• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. miskin diberi arti tidak berharta benda. Dalam pengertian luas, kemiskinan dapat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. miskin diberi arti tidak berharta benda. Dalam pengertian luas, kemiskinan dapat"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

11 BAB II

KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN

2.1 Landasan Teori dan Konsep

2.1.1 Konsep Kemiskinan

Menurut Poerwadarminta (1976) secara harfiah, kemiskinan berasal dari kata dasar miskin diberi arti “tidak berharta benda”. Dalam pengertian luas, kemiskinan dapat dikonotasikan sebagai suatu kondisi ketidak-mampuan baik secara individu,keluarga maupun kelompok, sehingga kondisi ini rentan terhadap timbulnya permasalahan sosial orang lain.

Pengertian kemiskinan yang beraneka ragam dan dapat diukur dari banyak sudut pandang. Menurut Andre Bayo Ala (Arsyad , 1999) mengungkapkan kemiskinan itu bersifat multi dimensional, artinya karena kebutuhan manusia itu bermacam-macam, maka kemiskinan pun memiliki banyak aspek. Dilihat dari kebijakan umum, maka kemiskinan meliputi aspek primer yang berupa miskin aset, organisasi social politik, dan pengetahuan serta keterampilan, dan aspek sekunder yang berupa miskin akan jaringan sosial, sumber-sumber keuangan dan informasi.

Menurut Todaro (Michael P. , 2000) kemiskinan adalah rendahnya pendapatan per kapita dan lebarnya kesenjangan dalam distribusi pendapatan. Salah satu generalisasi (anggapan sederhana) yang terbilang paling sahih (valid) mengenai penduduk miskin adalah bahwasanya mereka pada umumnya bertempat tinggal di daerah-daerah pedesaan, dengan mata pencaharian pokok di bidang pertanian dan kegiatan-kegiatan lainnya yang erat hubungannya dengan sektor ekonomi tradisional. Para ahli ekonomi pembangunan mulai mengukur luasnya atau kadar

(2)

12

parahnya tingkat kemiskinan di dalam suatu negara dan kemiskinan relatif antar negara dengan cara menentukan atau menciptakan suatu batasan yang lazim disebut sebagai garis kemiskinan. Lingkaran kemiskinan yang lain juga menyangkut keterbelakangan manusia sumber daya alam. Pengembangan sumber daya alam di suatu daerah tergantung pada kemampuan produktif manusianya. Jika penduduknya terbelakang dan buta huruf, maka kemampuan teknik, pengetahuan dan efektivitas kewirausahaan rendah, sehingga sumber-sumber daya alam akan terbengkalai, kurang dan bahkan disalahgunakan. Di pihak lain, keterbelakangan sumber daya alam ini menyebabkan keterbelakangan manusia. Karena itu merupakan sebab dan sekaligus akibat keterbelakangan manusia.

Pada dasarnya kemiskinan didefinisikan menurut dua pendekatan, yaitu kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif. Kemiskinan absolut diukur dengan suatu standar tertentu yang dikaitkan dengan perkiraan tingkat pendapatan dan kebutuhan yang hanya dibatasi pada kebutuhan pokok atau kebutuhan dasar minimum yang memungkinkan seseorang untuk hidup secara layak. Sementara kemiskinan relatif adalah konsep kemiskinan yang tergantung pada situasi tertentu, yang biasanya membandingkan keadaan sekelompok orang dengan kelompok lain dalam masyarakat.

2.1.2 Faktor – Faktor Penyebab Kemiskinan

Menurut Greetz dalam Tadjuddin (Noer Effendi, 1995) menyatakan bahwa kemiskinan pedesaan jawa muncul sebagai akibat dari adanya pertanian. Greetz berpendapat bahwa struktur pemilikan tanah yang timpang berarti mencerminkan ketidaksamaan penghasilan masyarakat pedesaan. Dia berpendapat bahwa adanya mekanisme pembagian penghasilan dengan melanggar derajat homogenitas social ekonomi.

(3)

13

Menurut Zadjuli (Iman Suroso, 1995) makin ramainya bahasa masalah kemiskinan dewasa ini, maka perlu diberikan berbagai analisis tentang jenis dan factor penyebab kemiskinan di dunia termasuk di Indonesia sebagai berikut :

1. Kemiskinan karena kolonialisme

Masyarakat miskin akibat penjajahan yang terus menerus di suatu bangsa dalam kurum waktu yang lama. Seperti Nepal, Banglades, India dan Pakistan, yaitu berkat jajahan Inggris. Bekas jajahan Belanda seperti Suriname dan Indonesia, bekas jajahan Spanyol seperti Filipina, bekas jajahan Kolonial Portugal seperti Timor-Timur, orang Indian hampir punah karena kolonial Australia dan Selandia Baru, bekas jajahan Prancis antara lain Kamboja dan Vietnam juga tetap miskin hingga sekarang.

