• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

15 A. Kerangka Teori

A. Tinjauan Umum mengenai Peradilan Militer a. Pengadilan Militer

Pengadilan Militer merupakan pengadilan dalam lingkungan peradilan militer yang kekuasaannya telah diatur dalam Pasal 40 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Adapun kekuasaan Pengadilan Militer yaitu memeriksa dan memutus perkara pidana yang terdakwanya adalah: 1) Prajurit yang berpangkat Kapten ke bawah;

2) Yang berdasarkan undang-undang dipersamakan dengan Prajurit (Pasal 9 ayat (1) huruf b);

3) Anggota suatu golongan atau jawatan atau badan atau yang dipersamakan atau yang dianggap sebagai Prajurit berdasarkan undang-undang (Pasal 9 ayat (1) huruf c); dan

4) Seseorang atas keputusan Panglima dengan persetujuan Menteri Kehakiman harus diadili oleh suatu Pengadilan Militer (Pasal 9 ayat (1) huruf d).

Adapun tempat kedudukan Pengadilan Militer dan daerah hukum ditetapkan oleh Panglima sesuai dengan keperluan. Mungkin saja di suatu daerah militer ditempatkan 1 (satu) atau lebih pengadilan militer. Apabila perlu, Pengadilan Militer dapat bersidang di luar tempat kedudukan atau di luar daerah hukumnya atas persetujuan Pengadilan Militer Utama. Persidangan di luar daerah kedudukannya atau di luar daerah hukumnya ini merupakan sidang lapangan untuk memeriksa barang bukti yang terdapat di luar daerah kedudukannya atau di luar daerah hukumnya (Moch. Faisal Salam, 2004: 91-92).

(2)

b. Pengadilan Militer Tinggi

Pengadilan Militer Tinggi memiliki kekuasan yang telah diatur dalam Pasal 41 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, yaitu:

1) Memeriksa dan memutus perkara pidana yang terdakwanya adalah:

a. Prajurit atau salah satu Prajuritnya berpangkat Mayor ke atas;

b. Yang berdasarkan undang-undang dipersamakan dengan Prajurit (Pasal 9 ayat (1) huruf b);

c. Anggota suatu golongan atau jawatan atau badan atau yang dipersamakan atau yang dianggap sebagai Prajurit berdasarkan undang-undang (Pasal 9 ayat (1) huruf c); dan d. Seseorang atas keputusan Panglima dengan persetujuan

Menteri Kehakiman harus diadili oleh suatu Pengadilan Militer (Pasal 9 ayat (1) huruf d).

2) Memeriksa dan memutus pada tingkat banding perkara pidana yang telah diputus oleh Pengadilan Militer dalam daerah hukumnya yang dimintakan banding; dan

3) Memutus tingkat pertama dan terakhir sengketa kewenangan mengadili antara Pengadilan Militer dalam daerah hukumnya.

Moch. Faisal Salam menjelaskan, adapun tempat dan kedudukan Pengadilan Militer Tinggi ditetapkan dengan Keputusan Panglima. Tidak setiap wilayah militer terdapat Pengadilan Tinggi Militer, akan tetapi untuk seluruh wilayah Indonesia dibagi atas beberapa wilayah kekuasaan Pengadilan Militer Tinggi. Pada waktu sebelum Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer keluar, wilayah Pengadilan Tinggi Militer hanya terbagi 3 (tiga) wilayah yaitu (Moch. Faisal Salam, 2004: 93-94):

(3)

1) Daerah Tingkat I berkedudukan di Medan meliputi Provinsi Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Bengkulu, Jambi, Sumatera Selatan dan Lampung;

2) Daerah Tingkat II berkedudukan di Jakarta meliputi Provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan D.I. Yogyakarta; dan

3) Daerah Tingkat III berkedudukan di Surabaya meliputi Provinsi Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Maluku dan Irian Jaya.

c. Pengadilan Militer Utama

Pengadilan Militer Utama memiliki kekuasan yang telah diatur dalam Pasal 41, Pasal 42 dan Pasal 43 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, yaitu meliputi:

