HUBUNGAN ANTARA PARENTING SELF-EFFICACY DAN KONFLIK
PERAN PADA IBU BEKERJA DARI TODDLER
Wigati Ambar Pertiwi dan Erniza Miranda Madjid
Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia, Kampus Baru UI Depok, 16242, Indonesia
E-mail: [email protected]
Abstrak
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan antara parenting self-efficacy dan konflik peran pada ibu bekerja dari toddler. Pengukuran parenting self-efficacy dilakukan dengan alat ukur Self-Efficacy Parenting for Tasks Index - Toddler Scale (SEPTI-TS) yang dikembangkan oleh Coleman (1998), sedangkan
konflik peran diukur melalui Wave V Role Conflict Scale yang dikembangkan oleh Markle (1998). Partisipan dalam penelitian ini adalah 142 ibu bekerja dari toddler yang bekerja minimal selama 40 jam per minggunya.
Hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan negatif yang signifikan antara parenting self-efficacy dan konflik peran (r= -0.390, n=142, p< 0.01, two tail). Artinya, semakin tinggi parenting self-efficacy ibu, semakin
rendah konflik peran yang dialami, begitupun sebaliknya.
The Relationship between Parenting Self-Efficacy and Role Conflict among Working Mothers of Toddler
Abstract
This study examined the relationship between parenting self-efficacy and role conflict among working mothers of toddler. Parenting self-efficacy was measured by Self-Efficacy Parenting for Tasks Index – Toddler Scale (SEPTI-TS) developed by Coleman (1998), whereas role conflict was measured by Wave V Role Conflict Scale
developed by Markle (1998). The participants of this study were 142 working mothers of toddler who work at leat 40 hours per week. The result of this study shows that there is a significant, negative relationship, between
parenting self-efficacy and role conflict (r= -0.390, n=142, p< 0.01, two tail). It indicates that the higher mothers‟ parenting self-efficacy, the lower their role conflict, and vice versa.
Keywords: parenting self-efficacy; role conflict, toddler, working mothers
Pendahuluan
Di era globalisasi, bukan hal asing lagi jika seorang ibu bekerja di luar rumah. Keputusan ibu untuk bekerja di luar rumah sebenarnya tergantung dari situasi, kondisi, dan keadaan didalam keluarganya. DeGenova (2008) menyatakan bahwa terdapat dua faktor yang menjadi alasan ibu memutuskan untuk bekerja, yaitu faktor ekonomi dan nonekonomi. Faktor ekonomi yaitu biaya hidup yang tinggi dan keinginan untuk memenuhi standar hidup yang lebih tinggi. Faktor nonekonomi yaitu wanita semakin menyadari bakat dan kemampuannya yang dapat dikembangkan, dengan cara mengaktualisasikan diri pada pekerjaan yang diminati, sehingga kebutuhan pribadinya terpenuhi.
Berdasarkan data dari Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Depnakertrans), jumlah wanita bekerja di Indonesia hingga Agustus 2012 sudah mencapai angka 41.739.189 (Pusat Data dan Informasi Ketenagakerjaan, 2012), tetapi angka tersebut belum dapat menunjukkan jumlah ibu bekerja di Indonesia. Ibu bekerja didefinisikan oleh Dillaway dan Pare (2008) sebagai ibu yang bekerja di luar rumah selama 40 jam atau lebih dalam setiap minggunya dan memiliki orientasi karir yang tinggi. Menjadi ibu bekerja, berarti ibu memiliki beberapa peran yang harus dijalani, yaitu sebagai orang tua (ibu), pasangan hidup (istri), dan wanita pekerja. Oleh sebab itu, ibu harus dapat mengelola dirinya agar dapat menjalani semua tanggung jawab dari masing-masing peran tersebut. Sebagai orang tua, tentunya ibu bertanggung jawab dalam hal pengasuhan anak, karena hal tersebut merupakan bagian dari tugas parenting sebagai orang tua. Untuk dapat menjalankan parenting dengan baik, dibutuhkan juga kualitas parenting yang baik. Salah satu aspek yang menentukan kualitas parenting dari orang tua adalah parenting self-efficacy (e. g., Bugental, Blue, & Cruzcosa, 1989; Cutrona & Troutman, 1986; Teti & Gelfand, 1991, dalam Coleman, 1998).
Menurut Coleman dan Karraker (2000), parenting self-efficacy adalah estimasi diri orang tua terhadap kompetensinya dalam menjalankan peran sebagai orang tua atau persepsi orang tua terhadap kemampuannya untuk memberikan pengaruh positif terhadap perilaku dan perkembangan anak mereka. Sementara itu, parenting self-efficacy ternyata dapat menjadi prediktor penting untuk dapat menampilkan perilaku parenting yang positif (Coleman & Karraker, 1997). Akan tetapi, karena kondisi ibu yang bekerja ternyata dapat mengancam parenting self-efficacy yang dimiliki ibu (Anderson, 2006). Anderson (2006) menyatakan bahwa kondisi ibu bekerja biasanya lebih rentan terhadap tekanan yang levelnya lebih tinggi, ibu juga mudah marah, serta mudah kelelahan setibanya di rumah setelah bekerja. Hal tersebut berdampak pada kurangnya keyakinan ibu dalam memenuhi waktu, energi, dan perhatian seharusnya dibutuhkan untuk parenting. Ketika ibu merasa ada ketidakcocokan diantara masing-masing peran, maka ibu cenderung untuk lebih mudah mengalami konflik, yang pada akhirnya berdampak pada parenting self-efficacy yang lebih rendah.
