• Tidak ada hasil yang ditemukan

Cakupan Serat Centhini Adalah Sangat Luas Berkaitan Budaya Jawa Abad Ke16

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Cakupan Serat Centhini Adalah Sangat Luas Berkaitan Budaya Jawa Abad Ke16"

Copied!
31
0
0

Teks penuh

(1)

Cakupan Serat Centhini adalah sangat luas berkaitan budaya Jawa abad ke16-17 ketika kejadian cerita ini berlangsung. Sebagian cerita, istiadat, kepercayaan mungkin sudah tidak ada lagi pada masa ini, tapi sebagian besar masih hidup dikalangan masyarakat Jawa terutama di pedesaan. Tempat-tempat yang dilalui oleh Jayengresmi, Jayengrana dan Niken Rangcangkapti bisa dijadikan referensi arkeologi karena sebagian besar adalah candi-candi dan peninggalan kerajaan Jawa dimasa lalu. Mungkin candi-candi itu masih ada, mungkin sudah tidak ada, yang pasti gunung-gunung dan desa-desa yang dilewati sebagian besar masih ada sampai saat ini dengan nama yang masih sama.

Contohnya ketika Jayengresmi melihat tulang-tulang besar di gunung Phandan ada kemungkinan tulang-tulang besar ini adalah tulang-tulang binatang purba jaman pra-sejarah. Ketika melewati Dandhangngilo (mungkin sekitar Cepu) ada sumber minyak tanah, kemungkinan tempat ini mengandung sumber minyak mentah.

Sedangkan cerita rakyat yang ada di jilid-1 kemungkinan masih hidup sampai saat ini: Cerita ular Jaka Nginglung asal muasal air asin Kuwu,

Cerita Ki Ageng Sela menangkap petir dan papalinya, Cerita Sri – Sadana asal mula ada padi,

Cerita tokoh-tokoh pewayangan yang ada di wayang purwa.

Adat istiadat berkaitan dengan penanggalan Jawa, hari-hari baik/buruk, perhitungan selamatan orang meninggal dll. pada umumnya saat ini sudah dikompilasi menjadi buku Primbon. Banyak kalangan masyarakat Jawa walaupun sudah beragama Kristen atau Islam masih

menggunakanya. Bahkan saat ini ada yang menawarkan jasa perhitungan berdasarkan primbon Jawa untuk hal-hal tertentu melalui sms operator tilpun seluler.

Sedangkan adat istiadat yang bersifat khusus seperti pembuatan keris, tombak, ukuran berbagai bagian rumah, dan candrasangkala hanya di pelajari oleh para ahli yang berkecimpung dalam bidang tersebut.

Saat ini masih ada empu pembuat keris, tombak, jenis senjata tajam lainnya. Ahli bangunan pembuatan rumah Joglo.

Keduanya sudah ada tehnik dan hitungannya sejak ratusan tahun yang lalu.

Candrasangkala adalah sifat-sifat angka 1 s/d 9. Setiap angka bisa dterjemahkan menjadi kata yang tepat sesuai nilai angka tersebut. Biasanya dibuat untuk merangkai kalimat pendek sesuai kejadian tahun tersebut yang perlu diingat oleh pembuat.

Contohnya “Paksa suci sabda ji” adalah tahun 1742 tahun Jawa atau tahun 1814 Masehi yaitu saat Serat Centini ditulis.

▸ Baca selengkapnya: teladan spiritual yang ditekankan oleh para walisanga terutama terkait dengan

(2)

secara mendesak (paksa – nilainya 2) dengan maksut baik (suci – nilainya 4).

Untuk bisa membuat Candrasangkala harus menguasai sifat kata-kata sesuai nilainya dari 1 s/d 9, cukup rumit. Saat ini mungkin hanya kalangan kraton yang masih menguasai ilmu ini.

Sedangkan pengetahuan sprituil, banyak kajian-kajian atau buku-buku yang diterbitkan berkaitan dengan ilmu-ilmu spirituil yang dibicarakan dalam setiap jilid Serat Centini, dikarenakan

masyarakat Jawa senang dengan pembahasan tentang “sangkan paraning dumadi” atau “asal-usul kehidupan” dalam bentuk pembicaran tasauf.

Banyak juga Serat berupa tembang yang memberi nasehat agar kita menjalani kehidupan yang berbudi luhur. Yang disebut dalam jilid-1 adalah:

1. Serat Nitisruti adalah karangan Pangeran Karanggayam dari Pajang, yang selesai ditulis pada tahun 1612. Berisi nasehat agar berbudi luhur dan mengambarkan tingkahlaku yang tergolong nista-madya-utama.

2. Waringin Sunsang adalah cerita simbol asal usul kehidupan dan jalan kematian. Pada saat roh yang berasal dari Allah SWT. turun memberi hidup pada manusia adalah mudah, tapi waktu mau kembali lagi sulit seperti beringin yang terbalik - waringin sungsang. Beban perbuatan selama hidup akibat nafsu-nafsu yang mempengaruhi manusia, menjadi hambatan untuk roh kembali ke akar kehidupan yang mengarah keatas. Kecuali dengan usaha yang tidak kenal lelah fokus pada keseimbangan menuju ke akar kehidupan yaitu pengabdian kepada Allah SWT.

3. Empat cara bertapa atau empat cara tirakat (tarekat/laku/tingkah laku):

- Anarima, menerima kasih sayang Allah SWT, menerima apapun yang terjadi sesuai dengan takdir Ilahi.

- Geniira, menghindari diri dari rasa amarah.

- Banyuira, pandai menyesuaikan diri seperti aliran air.

- Ngluwat, memendam semua hal yang membanggakan diri agar tidak menganggap diriya paling benar. Bersikap andap asor.

4. Langit Sapta (Langit Tujuh) adalah tingkatan roh menuju kesempurnaan: roh jasmani, roh nabati, roh napsani, roh rohani, roh nurani, roh rabani, roh kapi.

5. Sifat rong puluh atau sifat dua puluh adalah usaha penghayatan akan Dzat, Sifat, Asma dan Afngal Allah SWT (kemungkinan besar ini adalah sinkretisasi atau adaptasi dari Asma Al-Husna):

a. Napsiyah (Dzat): Wujud (Pasti Adanya)

b. Salbiyah (Sifat): Kidam (Maha Awal), Baka (Maha Abadi), Mukalapah lil kawadis (Maha Luhur), Wal kiyamu binaphisi (Mengadakan Diri Sendiri), Wahdaniyat (Maha Esa).

(3)

c. Manganiyah (Asma): Kodrat (Maha Kuasa), Iradat (Maha Pencipta), Ngelmu (Maha Pandai), Kayat (Maha Hidup), Samak (Maha Tahu), Basar (Maha Waspada), Kalam (Maha Wicara), d. Maknawiyah (Afngal): Kadiran (Yang Maha Menguasai), Muridan (Yang Maha Mencipta), Ngalimun (Yang Maha Menguasai Ilmu), Kayat (Yang Maha Menghidupi), Samingun (Yang Maha Mengetahui), Basiran (Yang Maha Melihat), Muakalimun (Yang Maha Pembicara). Kesimpulannya pada abad 16 – 17 di pedalaman Jawa banyak para bijak hidup menyepi yang menguasai berbagai disiplin ilmu sebagai kekayaan beragam budaya baik budaya asli yang berumur sangat tua maupun budaya akibat penyebaran agama Hindu, Budha, dan Islam. Satu sama lain hidup berdampingan tanpa saling mengganggu.

Barangkali saat ini juga masih begitu kalau kita berbicara masyarakat di pedesaan yang masih lekat dengan budaya masa lalu dan tidak terlalu bersinggungan dengan pengaruh budaya Barat. Pada jilid-2 ini, kisah awal perjalanan Mas Cebolang berpusat pada pertemuannya dengan berbagai tokoh dengan berbagai keahlian disekitar istana kerajaan Mataram. Kerajaan pada masa itu adalah poros kekuasaan dan istana adalah tempat berkumpulnya banyak ahli diberbagai bidang pengetahuan yang ada pada saat itu, baik pengetahuan tentang adat istiadat maupun pengetahuan tentang agama.

Mataram pada jaman Sultan Agung adalah kesultanan Islam yang terbesar yang berhasil dibentuk dan mampu menguasai seluruh pulau Jawa. Kesultanan Mataram setelah Sultan Agung

mengalami kemunduran sejalan dengan masalah suksesi serta meningkatnya pengaruh Belanda yang jengkal demi jengkal melebarkan pengaruh kolonialnya keseluruh Nusantara.

Perkembangan Islam pada saat itu ter-refleksi dengan cerita dan legenda yang diceritakan dalam jilid-2 ini, disamping cerita wayang yang merupakan cerita asli Jawa dengan pengaruh Hindu, juga diceritakan berbagai cerita yang berasal dari Timur Tengah yaitu:

Permaisuri Raja Bagdad dan perdana mentrinya;

Raja Istambul yang hafal Al-Qur’an; Cerita tentang asal muasal bahasa dan huruf tatkala membangun menara Bibel;

Ni Kasanah yang berbakti sama suaminya Suhul; Siti Aklimah yang dituduh serong pada jaman Rasul;

Nabi Sulaiman mencoba kesetiaan cinta kasih antara Dara Murtasyah dengan Sayid Ngarip. Cerita-cerita dari Timur Tengah tersebut tidak lagi terdengar dikalangan masyarakat Jawa saat ini, malahan cerita wayang yang masih hidup dikalangan masyarakat Jawa sampai dengan saat ini.

Ini merupakan bukti ada resistensi intervensi budaya Arab di masyarakat Jawa walaupun menerima Islam sebagai agama.

(4)

Sunan Kalijaga adalah salah satu Wali Sanga penyebar agama Islam, sedangkan Yudistira adalah raja Amarta dari kisah Mahabarata

(Note: belum ada bukti yang konkrit bahwa Mahabarata adalah kisah berdasarkan fakta sejarah, pendapat yang berkembang merupakan cerita fiksi).

Diceritakan waktu para wali mau mendirikan mesjid Demak, membabat hutan diwilayah Glagahwangi.

Hutan selalu diselimuti pedut (asap). Hutan yang ditebang hari ini besoknya sudah kembali lagi menjadi hutan.

Jadi pembabatan hutan tidak pernah berhasil.

Sunan Giri menyuruh Sunan Kalijaga untuk menyelidiki masuk kedalam hutan. Ternyata didalam hutan ada seorang tinggi besar yang sedang bertapa.

Terjadi dialog antara Sunan Kalijaga dengan pertapa tersebut (disebutkan dialog terjadi dalam bahasa Budha – mungkin maksudnya Sangsekerta) diketahui pertapa tersebut adalah Yudistira raja kerajaan Amarta, disuruh bertapa oleh dewa karena tidak bisa mati-mati disebabkan memagang jimat bernama Kalimasada atau Pustaka-Jamus.

