• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

1

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1.

Latar Belakang

Bhineka Tunggal Ika yang menjadi dasar terbentuknya Indonesia didalamnya etnis, bahasa, agama dan ideologi yang menunjukan bahwa masyarakat adalah plural dan beragama. Jika di kelola dengan baik akan menjadi sumber daya dan bisa juga menjadi sumber bencana. Namun, dalam hal ini isu kebebasan beragama merupakan tanggung jawab seluruh pemangku kepentingan. Hal ini bisa dilihat dalam pemantauan pemerhati demokrasi dan hak asasi manusia, setara institute yang menemukan, jumlah provinsi dengan kasus pelanggaran kebebasan beragama semakin banyak sepanjang 2013. Organisasi ini juga mencatat jawa sebagai kepulauan dengan kasus pelanggaran terbesar. Diantaranya Jawa Barat ada 80 kasus, Jawa Timur ada 29 kasus, DKI Jakarta ada 20 kasus, Jawa Tengah ada 19 kasus, Banten ada 6 kasus, dan Yogyakarta ada 4 kasus pelanggaran kebebasan beragama. Jumlah peristiwa pelanggaran kebebasan beragama di Jawa terdapat 158 peristiwa dengan presentase 71,1%. Jumlah peristiwa pelanggaran kebebasan beragama tersebut memang tidak mencerminkan kebebasan beragama dalam kondisi gawat.Mayoritas penduduk di Indonesia bersikap moderat dalam menjalankan kebebasan beragama. (Rizki, Tempo, 2014)

Mengapa Kebebasan Beragama Penting? Pada level yang lebih umum dalam sejarah dunia, agama telah menjadi daya dorong dominan yang membentuk kondisi-kondisi manusia maupun geopolitis. Para pencipta teori sosiologi klasik seperti Marx, berpikir bahwa agama akan menjadi tidak signifikan lagi di zaman modern ini. Dimana agama dianggap akan menghilang dengan adanya kemajuan modern telah terbukti salah. Sosiolog kontemporerterkenal Peter Berger kemudian memperbaiki pemikiran-pemikiran awalnya mengenai modernisasi. Ia menemukan

(2)

2 bahwa modernitas tidak membuat masyarakat menjadi sekuler, tapi justru membuat masyarakat menjadi majemuk. Sosiolog Anthony Giddens setuju dan melihat bahwa “agama telah menjadi bagian utama dalam pengalaman manusia, yang mempengaruhi bagaimana kita menerima dan bereaksi pada lingkungan dimana kita tinggal.”

Arti penting agama dalam sejarah sangat besar di Indonesia. Pada kenyataannya, agama merupakan penanda paling penting dari identitas Indonesia. Perjalanan Indonesia menuju kebangsaan dan kemerdekaan berhubungan erat dengan berbagai kegerakan dan organisasi keagamaan. Sebagai kekuatan sosial agama berfungsi dimana agama dapat menjadi sumber pemersatu atau sumber konflik, atau dasar bagi kemajuan atau kehancuran. Indonesia sebagai bangsa tidak bisa dianggap ada dengan

begitu saja (taken for granted) karena Indonesia merupakan ide dan

cita-cita bagi orang-orang yang terdiri dari berbagai agama, ras dan etnis yang berbeda. Kemajemukannya merupakan dasar bagi kesatuan dan ide dari

konsep “Indonesia”.1

Kebebasan beragama merupakan ukuran penting dari kebebasan-kebebasan lain yang terdapat dalam konstitusi dan hak-hak natural kita. Kebebasan beragama ini mencakup berbagai hak lain: hak untuk berbicara dan mengungkapkan pendapat, hak untuk berkumpul, dan bahkan hak untuk memiliki properti maupun kekayaan. Semua hak ini terkandung dalam ide dari kebebasan beragama, dan merupakan sesuatu yang vital bagi muncul dan berkembangnya sebuah masyarakat sipil dalam negara yang demokratis.

