• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. hukum acara pidana disini yang dapat mempertahankan berlakunya hukum

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. hukum acara pidana disini yang dapat mempertahankan berlakunya hukum"

Copied!
35
0
0

Teks penuh

(1)

12 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Asas-Asas Hukum Acara Pidana

Kita ketahui bahwa hukum acara pidana ialah hukum formil yang mana berfungsi untuk mempertahankan hukum materiil dari hukum pidana itu sendiri. Supaya hukum pidana tersebut dapat berjalan dengan baik maka hukum acara pidana disini yang dapat mempertahankan berlakunya hukum pidana tersebut. Pengertian dari hukum formil sendiri ialah hukum yang mengatur cara mempertahankan atau menjalankan peraturan hukum materiil. Adapun asas-asas hukum pidana, disini asas-asas hukum bukanlah aturan hukum. Karena asas-asas hukum merupakan bingkai dari sebuah aturan hukum. Asas-asas hukum tersirat dalam aturan-aturan hukum. Dan asas hukum ini bersifat umum oleh karena itu harus dituangkan dalam aturan hukumnya agar dapat diterapkan.

Selanjutnya asas-asas hukum harus ada dalam setiap aturan hukum itu sendiri. Sebab jika tidak ada asas-asas hukum dalam sebuah aturan hukum, maka aturan tersebut tidak dapat dimengerti. Seperti halnya yang dikatakan oleh Hibnu Nugroho bahwa asas hukum bukanlah hukum, namun hukum tidak akan dimengerti tanpa asas-asas tersebut. Maka dalam hukum acara pidana terdapat asas-asas hukum acara pidana, yang mana dengan adanya asas-asas tersebut maka diharapkan dalam hukum acara

(2)

13

pidana sendiri dapat dimengerti. Asas-asas hukum acara pidana sebagai berikut :5

1. Asas Peradilan Cepat, Sederhana dan Biaya Ringan

Asas ini lahir sejak berlakunya HIR. Dimana dalam peradilan cepat dalam HIR seperti yang sudah dijelaskan dalam Pasal 71 HIR ada kata-kata satu kali 24 jam. Kemudian dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) di dalamnya terdapat peradilan cepat misalnya dalam Pasal 50 ayat (1) yang menjelaskan bahwa : “(1)Tersangka berhak segera mendapat pemeriksaan oleh penyidik dan selanjutnya dapat diajukan kepada penuntut umum.”

Maka dalam Pasal 50 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tersebut terdapat kata “segera” yang mana maksud dari kata tersebut ialah agar dilakukan secara cepat. Berdasarkan perbandingan antara HIR dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) di atas, sebenarnya ketentuan dalam HIR lebih pasti karena telah dirumuskan berapa lama waktunya sedangkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) kata “segera” tersebut belum menunjukan atau memberikan kepastian.

Selanjutnya dalam Pasal 67 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) juga di dalamnya tersirat asas peradilan cepat,

5

M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP Penyidikan dan Penuntutan, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, dan Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2011,.

(3)

14

sederhana, dan biaya ringan yang mana dalam pasal tersebut menjelaskan bahwa : “Terdakwa atau penuntut umum berhak untuk minta banding terhadap putusan pengadilan tingkat pertama kecuali terhadap putusan bebas, lepas dari segala tuntutan hukum yang menyangkut masalah kurang tepatnya penerapan hukum dan putusan pengadilan dalam acara cepat.”

Jika dilihat dari rumusan Pasal 67 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), maka menurut Yahya Harahap mengatakan bahwa bertitik tolak ansich dari sudut kepentingan kepastian hukum bagi Terdakwa untuk mempercepat proses penyelesaian perkara, ketentuan ini sangat menguntungkan Terdakwa. Akan tetapi kalau dipertentangkan dari sudut kepentingan hukum dan keadilan dalam mewujudkan kebenaran yang hakiki, barangkali terlampau berat sebelah melindungi kepentingan Terdakwa, sehingga dirasakan kurang bernafas keselarasan dan keseimbangan dengan perlindungan ketertiban masyarakat.