Kemudian Sunan Kalijaga meminta untuk melihat jamus tersebut mungkin bisa membantu. Ternyata jamus tersebut selembar kulit yang ada tulisan-nya yang isinya adalah Kalimah Syahadat – adalah kata-kata yang diucapkan kalau seseorang masuk agama Islam.

Setelah jamus tersebut bisa dijabarkan oleh Sunan Kalijaga, Puntadewa ikut membacanya dan bisa menemui ajalnya setelah masuk Islam. Sebelumnya meninggal sempat memberikan gambar-gambar pada lembaran kulit kerbau yang isinya adalah gambar-gambar keluarga dekat Yudistria tokoh-tokoh yang ada dalam kitab Mahabarata.

Gambar-gambar tersebut yang dijadikan dasar Sunan Kalijaga membuat wayang kulit tokoh-tokoh Mahabarata.

Setelah Yudistira wafat, hutan berhasil dibabat dan Puntodewo dimakamkan disitu (makam Glagaharum) yang sampai sekarang masih ada dilingkungan mesjid Agung Demak.

Apakah cerita ini benar? Atau hanya akal-akalan dari Sunan Kalijaga untuk meng-Islamkan masyarakat Jawa yang pada saat itu masih beragama Hindu?

Masuk Islam tapi masih diperbolehkan melestarikan wayang kulit yang digemari masyarakat Jawa padahal ceritanya berasal dari agama Hindu. Wallahualam!

Sedangkan adat istiadat yang yang dibicarakan dalam jilid-2 banyak sekali berkaitan dengan pengantin, pernikahan dan hubungan suami-istri. Juga dibicarakan tentang keris, kuda, batik, gending, gamelan, tari-tarian, wayangpurwo, ruwatan. Kesemuanya masih lestari sampai saat ini.

(5)

hal-ihlwal keris sangat detail (Penyusun: Bambang Harsrinuksmo, Penerbit: Gramedia Pustaka Utama, tahun 2004).

Begitu juga ada Ensiklopedia Wayang Purwo berisi hal-ihwal tokoh-tokoh yang ada di pewayangan (Terbitan Balai Pustaka tahun 1991).

Budaya ruwatan (Murwakala) juga masih hidup sampai saat ini terutama di pedesaan apabila punya anak:

ontang-anting (anak tunggal: laki-laki atau perempuan), uger-uger lawang (dua anak laki-laki),

kembang sepasang (dua anak perembuan),

dhana-gedhini (satu anak laki-laki dan satu anak perempuan, yang tua anak laki-laki), gedhini-gedhana (satu anak laki-laki dan satu anak perempuan, yang tua anak perempuan), pandhawa (lima anak laki-laki semua),

ngayoni (lima anak perempuan semua),

madangake (anak lima: empat laki-laki, satu perempuan), apil-apil (anak lima: empat perempuan, satu laki-laki).

Pengetahuan Spirituil pada jilid-2 di-dominasi pengetahuan tentang agama Islam. Beberapa yang dibicarakan pada jilid-2:

1. Penjelasan tentang turunnya kadar. Berisi perkiraan kemungkinan hari-hari Lailatul-kadar akan turun. Lailatul-Lailatul-kadar adalah salah satu hari seminggu terakhir puasa Ramadhan, terjadi suatu pengalaman spiritual turunnya rahmat Allah SWT bagi yang bisa mengalaminya. 2. Kisah Nabi Kidhir dan Nabi Musa. Hanya dijelaskan sekilas bukan seperti yang ada di Al-Qur’an Surat Al-Kahfi ayat 66 s/d 82.

3. Pahala orang yang hafal Al-Qur’an apalagi kalau mengerti artinya. Dalam bentuk contoh cerita Raja Istambul.

4. Penjelasan tentang puasa sunah: Puasa sunah adalah puasa yang dianjurkan yang bukan puasa wajib bulan Ramadhan.

Yang masih dianjurkan sampai saat ini: Senin dan Kamis,

Puasa Sawal: tujuh hari setelah Hari Raya Idul Fitri, Puasa Besar: dua hari sebelum hari Raya Idul Adha.

Serat Centhini Jilid-3 berisi 82 pupuh dari pupuh 175 s/d 256, masih meneruskan perjalanan Mas Cebolang yang diikuti empat santri: Palakarti, Kartipala, Saloka, Nurwiti. Mas Cebolang adalah anak Seh Akadiyat dari Sokayasa, Banyumas. Seh Akadiyat pada akhir Jilid-1 diceritakan mengangkat anak Jayengrana dan Niken Rangcangkapti.

(6)

Rute perjalanan:

masih di ibukota Mataram ketemu:

Ki Cendhanilaras berbicara soal pasugihan (ilmu hitam menjadi kaya), Tumenggung Sujanapura diberi wejangan Sastra Jendra Hayuningrat,

Ki Ajar Sutikna berbicara hari baik untuk beberapa keperluan, bersama-sama Ki Ajar Kepurun meninggalkan ibukota Mataram bermalam di desa Kepurun berbicara tentang hal-ihwal wanita, ketemu Lurah Harsana lihat candi Prambanan, Candi Sewu, Candi Roro Jonggrang dan bercerita legenda berkenaan dengan candi tersebut, sampai di desa Kajoran ketemu Ki Ngabdulmartaka bercerita tentang Serat Suluk Hartati, diajak oleh Ki Ngabdulmartaka ketemu Panembahan Rama bercerita tentang ilmu kasunyatan tentang asal usul kehidupan, liwat hutan nginep di

planggrongan (rumah diatas pohon kayu) kepunyaan Ki Wreksadikara berbicara soal kayu dan rumah, desa Tembayat ketemu Modin Ki Sahabodin bercerita tentang Sunan Gede Pandhanaran dan Seh Domba, Panaraga ketemu Ki Wanakara berbicara tentang jamu untuk berbagai penyakit dan ura-ura (lagu) sifat-sifat manusia yang kurang baik,

Pajang ketemu Ki Mastuti bercerita silsilah raja Pajang s/d Sultan Agung di Mataram, diantar oleh Ki Mastuti ke makam Laweyan, di mesjid Laweyan ketemu Ki Ngabdul Antyanta dan Ki Sali bercerita tentang ramalan Jayabaya..

Sedangkan cerita/legenda, adat istiadat, ilmu spiritual yang dibicarakan dalam pertemuan dengan orang-orang tersebut diatas adalah:

Cerita/Legenda:

Ki Harda yang cari pesugihan (ilmu hitam cari kekayaan) di hutan Roban; Serat Lokapala serita asal usul Rahwana (Ramayana);

Cerita penyebaran agama Islam di Jawa dari masa Sunan Ngampel s/d Sultan Agung; Cerita Prabu Dewanata di Pengging; Cerita Prabu Dipanata di Salembi melawan Prabu Karungkala di Prambanan,

Cerita Bandung Bandawasa asal mula Candi Sewu dan Candi Roro Jonggrang; Cerita Ke Gedhe Pandanaran dan Seh Domba;

Silsilah Sultan Pajang s/d Sultan Agung di Mataram; Cerita tentang Ramalan Jayabaya.

Adat Istiadat:

Sifat-sifat dalam penangalan Jawa dan perhitungan baik buruknya perjodohan; hal-ilhal bermain kartu;

pemilihan jodoh berdasarkan bibit, bebet, bobot;

tanda-tanda baik buruknya sifat wanita, hal-ihwal olah asmara;

delapan hal yang perlu diperhatikan dalam menjalankan pekerjaan; sebelas macam kayu dan masing-masing manfaatnya;

(7)

berbagai jenis rumah Joglo 7 macam, Limasan 10 macam, Kampung 9 macam, Mesjid 3 macam; empat puluh empat macam gendhing terbangan;

penjelasan makna selamatan orang meninggal dari 3 hari s/d 1000 hari; sifat-sifat wanita dilihat dari hari lahir pada penanggalan Jawa;

jamu untuk macam-macam penyakit;

ura-ura (lagu) tentang sifat-sifat manusia yang kurang baik; Pengetahuan Spirituil/Agama:

Perihal unsur kehidupan api, bumi, udara, air; Sastra Jendra Hadiningrat;

Serat Suluk Hartati;

Berbagai ilmu Kasunyatan tentang asal usul kehidupan; Pancadriya dan Pancamaya;

Penjelasan tentang fasik, munafik, najis,makruh, kekah.

Serat Centhini Jilid-4 berisi lanjutan perjalanan Mas Cebolang. Dalam jilid ini juga berisi suatu sisi lain dari budaya masyarakat pedesaan / masyarakat traditional yang sangat longgar dari segi hubungan seksual diluar pernikahan maupun toleransi masyarakat terhadap penyimpangan seksual pada suatu kelompok masyarakat tertentu.

Toleransi ini masih berlajut sampai saat ini di daerah-daerah tertentu di Jawa. Secara umum masyarakat Indonesia saat ini juga sangat bertoleransi pada perilaku seks diluar pernikahan maupun penyimpangan seks lainnya walaupun telah ada usaha-usaha dari kelompok agamis yang berusaha memasukkan kaidah-kaidah agama agar perilaku seks hanya dilakukan dalam bentuk pernikahan secara formal.

Justru letak kekuatan dari karya besar seperti Serat Centhini ini adalah merekam berbagai budaya, adat-istiadat maupun pengetahuan sprirituil yang hidup dalam masyarakat, tanpa

melakukan suatu penilaian dari segi etika dilihat dari sudut pandang tertentu ataupun melakukan penyaringan hanya pada hal-hal yang sekiranya baik sesuai dengan pandangan nilai etika

tertentu.

Serat Centhini merekam semua hal yang memang hidup dan nyata pada masyarakat Jawa abad ke 16-17 tanpa dikurangi sedikitpun sebagai suatu warisan budaya yang sangat beragam dan sangat kaya akan nilai-nilai dari sisi yang manusiawi dalam kehidupan.

Justru kebanyakan dari kita yang mencoba menilai suatu karya dengan perbandingan nilai-nilai yang sudah tertanam dalam “frame of reference” diri kita sendiri yang tidak selamanya benar secara hakiki.