Pada sisi yang lebih pragmatis, berbagai studi kuantitatif dan kualitatif telah menunjukan adanya korelasi yang besar antara kebebasan beragama, kemajuan sosial ekonomi, dan stabilitas politik. Negara-negara dimana kebebasan beragamanya tidak dibatasi, adalah negara-negara yang tingkat sosial ekonominya jauh lebih baik bahwa perkembangan ekonomi di dunia Barat erat hubungannya dengan kepercayaan religius. Kebebasan

1

(3)

3 beragama dan beraktivitas menciptakan kondisi-kondisi yang sehat bagi munculnya kompetisi dan aktivitas ekonomi, Kebebasan beragama dan kebebasan pada umumnya menciptakan lingkungan yang mendukung para individu untuk berpikir secara kreatif dan maju.

Isu kemerdekaan beragama tentunya telah menjadi perhatian dalam pelaksanaan tugas kepolisian dan pemerintah daerah. Perlu ada pertukaran gagasan dalam isu kemerdekaan beragama antar polisi dan pemerintah daerah bahwa sebetulnya keduanya saling memperhatikan dalam isu kemerdekaan beragama.

Langkah awal yang terpenting dalam kemerdekaan beragama dengan menjalin kemitraan kepolisian dan masyarakat dengan

menciptakan serta mempertahankan trust (kepercayaan). Dalam hal ini

polisi harus menyadari pentingnya bekerjasama dengan masyarakat. Rasa saling percaya dan kemitraan yang sehat dapat membangun dengan cara formal. Secara formal polisi dapat bekerjasama dengan masyarakat dalam suatu kelompok kerja untuk menyelesaikan masalah salah satunya isu mengenai kemerdekaan beragama untuk membentuk citra polisi yang positif.

Bertepatan dengan hari Bhayangkari, menunjukan bahwa hanya 20,8% responden yang memandang polisi baik. Hasil survey dengan 1404 responden di 34 provinsi itu merupakan hasil survey terendah terhadap polisi dalam kurun waktu delapan tahun. (NN, 2013)

Kehidupan masyarakat yang bercirikan demokrasi dan supremasi hukum, Polri harus memberikan jaminan keamanan, ketertiban, dan melindungi hak asasi manusia kepada masyarakat serta dapat menunjukan transparansi dalam setiap tindakan kejujuran, keadilan, kepastian dan manfaat sebagai wujud pertanggungjawaban terhadap publik.

Pada masa Orde Baru, polisi cenderung melihat dirinya dipandang semata-mata sebagai pemegang otoritas dan dipandang sebagai alat kepuasan yang mengedepankan pendekatan kekuasaan yang birokratis, sentralis dan serba seragam. Setelah pemisahan Polri dan TNI di tahun

(4)

4 1999, Polri terus berusaha mereformasi dirinya dari organisasi yang militeristik ke polisi sipil yang lebih mengedepankan pelayanannya kepada masyarakat.Salah satu strategi Polri untuk mereformasi dirinya adalah dengan menerapkan Perpolisian Masyarakat (POLMAS) yang secara formal dituangkan dalam SKEP Kapolri No. Pol. : SKEP/737/X/2005. (Wibowo, 2008)

Dalam menjalankan program POLMAS, dibutuhkan daya dukung yang kuat terutama oleh pihak polisi dan masyarakat, karena di dalam kegiatan tersebut ada beberapa faktor yaitu, sosial, politik, dan budaya. Masyarakat berusaha menemukan, mengidentifikasi, menganalisis, dan mencari jalan keluar pemecah masalah – masalah gangguan keamanan dan ketertiban termasuk pertikaian antar warga serta penyakit masyarakat dan masalah sosial lainnya yang bersumber dari dalam kehidupan mereka sendiri bagi terwujudnya susunan kehidupan bersama yang damai dan tentram.