Karena asas peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan merupakan wujud penghargaan terhadap hak asasi manusia dan juga dengan adanya asas ini diharapkan agar negara dapat menghemat pengeluaran sehingga dapat dipergunakan untuk kesejahteraan rakyat. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Andi Hamzah yang mengatakan bahwa peradilan cepat (terutama untuk menghindari penahanan yang lama sebelum ada keputusan hakim) merupakan bagian dari hak asasi

(4)

15

manusia. Begitu pula peradilan bebas, jujur, dan tidak memihak yang ditonjolkan dalam undang-undang tersebut.

Pengertian lain dari asas peradilan cepat ini, terdapat pula dalam hal batas waktu penahanan dalam proses beracara pidana. Dimana penahanan merupakan suatu hak dari para penegak hukum pidana yang menggunakan suatu pedoman berupa hukum acara pidana yang terdapat di dalam Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Yang mana dalam Pasal 24 ayat (1) dan (2) KUHAP sudah dijelaskan tentang pengaturan mengenai batas waktu penahanan bagi penyidik adalah 20 hari dan dapat diperpanjang atas izin penuntut umum selama 40 hari.

Maka dalam hal ini batas waktu 60 hari tidak selalu digunakan, karena hanya batas waktu maksimum yang dapat dipergunakan oleh penyidik apabila diperlukan perpanjangan waktu penahanan guna memperlancar proses penyidikan. Selanjutnya apabila telah sampai batas waktu maksimal dan penyidik belum dapat menyelesaikan apa yang ditujuh, maka Terdakwa harus segera dikeluarkan demi hukum dan tanpa syarat apapun. Dengan begitu diharapkan penyidik harus dapat segera menyelesaikan proses penyidikan. Begitu pula halnya dalam proses beracara di Penuntut Umum, Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, dan Mahkamah Agung. Dengan melihat hal tersebut maka jelas Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) ini memberikan jaminan untuk dilaksanakannya asas peradilan cepat dalam proses beracara.

(5)

16

2. Praduga Tak Bersalah (Presumption of Innocence)

Maksud dari asas ini adalah seseorang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan dihadapkan di muka sidang pengadilan tidak boleh dianggap bersalah sampai ada putusan pengadilan yang menyatakan bahwa memang seseorang tersebut bersalah serta telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Dan asas ini sudah dijelaskan dalam Penjelasan Umum butir 3 c Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang menjelaskan bahwa : “Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap.”

Yang mana asas ini merupakan bentuk terhadap hak asasi manusia, karena asas ini mempunyai tujuan untuk memberi perlindungan terhadap hak asasi dan nama baik seseorang. Maka dalam hal ini seseorang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan dihadapkan di muka sidang pengadilan belum tentu dia bersalah melakukan tindak pidana yang disangkakan kepadanya.

3. Asas Oportunitas

Sebelumnya kita harus mengetahui pengertian dari asas oportunitas itu sendiri yaitu suatu asas dimana penuntut umum tidak diwajibkan untuk menuntut seseorang jika karena penuntutannya akan atau dapat merugikan kepentingan umum. Menurut A.Z. Abidin Farid dalam buku Andi Hamzah yang mana beliau menjelaskan tentang asas oportunitas

(6)

17

yaitu asas hukum yang memberikan wewenang kepada penuntut umum untuk menuntut atau tidak menuntut dengan tanpa syarat seseorang atau korporasi yang telah mewujudkan delik demi kepentingan umum.

Asas oportunitas sendiri merupakan asas yang bertentangan dengan asas legalitas. Dimana asas oportunitas disini lebih mengedepankan kepentingan umum sedangkan asas legalitas hanya mengedepankan kepentingan hukum. Dan wujud dari asas oportunitas yaitu perkara tersebut dideponir.

Kemudian asas ini tidak sembarangan dapat dilakukan. Karena asas oportunitas ini hanya berlaku jika kepentingan umum benar-benar dirugikan, selain itu tidak semua jaksa dapat memberlakukan asas ini. Hal ini diatur dalam Pasal 35 c Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia yang menjelaskan bahwa : “Jaksa Agung dapat menyampingkan perkara berdasarkan kepentingan umum.”

Maka perumusan Pasal 35 c Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia dapat diartikan bahwa hanya Jaksa Agung yang dapat mendeponir perkara yang merugikan kepentingan umum.

4. Pemeriksaan Pengadilan Terbuka untuk Umum

Asas pengadilan terbuka untuk umum ini adalah menghendaki adanya transparansi atau keterbukaan dalam sidang pengadilan. Yang mana asas ini sudah dijelaskan dalam Pasal 153 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) bahwa : “Untuk keperluan

(7)

18

pemeriksaan hakim ketua sidang membuka sidang dan menyatakan terbuka untuk umum kecuali dalam perkara mengenai kesusilaan atau Terdakwanya anak-anak.”

