13 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep, Konstruk, Variabel Penelitian
2.1.1 Independensi Auditor
Akuntan publik harus independen ketika memberikan jasa audit. Berikut beberapa pengertian independensi menurut para ahli:
1. Menurut Arens, et all (2006), independensi dalam audit berarti mengambil sudut pandang yang tidak bias.
2. Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP) seksi 220 menyatakan bahwa independen berarti tidak mudah dipengaruhi.
3. Kode Etik Akuntan Publik menyebutkan bahwa independensi adalah sikap yang diharapkan dari seorang akuntan publik untuk tidak mempunyai kepentingan pribadi dalam melaksanakan tugasnya, yang bertentangan dengan prinsip integritas dan objektivitas.
4. Menurut Mulyadi (2008), independensi dapat diartikan sebagai kejujuran dalam diri auditor dalam mempertimbangkan fakta dan adanya pertimbangan yang objektif tidak memihak dalam diri auditor dalam merumuskan dan menyatakan pendapatnya.
5. The CPA Handbook menurut E.B. Wilcox, independensi merupakan suatu Standar Auditing yang penting karena opini akuntan publik independen bertujuan untuk menambah kredibilitas laporan keuangan yang disajikan oleh manajemen.
Dari beberapa pengertian independensi menurut para ahli di atas, penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa independensi merupakan sikap dari dalam diri auditor yang tidak mudah dipengaruhi dan bebas dari tekanan pihak manapun dalam mengambil keputusan dan menjalankan tugasnya sehingga dapat memberikan nilai tambah bagi laporan keuangan yang disajikan oleh manajemen.
Selain pengertian independensi di atas, menurut Christiawan (2002), menyatakan bahwa independen berarti akuntan publik tidak mudah dipengaruhi. Sementara itu, menurut Puri Nurmalitasari (2013) dalam skripsinya yang berjudul “Pengaruh Audit Tenure dan Independensi terhadap Kualitas Audit” menyatakan bahwa akuntan publik tidak dibenarkan memihak kepentingan siapapun. Akuntan berkewajiban untuk jujur tidak hanya kepada manajemen dan pemilik perusahaan, namun juga kepada kreditur dan pihak lain yang meletakkan kepercayaan atas pekerjaan akuntan publik.
Akuntan dikatakan tidak independen apabila selama periode audit dan selama periode penugasan profesionalnya, akuntan, KAP maupun orang dalam KAP (Bapepam, 2003):
1. Mempunyai kepentingan keuangan baik langsung maupun tidak langsung yang material pada klien.
2. Mempunyai hubungan pekerjaan dengan klien.
3. Mempunyai hubungan usaha secara langsung atau tidak langsung yang material dengan klien, karyawan kunci klien atau pemegang saham klien. 4. Memberikan jasa-jasa nonaudit tertentu kepada klien.
5. Memberikan jasa atau produk kepada klien dengan dasar fee kontijen atau komisi.
Auditor tidak hanya harus independen dalam fakta (independence in fact), tetapi juga harus independen dalam penampilan (independence in appearance) (Arens, et all, 2006).
a. Independensi dalam fakta (independence in fact) ada bila auditor benar-benar mampu mempertahankan sikap yang tidak bias sepanjang audit.
b. Independensi dalam penampilan (independence in appearance) adalah hasil dari interpretasi lain atas independensi ini. Bila auditor independen dalam fakta tetapi pemakai yakin bahwa mereka menjadi penasihat untuk klien, sebagian besar nilai dari fungsi audit telah hilang.
Selanjutnya, menurut Halim (1997) terdapat tiga aspek independensi, yaitu: a. Independence in fact (independensi senyatanya).
b. Independence in appearance (independensi dalam penampilan).
c. Independence in competence (independensi dari sudut keahliannya atau kompetensinya).
Berikut penjelasan dari ketiga independensi di atas : a. Independence in fact (independensi senyatanya).
Untuk menjadi independen, auditor harus mempnyai kejujuran yang tinggi. Jadi, ada keterkaitan erat antara independensi in fact dengan objektivitas.
b. Independence in appearance (independensi dalam penampilan).
Independensi dalam penampilan merupakan pandangan pihak lain terhadap diri auditor sehubungan dengan pelaksanaan audit. Auditor harus menjaga
kedudukannya sedemikian rupa sehingga pihak lain akan memercayai sikap independensi dan objektivitasnya. Meskipun auditor independen telah menjalankan audit dengan baik secara independen dan objektif, pendapatnya yang dinyatakan melalui laporan audit tidak akan dipercaya oleh para pemakai jasa auditor independen bila ia tidak mampu mempertahankan independensi dalam penampilan.
c. Independence in competence (independensi dari sudut keahliannya atau kompetensinya).
Independensi dari sudut keahlian berhubungan erat dengan kompetensi atau kemampuan auditor dalam melaksanakan dan menyelesaikan tugasnya. Auditor yang awam dalam Electronic Data Processing System tidak memenuhi independensi keahlian bila ia mengaudit perusahaan yang pengolahan datanya menggunakan sistem informasi akuntansi terkomputerisasi. Independensi dari sudut pandang keahlian terkait erat dengan kecakapan profesional auditor.
Independensi merupakan sikap yang harus ada dalam diri auditor. Jika auditor tersebut tidak independen terhadap kliennya maka opininya tidak akan memberikan tambahan apapun (Mautz dan Sharaf, 1993). Pentingnya independensi tercantum dalam Standar Auditing yang berlaku yang umum. Standar Auditing merupakan pedoman umum untuk membantu auditor memenuhi tanggung jawab profesionalnya dalam audit atas laporan keuangan. Standar ini mencakup pertimbangan mengenai kualitas profesional seperti kompetensi dan independensi, persyaratan pelaporan, dan bukti (Arens, et all, 2006).
Pedoman paling luas yang tersedia adalah 10 Standar Auditing yang berlaku umum yang dikembangkan oleh American Institute of Certified Public Accountants (AICPA). Dalam Standar Umum butir 2, disebutkan bahwa auditor harus mempertahankan sikap mental yang independen dalam semua hal yang berhubungan dengan audit.
Menurut Peraturan Perilaku 101 AICPA menginterpretasikan bahwa independensi harus dianggap terganggu, jika, misalnya, seorang Certified Public Accountants (CPA) telah melakukan salah satu transaksi, kepentingan, atau hubungan berikut ini :
1. Selama periode penugasan profesional atau pada waktu pemberian pendapat, seorang CPA atau KAP :
a) Telah atau terikat untuk memperoleh setiap kepentingan keuangan langsung atau tidak langsung dalam perusahaan.
b) Sebagai trustee dari reksa dana atau eksekutor atau administrator dari suatu kepemilikan jika reksa dana atau kepemilikan tersebut telah terikat untuk memberikan kepentingan keuangan langsung atau tidak langsung dalam perusahaan.
c) Memiliki andil dalam investasi bisnis tertutup dengan perusahaan atau dengan salah satu pengurus, direktur, atau pemegang saham prinsipal yang berkaitan dengan kekayaan bersih CPA atau KAP.
d) Memiliki pinjaman ke atau dari perusahaan atau pengurus, direktur atau pemegang saham utama kecuali secara spesifik diizinkan dalam Interpretasi 101-5.
2. Selama periode yang dicakup dalam laporan keuangan, selama periode penugasan audit, atau pada waktu pemberian pendapat, seorang CPA dan KAP :
a) Berhubungan dengan perusahaan sebagai penyelenggara, penjamin atau trustee yang memiliki hak suara, sebagai direktur atau pimpinan, atau dalam setiap kapasitas yang ekuivalen dengan anggota manajemen atau seorang pegawai.
b) Merupakan trustee bagi dana pensiun atau bagi hasil dari perusahaan. Sementara itu, menurut Kode Etik Akuntan Profesional yang ditentukan oleh International Federation of Accountans (IFAC) ada lima jenis ancaman potensial yang dapat merusak independensi auditor, yaitu :
1. Self-interest threats, yang terjadi apabila auditor menerima manfaat dari keterlibatan keuangan klien.
2. Self-review threats, yang terjadi apabila auditor melaksanakan penugasan pemberian jasa keyakinan yang menyangkut keputusan yang dibuat untuk kepentingan klien atau melaksanakan jasa lain yang mengarah pada produk atau pertimbangan yang mempengaruhi informasi yang menjadi pokok bahasan dalam penugasan pemberian jasa keyakinan.
