• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. (Kemenkes RI, 2014). Praktek pelayanan kefarmasian merupakan kegiatan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. (Kemenkes RI, 2014). Praktek pelayanan kefarmasian merupakan kegiatan"

Copied!
34
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pelayanan farmasi rumah sakit adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan

dari sistem pelayanan kesehatan rumah sakit karena merupakan pelayanan

langsung yang bertanggungjawab penuh terhadap pasien terkait dengan sediaan

farmasi dan orientasi kesembuhan pasien melalui ketepatan pemberian obat

(Kemenkes RI, 2014). Praktek pelayanan kefarmasian merupakan kegiatan

terpadu dengan tujuan untuk mengidentifikasi, mencegah dan menyelesaikan

masalah obat (James, 2012).

Tuntutan pasien dan masyarakat akan mutu pelayanan farmasi,

mengakibatkan pelayanan kefarmasian berkembang dari drug oriented menjadi

patient oriented. Hal ini dipicu oleh peningkatan jumlah kebutuhan obat,

perkembangan produksi dalam skala besar serta adanya inovasi dalam penemuan

obat baru dan timbulnya berbagai penyakit baru. Sehingga pelayanan farmasi

rumah sakit diharapkan dapat menjamin tersedianya obat yang aman dan

berkualitas serta dapat memberikan informasi mengenai obat yang lengkap

(Mashuda, 2011).

Rumah sakit harus memberikan pelayanan kefarmasian secara

komprehensif dan simultan baik yang bersifat manajerial/pengelolaan obat

maupun farmasi klinik. Strategi optimalisasi harus ditegakkan dengan cara

(2)

manajemen kefarmasian, agar tenaga dan waktu efisien. Sehingga efisiensi yang

diperoleh dapat dimanfaatkan untuk melaksanakan fungsi pelayanan farmasi

klinik secara intensif. Pelayanan farmasi klinik, merupakan salah satu aspek

pelayanan farmasi rumah sakit yang diberikan secara langsung oleh apoteker

kepada pasien dalam rangka meningkatkan outcome terapi dan meminimalkan

risiko terjadinya efek samping karena obat, untuk tujuan keselamatan pasien

(pattient safety) sehingga kualitas hidup pasien (quality of life) terjamin

(Kemenkes RI, 2014).

Kejadian obat yang merugikan (adverse drug events), kesalahan

penggobatan (medication errors) dan reaksi obat yang merugikan (adverse drug

reaction) dalam proses pelayanan kefarmasian menempati kelompok urutan utama

dalam keselamatan pasien yang memerlukan pendekatan sistem untuk dikelola

dengan baik, mengingat kompleksitas kejadian kesalahan proses farmakoterapi.

Badan akreditasi dunia The Joint Commision on Accreditation of Healthcare

Organizations (JCAHO) mensyaratkan adanya kegiatan keselamatan pasien

berupa identifikasi dan evaluasi untuk mengurangi resiko cedera dan kerugian

pada pasien (Rizkiya, 2011). Sehingga pemerintah mengeluarkan standar

pelayanan kefarmasian menejerial dan pelayanan farmasi klinik yang berupa

peraturan menteri kesehatan republik indonesia nomor 58 tahun 2014 yang dapat

dijadikan pedoman pihak rumah sakit dalam praktek pelayanan kefarmasian di

instalasi farmasi rumah sakit agar pelayanan farmasi yang diberikan lebih optimal

(3)

Obat merupakan komponen yang penting dalam upaya pelayanan

kesehatan. Banyak macam obat yang dapat digunakan dalam pengobatan, namun

tidak semua jenis obat berupa sediaan yang dapat langsung digunakan, terdapat

beberapa obat yang diformulasikan dengan sediaan-sediaan khusus ataupun

memerlukan adjustment dosis yang disesuaikan dengan kondisi patofisiologis

pasien agar menghasilkan pengobatan yang rasional dan penyembuhan yang

optimal. Penggunaan obat yang tidak rasional akan menghasilkan pengobatan

yang tidak efektif, tidak aman, eksaserbasi penyakit, peningkatan biaya

pengobatan dan resistensi terhadap antibiotika (Mashuda, 2011). Penggunaan obat

harus tepat diagnosisnya, tepat indikasi pemakaiannya, tepat pemilihan obatnya,

tepat dosis, cara dan lama pemberiannya serta tepat dengan kondisi pasien, tepat

pemberian informasinya, dan tepat dalam pemberian tindak lanjut (Fatmaharti,

2013).

Penerapan standar pelayanan kefarmasian aspek farmasi klinik yang

minimal meliputi pelayanan dan pengkajian resep, pelayanan informasi obat dan

pemberian konseling terhadap pasien yang optimal dapat memberikan jaminan

bahwa obat yang di berikan rasional, bermutu, bermanfaat, aman dan terjangkau.

Pelayanan dan pengkajian resep dapat menurunkan kemungkinan terjadinya

alergi, interaksi obat, reaksi obat yang tidak dikehendaki dan efek samping obat.

Selain itu dengan pemberian informasi obat dan konseling dapat meningkatkan

kepatuhan pasien serta meminimalkan masalah terkait obat. Saat ini sebagian

(4)

klinik dengan maksimal serta masih kurang menyadari urgensi pelayanan farmasi

klinik dalam meningkatkan outcome (Kemenkes RI, 2014).

Rumah sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta merupakan salah satu

Rumah sakit swasta di Yogyakarta yang dianggap mampu memberikan pelayanan

kefarmasian lebih bagus dibandingkan beberapa rumah sakit lainnya. Selain itu

standar pelayanan kefarmasian PMK Nomor 58 baru keluar tahun 2014 dan belum

pernah dilakukan peneliti-peneliti sebelumnya, pelayanan farmasi klinik

pelayanan dan pengkajian resep, pelayanan informasi obat dan pelayanan

konseling adalah pelayanan farmasi klinik yang sangat pokok untuk pasien rawat

jalan sehingga peneliti ingin mengetahui penerapan standar pelayanan

kefarmasian aspek farmasi klinik (pelayanan dan pengkajian resep, pelayanan

informasi obat dan pelayanan konseling) di instalasi farmasi rawat jalan rumah

sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta dalam praktek sehari-hari, untuk

mendapatkan hasil penelitian yang obyektif maka penelitian dilakukan terhadap

persepsi apoteker dan pasien (Rista, 2013).