1) Memeriksa dan memutus pada tingkat banding perkara pidana dan sengketa Tata Usaha Angkatan Bersenjata yang telah diputus pada tingkat pertama oleh Pengadilan Militer Tinggi yang dimintakan banding;

2) Memutus pada tingkat pertama dan terakhir semua sengketa tentang wewenang mengadili:

a) Antar Pengadilan Militer yang berkedudukan di daerah hukum Pengadilan Militer Tinggi yang berlainan;

b) Antar Pengadilan Militer Tinggi; dan

c) Antar Pengadilan Militer Tinggi dan Pengadilan Militer. 3) Memutus perbedaan pendapat antara Perwira Penyerah Perkara

dan Oditur tentang diajukan atau tidaknya suatu perkara kepada Pengadilan dalam lingkungan peradilan umum;

(4)

a) Penyelenggaraan peradilan di semua lingkungan Pengadilan Militer, Pengadilan Militer Tinggi dan Pengadilan Militer Pertempuran di daerah hukumnya masing-masing; dan

b) Tingkah laku dan perbuatan para Hakim dalam menjalankan tugasnya.

5) Meminta keterangan tentang hal-hal yang bersangkutan dengan teknis peradilan dari Pengadilan Militer, Pengadilan Militer Tinggi dan Pengadilan Militer Pertempuran;

6) Memberi petunjuk, teguran atau peringatan yang dipandang perlu kepada Pengadilan Militer, Pengadilan Militer Tinggi dan Pengadilan Militer Pertempuran; dan

7) Meneruskan perkara yang dimohonkan kasasi, peninjauan kembali dan grasi kepada Mahkamah Agung.

Tempat dan Kedudukan Pengadilan Militer Utama berada di Ibukota Ngera Republik Indonesia yang daerah hukumnya meliputi seluruh wilayah Negara Republik Indonesia (Moch. Faisal Salam, 2004: 97).

d. Pengadilan Militer Pertempuran

Pengadilan Militer Pertempuran memiliki kekuasan yang telah diatur dalam Pasal 45 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer yaitu memeriksa dan memutus pada tingkat pertama dan terakhir perkara pidana yang dilakukan di daerah pertempuran oleh:

1) Prajurit;

2) Yang berdasarkan undang-undang dipersamakan dengan Prajurit;

3) Anggota suatu golongan atau jawatan atau badan atau yang dipersamakan atau dianggap sebagai prajurit berdasarkan undang-undang; dan

(5)

4) Seseorang yang atas keputusan Panglima dengan persetujuan Menteri Kehakiman harus diadili oleh suatu Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer.

Pengadilan Militer Pertempuran bersifat mobil mengikuti gerakan pasukan dan berkedudukan serta berdaerah hukum di daerah pertempuran. Atas putusan Pengadilan Militer Pertempuran hanya dapat mengajukan kasasi, putusan mana harus diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum (Moch. Faisal Salam, 2004: 103).

Yurisdiksi Peradilan Militer pada dasarnya hanya terbatas pada personil militer, namun hal ini dapat diperluas ketika terjadi pada masa perang, dimana personil kiliter asing atau warga sipil yang melakukan kejahatan juga harus tunduk pada peradilan militer. Hal ini seperti yang telah dikutip dalam Jurnal Dini Dewi Heniarti yang berbunyi (Dini Dewi Heniarti, 2015: 5-6):

“Military court jurisdiction over the military personnel who general crimes refers to the prevailing military criminal law in Indonesia, i.e. using the ‘jurisdiction over the person approach with the emphasis on the subject of law,namely the military personnel. Under the perspective of law reform, the military judiciary jurisdiction over the military personnel who commit general crimes departs from the national system of law and the global trend as well asius comparandum. Jurisdiction related factors such as ratione personae, loci, materiae and tempore must take into account the structure, composition and position of the military forces within the state structure. The military judiciary jurisdiction needs to be expanded when the country is under the state of war. This tempus delicti becomes important to determine whether or not a crime belongs to the military judiciary jurisdiction, considering the special circumstances of state control during such time. At times of war, all crimes committed by foreign military personnel who are subject tothe law of war or unlawful enemy combatants become the absolute jurisdiction of the military judiciary. During the war, civilians committing crimes related to military interests are determined to be within the domain of military justice jurisdiction”.