2. Kemiskinan karena tradisi sosial kultural

Seperti halnya suku Bali di Cibeo, Banten Selatan, suku-suku bangsa Iran, suku dayak di pedalaman Kalimantan, suku kubu di Sumatra.

3. Kemiskinan karena isolasi

Kemiskinan karena lokasi tempat tinggal terisolasi, misalnya orang Mentawai di kepulauan Mentawai, suku Tengger di Jawa Timur.

4. Kemiskinan struktural

Kemiskinan struktural terdiri dari struktur kekuasaan ekonomi dan persaingan yang berat setelah menjadikan Negara Utara dan Negara Selatan Katulistiwa kebanyakan miskin, Struktur ketimpangan hubungan social ekonomi antara pusat kegiatan dan daerah belakangnya menjadikan daerah perkotaan lebih makmur.

(4)

14 2.1.3 Ukuran Kemiskinan

Untuk menentukan seseorang dapat dikatakan miskin atau tidak, diperlukan tolak ukur yang jelas. Berbagai pendekatan atau konsep digunakan sebagai bahan perhitungan dan penentuan batas-batas kemiskinan. Adapun ukuran kemiskinan yang digunakan sebagai berikut : 1. Kemiskinan Absolut

Kemiskinan absolut lebih menekankan pada pemenuhan kebutuhan fisik manusia. Konsep kemiskinan absolut adalah apabila tingkat pendapatan individu atau rumah tangga di bawah “garis kemiskinan” atau sejumlah pendapatannya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan minimum, antara lain kebutuhan pangan, sandang, kesehatan, perumahan, dan pendidikan yang diperlukan untuk bisa hidup dan bekerja. Prof. Sayogya mengembangkan standar kebutuhan pokok berdasarkan atas kebutuhan beras dan gizi. Golongan paling miskin pendapatannya 240 kg atau kurang beras perkapita pertahun. Golongan miskin sekali pendapatannya 240 hingga 360 kg beras perkapita per tahun. Golongan miskin pendapatannya lebih dari 360 kg tetapi kurang dari 480 kg beras perkapita pertahun. Menurut konsep ini kemiskinan dipahami sebagai suatu keadaan dimana individu atau rumah tangga tidak mampu mencapai kebutuhan fisik pada tingkat minimal dari standar kebutuhan yang sudah ditetapkan.

2. Kemiskinan Relatif

Konsep kemiskinan relatif adalah kemiskinan yang ada kaitannya dengan kebutuhan seseorang dalam masyarakat. Tolak ukur dari kemiskinan ini adalah tingkat pendapatan keluarga per tahun atau per bulan. Berdasarkan tolak ukur ini seseorang yang tergolong miskin ditentukan berdasarkan kedudukan relatifnya dalam masyarakat. Menurut Kincaid (Arsyad, 2001) semakin besar ketimpangan antara penghidupan golongan atas dan

(5)

15

golongan bawah maka akan semakin besar pula jumlah penduduk yang dapat dikategorikan selalu miskin. Pada kondisi lain, bila tingkat pendapatan sudah mencapai tingkat pemenuhan kebutuhan dasar minimum, tetapi masih jauh lebih rendah bila dibandingkan dengan pendapatan masyarakat di sekitarnya. Dalam pengertian masih berada dalam keadaan miskin bila dibandingkan dengan keadaan masyarakat disekitarnya maka konsep ini juga disebut kemiskinan relative.

3. Kemiskinan Sosial

Selain kemiskinan yang didasarkan pada ukuran pendapatan, kemiskinan juga dapat dilihat dari kemampuan masyarakat untuk memperoleh akses kepada pelayanan yaitu: 1) Rendahnya kualitas pendidikan yang disebabkan oleh kurangnya tenaga pendidik dan

sarana pendidikan di daerah miskin atau terpencil

2) Rendahnya akses pelayanan kesehatan termasuk pelayanan keluarga berencana (KB) dan kesehatan produksi

3) Rendahnya akses masyarakat miskin kepada layanan air minum

4) Keterbatasan terhadap akses sumber-sumber pendanaan dan masih rendahnya kapasitas serta produktivitas usaha.

2.1.4 Indikator Kemiskinan

Menurut Prihartini (2006), indikator masalah kemiskinan bisa ditinjau dari lima sudut, yaitu persentase penduduk miskin, pendidikan (khususnya angka buta huruf), kesehatan (angka kematian bayi dan anak balita kurang gizi), ketenagakerjaan dan ekonomi (konsumsi per kapita). Untuk menentukan seseorang dapat dikatakan miskin atau tidak maka diperlukan tolak ukur yang jelas. Berbagai pendekatan atau konsep digunakan sebagai bahan perhitungan dan penentuan batas-batas kemiskinan.