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, berikut

perumusan masalah yang akan diteliti:

1. Bagaimana persepsi apoteker terhadap tingkat penerapan standar

pelayanan kefarmasian aspek farmasi klinik (Pelayanan dan Pengkajian

Resep, Pelayanan Informasi Obat dan Pelayanan Konseling) di rumah

(5)

2. Bagaimana tingkat kepuasan pasien terhadap penerapan standar

pelayanan kefarmasian aspek farmasi klinik (Pelayanan dan Pengkajian

Resep, Pelayanan Informasi Obat dan Pelayanan Konseling) di rumah

sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta?

C. Tujuan Penelitian

1. Mengetahui persepsi apoteker terhadap tingkat penerapan standar pelayanan

kefarmasian aspek farmasi klinik di rumah sakit PKU Muhammadiyah

Yogyakarta.

2. Mengetahui tingkat kepuasan pasien terhadap penerapan standar pelayanan

kefarmasian aspek farmasi klinik di rumah sakit PKU Muhammadiyah

Yogyakarta.

D. Manfaat Penelitian

1. Bagi apoteker: diharapkan dapat meningkatkan peran apoteker pada aspek

pelayanan farmasi klinik di rumah sakit, terutama dalam pengkajian dan

pelayanan resep, pemberian informasi obat dan pelayanan konseling.

2. Bagi rumah sakit: diharapkan dapat menjadi bahan evaluasi kinerja apoteker

dan mutu pelayanan farmasi klinik dalam bidang pengkajian dan pelayanan

resep, pemberian informasi obat dan pelayanan konseling.

3. Bagi pasien: tidak mendapatkan dampak buruk akibat ketidaktepatan

pemakaian obat dan ketidakrasionalan pengobatan sehingga mampu

(6)

4. Bagi pemerintah: diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan dalam

mengevaluasi penerapan standar pelayanan kefarmasian di rumah sakit.

5. Bagi peneliti : diharapkan dapat meningkatkan kemampuan dan pengetahuan

peneliti mengenai pelayanan kefarmasian di rumah sakit serta mampu

menjadi bahan acuan dan inspirasi untuk peneliti selanjutnya.

E. Tinjauan Pustaka 1. Rumah Sakit

Institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan upaya

pelayanan kesehatan pada masyarakat secara paripurna dengan struktur

organisasi menggabungkan seluruh profesi kesehatan, fasilitas diagnostik dan

terapi, alat dan perbekalan serta fasilitas fisik ke dalam suatu sistem yang

terkoordinasi sebagai kewajiban dalam menyediakan pelayanan rawat inap,

rawat jalan, dan gawat darurat (Rista, 2013). Instalasi farmasi rumah sakit

merupakan unit pelaksanaan fungsional yang menyelenggarakan seluruh

kegiatan pelayanan kefarmasian di rumah sakit (Kemenkes, 2014). Instalasi

farmasi rumah sakit harus dipimpin oleh seorang apoteker sebagai penggung

jawab dan dibantu oleh beberapa apoteker pendamping yang memenuhi

persyaratan perundang-undangan yang berlaku dan berkompeten secara

profesional. Instalasi farmasi rumah sakit adalah tempat atau fasilitas

penyelenggaraan yang bertanggungjawab atas seluruh pekerjaan pelayanan

(7)

2. Apoteker

Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 51 Tahun

2009 apoteker merupakan sarjana farmasi yang telah lulus sebagai apoteker

dan telah mengucapkan sumpah jabatan apoteker. Apoteker adalah praktisi

kesehatan yang merupakan bagian dari sistem rujukan profesional. Apoteker

berurusan dengan penerapan terapi, dengan menyediakan produk obat yang

perlu untuk pengobatan kondisi yang didiagnosis oleh dokter, memastikan

penggunaan obat yang tepat. Farmasi adalah profesi yang harus selalu

beinteraksi dengan tenaga profesional lainnya, dan penderita untuk

memberikan konsultasi serta informasi, disamping untuk mengendalikan

mutu penggunaan terapi obat dalam bentuk pengecekan atau intepretasi pada

resep atau order dokter. Fungsi dan tugas apoteker sesuai dengan

kompetensi apoteker menurut WHO (World Health Organization) dikenal

dengan Eight Stars Pharmacist, yaitu:

a. Care giver, artinya apoteker dapat memberi pelayanan kepada pasien,

memberi informasi obat kepada masyarakat dan kepada tenaga kesehatan

lainnya.

b. Decision maker, artinya apoteker mampu mengambil keputusan, tidak hanya

mampu mengambil keputusan dalam hal manajerial namun harus mampu

mengambil keputusan terbaik terkait dengan pelayanan kepada pasien, sebagai

contoh ketika pasien tidak mampu membeli obat yang ada dalam resep

(8)

pemilihan obat dengan zat aktif yang sama namun harga lebih

terjangkau.

c. Communicator, artinya apoteker mampu berkomunikasi dengan baik

dengan pihak ekstern (pasien atau customer) dan pihak intern (tenaga

profesional kesehatan lainnya).

d. Leader, artinya apoteker mampu menjadi seorang pemimpin di

apotek. Sebagai seorang pemimpin, apoteker merupakan orang yang

terdepan di apotek, bertanggung jawab dalam pengelolaan apotek mulai

dari manajemen pengadaan, pelayanan, administrasi, manajemen

SDM serta bertanggung jawab penuh dalam kelangsungan hidup

apotek.

e. Manager, artinya apoteker mampu mengelola apotek dengan baik dalam

hal pelayanan, pengelolaan manajemen apotek, pengelolaan tenaga

kerja dan administrasi keuangan. Untuk itu apoteker harus

mempunyai kemampuan manajerial yang baik, yaitu keahlian dalam

menjalankan prinsip-prinsip ilmu manajemen.

f. Life long learner, artinya apoteker harus terus-menerus menggali

ilmu pengetahuan, senantiasa belajar, menambah pengetahuan dan

keterampilannya serta mampu mengembangkan kualitas diri.

g. Teacher, artinya apoteker harus mampu menjadi guru, pembimbing

bagi stafnya, harus mau meningkatkan kompetensinya, harus mau

menekuni profesinya, tidak hanya berperan sebagai orang yang tahu

(9)

h. Researcher, artinya apoteker berperan serta dalam berbagai penelitian

guna mengembangkan ilmu kefarmasiannya.