(6)

B. Tinjauan Umum mengenai Oditurat dan Oditur Militer a. Oditurat

Dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer menjelaskan bahwa:

“Oditurat Militer, Oditurat Militer Tinggi, Oditurat Jenderal Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dan Oditurat Militer Pertempuran yang selanjutnya disebut Oditurat adalah badan di lingkungan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia yang melakukan kekuasaan pemerintahan negara di bidang penuntutan dan penyidikan berdasarkan pelimpahan dari Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia.”

Dari Pengertian di atas maka dapat diketahui apabila Oditurat pada dasarnya merupakan badan yang layaknya kejaksaan namun dalam melaksanakan tugasnya hanya dalam ruang lingkup peradilan militer. Selanjutnya dalam Pasal 49 ayat (1) disebutkan bahwa Oditurat terdiri dari:

1) Oditurat Militer

2) Oditurat Militer Tinggi 3) Oditurat Jenderal

4) Oditurat Militer Pertempuran b. Oditur Militer

Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer menjelaskan bahwa:

“Oditur Militer dan Oditur Militer Tinggi yang selanjutnya disebut sebagai Oditur adalah pejabat yang diberi wewenang untuk bertindak sebagai penuntut umum, sebagai pelaksana putusan atau penetapan Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer atau Pengadilan dalam lingkungan peradilan umum dalam perkara pidana dan sebagai penyidik sesuai dengan ketentuan undang-undang ini.”

Dari bunyi Pasal tersebut, Moch. Faisal Salam dalam bukunya menjabarkan terdapat 3 (tiga) hal yang menjadi tugas pokok Oditur Militer, yaitu (Moch. Faisal Salam, 2004: 119):

1) Sebagai pejabat negara yang melaksanakan tugas di bidang penuntutan;

(7)

2) Sebagai pejabat negara yang melaksanakan penetapan pengadilan, baik penetapan peradilan militer, maupun penetapan peradilan umum; dan

3) Pejabat negara yang diserahi tugas untuk mengadakan penyidikan awal maupun penyidikan lanjutan.

C. Tinjauan Umum mengenai Putusan a. Putusan Pemidanaan

Putusan Pemidanaan akan dijatuhkan hakim, bila mana ia berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan, dengan sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti yang sah menurut undang-undang hakim mendapatkan keyakinan bahwa terdakwa bersalah yang mana hal ini telah diatur dalam Pasal 193 Jo. Pasal 183 KUHAP (Waluyadi, 1999: 110).

Adapun terhadap lamanya pidana (sentencing atau straftoemeting) pembentuk undang-undang memberikan kebebasan kepada hakim untuk menentukan antara pidana minimum sampai maksimum terhadap pasal yang terbukti dalam persidangan. Walaupun diberikan kebebasan bukan berarti hakim dapat menjatuhkan pidana seenaknya tanpa dasar pertimbangan yang lengkap, karena putusan pengadilan yang kurang pertimbangan (onvoidoende gemotiveerd) dapat dibatalkan oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia (Lilik Mulyadi, 2007: 148-149).

b. Putusan Bebas

Putusan bebas atau vrijspraak atau actuittal diatur dalam Pasal 191 ayat (1) KUHAP dimana Putusan bebas dapat dijatuhkan apabila pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan Terdakwa atas perbuatan yang didakwakan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan.

(8)

Putusan bebas berarti Terdakwa tidak dipidana atau tidak menjalani hukuman karena hasil pemeriksaan di persidangan yang didakwakan Penuntut Umum dalam surat dakwaan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum, atau secara yuridis dapat dikatakan Majelis Hakim memandang atas minimum pembuktian dan keyakinan hakim berdasarkan ketentuan Pasal 183 KUHAP tidak terbukti (Lilik Mulyadi, 2007: 150).

c. Putusan Lepas dari Segala Tuntutan Hukum

Putusan lepas dari segala tuntutan hukum diatur dalam Pasal 191 ayat (2) KUHAP yang menyebutkan jika suatu perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan tersebut tidak merupakan suatu tindak pidana, maka Terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum.