3. Advocary threats, yang terjadi apabila auditor mempromosikan atau dianggap mempromosikan opini klien ke titik dimana orang percaya bahwa objektivitas semakin terganggu.
4. Familiarity threats, yang terjadi apabila auditor mempunyai hubungan erat yang kontinyu dengan klien, termasuk hubungan pribadi yang dapat
mengakibatkan intimidasi oleh atau keramahtamahan (familiarity) yang berlebihan dengan klien.
5. Intimidation threats, yang terjadi apabila auditor tidak objektif dan tidak menerapkan profesional skeptisme karena ancaman pengganti.
Menurut Mulyadi (2008) berikut keadaan yang seringkali mengganggu sikap mental independen auditor :
a. Sebagai seorang yang melaksanakan audit secara independen, auditor dibayar oleh kliennya atas jasanya tersebut.
b. Sebagai penjual jasa seringkali auditor mempunyai kecenderungan untuk memuaskan keinginan kliennya.
c. Mempertahankan sikap mental independen seringkali dapat menyebabkan lepasnya klien.
Selain itu, terdapat empat hal yang mengganggu independensi akuntan publik, yaitu : (1) Akuntan publik memiliki mutual atau conflicting interest dengan klien, (2) Mengaudit pekerjaan akuntan publik itu sendiri, (3) Berfungsi sebagai manajemen atau karyawan dari klien, dan (4) Bertindak sebagai penasihat (advocate) dari klien. Akuntan publik akan terganggu independensinya jika memiliki hubungan bisnis, keuangan dan manajemen atau karyawan dengan kliennya ( Lauw Tjun Tjun, dkk, 2012).
Di Amerika Serikat, ketentuan mengenai independensi diatur dalam Kode Perilaku Profesional AICPA. Peraturan 101 menyatakan bahwa seorang akuntan publik yang berpraktik publik harus bersikap independen dalam melaksanakan
jasa profesional sebagaimana disyaratkan oleh standar resmi yang diumumkan oleh badan-badan yang ditunjuk oleh Dewan.
Securities and Exchange Commission (SEC) mengesahkan aturan-aturan yang memperkuat independensi auditor pada bulan Januari 2003 sejalan dengan persyaratan Sarbanes-Oxley Act. Selanjutnya, peraturan SEC membatasi ketentuan jasa nonaudit untuk klien, dan mencakup juga pembatasan atas pengangkatan karyawan dari mantan karyawan KAP oleh klien dan rotasi partner audit guna mempertinggi independensi. Terdapat sembilan jasa nonaudit yang tidak diperkenankan menurut Sarbanes-Oxley Act dan peraturan SEC (Arens, et all, 2006):
“(1) Jasa pembukuan dan akuntansi lain, (2) Perancangan dan implementasi sistem informasi keuangan, (3) Jasa penaksiran atau penilaian, (4) Jasa aktuarial, (5) Outsourcing audit internal, (6) Fungsi manajemen dan sumber daya manusia, (7) Jasa pialang atau dealer atau penasihat investasi atau bankir investasi, (8) Jasa hukum dan pakar yang tidak berkaitan dengan audit, (9) Semua jasa lain yang ditentukan oleh peraturan Public Company Accounting Oversight Board (PCAOB) sebagai tidak diperkenankan.”
Independensi dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor. Kasidi (2007) menyebutkan faktor-faktor yang mempengaruhi independensi auditor meliputi : (1) Ukuran KAP, (2) Lamanya hubungan audit dalam memberikan layanan jasa pada klien, (3) Biaya jasa audit, (4) Layanan jasa konsultasi manajemen, dan (5) Keberadaan komite audit.
Sementara itu, penelitian yang dilakukan oleh Pany dan Reckers (1980) menemukan bahwa independensi auditor dipengaruhi oleh ukuran klien dan pemberian hadiah.
“Hadiah meskipun jumlahnya sedikit berpengaruh signifikan terhadap independensi auditor, sedangkan ukuran klien tidak berpengaruh secara signifikan.”
Hasil penelitian Pany dan Reckers sejalan dengan Kode Etik Institut Akuntan Publik Indonesia (IAPI) Seksi 260.1 yang menyatakan bahwa :
“Praktisi maupun anggota keluarga langsung atau anggota keluarga dekatnya mungkin saja ditawari suatu hadiah atau bentuk keramah-tamahan lainnya (hospitality) oleh klien. Penerimaan pemberian tersebut dapat menimbulkan ancaman terhadap kepatuhan pada prinsip dasar etika profesi, sebagai contoh, ancaman kepentingan pribadi terhadap objektivitas dapat terjadi ketika hadiah dari klien diterima, atau ancaman intimidasi terhadap objektivitas dapat terjadi sehubungan dengan kemungkinan dipublikasikannya penerimaan hadiah tersebut.”
Kemudian Lavin (1976) dalam penelitiannya menjelaskan lebih mendalam konsep independensi dalam hal hubungan antara klien dan auditor melalui pengamatan pihak ketiga. Lavin meneliti tiga faktor yang mempengaruhi independensi akuntan publik, yaitu :
“(1) Ikatan keuangan dan hubungan usaha dengan klien, (2) Pemberian jasa lain selain jasa audit kepada klien, (3) Lamanya hubungan antara akuntan publik dengan klien.”
Di sisi lain, Shockley (1981) melakukan penelitian tentang empat faktor yang berpengaruh terhadap independensi akuntan publik dimana responden penelitiannya adalah KAP, bank dan analis keuangan.
“Faktor yang diteliti adalah : (1) Pemberian jasa konsultasi kepada klien, (2) Persaingan antarKAP, (3) Ukuran KAP, dan (4) Lama hubungan audit dengan klien. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa KAP yang memberikan jasa konsultasi manajemen kepada klien yang diaudit dapat meningkatkan risiko rusaknya independensi yang lebih besar dibandingkan yang tidak memberikan jasa tersebut. Tingkat persaingan antarKAP juga dapat meningkatkan risiko rusaknya independensi akuntan publik. KAP yang lebih kecil mempunyai risiko kehilangan independensi yang lebih besar dibandingkan KAP yang lebih besar. Sementara itu, faktor ikatan hubungan dengan klien tertentu tidak mempengaruhi secara signifikan terhadap independensi akuntan publik.”
Supriyono (1988) dalam Wati dan Subroto (2003) telah melakukan penelitian
mengenai independensi auditor di Indonesia. Penelitian ini mempelajari
faktor-faktor yang mempengaruhi independensi auditor, yaitu :
“(1) Ikatan keputusan keuangan dan hubungan usaha dengan klien, (2) Persaingan antarKAP, (3) Pemberian ajsa lain selain jasa audit, (4) Lama penugasan audit, (5) Besar kantor akuntan, dan (6) Besarnya audit fee. Responden yang dipilih meliputi direktur keuangan perusahaan yang telah go public, partner KAP, pejabat kredit bank dan lembaga keuangan nonbank, dan Bapepam.”
Menurut Kode Etik IAPI Seksi 290.9, penggunaan kata independensi dapat menimbulkan kesalahpahaman. Berikut penjelasannya :
“Penggunaan kata “independensi” yang berdiri sendiri dapat menimbulkan kesalahpahaman, yang dapat menyebabkan pengamat beranggapan bahwa seseorang yang menggunakan pertimbangan profesional harus bebas dari semua pengaruh hubungan ekonomi, hubungan keuangan, maupun hubungan lainnya. Namun demikian, kondisi seperti itu mustahil terjadi, karena setiap anggota masyarakat memiliki hubungan satu dengan lainnya. Oleh karena itu, signifikansi setiap hubungan ekonomi, hubungan keuangan, maupun hubungan lainnya harus dievaluasi, terutama yang berkaitan dengan hal-hal yang dapat menyebabkan pihak ketiga yang rasional dan memiliki pengetahuan mengenai semua informasi yang relevan menyimpulkan tidak dapat diterimanya hubungan tersebut.”
