• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang"

Copied!
60
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Korupsi merupakan kejahatan luar biasa karena menyebabkan terjadinya kerugian negara dan melanggar hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat. Modus yang digunakan juga semakin beragam dan canggih. Oleh karena itu dikeluarkan Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 yang menjadi dasar pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk melakukan tugas pemberantasan korupsi di Indonesia.

Pemberantasan korupsi tidak dapat dilakukan oleh KPK dan penegak hukum saja, tetapi juga memerlukan sinergi dan kesamaan persepsi dari seluruh komponen bangsa. Di sini, peran serta masyarakat memiliki arti penting dalam strategi pemberantasan korupsi. Pada kegiatan yang sifatnya represif, masyarakat dapat langsung menjadi pelapor dugaan tindak pidana korupsi terutama di birokrasi dan layanan publik, sedangkan dari sisi preventif, tindakan utama pemberantasan korupsi dapat dimulai dari kesadaran diri masing-masing untuk mematuhi hukum dan menjauhi tindakan koruptif. Masyarakat pada umumnya antikorupsi, namun pada realitanya seringkali melakukan tindakan yang koruptif atau dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk menjadi lahan korupsi.

Sebagai lembaga publik yang dibentuk untuk melaksanakan tugas pemberantasan korupsi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 2002, KPK diwajibkan untuk mempertanggungjawabkan kinerjanya kepada publik. Selain pelaporan ke DPR dan audit BPK, KPK juga perlu mengetahui persepsi dan harapan masyarakat terhadap kinerja dan capaian KPK sebagai salah satu wujud mekanisme pengawasan lembaga publik oleh masyarakat. Untuk itu, KPK secara berkala melakukan survei yang ditujukan untuk mendapatkan pemahaman mengenai persepsi dan harapan masyarakat terhadap korupsi dan KPK.

Sasaran kegiatan Survei Persepsi Masyarakat terhadap korupsi dan KPK tahun 2011 (SPM 2011) ini adalah untuk memacu pembenahan internal KPK baik berupa kritik, masukan dan saran agar KPK lebih handal, transparan, dan akuntabel dalam melaksanakan

(2)

Undang-Undang yang diamanatkan. Selain itu informasi mengenai pemahaman masyarakat terkait korupsi dan KPK dapat membantu mengembangkan strategi yang efektif dalam memberantas korupsi, juga menjadi alat ukur efektivitas kinerja KPK dalam menjalankan tugasnya.

1.2. Tujuan Penelitian

Tujuan pelaksanaan SPM tahun 2011 ini adalah untuk:

1.

Mendapatkan gambaran perkembangan pemahaman masyarakat mengenai korupsi. Hal ini meliputi: kesadaran, pengetahuan, sikap dan perilaku masyarakat terhadap korupsi.

2.

Mengetahui perkembangan persepsi masyarakat mengenai KPK. Hal ini meliputi kesadaran, pengetahuan, sikap dan perilaku masyarakat terhadap KPK, serta penilaian dan kepuasan masyarakat terhadap kinerja KPK.

Hasil SPM tahun 2011 diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai bahan masukan dalam menyusun strategi pemberantasan korupsi yang efektif maupun evaluasi dari perencanaan strategis KPK yang sudah dikembangkan sebelumnya.

1.3. Metode Survei

1.3.1. Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data primer SPM tahun 2011 menggunakan metode wawancara langsung (tatap muka) dengan responden. Alat bantu yang digunakan dalam wawancara langsung ini adalah kuesioner terstruktur.

1.3.2. Lokasi dan Responden

Kriteria pemilihan lokasi survei adalah:

a) Secara geografis mewakili wilayah Indonesia bagian Barat, Tengah dan Timur; b) Merupakan daerah ibukota provinsi yang merupakan representasi sebagai kota

besar;

c)

Memiliki aktivitas ekonomi, politik dan potensi pembangunan yang relatif tinggi, yang di antaranya dapat dilihat dari jumlah usia produktif, luas wilayah, kepadatan penduduk, nilai PDRB perkapita, dan indeks pembangunan manusia;

(3)

d)

Menjadi prioritas utama yang masuk dalam wilayah kegiatan pencegahan KPK di tahun 2011

Berdasarkan kriteria tersebut terpilih 10 kota besar, dengan rincian sebagai berikut : Tabel I.1 Lokasi Sampel dan Sebaran Responden

Sumber: Data diolah

Survei ini menggunakan purposive sampling dalam melakukan pemilihan responden dengan kriteria responden sebagai berikut:

a) Usia minimal 20 tahun;

b) Pendidikan minimal lulusan SMA;

c) Mewakili kelompok profesi populasi (masyarakat) (meliputi mahasiswa, pegawai swasta, pegawai negeri/polisi/militer, wiraswasta, profesional dan lainnya (ibu rumah tangga, pensiunan, dsb);

Kriteria tersebut ditetapkan untuk mendapatkan responden yang dinilai telah memiliki cukup pengetahuan, serta mengikuti perkembangan informasi mengenai politik, ekonomi, hukum, dan sosial, sehingga dapat menjawab pertanyaan kuesioner.

No Daerah

1 Kota Medan 1,139,147 7,660 20,839 75.40 203

2 Kota Palembang 779,832 3,347 12,856 73.60 136

3 Kota Bandar Lampung 455,073 4,010 8,374 73.50 118

4 DKI Jakarta 5,656,281 13,324 57,290 76.10 506 5 Kota Bandung 1,449,333 13,704 15,101 74.30 247 6 Kota Semarang 892,446 3,847 7,361 75.30 132 7 Kota Surabaya 1,685,228 7,986 34,779 74.60 260 8 Kota Samarinda 353,469 800 22,724 75.10 125 9 Kota Makassar 705,343 6,787 13,097 76.60 162 10 Kota Manado 240,860 2,584 12,607 76.30 111 Total 2000 Jumlah Sampel Usia Produktif (≥ 20 Tahun) (25%) Kepadatan Penduduk (25%) PDRB Perkapita (25%) Indeks Pembangunan Manusia (25%)

(4)

Dengan menggunakan tingkat kepercayaan (confidence level) 99% dan selang kepercayaan (confidence interval) sebesar 5% serta total populasi (penduduk berusia 20 tahun ke atas) berjumlah 134.202.924 orang (BPS, 2005) maka jumlah minimum responden berdasarkan perhitungan statistik adalah 666 (Sun Yang: 1998). Dengan mempertimbangkan waktu survei dan anggaran yang tersedia, maka jumlah responden untuk survei ini ditetapkan minimal berjumlah 2000 orang. Tabel berikut menjelaskan 10 kota yang terpilih sekaligus penyebaran sampel respondennya pada ke 10 kota tersebut yang didasarkan pada rasio antara usia produktif, kepadatan penduduk, Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) per kapita, dan Indeks Pembangunan Manusia masing-masing sebesar 25%:25%:25%: 25%.

1.3.3. Pelaksana

SPM tahun 2011 dilakukan oleh Direktorat Penelitian dan Pengembangan KPK. Dalam rangka efektivitas dan efisiensi, pada tahap pengumpulan data primer, KPK melakukan kerjasama melalui sistem swakelola dengan pihak perguruan tinggi di 10 wilayah survei. 1.3.4. Analisis Data

Analisis data dilakukan secara deskriptif statistik (nilai tengah, ukuran dispersi, dan tabulasi silang) yang digunakan untuk menggambarkan baik karakteristik, kesadaran, pengetahuan, sikap, maupun perilaku responden terhadap korupsi ataupun KPK.

1.3.4. Keluaran

Keluaran SPM tahun 2011 ini berupa laporan hasil analisis data secara nasional. Namun demikian, untuk kebutuhan internal, isi laporan dapat dielaborasi berdasarkan daerah maupun karakteristik tertentu yang telah didefinisikan dalam kuesioner.

(5)

BAB II

KARAKTERISTIK RESPONDEN

Jumlah responden dalam SPM 2011 secara keseluruhan adalah 2000 orang, terdiri dari 61 persen pria (1 211 orang) dan 39 persen wanita (789 orang). Responden tersebut tersebar di 10 kota pada 10 wilayah sampel, dengan rincian sebaran sebagai berikut.

Tabel II.1. Jumlah Responden Berdasarkan Lokasi dan Wilayah Sampel dan Sebarannya

Sumber: Data diolah

Ditinjau dari tingkat pendidikan, sebagian besar responden adalah tamatan SMA (57,65%), kemudian diikuti oleh tamatan S-1 (29,05%), dan sisanya adalah lulusan Akademi dan Pascasarjana seperti ditunjukkan oleh tabel II.2 berikut:

No Lokasi Provinsi (%)

1 Medan Sumatera Utara 203 10.15

2 Bandar Lampung Lampung 118 5.90

3 Palembang Sumatera Selatan 136 6.80

4 Jakarta DKI Jakarta 506 25.30

5 Bandung Jaw a Barat 247 12.35

6 Surabaya Jaw a Timur 260 13.00

7 Semarang Jaw a Tengah 132 6.60

8 Makassar Sulaw esi Selatan 162 8.10

9 Manado Sulaw esi Utara 111 5.55

10 Samarinda Kalimantan Timur 125 6.25

Total 2000 100

Jumlah Responden

(6)

Tabel II.2 Status Pekerjaan Responden

Sumber: Data diolah

Apabila dikaitkan dengan status pekerjaan, maka mahasiswa menduduki porsi terbesar yaitu 20,45% kemudian diikuti oleh pegawai swasta dengan 15,5%, PNS 14,95% dan wiraswasta/pengusaha sebesar 11,75%, sisanya adalah TNI/POLRI, profesional, ibu rumah tangga dan pekerja sektor informal dan lain-lain. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel II.3 di bawah ini.

Tabel II.3 Tingkat Pendidikan Responden

Sumber: Data diolah

Sebagian besar responden dalam survei ini pengeluaran per bulannya berada di sekitar Rp. 1 juta sampai Rp. 2,5 juta dan di bawah Rp. 1 juta, dan hanya sebagian kecil yang berada di antara Rp. 2,5 juta sampai 5 juta dan di atas Rp. 5 juta, seperti ditunjukkan

No Tingkat Pendidikan % 1 Tamat SMA 1153 57.65 2 Tamat Akademi 144 7.20 3 Tamat S1 581 29.05 4 Tamat S2/S3 122 6.10 Total 2000 100 Jumlah Responden

No Status Pekerjaan Jumlah %

1 Mahasisw a 409 20.45

2 Pegaw ai Negeri Sipil (PNS) 299 14.95

3 TNI/POLRI 151 7.55

4 Pegaw ai Sw asta 310 15.50

5 W irasw asta/Pengusaha 235 11.75

6 Profesional 126 6.30

7 Ibu Rumah Tangga 177 8.85

8 Sektor Informal 113 5.65

9 Lain-lain 180 9.00

(7)

oleh Tabel II.4 berikut.

