofisik mendukung bagi budidaya tanaman padi sawah hanya sedikit berada di bagian Selatan wilayah Kabupaten.

Tabel 9. Status Kesesuaian Lahan Kabupaten Cianjur

Status Luas ha % Sesuai 7,138 1.97 Cukup Sesuai 122,950 33.98 Tidak Sesuai 231,763 64.05 Jumlah 361,851 100.00

Berdasarkan tabel di atas luas kesesuaian lahan dengan criteria Cukup Sesuai merupakan status yang cukup dominan di Kabupaten Cianjur dengan proporsi 33.98 % atau 122.950 ha. Jika dibandingkan dengan total luas wilayah kabupaten, maka status tidak sesuai merupakan yang paling dominan dengan area 231.763 ha atau setara 64,05%. Area-area dengan status Sesuai hanya seluas 7.138 ha atau setara 1,97%.

(49)

Gambar 7. Peta Status Kesesuaian Lahan Kabupaten Cianjur (Sumber: Peta RePPProT)

Referensi

Dokumen terkait

Hasil dari analisis leverage attributes atau atribut sensitif pada dimensi sosial yang memiliki nilai RMS ≥ 2% yaitu, pengetahuan tentang usahatani komoditas

Didalam Pelaksanaannya, Jadwal Waktu Bimtek Verifikasi Partai Politik dan Sistem Informasi Partai Politik (SIPOL) Calon Peserta Pemilu 2019 yang dilaksanakan pada Hari

Belum lagi ditambah dengan polusi udara dari emisi gas buang dari kendaraan bermotor yang berlalu-lalang dan terjebak kemacetan akan membuat tingkat urban heat island pada

Berdasarkan fenomena tentang keunikan cara pembelian produk Abekani yang membuat konsumen loyal terhadap merek dan adanya penelitian sebelumnya tentang Brand

perlakuan pemberian pakan lebih awal (Pukul 05.00) juga memberi efek pada suhu rektal yang lebih rendah saat ada cekaman cuaca panas siang dibanding perlakuan pemberian minyak

Perbedaan usia yang sangat jauh diantara mereka membuat mereka memiliki perbedaan dalam cara berpikir, Chen Meng yang ingin menjadi wanita karir dan merasa

Meskipun dimensi perpustakaan dianggap sebagai sebuah tempat yang mempunyai kemampuan untuk menampilkan sesuatu secara nyata dalam persepsi pemustaka terhadap kualitas

TOYOTA AVANZA G 2005 silver met tangan pertama pajak panjang barang mulus KM 91rb. Kramat Kwitang Senen