(6)

16

Menurut BPS (2005) kriteria untuk menentukan keluarga atau rumah tangga dikategorikan miskin apabila:

1) Luas lantai bangunan tempat tinggal kurang dari 8 m2 per orang.

2) Jenis lantai tempat tinggal terbuat dari tanah atau bambu atau kayu murahan.

3) Jenis dinding tempat tinggal dari bambu atau bersama-sama dengan rumah tangga lain. 4) Tidak memiliki fasilitas buang air besar atau bersama-sama dengan rumah tangga lain. 5) Sumber penerangan rumah tangga tidak menggunakan listrik.

6) Sumber air minum berasal dari sumur atau mata air tidak terlindung atau sungai atau air hujan.

7) Bahan bakar memasak sehari-hari adalah kayu bakar atau arang atau minyak tanah. 8) Hanya mengkonsumsi daging atau susu atau ayam satu kali dalam seminggu. 9) Hanya membeli satu stel pakaian baru dalam setahun.

10) Hanya sanggup makan sebanyak satu atau dua kali dalam sehari.

11) Tidak sanggup membayar biaya pengobatan di puskesmas atau poliklinik.

12) Sumber penghasilan kepala rumah tangga adalah : petani dengan luas lahan 500 m2, buruh tani, nelayan, buruh bangunan, buruh perkebunan, dan pekerjaan lainnya dengan pendapatan di bawah Rp. 600.000,- per bulan.

13) Pendidikan tertinggi kepala rumah tangga : tidak sekolah atau tidak tamat SD atau hanya SD

14) Tidak memiliki tabungan atau barang yang mudah dijual dengan nilai minimal Rp. 500.000,- seperti sepeda motor kredit atau non kredit, emas, ternak, kapal, motor, atau barang modal lainnya.

(7)

17

Jika minimal 9 dari 14 variabel terpenuhi maka dapat dikategorikan sebagai rumah tangga miskin.

Menurut Bank Dunia garis kemiskinan diukur berdasarkan pada pendapatan seseorang kurang dari US 1 dolar per hari dan kemiskinan menengah untuk pendapatan dibawah 2 dolar per hari. Dengan batasan ini maka diperkiraan pada 2001 1,1 miliar orang didunia mengonsumsi kurang dari 1 dolar per hari dan 2,7 miliar orang didunia mengonsumsi kurang dari 2 dolar per hari. Proporsi penduduk negara berkembang yang hidup dalam Kemiskinan ekstrem telah turun dari 28 persen pada 1990 menjadi 21 persen pada 2001. Melihat pada periode 1981-2001, persentase dari penduduk dunia yang hidup dibawah garis kemiskinan 1 dolar per hari telah berkurang separuh. Tetapi , nilai dari 1 dolar juga mengalami penurunan dalam kurun waktu tersebut.

Bank Dunia pada tahun 2008 mencatat sebanyak 1,4 miliar orang hidup dengan US1,25 dolar per hari. Itu mencakup hampir 15 persen dari populasi dunia atau hampir 1 miliar orang. Meski begitu, sejak 2001 sebanyak 192 negara anggota PBB mulai mengikuti program "Millennium Development Goal" dengan tujuan memberantas kemiskinan ekstrim dan kelaparan. Metode yang digunakan untuk menentukan kekayaan negara adalah membandingkan standar hidup penduduk satu negara secara keseluruh dengan menggunakan produk domestik bruto (PDB) per kapita yang didasarkan pada paritas atau keseimbangan daya beli secara internasional. Ini mengukur standar hidup antar negara dengan menggunakan indikator biaya hidup relatif, inflasi, serta nilai tukar suatu negara yang dikonversi ke mata uang bersama (dolar internasional atau dolar AS).

(8)

18

Menurut Sayogyo tingkat kemiskinan didasarkan jumlah rupiah pengeluaran rumah tangga yang disetarakan dengan jumlah kilogram konsumsi beras per orang per tahun dan dibagi wilayah pedesaan dan perkotaan.

1. Menurutnya untuk daerah pedesaan dengan katagori :

1) Miskin: bila pengeluaran keluarga lebih kecil daripada 320 kg nilai tukar beras per orang per tahun.

2) Miskin sekali: bila pengeluaran keluarga lebih kecil daripada 240 kg nilai tukar beras per orang per tahun.

3) Paling miskin: bila pengeluaran keluarga lebih kecil daripada 180 kg nilai tukar beras per orang per tahun.

2. Daerah perkotaan:

1) Miskin: bila pengeluaran keluarga lebih kecil daripada 480 kg nilai tukar beras per orang per tahun.

2) Miskin sekali: bila pengeluaran keluarga lebih kecil daripada 380 kg nilai tukar beras per orang per tahun.

3) Paling miskin: bila pengeluaran keluarga lebih kecil daripada 270 kg nilai tukar beras per orang per tahun.

