• Tidak ada hasil yang ditemukan

Self Adjustment Among Inmates

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Self Adjustment Among Inmates"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

19 PENYESUAIAN DIRI PADA NARAPIDANA

Raden Guritno Rohmanto

Fakultas Psikologi Universitas Semarang Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui secara empiris hubungan antara sikap terhadap stereotip dengan penyesuaian diri pada narapidana. Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah ada hubungan negatif antara sikap terhadap stereotip etnis dengan penyesuaian diri pada narapidana. Semakin positif sikap terhadap stereotip etnis maka semakin rendah penyesuaian diri pada narapidana, dan sebaliknya. Subjek dalam penelitian ini berjumlah 172 narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Kedung Pane Semarang. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah teknik purposive sampling.

Data penelitian dikumpulkan dengan menggunakan Skala Penyesuaian diri pada Narapidana dan Skala Sikap terhadap Stereotip Etnis. Analisis data dilakukan dengan menggunakan teknik Korelasi Product Moment. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan negatif yang sangat signifikan antara sikap terhadap stereotip etnis dengan penyesuaian diri pada narapidana yang ditunjukkan dengan nilai rxy = - 0,231, sehingga hipotesis dalam penelitian ini diterima.

Kata Kunci : penyesuaian diri pada narapidana

Self Adjustment Among Inmates

Abstract

This study aims to determine empirically the relationship between attitudes towards stereotypes with adjustment in inmates. The hypothesis of this study is there is a negative relationship between attitudes toward ethnic stereotypes with the adjustment in inmates. The more positive attitudes toward ethnic stereotyping, the lower adjustment in inmates, and vice versa. Subjects in this study amounted to 172 inmates at the Lapas Kedung Pane Semarang. The sampling technique used was purposive sampling technique.

Data were collected by using the Scale Adjustment Scale on Attitudes toward Prisoners and Ethnic Stereotypes. Data analysis was performed using Product Moment Correlation technique. The results showed that there was a significant negative correlation between attitudes towards ethnic stereotypes with the adjustment in inmates as indicated by the value of rxy = - 0.231, so the

hypothesis in this study received.

(2)

20 PENDAHULUAN

Lembaga Pemasyarakatan merupakan suatu wadah yang digunakan untuk menampung para pelaku tindak pidana kejahatan untuk mempertanggung jawabkan tindakannya. Berbagai latar belakang kasus kejahatan yang dilakukan narapidana, menimbulkan berbagai konflik tersendiri bagi para narapidana. Kerasnya kondisi kehidupan dipenjara, dimana individu harus dapat bertahan dengan berbagai orang dengan latar belakang yang berbeda seringkali mendorong para penghuninya untuk menunjukkan bentuk-bentuk penyesuaian, sehingga kehadirannya dapat diterima oleh penghuni penjara lainnya. Salah satu usaha yang dilakukan narapidana agar dapat memperoleh ketentraman tanpa adanya gangguan dari narapidana yang lain adalah mencoba untuk menjalin hubungan dengan narapidana lainnya. Narapidana diharapkan dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan lembaga pemasyarakatan, sehingga tetap dapat menjalin hubungan baik dengan sesama narapidana.

Pembatasan kebebasan bertindak dan kehilangan privasi sebagai makhluk individual merupakan stresor yang diterima narapidana setiap harinya. Kurangnya kebebasan bagi narapidana untuk bergerak dapat menghambat penyesuaian diri para narapidana. Narapidana merasa tertekan hingga pada salah satu contoh kasus seorang narapidana di lembaga pemasyarakatan Kedung Pane Semarang yang ditemukan tewas gantung diri pada tanggal 18 September 2006 di dalam sel kosong di dekat tempatnya dikurung (Hermanto, 2006: 1). Napi yang sebentar lagi akan menghirup udara

bebas tersebut nekad mengakhiri hidupnya dan diduga karena adanya perasaan sepi tidak ada yang bisa dijadikan teman ngobrol ketika di sel.

Lembaga Pemasyarakatan Kedung Pane merupakan lembaga pemasyarakatan Klas I di Semarang yang merupakan salah satu Unit Pelaksana Teknis (UPT) di bidang Pemasyarakatan dimana termasuk dalam wilayah kerja Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM Jawa Tengah. Jumlah narapidana yang ada di LP Kedung Pane Semarang per 28 Juli 2012 sebanyak 1151 narapidana yang berasal dari berbagai etnis, antara lain etnis Jawa, Sunda, Ambon, Betawi, Madura, Batak, dan Tionghoa.