Tabel II.4 Nilai Pengeluaran Rata-rata Responden/Bulan

Sumber: Data diolah

Karakteristik responden yang ditampilkan tersebut diharapkan memberikan gambaran mengenai kondisi nyata responden sehingga mempermudah dalam menganalisis hasil survei SPM 2011 serta menetapkan program kerja pada tahun-tahun berikutnya.

No Pengeluaran (Rp) %

1 Di baw ah 1 juta 617 30.85

2 1 juta sd. 2.5 juta 852 42.60

3 Diatas 2.5 juta sd. 5 juta 400 20.00

4 Di atas 5 juta 131 6.55

Total 2000 100

Jumlah Responden

(8)

BAB III

PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP KORUPSI

Survei Persepsi Masyarakat mengenai Korupsi membagi pembahasan menjadi 4 (empat) bagian, yaitu persepsi masyarakat mengenai kesadaran korupsi, pengetahuan mengenai korupsi, sikap terhadap korupsi, serta persepsi masyarakat terhadap kecenderungan perilaku korupsi. Output dari bagian ini adalah pengukuran indeks pengetahuan masyarakat mengenai korupsi yang akan digunakan sebagai evaluasi pencapaian salah satu target bidang pencegahan KPK seperti yang disyaratkan dalam perencanaan strategis KPK.

3.1 Kesadaran Mengenai Korupsi

Untuk mengukur kesadaran masyarakat mengenai korupsi, penelitian ini mengembangkan beberapa instrumen pertanyaan. Pertanyaan pertama mengukur secara langsung paparan (exposure) kasus-kasus korupsi terhadap masyarakat untuk melihat apakah masyarakat sadar mengenai korupsi yang terjadi di sekitar mereka. Pertanyaan kedua dilakukan untuk melihat kasus-kasus yang mendapatkan perhatian lebih dari masyarakat. Pertanyaan terakhir pada bagian ini menggambarkan persepsi masyarakat mengenai kelaziman korupsi di Indonesia. Sebagai pembanding, survei korupsi di Hongkong ditunjukkan untuk membandingkan perbedaan persepsi masyarakat Hongkong dan masyarakat Indonesia terhadap kelaziman korupsi di masing-masing Negara/Wilayah.

Sebagian besar jawaban responden pada pertanyaan pertama menyatakan pernah mendengar atau mengetahui kasus korupsi dalam 1 tahun terakhir (99,05%). Pertanyaan ini menunjukkan tingkat kesadaran yang tinggi dari responden terhadap korupsi. Jawaban dari responden secara lengkap dapat dilihat pada Gambar 3.1.

(9)

Gambar 3.1 Jawaban Responden atas Pertanyaan “Apakah anda mengetahui/mendengar kasus korupsi yang pernah terjadi dalam 1 tahun terakhir?”.

Terdapat tiga besar (modus) kasus korupsi yang mendapatkan perhatian masyarakat dan sering disebutkan yaitu kasus pajak yang melibatkan Gayus Tambunan, kasus Bank Century, Wisma Atlet dan Nazaruddin. Kasus korupsi lain yang menjadi perhatian sebagian kecil responden adalah kasus penyuapan yang melibatkan Arthalita Suryani, Kasus Bank Indonesia yang melibatkan Aulia Pohan, Kasus BLBI, Kasus korupsi APBD di sejumlah daerah, Kasus kriminalisasi KPK yang melibatkan pimpinan KPK, dan kasus yang melibatkan Anggodo serta kasus-kasus korupsi lain di daerah di mana responden berdomisili.

Mengenai kelaziman korupsi di Indonesia, sebagian besar responden mengatakan bahwa korupsi merupakan hal yang lazim terjadi di Indonesia. Jumlah responden yang menyatakan korupsi merupakan suatu hal yang lazim mencapai 92,1% responden, sisanya menyatakan sebaliknya (6,6%) atau tidak tahu (1,3%) (Tabel III.1). Respon ini dapat dijadikan barometer mengenai hal berikut: (1) Seberapa jauh/dekat kejadian korupsi pada kehidupan masyarakat Indonesia. Sehingga Tindak Pidana Korupsi dapat dikatakan masih banyak terjadi di masyarakat, dan masyarakat dapat dengan mudah menemukan perbuatan ini di lingkungan mereka, (2) Sebagai alat ukur/evaluasi KPK secara tidak langsung untuk melihat sejauh mana dampak keberhasilan upaya-upaya dari sisi pencegahan dan penindakan tindak pidana korupsi. Dalam bidang pencegahan hasil ini dapat digunakan untuk mengukur apakah upaya yang telah dilakukan KPK dapat mengubah persepsi masyarakat mengenai kelaziman korupsi di Indonesia. Dalam bidang penindakan apakah penanganan kasus saat ini telah memberikan efek jera kepada masyarakat sehingga mengurangi tindak pidana korupsi.

Persentase

0 20 40 60 80 100

99.05 0.95 Tidak

(10)

Tabel III.1 Jawaban Responden atas Pertanyaan “Apakah korupsi merupakan suatu hal yang umum (lumrah/sering) terjadi di Indonesia”? (%)

Sumber: Data diolah

Hasil survei yang menunjukkan tingkat kesadaran yang tinggi terhadap korupsi pada penelitian ini serupa dengan hasil yang didapatkan pada penelitian sejenis mengenai korupsi pada Desember 2006 (Inacon, 2006). Pada penelitian tersebut ditemukan bahwa kesadaran responden terhadap fenomena korupsi cukup tinggi dan pengetahuan mereka terhadap kasus-kasus korupsi terkini juga baik.

Bandingkan hasil tersebut dengan hasil survei pada pertanyaan yang sama yang diperoleh Hongkong selama tahun 2005-2008 seperti yang terlihat pada Tabel III.2. Tabel tersebut menunjukkan secara tidak langsung keberhasilan upaya-upaya pemberantasan korupsi di Hongkong dalam hal ini Independent Comission Against Corruption (ICAC) sehingga dapat mengubah persepsi kelaziman korupsi. Jika tahun 2005 jumlah yang menyatakan korupsi sebagai suatu hal yang tidak biasa berjumlah 67,6% , pada tahun 2008 jumlahnya meningkat menjadi 71,2%. Walaupun kemudian terjadi penurunan di tahun 2009 menjadi 59,90%, namun kemudian kembali meningkat menjadi 71% di tahun 2010. Perbandingan antara Hongkong dan Indonesia paling tidak memberikan gambaran mengenai perbedaan persepsi yang terjadi di antara masyarakat Indonesia dan Hongkong.

Tabel III.2 Respon Masyarakat Hongkong Terhadap Kelaziman Korupsi 2005-2010 (%)

No Respon 2005 2006 2007 2008 2009 2010

1 Ya 29,1 33,,7 28,8 28,6 30,9 20,9

2 Tidak 67,6 65,4 68,8 71,2 59,9 71,0

3 Tidak Tahu 3,3 1,0 2,6 0,2 9,2 8,1

Sumber: Independent Comission Against Corruption (ICAC) Annual Survei 2010

No Respon 2011

1 Ya 92.10

2 Tidak 6.60

3 Tidak Tahu 1.30

(11)

3.2 Pengetahuan Mengenai Korupsi

Pengetahuan responden mengenai korupsi pada penelitian ini diukur dengan menggunakan beberapa indikator. Pertama dengan melihat apakah responden dapat mengidentifikasi jenis-jenis korupsi sesuai dengan yang disyaratkan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kedua dengan melihat apakah responden memahami bahaya dan tingkatan dampak korupsi. Ketiga dengan melihat pengetahuan responden terhadap sektor-sektor yang menurut mereka paling parah tingkat korupsinya sehingga perlu diprioritaskan penanganannya.

3.2.1 Identifikasi Kategori Perbuatan Korupsi

Jenis-jenis korupsi berdasarkan perundangan dipaparkan secara tidak langsung dengan menggunakan contoh perilaku yang masuk kategori pada tindak pidana korupsi tertentu berdasarkan peraturan yang berlaku. Responden kemudian diminta pendapatnya mengenai apakah tindakan tersebut masuk dalam kategori korupsi atau tidak. Pendekatan ini lebih sesuai digunakan dibanding jika responden ditanyakan mengenai apakah mereka mengetahui mengenai definisi korupsi sesuai dengan peraturan yang ada atau menanyakan mengenai apakah mereka mengetahui mengenai peraturan tersebut.

Survei ini mengelompokkan dan memberikan contoh tindak pidana korupsi kedalam beberapa kelompok yaitu: (1) korupsi yang menyangkut kerugian keuangan negara, (2) korupsi yang menyangkut suap menyuap, (3) korupsi yang menyangkut penggelapan dalam jabatan, (4) korupsi yang menyangkut pemerasan, (5) korupsi yang menyangkut perbuatan curang, (6) korupsi yang menyangkut benturan kepentingan dalam pengadaan, (7) korupsi terkait gratifikasi, dan (8) tindak pidana lain terkait tindak pidana korupsi. Pengembangan contoh dibuat sedekat mungkin dengan realitas kejadian korupsi yang mungkin dialami dan mudah dipahami oleh responden.

1. Pendapat Masyarakat Secara Umum Terhadap Kategori Perbuatan Korupsi Untuk menilai apakah masyarakat dapat mengidentifikasi jenis korupsi yang menyangkut kerugian keuangan Negara sebuah pertanyaan diajukan mengenai apakah perbuatan Pegawai Negeri Sipil (PNS) sebagai panitia pengadaan barang/jasa

(12)

yang memenangkan tender kepada perusahaan saudaranya sendiri, meski penawarannya bukan yang paling baik dan paling murah dapat digolongkan ke dalam korupsi. Jawaban responden terkait contoh perbuatan di atas adalah 72,15% menyatakan bahwa tindakan tersebut termasuk korupsi, 16,7% menyatakan bukan merupakan korupsi dan 11,15% tidak mengetahui apakah tindakan tersebut merupakan korupsi atau bukan. Meski sebagian besar responden dapat mengidentifikasi bahwa perbuatan tersebut termasuk korupsi, masih terdapat sejumlah 16,7% responden yang memiliki pemahaman yang salah dan 11,15% yang bahkan tidak tahu mengenai apakah perbutan tersebut korupsi atau bukan. Tabel III.3 menjelaskan respon masyarakat terhadap pertanyaan yang disampaikan terkait kategori perbuatan korupsi berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku.