2.1.5 Konsep Pola Konsumsi

Konsep konsumsi, yang merupakan konsep yang di Indonesiakan dari bahasa inggris ”Consumption”. Konsumsi adalah pembelanjaan atas barang - barang dan jasa-jasa yang dilakukan oleh rumah tangga dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan dari orang yang melakukan pembelanjaan tersebut. Pembelanjaan masyarakat untuk konsumsi bahan makanan

(9)

19

seperti makanan untuk kebutuhan sehari-hari, dan pembelanjaan untuk non makanan seperti pakaian, listrik, air dan barang-barang kebutuhan mereka yang lain digolongkan pembelanjaan atau konsumsi. Barang-barang yang diproduksi digunakan oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhannya dinamakan barang konsumsi (Cahyono, 2003).

Pola konsumsi rumah tangga merupakan salah satu indikator kesejahteraan rumah tangga/keluarga. Selama ini berkembang pengertian bahwa besar kecilnya proporsi pengeluaran untuk konsumsi pangan terhadap seluruh pengeluaran rumah tangga dapat memberikan gambaran kesejahteraan rumah tangga tersebut. Rumah tangga dengan proporsi pengeluaran yang lebih besar untuk konsumsi pangan mengindikasikan rumah tangga yang berpenghasilan rendah. Makin tinggi tingkat penghasilan rumah tangga, makin kecil proporsi pengeluaran untuk makanan terhadap seluruh pengeluaran rumah tangga. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa rumah tangga/keluarga akan semakin sejahtera bila persentase pengeluaran untuk pangan

jauh lebih kecil dibandingkan persentase pengeluaran untuk non pangan.

2.1.6 Pengeluaran konsumsi

Manusia sebagai makhluk individu dan sosial mempunyai kebutuhan yang tidak terbatas. Untuk memperoleh berbagai kebutuhan tersebut, seseorang membutuhkan pengeluaran untuk konsumsi. Dalam ilmu ekonomi,pengertian konsumsi sangatlah luas. Semua barang dan jasa yang dipergunakan untuk memenuhi kebutuhannya disebut dengan pengeluaran konsumsi.

Pengeluaran konsumsi menurut Deliarnov (1995) adalah total semua pengeluaran rumah tangga untuk membeli barang-barang dan jasa keperluan rumah tangga. Konsumsi terhadap barang dibedakan menjadi barang tahan lama (durable goods) dan barang tidak tahan lama ( non durable goods).

(10)

20

Menurut BPS (2007), pengeluaran konsumsi rumah tangga merupakan salah satu indikator kesejahteraan rumah tangga atau keluarga. Selama ini berkembang pengertian bahwa besar kecilnya proporsi pengeluaran untuk konsumsi makanan terhadap seluruh pengeluaran rumah tangga dapat memberikan gambaran kesejahteraan rumah tangga tersebut. BPS Provinsi Bali (2008) dalam survei tahunan mengenai pengeluaran rumah tangga membedakan pengeluaran konsumsi menjadi kelompok pengeluaran makanan dan non makanan. Kelompok pengeluaran makanan terdiri dari pengeluaaran beras,umbi-umbian,daging atau ikan,sayur-sayuran, buah-buahan, kacang-kacangan, susu dan telur, bahan minuman, tembakau atau sirih, dan rokok,makanan jadi dan makanan lainnya. Pengeluaran bukan makanan terdiri dari pengeluaran untuk perumahan,aneka barang dan jasa,pendidikan,barang tahan lama, asuransi dan keperluan pesta. Pada tingkat pendapatan tertentu, rumah tangga akan mengalokasikan pendapatannya untuk memenuhi kedua kebutuhan tersebut.sehingga besaran pendapatan yang dibelanjakan untuk makanan dari suatu rumah tangga dapat digunakan sebagai petunjuk tingkat kesejahteraan rumah tangga tersebut. Atau dengan kata lain, semakin tinggi pangsa pengeluaran konsumsi makanan berarti semakin berkurang sejahtera rumah tangga yang bersangkutan.

Menurut Keynes (1963) dalam buku The General Theory menekankan bahwa bagi suatu perekonomian tingkat pengeluaran konsumsi oleh rumah tangga bervariasi secara langsung dengan tingkat pendapatan disposibel dari rumah tangga tersebut.