Gerungan (2004: 55)

menambahkan bahwa menyesuaikan diri berarti mengubah diri dengan keadaan lingkungan disebut juga penyesuaian diri autoplastis. Penyesuaian diri adalah kemampuan untuk membuat rencana dan mengorganisir respon-respon sedemikian rupa, sehingga bisa menguasai atau menanggapi segala macam konflik, kesulitan masalah hidup, dan frustrasi-frustrasi dengan cara yang efisien (Kartono, 2000: 260-261). Kerasnya kehidupan di penjara membutuhkan proses penyesuaian diri yang baik pada narapidana, apalagi latar belakang

narapidana di lembaga

pemasyarakatan adalah para pelaku tindak kejahatan. Kemampuan menyesuaian diri pada narapidana akan menjadikannya tetap dapat membina hubungan baik, tanpa harus terlibat konflik dengan sesama narapidana dan dapat mengancam kerukunan di dalam penjara.

Semiun (2006: 296) menyatakan penyesuaian diri dipengaruhi oleh

(3)

21 beberapa faktor, salah satunya adalah

sikap. Ketidakmampuan

menyesuaikan diri muncul dari sikap dan penilaiannya terhadap gambaran diri dan juga ditentukan oleh pengaruh reaksi orang lain di lingkungannya. Panggabean (2004: 19) bahwa sikap merupakan hasil penilaian atau evaluasi terhadap orang-orang, atau kejadian di suatu tempat apakah memuaskan, baik, menyenangkan, menguntungkan atau sebaliknya. Sikap akan menyebabkan manusia bertindak secara khas terhadap objeknya. Stereotip yang melekat pada masing-masing narapidana akan disikapi secara berbeda oleh narapidana lainnya. Sikap negatif terhadap stereotip etnis pada narapidana di LP Kedung Pane Semarang akan menjadikan narapidana menganggap bahwa perbedaan bukanlah penghambat dalam interaksi sosial, sehingga diharapkan tetap dapat menunjukkan penyesuaian diri yang baik.

Gerungan (2004: 168) menyatakan bahwa peranan stereotipe sangat besar dalam pergaulan sosial individu. Lebih lanjut dijelaskan bahwa stereotipe merupakan gambaran atau tanggapan tertentu mengenai sifat-sifat dan watak pribadi orang golongan lain yang bercorak negatif. Gambaran negatif terhadap orang lain hendaknya dapat disikapi secara berbeda oleh narapidana sehingga tidak mengganggu penyesuaian dirinya. Robbins dan Timothy (2008: 92) menyatakan bahwa sikap (attitude) adalah pernyataan evaluatif baik yang menyenangkan maupun tidak menyenangkan terhadap objek, individu, atau peristiwa. Kehidupan di penjara seringkali menempatkan

seseorang dengan imej tertentu berdasarkan kasus yang menyebabkannya di penjara. Semakin berat kasus yang pernah dilakukan semakin dihormati seseorang di dalam penjara dan bagi narapidana lain adalah suatu hal yang menakutkan apabila ingin mengadakan hubungan sosial dengannya.

Bagi para narapidana yang sedang menjalani masa tahanan, penyesuaian diri menjadi hal penting demi kelangsungan hubungan dengan narapidana lainnya. Sikap negatif terhadap gambaran-gambaran negatif (stereotip) dari narapidana lain, akan menjadikannya mampu menumbuhkan penyesuaian diri yang baik tanpa harus merasa takut akan mendapatkan perlakuan berbeda karena berbeda etnis dengan narapidana lainnya. Narapidana akan dapat membaur dengan sesama narapidana yang ada di lapas tanpa harus terhalangi oleh adanya pandangan terhadap suatu etnis tertentu yang ada di lembaga pemasyarakatan. Namun demikian, banyak narapidana yang kesulitan dalam menumbuhkan penyesuaian diri, hingga yang terparah mengalami tekanan dan berakibat pada tindakan bunuh diri pada narapidana dan terjadinya kerusuhan di dalam penjara dengan sesama narapidana.