Penilaian korupsi yang menyangkut suap-menyuap dilakukan dengan mengajukan sebuah pertanyaan mengenai ‘apakah pelanggar lalu lintas yang memberikan uang damai kepada polisi lalu lintas daripada ditilang dan menjalani persidangan dapat digolongkan ke dalam korupsi?’ Respon dari responden umumnya berpendapat bahwa hal tersebut merupakan perbuatan korupsi (83,45%), sisanya sebesar 12,05% berpendapat sebaliknya dan sebanyak 4,5% responden yang tidak tahu mengenai apakah perbuatan tersebut masuk ke dalam kategori perbuatan korupsi. Jika dibandingkan respon pada kategori jawaban sebelumnya, nampak bahwa pada kategori ini, semakin banyak responden yang dapat mengidentifikasi perbuatan tersebut masuk dalam kategori korupsi. Dimasa mendatang, dengan usaha sosialisasi berkelanjutan, konsisten dan terintegrasi dari KPK beserta pihak terkait diharapkan jumlah masyarakat yang dapat mengidentifikasi perbuatan ini sebagai korupsi semakin meningkat.

Untuk mengukur tingkat pengetahuan mayarakat terhadap jenis korupsi yang menyangkut penggelapan dalam jabatan, pertanyaan situasional seperti ‘Apakah pegawai negeri yang sengaja memalsu laporan keuangan tidak sesuai dengan yang sebenarnya termasuk ke dalam korupsi?’ disampaikan kepada masyarakat. Sebanyak 94% responden dapat mengidentifikasi perbuatan ini sebagai korupsi. Sisanya sebesar 2,5% mengatakan hal ini bukan merupakan korupsi dan sebanyak 3,5% responden yang tidak tahu mengenai apakah perbuatan tersebut termasuk korupsi

(13)

atau bukan. Respon ini tentunya sangat baik dan menunjukkan tingkat pengetahuan yang cukup dari masyarakat dalam mengidentifikasi korupsi yang tergolong pada penggelapan dalam jabatan.

Jika seseorang mendapatkan tugas sebagai Panitia pengadaan barang/jasa kemudian ikut terlibat langsung dalam pengadaan yang diurus/diawasinya, hal ini menempatkan seseorang/panitia tersebut pada posisi yang dapat mengakibatkan benturan/konflik kepentingan. Jika mengacu pada peraturan yang ada, perbuatan ini dapat dikategorikan sebagai perbuatan korupsi terkait benturan kepentingan dalam pengadaan. Hanya 52,5% responden beranggapan perbuatan ini termasuk korupsi. Masih terdapat 32,2% beranggapan perbuatan itu bukan korupsi dan 15,3% menyatakan tidak tahu. Di antara kategori jenis tindak pidana korupsi, kategori perbuatan korupsi yang berhubungan benturan/konflik kepentingan dalam pengadaan barang dan jasa (PBJ) merupakan salah satu kategori korupsi yang masih membutuhkan peningkatan pemahaman masyarakat lebih jauh.

Perbuatan pejabat yang meminta tips atau fasilitas lain pada pengusaha yang sedang mengikuti tender di instansi pejabat tersebut seringkali menempatkan pengusaha pada posisi yang serba salah. Jika tidak mengikuti permintaan, maka resiko kehilangan tender merupakan sebuah kemungkinan yang harus dihadapi. Tindakan dari pejabat tersebut dapat dikategorikan sebagai perbuatan yang mengarah kepada pemerasan. Menyikapi hal ini, sebanyak 75,05% responden beranggapan bahwa tindakan tersebut merupakan korupsi. Sebanyak 15,15% beranggapan bahwa tindakan tersebut bukan merupakan korupsi dan 9,80% tidak tahu bahwa hal tersebut merupakan korupsi/bukan.

Perbuatan pengawas bangunan yang dengan sengaja membiarkan pembangunan gedung tidak sesuai dengan standar dapat dikategorikan sebagai perbuatan curang dan masuk dalam kategori tindak pidana korupsi. Sebanyak 81,80% responden dapat mengidentifikasikan hal ini dengan baik. Meski demikian, masih terdapat 9,60% responden yang salah mengidentifikasi dan 8,60% bahkan tidak mengetahui bahwa perbuatan ini tergolong dalam tindak pidana korupsi atau bukan.

(14)

relatif baru diundangkan jika dibandingkan dengan tindak pidana korupsi lainnya yang dituangkan dalam Pasal 12 B Undang Undang No. 20 Tahun 2001. Hasil survei pada tindakan pegawai negeri yang menerima gratifikasi menunjukkan bahwa hanya 56,55% responden yang beranggapan bahwa perbuatan ini termasuk korupsi sedangkan 31,15% beranggapan bukan korupsi. Masih ada 12,3% responden yang tidak tahu apakah perbuatan tersebut tergolong korupsi atau bukan. Hal ini mengindikasikan kurangnya pemahaman terhadap jenis korupsi menyangkut gratifikasi sehingga mengisyaratkan kebutuhan sosialisasi lebih jauh oleh KPK pada masyarakat.

Tabel III.3 Jawaban Responden atas Pertanyaan “Menurut anda, apakah kondisi berikut ini merupakan korupsi?”.

Sumber: Data diolah

No Jenis Korupsi Pertanyaan Respon (%)

Ya Tidak Tidak tahu

1 72.15 16.70 11.15 2 83.45 12.05 4.50 3 94.00 2.50 3.50 4 52.50 32.20 15.30 5 75.05 15.15 9.80 6 81.80 9.60 8.60 7 56.55 31.15 12.30 8 51.70 29.50 18.80 Korupsi yang Menyangkut Kerugian Negara

Apakah perbuatan PNS sebagai Panitia Pengadaan Barang dan Jas a yang memenangkan tender kepada

perusahaan saudaranya sendiri meski penaw arannya bukan yang paling baik dan paling murah dapat dikategorikan perbuatan korupsi?

Korupsi yang Menyangkut Suap Menyuap

Apakah pelanggar lalu lintas yang memberikan uang damai kepada polisi lalu lintas daripada ditilang dan menjalani persidangan dapat digolongkan ke dalam korupsi? Korupsi yang

menyangkut Penggelapan dalam Jabatan

Apakah Pegaw ai Negeri yang sengaja memalsukan laporan keuangan tidak sesuai dengan pengeluaran

sebenarnya dapat digolongkan ke dalam korupsi? Korupsi yang termasuk Benturan Kepentingan dalam Pengadan Barang dan Jasa

Apakah perbuatan yang dilakukan sebagai panitia pengadaan barang dan jasa ikut terlibat langsung dalam pengadaan yang sedang

diurus/diaw asinya dapat dikategorikan ke dalam korupsi?

Korupsi yang Menyangkut Pemerasan

Apakah pejabat Pemerintah yang meminta tips atau fasilitas kepada pengusaha yang sedang mengikuti tender di instansinya dapat digolongkan ke dalam korupsi? Korupsi yang

Menyangkut Perbuatan Curang

Apakah perbuatan pengaw as bangunan yang dengan sengaja membiarkan pembangunan gedung tidak sesuai dengan standar dapat dikategorikan sebagai perbuatan curang dan masuk ke dalam korupsi? Korupsi terkait

Gratifikasi Apakah perbuatan Pegaw ai Negeri menerima diskon khusus/voucher belanja dan pihak pemasok barang di instansinya dapat dikategorikan ke dalam korupsi?

Tindak Pidana Lain

terkait Korupsi Apakah perbuatan orang yang menolak memberikan keterangan sebagai saksi dalam kasus korupsi yang diketahuinya dapat di kategorikan ke dalam korupsi?

(15)

Dalam rangka menilai kategori Tindak pindana lain terkait korupsi, survei ini mangajukan pertanyaan ‘apakah orang yang menolak memberikan keterangan sebagai saksi dalam kasus korupsi yang diketahuinya termasuk ke dalam korupsi?’ terdapat 51,7% responden beranggapan perbuatan ini termasuk korupsi sedangkan 29,5% beranggapan perbuatan itu bukan korupsi dan 18,8% menyatakan tidak tahu.

Bila dibandingkan dengan hasil survei tahun 2010, tidak terdapat perbedaan signifikan dalam hal tingkat pengetahuan masyarakat dalam mengkategorikan perbuatan korupsi. Tiga kategori korupsi yang paling tidak diketahui oleh masyarakat bahwa perbuatan tersebut tergolong dalam korupsi adalah benturan kepentingan dalam PBJ, korupsi terkait gratifikasi dan tindak pidana lain terkait korupsi. Jika pada tahun 2010 masyarakat yang tahu bahwa panitia pengadaan barang dan jasa yang ikut terlibat langsung dalam pengadaan yang sedang diurusnya termasuk melakukan korupsi 52,7 % maka pada tahun 2011 relatif stagnan 52,5%. Sedangkan terkait gratifikasi, pada tahun 2010, 61% masyarakat tahu bahwa perbuatan PNS menerima diskon khusus/voucher dari pemasok adalah korupsi. Angka tersebut menurun menjadi 56,55% di tahun 2011. Sedangkan untuk tindak pidana lain terkait korupsi, responden yang menyatakan perbuatan tersebut termasuk korupsi sebesar 54,6% menurun menjadi 51,7% di tahun 2011.

Berdasarkan data tersebut, maka secara umum pandangan masyarakat tentang korupsi belum banyak berubah sehingga masih diperlukan upaya yang sistematis untuk memberikan pemahaman yang komprehensif terkait kategori perbuatan korupsi kepada masyarakat.

2. Kategori Pekerjaan yang Masih Membutuhkan Usaha Sosialisasi Lebih Intensif

Terdapat perbedaan variasi pemahaman dalam mengidentifikasi korupsi pada responden dengan latar belakang profesi/perkerjaan berbeda. Berdasarkan hasil survei terlihat bahwa kategori korupsi yang menyangkut benturan kepentingan, gratifikasi dan tindak pidana lain terkait korupsi paling tidak mengindikasikan adanya perbedaan tersebut.