LSM Kampoeng Percik Salatiga dari tahun 2004 sampai tahun

2013 menginisiasi program Community Oriented Policing/Perpolisian

Masyarakat (POLMAS). Lembaga Percik mengawali pilot project

pelaksanaan COP/POLMAS di dua kampung di kota Salatiga, yaitu kampung Nobowetan (Kel.Noborejo, Kec. Argomulyo) untuk mewakili wilayah pedesaan dan kampung Turusan (Kel.Salatiga, kec.Sidorejo) untuk mewakili kampung dengan karakteristik perkotaan.Program peningkatan fungsi kepolisian berorientasi masyarakat perlu memahami tentang kesulitan reformasi kepolisian karena berbagai kompleksitas faktor yang melingkupi salah satunya kepercayaan masyarakat terhadap kepolisian. (Wibowo, 2013)

Namun, pada tahun 2007 terbentuklah POLMAS/COP beraraskan kebebasan beragama di 22 kelurahan salah satunya yaitu di daerah Pulutan, kota Salatiga. Keberadaan POLMAS/COP di daerah Pulutan merupakan salah satu bagian dari komponen masyarakat yang membantu

(5)

5 tugas Polri untuk menciptakan situasi yang aman, damai dan tertib. Dalam masalah kemerdekaan beragama sangatlah terlihat karena di wilayah ini terkenal dengan julukan perkampuangan Madiana, namun didalamnya toleransi beragamanya sangatlah terlihat.

Pengertian COP/POLMAS adalah suatu pendekatan dalam pemecahan masalah yang berorientasi baik kepada proses maupun hasil, mengingat prinsip efektifitas dan efisiensi dengan mempertimbangkan kemampuan negara. Oleh karena itu, pembinaan potensi masyarakat dan hubungan polisi dengan masyarakat perlu diintensifkan melalui pengembangan metode perpolisian masyarakat. Perpolisian masyarakat merupakan design untuk mengubah perpolisian tradisional yang mendikte masyarakat menjadi pemberdayaan masyarakat dengan keyakinan bahwa hanya dengan kerjasama antara polisi dan masyarakat dapat tercapai kualitas hidup warga masyarakat yang lebih baik.

Program COP/POLMAS di LSM Kampoeng Percik, mempunyai tiga kemampuan yang diberikan untuk modal awal, yaitu : kognitif, afektif, dan psikomotorik. Dimana sifat kognitif lebih pada pelatihan yang bersifat pengetahuan, afektif menekankan pad penyadaran, pemahaman pengembangan nilai - nilai, sedangkan psikomotorik lebih pada belajar dalam membangun komunikasi dan melakukan penyerapan aspirasi yang terkandung dalam POLMAS.

Terkait dengan hal tersebut dalam penelitian ini penulis pun tertarik untuk memahami dan mengetahui akan fenomena hubungan

program Community Oriented Policing dengan perubahan perilaku

masyarakat di Salatiga terutama dalam kemerdekaan beragama. Sebagai salah satu kegiatan COP/POLMAS dalam rangka pencegahan konflik, LSM Kampoeng Percik menjalin kerjasama dengan Polda Jateng, Polres Magelang, Polres Semarang, tokoh masyarakat dan lembaga keagamaan, masyarakat dan pemerintah daerah untuk mempromosikan nilai – nilai pluralisme di tengah – tengah masyarakat. Dukungan Kapolda Jateng

(6)

6

Irjen. Alex Bambang Riatmodjo ketika menjadi keynotespeaker dalam

sarasehan tokoh lintas agama, dengan tema “MendorongKemitraan antara Polisi, Toma, Tokoh Lintas Agama dalam Polmas guna Mewujudkan Keamanan serta Menumbuhkan Sikap Toleransi Kehidupan Beragama”. Keinginan besar program COP/POLMAS dalam menjalankan upayanya untuk menekankan pentingnya sinergi antara elemen yang ada di

masyarakat dalam upaya mewujudkan saling menghargai dan

menghormati dalam beragama.

Dari hal tersebut tampak bahwa pentingnya program Community

Oriented Policing (COP/POLMAS) terhadap keamanan dan ketertiban masyarakat terkhusus dalam kemerdekaan beragama, karena apapun bentuk konflik yang di timbulkan oleh faktor agagam yang berlangsung dapat mengakibatkan hal – hal yang tak terhindarkan seperti stress sosial,

kepedihan (bitterness), disintegrasi sosial, musnahnya asset sosial

(misalnya hilangnya trust, rusaknya networking, runtuhnya tata aturan

yang selama ini ditaati bersama, dsb), selain itu kedalaman dan skala konflik berpengaruh pada luasnya “kerusakan sosial” yang ditimbulkan. Oleh karena itu, kegiatan COP/POLMAS ini sangat diperlukan sebagai upaya meningkatkan keamanan dan ketertiban di masyarakat khususnya di kota Salatiga dalam kemerdekaan beragama.