(8)

1. Lanjutan ramalan Jayabaya tentang akan datangnya jaman Kalabendu yang ilustrasinya diambil dari cuplikan Serat Kalathida karya R. Ng. Ranggwarsita yaitu suatu peringatan akan mengalami jaman edan, kalau tidak ikut edan tidak kebagian dan tidak tahan, bisa berakibat kelaparan, tapi sebetulnya masih untung yang tetap ingat dan waspada (tidak ikut-ikutan edan). 2. Cerita Jokobodho murid Sunan Tembayat,

cerita Jaka Tingkir raja Pajang,

cerita Ki Buyut Banyubiru murid Sunan Kalijaga,

Serat Rama - sifat tokoh-tokoh pewayangan dari Ramayana, cerita tiga batu yang berkhasiat,

cerita sifat tokoh-tokoh pewayangan dari Mahabarata. Cerita yang bernuansa Islam:

cerita tanda-tanda kiamat yang dambil dari Hadist penuturan Aisyah r.a. salah satu istri Nabi Muhammad s.a.w.,

cerita Seh Markaban dari Mesir, cerita Sultan Abdulkarim Kubra,

cerita Prabu Nursirwan yang sangat adil,

cerita orang Arab bernama Katim Tayi yang sangat pemurah. Cerita tentang adat-istiadat adalah:

Serat Waduaji yang berisi nama-nama punggawa (pegawai) dan prajurit kerajaan beserta kewajiban masing-masing;

sedangkan yang lainnya sangat dominan menceritakan petualangan seks bebas Mas Cebolang pada saat menyamar sebagai pesinden wanita maupun pada saat jadi sinden kentrung serta cerita ketika berada dilingkungan para warok dan gemblakannya.

Note: Sampai saat ini masih ada kebiasaan di Jawa Timur para laki-laki yang berpakaian wanita bekerja sebagai sinden (penyanyi lagu traditional) ataupun pada kesenian ludruk.

Pengetahuan Spirituil/Agama:

1. Antara Tasauf dan Fikih. Sampai saat ini difinisi Tasauf dan Fikih masing diperbincangkan dikalangan ulama-ulama Islam dan tidak ada difinisi final perihal hal ini.

Di Serat Centhini jilid-4 ini ada diskusi antara Mas Cebolang dengan Endrasmara yang mencoba mendifinisikan istilah Tasauf dan Fikih, sebagai berikut:

a. Pengertian Tasauf (dalam tembang Balabak) :

i. Cebolang ngling nitik saking ing surasa, estune, manungseku tartamtu ing Pangeran, kodrate, piyambak-piyambak lalampahe neng donya, mulyane.

(9)

pamikir kajawi mung lumaksana, anane.

Artinya hidup hanya sekedar melaksanakan secara ikhlas apa adanya seperti yang sudah dikodratkan oleh Allah SWT.

b. Pengertian Fikih (dalam tembang Balabak):

i. Kang kasebut ing kitab Palakil-kobra, malihe, kang kaenas ing kitab Pekih punika, manggene, kangge Jawi mufakat lampahing gesang, limrahe.

ii. Dadosipun, menggah agesang punika, ecane, punapa kang kalimrah kanggo manungsa, tatane, inggih linampahan sacara-caranya, wajibe.

Artinya dalam menjalani kehidupan dengan cara yang umum berlaku sesuai dengan tatacara dan kewajiban yang sudah digariskan (note: oleh agama).

2. Khasiat dari Asma’ulhusna.

Dzikir dengan mengucapkan nama-nama Allah SWT yang 99 diuraikan sesuai dengan manfaatnya. Untuk bisa terlaksana diperlukan suatu keimanan yang sangat kuat. 3. Berkaitan dengan agama Budha:

a. Tingkatan Siswa di Agama Budha: Upasaka, Sangha, dan Samana, masing-masing tingkat berbeda yang didalami.

b. Karma: sebab akibat karena perbuatan manusia yang mengakibatkan manusia tidak bisa melepaskan diri dari kehidupan, tujuan agama Budha adalah mengilangkan karma kehidupan untuk mencapai kesempurnaan menuju nirwana (tidak dilahirkan kembali akibat karma kehidupan).

c. Ilmu dan Laku (dalam tembang Pangkur):

i. Matur malih Mas Cebolang, ing Kabudan paran kang sami ngelmi, kulup tegese pangawruh, iku upama iwak, dene laku iku umpamane bumbu, yen ta munggah umpamanya, kudu gene prong prakawis.

Ilmu dan Laku adalah pasangan bagaikan ikan dan bumbunya keduanya harus dipelajari lalu dilaksanakan.

4. Cerita Dewa Ruci: Adalah cerita pewayangan ketika Werkudara (penengah Pandawa) disuruh gurunya Pendita Durna mencari “air kehidupan” yang berada di tengah lautan.

Setelah melalui berbagai rintangan akhirnya ketemu dengan seseorang yang mirip dirinya tapi jauh lebih kecil yang bernama Dewa Ruci.

Dewa Ruci menyuruh Werkudara masuk dalam tubuhnya melalui telinga, tentunya Wrekudara tidak percaya bisa masuk dalam tubuh Dewa Ruci melalui telinga sedangkan badan Dewa Ruci saja jauh lebih kecil darinya (perlambang bahwa pada pengalaman dunia sprirituil terjadi suatu relatifitas ruang dan waktu).

(10)

Ketika didalam tubuh Dewa Ruci ini Werkudara mengalami berbagai pengalaman spiritual yang berupa simbolik warna yang diuraikan oleh Dewa Ruci jalan menuju kesempurnaan hidup yang di Jawa umum disebut manunggaling kawula gusti.

Pada Serat Centhini Jilid-5 ini ada pengantar pembukaan dari R. Ng. Ranggawarsita pujangga Jawa abad ke-18.

Atas perintah Raja Surakarta Pakubuwana VII disalin petikan Serat Centhini jilid 5 s/d 9 disebut Serat Centhini Pisungsung untuk dihadiahkan kepada raja Belanda yang sampai saat ini masih tersimpan di Perpustakaan Universitas Leiden di Negeri Belanda.

Pengantar pembukaan berisi ringkasan singkat Serat Centhini Jilid 1 s/d 4. Kenapa hanya disalin jilid 5 s/d 9, tidak ada yang tahu alasannya, sedangkan aslinya berjumlah 12 jilid.

Pada awalnya, cerita masih berkisar petualangan seks Mas Cebolang di kediaman Bupati Wirasaba pada saat menjadi sinden kentrung (ronggeng).

Bupati Wirasaba tertarik dengan santri Nurwitri yang diminta untuk berpakaian wanita. Mas Cebolang juga berpakaian wanita. Mengambil kesempatan menginap di kadipaten, melakukan petualangan seks dengan selir Bupati Wirasaba yang bernama Jae Manis, akhirnya ketahuan dan melarikan diri waktu mau ditangkap.

Petualangan seks sinden ronggeng ini sekali lagi diceritakan pada akhir buku yaitu pada saat perayaan pernikahan antara Jayengresmi dan Niken Tambangraras.

Ini adalah salah satu hal yang kontradiktif dalam Serat Centhini.

Disatu sisi Mas Cebolang serta empat santri melakukan perjalanan yang di Jawa dikenal sebagai “lelanabrata” atau perjalanan dalam rangka memperdalam ilmu sprituil.

Disisi lain juga melakukan hal yang dilarang agama yaitu melakukan petualangan seks bebas. Kemungkinan besar ada dua hal yang jadi penyebab hal ini diceritakan dalam Serat Centhini, yaitu:

1. Selalu ada dua sisi dalam kehidupan manusia pada umumnya yaitu sisi terang dan sisi gelap. Sisi terang adalah pengaruh sisi baik dari pencarian akan nilai-nilai luhur spirituil dalam kehidupan.

Sisi gelap adalah suatau kenyataan adanya pengaruh nafsu-nafsu dalam diri manusia yang tidak mudah dikendalikan.

Peperangan dalam memilih jalan hidup adalah peperangan sepanjang waktu kehidupan manusia. Setiap orang punya pilihan jalan hidup berbeda tergantung mana yang lebih dominan dari dua sisi kehidupan tersebut.

2. Didunia pewayangan ada tokoh idola yang bernama Arjuna yang disebut “lelananging jagad” atau lelaki dunia.

(11)

atau hal-hal yang bersifat spiritual juga bisa menaklukkan hati banyak wanita.

Pada saat ini, walau tidak banyak tapi ada orang-orang di masyarakat Jawa/Indonesia yang melakukan hal ini.

Bisa dalam bentuk punya banyak wanita simpanan tanpa nikah (atau nikah siri) maupun dalam bentuk punya istri lebih dari satu.

Dalam jilid-5 ini sebagian besar pengetahuan spiritual berkenaan dengan agama Islam. Hal ini disebabkan karena kisah perjalanan anak-anak Sunan Giri pada jilid ini berhubungan dengan ulama besar pada jaman itu yang masing-masing mewakili ulama di Jawa:

1. Jawa Barat yaitu Ki Ageng Karang di gunung Karang, Pandeglang, Banten sebagai guru sekaligus ayah angkat Jayengresmi.

2. Jawa Tengah yaitu Seh Ahkadiyat di Sokayasa, Banyumas sebagai ayah dari Mas Cebolang serta guru sekaligus ayah angkat Jayengrana dan Rangcangkapti.

3. Jawa Timur yaitu Ki Bayi Panurta di Wanamarta, Mojokerto sebagai guru serta ayah mertua Jayengresmi.

Adat Istiadat yang diceritakan hanya perihal keutamaan wanita dalam pernikahan yaitu nasehat dari Ki Bayi Panurta kepada anaknya Niken Tambangraras, yaitu ada enam sikap wanita terhadap suami:

Dhingin wedi kapindone asih, kaping telu sumurup ing karsa, kaping pat angaminake, ping lima bangun turut, kaping nem labuh ing laki.

Artinya terhadap suami istri harus takut, menyayangi, tahu gelagat, mengiyakan, menuruti nasehat, membela.

Note: kemungkinan besar hal ini sudah tidak berlaku lagi sebagai sikap istri jaman sekarang terhadap suaminya, karena itu banyak perceraian.

Pengetahuan Spirituil/Agama:

1. Mukmin linuhung (dalam tembang Gambuh):

a. Mukmin ingkang linuhung, ingkang tan pegat sembayangipun, dene padhangeing tyas kang arsa matitis, kang bisa matekken iku, ing badan agung winasoh.

Artinya mukmin linuhung adalah yang tidak pernah meninggalkan solat, kehendak hatinya terang dan tepat serta bisa mematikan nafsu duniawi.

2. Tempatnya Hyang Agung ada di Gedung Retna Adiluhung suatu perlambang, gedung adiluhung adalah tempat untuk menyimpan, sedangkan kehendak dari Hyang Maha Suci

(12)

bunganya dunia yaitu seseorang yang mendapat anugerah dikasihi oleh Allah SWT. 3. Tingkatan pendalaman agama dalam tasauf melalui empat jenjang:

a. Syariat: menjalankan syarat-syarat yang diwajibkan agama.

b. Tarekat: tirakat atau laku untuk mengendalikan hawa nafsu sehingga selalu bertingkah laku baik atau berbudi luhur.

c. Hakekat: mencari akar atau asal-usul kejadian sehingga mengerti hakekat suatu keadaan atau kejadian melalui pemikiran dan pemahaman yang mendalam dalam rangka menebalkan

keimanan terhadap kekuasaan Allah SWT.

d. Makrifat: menyelami keagungan dan keajaiban Allah SWT yang di Jawa sering disebut suatu pengalaman sprirituil manunggaling kawula gusti..