(16)

pertanyaan terkait kategori korupsi yang menyangkut benturan kepentingan dalam pengadaan barang dan jasa menghasilkan informasi tambahan bahwa kelompok terbanyak dari mereka yang memberikan jawaban yang keliru justeru terdapat pada Mahasiswa (45,41%), TNI/POLRI (35,33%), sektor informal (32,14%), ibu rumahtangga (27,84%), serta Pegawai Negeri Sipil (27,09%). Persentase yang menjawab tidak tahu juga paling besar pada Mahasiswa (17,63%) dan Ibu Rumah Tangga (17,05%). Kondisi ini cukup wajar mengingat mahasiswa dan Ibu Rumah Tangga bukanlah pihak yang sering bersentuhan dengan proses pengadaan barang dan jasa. Namun jawaban tidak tahu yag disampaikan oleh PNS sebesar 15,05% dan TNI/ POLRI sebesar 12,67% cukup mengecewakan karena kedua profesi ini yang paling sering bersentuhan dengan kegiatan pengadaan barang dan jasa. Informasi ini sekaligus memberikan arah pada usaha sosialisasi yang dapat dilakukan oleh KPK ke depan terkait masih kurangnya pemahaman kelompok masyarakat tertentu terhadap jenis korupsi yang menyangkut benturan kepentingan dalam pengadaan barang dan jasa. Selengkapnya mengenai informasi ini dapat dilihat pada Gambar3.2.

Gambar 3.2. Identifikasi Jenis Korupsi Terkait Benturan Kepentingan dalam PBJ berdasarkan Pekerjaan (%)

Tabulasi silang yang dilakukan terhadap kategori korupsi terkait gratifikasi dengan variabel pekerjaan menunjukkan bahwa TNI/POLRI (38,67%), mahasiswa (38,41%), dan PNS (31,44%) merupakan pihak yang masih membutuhkan penjelasan mengenai jenis korupsi ini (Lihat Gambar 3.3). Kondisi ini tidak berbeda jauh dengan pengetahuan 3 kelompok ini terhadap kategori korupsi terkait benturan kepentingan dalam pengadaan barang dan jasa. Walaupun mengecewakan, fakta ini harus

Lain-lain Sektor Informal Ibu Rumah Tangga Profesional Wiraswasta/ Pengusaha Pegawai Swasta TNI/POLRI Pegawai Negeri Sipil (PNS) Mahasiswa 0 20 40 60 80 100 66.11 50.89 55.11 57.6 61.7 52.75 52 57.86 36.96 22.78 32.14 27.84 32.8 22.98 30.74 35.33 27.09 45.41 11.11 16.96 17.05 9.6 15.32 16.5 12.67 15.05 17.63 Tidak Tahu Tidak Ya

(17)

mendapat perhatian lebih dari KPK mengingat kelompok PNS dan TNI/POLRI merupakan kelompok yang paling besar terkena kasus korupsi yang masuk dalam kategori gratifikasi.

Gambar 3.3. Identifikasi Jenis Korupsi terkait Gratifikasi berdasarkan Pekerjaan (%)

Survei yang sama (SPM 2008, 2009,2010) secara konsisten menunjukkan hasil yang identik mengenai perlunya usaha sosialisasi lebih intensif dilakukan terkait gratifikasi. Jika pada tahun 2009 jumlah proporsi responden yang setuju bahwa perbuatan ini bukan merupakan korupsi berjumlah 28,09% tahun 2010, pada tahun 2011 hasilnya menjadi 31,15% yang mengatakan bahwa perbuatan ini sebagai sesuatu yang wajar dan bukan sebagai korupsi hal ini berarti bahwa kegiatan sosialisasi tentang gratifikasi dapat dilakukan lebih intensif.

Pada kategori tindak pidana lain terkait tindak pidana korupsi, pertanyaan 'Apakah perbuatan orang yang menolak memberikan keterangan sebagai saksi dalam kasus korupsi yang diketahuinya dapat dikategorikan korupsi', kelompok yang paling banyak memberikan respon yang salah berasal dari Profesional (41.6%), TNI/POLRI (37.33%), serta Mahasiswa (30.92%) (Gambar 3.4).

Lain-lain Sektor Informal Ibu Rumah Tangga Profesional Wiraswasta/ Pengusaha Pegawai Swasta TNI/POLRI Pegawai Negeri Sipil (PNS) Mahasiswa 0 20 40 60 80 100 67.78 57.14 61.93 60 57.02 61.82 50.67 55.85 47.83 23.33 29.46 27.84 28.8 28.51 26.54 38.67 31.44 38.41 8.89 13.29 10.23 11.2 14.47 11.65 10.67 12.71 13.77 Tidak Tahu Tidak Ya

(18)

Gambar 3.4. Identifikasi Jenis Tindak Pidana Lain Terkait Korupsi berdasarkan Pekerjaan (%)

Hasil survei di atas memberikan arah bagi KPK mengenai kategori tindakan korupsi yang masih membutuhkan sosialisasi lebih jauh. Pemahaman mengenai konflik kepentingan, gratifikasi dan tindak pidana lain terkait korupsi merupakan tiga kategori tindakan korupsi yang mengemuka dalam penelitian ini. Pengetahuan mengenai korupsi penting dikarenakan hal ini merupakan dasar dari pembentukan sikap dan perilaku masyarakat terhadap korupsi. Beberapa kajian dalam ranah akademis dan praktis menemukan adanya hubungan yang signifikan dan saling mempengaruhi antara pengetahuan, kesadaran dan sikap serta perilaku yang terbentuk. Berbagai teori ditawarkan dalam ranah akademis untuk menjelaskan hubungan antara variabel tersebut.

Hasil survei sejenis pada tahun 2006 (KPK, 2006; INACON, 2006) menemukan beberapa hal tambahan terkait pengetahuan masyarakat mengenai korupsi, yaitu: (1) Kemungkinan terdapat perbedaan pemahaman yang diakibatkan adanya perbedaan jenjang pendidikan dimana responden mahasiswa dan umum cenderung memiliki pengetahuan yang lebih baik, lebih detail dan lebih konseptual dibandingkan responden SMP dan SMA (hal ini kemudian dijadikan salah satu alasan munculnya kriteria pendidikan minimal SMP pada penelitian ini); (2) terkait definisi korupsi ditemukan bahwa masyarakat cenderung kesulitan mendefinisikan korupsi, definisi cenderung terlalu sempit atau malah melebar; (3) Tentang aturan hukum,

Lain-lain Sektor Informal Ibu Rumah Tangga Profesional Wiraswasta/ Pengusaha Pegawai Swasta TNI/POLRI Pegawai Negeri Sipil (PNS) Mahasiswa 0 20 40 60 80 100 47.78 52.68 55.11 42.4 52.77 58.9 46.67 51.17 50.97 33.89 27.68 22.73 41.6 28.51 22.98 37.33 28.09 30.92 18.33 19.64 22.16 16 18.72 18.12 16 20.74 18.12 Tidak Tahu Tidak Ya

(19)

masyarakat umumnya tahu bentuk hukum secara umum tapi tidak tahu aturan perundangannya; dan (4) Seperti halnya pada penelitian ini, pada tahun 2006 pun masyarakat cukup baik dan tahu mengenai kasus korupsi terbaru.

Meski proporsi responden yang berhasil mengidentifikasi perbuatan di atas sebagai korupsi merupakan mayoritas namun apakah pengetahuan mengenai hal itu saja cukup untuk membentuk sikap dan perilaku masyarakat, masih diperlukan kajian lebih mendalam untuk menjawab hal tersebut. Ke depan menjadi tugas KPK untuk merancang dan memberikan jenis pengetahuan yang diperlukan dan seberapa jauh tingkat pemahamannya kepada masyarakat sehingga dapat membentuk sikap dan perilaku anti korupsi.

3.2.2 Memahami Bahaya dan Tingkatan Dampak Korupsi

Selain mampu mengidentifikasi korupsi, pengetahuan lain yang dibutuhkan adalah pemahaman mengenai bahaya korupsi. Pemahaman mengenai hal ini dapat membantu meningkatkan mengenai dampak yang ditimbulkan dari korupsi baik bagi diri maupun pihak lain sehingga dapat membantu membentuk sikap dan perilaku anti korupsi. Berdasarkan Gambar 3.5. diketahui bahwa dampak terbesar korupsi jika diurutkan dari nilai proporsi, pendapat responden terdapat pada variabel pemborosan keuangan negara (95,1%) dan terendah pada tidak terjaminnya keamanan masyarakat (62,55%). Jika dilihat berdasarkan faktor yang terbentuk pada penelitian ini maka faktor pertama yaitu Bahaya bahwa korupsi dapat menyebabkan kerugian keuangan negara/perekonomian dan menghambat pembangunan merupakan bahaya yang dipersepsikan paling berdampak besar diikuti oleh faktor kedua yaitu korupsi menimbulkan pengurangan penerimaan negara (pajak,cukai,bea masuk) dan faktor ketiga yang menyatakan bahwa korupsi dapat menciptakan ketidakpercayaan pada peradilan (lihat Gambar 3.5).

(20)

Gambar 3.5 Jawaban Responden atas Pertanyaan “Menurut anda, apakah Korupsi berdampak pada hal-hal berikut ini?”. (%)

Ketika responden ditanyakan apakah mereka pernah merasakan dampak dari korupsi dan apakah dampak tersebut terasa secara langsung atau tidak langsung, sebagian besar responden (74,5%) menyatakan pernah merasakan dampak korupsi, nilai ini turun dibandingkan tahun sebelumnya yang sebesar 81,9%. Dari yang merasakan dampak korupsi sebanyak 46,98% mengatakan merasakan dampak langsung dari korupsi dan sebagian lagi mengatakan bahwa dampak yang dirasakan bersifat tidak langsung (52,01%). Pertanyaan ini penting untuk mengelaborasi strategi komunikasi yang sesuai bagi KPK dalam mengkomunikasikan dan mengkampanyekan gerakan melawan korupsi. Salah satu tantangan dalam kampanye dan komunikasi pemahaman mengenai korupsi serta bahaya korupsi adalah bahwa korupsi merupakan sebuah konsep abstrak yang seperti dikemukakan dari hasil survei dampaknya bagi sebagian responden tidak dirasakan secara langsung. Tantangan yang timbul dari hal ini menyangkut bagaimana membuat konsep tersebut relevan dan kontekstual bagi masyarakat sehingga masyarakat dapat memvisualkan abstraksi konsep dan menghubungkan hal tersebut dengan dirinya sehingga dapat mendorong terbentuknya sikap dan perilaku yang diharapkan oleh KPK. Komunikasi secara intens mengenai jenis-jenis korupsi, dampak dan bahaya korupsi disamping upaya penindakan terhadap tindak pidana korupsi yang konsisten diharapkan dapat membantu masyarakat dalam memvisualkan abstraksi konsep korupsi.