Konflik yang dialami oleh ibu bekerja, karena ibu harus menjalani beberapa peran dalam waktu yang bersamaan, yaitu sebagai istri, ibu, dan wanita bekerja, sehingga dapat dikatakan bahwa ibu memiliki peran majemuk (Bird & Melville, 1994). Dari masing-masing peran yang dijalani oleh ibu, tentunya peran tersebut memiliki harapan tersendiri, sehingga jika ibu tidak dapat memenuhi harapan dari masing-masing peran, maka dapat menimbulkan konflik. Tuntutan pekerjaan selalu menyertai ibu, karena perannya sebagai wanita bekerja, sedangkan tuntutan mengurus rumah tangga dan mengasuh anak datang dari perannya sebagai
istri dan ibu. Jika tuntutan-tuntutan tersebut saling berbenturan, maka ibu akan mengalami konflik (Galinsky, 1988 dalam Martin & Colbert, 1997; Brooks, 2011). Menurut Markle (1998), konflik peran pada ibu bekerja dapat digambarkan sebagai wanita yang memiliki dua atau lebih peran, setiap peran tersebut memiliki harapan yang berbeda dan saling bertentangan, karena itu ia merasa tidak pernah memiliki cukup waktu untuk melakukan semua hal yang diharapkan kepadanya, dan pada akhirnya hal tersebut memberikan dampak negatif berupa terganggunya kesehatan dan kesejahteraan wanita tersebut.
Salah satu hal yang mempengaruhi pekerjaan ibu terhadap parenting adalah usia anak (Martin & Colbert, 1997). Hal tersebut juga yang merupakan faktor yang menyebabkan terjadinya konflik peran pada ibu bekerja (DeGenova, 2008). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa ibu yang memiliki anak dengan usia yang lebih muda, ternyata lebih sering mengalami konflik peran, dibandingkan dengan ibu dari anak yang usianya lebih tua (Beutell & Greenhaus, 1980; Greenhaus & Kopelman, 1981; Pleck, dkk., 1980 dalam Greenhaus & Beutell, 1985). Anak yang berada dalam tahapan perkembangan toddlerhood dapat dikatakan berusia lebih muda, karena tahapan ini merupakan tahapan awal perkembangan, yang berlangsung antara usia 12-36 bulan (Davies, 1999; Edward & Liu, 2002). Tahapan tersebut seringkali dianggap sulit oleh orang tua, karena orang tua dihadapkan pada tantangan baru, yang tidak ditemui sebelumnya ketika anak masih berusia bayi (Coleman, 1998). Selain itu, perkembangan fisik anak meningkat dengan pesatnya, serta perkembangan motoriknya juga (Davies, 1999). Anak juga mulai senang untuk mengeksplorasi dunianya dan dirinya sendiri (Bowlby, 1969; dalam Davies, 1999). Ditahapan toddlerhood juga, muncul perilaku terrible twos, yang menurut Papalia, Olds, dan Feldman (2009) sebenarnya merupakan salah satu tanda otonomi dari anak, tetapi perilaku tersebut justru lebih sering muncul dalam bentuk negativistik dan anak juga cenderung untuk meneriakkan kata “tidak” yang ditujukan untuk melawan pihak otoritas. Oleh karena itu, perilaku terrible twos ini dapat menyebabkan stres pada orang tua, karena perilaku tersebut seringkali tidak irasional dan muncul secara tidak terkendali, baik dalam dimensi afeksi maupun tingkah laku (Davies, 1999). Hal tersebut menurut Barnard dan Solchany (2002), tentunya menambah tuntutan peran orang tua pada pengasuhan toddler, karena itu ibu dan anggota keluarga dituntut untuk memegang peranan yang besar dalam proses pengasuhan toddler.
Berdasarkan penjelasan-penjelasan sebelumnya, telah diketahui bahwa ibu bekerja seringkali mengalami konflik peran, karena ibu menjalani beberapa peran secara bersamaan. Penelitian mengenai konflik peran pada ibu bekerja oleh Handayani (2010) menunjukkan
bahwa ibu bekerja mengalami konflik peran, dan ketika dihubungkan dengan kepuasaan pernikahan, ternyata hubungannya negatif, yaitu ketika ibu merasakan tingginya konflik peran, maka kepuasan pernikahan yang dirasakan menjadi lebih rendah. Selain konflik peran, pada penjelasan sebelumnya juga telah dijelaskan bahwa parenting self-efficacy pada ibu bekerja dapat menjadi lebih rendah, ketika ibu merasa ada ketidakcocokan diantara peran-peran yang dijalani. Walaupun demikian, penelitian yang dilakukan oleh Savitri (2011) menunjukkan bahwa ibu bekerja ternyata memiliki parenting self-efficacy yang lebih tinggi, jika dibandingkan dengan ibu tidak bekerja. Kemudian, pada ibu bekerja konflik peran ternyata juga dapat disebabkan oleh usia anak, ketika anak semakin muda, maka ibu akan lebih sering mengalami konflik peran. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk meneliti bagaimana hubungan antara parenting self-efficacy dengan konflik peran, yang ditujukan pada ibu bekerja yang memiliki anak toddler.