4. Curiga manjing rangka, rangka manjing curiga artinya keris masuk kerangkanya, rangka masuk kekerisnya. Ini adalah perlambang sukma (roh) masuk kedalam badan dan badan masuk kedalam sukma (roh) adalah suatu keadaan antara roh dan badan tidak ada perbedaannya. Dengan melalui cara tertentu keadaan ini bisa terjadi.

Pada keadaan yang umum roh itu hanya sekedar memberi hidup pada badan, tapi badan tidak bisa mengontrol keadaan roh.

Umpamanya pada saat tidur roh bisa keluar dari tubuh kita, entah pergi kemana dan kembali lagi, tanpa bisa kita kontrol dengan sadar.

Karena harus ada usaha untuk menyatukan roh dan badan menjadi satu kesatuan yang utuh, menjadi satu kesadaran.

Kalau menurut di buku ini caranya dengan menekuni solat secara khusuk.

Ada beberapa catatan yang bisa kita ambil dari membaca Serat Centhini Jilid-6 yang satu jilid penuh hanya menceritakan pernikahan antara Jayengresmi yang sudah berganti nama Seh Amongraga dengan Niken Tambangraras anak dari Ki Bayi Panurta dari Wanamarta, Mojokerta. Cerita dalam jilid-6 ini menyiratkan adanya pergeseran nilai-nilai dalam penyebaran agama Islam di Jawa dibandingkan dengan pada saat awal kedatangannya abad ke-14 yang dimotori oleh wali sanga.

Pergeseran ini yang direkam sangat baik oleh Serat Centhini dengan dijatuhkannya Sunan Giri oleh Sultan Agung yang mengakibatkan ada dualisme perkembangan budaya di Jawa yaitu perkembangan budaya yang dimotori oleh pesantren-pesantren dan budaya yang dimotori oleh kerajaan dengan wilayah pengaruh masing-masing.

Disamping itu ada juga wilayah-wilayah yang tetap mempertahankan budaya lokal tanpa bisa dipengaruhi baik oleh budaya pesantren maupun oleh budaya kerajaan.

(13)

dimotori oleh kerajaan dan otoritas agama yang dimotori oleh pesantren-pesantren yang dalam beberapa dekade sejak saat itu berjalan sendiri-sendiri tidak ada ikatan satu dengan yang lain. Walaupun tidak setajam masa-masa yang lalu ketegangan ini kadang-kadang masih bisa dirasakan dan secara sporadis muncul kepermukaan sampai dengan saat ini.

Pergeseran-pergeseran yang terlihat adalah:

1. Pada masa kesultanan Demak dan Pajang hubungan antara kerajaan dan ulama Islam boleh dikatakan menyatu karena setiap ada hal-hal penting untuk diputuskan, raja-raja di Demak dan Pajang selalu konsultasi dengan Sunan Giri yang juga dianggap guru oleh mereka. Bahkan raja di Demak dan Pajang baru dikatakan resmi kalau sudah mendapat restu dari Sunan Giri.

2. Pada awal kesultanan Mataram, raja-rajanya juga sangat taat terhadap nasehat dari Sunan Kalijaga.

3. Sultan Agung dari Mataram yang punya ide yang berlainan dari pendahulunya yang tidak mau ada dua raja di tanah Jawa. Satu adalah dirinya dan satunya lagi Sunan Giri Parapen di Giri. Ini adalah awal kerajaan tidak mau tunduk pada otoritas agama bahkan raja memproklamirkan dirinya disamping sebagai panglima tertinggi angkatan perangnya (Adipati Ing Ngalaga) sekaligus peñata agama (Khafitulah Panatagama) adalah suatu pernyataan bahwa ulama harus tunduk kepada aturan kerajaan. Ini adalah formalnya, realitasnya pesantren-pesantren menjaga independensi mereka dalam membangun budaya pesantren yang tidak secara frontal melawan kerajaan tapi dilain sisi tidak terlalu patuh dengan kerajaan.

4. Karena itu, ada adat-istiadat pernikahan model pesantren berbeda dengan adat-istiadat pernikahan model kerajaan walaupun ada juga sedikit kesamaannya. Yang jelas pakaian yang dikenakan baik pengantin laki-laki, pengantin wanita, orang tua pengantin maupun pengiringnya sangat berbeda dengan pakaian pengantin dari adat-istiadat kerajaan. Begitu juga akad nikah yang tidak perlu dihadiri pengantin wanita hanya ada didaerah yang pengaruh pesantren sangat kuat.

Adat istiadat pengantin model kerajaan dijelaskan pada Serat Centini Jilid-2.

5. Saji-sajian mulai dihilangkan pada adat-istadat pernikahan model pesantren sedangkan pada model kerajaan sampai dengan saat ini masih ada walaupun tidak sebanyak pada masa-masa yang lalu. Ini ditandai dengan permintaan Seh Amongraga agar ibu pengantin wanita Ni Mintrasih membuang semua saji-sajian.

6. Pesantren-pesantren pada umumnya terpengaruh dengan budaya Arab, walaupun tidak

seluruhnya, sedangkan kerajaan mempertahankan tradisi budaya Jawa yang telah berumur ribuan tahun yang diturunkan dari budaya kerajaan yang telah ada sebelumnya baik pada masa Jawa

(14)

kuno, pengaruh agama Hindu dan Budha atau lebih dikenal sebagai budaya sinkretik.

7. Budaya kenduri kelihatannya masih dipertahankan pada saat penikahan Seh Amongraga yang sebetulnya dalam budaya Islam tidak dikenal, ini salah satu indikasi juga bahwa ada penyaringan terhadap budaya Arab yang bisa diterima dan ada keinginan juga dari kalangan pesantren untuk mempertahankan budaya lokal.

8. Gamelan dan gending Jawa masih dipakai dalam perayaan pernikahan dikalangan pesantren, walaupun dikombinasi dengan terbangan (gendang).

Bisa disimpulkan bahwa kadar pengaruh budaya Arab bersamaan dengan penyebaran agama Islam lebih terasa di kalangan pesantren-pesantren dibandingkan dengan kalangan kerajaan (dengan masing-masing wilayah pengaruhnya) walaupun dalam banyak hal kalangan pesantrenpun masih tetap mempertahankan pengaruh budaya lokal yang dianggap tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah agama.

Sedangkan adat istiadat dan ilmu spiritual yang dibicarakan dalam jilid-6 yang perlu dikemukakan adalah:

1. Ki Buyut Wanahita menjelaskan daging binatang yang sebaiknya tidak dimakan dan beberapa yang mengandung khasiat yang lebih merupakan mitos.

2. Penjelasan adanya berbagai tembang: Kakawin, tembang Ageng, Tengahan dan Macapat. 3. Penanggalan Jawa mengikuti penanggalan bulan seperti penanggalan Islam. Setiap minggu ada tambahan yang diberi nama Wuku yang berulang setelah 30 minggu disamping ada pasaran yang berulang setiap lima hari (Pahing, Pon, Wage, Kliwon, Legi). Juga ada kalender musim atau pranatamangsa sebagai petunjuk petani terhadap pergantian 12 musim dalam setahun yang dikenal dengan Kasa s/d Sadha.

4. Sejatinya sahadat, rukun solat, tempatnya rasa sejati, kewajiban istri. Dalam buku ini

disebutkan bahwa kewajiban suami membimbing ilmu agama terhadap istri.walaupun untuk hal-hal yang mungkin sudah diketahui oleh istri. (Note: saat ini sudah jarang dilakukan setelah selesai pernikahan suami mengajari ilmu agama kepada istri, pertama belum tentu suami menguasai ilmu agama yang kedua kalau toh tahu belum tentu istri mau mendengarkan kalau diajari).

5. Wirid syariat, wirid tarekat, wirid hakekat, wirid mahrifat. Wirid adalah mantera yang diucapkan yang dipercaya bisa memperteguh tahapan-tahapan ilmu tasauf yang sedang dipahami.

(15)

Pada Serat Centhini jilid-7, awalnya masih melanjutkan sedikit tentang tradisi budaya pesantren, sedangkan sisanya perihal pola pendalaman ilmu agama atau spiritual yang umum berlaku pada saat itu.

Ada beberapa kontradiksi pada Serat Centini jilid-7 ini, dikarenakan sejak abad ke-16 ketika cerita ini berlangsung telah terjadi pengaruh budaya luar lainnya, yaitu:

1. Pola penyiaran agama Islam yang datang kemudian lebih menekankan kepada syariat atau syarat-syarat menjalankan kewajiban agama dimana tidak terhindarkan adanya pengaruh

berbagai mazab-mazab dalam Islam. Sedangkan pola yang diajarkan oleh para walisanga adalah pengetahuan spiritual yang menekankan ilmu tasauf yaitu hakekat dan makrifat yang tidak jauh berbeda dengan pola pendalaman sprirituil masyarakat Jawa pada saat itu yang sudah dijalani berabad-abad lamanya dengan satu dan lain cara.

Oleh karena itu masyarakat Jawa bisa menerima agama Islam pada saat itu karena pendekatan yang tepat dari wali sanga.

2. Pengaruh budaya Barat telah merubah paradigma pengertian tentang ilmu yang sama sekali berbeda dengan pengertian ilmu yang ada di budaya Jawa pada abad ke-16. Ilmu dalam budaya Jawa adalah pendalaman kehidupan spiritual, sedangkan di budaya Barat ilmu adalah

pengetahuan alam dalam rangka explorasi alam untuk kepentingan duniawi. Bahkan kita bisa pertanyakan apakah ada pendalaman spiritual dalam budaya Barat?

Apakah pengaruh yang terjadi adalah suatu kemunduran atau suatu kemajuan? Kita serahkan saja penilaian pada diri kita masing-masing dengan melihat kecenderungan saat ini bahwa syariat agama hanya dijalankan sebagai rutinitas ritual tanpa pendalaman spiritual yang menyebabkan kemunduran etika dan moral dalam masyarakat.

Kontradiksi yang terdapat dalam Serat Centhini jilid-7 ini adalah:

1. Seh Amongraga meninggalkan Niken Tambangraras setelah menikah selama 40 hari. Adalah perlambang bahwa pendalaman sprituil lebih penting dari segalanya termasuk dalam membina keluarga. Sangat kontradiktif dengan nilai-nilai yang berlaku saat ini.