T idak terjaminnya keamanan mas yarakat Berkurangnya partis ipas i mas yarakat dalam pemilihan Sulitnya mendapatkan pelayanan kes ehatan yang memadai Harga-harga barang menjadi mahal M eningkatkan biaya pembangunan infras truktur Sulitnya mendapatkan pelayanan pendidikan yang memadai Semakin s ulitnya menc ari pekerjaan Ketidakperc ayaan terhadap P emerintah P us at dan Daerah Ketidakperc ayaan pada DP R, DP RD dan DP D Ketidakperc ayaan pada P eradilan P engurangan P enerimaan Negara (P ajak, C ukai, Bea) P emboros an Keuangan Negara

0 20 40 60 80 100 62.55 69.10 71.25 71.35 71.75 74.55 75.70 85.50 86.40 88.30 92.05 95.10 30.90 26.45 24.00 22.30 18.65 21.90 19.35 12.85 11.35 10.25 6.85 4.55 6.55 4.45 4.75 6.35 9.60 3.55 4.95 1.65 2.25 1.45 1.10 0.35

(21)

Gambar 3.6 Jawaban atas Pertanyaan “Apakah Anda merasakan dampak dari korupsi?”. (%)

Gambar 3.7 Jawaban atas Pertanyaan “Apakah dampak tersebut langsung atau tidak

langsung?” (%)

Jika dikaitkan dengan dengan daerah survei, maka terlihat bahwa secara umum masyarakat masih banyak yang belum mengetahui dampak dari korupsi atau masyarakat semakin permisif dengan korupsi dan dampak yang ditimbulkannya. Berdasarkan hasil survei terlihat bahwa masyarakat di wilayah Kota Makassar, Bandung dan Surabaya masih membutuhkan sosialisasi yang lebih intensif dan peran kedeputian pencegahan untuk menyampaikan kepada masyarakat tentang dampak korupsi dan upaya-upaya pencegahan yang harus dilakukan. Gambaran lebih detail ditunjukkan pada Gambar 3.8.

Gambar 3.8 Jawaban atas Pertanyaan “Apakah Anda merasakan dampak dari korupsi ? berdasarkan daerah survei” (%)

3.2.3 Prioritas Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Tiga sektor yang diusulkan responden menjadi prioritas pemberantasan tindak pidana Jakarta Samarinda Lampung Medan Makassar Palembang Manado Bandung Semarang Surabaya 0 20 40 60 80 100 73.12 82.4 73.73 87.68 64.2 75 81.98 66.26 87.12 68.08 26.88 17.6 26.27 12.32 35.8 25 18.02 33.74 12.88 31.92 Ya Tidak P ers entas e 0 20 40 60 80 100 74.5 25.5 Y a T idak P ers entas e 0 20 40 60 80 100 46.98 52.01 1.01

Langs ung T idak Langs ung

(22)

korupsi menurut responden adalah: (1) Bidang keuangan, Perencanaan Pembangunan Nasional, Perbankan (23,53%) (2) Bidang Pemerintahan dalam Negeri dan Daerah, Aparatur Negara (18,22%), (3) Bidang Hukum, HAM dan Keamanan (15,53%) dan (4) Bidang Perhubungan, Pekerjaan Umum, Perumahan Rakyat (10,87%). Bidang lain yang menjadi perhatian responden dengan nilai di bawah 10 persen adalah: (1) Bidang Pendidikan, Pemuda dan Olahraga (8,7%), (2) Bidang Perdagangan, Perindustrian, Investasi, Koperasi, UMKM (8,28%), (3) Bidang Tenaga Kerja dan Transmigrasi (4,22%), (4) Bidang Pertanian, Perkebunan, Kehutanan, dan Kelautan (3,4%), (5) Bidang Pertahanan, Luar Negeri dan Informasi (2,82%), (6) Bidang Agama, Sosial, dan Pemberdayaan Perempuan (2,60%), dan (7) Bidang Energi, Sumber Daya Mineral, Riset dan Teknologi (2,07%).

Hasil survei ini memberikan arah bagi KPK untuk memfokuskan usaha pemberantasan korupsi pada tiga bidang yang dipersepsikan penting dan kritis dalam upaya pemberantasan korupsi. Fokus pada bidang ini dapat membantu KPK dalam memenuhi ekspektasi masyarakat di satu sisi dan optimalisasi penggunaan sumberdaya KPK di tengah keterbatasan sumber daya yang ada di sisi lain. Jika dibandingkan dengan hasil SPM 2010 yang menempatkan sektor keuangan dan perencanaan pembangunan nasional yang menjadi prioritas pertama maka hasil yang didapatkan pada tahun ini menunjukkan adanya konsistensi harapan masyarakat agar KPK menempatkan bidang keuangan dan pembangunan sebagai prioritas utama.

Gambar 3.9 Prioritas Bidang Pemberantasan Korupsi Menurut Responden (%)

Bidang E nergi Sumber Daya Mineral, Ris et Bidang A gama, Sos ial, dan P emberdayaan P erempuan Bidang P ertahanan, Luar Negeri dan Informas i Bidang P ertanian, P erkebunan, Kehutanan, Kelautan Bidang T enaga Kerja dan T rans migras i, Kependudukan Bidang P erdagangan, P erindus trian, Inves tas i, Koperas i Bidang P endidikan, P emuda dan O lahraga, P ariwis ata Bidang P erhubungan, P ekerjaan U mum, P erumahan Rakyat Bidang Hukum, HA M dan Keamanan Bidang P emerintahan Dalam Negeri dan Daerah Bidang Keuangan, P erenc anaan P embangunan Nas ional

0 5 10 15 20 25 2.07 2.6 2.82 3.4 4.22 8.28 8.47 10.87 15.53 18.22 23.53 P ers entas e

(23)

3.3 Sikap Mengenai Korupsi

Definisi secara sederhana mengenai sikap adalah evaluasi terhadap konsep, produk ataupun perilaku. Evaluasi yang terbentuk memiliki arah dan nilai berupa penilaian baik atau buruk, tinggi atau rendah. Sikap yang dinilai pada penelitian ini adalah sikap responden secara umum mengenai korupsi. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan bersifat tidak langsung di mana responden diminta untuk menilai sikap mereka terhadap perilaku korupsi. Empat pertanyaan yang diajukan mencakup apakah perbuatan-perbuatan berikut ini merupakan perbuatan yang buruk – baik (skala satu (1) yang cenderung kearah buruk sampai dengan empat (4) yang berarti cenderung baik) adalah: (1) Seseorang memberikan uang tambahan di luar ketentuan resmi untuk pengurusan KTP/SIM/Paspor/dll wajar dilakukan sebagai ucapan terima kasih, (2) Pegawai Negeri menggunakan mobil dinas di luar jam kerja tanpa ijin yang sah, (3) Seseorang tidak keberatan memberikan sesuatu kepada petugas layanan publik agar layanan lebih cepat, (4) Seseorang bersedia membayar sejumlah uang asal diterima di sekolah favorit/diterima sebagai PNS. Nilai rerata yang dihasilkan kemudian dikembangkan untuk meilhat arah dari sikap responden terhadap korupsi. Konsensus/persetujuan yang tinggi mengenai korupsi sebagai sesuatu yang buruk didapatkan pada perbuatan seseorang yang bersedia memberikan uang agar dapat diterima sebagai PNS atau di sekolah yang berkualitas (94.75%) dan terendah pada perbuatan gratifikasi berupa pemberian uang tambahan diluar ketentuan resmi(75.45%). Detail mengenai hal tersebut dapat dilihat pada Tabel III.5.

Tabel III.5 Apakah perilaku berikut ini merupakan suatu hal yang Baik atau Buruk?

Sumber: Data diolah

1 21.35 75.45 3.20

2 6.05 89.90 4.05

3 13.70 81.80 4.50

4 3.65 94.75 1.60

No Situasi Baik

(%) Buruk (%) Tidak Tahu (%)

Seseorang memberikan uang tambahan di luar ketentuan resmi untuk pengurusan KTP/SIM/Paspor/dll w ajar dilakukan sebagai ucapan terima kasih

Pegaw ai Negeri menggunakan mobil dinas di luar jam kerja tanpa ijin yang sah

Seseorang tidak keberatan memberikan sesuatu kepada petugas layanan publik agar layanan lebih cepat

Seseorang bersedia membayar sejumlah uang asal diterima di sekolah favorit/diterima sebagai PNS

(24)

Hasil ini seperti hasil yang didapatkan pada survei sejenis yang diadakan tahun 2006 menunjukkan sikap yang negatif terhadap korupsi. Pengembangannya adalah, SPM 2011 memberikan rata-rata penilaian yang dapat dijadikan dasar untuk menunjukkan pengembangan arah sikap masyarakat terhadap korupsi yaitu apakah setiap tahunnya secara agregat arah sikap tersebut semakin negatif atau sebaliknya di tengah usaha KPK membentuk sikap dan perilaku anti korupsi. Bila dibandingkan dengan hasil SPM di 2010 persentase sikap responden terhadap perilaku koruptif tidak mengalami perubahan yang signifikan.

3.4 Perilaku Mengenai Korupsi

Untuk mengukur perilaku korupsi, survei ini melihat kecenderungan perilaku yang akan dilakukan oleh responden (konatif). Kecenderungan perilaku yang diukur adalah perilaku positif (konstruktif) yang diharapkan dilakukan oleh responden jika mengetahui korupsi yang terjadi di sekeliling mereka. Dalam hal ini adalah perilaku melaporkan kasus korupsi yang diketahuinya pada pihak berwenang. Rata-rata nilai yang diperoleh adalah 2,52 (skala 1 (tidak melaporkan) – 4 (melaporkan)) yang menunjukkan kecenderungan responden untuk melaporkan korupsi yang terjadi di sekeliling mereka. Sebanyak 55,45% responden menyatakan akan melaporkan sedangkan 29,15% menyatakan tidak akan melapor serta 15,4% menyatakan tidak tahu apa yang harus dilakukan. Nilai ini menurun cukup signifikan dibanding tahun sebelumnya. Pada tahun 2010, sebanyak 69,5% responden menyatakan akan melaporkan, 25,5% tidak melaporkan dan 4,5% menyatakan tidak tahu. Survei yang sama yang dilakukan dengan metode berbeda pada tahun 2006 (Inacon, 2006) menemukan bahwa adanya kecenderungan perilaku masyarakat untuk takut melapor, memilih tindakan anti korupsi yang sesuai dengan keadaan diri dan memilih tindakan kolektif yang belum tentu bersifat konstruktif (demo dan lainnya).