Tinjauan Teoritis Parenting Self-Efficacy
Parenting self-efficacy menurut Coleman dan Karraker (2000) adalah estimasi diri orang tua terhadap kompetensinya dalam menjalankan peran sebagai orang tua atau persepsi orang tua terhadap kemampuannya untuk memberikan pengaruh positif terhadap perilaku dan perkembangan anak mereka. Selain itu, juga terdapat tujuh domain dari parenting self-efficacy, yang merupakan penilaian persepsi orang tua terhadap kemampuannya untuk memberikan pengaruh positif terhadap perilaku dan perkembangan anaknya yang berusia toddler (Coleman, 1998). Ketujuh domain tersebut menurut Coleman (1998) adalah 1) Emotional availability, menjelaskan mengenai tugas orang tua untuk selalu menyediakan dukungan emosional untuk mendukung perkembangan anaknya. Domain ini menjadi penting, karena salah satu sumber kecemasan pada toddler adalah ketakutan akan tidak diterima, tidak disayangi, diabaikan oleh orang tua (Davies, 1999). Sehingga, salah satu tugas parenting bagi orang tua pada toddler adalah adanya ketersediaan emosional bagi anak (Barnard & Solchany, 2002). 2) Nurturance, valuing the child, and empathetic responsiveness merupakan domain yang menjelaskan mengenai orang tua dalam kemampuannya untuk memberikan respon yang tepat terhadap apa yang dirasakan anaknya. Selain itu, sudah menjadi tugas bagi orang tua dari toddler untuk dapat mampu untuk merespon distress yang dialami oleh anak secara sensitif dan empatik, serta dapat membantu anak dalam menghadapi frustasi dan tantangan, sehingga mereka merasa sukses (Barnard & Solchany, 2002; Brooks, 2011). 3) Protection
from harm or injury menjelaskan mengenai tugas orang tua untuk memberikan perlindungan rasa aman dan dari hal-hal yang dapat membahayakan anaknya. Hal tersebut menjadi penting karena pada toddler mulai berkembang kemampuan dalam mobilitas dan eksplorasi, sehingga seringkali terjadi hal-hal yang mungkin dapat membahayakan anak (Edward & Liu, 2002). 4) Discipline and limit setting, bahwa menjadi tugas orang tua untuk mengajarkan disiplin dan memberikan batasan-batasan terhadap apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh anak. Hal tersebut karena ditahapan ini anak sudah mulai mempelajari peraturan dan standar-standar yang berlaku di lingkungannya (Edward & Liu, 2002). 5) Playing, bahwa menjadi tugas orang tua untuk ikut serta dalam bermain atau menyediakan aktivitas yang menyenangkan untuk anaknya. Kegiatan bermain memberikan manfaat bagi perkembangan anak dalam aspek fisik, motorik, sosial, emosi, dan kognisi (Tedjasaputra, 2003). Selain itu, Brooks (2011) juga menambahkan bahwa sudah menjadi tugas orang tua untuk memberikan stimulasi perkembangan dan kompetensi anak melalui kegiatan bermain. 6) Teaching, bahwa menjadi tugas orang tua untuk mengajarkan tentang berbagai hal yang sesuai pada anak. Menurut Gleason dan Zeanah (2006), orang tua merupakan guru bagi anak-anaknya, dan usaha orang tua untuk mengajarkan anaknya dapat berpengaruh terhadap rasa penasaran anak, sense of mastery, serta ketertarikan anak untuk belajar. 7) Instrumental care and establishment of structure and routines, yaitu tugas orang tua untuk menyusun jadwal rutin sesuai dengan kebutuhan anaknya. Sesuai dengan tugas parenting orang tua pada tahapan toddler, yaitu menyusun rutinitas untuk anaknya, sesuai dengan kebutuhan anaknya (Barnard & Solchany, 2002).
Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi parenting self-efficacy, yaitu 1) Pengalaman masa kecil dengan keluarga asal, menurut Coleman dan Karraker (1997) orang tua akan membawa representasi internal dari dinamika hubungan attachment dengan pengasuh (caregiver) utama di masa kecilnya ke dalam pengalaman parenting-nya. Selain itu, pengalaman masa kecil dengan perilaku parenting yang positif dari orang tua, ternyata dapat memberikan kesempatan munculnya keyakinan akan parenting self-efficacy melalui proses vicarious learning (Leerkes & Crockenberg, 2002 dalam Coleman & Karraker, 2005). 2) Pengaruh elemen sosial, bahwa budaya dan komunitas mampu memberikan informasi mengenai nilai-nilai parenting maupun informasi faktual yang relevan tentang pemeliharaan dan perkembangan anak (Coleman & Karraker (1997). 3) Pengalaman dengan anak, bahwa pengalaman yang nyata dari ibu dalam menghadapi anak-anak, baik anak mereka sendiri maupun anak dari saudara dan anggota komunitas, ternyata dapat meningkatkan keberhasilan terhadap efficacy belief pada ibu (Coleman & Karraker, 1997). 4) Derajat kesiapan
kognitif/perilaku untuk melakukan parenting, bahwa parenting self-efficacy ternyata berhubungan dengan beberapa komponen kesiapan kognitif untuk menjalankan parenting, diantaranya child-centeredness yang kuat dan preferensi orang tua dalam menentukan gaya parenting yang positif (Leen & Karraker, 2002 dalam Coleman & Karraker, 2005). 5) Dukungan sociomarital, bahwa dukungan yang diberikan oleh suami mempengaruhi parenting self-efficacy pada wanita yang secara langsung dapat mengurangi terjadinya peristiwa yang dapat menyebabkan stress (Belsky & Vondra, 1989 dalam Suzuki, Holloway, Yamamoto & Mindnich, 2009).