Penyesuaian diri pada narapidana

Lazarus (1961: 4) menyatakan bahwa konsep penyesuaian berawal dari perkembangan biologis yang berlandaskan teori Darwin. Penyesuaian dalam bidang biologi diistilahkan sebagai adaptasi. Darwin menyatakan bahwa hanya organisme yang paling mampu untuk

(4)

22 beradaptasi dengan bahaya dari

dunia fisik yang mampu bertahan hidup. Chaplin (2004: 11) menjelaskan bahwa adjustment (penyesuaian diri) memiliki dua arti yaitu variasi dalam kegiatan organisme untuk mengatasi suatu hambatan dan memuaskan kebutuhan-kebutuhan, dan menegakkan hubungan yang harmonis dengan lingkungan fisik dan sosial.

Siswanto (2007: 34) menyatakan bahwa penyesuaian diri adalah mengatur kembali ritme hidup atau jadwal harian. Individu yang memiliki penyesuaian diri yang baik adalah individu yang dengan cepat mampu mengelola dirinya menghadapi perubahan-perubahan yang terjadi. Lebih lanjut Schneiders (dalam Gunarsa dan Gunarsa, 2008: 93-94) mendefinisikan penyesuaian diri sebagai suatu proses mental dan tingkah laku yang mendorong individu untuk menyesuaikan diri sesuai dengan keinginan yang berasal dari dalam diri sendiri, yang dapat diterima oleh lingkungannya. Dengan kata lain, penyesuaian diri adalah reaksi individu terhadap rangsangan-rangsangan dari dalam diri sendiri maupun reaksi individu terhadap situasi yang berasal dari lingkungannya.

Narapidana adalah terpidana yang menjalani pidana dan kehilangan kemerdekaan atau kebebasan (Marbun, 2010: 73). Narapidana juga dapat didefinisikan sebagai seorang tahanan di balik jeruji besi yang tidak mendapatkan kebebasan atau kemerdekaan karena tidak mempunyai kebebasan sama sekali, atau jika ada sangat kecil untuk berbuat dan mendapatkan

sesuatu yang diinginkannya (Iry, 2009: 20). Narapidana adalah terpidana yang menjalani pidana hilang kemerdekaan di Lapas (Undang-Undang Republik Indonesia No. 12 Tahun 1995 Bab I Pasal I). Narapidana bukan saja obyek melainkan juga subyek yang tidak berbeda dari manusia lainnya yang sewaktu-waktu dapat melakukan kesalahan atau kekhilafan yang dapat dikenakan pidana, sehingga tidak harus diberantas. Hal yang harus diberantas adalah faktor-faktor yang dapat menyebabkan narapidana berbuat hal-hal yang bertentangan dengan hukum, kesusilaan, agama, atau kewajiban-kewajiban sosial lain yang dapat dikenakan pidana. Sistem pemasyarakatan merupakan serangkaian penegakan hukum yang bertujuan agar warga binaan pemasyarakatan menyadari kesalahannya, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana, sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab (Undang-Undang Republik Indonesia No. 12 Tahun 1995). Narapidana merupakan anggota dari masyarakat umum yang memiliki hak dan kewajiban sebagaimana warga negara lainnya, dikarenakan perlakuannya dalam kehidupan sehari-hari telah melakukan kesalahan yaitu melanggar hukum yang berlaku, maka untuk sementara waktu dimasukkan ke dalam Lembaga Pemasyarakatan dan akan kehilangan kemerdekaannya dalam waktu tertentu (Sudirohusodo, dalam Siswati dan Abdurrohim, 2009: 96).

(5)

23 Pembinaan narapidana mempunyai

arti bahwa seseorang yang berstatus narapidana akan diubah menjadi seseorang yang baik. Atas dasar pengertian yang demikian tersebut, maka sasaran yang perlu dibina adalah pribadi dan budi pekerti narapidana, yang didorong untuk membangkitkan diri sendiri dan orang lain, serta mengembangkan rasa tanggung jawab untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan yang tenteram dan sejahtera dalam masyarakat dan selanjutnya berpotensi menjadi manusia yang berbudi luhur dan bermoral tinggi.

Berdasarkan uraian tersebut diketahui bahwa penyesuaian diri pada narapidana adalah kemampuan individu yang sedang menjalani proses hukuman dan kehilangan kemerdekaan atau kebebasan untuk menghadapi tuntutan-tuntutan, baik dari dalam diri maupun dari lingkungan.