2.1.7 Faktor-faktor yang mempengaruhi pola konsumsi rumah tangga.

Keynes (Rahardja, 2005) berpendapat bahwa besar kecilnya konsumsi rumah tangga terutama tergantung dari tingkat pendapatan rumah tangga tersebut. Walaupun demikian,

(11)

21

peranan faktor-faktor lain tidak boleh diabaikan. Faktor-faktor lain yang mempengaruhi tingkat konsumsi rumah tangga dapat diklasifikasikan menjadi 3 yaitu:

1. Faktor-faktor ekonomi, meliputi a) Pendapatan rumah tangga.

Pendapatan rumah tangga sangat besar pengaruhnya terhadap tingkat konsumsi. Biasanya makin baik tingkat pendapatan, tingkat konsumsi makin tinggi. Karena ketika tingkat pendapatan meningkat, kemampuan rumah tangga untuk membeli aneka kebutuhan konsumsi menjadi semakin besar atau mungkin juga pola hidup menjadi semakin konsumtif, setidak-tidaknya semakin menuntut kualitas yang baik. Pada umumnya dalam masyarakat yang pendapatannya lebih seimbang, tingkat tabungannya relative lebih sedikit karena mereka mempunyai kecenderungan untuk mengkonsumsi yang lebih tinggi.

b) Kekayaan rumah tangga.

Pengertian kekayaan rumah tangga adalah kekayaan riil (rumah, tanah dan mobil) dan financial (deposito berjangka, saham, dan surat-surat berharga). Kekayaan tersebut dapat meningkatkan konsumsi, karena menambah pendapatan disposable. Sebagai akibat dari pendapatan harta warisan atau tabungan yang banyak akibat usaha masa lalu, maka seseorang berhasil mempunyai kekayaan yang mencukupi. c) Jumlah barang konsumsi rumah tangga tahan lama dalam masyarakat.

Pengeluaran konsumsi masyarakat juga dipengaruhi oleh jumlah barang-barang tahan lama. Contohnya, makin banyak penduduk yang memiliki pesawat televise

(12)

22

maka akan mengurangi orang untuk pergi ke bioskop. Pengaruhnya terhadap tingkat konsumsi bisa bersifa positif (menambah) dan negative (mengurangi). d) Tingkat bunga.

Tingkat bunga yang tinggi dapat menguraangi keinginan konsumsi. Dengan tingkat bunga yang tinggi, maka biaya ekonomi dari kegiatan konsumsi akan semakin mahal. Pada saat tingkat bunga tinggi, keinginan masyarakat untuk menabung lebih tinggi daripada dipergunakan untuk konsumsi. Sebaliknya, pada saat tingkat bunga rendah, masyarakat cenderung akan menambah pengeluaran konsumsinya.

e) Perkiraan tentang masa depan.

Factor-faktor internal yang dipergunakan untuk memperkirakan prospek masa depan rumah tangga antara lain pekerjaan, karier, dan gaji yang menjanjikan, banyak anggota keluarga yang telah bekerja. Orang yang was-was tentang nasibnya dimasa depan akan menekan konsumsi. Jika rumah tangga memperkirakan masa depannya makin baik, maka mereka akan merasa lebih leluasa untuk melakukan konsumsi.

2. Faktor-faktor demografi (kependudukan) yaitu, a) Jumlah peduduk.

Jumlah penduduk yang besar akan memperbesar pengeluaran konsumsi secara menyeluruh, walaupun pengeluaran rata-rata per orang atau per keluarga relative rendah. Pengeluaran konsumsi suatu Negara akan sangat besar, bila jumlah penduduk sangat banyak dan pendapatan per kapita sangat tinggi, sehingga akan merubah pola konsumsi per kapita.

(13)

23 b) Komposisi penduduk.

Komposisi penduduk suatu Negara dapat dilihat dari beberapa klasifikasi, diantaranya usia (usia produktif dan usia tidak produktif), pendidikan (rendah,menengah tinggi), dan wilayah tinggal (perkotaan dan pedesaan).

3. Faktor-faktor non ekonomi.

a) Kebiasaan adat dan sosial budaya.

Suatu kebiasaan di suatu wilayah dapat mempengaruhi tingkat konsumsi seseorang. Di daerah yang memegang teguh adat istiadat untuk hidup sederhana biasanya akan memiliki konsumsi yang kecil. Sedangkan daerah yang memiliki kebiasaan gemar pesta adat biasanya memiliki pengeluaran yang besar.

b) Gaya hidup seseorang.

Seseorang yang berpenghasilan rendah dapat memiliki tingkat pengeluaran yang tinggi jika orang itu menyukai gaya hidup yang mewah dan gemar berhutang baik kepada orang lain maupun dengan kartu kredit.

2.1.8 Konsep Pendapatan

Menurut Nanga (2001) pendapatan seseorang adalah pendapatan agregat (pendapatan yang berasal dari berbagai sumber) yang secara aktual diterima oleh seseorang. Pendapatan merupakan balas jasa yang diterima oleh faktor-faktor produksi dalam jangka waktu tertentu. Balas jasa tersebut dapat berupa sewa, upah atau gaji, bunga ataupun laba. Pendapatan pribadi dapat diartikan sebagai semua jenis pendapatan, termasuk pendapatan yang diperoleh tanpa memberikan sesuatu kegiatan apapun, yang diterima oleh penduduk suatu negara (Sukirno, 2004).