LSM Kampoeng Percik memandang bahwa pengembangan COP/POLMAS dikaitkan tentang kemerdekaan beragama dilatarbelakangi masih banyaknya problem serius dalam kaitan kehidupan keagamaan di Indonesia dimana masih diwarnai oleh tindak kekerasan. Hal ini sangat bertolak belakang dengan UUD 1945 yang memberikan jaminan mengenai kebebasan dalam memeluk agama dan kepercayaan setiap warganya.Oleh karena itu perlu upaya untuk mensinergikan berbagai komponen tadi demi pelaksanaan kebebasan memeluk agama dan kepercayaan setiap warga negara, serta mencegah radikalisasi keagamaan di tengah – tengah

(7)

7 masyarakat. Koordinator COP Bpk. Heri Wibowo T, mengutarakan

tentang harapan dalam perpolisian masyarakat.2

“Harapan COP/POLMAS yaitu pencapaian adanya nilai - nilai yang sudah di berikan mengenai apa itu POLMAS apa itu kemerdekaan beragama sudah tersosialisasi, kemudian penginternalisasi dari nilai - nilai itu, lalu implementasi bahwa adanya persoalan di masyarakat adanya komunikasi antara tokoh – tokoh dengan polisi dan terbukanya pandangan mereka mengenai perbedaan. Misal ada satu kasus sudah sampai kantor polisi, justru polisi mengembalikan ke masyarakat bisa diselesaikan dengan jalur mediasi yaitu dengan POLMAS. Lalu ada keberanian masyarakat yang berkata bahwa pelayanan polisi kurang baik, Misal pembuatan SIM, dll”.

Berdasarkan latar belakang diatas, maka peneliti mengambil

penelitian tentang “Hubungan Program Community Oriented Policing

dengan Perubahan Perilaku Masyarakat di Salatiga” (Studi Deskriptif Program perpolisian Masyarakat (COP) LSM Kampoeng Percik dalam Kemerdekaan Beragama)

1.2.

Rumusan Masalah

Bagaimana perubahan perilaku masyarakat di LSM Kampoeng Percik Salatiga, khususnya di Kelurahan Pulutan, Kecamatan Sidorejo setelah memperoleh program COP dalam kemerdekaan beragama di Salatiga?

1.3.

Tujuan Penelitian

Menggambarkan perubahan perilaku masyarakat LSM Kampoeng Percik Salatiga, khususnya di Kelurahan Pulutan, Kecamatan Sidorejo

setelah mengikuti program community oriented policing (COP) dalam

kemerdekaan beragama di Salatiga.

2

Hasil wawancara Bpk. Heri Wibowo T, Koordinator COP/POLMAS pada hari Rabu, 30 April 2014 pukul 10.30 di LSM Kampoeng Percik Salatiga.

(8)

8

1.4.

Manfaat Penelitian

Judul penelitian “Hubungan Program Community Oreinted

Policing dengan Perubahan Perilaku Dalam Kemerdekaan Beragama di Salatiga (Studi Deskriptif Program Perpolisian Masyarakat (COP) LSM Kampoeng Percik)”, penulis berharap agar penelitian ini bermanfaat, baik teoritis maupun praktis.

a. Secara teoritis, pemberdayaan masyarakat melalui program Community

Oriented Policing (COP) dengan perubahan perilaku masyarakat di Salatiga.

b. Secara praktis, melalui penelitian ini kita dapat mengetahui hubungan

program Community Oriented Policing (COP) dengan perubahan perilaku

masyarakat di Salatiga.

1.5.