Wibowo (dalam Gunarsa dan Gunarsa, 2008: 94) menyatakan bahwa ciri-ciri penyesuaian diri yang baik, antara lain:

a. Sikap dan tingkah laku yang nyata (overt performance) yang sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat.

b. Mampu menyesuaikan diri dengan setiap kelompok yang dimasuki.

c. Sikap yang menyenangkan terhadap orang lain, bersedia berpartisipasi dan dapat menjalankan peranannya dengan baik sebagai anggota kelompok. d. Adanya rasa puas dan bahagia

karena dapat mengambil bagian dalam aktivitas kelompok.

Siswanto (2007: 36-39) menyatakan bahwa individu yang

mampu menyesuaikan diri dengan baik, umumnya memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

a. Memiliki persepsi yang akurat terhadap realita

Pemahaman atau persepsi individu terhadap realita berbeda-beda, mekipun realita yang dihadapi adalah sama. Perbedaan persepsi tersebut dipengaruhi oleh pengalaman masing-masing individu yang tentunya berbeda satu sama lain. Meskipun persepsi masing-masing individu berbeda dalam menghadapi realita, tapi individu yang memiliki penyesuaian diri yang baik memiliki persepsi yang relatif objektif dalam memahami realita. Persepsi yang objektif ini adalah bagaimana individu mengenali konsekuensi-konsekuensi tingkah lakunya dan mampu bertindak sesuai dengan konsekuensi tersebut. Sebaliknya, individu yang penyesuaian dirinya buruk dicirikan dengan adanya kesenjangan antara persepsinya dengan realita yang aktual sehingga ini membuatnya kurang bisa melihat akibat dari tingkah lakunya. Akibatnya, individu seringkali mengalami masalah karena kurang mampu mengenali berbagai akibat dari tingkah laku yang ditimbulkannya.

b. Kemampuan untuk beradaptasi dengan tekanan atau stres dan kecemasan

Pada dasarnya setiap individu tidak senang bila mengalami tekanan dan kecemasan. Umumnya individu menghindari hal-hal yang menimbulkan tekanan dan kecemasan dan

(6)

24

menyenangi pemenuhan

kepuasan yang dilakukan dengan segera. Namun, individu yang mampu menyesuaikan diri tidak selalu menghidnari munculnya tekanan dan kecemasan. Kadang individu justru belajar untuk mentoleransi tekanan dan kecemasan yang dialami dan mau menunda pemenuhan kepuasan selama itu diperlukan demi mencapai tujuan tertentu yang lebih penting sifatnya.

c. Mempunyai gambaran diri yang positif tentang dirinya

Pandangan individu terhadap dirinya dapat menjadi indikator dari kualitas penyesuaian diri yang dimiliki. Pandangan tersebut lebih mengarah pada apakah individu bisa melihat dirinya secara harmonis atau sebaliknya dia melihat adanya berbagai konflik yang berkaitan dengan dirinya. Individu yang banyak melihat pertentangan-pertentangan dalam dirinya, bisa menjadi indikasi adanya kekurangmampuan dalam penyesuaian diri (maladjusted). Gambaran diri yang positif juga mencakup apakah individu yang bersangkuran bisa melihat dirinya secara realistik, yaitu secara seimbang tahu kelebihan dan kekurangan diri sendiri dan mampu menerimanya sehingga memungkinkan individu yang bersangkutan untuk dapat merealisasikan potensi yang dimiliki secara penuh.

d. Kemampuan untuk

mengekspresikan perasaannya

Individu yang dapat

menyesuaikan diri dengan baik dicirikan memiliki kehidupan

emosi yang sehat. Individu tersebut mampu menyadari dan merasakan emosi atau perasaan yang saat itu dialami serta mampu untuk mengekspresikan perasaan dan emosi tersebut dalam spektrum yang luas. Selain itu individu yang memiliki kehidupan emosi yang sehat mampu memberikan reaksi-reaksi emosi yang realistis dan tetap di bawah kontrol sesuai dengan situasi yang dihadapi. Sebaliknya penyesuaian diri yang buruk ditandai dengan adanya

kecenderungan untuk

mengekspresikan emosi secara berlebihan (over) atau sebaliknya.

e. Relasi interpersonal baik

Individu yang memiliki penyesuaian yang baik mampu mencapai tingkat keintiman yang tepat dalam suatu hubungan sosial. Individu mampu bertingkah laku secara berbeda terhadap individu yang berbeda karena kedekatan relasi, interpersonal antar individu yang berbeda pula. Individu mampu menikmati disukai dan direspek oleh orang lain di satu sisi, tetapi juga mampu memberikan respek dan menyukai orang lain.