Pada putusan lepas dari segala tuntutan hukum, apa yang didakwakan kepada Terdakwa terbukti secara sah baik dinilai dari segi pembuktian menurut undang-undang maupun dari segi batas minimum pembuktian yang diatur dalam Pasal 183 KUHAP, akan tetapi, perbuatan yang terbukti itu tidak merupakan tindak pidana. Bisa dikatakan pula perbuatan yang telah didakwakan dan telah terbukti itu tidak diatur dan termasuk dalam ruang lingkup hukum pidana (M. Yahya Harahap, 2010: 352).

d. Putusan Sela

Putusan sela merupakan putusan yang belum menyinggung pokok perkaranya. Apabila Majelis Hakim menjatuhkan “keputusan” berbentuk “putusan sela” sebagaimana ketentuan Pasal 156 ayat (1) KUHAP, praktik peradilan lazim terhadap mengenai “surat dakwaan tidak dapat diterima” atau “terhadap surat dakwaan harus dibatalkan” (Lilik Mulyadi, 2007: 165).

(9)

Adapun terkait putusan sela yang menyatakan dakwaan tidak dapat diterima telah diatur dalam Pasal 156 ayat (1) KUHAP yang berbunyi:

“Dalam hal terdakwa atau penasihat hukum mengajukan keberatan bahwa pengadilan tidak berwenang mengadili perkaranya atau dakwaan tidak dapat diterima atau surat dakwaan harus dibatalkan, maka setelah diberi kesempatan kepada penuntut umum untuk menyatakan pendapatnya, hakim mempertimbangkan keberatan tersebut untuk selanjutnya mengambil keputusan.”

Kemudian terhadap putusan sela yang menyatakan dakwaan batal demi hukum telah diatur dalam Pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP yaitu Penuntut umum membuat surat dakwaan yang diberi tanggal dan ditandatangani serta berisi uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan.

Dalam putusan sela, apabila Majelis Hakim menyatakan keberatan tersebut diterima, perkara itu tidak diperiksa lebih lanjut, sebaliknya dalam hal keberatan itu tidak diterima atau Hakim berpendapat keberatan tersebut baru dapat diputuskan sesudah selesai pemeriksaan, sidang dilanjutkan. Kemudian terhadap putusan majelis hakim yang menyatakan keberatan diterima, dapat dilakukan perlawanan kepada Pengadilan tingkat banding melalui Pengadilan yang bersangkutan dan paling lambat dalam waktu 7 (tujuh) hari sejak perlawanan diterima, Pengadilan wajib meneruskan perkara tersebut kepada Pengadilan tingkat banding. Hal ini telah diatur dalam Pasal 156 KUHAP atau dalam ruang lingkup peradilan militer telah diatur khusus dalam Pasal 146 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.

Terhadap putusan sela yang yang menyatakan keberatan tidak dapat diterima, Penuntut Umum masih dapat melimpahkan perkara

(10)

tersebut ke pengadilan. Hal ini dapat dilakukan setelah dakwaan yang dibatalkan atau dinyatakan tidak dapat diterima tersebut telah diperbaiki atau telah disempurnakan. (Wilhelmus Tallak, 2015: 5) D. Tinjauan Umum mengenai Perlawanan

a. Pengertian Perlawanan

Perlawanan adalah upaya hukum yang dapat dilakukan atau yang dapat dibenarkan terhadap Putusan Sela yang telah telah dijatuhkan Hakim mengenai eksepsi. Bahwa bentuk upaya hukum terhadap eksepsi adalah perlawanan atau verzet (resistance) bukan banding (appeal). Upaya perlawanan ini diatur dalam Pasal 156 KUHAP, khusus diajukan terhadap Putusan Sela yang dijatuhkan peradilan tingkat pertama terhadap eksepsi (bantahan) yang diajukan Terdakwa atau Penasihat Hukumnya (M. Yahya Harahap, 2010: 347).

Putusan Sela atau “tussen-vonnis” dapat diajukan perlawanan (verzet) kepada Pengadilan Tinggi melalui Pengadilan Negeri yang menerima pelimpahan perkara/memutus perkara (Lilik Mulyadi, 2007: 236).