Batasan Konsep Penelitian

Penelitian berjudul “Hubungan Program Community Oriented

Policing dengan Perubahan Perilaku Dalam Kemerdekaan Beragama di Salatiga (Studi Deskriptif Program Perpolisian Masyarakat (COP) LSM Kampoeng Percik)”, maka peneliti membatasi konsep penelitian sebagai berikut :

1. COP/POLMAS adalah suatu perpolisian dalam masyarakat modern yang

menempatkan masyarakat bukan sebagai obyek tetapi subyek dan juga sebagai mitra kepolisian dalam pemecahan masalah kamtibmas. Kondisi karekteristik masyarakat di Indonesia merupakan modal awal dan faktor

pendukung dalam pembangunan POLMAS (Community Policing). Konsep

Community Oriented Policing, menurut yang secara garis besar menekankan pada pentingnya kerja sama antara polisi dengan masyarakat tempat bertugas dan mengidentifikasi dan menyelesaikan masalah – masalah sosialnya sendiri.

2. Perilaku adalah semua kegiatan atau aktivitas manusia, baik yang diamati

(9)

9 Selain itu, perilaku juga diartikan pengumpulan pengetahuan, sikap, dan tindakan, sedangkan sikap merupakan reaksi seseorang terhadap stimulus yang berasal dari luar dan dari dalam dirinya perubahan perilaku dalam seseorang dapat terjadi melalui proses belajar (Sarwono, 1999). Perilaku dikembangkan berdasarkan tahapan yang dimulai dari pembentukan pengetahuan (kognitif), sikap (afektif), dan keterampilan (psikomotorik).

Kognitif, pemahaman mengenai motivasi, emosi, dan tindakan manusia.

Afeksi, merupakan komponen emosional atau perasaan.

Psikomotorik, ranah psikomotorik merupakan ranah yang berkaitan

dengan keterampilan (skill) atau kemempuan bertindak setelah seseorang

menerima pengalaman belajar tertentu. Ranah psikomotorik adalah ranah yang berhubungan dengan aktifitas fisik misalnya, lari, melompat, melukis, menari memukul, dan sebagainya (Samsudin, 1977).

3. Kemerdekaan beragama dalam UUD 1945 Pasal 29 ayat 2 : “kebebasan

untuk memeluk agama tertentu dari enam agama yang diakui oleh negara”. Keenam agama yang dimaksudkan oleh negara adalah : Islam, Kristen, Katholik, Budha, Hindu, Khonghucu.

4. LSM Kampoeng Percik adalah Lembaga Persemaian Cinta Kemanusiaan,

lembaga ini merupakan lembaga independen yang diperuntukan bagi penelitian sosial, demokrasi dan keadilan sosial. Lembaga ini didirikan pada 1 Februari 1996 oleh sekelompok ilmuwan di Salatiga yang terdiri dari sejumlah peneliti sosial, pengajar universitas serta aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang bantuan hukum serta pengorganisasian masyarakat.

Referensi

Dokumen terkait

Hasil survei menunjukkan bahwa setelah dilakukan sosialisasi dan aplikasi pelepasan jantan mandul ke rumah-rumah masyarakat di lokasi penelitian, sebagian besar masyarakat

Yayasan Lembaga Penyelidikan Masalah Bangunan, Peraturan Perencanaan Baja Indonesia (PPBBI), DPU, Bandung,

Metode pengolahan dan analisis data yang digunakan adalah analisis deskriptif kualitatif dengan pendekatan manajemen strategi untuk mengetahui lingkungan perusahaan

[r]

- SAHAM SEBAGAIMANA DIMAKSUD HARUS DIMILIKI OLEH PALING SEDIKIT 300 PIHAK & MASING2 PIHAK HANYA BOLEH MEMILIKI SAHAM KURANG DARI 5% DARI SAHAM DISETOR SERTA HARUS DIPENUHI

Bagi pengembangan ilmu pengetahuan, dapat memberikan suatu karya penulisan baru yang dapat mendukung dalam pengolahan data pada sistem informasi inventori barang

Kelemahan di dalam perusahaan Tahubaxo Ibu Pudji sebagai berikut: Pembeli menilai harga yang di tawarkan untuk produk cukup mahal , selain itu tahu bakso ibu pudji

Formulasi larutan detergen dari natrium dodesil sulfat dan sintesis natrium dodesilbenzen sulfonat telah dilakukan, sehingga dapat disimpulkan sebagai berikut :