Berkaitan dengan independensi, selanjutnya Nichols dan Price (1976) menemukan bahwa ketika auditor dan manajemen tidak mencapai kata sepakat dalam aspek kinerja, maka kondisi ini dapat mendorong manajemen untuk memaksa auditor melakukan tindakan yang melawan standar, termasuk dalam pemberian opini. Kondisi ini akan sangat menyudutkan auditor sehingga ada kemungkinan bahwa auditor akan melakukan apa yang diinginkan oleh pihak manajemen.
Deis dan Giroux (1992) menyatakan bahwa pada konflik kekuatan, klien dapat menekan auditor untuk melawan standar profesional dan dalam ukuran yang besar, kondisi keuangan klien yang sehat dapat digunakan sebagai alat untuk menekan auditor dengan cara melakukan pergantian auditor. Hal ini dapat membuat auditor tidak akan dapat bertahan dengan tekanan klien tersebut sehingga menyebabkan independensi mereka melemah.
Sementara itu, menurut Mautz dan Sharaf (1980) dalam Theodorus M. Tuanakotta (2011) menekankan tiga dimensi dari independensi sebagai berikut :
1. Programming Independence, adalah kebebasan (bebas dari pengendalian atas
pengaruh orang lain, misalnya dalam bentuk pembatasan) untuk memilih teknik dan prosedur audit, dan berapa dalamnya teknik dan prosedur audit itu diterapkan.
2. Investigative Independence, adalah kebebasan (seperti diartikan di atas) untuk memilih area, kegiatan, hubungan pribadi, dan kebijakan manajerial yang akan diperiksa. Ini berarti, tudak boleh ada sumber informasi yang legitimate (sah) yang tertutup bagi auditor.
3. Reporting Independence, adalah kebebasan (seperti diartikan di atas) untuk menyajikan fakta yang terungkap dari pemeriksaan atau pemberian rekomendasi atau opini sebagai hasil pemeriksaan.
Penjelasan dari ketiga dimensi di atas menurut Mautz dan Sharaf dalam Theodorus M. Tuanakotta (2011) adalah sebagai berikut :
1. Programming Independence
a) Bebas dari tekanan atau intervensi manajerial yang dimaksudkan untuk menghilangkan (eliminate), menentukan (specify), atau mengubah (modify) apa pun dalam audit.
b) Bebas dari intervensi apa pun atau dari sikap tidak kooperatif yang berkenaan dengan penerapan prosedur audit yang dipilih.
c) Bebas dari upaya pihak luar yang memaksakan pekerjaan audit itu direview di luar batas-batas kewajaran dalam proses audit.
2. Investigative Independence
a) Akses langsung atau bebas atas seluruh buku, catatan, pimpinan, pegawai perusahaan, dan sumber informasi lainnya mengenai kegiatan perusahaan, kewajibannya, dan sumber-sumbernya.
b) Kerja sama yang aktif dari pimpinan perusahaan selama berlangsungnya kegiatan audit.
c) Bebas dari upaya pimpinan perusahaan untuk menugaskan atau mengatur kegiatan yang harus diperiksa atau menentukan dapat diterimanya suatu evidential matter (sesuatu yang mempunyai nilai pembuktian).
d) Bebas dari kepentingan atau hubungan pribadi yang akan menghilangkan atau membatasi pemeriksaan atas kegiatan, catatan, atau orang yang seharusnya masuk dalam lingkup pemeriksaan.
3. Reporting Independence
a) Bebas dari perasaan loyal kepada seseorang atau merasa berkewajiban kepada seseorang untuk mengubah dampak dari fakta yang dilaporkan. b) Menghindari praktik untuk mengeluarkan hal-hal penting dari laporan
formal, dan memasukkannya ke dalam laporan informal dalam bentuk apa pun.
c) Menghindari penggunaan bahasa yang tidak jelas (kabur, samar-samar) baik yang disengaja maupun yang tidak dalam pernyataan fakta, opini, dan rekomendasi, dan dalam interpretasi.
d) Bebas dari upaya untuk memveto judgement auditor mengenai apa yang seharusnya masuk dalam laporan audit, baik yang bersifat fakta maupun opini.
2.1.2 Rotasi Audit
Rotasi audit pertama kali diperkenalkan pada tahun 1976 (Hoyle, 1986 dalam Mostafa dan Hussien, 2010). Rotasi audit menunjukkan pergantian auditor maupun KAP setelah melakukan perikatan dengan klien yang sama untuk waktu tertentu. Rotasi audit berhubungan erat dengan tenure audit. Tenure audit menurut Deis dan Giroux (1992) menunjukkan lama waktu auditor telah melakukan pemeriksaan terhadap suatu perusahaan. Selanjutnya, menurut Nike Rimawati (2011) dalam skripsinya yang berjudul “Faktor-faktor yang Mempengaruhi Independensi Auditor” menyatakan bahwa tenure adalah lamanya waktu auditor tersebut telah melakukan pemeriksaan terhadap suatu unit/unit usaha/perusahaan
atau instansi. Nike Rimawati berasumsi bahwa semakin lama auditor melakukan audit, maka kualitas audit yang dihasilkan akan semakin rendah. Hal tersebut dkarenakan auditor menjadi kurang memiliki tantangan dan prosedur audit yang dilakukan kurang inovatif atau mungkin gagal untuk mempertahankan sikap professional skepticism. Hal ini juga sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Ryan, et all, 2001; Farmer, et all, 1987 dalam Ghosh dan Moon, 2005, yang menemukan bahwa para auditor lebih besar kemungkinannya untuk sepakat dengan para manajer pada keputusan-keputusan pelaporan yang penting saat lamanya perikatan audit meningkat. Oleh karena itu, memberikan batasan-batasan wajib pada masa kerja auditor dapat meningkatkan kualitas audit dengan mengurangi pengaruh perusahaan klien terhadap auditor.
Selain itu, menurut Sinason, et all (2001) menyatakan bahwa rotasi audit adalah “The duration of the auditor relationship with a client”. Sementara Johnson, et all (2002) mendefinisikan rotasi audit sebagai “This is the number of consecutive years that the audit firm (auditor) has audited the client”. Berdasarkan definisi tersebut, dapat diartikan bahwa rotasi audit atau audit tenure adalah jumlah tahun buku bertutut-turut bahwa KAP (auditor) telah melakukan perikatan audit dengan klien.
Hubungan yang lama antara auditor dengan klien menimbulkan hubungan yang erat yang membuat auditor merasa mempunyai hubungan lebih dari rekan kerja atau bahkan menganggap kliennya sebagai keluarga. Hal tersebut membuat
auditor cenderung mengikuti keinginan klien meskipun auditor harus melanggar standar-standar audit untuk memberikan opini yang diinginkan klien atau membuat opini audit yang tidak sesuai dengan kondisi klien.
Sudut pandang yang berlawanan adalah bahwa masalah audit lebih sering terjadi untuk para klien yang lebih baru karena para auditor kurang memiliki informasi mengenai perusahaan-perusahaan ini (AICPA, 1992 dalam Ghosh dan Moon, 2005). Pengetahuan item-item spesifik klien seperti, operasi, sistem akuntansi, dan struktur kontrol internal adalah sangat penting bagi para auditor untuk mendeteksi kesalahan material dan misstatement.
Menurut Rick Hayes, et all (2005) menyatakan bahwa salah satu ciri dari panjang masa audit adalah keterlibatan tahun pertama audit (masa tenure pendek) dianggap kurang menyeluruh (kurang mendalam), karena hal ini membutuhkan beberapa waktu untuk mengidentifikasi semua risiko audit potensial untuk klien baru, sehingga mengurangi kualitas audit. Namun Rick Hayes, et all, juga berpendapat bahwa jika jangka waktu terlalu lama (masa tenure berlebihan/excessive tenure) penugasan audit, maka auditor akan kehilangan skeptisme profesionalnya, dan pada akhirnya akan mengurangi kualitas audit. Rick Hayes, et all, menyimpulkan bahwa kombinasi terbaik adalah tidak terlalu pendek tetapi tidak terlalu lama (berlebihan) dalam rangka meningkatkan kualitas audit.