(14)

24

Berdasarkan pada penelitian Sumadi (2003), disimpulkan bahwa variabel pendapatan secara serempak dan parsial berpengaruh signifikan dan positif terhadap tingkat konsumsi rumah tangga.

Untuk menghitung besar kecilnya pendapatan dapat dilakukan dengan tiga pendekatan yaitu:

1) Pendekatan Produksi (Production Approach), yaitu dengan menghitung semua nilai produksi barang dan jasa yang dapat dihasilkan dalam periode tertentu.

2) Pendekatan Pendapatan (Income Approach), yaitu dengan menghitung nilai keseluruhan balas jasa yang dapat diterima oleh pemilik faktor produksi dalam suatu periode.

3) Pendekatan Pengeluaran (Expenditure Approach), yaitu pendapatan yang diperoleh dengan menghitung pengeluaran konsumsi masyarakat.

Pendapatan keluarga atau rumah tangga adalah jumlah penghasilan riil dari seluruh anggota rumah tangga yang disumbangkan untuk memenuhi kebutuhan bersama maupun perorangan dalam rumah tangga. Badan Pusat Statistik memberikan pengertian tentang pendapatan rumah tangga secara terperinci sebagai berikut:

1) Pendapatan berupa uang, yakni segala penghasilan berupa uang yang sifatnya regular dan yang diterima sebagai balas jasa atau kontra prestasi.

Sumber pendapatan berupa uang adalah:

a. Gaji dan upah serta balas jasa lain-lain yang serupa di majikan. b. Pendapatan bersih dari usaha sendiri dan pekerjaan bebas.

c. Pendapatan dari penjualan barang yang dipelihara di halaman rumah.

d. Hasil investasi seperti bunga modal, tanah, uang pensiun, jaminan sosial dan keuntungan sosial.

(15)

25

2) Pendapatan berupa barang, yakni segala penghabisan yang diperoleh dalam bentuk barang terhadap jasa yang telah diberikan, akan tetapi bisa juga dalam bentuk barang yang diterima bukan sebagai balas jasa seperti warisan.

3) Penerimaan uang dan barang lain-lain adalah segala penerimaan yang bersifat transfer dedistributif dan biasanya membawa perubahan dalam keuangan rumah tangga, misalnya: a. Penjualan barang-barang yang dipakai

b. Pinjaman uang c. Hasil dari undian d. Penghasilan piutang e. Kiriman uang

2.1.9 Konsep Jumlah Anggota Keluarga

Jumlah anggota keluarga sangat menentukan jumlah kebutuhan keluarga. Semakin banyak anggota keluarga berarti semakin banyak pula jumlah kebutuhan keluarga yang harus dipenuhi. Begitu pula sebaliknya, semakin sedikit anggota keluarga berarti semakin sedikit pula kebutuhan yang harus dipenuhi keluarga. Sehingga dalam keluarga yang jumlah anggotanya banyak, akan diikuti oleh banyaknya kebutuhan yang harus dipenuhi. Semakin besar ukuran rumah tangga berarti semakin banyak anggota rumah tangga yang pada akhirnya akan semakin berat beban rumah tangga untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Demikian pula jumlah anak yang tertanggung dalam keluarga dan anggota-anggota keluarga yang cacat maupun lanjut usia akan berdampak pada besar kecilnya pengeluaran suatu keluarga. Mereka tidak bisa menanggung biaya hidupnya sendiri sehingga mereka bergantung pada kepala keluarga dan istrinya. Anak-anak yang belum dewasa perlu di bantu biaya pendidikan, kesehatan, dan biaya

(16)

26

hidup lainnya. Menurut Mantra (2003) yang termasuk jumlah anggota keluarga adalah seluruh jumlah anggota keluarga rumah tangga yang tinggal dan makan dari satu dapur dengan kelompok penduduk yang sudah termasuk dalam kelompok tenaga kerja. Kelompok yang dimaksud makan dari satu dapur adalah bila pengurus kebutuhan sehari-hari dikelola bersama-sama menjadi satu. Jadi, yang termasuk dalam jumlah anggota keluarga adalah mereka yang belum bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari karena belum bekerja (dalam umur non produktif) sehingga membutuhkan bantuan orang lain (dalam hal ini orang tua).

Menurut Faturochman dkk (1994) kebanyakan jumlah anggota keluarga rumah tangga miskin memiliki jumlah anggota keluarga yang besar. Selain itu, di dalam rumah tangga miskin ditemukan lebih banyak anggota yang kurang produktif bila dibandingkan dengan keluarga tidak miskin (Dillon dkk, 1993). Akan tetapi, ada pula pendapat lain,yang menyebutkan bahwa rumah tangga miskin tidak selalu memiliki anggota keluarga banyak. Berdasarkan pada penelitian s Rahayu (2008), disimpulkan bahwa variabel jumlah anggota keluarga secara serempak dan parsial berpengaruh positif dan signifikan terhadap pengeluaran konsumsi rumah tangga miskin.