2. Seh Amongraga sudah berguru di padepokan (pesantren) tiga kali, dengan ayahnya Sunan Giri, dengan Kyai Ageng Karang di Banten, dengan Ki Bayi Panurta di Wanamarta. Tapi ilmu yang didapat dianggap tidak cukup untuk memahami keagungan Allah SWT oleh karena itu diperlukan laku (tarekat atau tirakat) dengan cara lelanabrata ketempat-tempat sepi dan angker dalam rangka pemahaman segi-segi yang ajaib (gaib) tentang kehidupan termasuk keberadaan mahluk halus. Ini adalah pola pemahaman sprirituil di budaya Jawa yang berumur sangat tua. Bisa diartikan sebagai bentuk sinkretisasi agama Islam, tapi juga bisa diartikan bahwa pada tataran hakekat dan makrifat agama apapun punya tujuan yang sama yaitu mengagungkan keberadaan Tuhan Yang Maha Esa (Ini yang dijadikan dasar adanya sila Ketuhanan Yang Maha

(16)

Esa di ideologi Pancasila).

3. Pola tersebut diatas kontradiktif dengan pola yang berlaku saat ini dimana pelajaran di pesantren adalah besifat final. Kalau sudah tamat, yang harus dilakukan adalah berdakwah dengan apa yang telah dipelajari di pesantren tersebut baik dengan cara dakwah berkeliling ataupun dengan cara mendirikan pesantrennya sendiri. Sudah sangat jarang santri yang melakukan lelanabrata untuk pemahaman sprituil yang lebih mendalam dalam menyelami keagungan Allah SWT. Kalau dilakukan malahan dianggap menyimpang dari ajaran agama yang sudah baku. Sebagai hasilnya adalah masyarakat Indonesia saat ini yang mayoritas beragama Islam, tanpa disertai perilaku etika dan moral yang terpuji. Bukan agamanya yang salah tapi pola pemahamannya yang mengalami banyak distorsi.

Sedangkan cerita/legenda adat istiadat dan ilmu spiritual yang dibicarakan dalam jilid-7 adalah: Cerita/Legenda:

asal usul gua Sraboja yang dulunya adalah istana kerajaan. Adat Istiadat:

pembicaraan tentang Wuku; hari baik dan hari naas;

tatacara menempati rumah baru;

perihal burung dara (merpati); penolak hama. Kesemuanya saat ada di buku-buku Primbon.

Pengetahuan Spirituil/Agama sangat fokus kepada ilmu tasauf, diantaranya adalah: 1. Hakekat doa puji-pujian (dalam tembang Dandanggula):

Wruhana sajatining puji, dudu lapal kang muni ing lesan, swara lawan kumandange, pan unen-unen dudu, dene puji sajatine, pan iya karepira kang suci sumunu, pangidhangsih karsa juga, ingkang datan kajeg-kajeg iku jayi, yen kajeg iku aral.

Artinya: Bukan sekedar keindahan kata-kata yang diucapkan, hakekatnya adalah keinginan dan kehendak hati yang suci yang harus dilakukan terus menerus tanpa henti.

2. Riba: riba badan: meniru perbuatan orang kapir, riba ucapan: banyak melakukan hal-hal yang haram dan makruh, riba hati: berbohong dan tidak menepati janji.

3. Pengamalan ilmu tasauf:

a. Syariat – pengamalan keimanan dengan cara mengabdi pada Allah SWT. b. Tarekat – pengamalan keimanan dengan cara memuliakan Allah SWT. c. Hakekat – pengamalan keimanan dengan cara pemusatan pada Allah SWT.

(17)

d. Makrifat – pengamalan keimanan dengan cara pemahaman keajaiban Allah SWT.

4. Daim (kekekalan, selalu) sikap terhadap Allah SWT: fardlu daim – selalu ingat; niat daim – selalu mengasihi; sahadat daim – selalu mengagungkan; ilmu daim – selalu memaklumi, sholat daim – selalu mendekat, makrifat daim – selalu mendengarkan, taukhid daim – selalu percaya, iman daim – selalu menghadap, junun daim – selalu memuliakan, sekarat daim – selalu

menerima apapun keadaannya, mati daim – selalu mensyukuri nikmat. 5. Rukun Islam: sahadat, sholat, zakat, puasa, haji.

6. Kewajiban dunia: berbuat baik bagi sesamanya, menyempurnakan mayat, menikahkan anak perempuan, menghukum kesalahan, mengembalikan hutang. Kewajiban akhirat: mempelajari ilmu syariat-tarekat-hakekat-makrifat, sholat lima waktu, memandikan dan menyalatkan mayat, sabar dan tawakal, tenggang rasa.

7. Empat hal yang merusak kesempurnaan hidup: kibir (sombong), tidak percaya dalil atau berbantahan (tentang hukum agama), membuka rahasia (tidak bisa dipercaya), berbohong (tidak mengatakan yang sebenarnya).

Pada Serat Centhini jilid-8, lebih banyak cerita tentang perjalanan Seh Amongraga di wilayah Jawa Timur, perbatasan Jawa Timur dan Jawa Tengah, sampai ke Jawa Tengah di wilayah timur dan tenggara dari kota Yogyakarta (ibukota kerajaan Mataram saat itu).

Penulis mencoba mencocokkan nama-nama tempat di gunung Lawu yang disebutkan di Serat Centhini Jilid - 8, ternyata persis sama dengan tempat-tempat yang ada dalam peta terkini petunjuk pendakian gunung Lawu (www.cartenzadventure.com).

Bisa disimpulkan bahwa para penulis Serat Centhini punya pengetahuan rinci tentang geography pulau Jawa, kemungkinan besar dengan menggunakan data-data geography wilayah pulau Jawa dari perpustakaan istana. Semua tempat yang disebutkan di Serat Centhini bukanlah tempat yang fiktif tapi memang nyata-nyata ada.

Kesultanan Mataram menguasai keseluruhan pulau Jawa pada abad ke-16, kemungkinan besar data wilayah geohraphy Pulau Jawa ada di perpustakaan istana.

Ada beberapa hal yang menyebabkan lelanabrata menjadi begitu sentral di Serat Centhini Jilid-8 ini, yaitu:

1. Umumnya pelajaran spirituil keagamaan di Jawa bernafaskan ilmu tasauf dengan konsep pendalaman spirituil mengikuti pola urutan: syariat, tarekat, hakekat, makrifat.

2. Syariat adalah step awal dari pendalaman spirituil agama dengan menjalankan syarat-syarat yang diwajibkan agama ataupun hukum agama.

(18)

3. Langkah ke 2 adalah pendalaman melalui tarekat.

Tarekat itu sendiri bisa berarti laku atau tirakat tapi juga bisa berarti tingkah laku atau budi pekerti, yaitu:

a. Suatu usaha untuk pengendalian hawa nafsu agar bisa punya budi pekerti yang terpuji.

Dimaksud agar pendalaman agama tidak terhenti pada syariat rutinitas ritual, tapi berlanjut pada tingkah laku atau budi pekerti yang terpuji.

b. Di Jawa pada umumnya mengartikan tarekat ini sebagai laku atau tirakat suatu langkah sangat penting yang harus dilakukan untuk bisa mencapai tingkatan sprituil hakekat dan makrifat. c. Puasa wajib Ramadhan maupun puasa sunah (seperti puasa Senin dan Kamis) adalah salah satu bentuk tarekat untuk mengendalikan hawa nafsu agar punya budi keperti yang terpuji. d. Lelanabrata adalah salah satu bentuk tarekat atau tirakat dengan tujuan:

i. Pembuktian terhadap penyerahan diri sepenuhnya kepada kehendak Allah SWT. Melakukan lelanabrata naik turun gunung hanya dengan modal tekad dan penyerahan diri secara total kepada kehendak Allah SWT. Sangat besar kemungkinan saat melakukan lelanabrata akan mengalami banyak mujijat kekuasaan Allah SWT.

ii. Pembuktian terhadap kebesaran Allah SWT dengan mendekatkan diri kepada alam. Suasana gua, hutan dan gunung adalah suasana yang berbeda dengan keadaan keseharian kita. Dalam suasana alam seperti di gua, hutan, gunung, lebih bisa merasakan keagungan Allah SWT. iii. Pembuktian adanya alam gaib. Allah SWT itu sendiri adalah sesuai yang gaib dan ajaib. Dengan tirakat ditempat yang dianggap angker, bisa menyelami alam gaib yang memang ada. Manusia sebagai makhluk Allah SWT yang paling sempurna atas ijin Allah SWT mampu menguasai keberadaan mahluk halus.

iv. Pembuktian keberadaan Allah SWT ataupun mendapatkan petunjuk dari Allah SWT. Dengan melakukan lelanabrata mengharapkan adanya suatu bentuk petunjuk atau pengalaman sprirituil pertemuan dengan Allah SWT atau makrifat.

Pada bagian perjalanan Jayengwesthi (yang sudah diganti namanya menggunakan nama lama dari Seh Amongraga, Jayengresmi), Jayengraga, Kulawirya dan Nuripin adalah sisi lain dari kehidupan berkenaan dengan maksiat:

1. Menjadi santri tidak otomatis terlepas dari perilaku maksiat yang berkenaan dengan perilaku seks bebas seperti perilaku Jayengraga dan Kulawirya.

2. Kehidupan tetabuhan, gendingan, sinden dan tledek (penari tayub) bisa mengarah pada perilaku a susila. Orangtua di Jawa jaman dulu biasanya tidak mengizinkan anaknya menjadi penyanyi atau penari karena khawatir mengalami kehidupan seperti sinden dan tledek yang berkonotasi negatif.

3. Cerita tentang Randha Sembada adalah suatu ilustrasi bahwa keinginan seks yang berlebihan tidak hanya milik laki-laki. Bahkan diceritakan ada perilaku menggunakan penggalak atau

(19)

adanya wanita kedua yang lebih muda sebagai pembangkit birahi. Suatu sisi lain dari kehidupan pedesaan di Jawa. Pada saat ini, memang ada beberapa daerah pedesaan di Jawa yang para wanitanya sangat mudah tergelincir kepada perilaku pelacuran yang memang merupakan warisan budaya sejak dulu.

Sedangkan cerita/legenda adat istiadat dan ilmu spiritual yang dibicarakan dalam jilid-7 adalah: Cerita/Legenda:

1. Puncak Gunung Lawu dianggap kahyangan seperti di Pewayangan (seperti juga di pegunungan Dieng) suatu usaha meyakinkan masyarakat dimasa lalu seolah-olah cerita pewayangan adalah cerita yang benar-benar terjadi di Pulau Jawa.