Konflik Peran
Dalam kehidupan sehari-hari, individu bisa saja memiliki lebih dari satu peran yang harus dijalani, karena itu dapat dikatakan individu tersebut memiliki peran majemuk atau multiple role (Bird & Melville, 1994). Pada ibu bekerja, dapat dikatakan ibu menjalani peran sebagai orang tua (ibu), pasangan (istri), dan pekerja. Masing-masing dari ketiga peran tersebut, tentunya memiliki tuntutan yang berbeda-beda. Jika ibu tidak dapat memenuhi tuntutan yang berbeda dari masing-masing peran, dapat menimbulkan konflik peran pada dirinya. Menurut Markle (1998) konflik peran pada wanita adalah wanita yang memiliki dua atau lebih peran, setiap peran tersebut memiliki harapan yang berbeda dan saling bertentangan, karena itu ia merasa tidak pernah memiliki cukup waktu untuk melakukan semua hal yang diharapkan padanya, dan pada akhirnya hal tersebut memberikan dampak negatif berupa terganggunya kesehatan dan kesejahteraan wanita tersebut.
Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya konflik peran, diantaranya 1) Usia anak dalam keluarga, ibu yang memiliki anak dengan usia lebih muda, lebih sering mengalami konflik peran, dibandingkan dengan ibu dari anak yang usianya lebih tua (Beutell & Greenhaus, 1980; Greenhaus & Kopelman, 1981; Pleck dkk., 1980 dalam Greenhaus & Beutell, 1985). DeGenova (2008) juga menyatakan bahwa semakin muda usia anak dalam keluarga, maka semakin besar konflik peran yang mungkin dialami oleh ibu yang bekerja. 2) Keterbatasan waktu untuk memenuhi harapan dalam peran, Hoschild (1997 dalam Anderson, 2006) menyatakan bahwa mayoritas ibu yang bekerja merasakan bahwa mereka memiliki keterbatasan waktu untuk memenuhi peran ganda mereka dalam kehidupannya. Semakin sedikit waktu yang dihabiskan, ternyata juga berdampak negatif terhadap perkembangan anaknya (Bogenschneider, Small, & Tsay, 1997; Crouter & McHale, 1993; Parcel & Menaghan, 1994 dalam Anderson, 2006). 3) Pertentangan beberapa peran secara bersamaan, konflik peran pada ibu bekerja terjadi karena adanya tuntutan pekerjaan yang berbenturan
dengan tuntutan dalam mengasuh anak (Galinsky, 1988 dalam Martin & Colbert, 1997; Brooks, 2011). 4) Konflik internal pada ibu, Greenberger dan O‟Neil (1990 dalam DeGenova, 2008) menyatakan bahwa konflik internal muncul ketika ibu merasa tidak siap untuk bekerja atau tidak ingin meninggalkan anaknya di rumah, padahal mereka harus tetap bekerja.
Toddler
Usia toddler berlangsung antara 12 hingga 36 bulan (Edward & Liu, 2002), yang ditandai dengan ditandai dengan meningkatnya kemampuan anak dalam melakukan sesuatu dengan sendiri dan meningkatnya keahlian secara gradual (Davies, 1999). Perkembangan fisik dan motorik anak meningkat dengan pesat (Davies, 1999), anak juga mulai senang mengeksplorasi dunianya dan dirinya sendiri (Bowlby, 1969 dalam Davies, 1999). Perkembangan otonomi anak juga mulai meningkat, ditandai dengan bergantinya kontrol yang berasal dari eksternal ke internal anak (diri sendiri) (Edward & Liu, 2002). Menurut Papalia, Olds dan Feldman (2009), salah satu yang menjadi ciri khas dari perkembangan otonomi adalah terrible twos, karena anak ingin mencoba untuk melakukan segala sesuatunya dengan sendiri, seperti menyampaikan idenya, menunjukkan preferensinya, membuat keputusan sendiri. Akan tetapi, ternyata perilaku tersebut justru sering muncul dalam bentuk negativistik dan anak juga sering berkata „tidak‟. Namun demikian, terrible twos ini sebenarnya merupakan cara anak dalam rangka mencapai otonomi dirinya (Papalia, Olds & Feldman, 2009).
Tugas Parenting pada Toddler
Dalam melakukan parenting, orang tua akan dihadapkan pada tugas-tugas yang disesuaikan dengan tahapan perkembangan anak. Memasuki periode toddlerhood, anak mulai berusaha untuk menjadi independen dan mengeksplorasi lingkungannya (Coleman, 1998). Periode ini merupakan yang paling signifikan dalam rangka proses menjadi ibu, karena saat itu anak masih sangat dependen dan masih membutuhkan banyak hal dari ibu (Barnard & Solchany, 2002). Edward dan Liu (2002), menyatakan bahwa untuk membantu anak melewati periode toddlerhood, orang tua perlu memberikan dukungan, bimbingan, dan struktur. Menurut Erikson (1950, dalam Papalia, Olds & Feldman, 2009), anak berada dalam tahapan psikososial autonomy vs shame and doubt. Tahapan tersebut menunjukkan bahwa anak mulai melepaskan diri dari orang tua, bahkan terkadang anak memiliki kebebasan yang tidak terbatas. Akan tetapi, hal tersebut ternyata belum tentu aman untuk anak. Dalam hal ini, diperlukan peran orang tua untuk menetapkan batasan-batasan pada anak, karena itu shame
and doubt menjadi penting bagi anak untuk membantu mereka perlunya mengerti tentang batasan yang diberikan.
