• Tidak ada hasil yang ditemukan

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "V. HASIL DAN PEMBAHASAN"

Copied!
33
0
0

Teks penuh

(1)

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Karakteristik Habitat Tangkap

Habitat tangkap labi-labi di Kalimantan Tengah terdiri dari beberapa tipe yaitu sungai, danau, rawa, dan kanal. Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa labi-labi ditemukan di sungai, anak sungai dan danau. Danau yang dimaksud di sini adalah rawa yang terhubung dengan anak sungai (pond). Tipe habitat yang paling banyak ditemukan labi-labi pada saat penelitian adalah sungai. Beberapa hasil penelitian dan survei memberikan informasi bahwa labi-labi dapat ditemukan di tipe habitat perairan yang berbeda, antara lain: di daerah hilir sungai di Jambi (Elviana 2000), sungai dan anak sungai di Kalimantan Timur (Kusrini et al 2009), dan Kalimantan Barat (Lilly 2010), sungai dan rawa di Sumatera Selatan (Oktaviani 2008), rawa dan rawa gambut di dalam kawasan Taman Nasional Berbak di Jambi serta sungai kecil dan rawa gambut dalam areal perkebunan sawit di provinsi Riau (Mumpuni & Riyanto 2010). Bahkan hasil survei yang dilakukan Mumpuni et al. (2011) di Sumatera Barat juga Subasli & Dadang (2002) di Kalimantan Tengah menemukan labi-labi di lokasi persawahan dan parit dekat perkampungan.

5.1.1 Sebaran Habitat Tangkap

Berdasarkan wawancara dengan pemancing dan pengamatan di lapangan diketahui bahwa daerah target pemanenan labi-labi di Kalimantan Tengah bagian selatan adalah di (Gambar 3):

1. Anak Sungai Kahayan yaitu Sungai Rungan, Sungai Sangomang, Sungai Tahai, Sungai Bangamat, dan di Danau Sangomang, Danau Tahai, Danau Pehun, dan Danau Tintu di Kecamatan Bukit Batu Kota Palangkaraya.

2. Anak Sungai Katingan yaitu Sungai Halukis, Sungai Liting, Sungai Tambasirak, Sungai Kabipah, Sungai Kamipang, Sungai Baner, dan Danau Liliput di Kabupaten Katingan.

(2)

3. Anak Sungai Mentaya yaitu Sungai Parebok dan Sungai Ijum di Kecamatan Samuda Kabupaten Kotawaringin Timur.

4. Sungai Seruyan dan di anak sungainya yaitu Sungai Tabuk Bakambat, Sungai Lesung, Sungai Tatah Pinang, Sungai Pukun, Kanal Transmigrasi Unit 1-8, Danau Burung, Danau Kapar dan Danau Sembuluh di Kabupaten Seruyan.

Hasil pengamatan di 8 (delapan) lokasi ditemukannya labi-labi diketahui beberapa faktor fisik dan kimia perairan yang mempengaruhi sebaran populasi labi-labi. Kisaran hasil pengamatan disajikan pada Tabel 7.

Tabel 7 Faktor fisik dan kimia perairan yang mempengaruhi sebaran populasi labi-labi di lokasi tangkap

Lokasi Pengamatan

Sifat Kimia dan Fisik pH Kecepatan

Arus (m/dtk)

Kecerahan

(cm) Kedalaman (m) Tipe Substrat

Danau Pehun 5-6 0,0-0,31 20,25-30,00 2,7-6,0 Pasir

Danau Sangomang 5 0,06-0,09 50,40-50,15 1,8-2,0 Pasir

Danau Tahai 4-6 0,23-0,31 20,00-20,60 2,5-5,0 Lumpur-pasir

Danau Tintu 5 0,07-0,09 45,00-65,00 1,2-2,4 Lumpur

Sungai Rungan 5 0,05-0,53 15,00-22,50 0,7-2,1 Lumpur

Sungai Sangomang 4-5 0,21-0,42 40,35-71,00 2,7-7,5 Lumpur-pasir

Sungai Tahai 5-6 0,29-0,30 1,55-65,00 1,7-3,0 Lumpur-pasir

Sungai Bangamat 5-6 0,07-0,34 15,00-20,00 1,1-1,3 Lumpur

Sungai yang menjadi target para pemancing memiliki berbagai variasi kedalaman mulai dari 0,5-7,5 meter, dasar sungai berlumpur hingga berpasir dan banyak dihuni hewan air (molusca, ikan, crustacea dll) serta permukaan air yang terdapat banyak tumbuhan air seperti eceng gondok (Eicchornia crassipes), bakung (Hanguana malayana) dan Hydrilla verticillata. Kawasan pinggir sungai dengan cekungan-cekungan yang dalam biasanya terdapat di bawah vegetasi pohon maupun jenis-jenis herba diperkirakan banyak didatangi labi-labi untuk mencari makan, karena kawasan ini memang disukai oleh beberapa jenis ikan untuk memijah. Para pemancing labi-labi biasa memasang perangkap di kawasan ini.

(3)

Ga

m

bar 3 Sebaran wilayah tangkapan

labi-labi di Kalim

(4)

Dataran rendah Kalimantan Tengah didominasi oleh rawa gambut yang memiliki sifat asam. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa labi-labi masih dapat ditemukan pada perairan yang bersifat asam dengan pH berkisar antara 4-6, lebih asam pada lokasi sebaran labi-labi di Jambi yang hanya berkisar antara 5,3-7 (Elviana 2000; Mumpuni & Riyanto 2010; Ginting 2012), di Sumatera Selatan berkisar antara 5,7-6,5 dan di Riau berkisar antara 5,6-6,8 (Mumpuni & Riyanto 2010). Amri & Khairuman (2002) menyatakan bahwa nilai pH air yang ideal untuk budidaya labi-labi adalah berkisar antara 7-8. Secara umum habitat tangkap labi-labi terdapat di perairan berarus lambat, dengan substrat lumpur atau pasir dan vegetasi dominan semak, sesuai dengan hasil penelitian Iskandar (2000) dan Kusrini et al. (2009).

Berdasarkan pengukuran, diperkirakan panjang sungai yang menjadi habitat tangkap memiliki total panjang 574,28 km (Tabel 8) yang meliputi kelompok anak sungai Kahayan, anak sungai Katingan, anak sungai Mentaya dan anak sungai Seruyan.

Tabel 8 Estimasi panjang wilayah target pemanenan labi-labi di Kalimantan Tengah yang diukur dari peta

Nama Kelompok Sungai Panjang Sungai (km)

Kahayan 50,96 Katingan 97,93 Mentaya 195,67 Seruyan 229,72

Panjang Total 574,28

5.1.2 Identifikasi Komponen Habitat 5.1.2.1 Ketinggian Tempat

Hasil tumpang tindih antara titik-titik labi-labi tertangkap dengan peta ketinggian tempat (elevasi) di atas permukaan laut (mdpl) menunjukkan bahwa dari 60 titik labi-labi tertangkap, frekuensi terbanyak ada pada ketinggian 7-15 mdpl (61,7% atau 37 titik) semakin menurun pada ketinggian 16-20 mdpl (16,67% atau 10 titik), ketinggian 21-30 mdpl (13,33% atau 8 titik), ketinggian

(5)

31-40 mdpl (11,67% atau 7 titik), ketinggian lebih dari 40 mdpl (6,67% atau 4 titik) sebagaimana disajikan pada Gambar 4.

Gambar 4 Sebaran jumlah labi-labi panenan menurut kelas ketinggian di Kecamatan Bukit Batu.

Ketinggian tempat merupakan salah satu komponen fisik habitat yang mempengaruhi kehidupan satwaliar termasuk labi-labi. Semakin tinggi suatu wilayah, ternyata frekuensi ditemukannya labi-labi semakin menurun. Kecenderungan labi-labi yang menempati daerah dataran rendah daripada pegunungan terutama apabila menuju dataran tinggi tersebut memiliki kelerengan yang curam. Dataran yang memiliki kelerengan yang curam memiliki sungai yang berarus deras, hal ini tidak disukai oleh labi-labi karena dibutuhkan tenaga lebih untuk dapat menyeberanginya.Tipe perairan berarus lambat, dengan dasar sungai berlumpur berada pada hilir sungai. Tipe perairan tersebut banyak terdapat di dataran rendah yang meliputi sungai, rawa, dan danau sungai mati (oxbow). Tipe dasar perairan yang berlumpur sangat disukai A. cartilaginea karena dapat menunjang kegiatan reproduksinya (tempat breeding ground) dan sebagai tempat bersembunyi (Ernst & Barbour 1989).