(25)

Gambar 3.10. Jawaban Responden atas Pertanyaan “Apa yang anda lakukan jika melihat kasus korupsi di sekeliling Anda?”. (%)

Analisis lebih jauh mengenai kecenderungan perilaku melapor dihubungkan dengan pekerjaan menemukan bahwa Profesi Wiraswasta/Pengusaha (37,45%), diikuti oleh profesional (35,71%), dan sektor informal (35,71%) merupakan 3 (tiga) profesi teratas yang memiliki jumlah proporsi terbesar dari responden yang tidak ingin melaporkan korupsi yang terjadi di sekitar mereka (Gambar 3.11). Menarik untuk ditelaah lebih jauh mengenai adanya fenomena kejadian ini, dampaknya dan antisipasi tindakan yang harus dilakukan oleh KPK.

Gambar 3.11. Jawaban Responden atas Pertanyaan “Apa yang anda lakukan jika melihat kasus korupsi di sekeliling Anda? Berdasarkan Pekerjaan” (%)

Satu hal yang bisa ditarik dari hal ini adalah bahwa keputusan untuk melapor nampaknya bukanlah sebuah keputusan yang mudah bagi masyarakat terutama bagi 3 profesi yang disebutkan di atas. Bila ditelaah, orang yang berprofesi terutama di 2

P ers entas e

0 20 40 60 80 100

55.45 29.15 15.4

M elapor T idak Melapor T idak tahu

Lain-lain Sektor Informal Ibu Rumah Tangga Profesional Wiraswasta/ Pengusaha Pegawai Swasta TNI/POLRI Pegawai Negeri Sipil (PNS) Mahasiswa 0 20 40 60 80 100 54.44 44.64 50.85 50 51.06 55.81 79.47 54.18 58.25 28.33 35.71 34.46 35.71 37.45 27.74 9.93 27.76 26.89 17.22 19.64 14.69 14.29 11.49 16.45 10.6 18.06 14.86 Tidak Tahu Tidak Ya

(26)

bidang yaitu profesional dan pengusaha/wiraswasta sebenarnya cukup besar peluangnya melihat dan terkontaminasi korupsi (yang merugikan negara). Interpretasi lebih jauh mengindikasikan adanya perhitungan antara manfaat dan dampak (biaya) yang diakibatkan oleh tindakan melapor. Dampak yang timbul oleh perbuatan yang dilakukan akan menjadi resiko yang harus ditanggung oleh pelapor dengan kata lain menjadi biaya yang harus ditanggung. Resiko yang timbul tidak hanya masalah resiko keamanan (ancaman fisik) dan finansial (kehilangan bisnis, mata pencaharian, karir dan lainnya) tetapi juga mencakup resiko psikologis (beban pikiran) dan sosiologis (bagaimana respon dan dampaknya dari dan bagi lingkungan seperti rekan kerja, kerabat dan keluarga). Belum lagi biaya waktu, tenaga, pikiran dan moneter yang ditimbulkan akibat menjalani proses pelaporan tersebut. Jika perhitungan biaya dan resiko mendominasi manfaat maka keengganan melaporkan perkara korupsi merupakan hasilnya.

Jika respon melapor merupakan salah satu respon perilaku yang diharapkan maka penting bagi KPK untuk mendorong terjadinya perilaku ini. Mengurangi resiko dan biaya yang timbul apakah itu dengan mendorong implementasi program dan instrumen kebijakan perlindungan saksi, memudahkan akses pelaporan, dan sosialisasi terintegrasi merupakan upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan probabilitas kejadian melapor.

Kecenderungan perilaku koruptif juga diukur dengan mengajukan pertanyaan yang menempatkan responden pada situasi yang berpotensi korupsi. Menarik respon dari responden ketika mereka dihadapkan pada situasi menghadapi layanan yang lama dan berbelit padahal persyaratan sudah lengkap sesuai aturan. Sebanyak 59.75 % menyatakan akan melaporkan kondisi ini pada pihak yang berwenang, 16.3% akan membiarkan kondisi tersebut, dengan resiko waktu pengurusan akan lebih lama, 11.25% berusaha mempercepat layanan dengan membayar lebih, dan lainnya sebanyak 12.7%, (Gambar 3.12). Data ini hanya sedikit berbeda dengan tahun 2010 yang menjelaskan bahwa 63,6% menyatakan akan melapor kepada yang berwenang, 16,6% membiarkan kondisi tersebut dan 11,9% akan membayar lebih serta yang menyatakan akan melakukan upaya lainnya sebesar 7,9%.

(27)

Gambar 3.12. Jawaban Responden atas Pertanyaa “Apa yang anda lakukan jika menghadapi layanan yang lama dan berbelit, padahal persyaratan sudah lengkap sesuai aturan?”. (%)

3.5 Indeks Pemahaman Korupsi dan Target Pencapaian Strategis KPK

Dalam perencanaan strategis KPK 2008-2011 dicantumkan beberapa target pencapaian berdasarkan perspektif internal sehubungan pelaksanaan Survei Persepsi Masyarakat. Target tersebut adalah meningkatnya pemahaman masyarakat terhadap anti korupsi yang diukur dari meningkatnya indeks pemahaman tindak pidana korupsi dengan besaran seperti yang terlihat pada Tabel III.6 di bawah ini.

Tabel III.6 Target Pencapaian Indeks Pemahaman Korupsi

Target 2008 2009 2010 2011

% kenaikan Indeks Pemahaman Korupsi 20% 20% 20% 20% Sumber: Perencanaan Strategis KPK 2008-2011

Perhitungan indeks dilakukan secara sederhana dengan membandingkan indeks tahun berjalan dengan tahun yang dijadikan dasar perhitungan. Hasil perhitungan nilai tahun 2011 adalah 74,73 (merupakan elaborasi nilai untuk pertanyaan nomor 4 dan 6) untuk nilai pemahaman akan pengetahuan dan bahaya korupsi. Penilaian ini mengalami sedikit penurunan dibandingkan tahun 2010 yang sebesar 75,71%. Namun nilai ini masih jauh dari target pencapaian KPK pada tahun 2011 yang ditetapkan sebesar 90.8%.

P ers entase

0 20 40 60 80 100

11.25 59.75 16.3 12.7

Berus aha mem-perc epat layanan dengan membayar lebih

Melaporkan kondis i ini pada pihak yang berwenang

Membiarkan kondis i ters ebut, dengan resiko waktu lebih lama

(28)

Berdasarkan data dan informasi di atas, secara umum persepsi masyarakat tentang korupsi terkait kesadaran, pengetahuan, sikap dan perilaku mengalami penurunan dibanding tahun-tahun sebelumnya. Masih diperlukan upaya yang lebih keras dan sistematis untuk memberikan pemahaman tentang korupsi yang komprehensif kepada seluruh lapisan masyarakat.

(29)

BAB IV

PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP KPK

Persepsi masyarakat terhadap KPK diukur dalam empat bagian mencakup: (1) kesadaran terhadap KPK, (2) Pengetahuan terhadap tugas KPK, (3) Sikap terhadap KPK termasuk di dalamnya Penilaian terhadap kinerja KPK, dan (4) kecenderungan perilaku terhadap KPK. Skala pengukuran yang digunakan meilbatkan skala interval dan nominal. Skala interval memiliki range 1-4 dengan nilai 0 untuk menangkap respon dari responden yang tidak tahu atau tidak menjawab. Pengukuran berkala mengenai persepsi masyarakat terhadap KPK penting untuk mengetahui seberapa jauh masyarakat berada dibelakang dan mendukung KPK serta berpartisipasi dalam gerakan anti korupsi. Dukungan yang tinggi mengisyaratkan sesuatu yang positif dan dukungan moral bagi KPK untuk melaksanakan program-program pemberantasan korupsi. Sebaliknya Persepsi negatif memberikan alarm bahwa kemungkinan terdapat sesuatu yang salah atau dipersepsikan salah oleh masyarakat mengenai KPK.

4.1 Kesadaran terhadap KPK

Secara umum kesadaran masyarakat mengenai institusi KPK cukup tinggi sehingga dapat dijadikan modal awal yang positif bagi KPK untuk mendorong responden masuk kedalam tahapan berikutnya dalam program-program KPK yang melibatkan mereka. Dalam konsekuensi model tahapan komunikasi Awareness Interest Desire Action (AIDA) maka tahapan berikutnya yang dapat ditempuh adalah berusaha menimbulkan ketertarikan dan Keinginan/preferensi terhadap KPK hingga dapat menggerakkan perilaku masyarakat.

(30)

Gambar 4.1. Jawaban Responden atas Pertanyaan “Dari mana anda mengetahui tentang KPK?”. (%)

Jika ditinjau dari sumber informasi utama yang digunakan oleh responden terkait informasi untuk mengetahui perihal KPK maka dapat dikatakan bahwa sumber utama berasal dari TV 97,85%, Surat kabar 62,85%, Internet 26,2%, Radio 24,55%, Poster/ Spanduk/ Booklet/Stiker 14,95%, Sosialisasi/Kampanye 11,65%, lainnya 2,15% (Gambar 4.1).

Hasil survei mengenai sumber informasi di atas selain menunjukkan media habit dari responden juga menunjukkan bahwa selama ini KPK, dengan sengaja atau tanpa sengaja mengandalkan publikasi sebagai bauran komunikasi utama dalam mencapai masyarakat/publik. Cara ini memiliki kelebihan dalam hal efisiensi sumber daya yang digunakan dan cakupan luas area yang terlingkupi dan dampak yang diberikan. Hanya saja hal ini memiliki dampak meminimalkan fungsi pengendalian (kontrol) usaha komunikasi KPK. Sebagai contoh, pemberitaan terhadap upaya-upaya KPK yang tidak memiliki nilai jual tinggi dalam hal berita tidak dapat disampaikan secara optimal ataupun hasil dari pemberitaan yang dilakukan oleh pihak ketiga yang isinya bukan keluaran KPK dapat tidak sesuai dengan tujuan komunikasi yang diharapkan. Dengan kata lain kontrol terhadap pesan yang disampaikan maupun dampak yang dapat ditimbulkan mungkin tidak sepenuhnya berada ditangan KPK. Untuk itu diperlukan upaya tambahan untuk mengimbangi agar komunikasi yang dilakukan dapat lebih optimal dalam membantu mencapai tujuan KPK. Pengembangan

Lainnya Sos ialis as i/ Kampanye P os ter/Spanduk/Booklet/Stic ker Radio I nternet Surat Kabar T elevis i 0 20 40 60 80 100 2.15 11.65 14.95 24.55 26.2 62.85 97.85 P ers entas e

(31)

berkelanjutan dari strategi komunikasi, seperti prioritas target, cakupan wilayah, isi pesan yang harus disampaikan baik mengenai korupsi maupun KPK serta bauran komunikasi yang digunakan merupakan pekerjaan rumah yang harus diselesaikan oleh KPK.