Penelitian mengenai rotasi audit telah banyak dilakukan. Misalnya, Lu dan Sivaramakrishnan (2009) menyelidiki efek dari rotasi mandatory perusahaan audit pada keputusan investasi dan pilihan auditor dalam pengaturan pasar modal.
Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Kaplan dan Mauldin (2008) menemukan bahwa rotasi KAP tidak meningkatkan independensi dalam penampilan (Mihaela, et all, 2010).
Di sisi lain, penelitian yang dilakukan oleh Ebimobowei dan Oyadonghan (2011) dalam Adeniyi dan Mieseigha (2013) menemukan bahwa rotasi mandatory memberikan dampak positif terhadap kualitas laporan audit dan dapat meningkatkan kepercayaan publik terhadap fungsi audit. Selanjutnya, penelitian yang dilakukan oleh Adeyemi dan Okpala (2011) menemukan bahwa tenure KAP dapat menghilangkan independensi. Hubungan audior dan klien jangka panjang dapat menyebabkan terjadinya penyelasaran kepentingan sehingga dapat merusak independensi auditor.
Rotasi audit merupakan faktor penting dalam menentukan audit yang berkualitas. Hal ini terbukti dari adanya peraturan dari Sarbanes-Oxley Act Sesi 203, terkait partner audit yang dibatasi penugasan auditnya paling lama lima tahun buku berturut-turut. Peraturan tersebut tidak terlepas dari banyaknya kasus kecurangan laporan keuangan yang melibatkan KAP sehingga mendorong Kongres Amerika Serikat untuk mengesahkan Sarbanes-Oxley Act pada tahun 2002 yang merupakan awal reformasi atas profesi akuntan publik, tidak hanya di Amerika Serikat melainkan juga di negara-negara lain.
Dimasukkannya ketentuan yang mewajibkan rotasi partner audit ke dalam Sarbanes-Oxley Act tidak terlepas dari pertimbangan bahwa terlalu lamanya pelaksanaan audit oleh auditor independen pada satu klien akan berpotensi menciptakan kedekatan (closeness) antara auditor bersangkutan dengan
manajemen klien yang diauditnya. Kedekatan hubungan antara auditor dan klien diyakini berdampak negatif terhadap independensi, serta dapat mengurangi keandalan dan kualitas audit sehingga berkontribusi bagi terjadinya skandal-skandal keuangan di Amerika Serikat (Gates, et all, 2007).
Peraturan terkait rotasi audit yang ada di Sarbanes-Oxley Act selanjutnya digunakan dan diadopsi oleh beberapa negara lain, salah satunya negara Indonesia. Peraturan terkait rotasi ini pertama kali diterbitkan dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 423/KMK.06/2002 tentang Jasa Akuntan Publik. Peraturan ini menyatakan bahwa pemberian jasa audit oleh suatu KAP kepada klien hanya boleh dilaksanakan paling lama lima tahun buku berturut-turut, sedangkan bagi seorang partner audit di suatu KAP, pemberian jasa audit kepada klien hanya boleh dilaksanakan paling lama tiga tahun buku berturut-turut. Hal ini selanjutnya didukung dalam Peraturan Bapepam No. VIII.A.2 (Kep. 20/PM/2002).
Selanjutnya Menteri Keuangan RI pada tanggal 5 Februari 2008 menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan No. 17/PMK.01/2008 tentang Jasa Akuntan Publik yang merupakan penyempurna Keputusan Menteri Keuangan No. 423/KMK.06/2002 dan No. 359/KMK.06/2003 yang dianggap sudah tidak memadai. Menurut Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.01/2008 Pasal 3 disebutkan bahwa pemberian jasa audit umum atas laporan keuangan dari suatu entitas dilakukan oleh KAP paling lama untuk enam tahun buku berturut-turut dan oleh seorang akuntan publik paling lama untuk tiga tahun buku berturut-turut.
Berikut ini isi dari Pasal 3 dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 17/PMK.01/2008 tersebut :
“(1) Pemberian jasa audit umum atas laporan keuangan dari suatu entitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a dilakukan oleh KAP paling lama untuk 6 (enam) tahun buku berturut-turut dan oleh seorang Akuntan Publik paling lama untuk 3 (tiga) tahun buku berturut-turut.
(2) Akuntan Publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menerima kembali penugasan audit umum untuk klien sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setelah 1 (satu) tahun buku tidak memberikan jasa audit umum atas laporan keuangan klien tersebut.
(3) Jasa audit umum atas laporan keuangan dapat diberikan kembali kepada klien yang sama melalui KAP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setelah 1 (satu) tahun buku tidak diberikan melalui KAP tersebut. (4) Dalam hal KAP yang telah menyelenggarakan audit umum atas laporan
keuangan dari suatu entitas melakukan perubahan komposisi Akuntan Publiknya, maka terhadap KAP tersebut tetap diberlakukan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(5) KAP yang melakukan perubahan komposisi Akuntan Publik yang mengakibatkan jumlah Akuntan Publiknya 50% (lima puluh per seratus) atau lebih berasal dari KAP yang telah menyelenggarakan audit umum atas laporan keuangan dari suatu entitas, diberlakukan sebagai kelanjutan KAP asal Akuntan Publik yang bersangkutan dan tetap diberlakukan pembatasan penyelenggaraan audit umum atas laporan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(6) Pendirian atau perubahan nama KAP yang komposisi Akuntan Publiknya 50% (lima puluh per seratus) atau lebih berasal dari KAP yang telah menyelenggarakan audit umum atas laporan keuangan dari suatu entitas, diberlakukan sebagai kelanjutan KAP asal Akuntan Publik yang bersangkutan dan tetap diberlakukan pembatasan penyelenggaraan audit umum atas laporan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).”
Kewajiban rotasi KAP dan partner audit juga merupakan salah satu ketentuan yang dimasukkan ke dalam Undang-undang No. 5 tahun 2011 tentang Akuntan Publik. Dalam Undang-undang Akuntan Publik ketentuan ini dimasukkan dalam Pasal 4. Pasal 4 menyatakan bahwa terdapat pembatasan tenure audit, namun berapa lamanya pembatasan tergantung pada peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah, dalam hal ini adalah PMK No. 17 tahun 2008. Pembatasan tenure
selama enam tahun buku berturut-turut dan masa tunggu dua tahun juga berlaku bagi KAP sesuai dengan pasal 4 Undang-undang akuntan publik. Berikut isi Pasal 4 UU No. 5 tahun 2011 tentang Akuntan Publik :
“(1) Pemberian jasa audit oleh Akuntan Publik dan/atau KAP atas informasi keuangan historis suatu klien untuk tahun buku yang berturut-turut dapat dibatasi dalam jangka waktu tertentu.
(2) Ketentuan mengenai pembatasan pemberian jasa audit atas informasi keuangan historis diatur dalam Peraturan Pemerintah.”
AICPA (1992) menggolongkan lamanya penugasan audit seorang partner KAP pada klien ditentukan menjadi : (1) Lima tahun atau kurang, (2) Lebih dari lima tahun. AICPA juga menyatakan bahwa seorang partner yang memperoleh penugasan audit lebih dari lima tahun pada klien tertentu dianggap terlalu lama.
Sementara itu, Carcello dan Nagy (2004) menggolongkan lamanya penugasan audit sebagai berikut :
1. Pendek, jika hubungan auditor dengan klien berjalan selama tiga tahun atau kurang.
2. Sedang, jika hubungan auditor dengan klien telah berjalan selama empat sampai dengan delapan tahun.
3. Panjang, jika hubungan auditor dengan klien telah berlangsung lebih dari sembilan tahun.
Seperti yang dikutip oleh Sambo, E.M (2012) dari Metcalf Commite (Us. Senate, 1976), “pergantian (rotasi) auditor yang bersifat mandatory adalah cara untuk memperkuat independensi seorang auditor”. Metcalf Commite menjelaskan bahwa pergantian auditor secara mandatory dan secara voluntary bisa dibedakan atas dasar pihak mana yang menjadi fokus perhatian dari isu tersebut. Pergantian
auditor secara voluntary, perhatian utamanya adalah pada sisi klien. Sebaliknya, pergantian secara mandatory, perhatian utamanya adalah auditor. Rotasi mandatory memaksa semua perusahaan untuk mengganti auditor setelah waktu penugasan yang ditetapkan. Sementara itu, rotasi voluntary bersifat pilihan (optional) untuk mengganti auditor.