5.1.2.2 Suhu Udara

Hasil pengukuran dapat diketahui bahwa rata-rata suhu udara lokasi ditemukannya labi-labi berkisar antara 280C sampai 330C (Gambar 5). Hal ini tidak jauh berbeda dengan karakteristik habitat labi-labi di Jambi yaitu berkisar antara 280C sampai 310C (Elviana 2000). Suhu yang paling ideal untuk budidaya

7 ‐ 15 16 ‐ 20 21 ‐ 30 31 ‐ 40 41 ‐ 50 51 ‐83 37 10 8 7 2 2 Junl ah l abi -l abi (ekor ) Ketinggian tempat (mdpl)

(6)

labi-labi antara 220C sampai 310C, dan pada suhu yang lebih rendah aktivitas labi-labi akan terganggu (Kairuman & Amri 2000). Hasil pengukuran suhu udara di lokasi labi-labi tertangkap disajikan pada Tabel 9 berikut :

Tabel 9 Suhu udara minimum, maksimum dan rataan pada lokasi pengamatan

No. Nama Lokasi Suhu udara (

0C) Frekuensi

Labi-labi Tertangkap Minimum Maksimum Rataan

1 Danau Pehun 31 33 32 4 2 Danau Sangomang 31 33 32 2 3 Danau Tahai 29 33 31 4 4 Danau Tintu 31 31 31 8 5 Sungai Rungan 28 32 29,05 21 6 Sungai Sangomang 31 33 32,13 8 7 Sungai Tahai 30 33 31,57 7 8 Sungai Bangamat 30 32 30,83 6

Berdasarkan Tabel diatas, suhu udara minimum, maksimum dan rataan harian dari beberapa areal terdapat perbedaan. Pada areal yang memiliki suhu lebih tinggi mungkin kondisi tersebut disebabkan oleh penutupan vegetasi yang jarang sehingga radiasi matahari yang sampai dipinggiran perairan lebih besar. Tingginya penerimaan radiasi matahari ini menyebabkan pemanasan udara di atasnya sehingga meningkatkan suhu udara rataan harian dan suhu udara maksimumnya (Rushayati & Arief 1997).

Suhu merupakan salah satu komponen fisik habitat yang dapat mempengaruhi kehidupan satwaliar termasuk labi-labi. Pada umumnya temperatur berpengaruh terhadap perilaku dan ukuran tubuh satwaliar (Alikodra, 2002). Labi-labi termasuk hewan berdarah dingin, yang artinya suhu tubuhnya tidak tetap, tetapi berubah-ubah mengikuti suhu lingkungan di sekitarnya. Perubahan suhu lingkungan dapat mempengaruhi aktivitas satwa tersebut. Kairuman dan Amri (2002) menyatakan bahwa labi-labi bersifat lebih aktif pada suhu tinggi dan pada suhu rendah bersifat kurang aktif.

(7)

Gambar 5 Sebaran jumlah labi-labi panenan menurut kelas suhu udara di Kecamatan Bukit Batu.

5.1.2.3 Suhu Air

Hasil pengukuran suhu perairan di lokasi labi-labi tertangkap disajikan pada Tabel 10 berikut:

Tabel 10 Suhu permukaan perairan minimum, maksimum dan rataan pada lokasi pengamatan

No. Nama Lokasi Suhu air (

0C) Frekuensi

Labi-labi Tertangkap Minimum Maksimum Rataan

1 Danau Pehun 28 29 28,5 4 2 Danau Sangomang 26 27 26,5 2 3 Danau Tahai 27 28 27,5 4 4 Danau Tintu 27 28 27,8 8 5 Sungai Rungan 26 28 26,7 21 6 Sungai Sangomang 26 28 26,6 8 7 Sungai Tahai 27 28 27,3 7 8 Sungai Bangamat 27 28 27,2 6

Pengukuran suhu air di lokasi ditemukannya labi-labi berkisar 260C sampai 290C. Labi-labi paling banyak ditemukan pada suhu 260C sampai 270C (66,67%) (Gambar 6). Kondisi ini lebih rendah dari habitat labi-labi di Palembang yaitu 280C sampai 330C dan lebih tinggi dari habitat labi-labi di Bengkulu yaitu 240C sampai 250C (Kasmirudin 1998). Satwaliar yang hidup di dalam air mempunyai toleransi yang sempit terhadap suhu jika dibandingkan dengan satwaliar yang hidup di darat. Kairuman dan Amri (2002) menyebutkan bahwa suhu merupakan faktor penting dalam kehidupan labi-labi karena dapat mempengaruhi

28‐29 30‐31 32‐33 15 26 19 Jum lah l abi -l abi (ekor ) Suhu udara (0C)

(8)

metabolisme. Jika suhu air rendah, derajat metabolisme akan rendah, begitu pula sebaliknya. Derajat metabolisme tersebut sangat berpengaruh terhadap kebutuhan oksigen dan akan sebanding dengan kenaikan suhu air. Alikodra (2002) menyatakan bahwa organisme yang mengalami stres akan menyebabkan terganggunya sistem reproduksi mereka.

Gambar 6 Sebaran jumlah labi-labi panenan menurut kelas suhu perairan di Kecamatan Bukit Batu.

5.1.2.4 Kelembaban Udara Nisbi

Hasil pengukuran kelembaban udara nisbi pada titik labi-labi tertangkap disajikan pada Tabel 11.

Tabel 11 Kelembaban udara minimum, maksimum dan rataan pada lokasi pengamatan

No. Nama Lokasi Kelembaban (%) Frekuensi Labi-labi

Tertangkap Minimum Maksimum Rataan

1 Danau Pehun 40 46 43 4 2 Danau Sangomang 62 63 62,5 2 3 Danau Tahai 42 73 54,6 4 4 Danau Tintu 60 62 60,6 8 5 Sungai Rungan 60 66 62,6 21 6 Sungai Sangomang 60 70 63,6 8 7 Sungai Tahai 52 70 64,3 7 8 Sungai Bangamat 60 63 61,8 6

Labi-labi paling banyak ditemukan pada kelas kelembaban 61% sampai 70% (71,67% atau 43 titik), kemudian pada kelas kelembaban 51% sampai 60% (18,33% atau 11 titik), dan yang terendah pada kelas kelembaban dibawah 50%

26‐27 28‐29 40 20 Jum lah l abi -l abi (ekor) Suhu air (0C)

(9)

(10% atau 6 titik) (Gambar 7). Penentuan jenis kelamin tukik kura-kura dipengaruhi oleh suhu dan kelembaban sarang. Kelembaban akan menentukan pertukaran gas antara telur dengan lingkungan, mempengaruhi penyerapan kuning telur dan pertumbuhan embrio. Bertelur pada saat yang disesuaikan membuat inkubasi berpeluang aman, menghindari tergenangnya sarang dan kematian embrio berikutnya (Ferreira 2009).

Gambar 7 Sebaran jumlah labi-labi panenan menurut kelas kelembaban di Kecamatan Bukit Batu.

5.1.3 Peubah Determinan Keberadaan Labi-labi Panenan

Berdasarkan hasil analisis regresi logistik biner, dari 8 (delapan) variabel biofisik, ada satu variabel tereliminasi dari model regresi dikarenakan adanya multikolinearitas. Di dalam penelitian ini ditemukan adanya korelasi yang kuat antara variabel elevasi dengan kelembaban yaitu -0,756. Angka korelasi negatif menunjukkan bahwa semakin tinggi elevasi maka kelembaban akan semakin rendah. Angka t hitung dari variabel elevasi (2,869) lebih besar dari t hitung dari variabel kelembaban (0,134), yang menunjukkan bahwa variabel elevasi lebih kuat pengaruhnya terhadap keberadaan labi-labi daripada variabel kelembaban. Karena itu variabel kelembaban dikeluarkan dari model. Model merupakan simplikasi atau penyederhanaan dari proses yang terjadi di alam. Analisis regresi logistik biner menghasilkan model regresi dengan tujuh variabel yang tidak terjadi multikolinearitas. 40‐50 51‐60 61‐70 6 11 43 Jum lah l abi -l abi (ekor) Kelembaban (%)

(10)

Penghitungan nilai variabel determinan dengan taraf kepercayaan 95%, menghasilkan konstanta regresi logistik biner sebesar 58,784. Koefisien regresi masing-masing peubah determinan labi-labi yang tertangkap dan taraf signifikansinya sebagaimana disajikan pada Tabel 12.