Peneliti akan menggunakan pendapat yang diutarakan oleh Siswanto (2007: 36-39) bahwa ciri-ciri penyesuaian diri yang efektif adalah memiliki persepsi yang akurat terhadap realita, kemampuan untuk beradaptasi dengan tekanan atau stres dan kecemasan, mempunyai gambaran diri yang positif tentang dirinya, kemampuan untuk mengekspresikan perasaannya, serta relasi interpersonal baik.

(7)

25 Sikap terhadap stereotip etnis

Walgito (2002: 110-111) mengemukakan sikap sebagai organisasi pendapat, keyakinan seseorang mengenai objek atau situasi yang relatif ajeg yang disertai adanya perasaan tertentu dan memberikan dasar kepada individu untuk membuat respon atau berperilaku dalam cara tertentu yang dipilihnya. Sarwono (2002: 232) memberikan definisi sikap sebagai sesuatu yang dipelajar. Oleh karena itu, sikap lebih dapat dibentuk, dikembangkan, dipengaruhi dan diubah. Robbins dan Timothy (2008: 92) menyatakan bahwa sikap (attitude) adalah pernyataan evaluatif baik yang menyenangkan maupun tidak menyenangkan terhadap objek, individu, atau peristiwa.

Gerungan (2004: 168) menyatakan bahwa stereotip merupakan gambaran atau tanggapan tertentu mengenai sifat-sifat dan watak pribadi orang golongan lain yang bercorak negatif. Stereotip mengenai orang lain itu sudah terbentuk pada orang yang berprasangka sebelumnya sebelum ia mempunyai kesempatan untuk bergaul sewajarnya dengan orang-orang lain yang dikenakan prasangka. Peranan stereotip sangat besar dalam pergaulan sosial individu. Lebih lanjut Jhonson (dalam Liliweri, 2005: 208) menyatakan bahwa stereotip adalah keyakinan seseorang untuk menggeneralisasi sifat-sifat tertentu yang cenderung negatif tentang orang lain karena dipengaruhi oleh pengetahuan dan pengalaman bersama.

Berdasarkan uraian tersebut

diketahui bahwa sikap terhadap stereotip etnis adalah organisasi pendapat, keyakinan yang dibentuk sepanjang perkembangan maupun pengalaman individu terhadap gambaran atau tanggapan tertentu mengenai sifat-sifat dan watak pribadi mengenai kesukuan suatu kelompok.

Walgito (2002: 111) menyatakan bahwa sikap mempunyai tiga komponen, yaitu:

a. Komponen kognitif

Yaitu komponen yang berkaitan dengan pengetahuan, pandangan, keyakinan, yaitu hal-hal yang berhubungan dengan bagaimana orang mempersepsi terhadap objek sikap.

b. Komponen afektif

Komponen yang berhubungan dengan rasa senang atau tidak senang terhadap objek sikap. Rasa senang merupakan hal yang positif, sedangkan rasa tidak senang merupakan hal yang negatif.

c. Komponen konatif

Komponen yang berhubungan dengan kecenderungan bertindak terhadap objek sikap, menunjukkan intensitas sikap yaitu besar kecilnya kecenderungan bertindak atau berperilaku seseorang terhadap objek sikap.

Kothandapani dan Mann (dalam Azwar, 2011: 24-27) sikap terdiri dari tiga komponen yaitu:

a. Komponen kognitif

Mann (dalam Azwar, 2011: 24) menjelaskan bahwa komponen kognitif adalah komponen yang berisi tentang persepsi, kepercayaan dan stereotype yang dimiliki individu mengenai

(8)

26 sesuatu. Seringkali komponen

kognitif ini disamakan dengan pandangan (opini) terutama apabila menyangkut masalah isu atau problem yang kontraversial. b. Komponen afektif (perasaan)

Komponen afektif merupakan perasaan individu terhadap objek sikap dan menyangkut masalah emosi. Aspek emosional inilah yang biasanya berakar paling dalam sebagai komponen sikap dan merupakan aspek yang paling bertahan terhadap pengaruh-pengaruh yang mungkin akan mengubah sikap seseorang.

c. Komponen perilaku

Komponen perilaku berisi tendensi atau kecenderungan untuk bertindak atau untuk bereaksi terhadap sesuatu dengan cara-cara tertentu.