Maka maksud dari pasal tersebut ialah asas ini hanya berlaku dalam sidang pengadilan dan tidak berlaku dalam tahap penyidikan maupun praperadilan. Meskipun begitu asas ini tidak dapat diterapkan dalam semua sidang pengadilan. Yang mana sudah dijelaskan dalam Pasal 153 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) bahwa dalam pasal ini memberi pengecualian terhadap sidang pengadilan mengenai kesusilaan atau Terdakwanya anak-anak. Pengecualian tersebut dijelaskan oleh M. Yahya Harahap yang mengatakan bahwa: “Secara singkat dapat dapat dikemukakan bahwa mengenai perkara kesusilaan dianggap masalahnya sangat pribadi sekali. Tidak patut mengungkapkan dan memaparkannya secara terbuka di muka umum. Demikian juga halnya dengan pemeriksaan sidang anak-anak, cara-cara pemeriksaan persidangannya memerlukan kekhususan. Timbul suatu kecenderungan yang agaknya bisa dijadikan dasar filosofis yang mengajarkan anak-anak melakukan tindak pidana, bukanlah benar-benar, tetapi melainkan bersifat “kenakalan” semata-mata.”

Sedangkan terlaksananya asas ini dijelaskan dalam Pasal 153 ayat (4) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) bahwa : “Tidak dipenuhinya ketentuan dalam ayat (2) dan ayat (3) mengakibatkan batalnya putusan demi hukum.”

(8)

19

Maka dapat disimpulkan bahwa ketentuan Pasal 153 ayat (4) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) ialah merupakan asas pemeriksaan pengadilan yang harus diterapkan karena jika tidak maka putusan tersebut batal demi hukum.

5. Semua Orang Diperlakukan Sama di Depan Hukum

Asas ini telah dijelaskan dalam Pasal 5 ayat 1 Undang-undang No.4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman yaitu : “Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang”.6 Kemudian Undang-Undang mengalami pembaharuan pada tahun 2009, yang mana asas semua orang diperlakukan sama didepan hukum terdapat dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menjelaskan bahwa :“Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang.” Sedangkan asas ini juga sudah dijelaskan dalam penjelasan umum butir 3 a Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang menjelaskan bahwa : “Perlakuan yang sama atas diri setiap orang di muka hukum dengan tidak mengadakan pembedaan perlakuan.”

Selanjutnya dalam pembukaan UUD 1945 menjelaskan bahwa setiap individu atau warga negara adalah manusia merdeka dan tidak boleh mendapatkan diskriminasi berdasarkan apapun. Memang sebenarnya, asas persamaan hukum sendiri merupakan payung hukum yang berlaku secara umum dan tunggal. Asas kesamaan di hadapan hukum telah disebutkan dalam Pasal 27 ayat 1 UUD 1945 yang mana

6

https://www.obsessionnews.com/equality-before-the-law/, diakses pada tanggal 17 November 2019

(9)

20

dalam pasal ini dijelaskan bahwa tujuan utama pasal tersebut ialah adanya prinsip kesamaan dan kesetaraan dalam menegakkan keadilan, dimana persamaan kedudukan itu berarti hukum sebagai satu entitas tidak dapat membedakan siapapun yang meminta keadilan kepadanya. Maka dalam konsep ini merupakan bukti, bahwa sistem hukum anglo saxon merupakan sebagai ciri rule of law yang telah dijadikan sebagai pedoman dalam konstitusi dasar negara kita. Sehingga maksud dengan adanya asas ini ialah menghindari terjadinya diskriminasi dalam supremasi penegakan hukum di Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Adapun unsur terpenting dalam hukum itu sendiri adalah substansinya yang harus dapat memuliakan manusia. Dimana dalam Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia (DUHAM) atau bahasa yang sering dikenal ialah “Kehormatan Manusia” atau Human Dignity. Kemudian dalam hukum HAM, prinsip Equality Before the Law adalah tema yang memiliki nilai sejarah yang panjang. Berbagai peristiwa yang mengganggu nilai asasi manusia diakibatkan oleh praktik buruk dan penggunaan hukum yang hanya sekedar untuk melayani kemauan dari penguasa. Hal ini kemudian menjadi dasar perlawanan berbagai korban, komunitas terdampak yang menyuarakan hak asasi mereka. Konsolidasi pengakuan HAM, misalnya dapat dilihat dari munculnya DUHAM pada tahun 1948. Yang mana dalam DUHAM tersurat kuat penolakan terhadap praktik diskriminasi yaitu terdapat dalam pasal 2. Kemudian dalam DUHAM digunakan kalimat “setiap orang…” yang artinya bahwa tidak boleh ada pengecualian hak terutama atas hak yang