3. Pelayanan Farmasi

Suatu pelayanan langsung dan bertanggung jawab kepada pasien yang

berkaitan dengan sediaan farmasi dengan maksud mencapai hasil yang pasti

untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien. Pelayanan farmasi rumah sakit

adalah bagian yang tidak terpisahkan dari sistem pelayanan kesehatan rumah

sakit yang berorientasi kepada pelayanan pasien, penyediaan obat yang

bermutu, dan pelayanan farmasi klinik yang terjangkau bagi semua lapisan

masyarakat (Rizkiya, 2011).

Pekerjaan kefarmasian adalah pembuatan, termasuk pengendalian mutu

sediaan farmasi, pengamanan pengadaan, penyimpanan dan distribusi obat,

pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat, pemberian

konseling kepada pasien, pemantauan terapi obat serta penelusuran riwayat

pengobatan pasien. Farmasi rumah sakit bertanggung jawab terhadap semua

barang farmasi yang beredar di rumah sakit tersebut. Tujuan pelayanan farmasi

adalah :

a. Melangsungkan pelayanan farmasi yang optimal baik dalam keadaan

biasa maupun dalam keadaan gawat darurat, sesuai dengan keadaan

pasien maupun fasilitas yang tersedia.

b. Menyelenggarakan kegiatan pelayanan profesional berdasarkan

(10)

c. Meberikan pelayanan informasi dan konseling mengenai obat.

d. Menjalankan pengawasan obat berdasarkan aturan-aturan yang berlaku.

e. Melakukan dan memberi pelayanan bermutu melalui analisa, telaah dan

evaluasi pelayanan.

f. Mengadakan penelitian di bidang farmasi dan peningkatan metode

(Siregar dan Amalia, 2004).

4. Pelayanan Farmasi Klinik

Farmasi klinik adalah suatu disiplin ilmu yang fokus terhadap aplikasi

keahlian farmasi dalam membantu memaksimalkan khasiat obat dan

meminimalkan toksisitas obat pada pasien. Peran farmasi klinik menyediakan

pelayanan kefarmasian kepada pasien. Hal ini dapat didefinisikan sebagai

terapi obat yang bertanggungjawab untuk tujuan tercapainya hasil yang jelas

yakni meningkatkan kualitas hidup pasien. Hasil ini dapat berupa

penyembuhan penyakit, penghilangan gejala, memperlambat proses penyakit

atau pencegahan penyakit. Dalam pencapaian hasil ini, apoteker secara

profesional, etis dan legal bertanggungjawab langsung kepada pasien

terhadap kualitas pelayanan. Pelayanan farmasi klinik diberikan secara

langsung sebagai bagian dari pelayanan terhadap pasien dan atau profesional

kesehatan lain yang terlibat dalam perawatan pasien (Siregar, 2013).

Pelayanan farmasi klinik merupakan pelayanan langsung yang

diberikan oleh apoteker kepada pasien dalam rangka meningkatkan outcome

(11)

tujuan keselamatan pasien (patient safety) sehingga kualitas hidup pasien

(quality of life) terjamin. Pelayanan farmasi klinik meliputi:pengkajian dan

pelayanan resep, penelusuran riwayat penggunaan obat, rekonsiliasi obat,

pelayanan informasi obat, konseling, visite, pemantauan terapi obat,

monitoring efek samping obat, evaluasi penggunaan obat, dispensing sediaan

steril dan pemantauan kadar obat dalam darah. Beberapa faktor risiko yang

berpotensi terjadi dalam melaksanakan pelayanan farmasi klinik adalah:

a. Karakteristik kondisi klinik pasien

Karakteristik kondisi klinik pasien seperti umur, gender, etnik, ras,

status kehamilan, status nutrisi, status sistem imun, fungsi ginjal dan

fungsi hati beresiko terhadap kesalahan dalam terapi. b. Penyakit pasien

Faktor risiko penyakit pasien terdiri dari 3 faktor yaitu: tingkat

keparahan, persepsi pasien terhadap tingkat keparahan dan tingkat

cidera yang ditimbulkan oleh keparahan penyakit.

c. Farmakoterapi pasien

Faktor risiko yang berkaitan dengan farmakoterapi pasien meliputi:

toksisitas, profil reaksi obat tidak dikehendaki, rute dan teknik

pemberian, persepsi pasien terhadap toksisitas, rute dan teknik

pemberian, dan ketepatan terapi.

Setelah melakukan identifikasi terhadap risiko yang potensial

terjadi dalam melaksanakan pelayanan farmasi klinik, apoteker kemudian

(12)

a) Analisa risiko baik secara kualitatif, semi kualitatif, kuantitatif dan

semi kuantitatif.

b) Melakukan evaluasi risiko

c) Mengatasi risiko melalui dengan melakukan sosialisasi terhadap

kebijakan pimpinan Rumah Sakit, mengidentifikasi pilihan

tindakan untuk mengatasi risiko, menetapkan kemungkinan pilihan

(cost benefit analysis), menganalisa risiko yang mungkin masih

ada dan mengimplementasikan rencana tindakan.

Pembinaan dan edukasi Sumber Daya Manusia (SDM) yang terlibat

dalam setiap tahap manajemen risiko perlu menjadi salah satu prioritas

perhatian. Semakin besar risiko dalam suatu pemberian layanan dibutuhkan

SDM yang semakin kompeten dan kerjasama tim (baik antar tenaga

kefarmasian dan tenaga kesehatan lain atau multidisiplin) yang solid.