Tabel 12 Taraf signifikansi dan koefisien regresi peubah determinan

No. Variabel determinan Koefisien regresi Signifikansi

1 Kecepatan arus -5,856 0,000

2 Suhu udara -1,609 0,000

3 Suhu air -0,325 0,016

4 Elevasi/ketinggian tempat -0,072 0,000

Konstanta 58,784 0,000

Model regresi logistik biner yang berpengaruh terhadap peluang labi-labi yang tertangkap adalah sebagai berikut :

Z = 58,784 + (-5,856) X1(kecepatan arus) + (-1,609) X2(suhu udara) + (-0,325) X3(suhu air) + (-0,072) X6(elevasi)

, , , , ,

1 , , , , ,

Koefisien regresi suatu model matermatika menunjukkan hubungan antara variabel bebas dengan variabel terkait. Model matematika yang terbentuk dalam penelitian ini menjelaskan hubungan antara kecepatan arus, suhu udara, suhu air dan elevasi dengan peluang tertangkapnya labi-labi. Koefisien regresi variabel kecepatan arus sebesar -5,856 menunjukkan bahwa kecepatan arus suatu sungai atau danau semakin rendah, peluang tertangkapnya labi-labi pun semakin tinggi. Koefisien regresi variabel suhu udara sebesar -1,609 dapat diinterpretasikan bahwa semakin tinggi suhu udara maka semakin rendah peluang tertangkapnya labi-labi. Koefisien regresi variabel suhu air sebesar -0,325 menjelaskan bahwa semakin tinggi suhu air maka semakin rendah peluang tertangkapnya labi-labi begitupula dengan interpretasi yang sama terhadap nilai koefisien regresi variabel elevasi sebesar -0,072.

Hasil uji Hosmer and Lemeshow dengan signifikansi sebesar 0.240 (> 0,05) menunjukkan variabel prediktor yang dipergunakan cocok (fit) dengan model yang disusun. Nilai Negelkerke R2 0,688 (68,8%) menunjukkan bahwa variasi dari

(11)

arus, suhu udara, suhu air dan ketinggian tempat sebesar 68,8% atau variabel bebas yang digunakan dalam model mampu menjelaskan 68,8% variasi dependen (Z), sedangkan sisanya 31,2% dipengaruhi oleh variabel lain yang tidak dimasukkan dalam model penelitian ini.

Kecepatan arus mempengaruhi pergerakan labi-labi, berpotensi membatasi pergerakan individu yang lebih kecil (tukik dan remaja) (Carreare et al. 2009), sehingga peluang tertangkapnya labi-labi akan semakin tinggi pada sungai atau danau yang berarus tenang/lambat dan lebih mudah didapatkan labi-labi dewasa. Labi-labi memerlukan lumpur didasar perairan sebagai tempat berlindung (Ernst & Barbour 1989), pada perairan yang berarus lambat kebutuhan berlindung dapat terpenuhi karena substrat dasar perairan tidak dapat hanyut terbawa arus. Suhu udara dan suhu perairan mempengaruhi metabolisme labi-labi (Kairuman & Amri 2002), karena labi-labi memiliki toleransi yang sempit terhadap suhu jika dibandingkan dengan satwa yang hidup di darat. Elevasi merupakan faktor topografi yang berpengaruh terhadap tipe perairan. Tipe perairan yang sangat disukai labi-labi adalah perairan tenang dengan dasar berlumpur (Rooij 1970; Nutaphand 1979; Ernst & Barbour 1989).Tipe perairan tersebut banyak terdapat di dataran rendah, sehingga semakin rendah dan datar suatu habitat maka peluang tertangkapnya labi-labi semakin tinggi.

5.1.4 Penggunaan Habitat oleh Labi-labi Panenan Menurut Tipe Penutupan Lahan

Banyaknya titik labi-labi tertangkap (presence points) dari sebaran penggunaan habitat menurut tipe penutupan lahan selama penelitian sebanyak 60 titik. Keseluruhan jumlah titik ini digunakan dalam menganalisis komponen habitat yang berpengaruh penting terhadap keberadaan labi-labi panenan. Hasil analisis klasifikasi penutupan lahan di buffer 1 km2 dari titik labi-labi tertangkap diperoleh 6 (enam) kelas penutupan lahan yaitu rawa, sungai, semak belukar, pemukiman, kebun campuran, dan lahan terbuka. Pada lokasi ini, semak belukar memiliki proporsi luas paling besar yaitu mencakup 72,11% dari total luas buffer yang dibuat, diikuti oleh pemukiman13,02%, sungai 11,14%, rawa 2,95%, lahan terbuka 0,61%, dan kebun campuran 0,18 %. Tipe penutupan lahan di sekitar titik penangkapan disajikan pada Tabel 13 berikut.

(12)

Tabel 13 Tipe penutupan lahan di sekitar titik penangkapan

Tipe Penutupan Lahan

Luas (Ha) Persentase (%) Jumlah Titik Labi-labi Tertangkap Persentase (%) Rawa 548.38 2,95 18 30 Sungai 2,068.67 11,14 42 70 Semak belukar 13,388.93 72,11 0 0 Pemukiman 2,416.77 13,02 0 0 Kebun campuran 33.12 0,18 0 0 Lahan terbuka 112.49 0,61 0 0 Total 18,568.36 60

Sehubungan dengan proporsi sebaran penggunaan habitat oleh labi-labi panenan di berbagai tipe tutupan lahan, diduga labi-labi melakukan seleksi dalam menempati habitatnya. Penggunaan habitat oleh labi-labi panenan memiliki hubungan yang signifikan dengan tipe tutupan lahan (P<0,05) yang secara lengkap disajikan pada Tabel 14. Hal ini mengindikasikan bahwa tipe tutupan lahan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi sebaran penggunaan habitat oleh labi-labi pada suatu tempat. Peta indikasi sebaran penggunaan habitat oleh labi-labi pada berbagai tipe tutupan lahan di lanskap Bukit Batu disajikan pada Gambar 8.

Tabel 14 Rekapitulasi perhitungan χ2 untuk uji signifikansi seleksi tipe tutupan lahan oleh labi-labi panenan

Tipe Habitat Luas (Ha) Proporsi (%) Frekuensi observasi (Oi) Frekuensi harapan (Ei) (Oi-Ei)2 / Ei Rawa 548.38 2,95 18 1,77 148,82 Sungai 2,068.67 11,14 42 6,68 186,75 Semak belukar 13,388.93 72,11 0 43,27 43,27 Pemukiman 2,416.77 13,02 0 7,81 7,81 Kebun campuran 33.12 0,18 0 0,11 0,11 Lahan terbuka 112.49 0,61 0 0,37 0,37 Total 18,568.36 60 387,13 Keterangan :

(13)

Ga

m

bar 8 Tutupan lahan di sekitar lokasi pena

ngkapan labi-labi di Kecam

(14)

Ketersediaan sumber pakan merupakan salah satu syarat habitat bagi satwaliar. Sungai memiliki lebih tinggi produktivitas primer sebagai sumber pakan (Ryder & Pesendorfer 1986; Randall et al. 1995 dalam Carriere et al. 2009), karenanya labi-labi lebih menyukai habitat sungai. Labi-labi juga terdapat di rawa mati yang terhubung dengan sungai (pond), masyarakat lokal biasa menyebutnya danau. Rawa ini digunakan labi-labi sebagai tempat mencari makan karena banyak ikan dan hewan air lainnya yang terjebak di kawasan ini pada saat musim kering. Pinggiran sekitar sungai dan rawa didominasi oleh semak belukar yang digunakan sebagai breeding site.

5.2 Parameter Demografi Populasi Panenan 5.2.1 Ukuran Populasi

Jumlah labi-labi di setiap pemancing bervariasi antara 1-30 ekor. Jumlah tangkapan labi-labi berbeda dikarenakan bervariasinya kondisi perairan yang digunakan untuk memancing. Menurut para pemancing saat penelitian ini dilakukan bukan merupakan waktu puncak panen labi-labi dikarenakan air sungai masih dalam dan berarus deras sehingga menyulitkan pemancingan. Jumlah labi-labi di pengumpul bervariasi antara 4-236 ekor. Menurut pengumpul yang hanya memiliki 4 ekor labi-labi, menyatakan bahwa stok yang dimiliki sedikit dikarenakan belum adanya pesanan labi-labi. Hasil analisis parameter demografi populasi panenan di tingkat pemancing dan pengumpul disajikan dalam Tabel 15. Tabel 15 Peubah parameter demografi populasi panenan labi-labi di pemancing

dan Pengumpul

Tingkat Panenan Ukuran Populasi Jantan Betina Remaja Jenis Kelamin Dewasa Kelas Umur Muda Dewasa

Pemancing Pc1 30 11 17 0 2 28 Pc2 1 1 0 0 0 1 Pc3 4 1 3 0 0 4 Pc4 1 0 1 0 0 1 Pc5 7 3 4 0 0 7 Pc6 1 0 1 0 0 1 Pc7 1 0 1 0 0 1 Pc8 4 3 0 0 1 3 Pc9 9 2 3 2 2 5 Pc10 1 - - 0 1 0

(15)

Tabel 15 Lanjutan

Tingkat Panenan Ukuran Populasi Jantan Betina Remaja Jenis Kelamin Dewasa Kelas Umur Muda Dewasa

Pc11 1 0 1 0 0 1

Pengumpul

P1 236 - - 0 0 236

P2 4 2 1 0 1 3

P3 145 - - 0 0 145

Pendekatan estimasi kelimpahan panenan labi-labi yang digunakan adalah menghitung kelimpahan relatif labi-labi per kilometer sungai dibagi hari kerja. Berdasarkan usaha penangkapan, jumlah tangkapan labi-labi di habitat danau dan sungai ternyata bervariasi, hal ini dapat dilihat pada Tabel 16.