Tajfel (dalam Liliweri, 2005: 208-209) menyatakan bahwa terdapat beberapa jenis stereotip, yaitu:

a. Stereotip individu

Generalisasi yang dilakukan individu dengan menarik kesimpulan atas karakteristik orang lain dengan ukuran yang luas dan jarak tertentu melalui proses kategori yang bersifat kognitif (berdasarkan pengalaman individu).

b. Stereotip sosial

Stereotip sosial terjadi manakala stereotip tersebut telah menjadi evaluasi terhadap kelompok tertentu dan telah meluas dan menyebar pada kelompok sosial lain.

Berdasarkan uraian tersebut diketahui komponen-komponen sikap terhadap stereotip adalah

komponen kognitif, komponen afektif dan komponen konatif terhadap stereotip individu dan stereotip sosial.

METODE PENELITIAN

Subjek dalam penelitian ini adalah narapidana di lembaga pemasyarakatan Kedung Pane Semarang. Penelitian ini menggunakan dua skala yaitu Skala Penyesuaian Diri pada Narapidana dan Skala Sikap terhadap Stereotip Etnis.

Hipotesis yang diajukan, diuji secara statistik dengan menggunakan teknik korelasi Product Moment. Semua perhitungan statistik dalam penelitian ini menggunakan program SPSS.

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ada hubungan negatif antara sikap terhadap stereotip etnis dengan penyesuaian diri pada narapidana. Semakin positif sikap terhadap stereotip etnis maka semakin rendah penyesuaian diri pada narapidana, dan sebaliknya. Hasil penelitian ini mendukung pendapat yang diutarakan oleh Semiun (2006: 296)

yang menyatakan bahwa

ketidakmampuan menyesuaikan diri muncul dari sikap dan penilaiannya terhadap gambaran diri dan juga ditentukan oleh pengaruh reaksi orang lain di lingkungannya.

Walgito (2002: 110-111) mengemukakan sikap sebagai organisasi pendapat, keyakinan seseorang mengenai objek atau situasi yang relatif ajeg yang disertai adanya perasaan tertentu dan memberikan dasar kepada individu untuk membuat respon atau berperilaku dalam cara tertentu yang dipilihnya. Sikap akan menyebabkan

(9)

27 manusia bertindak secara khas

terhadap objeknya. Stereotip yang melekat pada masing-masing narapidana akan disikapi secara berbeda oleh narapidana lainnya. Sikap negatif terhadap stereotip etnis pada narapidana di LP Kedung Pane Semarang akan menjadikan narapidana menganggap bahwa perbedaan bukanlah penghambat dalam interaksi sosial, sehingga diharapkan tetap dapat menunjukkan penyesuaian diri yang baik.

Breckler, dkk (dalam Azwar, 2011: 6) mendefinisikan sikap sebagai kombinasi reaksi afektif, perilaku, dan kognitif terhadap suatu objek. Individu dikatakan memiliki sikap positif terhadap suatu objek psikologi apabila individu suka (like) atau memiliki sikap yang favorable, sebaliknya individu yang dikatakan memiliki sikap yang negatif terhadap objek psikologis bila individu tidak suka (dislike) atau sikapnya unfavorable terhadap objek psikologis. Kehidupan di penjara seringkali menempatkan seseorang dengan imej tertentu berdasarkan kasus yang menyebabkannya di penjara. Semakin berat kasus yang pernah dilakukan semakin dihormati seseorang di dalam penjara dan bagi narapidana lain adalah suatu hal yang menakutkan apabila ingin mengadakan hubungan sosial dengannya.

PENUTUP Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian maka dapat diambil simpulan bahwa ada hubungan negatif antara sikap terhadap stereotip etnis dengan penyesuaian diri pada narapidana. Semakin negatif sikap terhadap stereotip etnis maka semakin tinggi

penyesuaian diri pada narapidana, dan sebaliknya.