Beberapa unit/area di Rumah Sakit yang memiliki risiko tinggi, antara lain

Intensive Care Unit (ICU), Unit Gawat Darurat (UGD), dan kamar operasi

(OK).

5. Aspek-Aspek dalam Pelayanan Farmasi Klinik

Pelayanan farmasi klinik merupakan bagian dari pelayanan

kefarmasian di rumah sakit. Pelayanan farmasi klinik adalah pelayanan

langsung yang diberikan Apoteker kepada pasien dalam rangka

(13)

samping karena obat, untuk tujuan keselamatan pasien (patient safety)

sehingga kualitas hidup pasien (quality of life) terjamin (Kemenkes RI,

2014). Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia

Nomor 58 tahun 2014 tentang “Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah

Sakit”, aspek pelayanan farmasi klinik meliputi:

1) Pengkajian dan Pelayanan Resep

Pelayanan resep dimulai dari penerimaan, pemeriksaan

ketersediaan, pengkajian resep, penyiapan sediaan farmasi, alat

kesehatan dan bahan medis habis pakai termasuk peracikan obat,

pemeriksaan, penyerahan disertai pemberian informasi. Pada setiap

tahap alur pelayanan resep dilakukan upaya pencegahan terjadinya

kesalahan pemberian obat (medication error). Resep adalah pesanan

atau permintaan tertulis dari dokter, dokter gigi, dokter hewan dan

praktisi lain yang berizin, kepada apoteker untuk menyediakan atau

membuat obat dan menyerahkannya kepada pasien (Lestari, 2002).

a. Pengkajian Resep

Apoteker harus melakukan pengkajian resep sesuai persyaratan

administrasi, persyaratan farmasetik, dan persyaratan klinis baik

untuk pasien rawat inap maupun rawat jalan. Jika ditemukan

adanya ketidaksesuaian dari hasil pengkajian maka apoteker harus

menghubungi dokter penulis resep.

Kajian administratif meliputi:

(14)

2) nama dokter, nomor Surat Izin Praktik (SIP), alamat, nomor

telepon dan paraf

3) tanggal penulisan resep.

Kajian kesesuaian farmasetik meliputi:

1) Bentuk dan kekuatan sediaan

2) Stabilitas obat

3) Kompatibilitas (ketercampuran obat)

Pertimbangan klinis meliputi:

1) Ketepatan indikasi dan dosis obat

2) Aturan, cara dan lama penggunaan obat

3) Duplikasi dan atau polifarmasi

4) Reaksi obat yang tidak diinginkan (alergi, efek samping

obat, manifestasi klinis lain)

5) Kontra indikasi

6) Interaksi

b. Dispensing

Dispensing terdiri dari penyiapan, penyerahan dan pemberian

informasi obat. Setelah melakukan pengkajian resep dilakukan hal

sebagai berikut:

1. Menyiapkan obat sesuai dengan permintaan resep.

2. Melakukan peracikan obat bila diperlukan

(15)

4. Memasukkan obat ke dalam wadah yang tepat dan terpisah

untuk obat yang berbeda untuk menjaga mutu obat dan

menghindari penggunaan yang salah.

2). Penelusuran Riwayat Penggunaan Obat

Penelusuran riwayat penggunaan obat merupakan proses untuk

mendapatkan informasi mengenai seluruh obat atau sediaan farmasi

lain yang pernah dan sedang digunakan, riwayat pengobatan dapat

diperoleh dari wawancara atau data rekam medik. Tahapan dalam

penelusuran riwayat penggunaan obat adalah sebagai berikut :

a. Membandingkan riwayat penggunaan obat dengan data rekam

medik penggunaan obat untuk mengetahui perbedaan informasi

penggunaan obat.

b. Melakukan verifikasi riwayat penggunaan obat yang diberikan

oleh tenaga kesehatan lain dan memberikan informasi

tambahan apabila diperlukan.

c. Mendokumentasikan adanya alergi dan reaksi obat yang tidak

dikehendaki.

d. Mengidentifikasi potensi terjadinya interaksi obat.

e. Melakukan penilaian teradap kepatuhan pasien dalam

menggunakan obat.

f. Melakukan penilaian rasionalitas obat yang diresepkan.

g. Melakukan penilaian terhadap pemahaman pasien terhadap

(16)

h. Melakukan penilaian adanya bukti penyalahgunaan obat.

i. Melakukan penilaian terhadap teknik penggunaan obat.

j. Memeriksa adanya kebutuhan pasien terhadap obat dan alat

bantu kepatuhan minum obat (concordance aids).

k. Mendokumentasikan obat yang digunakan pasien sendiri tanpa

sepengetahuan dokter.

l. Mengidentifikasi terapi lain, seperti suplemen dan pengobatan

alternative yang mungkin digunakan oleh pasien.

3). Rekonsiliasi Obat

Rekonsiliasi obat merupakan proses membandingkan instruksi

pengobatan dengan obat yang telah didapat pasien. Rekonsiliasi

dilakukan untuk mencegah terjadinya medication error seperti obat tidak

diberikan, duplikasi, kesalahan dosisi atau interaksi obat. Medication

error sering terjadi pada pemindahan pasien dari satu rumah sakit ke

rumah sakit lain, antar ruang perawatan, serta pada pasien yang keluar

dari rumah sakit ke layanan kesehatan primer dan sebaliknya. Tujuan

dilakukan rekonsiliasi obat adalah untuk memastikan informasi yang

akurat tentang obat yang digunakan, mengidentifikasi ketidaksesuaian

akibat tidak terdokumentasinya instruksi dokter, dan mengidentifikasi

ketidaksesuaian akibat tidak terbacanya instruksi dokter. Tahap

rekonsiliasi obat meliputi : a. Pengumpulan data

(17)

Mencatat data dan memverifikasi obat yang sedng dan akan

digunakan pasien, meliputi nama obat, dosis, frekuensi, rute, obat

mulai diberikan, diganti, dilanjutkan dan dihentikan, riwayat alergi

pasien serta efek samping obat yang pernah terjadi. Khusus untuk

data alergi dan efek samping obat dicatat tanggal kejadian, obat

yang menyebabkan terjadinya reaksi alergi dan efek samping, efek

yang terjadi dan tingkat keparahan.

b. Komparasi

Petugas kesehatan membandingkan data obat yang pernah, sedang

dan akan digunakan. Discrepancy atau ketidakcocokan adalah

apabila ditemukan perbedaan diantara data-data tersebut.