(10)

21

dibutuhkan bagi eksistensi manusia untuk hidup lebih martabat, termasuk menolak diskriminasi hukum.

Maka dapat disimpulkan bahwa asas semua orang diperlakukan sama di depan hukum terdapat dalam Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan juga dijelaskan oleh Hibnu Nugroho seorang ahli yang mengatakan bahwa: “Semangat menjujung tinggi HAM yang mendasari lahirnya KUHAP semakin memperkokoh kedudukan asas ini. Sehingga dalam hal ini, dari mulai ditangkapnya seseorang hingga akhir menjalani proses penegakan hukum, orang tersebut akan tetap mendapat perlindungan yang memadai. Karena dalam setiap tahap pemeriksaan akan diberikan jangka waktu limitatif yang secara tertulis dalam ketentuan KUHAP dan pelanggaran terhadap ketentuan tersebut dapat dilakukan pra peradilan.”

6. Peradilan Dilakukan oleh Hakim Karena Jabatannnya dan Tetap

Pengertian dari asas ini ialah menentukan bahwa dalam pengambilan keputusan untuk menyatakan salah tidaknya Terdakwa dilakukan oleh hakim karena jabatannya yang bersifat tetap. Sistem ini berbeda dengan sistem juri. Sedangkan menurut Andi Hamzah, beliau mengatakan bahwa sistem juri yang menetukan salah tidaknya Terdakwa ialah suatu dewan yang mewakili golongan-golongan dalam masyarakat. Pada umumnya mereka awam terhadap ilmu hukum.

(11)

22

Asas ini merupakan salah satu asas yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang mana asas ini menjelaskan bahwa Tersangka atau Terdakwa berhak mendapatkan bantuan hukum. Penjelasan asas ini terdapat dalam Pasal 64 sampai dengan Pasal 74 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Kemudian asas ini berlaku secara universal di negara-negara demokrasi. Hal ini terbukti dengan terdapatnya asas ini dalam The International Covenant an Civil and Political Rights article 14 sub 3d sebagaimana dikutip oleh Andi Hamzah bahwa tersangka atau Terdakwa diberi jaminan sebagai berikut: “To be tried in his presence, and to defend himself in person or through legal assistance of his own choosing, to be inform, if he does not have legal assistance, of this right and to have legal assistance assigned to him, in any case where the interest justice so require, and without payment by him in any such case, if he does not have sufficient means topay for it. (Diadili dengan kehadiran Terdakwa, membela diri sendiri secara pribadi atau dengan bantuan penasihat hukum menurut pilihannnya sendiri, diberi tahu tentang hak-haknya ini jika ia tidak mempunyai penasihat hukum untuk dia jika untuk kepentingan peradilan perlu untuk itu, dan jika ia tidak mampu membayar penasihat hukum ia dibebaskan dari pembayaran).”

8. Asas Akusator

Pengertian asas akusator sendiri ialah asas yang menempatkan kedudukan Tersangka/Terdakwa sebagai subjek bukan sebagai objek

(12)

23

dari setiap tindakan pemeriksaan. Dan asas ini merupakan asas yang dianut dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang mana berbeda dengan yang dianut oleh HIR yang masih menggunakan asas inkuisatoir yang masih menempatkan kedudukan Tersangka/Terdakwa sebagai objek pemeriksaan. Kemudian menurut Mohammad Taufik Makarao dan Suhasril mengatakan bahwa: Prinsip akusator ini menempatkan kedudukan Tersangka ataupun Terdakwa dalam setiap tingkat pemeriksaan:

a. Merupakan subyek bukan sebagai obyek pemeriksaan, karena itu tersangka atau Terdakwa harus didudukkan dan diperlakukan dalam kedudukan manusia yang mempunyai harkat dan martabat harga diri.

b. Kemudian yang menjadi obyek pemeriksaan dalam prinsip akusator adalah kesalahan yang dialakukan tersangka atau Terdakwa.