Ibu Bekerja
Ibu bekerja menurut Dillaway dan Pare (2008) adalah ibu yang bekerja di luar rumah selama 40 jam atau lebih dalam setiap minggunya dan memiliki orientasi yang tinggi terhadap karir. Selain bertanggung jawab terhadap pekerjaannya, ibu juga bertanggung dalam untuk melakukan parenting terhadap anaknya. Martin dan Colbert (1997) menyatakan bahwa terdapat beberapa hal yang dapat mempengaruhi pekerjaan terhadap parenting, diantaranya 1) sikap ibu terhadap pekerjaan, ibu yang berkeinginan kuat untuk bekerja dan berkomitmen kuat untuk menjalankan perannya tesebut, cenderung untuk menggunakan pola asuh autoritatif (Goldberg & Easterbrook, 1988 dalam Martin & Colbert, 1997). Sebaliknya jika jika ibu terpaksa bekerja karena adanya tekanan ekonomi, maka berakibat pada kecemasan yang dapat memberikan tekanan tersendiri bagi hubungan ibu dan anak (Martin & Colbert, 1997). 2) Maternal separation anxiety, merupakan perasaan negatif yang dirasakan oleh ibu, ketika meninggalkan anaknya. Pada ibu yang bekerja, perasaan negatif biasanya berkaitan dengan perasaan bersalah dan kecemasan yang tinggi dalam mengasuh anak (Klinger dalam Hoffman & Nye, 1984) dan juga dalam memenuhi kebutuhan anak (Papalia, Olds, & Feldman, 2009). 3) Durasi waktu bekerja, keterbatasan waktu ibu untuk bersama dengan keluarganya dapat memberikan dampak tersendiri bagi anak, pasangan dan diri ibu sendiri. Kondisi ibu yang bekerja akan berkonsekuensi pada anak yang kekurangan pengawasan, pengasuhan, cinta, dan kemampuan kognitif (Hoffman & Nye, 1984). 4) Jenis kelamin anak, Martin dan Colbert (1997) menyatakan bahwa perbedaan jenis kelamin pada anak ini secara umum lebih terlihat hasilnya pada anak perempuan, dibandingkan dengan anak laki-laki. Anak perempuan juga memiliki tingkat pendidikan yang lebih tinggi, yang mengindikasikan bahwa ibu bekerja dapat menjadi role model penting bagi anak perempuan mereka (Hoffman, 1989 dalam Martin & Colbert, 1997). 5) Usia anak ketika ibu mulai bekerja, Brazelton (1987 dalam Martin & Colbert, 1997) menyatakan ibu yang mulai bekerja dimasa empat bulan pertama kehidupan dari anaknya, ternyata dapat mengganggu proses belajar dan dapat mengancam hubungan antara ibu dan anak.
Metode Penelitian
Variabel dalam penelitian ini adalah parenting self-efficacy dan konflik peran. Partisipan penelitian sebanyak 142 ibu bekerja yang memiliki anak toddler, dan bekerja selama minimal 40 jam per minggunya. Pengambilan sampel dengan menggunakan teknik convenience sampling. Penelitian ini adalah penelitian korelasi, karena bertujuan untuk mencari hubungan diantara dua variabel, yaitu parenting self-efficacy dan konflik peran, bersifat kuantitatif, serta merupakan penelitian one-shot studies karena hanya melakukan satu kali pengambilan data. Partisipan penelitian ini diminta untuk mengisi kuesioner yang terdiri dari dua alat ukur, yaitu Self-Efficacy Parenting for Tasks Index – Toddler Scale (SEPTI-TS) dari Coleman (1998) dan Wave V Role Conflict Scale dari Markle (1998), kedua alat ukur tersebut telah diadaptasi dalam Bahasa Indonesia. Kemudian, dalam mengolah data peneliti menggunakan SPSS (Statistical Package for Social Science), serta teknik statistika yang digunakan adalah analisis statistika deskriptif dan korelasi Pearson.
Hasil Penelitian
Dari hasil pengambilan data pada 142 partisipan, mayoritas partisipan berusia 20-40 tahun (99.3%), beragama Islam (91.5%), bersuku Jawa (50%), berpendidikan terakhir S1 (78.2%), bekerja sebagai pegawai swasta (41.5%), bekerja selama 40 jam per minggu (65.5%), tinggal bersama keluarga inti (57%), jumlah anak yang dimiliki satu orang (65.5%) dan memiliki pengasuh anak selain ibu adalah keluarga ibu (orang tua kandung ibu) (44.4%). Dari hasil pengolahan data, menunjukkan bahwa skor rata-rata parenting self-efficacy sebesar 4.57, dengan standar deviasi 0.41. Skor terendah yang diperoleh partisipan sebesar 3.66, sedangkan skor tertingginya 5.66. Sebagian besar partisipan memiliki skor diatas rata-rata (54.9%), sisanya berada dibawah skor rata-rata-rata-rata (45.1%). Hal ini berarti mayoritas partisipan telah memiliki penilaian yang positif terhadap dirinya dalam menjalankan tugas parenting untuk toddler.
Tabel 1. Gambaran Parenting Self-Efficacy Partisipan Penelitian
Mean Skor Frekuensi Persentase
< 4.57 64 45.1%
> 4.57 78 54.9%
Selain itu, juga dilihat gambaran skor berdasarkan tujuh domain parenting self-efficacy
Tabel 2. Gambaran Persebaran Skor Domain Parenting Self-Efficacy
Domain Skor Rata-rata
Emotional Availability 4.80
Nurturance, Valuing The Child, and Emphathetic Responsiveness 4.84
Protection from Harm or Injury 4.69
Discipline and Limit Setting 4.01
Playing 4.75
Teaching 4.50
Instrumental Care and Establishment of Structure and Routines 4.42
Berdasarkan tabel di atas, dapat terlihat bahwa skor rata-rata tertinggi adalah domain nurturance, valuing the child, and empathetic responsiveness (M = 4.84), yang berarti mayoritas partisipan memiliki keyakinan yang baik terhadap kemampuannya dalam memberikan respon yang tepat terhadap apa yang dirasakan anaknya. Sedangkan skor rata-rata terendah adalah domain discipline and limit setting (M = 4.01), yang berarti mayoritas partisipan memiliki keyakinan yang kurang baik terhadap kemampuannya dalam mengajarkan disiplin dan memberikan batasan-batasan terhadap anaknya.