Dalam perjalanannya, konsep rotasi KAP maupun partner audit ini mengalami prokontra di lingkungan akademisi maupun praktisi. Berikut beberapa argumen pendukung ketentuan rotasi :
1. Independensi auditor dapat dirusak oleh perhubungan jangka panjang dengan manajer perusahaan.
Menurut pendapat pendukung rotasi mandatory auditor, hubungan dalam waktu yang lama dengan manajer perusahaan merupakan alasan utama yang mengancam dan merusak independensi auditor. Ada dua masalah praktis yang dapat mengancam kemampuan aktual auditor untuk mempertahankan sikap independensi selama melaksanakan tugas audit, yaitu :
a) Auditor harus memperhatikan rekomendasi manajemen untuk melanjutkan tugas audit dari tahun ke tahun.
b) Keberlanjutan tugas audit menyebabkan anggota KAP menjadi semakin dekat dengan manajemen secara personal. Hubungan yang semakin dekat dengan manajemen menyebabkan auditor lebih mengidentifikasikan dirinya dengan kepentingan manajemen daripada dengan kepentingan publik.
2. Kualitas dan kompetensi kerja auditor cenderung menurun secara signifikan dari waktu ke waktu.
Argumentasi kedua yang mendukung rotasi setiap lima tahun adalah ketentuan mendorong peningkatan kualitas audit (AICPA, 1978; SEC, 1994). Alasan mereka sebagai berikut :
a) Pendekatan baru akan dibawa masuk oleh KAP baru setiap lima tahun sekali. Auditor yang megaudit perusahaan yang sama dari tahun ke tahun akan kurang kreatif merancang prosedur audit.
b) Peningkatan kompetisi antarKAP akan didasarkan pada kualitas jasa audit.
c) Auditor tidak akan tergantung secara ekonomi (economic independence) kepada klien.
d) Rotasi auditor akan memampukan KAP untuk saling mengawasi satu dengan yang lain (Hoyle, 1978)
Di sisi lain, terdapat beberapa argumen penolak ketentuan rotasi, yaitu : 1. Kompeksitas dan ukuran perusahaan modern tidak mendukung pelaksanaan
audit jangka pendek.
2. Auditor tidak lagi berada pada posisi memperoleh pengampunan dari manajemen. SEC meminta agar perdebatan antara perusahaan dengan auditor dilaporkan dalam formulir 8-K ketika ada perubahan auditor.
3. Dengan pembatasan rotasi audit, KAP atau akuntan diragukan memiliki pengetahuan yang cukup mendalam mengenai bisnis perusahaan.
Selanjutnya, menurut David, Soo. Trompeter (2000) pihak yang pro berpendapat bahwa pergantian auditor akan memberikan sudut pandang baru terhadap laporan keuangan klien karena semakin lama auditor berhubungan dengan satu klien maka semakin berkurang objektifitas yang dimiliki. Sementara pihak yang kontra berpendapat bahwa rotasi akan menyebabkan biaya audit menjadi lebih tinggi dengan penambahan manfaat yang lebih rendah.
Meskipun dukungan dari beberapa praktisi dan akademisi terus bergulir, namun konsep ini juga mendapatkan penolakan dari beberapa kalangan. Penolakan ini biasanya berhubungan dengan adanya efek pembelajaran yang harus dilewati oleh auditor ketika melakukan penugasan audit. Masing-masing perusahaan memiliki karakteristik yang berbeda-beda, sehingga auditor perlu untuk melakukan pembelajaran terkait perusahaan yang akan diauditnya. Adanya kegagalan audit di awal tahun penugasan audit biasanya berisiko tinggi, hal ini disebabkan kurangnya supervisi pada partner-partner dalam melakukan penugasan audit terkait karakteristik perusahaan, sistem pencatatan, akuntansi, dan pola-pola ketidakberesan atau kecurangan yang mungkin untuk terdapat dalam laporan keuangan klien (Carcello dan Nagy, 2004; Maradona, 2009).
Adanya peraturan rotasi yang ada di Indonesia, ternyata dinilai lebih ketat daripada peraturan di Amerika Serikat. Ketatnya aturan rotasi ini telah menimbulkan banyak reaksi dan perdebatan. Perdebatan mengenai perlu tidaknya keberadaan regulasi rotasi ini telah mendorong dilakukannya penelitian yang ditujukan untuk memberikan bukti empiris bagi masing-masing argumen mengenai konsep rotasi partner audit maupun KAP. Namun demikian, hingga
kini penelitian-penelitian tersebut masih memperlihatkan hasil yang berseberangan. Sejumlah penelitian menunjukkan hasil yang memberikan dukungan bagi keberadaan regulasi rotasi KAP dan partner audit. Misalnya penelitian Chi dan Huang (2005), Carey dan Simnett (2006), Stanley dan Dezoort (2007) yang mendapatkan hasil bahwa kualitas audit semakin rendah seiring dengan bertambahnya tenure KAP.
Di sisi lain, hasil yang berbeda ditunjukkan dalam penelitian Myers, et all (2003) yang menunjukkan hasil bahwa kualitas audit justru semakin meningkat seiring dengan bertambah lamanya tenure KAP dan tenure partner audit, serta penelitian Chen, et all (2008) yang membuktikan adanya peningkatan kualitas audit seiring bertambahnya tenure partner audit. Selain itu, penelitian Carcello dan Nagy (2004) juga menunjukkan bahwa kegagalan audit lebih banyak terjadi pada tiga tahun pertama perikatan audit, dan tingkat kegagalan ini semakin berkurang seiring dengan tenure KAP yang semakin lama. Hal yang sama juga ditemukan dalam penelitian Cameran, et all (2008) yang menyatakan bahwa regulasi terkait rotasi auditor tidak akan dapat menambah kualitas audit.
Penelitian yang dilakukan oleh Carcello dan Nagy (2004) juga memberikan bukti empiris adanya efek pembelajaran bagi auditor. Dalam penelitian ini, ditemukan bahwa kecurangan laporan keuangan cenderung terjadi dalam tiga tahun pertama tenure KAP dibandingkan dengan ketika KAP telah melaksanakan audit untuk periode yang lama. Hasil penelitian ini konsisten dengan penelitian-penelitian lain yang menggunakan akrual diskresioner sebagai proksi kualitas audit, seperti penelitian Johnson, et all (2002) yang menunjukkan bahwa akrual
diskresioner lebih tinggi ketika tenure KAP yang belum berjalan lama. Penelitian Myers, et all (2003), Mayangsari (2007), dan Maradona (2009) menunjukkan hasil bahwa akrual diskresioner semakin rendah seiring dengan bertambahnya tenure KAP. Hal ini menunjukkan bahwa regulasi terkait rotasi auditor tidak akan dapat menambah kualitas audit (Cameran, et all, 2008).
Selanjutnya, riset terkait rotasi audit ini juga banyak dilakukan di Indonesia. Penelitian Mayangsari (2007) menemukan bahwa tidak terdapat pengaruh negatif tenure KAP, baik terhadap kualitas audit maupun persepsi investor atas kualitas audit. Penelitian yang berbeda dilakukan dalam penelitian Maradona (2009), penelitian ini tidak hanya menggunakan tenure KAP, namun juga tenure partner KAP, hasil penelitian ini memberi bukti empiris bahwa terjadi peningkatan dalam kualitas audit yang dilaksanakan oleh auditor independen seiring dengan bertambahnya tenure KAP. Sementara itu, tidak terjadi perubahan dalam kualitas audit seiring dengan bertambahnya tenure partner audit. Hal ini berarti penelitian ini tidak mendukung regulasi pemerintah atas adanya tenure partner audit. Selanjutnya, penelitian terkait rotasi KAP juga berangkat dari adanya perbedaan pandangan mengenai dimensi rotasi KAP dan partner audit yang perlu untuk diwajibkan.