DAFTAR PUSTAKA

Azwar, S. 2004. 2011. Sikap Manusia, Teori dan Pengukurannya. Edisi ke 2. Cetakan XV. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset.

Chaplin, J. P. 2004. Kamus Lengkap Psikologi. Alih Bahasa: Kartini Kartono. Jakarta : Raja Grafindo Persada.

Gerungan, W.A., 2004. Psikologi Sosial. Jakarta: Refika.

Gunarsa, S. D., dan Gunarsa, Y. S.

D. 2008. Psikologi

Perkembangan Anak dan Remaja.

Hermanto, A. 2006. Stres, Napi Bunuh Diri dalam Sel. http://www.indosiar.com.

Iry, A. G. 2009. Dari Papua Meneropong Indonesia. Jakarta: Grasindo.

Kartono, K. 2000. Hygiene Mental. Bandung: Mandar Maju.

Lazarus, R. S. 1961. Adjustment and Personality.

http://ia700202.us.archive.org/0/i tems/adjustmentperson431laza/a djustmentperson431laza. New York: Mc.Graw-Hill Book Company, INC.

Liliweri, A. 2005. Prasangka dan Konflik: Komunikasi Lintas

Budaya Masyarakat

Multikultural. Yogyakarta: LkiS. Marbun, R. 2010. Cerdik dan Taktis

Menghadapi Kasus Hukum. Jakarta: Visimedia.

(10)

28 Panggabean, M. S. 2004. Manajemen

Sumber Daya Manusia. Bogor : Ghalia Indonesia.

Robbins, S. Dan Timothy, A. J. 2008. Perilaku Organisasi. Buku 1. Edisi 12. Alih Bahasa: Diana Angelica. Ria Cahyani, dan Abdul Rosyid. Jakarta: Salemba Empat.

Sarwono, S.W. 2002. Psikologi Sosial : Individu dan Teori-teori Psikologi Sosial. Edisi Satu. Cetakan Ketiga. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.

Semiun, Y. 2006. Kesehatan Mental. Yogyakarta: Kanisius.

Siswanto. 2007. Kesehatan Mental: Konsep, Cakupan, dan Perkembangannya. Yogyakarta: Penerbit Andi.

Siswati, T. I., dan Abdurrohim. 2009. Masa Hukuman dan Stres pada Narapidana. Proyeksi. Vol. 4. No. 2. Hal. 95-106. Semarang: Fakultas Psikologi Universitas

Islam Sultan Agung

(UNISSULA) Semarang

Undang-Undang Republik Indonesia No.12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan.

Walgito, B. 2002. Psikologi Sosial Suatu Pengantar. Yogyakarta: ANDI

Referensi

Dokumen terkait

Di IAIN Tulungagung, menulis adalah salah satu mata kuliah utama dalam jurusan Tadris Bahasa Inggris. Dalam mahasiswa semester ketiga tahun akademik 2013/2014, mahasiswa

Tengaran sangat membutuhkan sistem informasi yang dapat memudahkan kegiatan akademik, terutama pada kegiatan pendaftaran penerimaan peserta didik baru (PPDB) dan

3) Dalam penyusunan RPJM Daerah ini ditambahkan rancangan program indikatif 1 (satu) tahun ke depan setelah periode RPJM Daerah berakhir. Hal ini adalah

Mindazonáltal a diagram arra is rávilágít, hogy valamennyi vizs- gált tankönyvi egységben az egyes tartalmi alkategóriák egymáshoz viszonyított aránya – figyelembe véve

Ada beberapa kriteria umum yang perlu diperhatikan dalam pemilihan media. Perlu dikaji tujuan pembelajaran apa yang ingin dicapai dalam suatu kegiatan

Skripsi ini berhasil menemukan bukti empiris bahwa idealisme dan realtivisme masing-masing berpengaruh secara positif dan negative terhadap sensitivitas etika serta komitmen

Terlepas dari itu, semua pihak mungkin sepakat bahwa penggunaan tembakau atau peredaran rokok sebagai produk yang mengandung zat adiktif harus dikendalikan/dibatasi untuk melindungi

Adanya hubung singkat menimbulkan arus lebih yang pada umumnya jauh lebih besar daripada arus pengenal peralatan dan terjadi penurunan tegangan pada sistem tenaga listrik,