2. Panembahan Senapati (pendiri kerajaan Mataram) yang menikahi Nyi Loro Kidul sebagai penjaga Mataram dilautan dan sekaligus anak perempuannya bernama Ratu Widanangga sebagai penjaga Mataram didaratan. Suatu legenda yang mungkin benar mungkin juga cerita karangan sebagai legitimitasi raja di Mataram sekaligus juga mampu menaklukkan ratu mahluk halus Nyi Loro Kidul yang dikenal sebagai penguasa lautan selatan.

Adat Istiadat:

Pawukon, Pranatamangsa, Padewan, Padangon, Pancasuda, Sengkanturunan, Taliwangke, Samparwangke, Paringkelan yang kesemuanya sifat-sifat hari menurut penanggalan Jawa. Saat ini umumnya dikenal sebagai horoscope yang mendasarkan pada perhitungan penanggalan Jawa.

Pengetahuan Spirituil/Agama:

1. Perihal agama Budha. Menjelaskan tentang mokswa atau kesempurnaan kematian. Kalau belum bisa mencapai tingkatan mokswa akan reinkarnasi (hidup lagi) sampai tujuh kali, tergantung tingkah laku saat hidup didunia, kehidupan berikutnya bisa lebih baik atau lebih buruk.

2. Wajib Rasul (meniru tingkah laku Rasul): sidik – ucapannya benar, amanat – bisa dipercaya, tablig – percaya kepada sesama dan Mokal Rasul (meniru yang tidak pernah dilakukan Rasul); gidib – tidak menjalankan syariat, kiyanat – berkhianat, kitman – menyembunyikan ilmu. 3. Langkah tobat laku maksiat:

Tobat dengan mohon ampun kepada Allah SWT dan tidak melakukan perbuatan tersebut lagi selama hidupnya.

Isi Serat Centhini jilid-9, melanjutkan cerita tentang perjalanan Jayengwesthi, Jayengraga, Kulawirya diiringi santri Nuripin dalam rangka mencari Seh Amongraga di wilayah Jawa Timur.

(20)

Pelajaran dari membaca Serat Centhini jilid-9 adalah tentang niat. Antara perjalanan lelanabrata Seh Amongraga dengan perjalanan Jayengwesthi dkk. ada perbedaan pengalaman yang bagaikan bumi dan langit. Ini berkaitan degan niat.

Niat Seh Amongraga melakukan lelanabrata untuk mencari kesempurnaan ilmu spritiul oleh karena itu pengalaman yang didapat adalah dalam rangka kesempurnaan ilmu agamanya, sebaliknya, niat dari Jayengwesthi dkk. adalah untuk mencari Seh Amongraga tanpa embel-embel untuk memperdalam ilmu agama.

Masih agak lumayan adalah Jayengwesthi yang masih teguh memperdalam ilmu agama dalam perjalanan sedangkan Jayengraga dan Kulawirya memanfaatkan pengalaman-pengalaman dalam perjalanan yang tidak ada kaitannya dalam memperdalam agama bahkan cenderung melakukan hal-hal yang bersifat maksiat.

Ini bisa juga cerminan perjalanan hidup kita sebagai manusia yang punya keinginan luhur agar bisa mempelajari ilmu agama, melaksanakan dalam bentuk budi pekerti yang luhur, mengabdi sepenuhnya kepada Allah SWT.

Tapi kenyataannya banyak dari kita tersandung-sandung dalam perjalanan menuju kepada kesempurnaan hidup, melakukan banyak pelanggaran perintah agama, berbuat maksiat tanpa mampu mengendalikan.

Sangat baik kalau mampu melakukan perbaikan dan masih punya waktu untuk bertobat. Banyak dari kita tidak mampu mencapai hakekat kesempurnaan hidup dan melakukan banyak perbuatan tercela dan maksiat sepanjang hidupnya. Pilihan sepenuhnya ada dalam diri kita.

Oleh karena itu niat adalah sangat penting dalam setiap langkah tindakan yang kita ambil. Dikatakan dalam buku suci Al-Qur’an, Surat Al An'aam, ayat (162)

Katakanlah: "Sesungguhnya salat, ibadah, hidup dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam, ayat (163) tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)". Menurut pendapat saya ini adalah sebaik-baiknya niat untuk kehidupan.

Ada dua hal yang lain yang disinggung dalam Serat Centhini Jilid 9, yaitu:

1. Pengalaman Jayengwesthi dkk. melewati desa Padakan yang sedang tawuran dengan desa Mungur rebutan tempat menggembalaan hewan piaraan. Rupanya budaya tawuran antar

kelompok maupun antar desa sudah ada sejak dulu dan masih dipelihara sampai saat ini dengan masih tetap maraknya tawuran antar suku, antar mahasiswa, antar pelajar. Apakah ini suatu kegiatan latihan perang dan tes keberanian?

Atau budaya adu phisik peradaban primitif yang masih dipelihara?

2. Adanya sedikit percakapan di kediaman Ki Demang Ngabei Kidang Wiracapa tentang kalangan santri dan kalangan priyayi.

(21)

yang sudah ditetapkan oleh kerajaan tanpa harus meninggalkan perilaku beragama yang baik. Hal ini muncul karena Jayengwesthi dkk. adalah dari kalangan santri, sedangkan Ki Demang Ngabei Kidang Waracapa dulunya juga dari kalangan santri yang saat itu sudah menjadi seorang pejabat kerajaan di Trenggalek.

Sedangkan cerita/legenda, adat istiadat, ilmu spiritual yang dibicarakan dalam jilid-9 adalah: Cerita/Legenda:

Cerita tentang Panji Asmarabangun adalah kisah cinta Pangeran Jenggala dan Putri Candra Kirana dari Khauripan.

Masih populer sampai dengan saat ini dikalangan masyarakat di Jawa.

Adat Istiadat:

Ilmu-ilmu di Jawa bukan saja berkembang berkenaan dengan kesempurnaan ilmu agama

(dikatakan sebagai ilmu putih) tapi juga berkembang ilmu-ilmu yang berkaitan dengan kejahatan, ilmu sihir/teluh, dan ilmu mencari kekayaan (dikatakan sebagai ilmu hitam).

Ilmu hitam pada umumnya adalah syirik yang sangat dilarang dalam agama Islam. Pengetahuan Spirituil/Agama:

1. Sembilan tingkat derajat Islam: mukmim ngam – asal-asalan,

mukmin ngabid – memakan hanya yang halal, mukmin saleh – berbudi pekerti luhur,

mukmin jahada – banyak tirakat,

mukmin salik – menjalankan semua perintah Allah SWT, mukmin supi – bening hatinya,

mukmin ngarip – selalu menghadap Allah SWT, mukmin ngasik – selalu merindukan Allah SWT, mukmin mukip – berbakti hanya kepada Allah SWT

2. Serat Panitisastra: Salah satu buku karangan R. Ng. Ranggawarsito yang mengajarkan tentang budi pekerti yang luhur.

3. Hal-ihwal keduniawian (Kadariyah) dan keakhiratan (Kajabariyah). Dandanggula:

Kalihe tan wonten prabedaneki, Kadariyah lan Kajabariyah, kewala sami kusnine, puniku dhaupipun, kadya siyang kalawan ratri, dangune tan prabeda, namun kaotipun, apepeteng kalawan padhang, samya saking nuring rahman lawan rahim, wilayating Pangeran.

(22)

Artinya:

Keduniawian dan keakhiratan adalah sama-sama penting seperti siang dan malam, terang dan gelap, rahman (kasih) dan rahim (sayang).

(Note: selama dijalankan dengan niat dan cara yang baik).

4. Hubungan antara topeng, gamelan, gendhing, wayang dan dhalang dengan menyembah kepada Allah SWT.

a. Pocung:

De punika dhaupe marang ing ngilmu, unining gamelan, sami lan unining lambe, gendhingane punika jatining niyat.

(Note: gendhing bisa berubah jadi gendheng (gila) tanpa niat untuk mengagungkan nama Allah SWT.)

b. Asmaradana:

Jejer Jenggala Kediri, dhauping Panji Kirana, sasolah bawaning topeng, topeng wrananing roh mukdas, wrananing Hyang werana, Hyang wrana pribadinipun, werana tanpa kerana.

(Note: topeng adalah kiasan dari keberadaan roh yang merupakan keajaiban dari Allah SWT). c. Megatruh:

Kelir jagad gumelar wayang pinangung, asnapun makluking Widi, gedebog bantala regung, balencong panaming urip, gamelan gendhinging lakon.

(Note: wayang adalah perumpamaan menggelar panggung dunia keberadaan manusia ciptaan Allah SWT di bumi sebagai penerangan hidup dalam menjalankan kehidupan).

d. Megatruh:

Inggih dhalang sejati punika ratu, kang murba solahing urip, kang sineren mring Hyang Agung, nampeni ayating takdir, tabiyat bawaning kang wong.

(Note: dhalang sejati seperti raja yang menguasai segala hal tentang kehidupan, yang berlindung pada Allah SWT, menerima takdir dan menguasai peri laku segala macam manusia).

Isi Serat Centhini jilid-10: melanjutkan cerita tentang perjalanan Jayengwesthi (Jayengremi), Jayengraga, Kulawirya diiringi santri Nuripin dalam rangka mencari Seh Amongraga di wilayah Jawa Timur serta cerita tentang penangkapan Seh Amongraga oleh Tumenggung Wiraguna atas perintah Sultan Agung akibat ulah Jamal dan Jamil menyebarkan ilmu karang dan ilmu sihir di daerah kekuasaan Mataram yang dianggap meresahkan masyarakat setempat.

Perjalanan di Serat Centhini adalah perjalanan para santri dengan berbagai niat masing-masing. Cukup banyak diceritakan di Serat Centhini perihal mudahnya terjadi pernikahan yang berumur pendek.

(23)

Wakidiyat di gunung Tidhar dan diceraikan begitu saja ketika mau meneruskan perjalanan. Di jilid-7 diceritakan Seh Amongraga meninggalkan Niken Tambangraras setelah menikah 40 hari.

Pada jilid-10 ini Jayengraga menikahi Rara Widuri di Trenggalek Lembuastha hanya selama 7 (tujuh) hari kemudian ditinggal begitu saja ketika Jayengraga pulang ke Wanamarta.

Apakah kebiasaan ini masih terjadi pada masa kini didaerah pengaruh budaya pesantren masih sangat kuat di pedesaan?

Pada budaya priyayi dianjurkan bahwa pernikahan hanya sekali seumur hidup dan selamanya oleh karena itu dianjurkan sangat berhati-hati memilih jodoh (paling tidak itu yang saya ingat yang diajarkan orang tua pada jaman saya).

Budaya pesantren lebih permisif perihal pernikahan, wanitanya agak kurang berhati-hati dalam memilih pasangannya, bisa menerima pasangan yang sudah menikah dan bisa menerima pasangannya menikah lagi.