Maka adapun perbedaan dari asas inkuisatoir yang dianut oleh HIR dengan asas akusator yang dianut oleh Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) salah satunya ialah ditandai dengan perubahan istilah salah satu alat bukti. Dimana dalam HIR dikenal dengan pengakuan Terdakwa sedangkan di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dikenal dengan keterangan Terdakwa. Pengakuan Terdakwa dalam HIR sebagai alat bukti memiliki kecenderungan bahwa Terdakwa harus mengakui bahwa dia bersalah. 9. Pemeriksaan Hakim yang Langsung dan Lisan

(13)

24

Maksud dari asas ini ialah bahwa dalam pemeriksaan sidang perkara pidana pemeriksaan tersebut dilaksanakan secara langsung dan lisan. Dengan begitu ini yang membuat berbeda dengan acara perdata. Karena dalam acara perdata tergugat dapat diwakili oleh kuasanya sedangkan dalam acara pidana tergugat harus menyampaikan langsung tidak boleh diwakilkan.

Maka penjelasan tersebut dapat dilihat dalam Pasal 153 ayat (2) huruf a Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Oleh sebab itu tidak diperbolehkan dalam pemeriksaan jika penyampaiannya secara tertulis. Karena asas ini mempunyai tujuan agar pemeriksaan tersebut dapat mencapai kebenaran yang hakiki. Dengan pemeriksaan diadakan secara langsung dan lisan, akan memberikan kesempatan kepada hakim untuk lebih teliti dan cermat dimana tidak hanya keterangannya saja yang bisa diteliti tetapi juga sikap dan cara mereka dalam memberikan keterangan.

B. Pengertian Sistem Peradilan Pidana Di Indonesia 1. Pengertian Sistem Peradilan Pidana

Kita ketahui bahwa sistem peradilan pidana merupakan suatu mekanisme kerja atau cara kerja peradilan pidana dalam penanggulangan kejahatan. Dan sistem peradilan pidana sendiri pada dasarnya merupakan suatu proses dalam penegakan hukum pidana. Oleh sebab itu, maka dalam proses penegakan hukum pidana sendiri dapat melihat dari perundang-undangan hukum pidana, baik itu dari hukum pidana materiil

(14)

25

maupun hukum pidana formil. Karena pada dasarnya perundang-undangan pidana itu merupakan penegakan hukum pidana dalam konteks “in abstracto” yang akan diwujudkan dalam penegakan hukum dalam konteks “in concreto”.

Dengan begitu dalam hukum acara pidana atau biasa dikenal dengan hukum pidana formil sebagaimana tercantum dalam Hukum Acara Pidana atau Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yang mana didalam undang-undang tersebut terdapat suatu pedoman atau landasan yang digunakan untuk melaksanakan sistem peradilan pidana, dan memiliki beberapa asas yaitu :7

a. Perlakuan yang sama di muka hukum; b. Praduga tidak bersalah;

c. Hak untuk memperoleh kompensasi (ganti rugi) dan rehabilitasi; d. Hak untuk memperoleh bantuan hukum;

e. Hak kehadiran terdakwa di muka pengadilan;

f. Peradilan yang bebas, dan dilakukan dengan cepat dan sederhana; g. Peradilan yang terbuka untuk umum;

h. Pelanggaran atas hak-hak warga negara (penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan) harus dilakukan berdasarkan undang-undang dan dilakukan dengan surat perintah (tertulis);

i. Hak tersangka untuk diberitahu tentang persangkaan dan pendakwaan terhadapnya;

7

(15)

26

Maka berdasarkan asas-asas diatas dapat dikatakan bahwa Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menganut “due process of law” atau proses hukum yang adil atau layak.

2. Komponen Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

Menurut salah satu ahli yaitu Mardjono, sistem peradilan pidana (criminal justice system) adalah sistem dalam suatu masyarakat yang mempunyai fungsi untuk menanggulangi kejahatan. Kata menanggulangi itu sendiri dapat diartikan sebagai sesuatu yang mengendalikan kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi masyarakat.8 Sedangkan sistem peradilan pidana sebagai sistem dalam suatu masyarakat dan untuk menanggulangi masalah kejahatan memilki beberapa tujuan yaitu : 9

a. Mencegah masyarakat agar tidak menjadi korban kejahatan;

b. Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi di masyarakat itu sendiri, yang dimana masyarakat akan merasa puas dengan keadilan yang sudah ditegakkan di Indonesia itu sendiri dan yang bersalah pastinya akan mendapatkan hukuman sesuai dengan perbuatan yang sudah dilakukannya;

c. Memberikan pelatihan atau mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak akan mengulangi kejahatan tersebut.