Kemudian, dari hasil skor konflik peran yang diperoleh partisipan, didapatkan skor rata-rata sebesar 2.20, standar deviasi 0.63. Skor terendah yang diperoleh adalah 1.00, skor tertinggi 3.77. Sebagian besar partisipan memiliki skor dibawah rata-rata (52.1%), sedangkan sisanya diatas skor rata-rata 47.9%). Hal tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar partisipan ibu bekerja mengalami konflik peran yang rendah.
Tabel 3. Gambaran Konflik Peran Partisipan Penelitian
Mean Skor Frekuensi Persentase
< 2,20 74 52,1%
> 2,20 68 47,9%
Berdasarkan penghitungan korelasi dari kedua variabel, ditemukan bahwa parenting self-efficacy berkorelasi negatif signifikan dengan konflik peran (r = -0.390; n = 142; p<0.01; two tail). Berikut adalah hasil penghitungan korelasi antara parenting self-efficacy dan konflik peran.
Tabel 4. Korelasi antara Parenting Self-Efficacy dan Konflik Peran
Variabel R Sign. (2-tailed) r²
Parenting Self-Efficacy dan Konflik Peran -.390** .000 0.152 **Signifikan pada L.o.S 0,01
Kesimpulan
Dari hasil penelitian yang dilakukan terhadap 142 partisipan ibu bekerja, terdapat hubungan negatif yang signifikan antara parenting self-efficacy dengan konflik peran pada ibu bekerja dari toddler. Hal ini berarti semakin tinggi parenting self-efficacy yang dimiliki partisipan, maka semakin rendah tingkat konflik peran yang dialami oleh partisipan; begitu juga sebaliknya.
Kemudian, berdasarkan skor parenting self-efficacy yang diperoleh partisipan, ditemukan bahwa mayoritas partisipan sudah memiliki parenting self-efficacy yang cukup tinggi. Dari skor domain parenting self-efficacy, domain dengan skor rata-rata tertinggi adalah nurturance, valuing the child, and empathetic responsiveness, yang berarti mayoritas partisipan penelitian ini memiliki keyakinan yang besar terhadap kemampuannya dalam memberikan respon yang tepat terhadap apa yang dirasakan anaknya. Sedangkan skor rata-rata terendah adalah domain discipline and limit setting, yang berarti mayoritas partisipan penelitian ini memiliki keyakinan yang rendah terhadap kemampuannya dalam mengajarkan disiplin dan memberikan batasan-batasan pada anaknya yang berusia toddler.
Dari skor konflik peran yang diperoleh partisipan, mayoritas partisipan memiliki konflik peran yang cukup rendah, yang berarti bahwa sebagian besar partisipan ibu yang berpartisipasi dalam penelitian sedikit mengalami konflik peran pada dirinya.
Pembahasan
Berdasarkan hasil analisis penelitian, ditemukan adanya hubungan negatif yang signifikan antara parenting self-efficacy dan konflik peran pada ibu bekerja dari toddler. Hasil tersebut menunjukkan bahwa partisipan yang memiliki parenting self-efficacy yang tinggi, akan memiliki tingkat konflik peran yang rendah. Sebaliknya, partisipan dengan tingkat parenting self-efficacy yang rendah, akan memiliki tingkat konflik peran yang tinggi. Hal tersebut dapat terjadi salah satunya dapat terjadi karena ketidaksesuaian tuntutan dari masing-masing peran cenderung membuat ibu lebih mudah mengalami konflik, yang pada akhirnya berdampak pada parenting self-efficacy ibu yang rendah (Anderson, 2006). Konflik peran yang terjadi pada ibu pun juga berdampak pada kelelahan yang kronis, bahkan dapat menyebabkan psychological distress yang ekstrim dan depresi (Amatea & FongBeyette,1987; Goodwin,1997; Greenglass dkk., 1988; Houston, Cates & Kelly, 1992 dalam Markle, 1998). Akan tetapi, partisipan dalam penelitian ini mengalami konflik peran yang cukup rendah, dapat dikatakan bahwa mereka dapat mengatasi konflik yang terjadi. Salah satunya dalam hal
pengasuhan anak, ibu menitipkan anaknya pada pihak lain ketika ia sedang bekerja, sehingga dapat mengurangi kekhawatirannya karena ia tidak dapat memenuhi tanggung jawab dalam perannya sebagai ibu yang mengasuh anak.