4.2 Pengetahuan terhadap Tugas KPK

Undang-Undang 30 Tahun 2002 memberikan kejelasan mengenai tugas dan tanggung jawab KPK diantaranya adalah: 1) mengkaji sistem administrasi lembaga pemerintah/negara dalam rangka perbaikan kualitas pelayanan publik, 2) Mendaftar dan memeriksa Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN), 3) Menerima laporan gratifikasi (hadiah) dan menetapkan statusnya menjadi milik negara atau bukan milik negara, 4) Melakukan sosialisasi dan menyelenggarakan pendidikan anti korupsi, 5) Melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan kasus tindak pidana korupsi, 6) Menerima pengaduan dugaan tindak pidana korupsi dari masyarakat, 7) Melakukan Koordinasi dan Supervisi dengan/terhadap lembaga penegak hukum/penyelenggara negara lainnya. Pemahaman masyarakat mengenai tugas-tugas ini dapat membantu KPK dalam mengembangkan dukungan yang diperlukan terkait pelaksanaan tugas. Kesadaran terhadap tugas diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan masyarakat mengenai KPK sebagai sebuah organisasi dan arti keberadaannya. Gambar 4.2 memberikan ilustrasi mengenai tingkat pengetahuan masyarakat terhadap tugas-tugas KPK.

Gambar 4.2. Jawaban atas Pertanyaan “Bagaimana penilaian anda terhadap kinerja KPK mengenai pelaksanaan tugas-tugas dibawah ini”.(%)

Lain-lain Sektor Informal Ibu Rumah Tangga Profesional Wiraswasta/ Pengusaha Pegawai Swasta TNI/POLRI Pegawai Negeri Sipil (PNS) Mahasiswa 0 20 40 60 80 100 54.44 44.64 50.85 50 51.06 55.81 79.47 54.18 58.25 28.33 35.71 34.46 35.71 37.45 27.74 9.93 27.76 26.89 17.22 19.64 14.69 14.29 11.49 16.45 10.6 18.06 14.86 Tidak Tahu Tidak Ya

(32)

Dari tujuh item tugas KPK yang ditanyakan, tingkat pengetahuan dari responden terhadap tugas KPK bervariasi. Umumnya responden memiliki pengetahuan yang tinggi mengenai tugas-tugas KPK seperti:

1. Melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan kasus tindak pidana korupsi (87.05% Tahu, 12.95% Tidak Tahu),

2. Melakukan sosialisasi dan menyelenggarakan pendidikan anti korupsi (74.45% Tahu, 25.55% Tidak Tahu),

3. Mendaftar dan memeriksa Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) (72.95% Tahu, 27.05% Tidak Tahu),

4. Menerima pengaduan dugaan tindak pidana korupsi dari masyarakat (78% Tahu, 22% Tidak Tahu).

5. Melakukan Koordinasi dan Supervisi dengan/terhadap lembaga penegak hukum/penyelenggara negara lainnya (71% Tahu, 29% Tidak Tahu).

Beberapa tugas masih membutuhkan usaha lebih jauh dari KPK untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat ketingkat yang lebih tinggi seperti tugas:

1. Menerima laporan gratifikasi (hadiah) dan menetapkan statusnya menjadi milik negara atau bukan milik negara (56.5% Tahu, 43.5% Tidak Tahu);

2. Mengkaji sistem administrasi lembaga pemerintah/negara dalam rangka perbaikan kualitas pelayanan publik (58.05% Tahu, 41.95% Tidak Tahu).

Jika dibandingkan dengan hasil yang diperoleh pada tahun 2010 maka jumlah proporsi responden yang mengetahui tugas KPK pada tahun 2011 secara keseluruhan mengalami penurunan. Terdapat 4 tugas KPK yang secara signifikan mengalami penurunan informasi dalam pandangan masyarakat yaitu: melakukan sosialisasi dan pendidikan antikorupsi, mendaftar dan memeriksa LHKPN, mengkaji sistem administrasi serta menerima laporan dan menetapkan status gratifikasi. Hal ini tentunya merupakan sesuatu yang perlu diwaspadai dan menjadi acuan bagi KPK dalam rencana program sosialisasi yang dilakukan oleh KPK pada tahun berikutnya. Kondisi ini sekaligus memberikan nilai kepada KPK sebagai organisasi apakah program sosialisasi yang dilakukan selama ini terutama terkait tugas pokok KPK

(33)

sudah tersampaikan ke masyarakat dengan baik ataukah belum (lihat Tabel IV.1). Tabel IV.1 Perbandingan Pengetahuan Responden Terhadap Tugas KPK 2008-2011

Sumber : Laporan SPM 2008, 2009, 2010 dan Data diolah 2011

4.3 Pernilaian terhadap Kinerja KPK

Dalam Survei Persepsi Masyarakat 2011, penilaian kinerja KPK oleh masyarakat ditunjukkan oleh penilaian responden terhadap pelaksanaan tugas KPK, tingkat kepuasan responden terhadap upaya-upaya yang sudah dilakukan oleh KPK serta dampak keberadaan KPK yang dirasakan oleh masyarakat.

4.3.1 Penilaian Terhadap Pelaksanaan Tugas-Tugas KPK

Penilaian responden terhadap kinerja KPK diukur dengan menggunakan skala interval 1 sampai dengan 4. Mendekati skala 1 menunjukkan kecenderungan buruk dan mendekati skala 4 menunjukkan kecenderungan baik. Pada penelitian ini, responden yang berhak menilai adalah responden yang mengetahui mengenai tugas-tugas KPK pada bidang yang relevan dengan yang dinilai. Hasil penilaian responden menunjukkan bahwa penilaian tertinggi didapatkan pada kinerja KPK dalam hal melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan kasus tindak pidana korupsi (TPK) yang mendapatkan nilai 2,92, diikuti oleh pelaksanaan melakukan sosialisasi dan menyelenggarakan pendidikan anti korupsi (2,91), tugas mendaftar dan

No Tugas KPK 2008 2009 2010 2011 1 - - 92.7 87.05 2 72.89 86.87 80.1 78.00 3 62.69 67.69 83.4 74.45 4 70.56 84.8 82.3 72.95 5 - - 72.7 71.00 6 47.97 53.08 67.2 58.05 7 48.84 53.43 65.1 56.50 Melakukan Penyelidikan, Penyidikan, dan Penuntutan Kasus TPK Menerima Pengaduan Dugaan TPK

Melakukan Sosialisasi dan Pendidikan Anti Korupsi Mendaftar dan Memeriksa LHKPN

Melakukan Koordinasi dan Supervisi

Mengkaji Sistem Administrasi

Menerima Laporan dan Menetapkan Status Gratifikasi

(34)

memeriksa LHKPN (2,89), menerima pengaduan dugaan tindak pidana korupsi (2,83), mengkaji sisem administrasi lembaga pemerintah/negara dalam rangka perbaikan kualitas pelayanan publik (2,71), melakukan Koordinasi, Supervisi dan Monitor dengan/terhadap lembaga penegak hukum/penyelenggara negara lainnya (2,71), dan menerima laporan gratifikasi (hadiah) dan menetapkan statusnya menjadi milik negara atau bukan milik negara (2,51). Jika cut off point yang dihitung berdasarkan nilai tengah (median) dari skala jatuh pada nilai 2,5 dimana diatas 2,5 menunjukkan kecenderungan baik dan dibawah nilai tersebut cenderung kearah buruk maka nilai rerata kinerja KPK dalam pelaksanaan tugas-tugas tersebut cenderung ke arah baik.

Analisis lebih jauh dilakukan untuk melihat proporsi perbandingan dari responden yang mengatakan kinerja KPK pada pelaksanaan tugas tersebut sudah baik dan buruk dilakukan dengan mengubah skala interval ke dalam skala nominal. Hasil analisis menunjukkan bahwa tiga (3) terbesar proporsi terbanyak responden yang memberikan penilaian belum optimalnya kinerja KPK pada pelaksanaan tugas mengkaji sisem administrasi lembaga pemerintah/negara dalam rangka perbaikan kualitas pelayanan publik (39,49%), menerima laporan gratifikasi (hadiah) dan menetapkan statusnya menjadi milik negara atau bukan milik negara (37,81%), dan melakukan koordinasi, supervisi, dan monitor kasus tindak pidana korupsi (35,08%). Selengkapnya mengenai hal ini dapat dilihat pada Gambar 4.3.

Gambar 4.3 Jawaban atas Pertanyaan “Bagaimana penilaian anda terhadap kinerja KPK mengenai pelaksanaan tugas-tugas berikut?”. (%)

Mengkaji s is tem adminis tras i lembaga pemerintah/negara Mendaftar dan memeriksa (LHKP N) M enerima laporan gratifikas i dan menetapkan s tatus nya Melakukan s os ialis as i dan pendidikan anti korups i M elakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan T P K Menerima pengaduan dugaan T P K Melakukan Koordinas i, Supervis i dan M onitor

0 20 40 60 80 100 57.53 66.85 54.47 65.43 65.72 63.57 60.03 39.49 30.1 37.81 31.65 32.46 32.29 35.08 2.98 3.05 7.72 2.93 1.83 4.13 4.89

(35)

4.3.2 Tingkat Kepuasan Masyarakat Terhadap Upaya yang Dilakukan oleh KPK Berikut adalah penilaian (kepuasan) masyarakat terhadap upaya yang telah dilakukan oleh KPK terkait tugas KPK yang dilakukan selama ini.