Dalam cerita di Serat Centhini pernikahan yang terjadi bukan kehendak orang tua tapi memang menjadi pilihan dari wanita tersebut karena memang tertarik dengan pasangannya, jadi

kebebasan memilih pasangan sudah ada sejak dulu pada wanita di Jawa.

Yang menjadi masalah dalam memilih pasangan mereka lebih tertarik para pengelana atau para pendatang yang justru kepastian untuk kelanggengan pernikahan seumur hidup adalah sangat berisiko.

Ini mungkin yang menyebabkan banyak wanita Jawa/Indonesia senang dengan para pendatang dan sangat suburnya kawin kontrak maupun kawin siri.

Hal ini memang suatu tradisi kecenderungan pilihan wanita Jawa / Indonesia di pedesaan di masa lalu yang masih lestari sampai saat ini. Sedangkan budaya pernikahan kaken ninen dan satu istri selamanya adalah budaya kerajaan atau budaya priyayi yang barangkali sudah terpengaruh budaya barat.

Budaya pewayangan juga menganjurkan satu istri untuk selamanya, kalau terjadi pernikahan lebih dari satu istri hanyalah untuk tokoh-tokoh tertentu (dianggap sebagai suatu penyimpangan).

Hal lain yang juga selalu diceritakan di Serat Centhini dan diceritakan lagi di jilid-10 adalah sikap permisif terhadap penyimpangan tingkah laku seksual:

1. Jayengraga yang berhubungan sesama jenis pada waktu Rara Widuri marah dan Jayengraga tidak berani pulang.

2. Kalawirya untuk menyembuhkan penyakit bahkan berhubungan dengan binatang (kuda). Juga diceritakan sikap dan sifat wanita terhadap pasangannya, kalau pada jilid-8 diceritakan

(24)

Randa Sembada yang hipersek, pada jilid-10 ini diceritakan tentang Rara Widuri yang terlalu obsesif (cemburuan) terhadap suaminya Jayengraga.

Karena sifatnya ini, tidak malu membuat onar dimuka umum.

Sifat-sifat wanita yang khusus seperti ini walaupun jarang memang masih tetap ada di masyarakat sampai dengan saat ini.

Sedangkan cerita/legenda, adat istiadat, ilmu spiritual yang dibicarakan dalam jilid-9 adalah: Cerita/Legenda:

Cerita tentang Arya Banyakwulan dari Singasari, perihal asal usul ikan keramat di kedung Bagong.

Cerita semacam ini tersebar hampir diseluruh Jawa, adanya suatu tempat yang dikeramatkan yang dihubungkan dengan tokoh kerajaan-kerajaan Jawa di masa lalu.

Tempat-tempat keramat bisa dijadikan pengamalan ilmu yang bersifat sirik (ilmu hitam) tapi juga bisa dijadikan tempat mendalami keajaiban kekuasaan Allah SWT (ilmu putih).

Adat Istiadat:

Perbedaan wayang Krucil dan wayang Purwa. 1. Wayang Krucil:

dibuat dari kayu pipih, bentuknya lebih kecil dari wayang purwa, ceritanya biasanya tentang kerajaan Majapahit atau cerita Panji.

Belakangan disebut juga wayang klithik (karena dibuat dari kayu kalau digerakkan berbunyi klithik-klithik).

Saat ini sudah jarang dipertunjukkan. 2. Wayang Purwa:

dibuat dari kulit, ceritanya dari kisah Ramayana dan Mahabarata. Masih cukup populer sampai dengan saat ini terutama di masyarakat pedesaan di Jawa Tengah, Jawa Timur atau didaerah transmigrasi di luar Jawa.

Pengetahuan Spirituil/Agama:

1. Perlambang wayang sebagai perlambang hakekat yang sejati.

Nonton wayang harus mengetahui cerma (kulit dan tulang) dan cermin (kaca).

Bukan hanya cerma (kulit dan tulang) yang dilihat tapi cermin (kaca) dari sari cerita ki dalang tentang kesucian dan keajaiban Allah SWT.

2. Makna rasa topeng.

(25)

Baik dan buruk adalah suatu pilihan, kalau memakai topeng yang bersifat baik, tarian yang disajikan halus dan menarik, tapi kalau memakai topeng yang bersifat buruk, tarian yang disajikan kasar dan berangasan.

Ini sejatinya pilihan dalam hidup kita. 3. Hakekat pengabdian.

Dasar pengabdian adalah sikap andhap-asor (sikap merendah). Prabot genging utami, andhap-asor wekasan luhur.

Sikap dalam mendalami ilmu agama (mengaji) maupun bekerja (ngawula). Sinom:

Sapala sawiji sandhang, sapala sawiji guling, sapala sawiji pangan, sapala tan ngekehi, ngenes rajah-tamahipun, de jalma ahli praja, suwita marang narpati, andhap-asor rehning srawungan wong khatah.

Artinya:

menerima apapun yang serba sedikit dan selalu bersikap merendah dalam pergaulan. 4. Hakekat ilmu kajatmikan (ketenangan hati):

- Jatmikaning sila-krama – ketenangan hati dalam kesusilaan - Jatmikaning sabda-krama – ketenangan hati dalam bertutur kata - Jatmikaning sureng-karya – ketenangan hati dalam bekerja - Jatmikaning karya-bukti – ketenangan hati dalam membuat bukti.

Serat Centhini Jilid-11 berisi perjalanan menuju pertemuan seluruh keluarga yang saling berpisahan di Jurang Jangkung (Wanataka) serta cerita Seh Amongraga maupun beberapa

keluarga dekatnya yang berhasil mendalami ilmu kesempurnaan agama melalui pendekatan ilmu tasauf dengan langkah pendalaman ilmu syariat, tarekat, hakekat dan makrifat.

Alam kesempurnaan yang telah dicapai oleh Seh Amongraga, Jayengresmi dan Jayengraga beserta istri-istrinya menurut buku Serat Centhini Jilid 11 ini adalah:

1. Penguasaan transformasi dari badan halus (roh) ke badan kasar (jasmani) dan sebaliknya. Dengan penguasaan ini mereka bisa menjadi roh (badan halus) yang tidak kelihatan kemudian bila diinginkan bisa kembali sebagai badan kasar sebagaimana manusia biasa.

Ini berlainan dengan kematian dimana roh tidak punya kemampuan kembali ke badan kasar. Hal yang mirip juga dikenal di agama Budha yang dinamakan mokswa.

2. Kemampuan melakukan “mangunah” yaitu permohonan kepada Allah SWT untuk menjadikan atau menciptakan sesuatu yang saat itu juga bisa terlaksana.

Mujijat semacam ini kalau di kitab suci Al-Qur’an hanya dipunyai oleh para nabi.

Di Jawa banyak sekali cerita para wali (wali sanga) ataupun para aulia agama Islam yang punya kemampuan melakukan berbagai mujijat (atas ijin Allah SWT) yang tidak bisa dilakukan oleh

(26)

manusia biasa.

Mangunah yang dilakukan oleh Seh Amongraga dalam Serat Centhini jilid 11 adalah: 1. Lolosnya Seh Amongraga dari hukuman di larung di laut selatan.

Seh Amongraga saat itu tidak meninggal dunia tapi awal dari transformasi badan kasarnya menjadi badan halus dengan sarana prabawa Raja (Sultan Agung).

Mulai saat itu Seh Amongraga hidup di alam kesempurnaan yang punya kemampuan transformasi dari badan halus ke badan kasar atau sebaliknya.

2. Menampakkan diri kembali pertama kali ketika Niken Rangcangkapti adiknya meninggal dunia karena sedih mendengar berita kematiannya.

3. Menghidupkan kembali Niken Rancangkapti.

4. Membantu istrinya Niken Tambangraras, Jayengresmi, Jayengraga maupun istri-istrinya memasuki alam kesempurnaan (dikarenakan mereka sudah memenuhi syarat masuk di alam kesempurnaan).

5. Anggota keluarganya bisa bertemu dengannya di Sendhang Kalampeyan maupun Jurang Jangkung dengan cara mengundang untuk datang melalui itikad.

6. Dianya sendiri mempunyai kemampuan sewaktu-waktu untuk menemui dalam bentuk badan kasar kepada siapa saja yang dia ingin temui.

7. Menciptakan dan menghancurkan kembali sebuah kota - Kota Baja.

Apakah ini sekedar cerita atau suatu kenyataan adalah Wallahu Alam! Kalau kita melihat dari penciptaan mahluk hidup yang ada di kitab suci Al Qur’an, manusia dikatakan sebagai mahluk ciptaan Allah SWT yang paling sempurna, karena punya lingkup kemungkinan yang lebih luas dari mahluk lainnya:

1. Setan/jin:

karena tidak mau tunduk kepada manusia dihukum oleh Allah SWT selamanya akan menjadi penggoda manusia agar ikut dengannya berbuat kejahatan dengan tenggang waktu sampai kiamat.

2. Manusia:

bisa terseret dalam rangkulan setan/jin, bisa jadi manusia dengan kekurangan dan kelebihannya, punya kemampuan meniru perilaku malaikat yang hanya menjalankan perintah dan memuji kepada Allah SWT, bahkan punya kemampuan mendekati (bukan menyamai) sifat-sifat Allah

(27)

SWT. 3. Malaikat:

diciptakan hanya untuk melaksanakan perintah dan memuji Allah SWT.

4. Sedangkan alam semesta dan mahluk hidup lainnya seperti binatang dan tumbuh-tumbuhan diciptakan semata-mata rahmat Allah SWT untuk kepentingan manusia.

Adalah terserah manusia itu sendiri bagaimana menentukan dirinya sendiri memanfaatkan tenggang waktu umur hidupnya untuk mencapai lingkup kemungkinan yang mana yang mampu dicapainya atau sebaliknya terseret oleh pengaruh setan/jin.

Pengetahuan Spirituil/Agama:

1. Iman dan Islam: Iman lan Islam bedanya, anenggih lair lan bathin, Islam punika lair, iya Iman bathinipin (Perbedaan Iman dan Islam, Islam itu lahirnya, Iman itu bathinnya).

Rukun Iman:

percaya akan keberadaan Allah SWT, Malaikat, Kitab-Kitab Suci, Nabi-Nabi, Kiamat dan Kodrat.

Rukun Islam:

mengucapkan kalimat sahadat, sembahyang lima waktu, puasa dibulan Ramadhan, menunaikan Zakat, kalau mampu naik Haji.