Tabel 16 Jumlah tangkapan labi-labi menggunakan pancing di lokasi pengamatan

Lokasi Hari Kerja Jumlah Tangkapan Panjang Jalur (km) Kelimpahan (ind/km) Danau Pehun 3 4 2,25 1,78 Danau Sangomang 1 2 1,75 1,14 Danau Tahai 4 4 5 0,8 Danau Tintu 3 8 5,25 1,52 Sungai Rungan 6 21 21 1,00 Sungai Sangomang 8 8 6 1,33 Sungai Tahai 5 7 6,25 1,12 Sungai Bangamat 6 6 7,5 0,8 Total 36 60 55 1,09

Data pada Tabel 16 mengindikasikan bahwa peluang untuk menangkap seekor labi-labi ternyata cukup kecil. Dari 36 hari pemancingan pada berbagai lokasi, dengan waktu pemancingan yang relatif lama (rata-rata 12 jam per hari) dan jumlah mata pancing cukup banyak (rata-rata 70 mata pancing), hanya dihasilkan 60 ekor labi-labi.

Mengingat tingginya variasi pada upaya pemancingan (lama pemancingan, jumlah mata pancing, panjang wilayah yang dipancing), sesungguhnya data yang dikumpulkan belum dapat menggambarkan kondisi populasi labi-labi di lokasi pengamatan. Perhitungan selanjutnya di bawah ini, mengenai estimasi kelimpahan panenan dan keberhasilan penangkapan merupakan hasil pendugaan kasar yang memerlukan pengulangan pada masa mendatang.

(16)

Hasil pengamatan di lapangan diketahui bahwa selama 36 hari pemancingan pada habitat sungai dan danau di Kecamatan Bukit Batu sepanjang 55 km dapat diperoleh 60 ekor labi-labi. Dengan asumsi bahwa upaya penangkapan (capture effort) konstan, maka selama 1 bulan pemancingan pada sungai sepanjang 1 km dapat diperoleh angka estimasi kelimpahan panenan 0,91 ekor labi-labi.

Berdasarkan penghitungan panjang sungai di peta, diketahui bahwa panjang sungai yang menjadi habitat tangkap labi-labi adalah 574,28 km. Jika diasumsikan bahwa seluruh habitat tangkap ini dihuni oleh labi-labi, maka dengan menggunakan angka estimasi kelimpahan panenan 0,91 ekor/km/bulan, diperoleh estimasi kelimpahan panenan labi-labi perbulan sebanyak 523 ekor. Jika diekstrapolasikan, maka total panenan yang bisa dihasilkan mencapai >5.000 individu/tahun (6.276 individu). Angka ini merupakan jumlah labi-labi yang dapat dihasilkan dari wilayah Kalimantan Tengah bagian selatan yang meliputi anak Sungai Kahayan, Sungai Katingan, Sungai Mentaya dan anak sungai Seruyan. Sementara itu, kuota tangkap untuk Kalimantan Tengah selama 1 tahun adalah 2.500 ekor, mengingat bahwa estimasi produksi di wilayah ini adalah 6.276 individu/tahun, maka persentase kuota yang diperbolehkan sekitar 39,83% (2.500 dari 6.276 ekor).

Penelitian tentang populasi labi-labi panenan telah dilakukan di beberapa provinsi yang menjadi wilayah sebaran labi-labi di Indonesia. Studi pemanenan dan perdagangan labi-labi di Kalimantan Timur yang dilakukan selama 17 hari pemancingan pada sungai sepanjang 10,57 km diperoleh angka estimasi produksi 1,17 ekor/km/bulan, diasumsikan 80% dari habitat kunci sepanjang 482,34 km dihuni labi-labi maka memberikan angka estimasi populasi panenan sebanyak 451 ekor/bulan (Kusrini et al. 2009). Hasil penelitian Ginting (2012) di Jambi menyatakan estimasi kelimpahan labi-labi panenan di satu pedagang 123,34 ekor/bulan. Mumpuni dan Riyanto (2010) dalam surveinya di tiga provinsi menyebutkan estimasi kelimpahan di Sumatera Selatan adalah 70,54 ekor/bulan, di Riau 60,89 ekor/bulan, dan di Jambi 74,09 ekor/bulan.

(17)

5.2.2 Struktur Populasi

Pada tingkat pengumpul 99,74% (n=385) labi-labi panenan merupakan kelas umur dewasa, hanya di pengumpul 2 (P2) terdapat labi-labi kelas umur dewasa muda. Pada pengumpul 1 (P1) dan pengumpul 3 (P3) 100% labi-labi panenan merupakan kelas umur dewasa, hanya di pengumpul 2 (P2) terdapat labi-labi kelas umur dewasa muda (25%). Di tingkat pemancing (Pc) ditemukan kelas umur remaja sebesar 5% (n=60) (Gambar 9 a).

Gambar 9 (a). Struktur populasi panenan labi-labi di pemancing dan pengumpul berdasarkan kelas umur. (b). Struktur populasi panenan labi-labi di tingkat pemancing berdasarkan kelas umur.

Pengumpul P1 dan P2 hanya menerima labi-labi pada kelas umur dewasa yang dibatasi berbobot di atas 3 kg dikarenakan untuk mengurangi resiko kematian. Pengumpul ini merupakan agen yang mengirimkan labi-labinya ke eksportir di Banjarbaru Kalimantan Selatan. Cara kerja yang mereka lakukan adalah dengan mendatangi pemancing-pemancing yang berada di sepanjang sungai Seruyan untuk membeli labi-labi langsung dari pemancing yang dikumpulkan di rumah bagan yang mereka tempati. Sebulan sekali mereka kirimkan barangnya ke Banjarbaru. Kedua pengumpul ini tidak memiliki ijin tangkap dan edar dari BKSDA Kalimantan Tengah, jadi selama ini tidak ada pencatatan dan monitoring besarnya labi-labi yang keluar dari Kalimantan Tengah masuk ke Kalimantan Selatan. Hasil wawancara dengan pengumpul yang berada di kota Pangkalan Bun Kabupaten Kotawaringin Barat (A) menyatakan bahwa rata-rata berat labi-labi yang dikirim ke Banjarmasin Kalimantan Selatan adalah berkisar antara 500 kg – 1000 kg per bulan.

P1 P2 P3 Pc 0 25 0 8 100 75 100 87 Persentase  labi ‐labi  (%) Tempat pengukuran Remaja Dewasa  muda Dewasa 21 0 31 -40 -20 0 20 40 Tukik Remaja Dewasa Muda Dewasa Betina Jantan

(18)

Pengumpul P2 merupakan pengumpul yang berada di Kota Palangkaraya yang pada saat penelitian hanya memiliki 4 ekor labi-labi. Pengumpul ini merupakan pengumpul yang justru mendapatkan ijin tangkap dan edar dari BKSDA Kalimantan Tengah. Alasannya tidak menerima labi-labi lagi adalah karena belum adanya permintaan dari pelanggannya yang berada di Jakarta. Menurut keterangan para pengumpul, pemilihan labi-labi hanya pada kelas umur dewasa yang biasa diterima adalah yang berbobot di atas 3 kg dikarenakan untuk mengurangi resiko kematian yang lebih tinggi. Terhadap labi-labi muda yang tertangkap pancing, biasanya oleh para pemancing dilepaskan lagi atau bagi pemancing yang bersuku dayak digunakan untuk konsumsi sendiri.

Struktur umur labi-labi dibedakan atas kelas umur tukik, remaja, dewasa muda dan dewasa. Jumlah labi-labi di setiap kelas umur tersebut dapat dilihat pada Tabel 17.

Tabel 17 Jumlah labi-labi panenan pada setiap kelas umur

Struktur Umur PLK (cm Jumlah labi-labi

Pemancing Pengumpul Total

Tukik ≤ 5,9 0 0 0

Remaja 6,0 – 19,9 3 0 3 Dewasa Muda 20 – 24,9 5 0 5

Dewasa ≥ 25 52 385 437

Total 60 385 445

Struktur populasi panenan berdasarkan kelas umur di tingkat pemancing menunjukkan kondisi populasi panenan didominasi kelas umur dewasa (52 ekor, n=60), dan terbanyak adalah betina dewasa (31 ekor). Hasil penelitian Ginting (2012) juga menyebutkan bahwa populasi labi-labi panenan didominasi kelas umur dewasa. Peluang hidup yang tinggi pada kelas umur dewasa menjadi penting bagi pertumbuhan populasi kura-kura (Heppel 1998 dalam Chacín 2010), jika pemanenan labi-labi terus dilakukan pada kelas umur dewasa maka dapat mengancam proses perkembangbiakan dan pemulihan populasinya di alam.