2.1.10 Konsep Pendidikan

Menurut Todaro (2000) alasan pokok mengenai pengaruh dari pendidikan formal terhadap distribusi pendapatan adalah adanya korelasi positif antara pendidikan seseorang dengan penghasilan yang akan diperolehnya. Adalah benar bahwa seseorang yang dapat menyelesaikan pendidikan menengahnya atau perguruan tinggi jika dibandingkan dengan mereka yang hanya mampu menyelesaikan sekolah yang lebih rendah tingkatannya, penghasilan mereka akan berbeda antara 300 hingga 800 persen. Oleh karena itu tingkat pendapatan akan

(17)

27

tergantung pada tahun-tahun sekolah yang dapat diselesaikannya, maka hal itu akan mendorong terjadinya perbedaan pendapatan yang sangat tidak adil dan menimbulkan jurang kemiskinan.

Pendidikan merupakan salah satu faktor penentu untuk memperoleh hasil yang optimal dan pendapatan yang lebih menguntungkan (Thamrin, 2007). Pendidikan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari seseorang. Pendidikan juga merupakan suatu investasi bagi masa depan seseorang. Menurut Tirtarahardja dalam Hartati & Gunarsih (2008), batasan tentang pendidikan yang dibuat oleh para ahli beraneka ragam, dan kandungannya berbeda yang satu dari yang lainya. Perbedaan tersebut mungkin karena orientasinya, konsep dasar yang digunakan, aspek yang menjadi tekanan, atau karena falsafah yang melandasinya.

Pendidikan seseorang akan berdampak pada kualitas pekerjaan itu sendiri dan proses produksi yang dikerjakan. Ini terjadi karena pendidikan mempengaruhi kemampuan tenaga kerja secara mendalam bukan hanya fisik belaka. Satuan perubahan kualitas dari pendidikan yang umumnya dipergunakan adalah jumlah sekolah, jumlah siswa berbagai jenjang, jumlah guru, jumlah orang yang dapat menulis, membaca, dan lain sebagainya. Menurut Simanjuntak (2001) pendidikan merupakan indicator kemajuan suatu bangsa. Pendidikan pada hakekatnya adalah usaha secara sadar untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan baik di dalam maupun di luar sekolah dan berlangsung seumur hidup. Berdasarkan pada penelitian Rini dan Retno (2005), disimpulkan bahwa varabel pendidikan secara serempak dan parsial berpengaruh positif dan signifikan terhadap pola konsumsi rumah tangga.

2.1.11 Hubungan Antara Pendapatan Dengan Pola Konsumsi

Kecenderungan mengkonsumsi yang menyoroti hubungan antara konsumsi dan pendapatan. Bila pendapatan meningkat, konsumsi juga meningkat, tetapi kenaikan ini tidak

(18)

28

sebanyak kenaikan pada pendapatan tersebut.Tingkah laku konsumsi ini selanjutnya menjelaskan mengapa ketika pendapatan naik, tabungan juga naik. Menurut Nicholson ( 1991exp 2001) Hukum Engel menyatakan bahwa rumah tangga berpendapatan rendah akan mengeluarkan sebagian besar pendapatannya untuk membeli kebutuhan pokok. Sebaliknya, rumah tangga yang berpendapatan tinggi akan membelanjakan sebagian kecil saja dari total pengeluaran untuk kebutuhan pokok.

Di negara terbelakang hubungan pendapatan , konsumsi dan tabungan ini tidak ada. Rakyat sangat miskin dan jika pendapatan mereka meningkat, mereka mempergunakannya lebih banyak pada barang konsumsi karena mereka cenderung ingin memenuhi keinginan mereka yang tak terpenuhi. Kecenderungan marginal mengkonsumsi sangat tinggi di negara tersebut sedangkan kecenderungan menabung sangat rendah. Ekonomi Keynes menunjukkan kepada kita bahwa bilamana kecenderungan marginal mengkonsumsi tinggi, maka permintaan konsumsi, output dan pekerjaan meningkat dengan laju yang lebih cepat daripada kenaikan pendapatan.

Menurut teori daur hidup , konsumsi tidak akan naik terlalu banyak apabila pendapatan meningkat, selama kenaikan itu diperkirakan sebelumnya. Pada kenyataannya, karena adanya kendala likuiditas, konsumsi akan melonjak banyak apabila pendapatan naik. Konsumen yang mengacu pada pembatas likuiditas diasumsikan berperilaku berbeda dari yang lainnya. Konsumsinya umumnya sangat peka terhadap perubahan pendapatan atau sumber lainnya, meskipun perubahan diantisipasi secara defenisi yaitu rumah tangga dibatasi untuk mengkonsumsi lebih banyak dengan adanya kemampuan untuk meminjam.