Karena di Indonesia, yang menjadi patokan atau dasar dalam bekerjanya komponen sistem peradilan pidana itu sendiri adalah mengacu pada Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

8

Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Semarang, Badan Penerbit UNDIP, hlm.14 9

(16)

27

Maka komponen sistem peradilan pidana di Indonesia yaitu sebagai berikut :10

1) Lembaga Kepolisian

Kita ketahui bahwa kepolisian merupakan aparat penegak hukum di Indonesia ataupun di suatu negara manapun. Kepolisian merupakan subsistem dalam suatu peradilan pidana dan itu sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Adapun tugas dan wewenang kepolisian juga sudah diatur dalam Pasal 13 UU No.2 Tahun 2002 yang mana disitu dijelaskan bahwa kepolisian mempunyai tugas pokok yaitu memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, dan memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat. Sedangkan dalam peradilan pidana, kepolisian memiliki kewenangan khusus untuk menjadi penyidik yang mana sudah diatur didalam Pasal 15 dan Pasal 16 UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia dan diatur juga dalam Pasal 5 dan Pasal 7 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Namun sebelum Indonesia memberlakukan sistem peradilan yang berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), maka awalnya sistem peradilan di Indonesia menganut pada yang namanya HIR, yang mana tugas untuk melakukan

10

Masrudi Muchtar, S.H.,M.H., Sistem Peradilan Pidana Di Bidang Perlindungan dan

(17)

28

penyidikan diberikan kepada lembaga kejaksaan, dan polisi hanya sebatas sebagai pembantu jaksa dalam menyidik.

2) Lembaga Kejaksaan

Semakin berkembangan sistem ketatanegaraan di Indonesia, maka lembaga kejaksaan ini merupakan lembaga eksekutif yang mana tunduk kepada Presiden. Akan tetapi, jika dilihat dari fungsi lembaga kejaksaan itu sendiri, kejaksaan merupakan bagian dari lembaga yudikatif. Maka adapun tugas dan wewenang kejaksaan telah diatur dalam Pasal 14 KUHAP, yaitu:

a) Menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik atau penyidik pembantu;

b) Mengadakan prapenuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan dengan memperhatikan ketentuan Pasal 110 ayat (3) dan ayat (4), dengan memberi petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan dari penyidik;

c) Memberikan perpanjangan penahanan, melakukan penahanan atau penahanan lanjutan dan atau mengubah status tahanan setelah perkaranya dilimpahkan oleh penyidik;

d) Membuat surat dakwaan;

e) Melimpahkan perkara ke pengadilan; f) Melakukan penuntutan;

g) Menutup perkara demi kepentingan hukum; h) Melaksanakan penetapan hakim.

(18)

29

3) Pengadilan

Lembaga pengadilan sendiri telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Yang mana dalam Pasal 1 dijelaskan bahwa “ Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggarakannya negara hukum Republik Indonesia”. Sedangkan tugas dari pengadilan itu sendiri adalah menerima, memeriksa dan memutus perkara yang diajukan ke pengadilan tersebut. Maka didalam memeriksa terdakwa, hakim akan bertitik tolak pada surat dakwaan yang telah dibuat oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU), dan mendasarkan pada alat bukti sebagaimana telah diatur didalam Pasal 184 KUHAP. Karena hakim akan menjatuhkan putusan, jika hakim tersebut sudah mempunyai bukti sekurang-kurangnya 2 alat bukti dan keyakinannya dalam menjatuhkan hukuman bagi terdakwa.

4) Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS)

Lembaga pemasyarakatan atau yang biasa disebut dengan LAPAS telah diatur dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Yang mana sistem pemasyarakatan merupakan suatu rangkaian kesatuan dalam penegakan hukum. Sehingga dalam pelaksanaannya tidak dapat dipisahkan dari pengembangan umum mengenai sistem

(19)

30

pemidanaan di Indonesia. Seperti di dalam Pasal 1 angka 3 UU No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, menjelaskan bahwa lembaga pemasyarakatan (LAPAS) adalah tempat untuk melaksanakan pembinaan narapidana dan anak didik pemasyarakatan.