(19)

5.2.3 Nisbah kelamin

Labi-labi hasi tangkapan pemancing tidak semuanya dapat diketahui jenis kelaminnya. Kelas umur remaja dan dewasa muda (9 ekor) tidak dapat diidentifikasi jenis kelaminnya karena ukuran PLK < 25 cm. Labi-labi dapat dibedakan jenis kelaminnya setelah masuk usia dewasa yaitu yang memiliki panjang lengkung karapas lebih dari 25 cm. Hasil tangkapan selama penelitian, menunjukkan bahwa pemancing tidak membedakan jenis kelamin dalam menangkap labi-labi. Demikian juga hasil penelitian Walter (2009) dan Lilly (2010) di Kalimantan Barat, dimana masyarakat lokal baik dayak iban maupun melayu mengambil semua labi-labi yang tertangkap tanpa membedakan jenis kelaminnya.

Hasil penelitian ini menunjukkan presentase labi-labi jantan dewasa yang dipanen adalah 40,4% dan betina dewasa 59,6% dengan nisbah kelamin 1:1,47. Betina dewasa berpindah lebih jauh untuk bersarang (Carriere et al. 2009), sehingga diduga mengakibatkan semakin besarnya peluang betina dewasa untuk tertangkap. Nisbah kelamin optimal merupakan faktor yang sangat menentukan dalam pertumbuhan populasi, betina dewasa optimal penting untuk dijaga agar pertumbuhan populasi di alam masih dapat berjalan. Pembatasan pada ukuran tertentu untuk tidak dipanen harus dipatuhi oleh pemancing dan pengumpul sebagai stakeholder pemanfaat labi-labi. Kontrol pemanenan harus dilakukan oleh management authority dalam hal ini BKSDA Kalimantan Tengah.

5.2.4 Angka Kematian

Angka kematian (mortalitas) pada saat dilakukan penelitian hanya terjadi di satu pemancing di Kota Palangkaraya. Kematian satu ekor labi-labi terjadi pada bulan Mei 2012 saat populasi panenan berjumlah 30 ekor, sehingga angka kematian pada bulan tersebut adalah 3,33%. Jumlah kematian tersebut terhadap total jumlah populasi panenan di seluruh pemancing yang berjumlah 60 ekor adalah sebesar 1,67%. Kematian terjadi pada labi-labi dewasa dan tidak ada pada kelas umur tukik. Pemanenan masih bisa lestari jika telur dan kelas umur tukik dijaga dan tidak dimanfaatkan. Ginting (2012) menghitung angka kematian panenan di lokasi

(20)

pengumpulan di Jambi sebesar 3,23% dari total populasi panenan 743 ekor.Kusrini et al. (2009) menyebutkan angka kematian di lokasi pengumpulan di Kalimantan Timur sebesar 2,01% dari total populasi panenan sebesar 526 ekor, sementara Lilly (2010) menyebutkan angka kematian sebesar 15% di tingkat pengumpul di Kabupaten Sambas dan Ketapang Kalimantan Barat. Kematian yang terjadi di Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat disebabkan oleh luka akibat bekas pemancingan, berbeda dengan hasil penelitian Ginting (2012) yang menyatakan bahwa kematian labi-labi di tingkat pengumpul di Jambi diakibatkan oleh padatnya kolam penampungan sehingga terjadi perkelahian antar labi-labi.

5.2.5 Morfometri

Pada penelitian ini diketahui labi-labi pada kisaran berat antara 5,1 kg – 15 kg masih dilakukan pemanenan (pemancing 35%, n=60; pengumpul 7,8%, n=385). Kisaran berat ini oleh pengumpul dijual untuk kebutuhan masyarakat lokal karena tidak diterima oleh eksportir. Berdasarkan kebijakan yang mengatur penangkapannya di alam, ukuran labi-labi yang diperbolehkan ditangkap adalah individu dengan berat kurang dari 5 kg dan lebih dari 15 kg karena diasumsikan pada kisaran berat antara 5 kg – 15 kg individu labi-labi berada pada umur reproduksi yang optimal. Kebijakan ini digunakan sebagai salah satu rambu untuk mengontrol pemanenan labi-labi di alam. Kontrol pemanenan labi-labi di Kalimantan Tengah masih kurang dilakukan karena sebagian besar kelas umur labi-labi dimanfaatkan baik untuk kebutuhan lokal dan kebutuhan ekspor.

Bila dilihat dari struktur populasi panenan berdasarkan berat badan, terlihat bahwa jumlah labi-labi berbobot kecil lebih banyak daripada labi-labi berbobot besar. Hal ini berlaku pada labi-labi hasil tangkapan dan labi-labi di pengumpul, dimana ukuran populasi panenan tersebut didominasi pada ukuran dibawah 5 kg. Kecenderungan hasil panenan labi-labi di Kabupaten Sambas dan Ketapang Kalimantan Barat juga didominasi labi-labi berbobot di bawah 5 kg (Lilly 2010), berbeda halnya dengan labi-labi yang dipanen di Kalimantan Timur bagian utara (Kaltara) yang didominasi pada kisaran berat antara 5,5 – 13,5 kg (Kusrini et al. 2009). Hasil pengukuran morfometri labi-labi panenan disajikan pada Tabel 18.

(21)

Tabel 18 Hasil pengukuran morfometri labi-labi di Kalimantan Tengah

Lokasi Pengukuran Massa (kg) PLK (cm)

Kisaran Rata2 ± SD Kisaran Rata2 ± SD

Pemancing (n=60) 0,6 - 20 6,6 ± 5,16 18 - 70 36,4 ± 12,3

Pengumpul 1 (n=236) 2 - 40 7,5 ± 7,1 29 - 72 40,7 ± 8,3

Pengumpul 2 (n=4) 3,5 - 10 6,6 ± 2,69 24 - 33 29,5 ± 8,7

Pengumpul 3 (n=145) 3 - 32 10,4 ± 8,12 35 - 61 41,5 ± 7,95

Gambar 10 (a) Proporsi populasi panenan berdasarkan bobot tubuh di tingkat Pemancing. (b) Proporsi populasi panenan berdasarkan bobot tubuh di tingkat pengumpul.

Analisis yang dilakukan pada peubah morfometri menghasilkan kesimpulan bahwa bobot tubuh labi-labi hasil tangkapan di habitat sungai dan habitat danau tidak berbeda nyata, begitu juga untuk ukuran Panjang Lengkung Karapas (PLK) (Tabel 19). 0 10 20 30 40 < 1 kg 1 - 5 kg 5.1 - 10 kg 10.1 - 15 kg 15.1 - 20 kg 3 31 13 8 5 Jumlah individu 0 50 100 150 200 250 300 2 - 5 kg 5.1 - 10 kg 10.1 - 15 kg 15.1 - 20 kg 20.1 - 40 kg 281 22 8 106 25 Jumlah Individu

(22)

Tabel 19 Hasil analisis morfometri pada tipe habitat danau dan sungai Peubah

Rata-rata hasil pengukuran

Hasil Uji Kolmogorov-Smirnov

Danau Sungai Probabilitas Kesimpulan

N 18 42

Bobot tubuh 0,609 Ho diterima

PLK 0,431 Ho diterima

5.2.6 Teknik Pemanenan

Kriteria tempat pemasangan pancing yang biasa dilakukan para pemancing adalah di tepi sungai yang arus airnya tenang tidak deras, warna airnya agak keruh, dengan kedalaman sedang antara 1,5 – 2 m, terdapat pohon besar dipinggir sungai dimana akarnya digunakan sebagai tempat sembunyi labi-labi atau di danau dan rawa-rawa yang terdapat tumbuhan pelindung seperti eceng gondok, bakung. Hampir semua responden melakukan pemancingan labi-labi melalui jalur sungai, sejak awal menuju lokasi ditempuh dengan menggunakan transportasi air yang disebut perahu ces yang biasanya ditumpangi oleh 1-2 orang. Pancing di pasang dari atas perahu pada tepi sungai dengan jarak tertentu. Cara menempuh lokasi pemancingan ini berbeda dengan hasil survei di Kalimantan Timur yang menyatakan bahwa pemancing melalui jalur sungai dan jalur darat (sepeda motor, mobil) (Kusrini et al. 2009).