Selain itu, penelitian Chi dan Huang (2005) menganalisis efek moderasi tenure KAP berdasarkan ukuran KAP, yaitu antara KAP The Big Five dan KAP nonBig Five. Chi dan Huang mendapatkan hasil bahwa dampak negatif tenure KAP yang terlalu singkat terhadap kualitas audit relatif lebih rendah di KAP The Big Five. Hasil penelitian ini juga sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan
oleh Elfraim Ferdinan Giri (2010) yang menemukan bahwa KAP yang berafiliasi dengan KAP internasional memiliki kemampuan memoderasi pengaruh tenure terhadap kualitas audit. Berdasarkan hasil ini mereka menyimpulkan bahwa ukuran KAP memiliki peran dalam memoderasi hubungan antara tenure KAP dengan kualitas audit, dan juga mengindikasikan bahwa auditor The Big Five memiliki keunggulan dalam proses pembelajaran pada periode-periode awal perikatan audit.
Selain itu, hal menarik berkaitan dengan rotasi audit adalah mengenai alasan perusahaan melakukan pergantian auditor. Lebih dari 1,000 perusahaan yang berganti KAP di Amerika Serikat tidak mengungkapkan alasan pergantian tersebut. SEC tidak mensyaratkan transparansi mengenai hal tersebut. Meskipun perusahaan diharuskan menyampaikan Form-8K, Item 4.01, yang mengungkapkan pergantian KAP dalam empat hari sesudah pergantian, mereka tidak selalu diwajibkan menyebutkan alasan pergantian KAP (Theodorus M. Tuanakotta, 2011).
2.1.3 Kualitas Audit
Apapun tugas yang dilakukan oleh auditor, yang dibutuhkan adalah sebuah hasil kerja yang berkualitas. Kualitas audit telah didefinisikan dengan berbagai cara. De Angelo (1981) mendefinisikan kualitas audit sebagai berikut :
“Kualitas audit merupakan probability bahwa auditor akan menemukan dan melaporkan penyimpangan dalam sistem akuntansi klien. Probabilitas auditor menemukan salah saji material tergantung pada kualitas pemahaman auditor (kompetensi) sementara melaporkan salah saji tergantung pada independensi auditor.”
Sementara itu, Watkins, et all (2004) mengidentifikasi beberapa definisi kualitas audit. Di dalam literatur praktis, kualitas audit adalah seberapa sesuai audit dengan standar pengauditan.
Di sisi lain, peneliti akuntansi mengidentifikasi berbagai dimensi kualitas audit. Dimensi-dimensi yang berbeda-beda ini membuat definisi kualitas audit juga berbeda-beda. Ada empat kelompok definisi kualitas audit yang diidentifikasi oleh Watkins, et all (2004). Pertama, adalah definisi yang diberikan oleh De Angelo (1981). De Angelo (1981) mendefinisikan kualitas audit sebagai probabilitas nilai pasar bahwa laporan keuangan mengandung kekeliruan material dan auditor akan menemukan dan melaporkan kekeliruan material tersebut. Kedua, adalah definisi yang disampaikan oleh Lee, Liu, dan Wang (1999). Kualitas audit menurut mereka adalah probabilitas bahwa auditor tidak akan melaporkan laporan audit dengan opini wajar tanpa pengecualian untuk laporan keuangan yang mengandung kekeliruan material. Definisi ketiga adalah definisi yang diberikan oleh Titman dan Trueman (1986), Beaty (1986), Krinsky dan Rotenberg (1989), dan Davidson dan Neu (1993). Menurut mereka, kualitas audit diukur dari akurasi informasi yang dilaporkan oleh auditor. Terakhir, kualitas audit ditentukan dari kemampuan audit untuk mengurangi noise dan bias dan meningkatkan kemurnian (fineness) pada data akuntansi.
Dari beberapa definisi kualitas audit di atas, dapat disimpulkan bahwa kualitas audit merupakan probabilitas auditor untuk menemukan dan melaporkan penyelewengan yang terjadi dalam sistem akuntansi klien dan memberikan opini sesuai dengan kondisi laporan keuangan klien yang sebenarnya.
Selanjutnya menurut Rita Yuniarti (2011) kualitas audit adalah karakteristik yang melekat pada audit. Karakteristik tersebut meliputi :
1. Signifikansi, yaitu seberapa penting hal-hal yang diperiksa dalam audit. 2. Reliabilitas, yaitu temuan audit dan kesimpulan yang akurat yang
menggambarkan kondisi sebenarnya sehubungan dengan masalah yang sedang diperiksa.
3. Objektivitas, yaitu audit dilakukan secara adil dan berimbang tanpa mendukung pihak manapun.
4. Ruang lingkup, yaitu melakukan perencanaan mengenai tugas audit dengan benar dan mempersiapkan semua hal yang diperlukan selama penugasan. 5. Ketepatan waktu, yaitu hasil audit disampaikan pada waktu yang tepat.
6. Jelas, yaitu laporan audit harus jelas dan ringkas dalam menyajikan hasil audit.
7. Efisien, yaitu sumber daya yang digunakan selama proses audit wajar.
8. Efektif, yaitu temuan, kesimpulan dan rekomendasi mendapatkan tanggapan yang sesuai dari auditee, pemerintah, dan/atau parlemen.
Sementara itu, Deis dan Giroux (1992) melakukan penelitian tentang empat hal dianggap mempunyai hubungan dengan kualitas audit yaitu:
“(1) Lama waktu auditor telah melakukan pemeriksaan terhadap suatu perusahaan (tenure), semakin lama seorang auditor telah melakukan audit pada klien yang sama maka kualitas audit yang dihasilkan akan semakin rendah, (2) Jumlah klien, semakin banyak jumlah klien maka kualitas audit akan semakin baik karena auditor dengan jumlah klien yang banyak akan berusaha menjaga reputasinya, (3) Kesehatan keuangan klien, semakin sehat kondisi keuangan klien maka akan ada kecenderungan klien tersebut untuk menekan auditor agar tidak mengikuti standar, dan (4) Review oleh pihak ketiga, kualitas audit akan meningkat jika auditor tersebut mengetahui bahwa hasil pekerjaannya akan direview oleh pihak ketiga.”
Widagdo, et all (2002) melakukan penelitian tentang atribut-atribut kualitas audit oleh KAP yang mempunyai pengaruh terhadap kepuasan klien. Terdapat 12 atribut yang digunakan dalam penelitiannya, yaitu : (1) Pengalaman melakukan audit, (2) Memahami industri klien, (3) Responsif atas kebutuhan klien, (4) Taat pada standar umum, (5) Independensi, (6) Sikap hati-hati, (7) Komitmen terhadap kualitas audit, (8) Keterlibatan pimpinan KAP, (9) Melakukan pekerjaan lapangan dengan tepat, (10) Keterlibatan komite audit, (11) Standar etika yang tinggi, dan (12) Tidak mudah percaya.
Hasil penelitian Widagdo, et all (2002) tersebut menunjukkan bahwa ada tujuh atribut kualitas audit yang berpengaruh terhadap kepuasan klien, antara lain:
“Pengalaman melakukan audit, memahami industri klien, responsif atas kebutuhan klien, taat pada standar umum, komitmen terhadap kualitas audit dan keterlibatan komite audit. Sementara itu, lima atribut lainnya yaitu independensi, sikap hati-hati, melakukan pekerjaan lapangan dengan tepat, standar etika yang tinggi dan tidak mudah percaya, tidak berpengaruh terhadap kepuasan klien.”
Sementara itu, menurut Henry Simamora (2002) ada delapan prinsip yang harus dipatuhi akuntan publik, yaitu :
“(1) Tanggung Jawab Profesi
Setiap anggota harus menggunakan pertimbangan moral dan profesional dalam semua kegiatan yang dilakukannya.