5) Advokat

Kita ketahui jika ingin menjadi Advokat, maka calon seorang Advokat harus memenuhi apa saja profesi advokat. Karena profesi advokat sendiri telah diatur dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 2003 tentang Advokat. Hal ini dijelaskan dalam Pasal 5 ayat (1) UU No. 18 Tahun 2003 bahwa “Advokat berstatus sebagai penegak hukum, bebas dan mandiri yang dijamin oleh hukum dan peraturan perundang-undangan.” Dan yang dimaksud dengan “Advokat berstatus sebagai penegak hukum” adalah advokat sebagai salah satu perangkat dalam proses peradilan yang mempunyai kedudukan setara dengan penegak hukum lainnya dalam menegakkan hukum dan keadilan.

3. Mekanisme Pemeriksaan Perkara Pidana Di Indonesia

Kita ketahui bahwa dalam pemeriksaan suatu perkara pasti akan melalui beberapa tahapan. Contohnya dalam proses penyelesaian perkara pidana akan dimulai dari adanya suatu peristiwa hukum, misalnya ada seorang wanita yang sedang mengendarai sepeda motor di jalan, tiba-tiba seorang pria tidak dikenal langsung mengambil tas wanita tersebut secara

(20)

31

paksa. Maka jika dilihat dari contoh diatas itu merupakan peristiwa hukum. Namun untuk menentukan apakah peristiwa hukum itu merupakan suatu tindak pidana, harus dilakukan proses sistem peradilan pidana guna menegakkan norma-norma hukum pidana. Tahapan untuk mengetahui dan menentukan suatu tindak pidana adalah melalui beberapa tahap, yaitu sebagai berikut:11

a. Penyelidikan

Pengertian penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna dapat dilakukan penyidikan seperti yang sudah dijelaskan dalam Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 Pasal 1 angka 5. Dan berdasarkan ketentuan dalam Pasal 16 ayat (1) KUHAP, untuk kepentingan penyelidikan, penyelidik dapat melakukan penangkapan atas perintah dari penyidik.

b. Penyidikan

Pengertian penyidikan itu sendiri telah diatur didalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang terdapat dalam Pasal 1 butir 1 yang berbunyi “Penyidik adalah Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia atau Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan.” Dalam penjelasan undang-undang tersebut maka pejabatyang berwenang untuk melakukan penyidikan, yaitu : pihak POLRI dan pejabat Pegawai Negeri Sipil yang diberi

11

(21)

32

wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan.

Sedangkan pada Pasal 1 butir 2 KUHAP menjelaskan bahwa “Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.” Maka dapat disimpulkan jika tujuan utama dari penyidikan adalah mengumpulkan bukti-bukti yang dapat menentukan siapa tersangka dari suatu peristiwa hukum.

c. Dakwaan

Seperti yang sudah dijelaskan dalam Pasal 143 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) bahwa : “Penuntut Umum membuat surat dakwaan yang diberi tanggal dan ditandatangani serta berisi:

1) Nama lengkap, tempat tanggal lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan tersangka;

2) Uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana dan tempat tindak pidana itu dilakukan.”

Sedangkan menurut ahli yaitu A.Soetomo yang mana beliau menjelaskan surat dakwaan adalah surat yang dibuat atau disiapkan oleh penuntut umum yang dilampirkan pada waktu melimpahkan berkas

(22)

33

perkara ke pengadilan yang memuat nama dan identitas pelaku perbuatan pidana, kapan dan di mana perbuatan dilakukan serta uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai perbuatan tersebut yang didakwakan serta memenuhi unsur-unsur pasal-pasal tertentu pula yang nantinya merupakan dasar dan titik tolak pemeriksaan terdakwa di sidang pengadilan untuk dibuktikan apakah benar perbuatan yang dakwaan itu betul dilakukan dan apakah betul terdakwa adalah pelakunya yang dapat dipertanggungjawabkan untuk perbuatan itu.12

d. Penuntutan

Dalam Undang-undang sendiri telah ditentukan bahwa hak penuntutan hanya ada pada penuntut umum yaitu jaksa yang mana diberi wewenang oleh Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) lebih tepatnyanya pada Pasal 1 butir 7 KUHAP yang menjelaskan bahwa “Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke Pengadilan Negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang Pengadilan.”