Modal yang dikeluarkan selama 1 kali berangkat Rp 30.000,- untuk areal tangkap yang dekat dan menggunakan perahu ces milik pribadi. Apabila berangkat sendiri ke lokasi tangkap yang jauh, modal untuk sekali berangkat antara Rp 400.000,- (tanpa keluarga) dan mencapai Rp. 600.000,- (dengan keluarga). Biasanya bila berangkat memancing ke daerah hulu/mudik dengan waktu selama ± 15 hari maximum pendapatan labi-labi sekitar 10 ekor dengan jumlah kg sekitar 80 kg. Sedangkan pendapatan minimal sekitar 7 ekor dengan jumlah sekitar 28 kg. Rata-rata labi-labi yang didapatkan sekali memancing di daerah kuala pembuang 2-5 ekor dengan jumlah mata banjur sekitar 70 mata banjur untuk sekali pasang/ sekali membanjur (memancing).

(23)

Alat tangkap yang digunakan antara lain: a) Pancing /banjur

Pancing/banjur yang terdiri dari tali yang panjangnya ± 5 m – 10 m,dan mata banjurnya yang terbuat dari kawat ukuran no 6. Untuk pemasangan banjur ini di pasang mulai pukul 13.00 WIB -14.00 WIB, kemudian di ambil besok pagi sekitar pukul 06.00 WIB.

b) Rawai

Rawai ini terbuat dari tali yang panjangnya sampai sekitar 50 m atau lebih dan mata banjur , untuk pemasangan rawai ini dengan menyeberang sungai artinya untuk pemasangannya ini ujung tali satu di ikatkan di pinggir sungai kemudian ujung talinya di ikatkan di seberang sungai, sedangkan pada tali yang berada di tengah sungainya di beri batu atau karung pasir agar tali dan mata banjur tenggelam sampai dasar sungai. Pemasangannya dilakukan pada sore hari pukul 15.30 wib, dan di ambil besok paginya sekitar pukul 06.00 wib. Jumlah mata pancing pada rawai ini biasanya sekitar 50-100 mata banjur tergantung panjang dan lebar tali dan sungainya.

c) Rempa

Rempa ini sejenis jaring ikan juga, tetapi cara penggunaannya dengan cara ujung rempa di tarik ke tengah sungai atau danau kemudian setelah cukup lama lalu ujung satu dengan ujung satunya ditemukan ( dengan cara melingkar) tujuannya agar labi-labinya terkurung. Kalau di sungai yang ada pasir atau gosong yang tinbul di sekitar sungai itu maka rempa ini setelah di lakukan pemasangan seperti diatas kemudian rempa ini kita tarik dan kita naikan ke atas pasir untuk memperoleh labi-labi atau ikan.

d) Kalang

Kalang berbentuk kotak/segi empat, terbuat dari rangkaian kayu bulat dan tali yang di buat seperti jaring kemudian di pasang dan di satukan berbentuk kotak, pemasangan dilakukan di tempat yang banyak rerumputan yang ada di pinggir sungai ataupun danau biasanya di umpan dengan ikan busuk. Untuk pemasangan di pasang pada pagi atau sore hari, diperiksa keesokan harinya.

(24)

e) Taut

Sejenis pancing dengan panjang tali sekitar 3 m, ketebalan 2 mm, menggunakan mata pancing nomor 11, dipasang dengan ditautkan ke pohon di pinggir sungai atau diikatkan pada tumbuhan air yang tumbuh di atas danau. f) Lapak

Pancing menggunakan bambu dengan panjang ± 1 m, menggunakan senar 2,5 mm dan mata pancing nomor 11, dipasang dipinggir-pinggir sungai dengan ditancapkan.

Waktu yang mudah untuk penangkapan labi-labi menurut pemancing adalah pada musim banjir dengan menggunakan alat tangkap taut atau lapak dengan umpan daging ayam segar atau ikan toman segar yang dipotong-potong dan pada musim kemarau menggunakan kayu atau besi yang ditusukkan ke lumpur untuk mengetahui keberadaan labi-labi. Apabila ditemukan, labi-labi dapat diambil dengan menggunakan gancu atau ditusuk bagian belakang/ samping agar labi keluar dari sarangnya. Metode yang sama dilakukan juga di wilayah lain dimana terdapat aktivitas pemanenan labi-labi dari habitat alaminya (Kusrini et al. 2009; Lilly 2010; Mumpuni & Riyanto 2010; Mumpuni et al. 2011; Ginting 2012).

(25)

Menurut informasi dari pemancing, labi-labi lebih cepat didapatkan pada hari setelah turun hujan. Pemasangan pancing atau banjur dilakukan pada saat mendung dan setelah turun hujan pancing atau banjur diperiksa kembali, dan biasanya labi-labi mudah didapatkan. Hal ini ternyata sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Jensen dan Das (2008) yang menyatakan bahwa labi-labi lebih banyak ditangkap pada saat mendung, yang mengindikasikan bahwa cuaca mendung lebih banyak dilakukan untuk aktifitas berpindah dan mencari makan.

Umpan yang digunakan oleh setiap pemancing bervariasi. Di desa Pematang Limau, seorang pemancing menggunakan ayam sebagai umpan. Ayam diperoleh dari membeli, dengan harga satu kilo ayam negeri Rp.28.000, ayam diiris-iris dengan ukuran sekitar dua jari. Para pemancing yang menggunakan perahu biasanya menggunakan ikan toman dan baung sebagai umpan. Ikan ini didapat dengan cara memancing di sungai-sungai sepanjang daerah pemancingan.

Di Kecamatan Bukit Batu, sebagian besar pemancing menyebutkan bahwa lele merupakan umpan favorit untuk memancing labi-labi. Lele memiliki bau amis yang tajam dan labi-labi menyukainya. Selain ayam dan ikan, pemancing juga menggunakan daging primata sebagai umpan. Daging primata yang biasa digunakan adalah monyet ekor panjang. Daging monyet ekor panjang diperoleh dengan cara ditembak menggunakan senapan rakitan lalu dikuliti dan dipilah dagingnya sebagai umpan. Menurut para pemancing, daging segar jenis primata, unggas dan aves yang masih memiliki darah sangat disukai labi-labi karena bau amis darahnya. Umpan yang sama juga digunakan ditempat lain dimana terdapat aktivitas pemanenan labi-labi di habitat alaminya (Kusrini et al. 2009); Lilly 2010).

(26)

Tempat penyimpanan labi-labi di 3 pengumpul berbeda-beda. Pada pengumpul 1 dan 2, labi-labi yang diterima dari pemancing disimpan di dalam bak-bak penampungan yang terbuat dari semen permanen. Bak-bak tersebut diisi air ±0,3 m agar labi-labi tidak dapat lompat keluar dari bak. Di tempat penampungan milik pengumpul 1 terdapat 5 bak penampungan dengan ukuran masing-masing (2 x 3 x 0,5) m. Di penampungan milik pengumpul 2 terdapat 3 bak penampungan dengan ukuran masing-masing (3 x 3 x 1) m. Pengumpul 3 menyimpan labi-labi pada kotak yang terbuat dari kayu, dengan ukuran (2 x 3 x 1,5) m. kotak penyimpanan diletakkan dipinggir sungai yang berada didekat rumah terapung (lanting) miliknya. Setengah bagian kotak tersebut berada di atas permukaan air, dan setengahnya lagi berada di bawah permukaan. Hal tersebut memberikan ruang bernafas labi-labi yang disimpan didalamnya. Labi-labi hanya diletakkan begitu saja tidak diberikan perlakuan apapun, berbeda yang dilakukan pengumpul di Jambi. Ginting (2012) menyatakan bahwa salah satu pengumpul di Jambi melakukan pembesaran labi-labi di kolam penampungan. Labi-labi berukuran kecil dipelihara hingga mencapai ukuran super yang harga jualnya lebih tinggi. Bak-bak penyimpanan tersebut dapat dilihat pada Gambar 13.

Gambar 13 Bak penampungan dan kotak penyimpanan labi-labi di penampung. 5.2.7 Alur perdagangan

Alur perdagangan labi-labi di Kalimantan Tengah terdiri dari 3 tingkatan yaitu; (1) pemancing/penangkap; (2) pengumpul; dan (3) penampung. Pemancing merupakan orang yang mencari langsung labi-labi di habitat alam. Para pencari juga biasanya bekerja sebagai nelayan pencari ikan (tidak bekerja secara khusus sebagai pencari labi-labi). Pengumpul adalah orang yang menerima labi-labi

(27)

secara langsung dari para pemancing, namun terkadang juga mereka menjemput labi-labi panenan pemancing di lokasi. Para penampung biasanya mempunyai pengumpul khusus yang bekerja dan menyuplai kura-kura. Penampung merupakan orang yang menjadi perantara para pemancing dan pengumpul dengan eksportir. Eksportir yang menerima labi-labi pasokan dari Kalimantan Tengah adalah eksportir dari Kota Banjarbaru, Pontianak, Balikpapan dan Medan. Letak eksportir yang jauh dari lokasi penangkapan labi-labi tidak memungkinkan para pemancing menjual langsung hasil tangkapannya kepada eksportir. Frekuensi pengangkutan labi-labi bergantung pada jumlah perolehan panenan yang dapat dikumpulkan oleh para penampung. Labi-labi akan diangkut jika jumlah yang ada di penampung minimal 1 pikul (± 100 kg).