Perlawanan atau verzet dapat diajukan oleh Penuntut Umum, Terdakwa atau Penasihat Hukum ke Pengadilan Tinggi melalui Pengadilan Negeri yang bersangutan. Perlawanan dapat diajukan pelawan di kepaniteraan pengadilan negeri yang memutus perkara dan dicatat dalam buku panitera. Pada praktik yang telah berjalan, biasanya pelawan akan mengajukan “memori perlawanan”, sedangkan pihak lainnya mengajukan “kontra memori” atas “memori” dari pelawan (Lilik Mulyadi, 2007: 237).

Perlawanan khusus dalam Peradilan Militer telah diatur dalam Pasal 146 dan Pasal 147 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Oditur Militer dapat mengajukan perlawanan (verzet) kepada Pengadilan Militer

(11)

Tinggi yang bersangkutan. Baik dalam KUHAP maupun Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer tidak mengatur secara tegas mengenai batas waktu kapan perlawanan dapat diajukan setelah putusan sela dibacakan, melainkan hanya menyebutkan jika Pengadilan Militer yang bersangkutan wajib meneruskan perkara tersebut ke pengadilan tingkat banding paling lambat 7 (tujuh) hari sejak perlawanan dari Oditur Militer diterima.

Oleh karena tidak diatur secara eksplisit tenggang waktu dalam mengajukan perlawanan, Lilik Mulyadi dalam bukunya menjelaskan ada 2 (dua) pandangan teoritisi dan praktisi mengenai hal ini. Pertama, ada yang berpendapat dan menafsirkan bahwa perlawanan dapat diajukan kapan saja dengan argumentasi karena tenggang waktu perlawanan tidak diatur secara limitatif sehingga dapat ditafsirkan pembentuk undang-undang memberikan keleluasaan kepada pihak pelawan untuk mengajukan perlawanannya. Kedua, ada yang berpendapat dengan titik tolak saat mengajukan “keberatan”, maka tenggang waktu perlawanan (verzet) harus segera dilakukan setelah keputusan atas keberatan telah diucapkan (Lilik Mulyadi, 2007: 238).

b. Nota Perlawanan Oditur Militer

Dalam praktik di peradilan, tidak ada kata baku yang menyebutkan bentuk baku atas perlawanan yang diajukan. Bahkan dalam peraturan perundang-undangan dan buku-buku para ahli hukum tidak ada yang menyebutkan bentuk baku dari suatu perlawanan. Ada yang menyebutkan bentuk dari perlawanan biasanya berupa Nota Perlawanan atau Akta Perlawanan atau Memori Perlawanan.

Pernyataan “perlawanan” (verzet) ini tidak ada akta khusus untuk itu, tetapi dibuat dengan pernyataan bahwa pada pokoknya

(12)

pada hari, tanggal dan tahun telah datang menghadap panitera bahwa penuntut umum dengan identitas lengkap telah mengajukan perlawanan terhadap “putusan sela” pengadilan negeri, kemudian ditandatangani oleh pelawan dan panitera. Selanjutnya, “perlawanan” ini diberitahukan juga kepada terdakwa atau penasihat hukumnya (Lilik Mulyadi, 2007: 241).

Dalam ranah Peradilan Militer, terhadap putusan Majelis Hakim yang menyatakan keberatan diterima, Oditur Militer dapat mengajukan perlawanan. Tata urutan pengajuan perlawanan yang telah diatur dalam Pasal 146 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, yaitu:

(1) Oditur Militer mengajukan perlawanan kepada Pengadilan tingkat banding melalui pengadilan yang bersangkutan;

(2) Pengadilan yang bersangkutan wajib meneruskan perkara tersebut kepada Pengadilan tingkat banding paling lambat 7 (tujuh) hari sejak perlawanan diterima; dan

(3) Pengadilan tingkat banding wajib memutuskan untuk menerima atau menolak perlawanan yang telah diajukan oleh Oditur Militer paling lambat 14 (empat belas) hari sesudah Pengadilan tingkat banding menerima perlawanan dari Oditur Militer.