Ketidakcocokan dapat pula terjadi apabila terdapat obat yang

hilang, bebeda, ditambahkan atau diganti tanpa ada penjelasan

yang didokumentasikan pada rekam medic pasien. Ketidakcocokan

ini dapat bersifat disnegaja oleh dokter pada saat penulisan resep

ataupun tidak disengaja yaitu dokter tidak tahu adanya perbedaan

pada saat menuliskan resep.

c. Konfirmasi

Melakukan konfirmasi kepada dokter apabila ditemukan

ketidaksesuaian dalam dokumentasi, dokter harus dihubungi

kurang dari dua puluh empat jam. d. Komunikasi

(18)

Melakukan komunikasi dengan pasien dan atau keluarga pasien

atau perawat mengenai perubahan terapi yang terjadi. Apoteker

bertanggungjawab atas semua informasi yang telah diberikan.

4) Pelayanan Informasi Obat (PIO)

Pelayanan Informasi Obat (PIO) merupakan kegiatan penyediaan

dan pemberian informasi, rekomendasi obat yang independen, akurat,

tidak bias, terkini, dan komprehensif yang dilakukan oleh apoteker kepada

dokter, apoteker, perawat, profesi kesehatan lainnya serta pasien dan pihak

lain di luar rumah sakit. Informasi yang diberikan meliputi dosis, bentuk

sediaan, formulasi khusus, rute pemberian, efek samping, interaksi,

stabilitas, ketersediaan, harga, sifat fisika atau kimia dari obat, keamanan

penggunaan pada ibu hamil dan menyusui serta informasi-informasi

lainnya. Faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam pelayanan informasi

obat adalah kemampuan apoteker dalam memberikan informasi, adanya

tempat yang nyaman untuk pemberian informasi kepada pasien dan

adanya kelengakapan atau prasarana yang mendukung pemberian

informasi seperti leaflet dan buletin. Kegiatan pelayanan informasi obat di

meliputi:

1. Menjawab pertanyaan baik lisan maupun tulisan

2. Membuat dan menyebarkan buletin, brosur atau leaflet,

pemberdayaan masyarakat (penyuluhan)

(19)

4. Memberikan pengetahuan dan keterampilan kepada mahasiswa

farmasi yang sedang praktik profesi

5. Melakukan penelitian penggunaan obat

6. Membuat atau menyampaikan makalah dalam forum ilmiah

7. Melakukan program jaminan mutu.

Pelayanan informasi obat harus didokumentasikan untuk

membantu penelusuran kembali dalam waktu yang relatif singkat. Hal-hal

yang harus diperhatikan dalam dokumentasi pelayanan informasi obat :

topik pertanyaan, tanggal dan waktu pelayanan informasi obat diberikan,

metode pelayanan informasi obat, data pasien, uraian pertanyaan, jawaban

pertanyaan, referensi, metode pemberian jawaban dan data apoteker yang

memberikan pelayanan informasi obat (Kemenkes, 2014).

5) Pemberian Konseling

Konseling merupakan proses interaktif antara apoteker dengan

pasien dan atau keluarga untuk meningkatkan pengetahuan, pemahaman,

kesadaran dan kepatuhan sehingga terjadi perubahan perilaku dalam

penggunaan obat dan menyelesaikan masalah yang dihadapi pasien.

Apoteker menggunakan three prime questions untuk mengawali

konseling,. Apabila tingkat kepatuhan pasien dinilai rendah, perlu

dilanjutkan dengan metode health belief model. Apoteker harus melakukan

verifikasi bahwa pasien atau keluarga pasien sudah memahami obat yang

(20)

Konselingobat adalah suatu aktivitas pemberian nasihat atau saran

yang berhubungan dengan terapi obat dari apoteker kepada pasien dan

atau keluarganya. Pemberian konseling yang efektif memerlukan

kepercayaan pasien dan atau keluarga terhadap apoteker. Pemberian

konseling obat bertujuan untuk meningkatkan kepatuhan pasien terhadap

pengobatan, mengoptimalkan hasil terapi serta meminimalkan risiko

reaksi obat yang tidak dikehendaki. Konseling biasanya diberikan pada

pasien kondisi khusus, mempunyai riwayat penyakit kronis, menggunakan

obat-obat sediaan khusus, dengan pengobatan indeks terapi sempit dan

polifarmasi (Kemenkes, 2014).

Kriteria pasien atau keluarga pasien yang perlu diberi konseling,

yaitu: pasien kondisi khusus, penyakit kronis, menggunakan obat dengan

instruksi khusus, menggunakan obat dengan indeks terapi sempit,

polifarmasi dan tingkat kepatuhan rendah. Adapun tahap kegiatan

konseling adalah:

1. Membuka komunikasi antara apoteker dengan pasien

2. Menilai pemahaman pasien tentang penggunaan obat melalui

Three Prime Questions, yaitu:

a) Apa yang disampaikan dokter tentang obat anda?

b) Apa yang dijelaskan oleh dokter tentang cara pemakaian obat

anda?

c) Apa yang dijelaskan oleh dokter tentang hasil yang diharapkan

(21)

3. Menggali informasi lebih lanjut dengan memberi kesempatan

kepada pasien untuk mengeksplorasi masalah penggunaan obat

4. Memberikan penjelasan kepada pasien untuk menyelesaikan

masalah penggunaan obat

5. Melakukan verifikasi akhir untuk memastikan pemahaman pasien.

5). Visite

Visite merupakan kegiatan kunjungan ke pasien rawat inap yang

dilakukan apoteker secara mandiri atau bersama tim tenaga kesehatan

untuk mengamati kondisi klinis pasien secara langsung, dan mengkaji

masalah terkait obat, memantau terapi obat dan reaksi obat yang tidak

dikehendaki, meningkatkan terapi obat yang rasional, dan menyajikan

informasi obat kepada dokter, pasien serta profesional kesehatan lainnya.