Panjang pendeknya alur perdagangan menentukan motif dan jumlah tangkapan labi-labi oleh pemancing. Alur perdagangan di Kabupaten Seruyan menggunakan sistem jalur pendek, yaitu penampung juga sebagai pengumpul yang membeli langsung labi-labi ke pemancing dan setelah terkumpul minimal 1 pikul mereka langsung menjualnya ke eksportir di Kota Banjarbaru. Harga labi-labi di tingkat pemancing bisa menjadi lebih tinggi pada alur perdagangan ini, sehingga pemancing termotivasi untuk lebih banyak lagi menangkap labi-labi. Berbeda halnya di Kota Palangkaraya, alur perdagangan di sini menggunakan sistem jalur panjang, yaitu pemancing menjual ke pengumpul kemudian dijual lagi ke penampung kemudian dikirim ke eksportir di Jakarta, Pontianak atau Balikpapan. Harga yang ditawarkan pengumpul menjadi lebih rendah karena panjangnya alur perdagangan dan biaya transportasi yang semakin tinggi. Rendahnya harga jual labi-labi di Palangkaraya mengakibatkan pemancing tidak lagi menjadikan labi sebagai target pancingan utama dan hasil panenan labi-labi di Kota Palangkaraya lebih sedikit bila dibandingkan dengan hasil panenan di Kabupaten Seruyan.

Hasil pengumpulan data yang berasal dari pengiriman labi-labi oleh 3 (tiga) pengumpul di Kalimantan Tengah yang memiliki ijin selama tahun 2011 menunjukkan bahwa terdapat beberapa daerah utama penerima pasokan labi-labi dari Kalimantan Tengah yang ditunjukkan pada Gambar 14.

(28)

Gambar 14 Alur perdagangan labi-labi di Kalimantan Tengah.

Gambar 15 Volume labi-labi yang dikirim dari Kalimantan Tengah pada bulan Maret sampai dengan Nopember 2011.

Tabel 20 Harga labi-labi di tingkat pemancing dan pengumpul

No. Klasifikasi Ukuran (kg) Harga di Pemancing (Rp/kg) Harga di Penampung

(Rp/kg)

1 < 5 5.000 10.000 – 15.000

2 5 – 15 15.000 20.000 – 25.000

3 > 15 8.000 8.000 – 10.000

Jenis dan ukuran tubuh menentukan harga seekor labi-labi. Tabel 21 diatas memperlihatkan variasi harga untuk setiap klasifikasi ukuran. Ukuran 5-15 kg

0 100 200 300 400 500 600 700

Pontianak Medan Jakarta Balikpapan

684 281 275 19 Pontianak Eksportir Seruyan Pemancing/ Penampung Banjarmasin Pengumpul Eksportir Balikpapan Eksportir Jakarta Restoran/Pasar Palangkaraya Pemancing/ Pengumpul Katingan Pemancing/ Penampung Medan Eksportir

(29)

mempunyai harga yang paling tinggi yaitu di tingkat penampung mencapai Rp.25.000/kg. Menurut keterangan dari penampung bahwa variasi harga tersebut terkait dengan permintaan pasar terutama pasar ekspor. Nilai estetika pada saat penyajian mengakibatkan permintaan yang tinggi sementara ketersediaan ukuran tersebut semakin langka. Fluktuasi harga juga dijadikan sebagai alat untuk mengendalikan volume pembelian dari pemancing karena terkait dengan resiko atas kematian labi-labi yang akan ditanggung oleh pengumpul. Variasi harga antar pengumpul juga dijadikan sebagai alat persaingan antar pengumpul agar pemancing mau menjual labi-labi hasil tangkapannya kepada mereka.

Harga labi-labi di Jambi juga dibedakan berdasarkan ukuran berat yaitu kelas kecil <7 kg, kelas super 7-20 kg, dan kelas besar >20 kg (Ginting 2012), namun ada perbedaan antara Kalimantan Tengah dengan Jambi yaitu klasifikasi ukuran termahal, di Kalimantan Tengah pada kisaran 5-15 kg sementara di Jambi pada kisaran berat 7-20 kg mencapai harga Rp. 44.200. Harga labi-labi di Kalimantan Timur dibagi menjadi tiga kelas yaitu : kelas < 20 kg, kelas 20-30 kg dan kelas > 30 kg berturut-turut Rp. 24.000/kg, Rp. 22.000/kg dan 20.000/kg (Kusrini et al. 2009). Oktaviani & Samedi (2008) menyebutkan bahwa harga labi-labi di Sumatera Selatan juga dibedakan berdasarkan klasifikasi ukuran namun dengan interval berat yang lebih sempit menjadi 8 kelas, harga tertinggi berkisar antara Rp. 10.000 - Rp. 40.000 per kg pada labi-labi ukuran 3,1-9,9 kg.

5.3 Implikasi Terhadap Pelestarian 5.3.1 Populasi Labi-labi

Panjang sungai yang diukur dalam dugaan populasi hanya sebagian kecil dari luasan habitat utama labi-labi di Kalimantan Tengah, karena bagian yang diukur hanya panjang sungai lokasi tangkap tidak mencakup anak sungai dan lahan basah lainnya (rawa, danau dan kanal). Estimasi populasi labi-labi panenan yang bisa dihasilkan selama 1 tahun mencapai 6.276 ekor, sedangkan kuota tangkap dalam satu tahun 2.500 ekor. Berdasarkan estimasi yang didapatkan menunjukkan bahwa kuota yang ditetapkan selama ini masih dalam kisaran yang aman untuk pelestarian labi-labi di alam, namun adanya preferensi pada kelas

(30)

umur dewasa dapat memberikan implikasi negatif terhadap populasi labi-labi di alam dan juga pemanfaatan di masa mendatang.

Berdasarkan kelas umur, labi-labi panenan di Kalimantan Tengah didominasi oleh kelas umur dewasa (97,98% dari 445 ekor) terbanyak adalah betina dewasa dengan nisbah kelamin 1:1,47. Baik pemancing maupun pengumpul menginginkan labi-labi hasil tangkapan berbobot besar yang termasuk dalam kelas umur dewasa. Labi-labi panenan yang berbobot kurang dari 1 kg oleh pemancing biasanya dilepaskan lagi karena tidak laku di pasar tradisional maupun di pengumpul. Keberadaan individu dewasa dalam suatu populasi labi-labi merupakan hal yang sangat penting (Heppel 1998 dalam Chacín 2010). Kelas umur dewasa merupakan umur reproduksi optimal. Reproduksi adalah faktor penentu dalam memelihara keseimbangan populasi maupun untuk meningkatkan jumlah populasi. Keberhasilan reproduksi sangat menentukan perkembangan populasi. Rekomendasi CITES mengenai kisaran berat labi-labi yang dipanen ternyata belum sepenuhnya berhasil diimplementasikan yang tergambar dari karakteristik populasi panenan di Kalimantan Tengah, dimana labi-labi berumur reproduksi optimal (berat 5,1 kg – 15 kg) masih dilakukan pemanenan 11,46% (n=445).

Kuota tangkap hanya mengakomodir 39,83% kemampuan produksi pemancing di Kalimantan Tengah. Kemampuan produksi yang tidak dapat diakomodir kuota tangkap ini memberikan celah bagi pengumpul yang tidak memiliki ijin untuk dapat mengedarkan labi-labi ke wilayah lain, terutama di Kalimantan Selatan. Dari 3 pengumpul yang diukur labi-labinya sebagai sampel morfometri, 2 diantaranya tidak memiliki ijin tangkap dan edar dari BKSDA Kalimantan Tengah. Mereka mengirimkan labi-labi ke Kalimantan Selatan tanpa SATS-DN. Hal ini menyebabkan peluang terjadinya data yang tidak dikatakan (unreported), mengindikasikan bahwa pemanfaatan labi-labi di Kalimantan Tengah melebihi kuota yang ditentukan. Konsistensi penegakan peraturan termasuk perijinan dan jumlah kuota tangkap merupakan salah satu prasyarat untuk pengelolaan sumberdaya alam yang baik sehingga pelestarian populasi labi-labi di habitat alaminya dapat terjamin. Kontrol pemanenan harus dilakukan oleh BKSDA Kalimantan Tengah dengan memberikan pendekatan kepada pengumpul

(31)

yang tidak berijin untuk diterbitkan ijin tangkap dan edarnya. Pengumpul wajib melaporkan hasil tangkapan sesuai dengan ijin yang diberikan, yang diverifikasi oleh penerbit ijin.