(2) Kepentingan Publik
Setiap anggota berkewajiban untuk senantiasa bertindak dalam kerangka pelayanan kepada publik, menghormati kepercayaan publik dan menunjukkan komitmen atas profesionalisme.
(3) Integritas
Setiap anggota harus memenuhi tanggung jawab profesionalnya dengan integritas setinggi mungkin.
(4) Objektivitas
Setiap anggota harus menjaga objektivitasnya dan bebas dari benturan kepentingan dalam pemenuhan kewajiban profesionalnya.
(5) Kompetensi dan Kehati-hatian Profesional
Setiap anggota harus melaksanakan jasa profesionalnya dengan hati-hati, kompetensi dan ketekunan serta mempunyai kewajiban untuk mempertahankan pengetahuan dan keterampilan profesional.
(6) Kerahasiaan
Setiap anggota harus menghormati kerahasiaan informasi yang diperoleh selama melakukan jasa profesional dan tidak boleh memakai atau mengungkapkan informasi tersebut tanpa persetujuan.
(7) Perilaku Profesional
Setiap anggota harus berperilaku yang konsisten dengan reputasi profesi yang baik dan menjauhi tindakan yang dapat mendiskreditkan profesi. (8) Standar Teknis
Setiap anggota harus melaksanakan jasa profesionalnya dengan standar profesional yang relevan.”
Selanjutnya, Wooten (2003) telah mengembangkan model kualitas audit dari membangun teori dan penelitian empiris yang ada. Model yang disajikan oleh Wooten, yaitu :
“(1) Deteksi salah saji, (2) Kesesuaian dengan SPAP, (3) Kepatuhan terhadap SOP, (4) Risiko audit, (5) Prinsip kehati-hatian, (6) Proses pengendalian atas pekerjaan oleh supervisor, dan (7) Perhatian yang diberikan oleh manajer atau partner.”
Menurut Barbadillo, et all (2004) menyatakan bahwa reputasi auditor sering digunakan sebagai proksi dari kualitas audit, namun demikian dalam banyak penelitian kompetensi dan independensi masih jarang digunakan untuk melihat seberapa besar kualitas audit secara aktual. Reputasi auditor didasarkan pada kepercayaan pemakai jasa auditor bahwa auditor memiliki kekuatan monitoring yang secara umum tidak dapat diamati. Di sisi lain, dalam penelitian Crasswell, dkk (1995), kualitas auditor diukur dengan menggunakan ukuran auditor specialization. Crasswell menunjukkan bahwa spesialisasi auditor pada bidang tertentu merupakan dimensi lain dari kualitas audit. Hasil penelitiannya
menunjukkan bahwa fee audit spesialis lebih tinggi dibandingkan auditor nonspesialis.
Selanjutnya, Hosseinniakani, et all (2014) telah melakukan penelitian dan menemukan faktor-faktor penentu kualitas audit. Faktor-faktor tersebut adalah spesifikasi auditor dan ukuran KAP yang merupakan faktor potensial, serta faktor-faktor lain seperti spesialisasi industri, tenure audit, audit fee, jasa nonaudit, dan reputasi auditor yang tidak secara signifikan mempengaruhi kualitas audit.
Seperti yang diungkapkan oleh Sawyer (2006) dalam bukunya “Internal Audit” , meningkatnya kualitas audit oleh auditor dapat diukur dengan :
1. Menghasilkan temuan yang berguna dan rekomendasi yang baik. 2. Pencapaian tujuan dan sasaran audit.
3. Meningkatnya jumlah permintaan untuk penugasan audit.
Selanjutnya, menurut Rossieta dan Wibowo (2009) menyatakan bahwa salah satu cara untuk mengukur kualitas hasil pekerjaan auditor adalah melalui kualitas keputusan-keputusan yang diambil. Rossieta dan Wibowo menjelaskan bahwa untuk mengukur kualitas hasil kerja auditor, perlu dilakukan evaluasi terhadap kualitas keputusan-keputusan yang diambil. Kualitas hasil kerja auditor mengerucut pada kualitas audit karena hasil kerja auditor didapat melalui proses kegiatan audit.
Kualitas audit dapat juga dilihat dari dipatuhi tidaknya Standar Auditing oleh akuntan publik. Menurut SPAP (IAPI, 2009) Standar Auditing terdiri dari 10 standar yang terbagi ke dalam tiga kelompok, yaitu :
“a) Standar Umum
1. Audit harus dilaksanakan oleh seseorang atau lebih memiliki keahlian dan pelatihan teknis yang cukup sebagai auditor.
2. Dalam semua hal yang berhubungan dengan penugasan, independensi dalam sikap mental harus dipertahankan oleh auditor.
3. Dalam pelaksanaan audit dan penyusunan laporannya, auditor wajib menggunakan kemahiran profesionalnya dengan cermat dan seksama. b) Standar Pekerjaan Lapangan
1. Pekerjaan harus direncanakan sebaik-baiknya dan jika digunakan asisten harus disupervisi dengan semestinya.
2. Pemahaman yang memadai atas struktur pengendalian intern harus diperoleh untuk merencanakan audit dan menentukan sifat, saat, dan lingkup pengujian yang akan dilakukan.
3. Bahan bukti kompeten yang cukup harus diperoleh melalui inspeksi, pengamatan, pengajuan pertanyaan, dan konfirmasi sebagai dasar yang memadai untuk menyatakan pendapat atas laporan keuangan yang diaudit.
c) Standar Pelaporan
1. Laporan audit harus menyatakan apakah laporan keuangan telah disusun sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum.
2. Laporan audit harus menunjukkan keadaan yang didalamnya prinsip akuntansi tidak secara konsisten diterapkan dalam penyusunan laporan keuangan periode berjalan dalam hubungannya dengan prinsip akuntansi yang diterapkan dalam periode sebelumnya.
3. Pengungkapan informasi dalam laporan keuangan harus dipandang memadai kecuali dinyatakan lain dalam laporan audit.
4. Laporan audit harus memuat suatu pernyataan pendapat mengenai laporan keuangan secara keseluruhan atau suatu asersi bahwa pernyataan demikian tidak dapat diberikan, jika pendapat secara keseluruhan tidak dapat diberikan maka alasannya harus dinyatakan. Dalam semua hal yang nama auditor dikaitkan dengan laporan keuangan, laporan auditor harus memuat petunjuk yang jelas mengenai sifat pekerjaan auditor, jika ada dan tingkat tanggung jawab yang dipikulnya.”
2.2 Penelitian Terdahulu
Tabel 2.1
Ringkasan Penelitian Terdahulu
No Penulis Tahun Judul Variabel Hasil
1 Selisteau Stelian. 2010 Audit Quality and Manageri-al Decision 1. Kualitas audit 2. Keputusan manajerial Pekerjaan audit yang dilakukan dengan baik akan menjadi pertimbangan manajemen dalam pengambilan keputusan. 2 Mihaela, Mocanu, et all. 2010 Auditor Rotation – a Critical and Comparat ive Analysis Rotasi auditor – Pro kontra rotasi wajib auditor 1. Rotasi auditor (KAP) merupakan salah satu solusi terhadap ancaman hubungan jangka panjang antara auditor dan klien. 2. Terdapat pro kontra mengenai peraturan rotasi auditor (KAP) 3 Hosseinn -iakani, Seyed Mahmou d, et all. 2014 A Review on Audit Quality Factors Faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas audit: Spesifikasi auditor, ukuran KAP, spesilaisasi industri, tenure audit, audit fee, jasa nonaudit, dan reputasi auditor. 1. Faktor potensial yang mempengaruhi kualitas audit: Spesifikasi auditor dan ukuran KAP. 2. Faktor lain yang mempengaruhi kualitas audit: Spesilaisasi industri, tenure audit, audit fee, jasa nonaudit, dan reputasi auditor.