Visite juga dapat dilakukan pada pasien yang sudah keluar dari

rumah sakit baik atas permintaan pasien maupun berdasarkan program

rumah sakit yang biasa disebut dengan home pharmacy care (pelayanan

kefarmasian di rumah) biasanya untuk penyakit-penyakit kronis tertentu

yang perlu perawatan intensif dalam mencapai outcome therapy. Sebelum

melakukan visite apoteker harus mengumpulkan informasi mengenai

kondisi pasien dan memeriksa terapi obat dari rekam medic atau sumber

data yang lain (Kemenkes, 2014).

6).Pemantauan Terapi Obat (PTO)

Pemantauan Terapi Obat (PTO) merupakan suatu proses yang

(22)

rasional bagi pasien. Tujuan PTO adalah meningkatkan efektivitas terapi

dan meminimalkan risiko Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki (ROTD).

Kegiatan dalam pemantauan terapi obat meliputi:

a) Pengkajian pemilihan obat, dosis, cara pemberian obat, respon terapi,

dan reaksi obat yang tidak dikehendaki

b) Pemberian rekomendasi penyelesaian terkait obat

c) Pemantauan efektivitas dan efek samping terapi obat.

Tahapan dari pemantauan terapi obat adalah pengumpulan data pasien

kemudian identifikasi dan rekomendasi penyelesaian masalah terkait obat

setelah itu pemantauan dan tindak lanjut.

7). Monitoring Efek Samping Obat (MESO)

Monitoring Efek Samping Obat (MESO) merupakan kegiatan

pemantauan setiap respon terhadap obat yang tidak dikehendaki, yang

terjadi pada dosis lazim yang digunakan pada manusia untuk tujuan

profilaksis, diagnosa dan terapi. Efek samping obat adalah reaksi obat

yang tidak dikehendaki yang terkait dengan kerja farmakologi. Monitoring

efek samping obat dilakukan bertujuan untuk:

a) Menemukan efek smaping obat sedini mungkin terutama yang

berat, tidak di kenal dan frekuensinya kecil.

b) Menentukan frekuensi dan insidensi efek samping obat yang sudah

dikenal dan baru saja ditemukan.

c) Mengenal faktor yang dapat mempengaruhi angka kejadian dan

(23)

d) Meminimalkan resiko kejadian reaksi obat yang tidak dikehendaki

e) Mencegah terulangnya kejadian reaksi obat yang tidak dikehendaki

Kegiatan pemantauan dan pelaporan efek samping obat meliputi

deteksi adanya reaksi obat yang tidak dikehendaki, identifikasi

obat-obatan dan pasien yang mempunyai resiko tinggi mengalami efek samping

obat, evaluasi laporan efek samping obat dan algoritma terapi, diskusi dan

dokumentasi efek samping obat dengan tim farmasi dan terapi, serta

pelaporan ke pusat efek samping obat tingkat nasional (Kemenkes, 2014).

8). Evaluasi Penggunaan Obat (EPO)

Evaluasi Penggunaan Obat (EPO) merupakan program evaluasi

penggunaan obat yang terstruktur dan berkesinambungan secara kualitatif

dan kuantitatif. Evaluasi penggunaan obat bertujuan untuk mendapatkan

gambaran keadaan saat ini atas pola penggunaan obat, membandingkan

pola penggunaan obat pada periode waktu tertentu, memberikan masukan

untuk perbaikan penggunaan obat dan menilai pengaruh intervensi atas

pola penggunaan obat. Kegiatan dalam evaluasi penggunaan obat meliputi

evaluasi penggunaan obat secara kualitatif dan kuantitatif. Faktor-faktor

yang perlu diperhatikan dalam evaluasi penggunaan obat adalah :

a. Indikator peresepan

b. Indikator pelayanan

(24)

9). Dispensing Sediaan Steril

Dispensing sediaan steril harus dilakukan di instalasi farmasi

rumah sakit dengan teknik aseptik untuk menjamin sterilitas dan stabilitas

produk dan melindungi petugas dari paparan zat berbahaya serta

menghindari terjadinya kesalahan pemberian obat. Tujuan dilakukannya

dispensing sediaan steril adalah untuk menjamin agar pasien menerima

obat sesuai dengan dosis yang dibutuhkan, menjamin sterilitas dan

stabilitas produk, melindungi petugas dari paparan zat berbahaya dan

menghindari terjadinya kesalahan pemberian obat. Dispensing sediaan

steril bertujuan untuk:

a) Menjamin agar pasien menerima obat sesuai dengan dosis yang

dibutuhkan.

b) Menjamin sterilitas dan stabilitas produk.

c) Melindungi petugas dari paparan zat berbahaya.

d) Menghindari terjadinya kesalahan pemberian obat

10). Pemantauan Kadar Obat dalam Darah (PKOD)

Pemantauan Kadar Obat dalam Darah (PKOD) merupakan

interpretasi hasil pemeriksaan kadar obat tertentu atas permintaan dari

dokter yang merawat karena indeks terapi yang sempit atau atas usulan

dari apoteker kepada dokter. Hasil pemantauan kadar obat dalam darah

dapat digunakan sebagai dasar ketika memberikan rekomendasi

perubahan dosis terapi kepada dokter. Pemantauan kadar obat dalam

(25)

memberikan rekomendasi kepada dokter yang merawat. Kegiatan

pemeriksaan kadar obat dalam darah terdiri dari tiga tahap. Tahap

pertama melakukan penilaian kebutuhan pasien yang membutuhkan

pemeriksaan kadar obat dalam darah. Kemudian tahap kedua

mendiskusikan kepada dokter untuk persetujuan melakukan pemeriksaan

kadar obat dalam darah. Tahap selanjutnya menganalisis hasil

pemeriksaan kadar obat dalam darah dan memberikan rekomendasi

(Menkes, 2014).

6. Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit

Standar pelayanan kefarmasian di rumah sakit merupakan

kumpulan dari beberapa indikator sebagai tolak ukur yang digunakan

untuk mengukur pencapaian standar pelayanan yang telah diberikan

kepada pasien. Hasil dari pengukuran pencapaian standar menunjuk pada

ukuran kepatuhan terhadap standar yang telah ditetapkan. Indikator dalam

standar pelayanan kefarmasian di rumah sakit terdiri dari:

a. Indikator persyaratan minimal yaitu indikator yang digunakan

untuk mengukur terpenuhi tidaknya standar masukan, proses, dan

lingkungan

b. Indikator penampilan minimal yaitu indikator yang ditetapkan

untuk mengukur tercapai tidaknya standar penampilan minimal

(26)

Pada tahun 1996 FIP menetapkan standar untuk pelayanan praktik

kefarmasian yakni Good Pharmacy Practice (GPP) in Community and

Hospital Setting (FIP, 1966). Standar yang ditetapkan tersebut merupakan

bagian terpenting yang harus digunakan oleh organisasi kefarmasian

nasional, pemerintah dan organisasi kefarmasian internasional sebagai

standar pelayanan kefarmasian yang harus diimplementasikan oleh

apoteker. Apoteker dalam melaksanakan praktik pelayanan kefarmasian di

rumah sakit dituntut untuk bersikap profesional dan mampu melaksanakan

pekerjaan kefarmasian baik yang bersifat menejerial maupun pelayanan

klinik berdasarkan regulasi yang telah ditetapkan (Kanthi, 2013).

Landasan yang dipergunakan tenaga kefarmasian sebagai pedoman

dalam menyelenggarakan pelayanan kefarmasian di rumah sakit adalah

standar pelayanan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Sejak tahun 2014

pemerintah mengeluarkan pembaharuan standar pelayanan kefarmasian di

rumah sakit yang berupa peraturan menteri kesehatan republik indonesia

nomor 58.

7. Standar Mutu Pelayanan Farmasi Klinik Di Rumah Sakit

Standar mutu merupakan upaya untuk mengendalikan mutu

pelayanan melalui mekanisme kegiatan pemantauan dan penilaian

terhadap pelayanan yang sudah diberikan secara terencana dan sistematis.

Pengendalian mutu pelayanan kefarmasian merupakan kegiatan yang

dapat dilakukan terhadap kegiatan yang sedang berjalan maupun yang

(27)

tujuan untuk menjamin pelayanan kefarmasian yang sudah dilaksanakan

sesuai dengan rencana dan upaya perbaikan kegiatan yang akan datang.

Tingkat mutu pelayanan kefarmasian ini di ukur berdasarkan penerapan

standar pelayanan kefarmasian di rumah sakit aspek farmasi klinik

berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 58

Tahun 2014 dalam bab tiga. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi

mutu pelayanan farmasi klinik di rumah sakit diantaranya:

a. Penyelenggaraan kegiatan pelayanan profesional berdasarkan

prosedur kefarmasian dan etik profesi.

b. Waktu penyiapan obat yang meliputi penerimaan resep, skrining

resep, dispensing obat, memeriksa obat dengan resep dan

penyerahan obat.

c. Waktu pemberian informasi obat serta kelengkapan dan kesesuaian

informasi obat.

d. Pelaksanaan pemberian komunikasi, informasi dan edukasi pada

pasien.

e. Pemantauan efektivitas dan keamanan penggunaan obat yang telah

dilakukan.

f. Pemberian pelayanan yang bermutu melalui analisa, telaah dan

evaluasi pelayanan.

g. Identifikasi masalah terkait dengan penggunaan obat dan

pengatasannya yang telah dilakukan.

(28)

8. Profil Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta

Rumah sakit PKU Muhammadiyah berdiri sebagai klinik yang

sangat sederhana pada tanggal 15 Februari 1923 di kampung Jagang

Notoprajan Yogyakarta. Awalnya bernama PKO (Penolong Kesengsaraan

Oemoem) didirikan atas inisiatif H.M. Sudjak yang didukung sepenuhnya

oleh K.H. Ahmad Dahlan. Seiring dengan perkembangan zaman, pada

tahun 1928 perkembangan klinik semakin bertambah besar dan

berkembang menjadi poliklinik PKO Muhammadiyah. Lokasi yang

dibutuhkan semakin luas sehingga dipindahkan ke tempat yang lebih

memadai dengan menyewa sebuah bangunan di Jalan Ngabean No.12 B

Yogyakarta. Delapan tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1936 poliklinik

PKO Muhammadiyah pindah lokasi lagi ke Jalan K.H. Ahmad Dahlan No.

20 Yogyakarta. Pada tahun 1970-an status klinik dan poliklinik berubah

menjadi rumah sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta.

Visi rumah sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta adalah menjadi

rumah sakit islam yang berdasar pada Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah

SAW, dan sebagai rujukan terpercaya di Daerah Istimewa Yogyakarta

dan Jawa Tengah dengan kualitas pelayanan kesehatan yang islami,

profesional, cepat, nyaman dan bermutu, setara dengan kualitas pelayanan

rumah sakit - rumah sakit terkemuka di Indonesia dan Asia. Rumah sakit

PKU Muhammadiya Yogyakarta mempunyai misi sebagai berikut:

1) Mewujudkan derajat kesehatan yang optimal bagi semua lapisan

(29)

pengobatan, pemulihan kesehatan secara menyeluruh sesuai

dengan peraturan atau ketentuan perundang-undangan.

2) Mewujudkan peningkatan mutu bagi tenaga kesehatan melalui

sarana pelatihan dan pendidikan yang diselenggarakan secara

profesional dan sesuai tuntunan ajaran islam.