2. Mandi wajib yang dilakukan oleh wanita dan pria: a. Wanita

i. Mandi kel (waktu haid yang pertama kali) ii. Mandi jinabat (waktu sehabis sanggama) iii. Mandi wiladah (waktu setelah melahirkan)

iv. Mandi nipas (waktu lepas 40 hari setelah melahirkan) v. Mandi mayit (waktu meninggal dunia)

b. Pria:

i. Mandi jinabat (waktu sehabis sanggama) ii. Mandi mayit (waktu meninggal dunia)

3. Ugeran (pakem atau pokok-pokok ajaran) ilmu sarengat, tarekat, hakekat, makrifat: a. Ilmu sarengat (syariat): Kasdu takrul takyin

(28)

disyaratkan hukum agama.

b. Ilmu tarekat: suci badan, suci lesan, suci hati

Suci badan – beribadah sujud rukuk (memperbanyak beribadah dan sholat)

Suci lesan – berbicara hanya yang perlu dan sesuai dengan hukum agama, kalau tidak yakin atau tidak perlu atau tidak tahu lebih baik diam.

Suci hati – menanamkan pengertian dalil Al-Qur’an dalam hati c. Ilmu hakekat: Iman Tauhid Mangaripat

Iman – berbudi pekerti luhur

Tauhid – memusatkan hanya pada Allah SWT

Mangaripat – tidak ada yang dilihat kecuali keberadaan Allah SWT. d. Ilmu makrifat: syukur suka rila

Syukur – mensyukuri (berterimakasih) dengan apa yang didapat, tidak mengeluh dengan apapun kepastian/ketentuan yang sudah terjadi, masing-masing pribadi berbeda-beda kejadiannya. Suka – mengerti akan asal muasal kejadian dan sifat kuasa Allah SWT, kodrat dan takdirnya, yang “tan kinaya apa” (tidak bisa dipertanyakan).

Rila – tidak heran terhadap semua kejadian, dari tidak ada menjadi ada, dari ada menjadi tidak ada, adanya tidak bisa dilihat, ketidakadaannya selalu ada.

4. Tekad tama (tekad utama):

Utamakna kang wus awajib, sayogya tinekadna kasucyaning laku, angegungken panarimanya. Artinya:

Mengutamakan yang wajib, bertekad untuk menyucikan budi pekerti, selalu berterimakasih terhadap rahmat dan nikmat Allah SWT.

Serat Centhini Jilid-12 adalah jilid terakhir dari keseluruhan Serat Centhini yang berjumlah 12 jilid. Didalamnya ada tambahan, yaitu: Serat Centhini Jalalen – cerita tentang Ki Jatiswara, meninggalnya Ki Bayi Panurta dan istri dan reinkarnasi Seh Amongraga beserta istri.

Ada beberapa hal-hal kontroversi dalam Serat Centhini jilid 12, kalau dilihat dari sisi Budaya Jawa yang berlaku umum pada saat ini, yaitu:

1. Perihal poligami: Agama Islam secara syariat mengijinkan seseorang punya istri sampai dengan 4 (empat) dengan berbagai syarat. Budaya Jawa pada umumnya mengajarkan monogami bahwa seseorang sebaiknya beristri satu sampai kaken-ninen atau selamanya.

Pada Serat Centhini jilid-12, tokoh utama yang telah mencapai kesempurnaan pendalaman agama Islam melalui jalan tasauf, semuanya memilih hanya beristri satu (Ki Bayi Panurta, Jayengraga, Seh Amongraga, dan Seh Agungrimang).

(29)

Apakah sikap para ulama di Serat Centhini terpengaruh Budaya Jawa? Atau pendalaman agama Islam itu sendiri pada akhirnya menyimpulkan bahwa sebaiknya seseorang beristri satu saja. Pada umumnya seseorang tidak melihat syarat-syarat untuk bisa menikah lebih dari satu wanita, mungkin hanya Nabi Muhammad SAW yang mampu untuk memenuhi syarat-syarat tersebut. Bisakah kita sebagai manusia biasa punya kwalitas moral menyamai atau lebih baik dari Nabi Muhammad SAW?

Sikap ini suatu kontroversi dengan sikap pada umumnya para ulama Islam saat ini. Saat ini, seseorang lebih fokus pada bolehnya, tapi tidak melihat bahkan cenderung menghilangkan syarat-syaratnya. Oleh karena itu poligami begitu mudah dilakukan saat ini oleh umat muslim di Indonesia.

Tokoh-tokoh Islam yang diceritakan dalam Serat Centhini lebih arif menyikapi hal ini dan lebih memilih Budaya Jawa untuk diikuti. Karena beristri lebih dari satu bukan wajib hukumnya (cenderung ke makruh) dan ada syarat-syarat yang berat untuk diikuti terutama syarat untuk bersikap adil.

2. Perihal Reinkarnasi: Reinkarnasi tidak dikenal dalam agama Islam. Reinkarnasi sangat luas dikenal dalam masyarakat di Jawa walaupun mayoritas orang Jawa beragama Islam.

Kemungkinan besar hal ini adalah pengaruh budaya Jawa kuno, agama Hindu dan Budha. Kalau dikalangan Islam Jawa mengenal reinkarnasi, ini adalah hasil sinkretisasi. Akhir cerita Serat Centini pada jilid 12, Seh Amongraga dan istri melakukan reinkarnasi menjadi raja di Mataram – Sunan Amangkurat I adalah hasil sinkretisasi agama Islam.

3. Mengetahui kematian sebelum terjadi: Budaya Jawa mengenal ilmu mengetahui kematian sebelum terjadi (sangat luas dipublikasikan dalam primbon Jawa tentang tanda-tanda kematian baik yang kita bisa lihat dari orang lain maupun tanda-tanda untuk diri sendiri).

Dalam Serat Centhini jilid-12 diceritakan bahwa Seh Amongraga dan istrinya sudah mengetahui bahwa ajal kedua orang tuanya sudah dekat dan bisa datang lebih dahulu untuk ikut mengawal kematian kedua orang tuanya. Dalam agama Islam tidak dikenal ajaran mengetahui kematian terlebih dahulu, kematian adalah termasuk sesuatu hal yang gaib yang hanya Allah SWT Yang Maha Mengetahui.

Cerita/Legenda:

1. Cerita machluk halus di hutan Jembul. Cerita tentang machluk halus sangat popular sampai saat ini di Jawa/Indonesia.

(30)

Islam di Indonesia tidak bisa melepaskan diri dari hubungan/perkembangan dengan umat Islam secara regional bahkan secara global.

3. Serat Wiwaha (Arjuna Wiwaha). Cerita wayang tentang Arjuna yang bertapa menjadi Begawan Mintaraga. Sering dihubungkan dengan pengalaman sprirituil dalam mencapai kesejatian diri dalam ilmu tasauf.

Adat Istiadat:

1. Candrasangkala beberapa Candi di Jawa: Informasi tentang tahun berdirinya candi-candi di Jawa.

Keratabasa: makna huruf-huruf Jawa dalam rangkaian nama seseorang.

2. Dasanama: sepuluh sebutan nama (kata) yang punya arti sama (sinonim) pengetahuan bahasa yang sangat berguna untuk menggubah tembang.

Pengetahuan Spirituil/Agama:

1. Hidup menemukan mati, mati menemukan hidup: (Gambuh) Gesang inkang amurba ing pati, pati wus kalimput ing agesang, gesang tan na patine, mulyaning pati uwus, murba amisesa ing urip, urip wus kalimputan, ing pati sawegung, agesang sajroning pejah, pan wus murba misesa pati lan urip, langgeng kaananira.

Note: salah satu pencapaian ilmu kasampurnaan (tasauf) adalah kondisi di alam kasampurnaan yang kekal atau abadi – penguasaan perihal hidup dan mati.

2. Isbat dan Sifat: Isbat ananing Hyang Widdhi, marma sakaliring sipat – Isbat berarti penentuan keberadaan sesuatu, dalam hal ini tentang keberadaan Allah SWT melalui sifat-sifatnya.

Kodrat dan Iradat (Wiradat): Iradat (Wiradat) adalah suatu usaha untuk merubah kodrat. Karena kodrat itu ada dua macam, kodrat mualak (muallaq) dan kodrat mubaram (mubrom), kodrat mualak masih tergantung hal-hal lain untuk dilaksanakan – ini yang bisa diubah dengan usaha (ichtiyar) sedangkan kodrat mubaram sudah mutlak tidak bisa dirubah.

3. Hakekat sembah dan sukma:

Sembah adalah pujian kepada Allah SWT. Kuasa Allah SWT yang memberikan baik atau buruk, menghukum atau mengasihi, membagi surga atau neraka, dunia atau akhirat, abadi tidak

berubah, tidak dikurangi tidak ditambah.

(Dhandhanggula) Sukma rimbag wutuh den-tingali, saosike ya Sukma belaka, wujuding Sukma tan pae, wus tan kengang binastu, woring jati kula lan Gusti, Maha Gusti ta kula, sih kajatenipun, lamun tan kadyeka, kula misih kula, Gusti misih Gusti, tan kengang wor-winoran.

Artinya: Sukma sepertinya utuh kalau dilihat, segala gerak adalah Sukma itu sendiri, wujud Sukma sudah tidak bisa dibedakan melebur menyatu, menyatunya kesejatian kawulo (hamba) dan Gusti, Maha Gusti dengan kawulo, kesejatian kasih, tetapi walaupun sepertinya tidak bisa

(31)

dibedakan, kawulo masih tetap kawulo, Gusti tetap Gusti, tidak bisa dicampur adukkan (disamakan).

Referensi

Dokumen terkait

Setiap orang mempunyai kecenderungan dalam melihat benda yang sama dengan cara yang berbeda-beda. Perbedaan tersebut bisa dipengaruhi oleh banyak faktor, diantaranya

Kegiatan Praktik Pembelajaran Mikro merupakan kegiatan bagi mahasiswa untuk diberi kesempatan mengembangkan kemampuan mengajarnya melalui praktik pembelajaran yang

Puji syukur, Alhamdulillah penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah dan inayah-Nya sehingga dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul

Bagi siswa melalui penerapan model pembelajaran Advance Organizer dengan Peta Konsep diharapkan dapat meningkatkan hasil belajar matematika siswa kelas X SMK Tritech

Teknik spyware yang bertujuan untuk memonitor dan merekam semua paket data yang melewati jaringan dikenal dengan.. Teknik spyware yang bertujuan untuk mengubah paket data

Belum holistiknya proses penyusunan rencana kerja pembangunan daerah terlihat dari beberapa proses tahapan musrenbang, mulai dari musrenbang tingkat kelurahan,

Penelitian ini sejalan dengan penelitian Wardani dan Sri (2011) yang membuktikan bahwa tidak ada pengaruh antara kepemilikan manajerial pada nilai perusahaan

Keempat tentang alur proses pengiriman / rujukan pecandu narkoba dari Kabupaten Bulungan ke Balai Besar Rehabilitasi LIDO Badan Narkotika Nasional dan ke Kabupaten Bulungan