Berdasarkan skor parenting self-efficacy yang diperoleh partisipan, sebagian besar partisipan sudah memiliki parenting self-efficacy yang cukup tinggi. Hasil tersebut ternyata bertentangan dengan Anderson (2006) bahwa dengan perannya sebagai ibu bekerja, justru membuat parenting self-efficacy ibu menjadi lebih rendah. Namun, penelitian oleh Erdwins, Buffardi, Casper dan O‟Brien (2001, dalam Anderson, 2006) menunjukkan bahwa self-efficacy yang dimiliki oleh para wanita pada perannya dalam keluarga dan pekerjaan ternyata berpengaruh terhadap stres terkait perannya, dalam hal ini para wanita yang merasa yakin atau percaya diri dengan perannya sebagai orang tua dilaporkan memiliki tingkat stres yang lebih rendah disebabkan banyaknya tuntutan peran. Self-efficacy yang lebih tinggi ternyata juga berhubungan dengan stres yang rendah, yang juga dihubungkan dengan kemampuan dalam mengelola tuntutan dari berbagai peran (Erdwins, Buffardi, Casper & O‟Brien, 2001 dalam Anderson, 2006). Dengan berbagai peran yang dimiliki, ibu tetap harus dapat mengelola peran-perannya dengan baik. Sebagai pekerja, ibu memiliki tanggung jawab terhadap pekerjaannya yang harus dilakukan. Sedangkan sebagai orang tua, ibu juga mempunyai tanggung jawab untuk menjalankan tugas parenting.
Mengacu pada skor rata domain parenting self-efficacy, domain dengan skor rata-rata tertinggi adalah nurturance, valuing the child, and empathetic responsiveness. Hasil ini sejalan dengan penelitian mengenai parenting self-efficacy pada ibu yang berprofesi sebagai perawat dengan anak toddler oleh Annisa (2014) yang menunjukkan bahwa domain nurturance, valuing the child, and empathetic responsiveness merupakan domain dengan skor tertinggi. Tingginya skor parenting self-efficacy pada domain ini dapat terjadi karena menurut Barnard dan Solchany (2002) terdapat tanggung jawab ibu dalam melakukan parenting pada toddler yaitu merespon anak secara sensitif dan empatik, serta merespon stres yang dirasakan oleh anak. Selain itu, peneliti berasumsi bahwa walaupun kondisi ibu yang bekerja dan harus menitipkan anaknya pada orang lain, tapi ketika mereka sudah bersama dengan anaknya kembali, mereka akan mengasuh anaknya sendiri tanpa intervensi orang lain, karena hal tersebut merupakan tanggung jawabnya dalam melaksanakan tugas parenting.
Sementara itu, domain dengan skor rata-rata terendah adalah discipline and limit setting. Hasil ini sejalan dengan penelitian-penelitian sebelumnya mengenai parenting self-efficacy pada ibu dengan anak toddler, yang hasilnya menunjukkan bahwa domain discipline and limit setting merupakan domain dengan skor terendah (Afiefah, 2013; Prameswari, 2013;
Karlina, 2013; Utami, 2014; dan Annisa, 2014). Hasil yang konsisten ini mengindikasikan bahwa ibu dengan anak toddler merasa bahwa dirinya kurang mampu dalam mengajarkan disiplin dan memberikan batasan-batasan pada anaknya. Hal tersebut dapat terjadi karena pada tahapan toddlerhood, perkembangan otonomi anak mulai meningkat, yang ditandai dengan meningkatnya keinginan untuk melakukan segala sesuatunya dengan sendiri, serta ingin menunjukkan kekuasaan dan kontrol, yang justru muncul dalam bentuk negativistik dan cenderung untuk berkata „tidak‟ yang ditujukan untuk melawan pihak otoritas, yang dikenal dengan istilah the terrible twos (Papalia, Olds & Feldman, 2009). Selain itu, Davies (1999) menyatakan bahwa toddler juga menunjukkan persistensi dalam melakukan berbagai aktivitas, sehingga anak akan terus melakukannya walaupun sudah dilarang oleh orang tuanya. Hal tersebut pun menyebabkan orang tua mengalami kesulitan dalam menerapkan batasan-batasan serta disiplin bagi anak. Rendahnya skor pada domain discipline and limit setting pada ibu bekerja kemungkinan disebabkan karena jumlah waktu yang dimiliki oleh ibu bekerja untuk keluarganya cukup terbatas. Jumlah waktu yang terbatas tersebut karena, partisipan ibu bekerja dalam penelitian ini memiliki jam kerja minimal 40 jam per minggunya atau minimal 8 jam per harinya. Selain itu, ibu bekerja juga kesulitan dalam menerapkan disiplin serta aturan-aturan yang pasti pada anaknya, karena anak diasuh oleh pihak lain ketika ibu sedang bekerja.
Saran
Peneliti memiliki beberapa saran metodologis untuk penelitian-penelitian selanjutnya. Pertama, menyebarkan kuesioner secara langsung pada partisipan, sehingga jika ada pertanyaan mengenai kuesioner dapat menanyakan secara langsung pada peneliti. Kedua, melakukan penelitian mengenai hubungan parenting self-efficacy dan konflik peran pada ibu yang memiliki anak selain usia toddler, misalnya kanak-kanak madya, remaja, dll., karena tugas parenting pada tiap tahapan perkembangan anak yang juga berbeda-beda. Ketiga, melakukan penyaringan awal pada pengambilan data secara online, partisipan yang sesuai kriteria saja yang dibolehkan mengisi kuesioner, seperti hanya ibu bekerja yang memiliki anak yang berusia 12-36 bulan yang mengisi, jika anaknya berusia kurang atau lebih dari usia tersebut, maka tidak dapat mengisi kuesioner. Keempat, menambah data kontrol mengenai pekerjaan ibu, terutama dalam bidang pekerjaan yang mungkin dapat menyebabkan stres pada ibu, sehingga dapat diketahui dari bidang pekerjaan tersebut yang mungkin dapat meningkatkan konflik peran pada ibu bekerja. Terakhir, melihat motivasi ibu dalam bekerja,
dari faktor internal atau eksternal, sehingga mungkin dapat diketahui bahwa konflik peran yang terjadi pada ibu berasal dari faktor internal atau eksternal. Sedangkan saran praktis yang dapat diberikan adalah memberikan penyuluhan mengenai strategi dalam penerapan disiplin pada toddler yang ditujukan untuk ibu bekerja, mengingat domain parenting self-efficacy dengan skor terendah adalah discipline and limit setting. Jika terdapat pengasuh selain ibu, terutama ketika ibu sedang bekerja, pengasuh tersebut juga perlu diberikan penyuluhan mengenai strategi penerapan disiplin untuk toddler.