3) Mewujudkan da’wah Islam, amar ma’ruf nahi munkar di bidang

kesehatan dengan senantiasa menjaga tali silaturrahim, sebagai

bagian dari da’wah Muhammadiyah

9. Persepsi

Persepsi merupakan suatu proses yang didahului oleh proses

penginderaan, yaitu merupakan proses diterimanya stimulus oleh individu

melalui alat indera atau disebut juga dengan proses sensoris kemudian

stimulus tersebut diteruskan dan proses selanjutnya merupakan proses

persepsi. Karena itu proses persepsi tidak lepas dari proses penginderaan,

dan proses penginderaan merupakan proses pendahulu dari proses

persepsi. Proses penginderaan akan berlangsung setiap saat, pada waktu

individu menerima stimulus melalui alat indera, yaitu melalui mata

sebagai alat penglihatan, telinga sebagai alat pendengaran, hidung sebagai

alat pembauan, lidah sebagai alat pengecapan, kulit pada telapak tangan

sebagai alat peraba yang kesemuanya merupakan alat indera yang

digunakan untuk menerima stimulus dari luar individu.

Alat indera tersebut merupakan alat penghubung antara individu

(30)

diorganisasikan dan diinterpretasikan, sehingga individu menyadari,

mengerti tentang apa yang diindera itu, dan proses ini disebut persepsi.

Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa stimulus diterima oleh alat

indera, yaitu yang dimaksud dengan penginderaan, dan melalui proses

penginderaan tersebut stimulus itu menjadi sesuatu yang berarti setelah

diorganisasikan dan diinterpretasikan.

Persepsi merupakan proses yang terintegrasi dalam diri individu

terhadap stimulus yang diterimanya. Dalam penginderaan orang akan

dikaitkan dengan stimulus, sedangkan dalam persepsi orang akan

mengaitkan dengan objek. Dengan persepsi individu akan menyadari

tentang keadaan disekitarnya dan juga keadaan diri sendiri. Karena

persepsi merupakan aktivitas terintegrasi dalam diri individu, maka apa

yang ada dalam diri individu akan ikut aktif dalam persepsi. Berdasarkan

hal tersebut, maka dalam persepsi dapat dikemukakan karena perasaan,

kemampuan berpikir, pengalaman-pengalaman individu tidak sama, maka

dalam mempersepsi suatu stimulus, hasil persepsi mungkin akan berbeda

antara individu satu dengan individu yang lainnya, karena persepsi bersifat

individual. Faktor-faktor yang berperan dalam persepsi adalah sebagai

berikut:

1) Objek yang dipersepsi

Objek menimbulkan stimulus yang mengenai alat indera atau

reseptor. Stimulus dapat datang dari luar individu yang

(31)

yang bersangkutan yang langsung mengenai syaraf penerima yang

bekerja sebagai reseptor. Namun sebagian terbesar stimulus datang

dari luar individu.

2) Alat indera, syaraf, dan susunan syaraf pusat

Alat indera atau reseptor merupakan alat untuk menerima stimulus.

Disamping itu juga harus ada syaraf sensoris sebagai alat untuk

meneruskan stimulus yang diterima reseptor ke pusat susunan

syaraf, yaitu otak sebagai pusat kesadaran. Sebagai alat untuk

mengadakan respon diperlukan syaraf motoris.

3) Perhatian

Untuk menyadari atau untuk mengadakan persepsi diperlukan

adanya perhatian, yaitu merupakan langkah pertama sebagai suatu

persiapan dalam rangka mengadakan persepsi. Perhatian

merupakan pemusatan atau konsentrasi dari seluruh aktivitas

individu yang ditujukan kepada sesuatu atau sekumpulan objek.

4) Proses terjadinya persepsi

Proses stimulus mengenai alat indera merupakan proses kealaman

atau proses fisik. Stimulus yang diterima oleh alat indera

diteruskan oleh syaraf sensoris ke otak. Proses ini yang disebut

dengan proses proses psikologis. Kemudian terjadilah proses di

otak sebgai pusat kesadaran sehingga individu menyadari apa yang

(32)

terjadi dalam otak atau dalam pusat kesadaran inilah yang disebut

sebagai proses psikologis.

Objek yang dipersepsi sangat banyak, yaitu segala sesuatu yang

ada di sekitar manusia. Karena sangat banyaknya objek yang dapat

dipersepsi, maka pada umumnya objek persepsi diklasifikasikan. Objek

persepsi dapat dibedakan atas objek manusia dan nonmanusia. Objek

persepsi yang berujud manusia ini disebut person perception atau ada juga

yang menyebutkan sebagai social perception, sedangkan persepsi yang

berobjekkan nonmanusia, hal ini sering disebut sebagai nonsocial

(33)

Praktek Pelayanan Farmasi Klinik Persepsi Apoteker Persepsi Pasien

Tingkat penerapan standar pelayanan kefarmasian 1. Pelayanan dan Pengkajian Resep 2. Pelayanan Informasi Obat 3. Pelayanan

(34)

G. Keterangan Empiris

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran tingkat pencapaian

dan kepuasan pasien terhadap penerapan standar pelayanan kefarmasian aspek

farmasi klinik (pelayanan dan pengkajian resep, pelayanan informasi obat dan

pelayanan konseling) berdasarkan praktek yang sudah dilaksanakan di Instalasi

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Setelah mendapatkan shared key maka user B akan mengirimkan pesan kepada user A, setelah memasukkan nomer telepon beserta shared key maka user B kemudian meminta sistem

Hasil penelitian ini terbagi atas empat bagian : kuadran I menjadi prioritas utama Garuda Indonesia dan harus dilaksanakan sesuai dengan harapan konsumen,

Berdasarkan hasil pengolahan data factoring loading dapat diketahui bahwa dari empat faktor awal yang ada, pada akhirnya terbentuk satu faktor baru yang dinamakan

BRI Syariah merupakan tabungan investasi yang dilakukan dengan menggunakan prinsip bagi hasil, prinsip bagi hasil yang dimaksud disini adalah dalam bentuk

Status dermatologikus pada regio dorsal, kruris anterior dextra dan sinistra didapatkan makula hiperpigmentasi, multipel dengan lesi satelit, bentuk iregular, ukuran

Faktor-faktor utama non excusable delays yang berkontribusi terhadap waktu pelaksanaan proyek konstruksi di Kabupaten Aceh Jaya adalah pengiriman material

Pertama sekali saya ucapkan kepada Dzat Yang Maha Segalanya ALLAH SWT karena rahmat, hidayah dan karunia yang diberikan saya dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “WISATA