4 Adeniyi, Segun Idowu and Ebipanip re Gabriel Mieseigh a. 2013 Audit Tenure: an Assessmen t of its Effects on Audit Quality in Nigeria 1.Tenure audit 2.Kualitas audit Hasilnya menunjukkan bahwa ada hubungan negatif antara tenure audit terhadap kualitas audit di Nigeria. 5 Yuniarti, Rita. 2011 Audit Firm Size, Audit Fee, and Audit Quality 1.Ukuran KAP 2.Audit fee 3.Kualitas audit 1. Ukuran KAP tidak secara signifikan mempengaruhi kualitas audit di kota Bandung. 2. Fee audit yang lebih tinggi akan meningkatkan kualitas audit. 6 Ojo, Marianne . 2011 Sarbanes Oxley, Non-audit Service and The Mandator y Rotation of Audit Firm 1.Peraturan Sarbanes-Oxley mengenai rotasi audit 2.Jasa Non-audit 1. Peraturan Sarbanes-Oxley mengenai rotasi wajib KAP telah dijadikan dasar bagi negara-negara lain untuk menerapkan rotasi audit (KAP). 2. Jasa non-audit (jasa melaksanakan peran audit internal dan jasa pembukuan, misalnya) sangat bermanfaat bagi suatu entitas. 7 Aguilar, Nieves Gomez, et all. 2006 Mandator y Audit Firm Rotation in Spain: a Policy that was Never Rotasi wajib KAP di Spanyol Rotasi wajib KAP di Spanyol tidak pernah berjalan baik karena terkait dengan perubahan peraturan
Applied akuntansi dan audit di negara tersebut, serta dipengaruhi oleh isu-isu politik. 8 Sarkar, Jayati and Subrata Sarkar. 2010 Auditor and Audit Committe e Independe nce in India 1.Independensi auditor. 2.Independensi komite audit 1. Independensi auditor dan komite audit memainkan peran penting dalam tata kelola perusahaan. 2. Independensi auditor di India sangat dipengaruhi oleh konflik kepentingan. 9 Mostafa, Diana and Magda Hussien. 2010 The Impact of Auditor Rotation on the Audit Quality: a Field Study from Egypt 1.Rotasi auditor 2.Kualitas audit 1. Rotasi audit merupakan solusi untuk meningkatkan independensi auditor. 2. Hubungan jangka panjang antara auditor dan klien dapat merusak independensi auditor karena meningkatkan keakraban, kedekatan, dan loyalitas kepada klien yang pada akhirnya akan mengganggu objektivitas dan penilaian profesional auditor. 10 Octavia, Evi. 2009 Auditor Tenure, The Individual 1.Tenure audit 2.Budaya individual 3.Kualitas
Tenure audit dan budaya individual tidak secara signifikan
Cultural, and Audit Quality audit mempengaruhi kualitas audit. 2.3 Kerangka Pemikiran
2.3.1 Pengaruh Independensi Auditor terhadap Kualitas Audit
Akuntan publik dihadapkan pada berbagai tuntutan dalam menjalankan profesinya. Salah satu masalah yang tidak dapat dipisahkan dari akuntan publik adalah mengenai independensi. Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP) seksi 220, menyatakan bahwa independen berarti tidak mudah dipengaruhi. Sementara itu, menurut Arens, et all (2006), menyatakan bahwa independensi dalam audit berarti mengambil sudut pandang yang tidak bias.
Penelitian yang dilakukan oleh Deis dan Giroux (1992) yang menyatakan bahwa kualitas audit dipengaruhi oleh independensi auditor. Hal serupa dinyatakan oleh Mayangsari (2003) yang menguji pengaruh independensi dan kualitas audit terhadap integritas laporan keuangan. Hasil penelitian ini mendukung hipotesa bahwa spesialisasi auditor berpengaruh positif terhadap integritas laporan keuangan, serta independensi berpengaruh negatif terhadap integritas laporan keuangan. Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh M. Nizarul Alim, dkk (2007) menemukan bukti empiris bahwa independensi berpengaruh signifikan terhadap kualitas audit. Penelitian Pany dan Reckers (1980) menemukan bahwa hadiah meskipun jumlahnya sedikit berpengaruh signifikan terhadap independensi auditor. Di sisi lain, penelitian Shockley (1981) menemukan bahwa ingkat persaingan antarKAP juga dapat meningkatkan risiko
rusaknya independensi akuntan publik. KAP yang lebih kecil mempunyai risiko kehilangan independensi yang lebih besar dibandingkan KAP yang lebih besar.
Selanjutnya, hasil penelitian Puri Nurmalitasari (2013) menyimpulkan bahwa independensi berpengaruh signifikan terhadap kualitas audit. Hasil yang sama diperlihatkan oleh penelitian yang dilakukan Sarkar dan Sarkar (2010) yang menemukan bahwa independensi auditor memainkan peran penting dalam tata kelola perusahaan. Hal ini juga pada akhirnya akan berdampak pada kualitas audit yang dihasilkan oleh auditor.
2.3.2 Pengaruh Rotasi Audit terhadap Kualitas Audit
Rotasi audit yang erat kaitannya dengan tenure audit, menjadi salah satu cara yang paling efektif untuk meningkatkan independensi (Imhof, 2003). Menurut Deis dan Giroux (1992), tenure audit menunjukkan lama waktu auditor telah melakukan pemeriksaan terhadap suatu perusahaan. Hasil penelitian Al-Thuneibat, et all (2011) menyimpulkan bahwa hubungan yang lama antara auditor dan kliennya berpotensi untuk menciptakan kedekatan antara mereka, cukup untuk menghalangi independensi auditor dan mengurangi kualitas audit.
Semakin lama hubungan antara KAP dengan klien, maka akan semakin besar kemungkinan menurunnya independensi auditor. Semakin menurunnya independensi auditor, semakin menurun pula kualitas audit yang dihasilkan.
Hubungan yang lama antara auditor dengan klien menimbulkan hubungan yang erat yang membuat auditor merasa mempunyai hubungan lebih dari rekan kerja atau bahkan menganggap kliennya sebagai keluarga. Hal tersebut membuat
auditor cenderung mengikuti keinginan klien meskipun auditor harus melanggar standar-standar audit untuk memberikan opini yang diinginkan klien atau membuat opini audit yang tidak sesuai dengan kondisi klien.
Penelitian yang dilakukan oleh Ebimobowei dan Oyadonghan (2011) dalam Adeniyi dan Mieseigha (2013) menemukan bahwa rotasi mandatory memberikan dampak positif terhadap kualitas laporan audit dan dapat meningkatkan kepercayaan publik terhadap fungsi audit. Selanjutnya, penelitian yang dilakukan oleh Adeyemi dan Okpala (2011) menemukan bahwa tenure KAP yang lama dapat menghilangkan independensi. Hasil yang sama ditunjukkan oleh Mostafa dan Hussien (2010) yang menemukan bahwa :
1. Rotasi audit merupakan solusi untuk meningkatkan independensi auditor. 2. Hubungan jangka panjang antara auditor dan klien dapat merusak
independensi auditor karena meningkatkan keakraban, kedekatan, dan loyalitas kepada klien yang pada akhirnya akan mengganggu objektivitas dan penilaian profesional auditor.
Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran Independensi Auditor a. SPAP, 2009. b. Deis dan Giroux, 1992. c. Sarkar dan Sarkar, 2010. Rotasi Audit a. PMK No. 17/PMK.01/20 08. b. Al-Thuneibat, et all, 2011. c. Ebimobowei dan Oyadonghan, 2011. Kualitas Audit Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP), IAPI, 2009.
2.4 Hipotesis Penelitian
Menurut Nur Indriantoro dan Bambang Supomo (2002), hipotesis menyatakan hubungan yang diduga secara logis antara dua variabel atau lebih dalam rumusan proposisi yang dapat diuji secara empiris. Dari uraian teori di atas, penulis dapat menarik hipotesis sebagai berikut :
H01 : Independensi auditor tidak berpengaruh terhadap kualitas audit. Ha1 : Independensi auditor berpengaruh terhadap kualitas audit. H02 : Rotasi audit tidak berpengaruh terhadap kualitas audit. Ha2 : Rotasi audit berpengaruh terhadap kualitas audit.
H03 : Independensi auditor dan rotasi audit tidak berpengaruh terhadap kualitas audit.