Daftar Referensi
Afiefah, F. (2013). Hubungan religiusitas Islam dengan parenting self-efficacy pada ibu dari toddler. (Skripsi tidak dipublikasikan). Depok: Universitas Indonesia.
Anderson, O. A. (2006). Linking work stress, parental self-efficacy, ineffecticve parenting, and youth problem behavior. Dissertation. University of Tennesse.
Annisa, R. (2014). Hubungan antara parenting self-efficacy dan work-family conflict pada ibu bekerja sebagai perawat. (Skripsi tidak dipublikasikan). Depok: Universitas Indonesia. Bird, G. W. & Melville, K. (1994). Families and intimate relationship. New York:
McGraw-Hill, Inc.
Brooks, J. B. (2010). The process of parenting (8th ed). New York: McGraw-Hill.
Coleman, P. K. (1998). Maternal self-efficacy beliefs as predictor of parenting competence and toddlers‟ emotional, social, and cognitive development. Dissertation. West Virginia: West Virginia University.
Coleman, P. K. & Karraker, K. H. (1997). Self-efficacy and parenting quality: Finding and future applications. Developmental Review, 18, 30-46.
Coleman, P. K., & Karraker, K. H. (2000). Parenting self-efficacy among mothers of school age children: Conceptualization, measurement, and correlates. Family Relations, 49 (1), 13-24.
Coleman, P. K. & Karraker, K. H. (2005). Parenting self efficacy, competence in parenting, and possible links to young children‟s social and academic outcomes. Dalam O.N. Saracho & B. Spodek (Eds.), Contemporary perspectives on families, communities, and
schools for young children. Diakses dari
http://books.google.co.id/books?id=lkv5J3BpbrMC&pg=PA88&dq=parenting+self+effica cy&hl=id&sa=X&ei=kOLOT72cIoHQrQfl24SVDA&ved=0CC8Q6AEwAA#v=onepage &q=parenting%20self%20efficacy&f=true
Davies, D. (1999). Child development: A practioner’s guide. New York: The Guilford Press. DeGenova, M. K. (2008). Intimate relationships, marriages and families 7th ed. New York:
McGraw-Hill.
Dillaway H. & Pare, E. (2008). Locating mothers: How cultural debates about stay-at-home versus working mothers define women and home. Journal of Family Issues, 29 (4), 437-464. DOI: 10.1177/0192513X07310309.
Edwards, C. P. & Liu, W-L. (2002). Dalam Bornstein, M. H (Ed). Handbook of parenting: vol. 1 Children and parenting. New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates, Inc.
Gleason, M., & Zeanah, C., H. (2006). Infant mental health. Dalam R. T.
Ammerman (Ed.), Comprehensive handbook of personality and psychopathology, volume 3: Child psychopatology. NJ: John Wiley & Sons, Inc.
Greenhaus, J. H. & Beutell, N. J. (1985). Sources of conflict between work and family roles. The Academy of Management Review, 10 (1), 76-88.
Hoffman, L. W. & Nye, F. I. (1984). Working mothers. SF: Jossey-Bass, Inc., Publishers. Karlina, L. A. (2013). Hubungan antara parenting self-efficacy dan family functioning pada
ibu dari toddler. (Skripsi tidak dipublikasikan). Depok: Universitas Indonesia.
Markle, M. E. (1998). Women‟s role conflict and perceived marital satisfaction. Thesis. Michigan State University.
Martin, C. A., & Colbert, K. K. (1997). Parenting: A life span perspective. USA: McGraw-Hill.
Papalia, D. E., Olds, S. W. & Feldman, R. D. (2009). Human development (11th ed). New York: McGraw-Hill.
Prameswari, D. P. (2013). Parenting self-efficacy pada ibu dari toddler yang kembar dan tidak kembar. (Skripsi tidak dipublikasikan). Depok: Universitas Indonesia.
Pusat Data dan Informasi Ketenagakerjaan. (2012). Diakses 16 November 2013 dari http://pusdatinaker.balitfo.depnakertrans.go.id/kunasional/pyb/PENDUDUK_YANG_BE KERJA_MENURUT_GOLONGAN_UMUR_DAN_JENIS_KELAMINsmry.php?sv_tah un=2012&sv_bulan=Agustus&Submit=Search
Savitri, S. (2011). Perbedaan parenting self-efficacy pada ibu bekerja dan ibu tidak bekerja yang memiliki anak usia kanak-kanak madya. (Skripsi tidak dipublikasikan). Depok: Universitas Indonesia.
Suzuki, S., Holloway, S. D., Yamamoto, Y. & Mindnich, J. D. (2009). Parenting self-efficacy and social support in Japan and the United States. Journal of Family Issues, 30(11). 1505-1526.
Tedjasaputra, M. S. (2003). Bermain, mainan, dan permainan: Untuk pendidikan usia dini. Jakarta: Grasindo.
Utami, D. W. (2014). Parenting self-efficacy pada ibu dengan anak toddler dalam keluarga batih dan keluarga besar. (Skripsi tidak dipublikasikan). Depok: Universitas Indonesia.