1. Kepuasan Masyarakat terhadap Upaya Pencegahan Tindak Pidana Korupsi oleh KPK

Penilaian kinerja terhadap kecukupan upaya pencegahan TPK dilakukan untuk mengetahui harapan dan persepsi masyarakat pada upaya yang telah dilakukan oleh KPK saat ini. Dalam skala interval 1 sampai 4 (1 tidak cukup dan 4 cukup) nilai rerata yang didapatkan adalah 2,08 yang menunjukkan nilai yang mendekati nilai tengah dari skala. Analisis lebih jauh dengan memodifikasi skala tersebut menunjukkan bahwa nilai 2,08 mencerminkan adanya perbedaan pandangan responden dalam menilai kecukupan upaya pencegahan tindak pidana korupsi sebanyak 59,7% beranggapan tidak cukup sedangkan 35,85% beranggapan cukup.

Gambar 4.4 Jawaban Responden atas Pertanyaa “Apakah KPK telah melakukan upaya yang cukup untuk pencegahan Tindak Pidana Korupsi?”. (%)

Data pembanding yang digunakan (Survei SPM, 2010) menunjukkan bahwa jumlah dari responden yang menunjukkan ketidakpuasan (46,3%) cenderung lebih kecil dibandingkan dengan mereka yang puas (52,5%). Data memperlihatkan bahwa dibandingkan data tahun 2010 telah terjadi penurunan kepuasan responden sebesar 16,65% terhadap kinerja pencegahan KPK pada tahun 2011. Hasil ini merupakan masukan yang harus dijawab dengan peningkatan kinerja pada bagian terkait. Persepsi ketidakcukupan upaya yang dilakukan dapat berupa cakupan, intensitas atau variasi upaya yang dilakukan. Diperlukan elaborasi lebih jauh untuk mendapatkan jawaban mengenai hal ini. Evaluasi internal dan identifikasi terhadap upaya-upaya

P ers entas e

0 20 40 60 80 100

35.85 59.7 7.57

(36)

yang sudah dilakukan sejauh ini dapat menjadi langkah awal yang baik. Tabel IV.2 Perbandingan Penilaian Kinerja Pencegahan KPK (%)

No Respon 2010 2011

1 Tidak Puas 46,30 59,70

2 Puas 52,50 35,85

Sumber: Data diolah 2011 dan SPM 2010 (n=2500), SE-3)

2. Kepuasan Masyarakat terhadap Upaya KPK dalam Memberikan Sosialisasi mengenai Korupsi dan Kegiatan Anti Korupsi

Pemahaman yang baik mengenai korupsi dan bahaya yang dapat ditimbulkan oleh korupsi merupakan modal dasar bagi masyarakat untuk melakukan gerakan pemberantasan korupsi. Pengetahuan yang cukup dapat membantu membentuk sikap dan perilaku yang dibutuhkan untuk mendorong partisipasi aktif masyarakat. Untuk itu penting mengukur mengenai kinerja KPK di bidang ini sebagai refleksi untuk melihat hubungan antara tingkat upaya yang dilakukan dengan ekspektasi yang diharapkan masyarakat terkait upaya tersebut. Gambar 4.5 memberikan ilustrasi mengenai penilaian kepuasan terhadap upaya sosialisasi KPK.

Gambar 4.5 Jawaban Responden atas Pertanyaan “Apakah KPK sudah cukup memberikan pengetahuan umum/sosialisasi mengenai korupsi dan kegiatan anti korupsi?”. (%)

Nilai rerata 1,92 menunjukkan arah pendapat responden yang memandang bahwa upaya yang telah dilakukan belumlah cukup untuk menjawab ekspektasi masyarakat. Penjabaran lebih lanjut menginformasikan sebanyak 60,85% responden mengatakan belum cukup dan 31,15% mengatakan cukup. Bila dibandingkan dengan hasil SPM

P ers entas e

0 20 40 60 80 100

31.15 60.85 8

(37)

tahun 2010, terjadi penurunan penilaian dengan rincian sebagai berikut : sebanyak 58,7% responden menyatakan belum cukup dan 39% menyatakan cukup (lihat Gambar 4.5).

3. Kepuasan Masyarakat Terhadap Keterbukaan Akses Pengaduan/laporan Tindak Pidana Korupsi KPK

Meski sebagian besar responden mengetahui bahwa tugas ini merupakan salah satu tugas yang diemban KPK (78%) dan memberikan penilaian baik (63,57% responden), namun ketika ditanyakan apakah upaya membuka akses pengaduan dari masyarakat upaya yang dilakukan sudah memadai, 55,7% mengatakan belumlah cukup dan sisanya 29,85% mengatakan cukup. Berdasarkan data tahun 2010, diketahui bahwa terjadi penurunan penilaian responden terhadap kecukupan akses pengaduan KPK. Hal ini menunjukkan bahwa meski responden memberikan apresiasi pada upaya yang telah dilakukan, namun upaya ini belumlah cukup dalam memenuhi ekspektasi mereka terhadap akses pengaduan. Untuk itu peningkatan dapat dilakukan tidak hanya pada alternatif akses dan saluran distribusi tetapi juga pada upaya komunikasinya.

Gambar 4.6 Jawaban Responden atas Pertanyaan “Apakah KPK sudah memadai membuka akses

pengaduan/laporan tindak pidana korupsi dari masyarakat?”. (%)

4. Kepuasan Masyarakat Terhadap Upaya Penindakan KPK

Penilaian responden pada kecukupan upaya penindakan KPK mendapatkan nilai rerata 2,09. Hasil penilaian memperlihatkan bahwa masih terdapat 59,3% responden yang mengatakan upaya yang dilakukan belumlah cukup dalam memenuhi ekspektasi

P ers entas e

0 20 40 60 80 100

29.85 55.7 14.45

(38)

mereka. 36,6% menilai usaha yang dilakukan sudah cukup.

Gambar 4.7 Jawaban atas Pertanyaan “Apakah KPK telah melakukan upaya yang cukup dalam penindakan Korupsi”. (%)

Berdasarkan hasil penilaian pada tahun 2010, diketahui bahwa pada tahun 2011 terdapat penurunan penilaian terhadap kinerja KPK sebesar 19,6 % dibandingkan 2010 dalam upaya penyelidikan, penyidikan maupun upaya penuntutan KPK (lihat Tabel IV.3).

Tabel IV.3 Perbandingan Penilaian Kinerja Penindakan KPK

Sumber: Data diolah 2011 dan SPM tahun 2010 (n=2500, SE-3)

3. Kepuasan Masyarakat Terhadap Kinerja KPK

Penilaian pada kinerja KPK secara umum dari responden mendapatkan nilai 1,92. Analisis lebih jauh untuk melihat komposisi proporsi pendapat responden menunjukkan bahwa responden yang tidak puas sebesar 69% dan hanya sebesar 27,7% yang menyatakan puas terhadap kinerja KPK.

P ers entas e

0 20 40 60 80 100

36.6 59.3 4.1

C ukup T idak C ukup T idak tahu

No 2010 2011

1 Cukup 56.20 36.60

2 Tidak Cukup 42.60 59.30

3 Tidaktahu 1.20 4.10

(39)

Gambar 4.8 Jawaban Responden atas Pertanyaan “Apakah anda puas dengan kinerja KPK selama ini?”. (%)

Bila dibandingkan dengan data tahun 2010 terdapat penurunan kepuasan kinerja sebesar 21,7%. Pada tahun 2010 sebanyak 49,4% menyatakan puas terhadap kinerja KPK.

Tabel IV.4 Perbandingan Tingkat Kepuasan Masyarakat terhadap Kinerja KPK

No Responden 2010 2011

1 Puas 49,40 27,70

2 Tidak Puas 49,40 69,00

3 Tidaktahu/tidak jawab 1,20 3,30

Sumber: Data SPM 2010 dan Data Diolah 2011

Sebagai bahan perbandingan hasil survei yang dilakukan oleh Harian KOMPAS, periode April 2005 sampai dengan November 2011 ditampilkan. Terlihat bahwa tingkat kepuasan masyarakat terhadap kinerja KPK mengalami fluktuasi namun dengan kecenderungan menurun, sebagaimana terlihat pada Gambar 4.9. Secara umum tidak ada perbedaan yang signifikan antara hasil survei yang dilaksanakan KPK dan Harian Kompas di Tahun 2011.

P ers entas e

0 20 40 60 80 100

27.7 69 3.3

Gambar

Tabel   tersebut   menunjukkan   secara   tidak   langsung   keberhasilan   upaya-upaya  pemberantasan   korupsi   di     Hongkong   dalam   hal   ini  Independent   Comission   Against  Corruption (ICAC)  sehingga dapat mengubah persepsi kelaziman korupsi
Gambar 3.2. Identifikasi Jenis Korupsi Terkait Benturan Kepentingan dalam PBJ berdasarkan  Pekerjaan (%)
Gambar 3.3. Identifikasi Jenis Korupsi terkait Gratifikasi berdasarkan Pekerjaan (%)
Gambar 3.4. Identifikasi Jenis Tindak Pidana Lain Terkait Korupsi berdasarkan Pekerjaan (%)
+7

Referensi

Dokumen terkait

untuk liabilitas keuangan non-derivatif dengan periode pembayaran yang disepakati Grup. Tabel telah dibuat berdasarkan arus kas yang didiskontokan dari liabilitas

Suku bunga efektif adalah suku bunga yang secara tepat mendiskontokan estimasi penerimaan atau pembayaran kas di masa datang (mencakup seluruh komisi dan bentuk

Hal yang menjadi penyebab terjadinya stres yang dialami masinis Bandung – Gambir saat melakukan dinasan adalah faktor lingkungan yang panas dalam kabin lokomotif,

GEOMETRI DIMENSI TIGA DALAM KELAS INKLUSIF (Studi Kasus Siswa Tunanetra pada Salah Satu Sekolah Menengah Atas Negeri.. di

PSEKP selain merupakan institusi penelitian dan kebijakan di Indonesia yang sangat responsif dalam melakukan kajian sosial ekonomi dan kebijakan pertanian dan telah banyak

Pemodelan penyelesaian permasalahan penjadwalan ujian Program Studi S1 Sistem Mayor-Minor IPB menggunakan ASP efektif dan efisien untuk data per fakultas dengan mata

Pendekatan dapat diartikan sebagai metode ilmiah yang memberikan tekanan utama pada penjelasan konsep dasar yang kemudian dipergunakan sebagai sarana

pendidikan 37Yo responden menjawab ingin beke{a dan melanjutkan strata dua. Responden kurang berani untuk mengambil resiko memulai sebuah usaha dengan kendala-kendala