Penangkapan berkelanjutan (sustainable harvest) merupakan satu konsep yang memerlukan pemahaman yang mendalam, namun diikuti dengan implementasi secara praktis oleh multi pihak dan digunakan dalam kegiatan konservasi saat ini (Struhsaker 1998). Keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya labi-labi berhubungan erat dengan kajian pengaturan penangkapan yang ditinjau dari aspek biologi. Charles (2001) mengatakan bahwa produksi berkelanjutan adalah penangkapan hari ini tanpa merusak sumberdaya alam di masa yang datang. Jumlah kuota tangkap labi-labi di Kalimantan Tengah masih dapat ditingkatkan menjadi 50% estimasi kemampuan produksi pemancing yaitu mencapai ± 3.100 ekor, namun kontrol ukuran panenan harus dilakukan oleh BKSDA Kalimantan Tengah. Ukuran reproduksi optimal labi-labi betina dengan berat 5,1 kg – 15 kg tidak dilakukan pemanenan untuk memberikan kesempatan labi-labi bereproduksi menghasilkan telur. Telur dan tukik tidak dimanfaatkan oleh masyarakat untuk memberikan kesempatan telur menetas menjadi tukik dan berkembang hingga mencapai kelas umur yang sesuai untuk dipanen. Penambahan jumlah kuota juga dimaksudkan untuk mengakomodir labi-labi panenan dari pemancing. Hal ini dimaksudkan agar kontrol peredaran labi-labi dapat berjalan dengan baik.

Upaya pemanfaatan sumberdaya labi-labi yang berkelanjutan memerlukan dukungan dan kerjasama yang baik antara komponen yang terlibat langsung di lapangan. Unsur utama yang terlibat dalam sistem dan mekanisme perdagangan labi-labi ada 3 yaitu pemanfaatan (pemancing; pengumpul), perijinan dan pengawasan. Strategi yang harus dilakukan untuk mendukung upaya pemanfaatan labi-labi berkelanjutan adalah :

a. Penyadartahuan pentingnya tidak mengganggu dan menjaga sarang labi-labi termasuk telurnya untuk menjaga pertumbuhan populasi labi-labi, dilakukan melalui kegiatan penyuluhan dan sosialisasi kepada masyarakat pemancing & sekitar sungai.

(32)

b. Sosialisasi tata cara perijinan penangkapan dan peredaran tumbuhan dan satwaliar.

c. Mendorong pengembangan budidaya labi-labi (A. cartilaginea) bekerjasama dengan pihak swasta dan akademisi.

d. Penegakan hukum termasuk perijinan, ukuran tangkap, dan peredaran dengan keterlibatan aktif dari para pihak dengan pengawasan.

e. Membangun sistem dan koordinasi pengendalian dan pengawasan peredaran tumbuhan dan satwaliar dengan instansi terkait (Pemda, BKSDA Kalsel, Kepolisian, Karantina, Bandara dan Pelabuhan).

5.3.2 Habitat Labi-labi

Hasil observasi menunjukkan bahwa Kalimantan Tengah mempunyai beragam habitat yang baik untuk labi-labi, mulai dari sungai dataran rendah, rawa gambut, danau, dan kanal. Kalimantan Tengah yang didominasi dataran rendah (92%) memiliki tipe perairan yang disukai labi-labi yaitu sungai dataran rendah berarus lambat, cekungan pinggir sungai yang dalam sebagai tempat persembunyian labi-labi, dasar sungai berlumpur hingga berpasir dan banyak dihuni hewan air (molusca, ikan, crustacea dll) serta permukaan air yang terdapat banyak tumbuhan air seperti eceng gondok (Eichornia crassipes), bakung (Hanguana malayana) dan Hydrilla verticillata. Gangguan utama dari habitat labi-labi di wilayah ini adalah rendahnya kualitas air akibat penambangan emas illegal dan alih fungsi rawa gambut menjadi perkebunan kelapa sawit.

Ancaman yang menggangu habitat labi-labi di perairan Sungai Kahayan adalah terjadinya pencemaran merkuri dikarenakan adanya aktifitas ribuan mesin sedot dari pertambangan emas tanpa ijin (peti) yang menggunakan merkuri dalam proses penyaringannya. Tingkat pencemaran di DAS Kahayan sebesar 2.966 – 4.687 mikro gram per liter. Kandungan merkuri yang terdapat di Sungai Kahayan tergolong tinggi melebihi batas maksimal baku mutu yang ditetapkan sebesar 200 mikro gram per liter. Merkuri merupakan unsur kimia berbentuk logam yang bersifat sangat beracun, sifatnya mudah larut dan terikat dalam jaringan tubuh labi-labi. Pengaruh toksisitas merkuri dapat berupa gangguan pada saraf pusat sehingga labi-labi tidak bergerak atau bernapas akibatnya cepat mati atau

(33)

menyebabkan kerusakan pada hati, mengurangi potensi untuk perkembangbiakan dan pertumbuhan. Selain itu pencemaran perairan oleh merkuri mempunyai pengaruh terhadap ekosistem setempat yang disebabkan oleh sifatnya yang stabil dalam sedimen, kelarutannya yang rendah dalam air dan kemudahannya diserap dan terkumpul dalam jaringan tubuh labi-labi dan menjadi racun bagi manusia yang mengkonsumsinya.

Rawa gambut Kalimantan Tengah merupakan habitat labi-labi yang rentan terhadap gangguan. Ekosistem rawa gambut sangat mudah terganggu dan bila sudah rusak sangat sulit untuk dapat kembali lagi seperti kondisi awal. Gambut berfungsi sebagai pengatur sistem hidrologi dataran rendah. Sifat gambut seperti spoon penyimpan air, namun bila air terlepas dari gambut akibat pembangunan kanal maka gambut tidak dapat lagi mengikat air seperti semula. Resiko kekeringan dan kebakaran pada rawa gambut yang rusak menjadi semakin besar, akibatnya labi-labi yang berada di ekosistem ini bisa terancam.

Seleksi habitat oleh satwaliar dipengaruhi oleh variabel biotik dan fisik. Labi-labi adalah satwa yang banyak mengalokasikan waktunya berada di dalam air, sehingga kondisi perairan sebagai habitat labi-labi perlu dijaga. Kondisi perairan harus menjamin kebutuhan hidup baik sumber pakan, cover,dan breeding site. Beberapa langkah pengelolaan habitat yang perlu dilakukan adalah :

a. Menjaga sungai dan lahan basah terutama rawa gambut sealami mungkin dengan mencegah terjadinya konversi lahan.

b. Habitat tangkap labi-labi banyak ditemukan pada perairan disekitar areal semak belukar, oleh karena itu perlu perhatian khusus terhadap bagian-bagian tersebut untuk menjaga kelestarian labi-labi.

c. Mengatur musim panen labi-labi sesuai karakteristik wilayah tangkap masing-masing, yaitu di anak Sungai Seruyan dan sekitarnya dilakukan pada musim air dalam, anak Sungai Katingan pada musim menjelang air surut.

d. Melakukan uji laboratorium secara berkala terhadap kondisi air di perairan habitat labi-labi untuk mengetahui kondisi aktual dan perubahan yang dapat mengancam kelestarian labi-labi.

Gambar

Gambar 3 Sebaran wilayah tangkapan labi-labi di Kalimantan Tengah.
Gambar 4 Sebaran jumlah labi-labi panenan menurut kelas ketinggian di   Kecamatan Bukit Batu
Tabel 9 Suhu udara minimum, maksimum dan rataan pada lokasi pengamatan
Tabel 10 Suhu permukaan perairan minimum, maksimum dan rataan pada lokasi  pengamatan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Data radiasi matahari pada Pulau Giliiyang berdasarkan software Homer ditunjukkan pada gambar 4. mempunyai rata-rata berkisar 5.8 kwh/m2/day tapi berdasarkan pengukuran

Berdasarkan hasil pengolahan data dengan uji statistik, ternyata secara empirik terdapat pengaruh yang signifikan pembelajaran dengan menggunakan media gambar

Pada peternakan KJT, pola penurunan diare dan mortalitas anak babi lahir dari induk yang divaksinasi dengan vaksin ETEC dapat dilihat pada Gambar 4.. Penggunaan 2 dosis vaksin

Kemampuan lumpur untuk menahan serbuk bor selama sirkulasi dihentikan terutama tergantung dari daya agarnya. Dengan lumpur menjadi gel, tahanan terhadap gerakan serbuk

[r]

Agar dapat dihasilkan minuman fermentasi laktat dengan sifat probiotik maka pada penelitian ini akan diteliti mengenai kajian probiotik berbagai jenis BAL yang

Berdasarkan hasil temuan di lapangan dari siklus I sampai pada siklus II, peneliti menyimpulkan bahwa dengan menggunakan kombinasi model pembelajaran Inkuiri Terbimbing dan Make

Supri Service Pontianak ini, penulis memodelkan sistem tersebut ke dalam bentuk diagram alir data (DAD) yang terbagi menjadi tiga (3) bentuk, yaitu: diagram