(13)

B. Kerangka Pemikiran

Pembacaan Dakwaan Oleh Oditur Militer

Pembacaan Putusan Sela oleh Pengadilan Militer III-14 Denpasar

Menyatakan menerima keberatan dari Terdakwa

Pemeriksaan persidangan di Pengadilan Militer III-14 Denpasar dihentikan

Oditur Militer mengajukan perlawanan ke Pengadilan Militer Tinggi III Surabaya

Pengadilan Militer Tinggi III Surabaya menerima perlawanan dari Oditur Militer

Sesuai dengan UU No. 31 Tahun 1997?

Apa implikasi hukumnya? Pengajuan Keberatan (Eksepsi)

oleh Terdakwa atau Penasihat Hukum

Keterangan:

: Menunjukkan urutan peristiwa yang dideskripsikan dalam penelitian.

: Menunjukkan permasalahan yang akan dikaji oleh penulis. Pemeriksaan Persidangan Perkara

Pidana Narkotika (Putusan Pengadilan Militer Tinggi III Surabaya Nomor: 58-K/PMT.III/BDG/AD/VI/2013)

(14)

Penjelasan Kerangka Pemikiran:

Kerangka pemikiran di atas menjelaskan alur pemikiran penulis dalam mengangkat, menggambarkan, menelaah dan menjabarkan serta menemukan jawaban atas rumusan masalah dalam penelitian ini, tinjauan tentang Nota Perlawanan Oditur Militer terhadap pembatalan dakwaan perkara narkotika oleh Pengadilan Militer III-14 Denpasar dan implikasi hukumnya (studi putusan Pengadilan Militer Tinggi III Surabaya Nomor: 58-K/PMT.III/BDG/AD/VI/2013).

Meninjau perkara pidana narkotika sebagaimana terdapat dalam Putusan Pengadilan Militer Tinggi III Surabaya Nomor: 58-K/PMT.III/BDG/AD/VI/2013, Majelis Hakim Pengadilan Militer III-14 Denpasar dalam Putusan Sela telah menerima eksepsi Terdakwa atau Penasihat Hukumnya mengenai tidak sahnya penyidikan dan cacatnya Laporan Polisi. Atas Putusan Sela Pengadilan Militer III-14 Denpasar tersebut, Oditur Militer mengajukan Perlawanan ke Pengadilan Militer Tinggi III Surabaya. Kemudian dalam Putusannya, Pengadilan Militer Tinggi III Surabaya menyatakan menerima perlawanan yang diajukan oleh Oditur Militer.

Muara dalam kerangka di atas yaitu kesesuaian Nota Perlawanan Oditur Militer terhadap pembatalan dakwaan perkara narkotika oleh Pengadilan Militer III-14 Denpasar dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer dan implikasi hukum dikabulkannya tentang Nota Perlawanan Oditur Militer terhadap pembatalan dakwaan perkara narkotika oleh Pengadilan Militer III-14 Denpasar akan menjadi telaah yang mendalam bagi penulisan hukum ini.

Referensi

Dokumen terkait

Halaman pada ribbon ini berisi tombol-tombol untuk mengatur tampilan kertas dari naskah yang sedang dikerjakan, seperti mengatur Margins (batas awal dan batas akhir

Pasal 1 ayat (8) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana selanjutnya disebut KUHAP, Hakim adalah pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk

Halaman pada ribbon ini berisi tombol-tombol untuk mengatur tampilan kertas dari naskah yang sedang dikerjakan, seperti mengatur Margins (batas awal dan batas akhir

Di dalam Pasal 1 angka 8 UU No.8 Tahun 1981 tentang KUHAP menyebutkan bahwa Hakim adalah pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh undang-undang

31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, dan Pasal 89 ayat (2) KUHAP bahwa aparat yang berwenang dalam melakukan penyidikan untuk perkara koneksitas terdiri

Seperti yang sudah dijelaskan dalam Pasal 1 Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana atau biasa disebut dengan KUHAP bahwa : “Hakim adalah pejabat Peradilan Negara yang diberi

Menurut Pasal 1 angka 28 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) berbunyi bahwa: “Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seoang yang

Tarif Penerimaan Negara Bukan Pajak PNBP Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak pasal 3 ayat 1 dan 2, 1 Tarif atas jenis