(19)

29

2.1.12 Hubungan Antara Jumlah Anggota Keluarga Dengan Pola Konsumsi

Jumlah tanggungan keluarga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pola konsumsi rumah tangga. Dari hasil Survei Biaya hidup (SBH) tahun 1989 membuktikan bahwa semakin besar jumlah atau ukuran keluarga maka semakin besar proporsi pengeluaran rumah tangga untuk makanan daripada untuk memenuhi kebutuhan non makanan. Hal ini berarti semakin kecil ukuran keluarga, semakin kecil pula bagian pendapatan untuk kebutuhan makanan. Selebihnya, keluarga akan mengalokasikan sisa pendapatan untuk memenuhi kebutuhan non konsumsi makanan.

Dengan banyaknya anggota keluarga, maka pola konsumsinya semakin bervariasi karena masing-masing anggota rumah tangga belum tentu mempunyai selera yang sama. Jumlah anggota keluarga berkaitan dengan pendapatan rumah tangga yang akhirnya akan mempengaruhi pola konsumsi rumah tangga tersebut.

2.1.13 Hubungan Antara Pendidikan Dengan Pola Konsumsi

Menurut Rahardja dkk (2005) semakin tinggi pendidikan seseorang pengeluaran konsumsinya juga akan semakin tinggi, sehingga mempengaruhi pola konsumsi dan hubungannya positif. Pada saat seseorang atau keluarga memiliki pendidikan yang tinggi, kebutuhan hidupnya semakin banyak. Kondisi ini disebabkan karena yang harus mereka penuhi bukan hanya sekedar kebutuhan untuk makan dan minum, tetapi juga kebutuhan informasi, pergaulan di masyarakat baik, dan kebutuhan akan pengakuan orang lain terhadap keberadaannya.

Menurut Riyadi (2003) menyatakan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan dan pengetahuan yang dimiliki seseorang umumnya semakin tinggi pula kesadaran untuk memenuhi

(20)

30

pola konsumsi yang seimbang dan memenuhi syarat gizi serta selektif dalam kaitannya dengan ketahanan pangan.

Pendidikan merupakan suatu investasi yang penting. Dengan mendapatkan pendidikan pendidikan yang baik, maka seseorang berpeluang untuk mendapatkan pekerjaan yang baik pula. Maka dari itu, dengan pendidikan seseorang atau rumah tangga dapat meningkatkan kesejahteraannya. Pendidikan diharapkan dapat mengatasi keterbelakangan ekonomi dan memberantas kemiskinan melalui efek yang ditimbulkan yaitu peningkatan kemampuan sumber daya manusia.

2.2 Rumusan Hipotesis

Berdasarkan rumusan masalah yang diajukan dan hasil penelitian terdahulu serta teori-teori relevan yang telah dikemukakan, selanjutnya diajukan hipotesis sebagai berikut.

1) Variabel pendapatan, jumlah anggota keluarga dan pendidikan berpengaruh signifikan secara simultan terhadap pola konsumsi rumah tangga miskin di Kecamatan Gianyar Kabupaten Gianyar.

2) Variabel pendapatan, jumlah anggota keluarga dan pendidikan secara parsial berpengaruh postif dan siginifikan terhadap pola konsumsi rumah tangga miskin di Kecamatan Gianyar Kabupaten Gianyar.

Referensi

Dokumen terkait

Selain itu korban juga berhak memperoleh pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis, penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban, pendampingan oleh

Paradigma penelitian ini termasuk pendekatan kualitatif karena meneliti fenomena yang terjadi pada minat belajar para siswa/i sekolah menengah ke atas terhadap

Kebijakan puritanisme oleh sultan Aurangzeb dan pengislaman orang-orang Hindu secara paksa demi menjadikan tanah India sebagai negara Islam, dengan menyerang berbagai praktek

Pengaruh Mediasi Oleh Variabel Penelitian Tabel 4 menunjukkan bahwa hanya variabel budaya organisasi yang mampu berperan sebagai mediator bagi variabel gaya

penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat kecernaan pakan ikan nila merah (Oreochromis niloticus) yang berbasis tepung ikan rucah..

Pembagian tikus ke dalam perlakuan dilakukan dengan mengelompokkan tikus berdasarkan berat badan (BB), kemudian secara acak dikelompokkan kedalam masing-masing perlakuan

Untuk memiliki pengetahuan bahasa asing seseorang harus mempelajari Untuk memiliki pengetahuan bahasa asing seseorang harus mempelajari kosakata terlebih dahulu

Pengungkapan Informasi Sosial dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pengungkapan Informasi Sosial Dalam Laporan Keuangan ( Study Empiris Pada Perusahaan yang Terdaftar di Bursa Efek