e. Pemeriksaan di Pengadilan

Pemeriksaan di Pengadilan sendiri akan dilakukan, apabila dalam suatu perkara pidana telah dilakukan penuntutan. Tahap pemeriksaan perkara pidana di pengadilan ini dilakukan setelah tahap pemeriksaan pendahuluan selesai. Pemeriksaan ini

12

A. Soetomo. Pedoman Dasar Pembuatan Surat Dakwaan dan Suplemen, Jakarta: Penerbit PT.Pradnya Paramita, 1990.

(23)

34

berlandaskan sistem atau model Accusatoir, dan dimulai dengan menyampaikan berkas perkara kepada Public prosecutor.

Selanjutnya pemeriksaan di muka sidang pengadilan diawali dengan pemberitahuan untuk datang ke sidang pengadilan yang dilakukan secara sah menurut undang-undang. Dalam hal ini KUHAP telah memberikan batasan syarat, yang dimana telah di jelaskan di dalam Pasal 154 KUHAP yaitu batasan syarat sahnya tentang pemanggilan kepada terdakwa.

C. Pengertian Penegak Hukum dan Penegakan Hukum 1. Pengertian Penegak Hukum

Pengertian dari Lembaga Penegak Hukum itu sendiri dapat diartikan sebagai organisasi dari petugas-petugas yang berhubungan dengan masalah peradilan. Maka yang harus perlu diketahui ialah pengertian Peradilan adalah segala sesuatu atau sebuah proses yang dijalankan di Pengadilan yang berhubungan dengan tugas memeriksa, memutus dan mengadili perkara dengan menerapkan hukum dan/atau menemukan hukum “in concreto” (hakim menerapkan peraturan hukum kepada hal-hal yang nyata yang dihadapkan kepadanya untuk diadili dan diputus) untuk mempertahankan dan menjamin ditaatinya hukum materiil dengan menggunakan cara prosedural yang ditetapkan oleh hukum formal.

Namun istilah penegak hukum itu sendiri tidak terdapat dalam peraturan perundang-undangan, tetapi istilah penegak hukum dapat

(24)

35

ditemui dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat bahwa: “Advokat sebagai penegak hukum, bebas dan mandiri yang dijamin oleh hukum dan peraturan perundang-undangan.” Yang mana maksud dari advokat sebagai penegak hukum ialah advokat merupakan salah satu perangkat dalam proses peradilan yang mempunyai kedudukan setara dengan penegak hukum lainnya dalam menegakkan hukum dan keadilan. Adapun peraturan-peraturan lain yang membahas tentang penegak hukum seperti dalam Pasal 2 Undang-Undang No.2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia bahwa : “Fungsi Kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.”13

Maka dapat disimpulkan jika yang menjadi aparatur penegak hukum tidak hanya dari pihak kepolisian tetapi juga dapat seorang advokat atau penasehat hukum, jaksa, notaris, hakim maupun petugas sipir pemasyarakatan atau berstatus pegawai negeri sipil (PNS).

2. Pengertian Penegakan Hukum

Kita ketahui bahwa penegakan hukum merupakan suatu usaha untuk mewujudkan ide-ide keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan sosial menjadi kenyataan. Sehingga penegakan hukum adalah proses perwujudan ide-ide. Dengan begitu dapat disimpulkan bahwa penegakan

13

https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt502201cc74649/lembaga-penegak-hukum/ diakses pada tanggal 09 Maret 2020

(25)

36

hukum adalah proses dilakukannya upaya tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman pelaku dalam lalu lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Penegakan hukum merupakan usaha untuk mewujudkan ide-ide dan konsep-konsep hukum yang diharapakan rakyat menjadi kenyataan. Penegakan hukum merupakan suatu proses yang melibatkan banyak hal.14

Sedangkan menurut Soerjono Soekanto, penegakan hukum adalah kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan didalam kaidah-kaidah/pandangan nilai yang mantap dan mengejewantah dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup. Dan penegakan hukum secara konkret adalah berlakunya hukum positif dalam praktik sebagaimana seharusnya patut dipatuhi. Oleh karena itu, memberikan keadilan dalam suatu perkara berarti memutuskan hukum in concreto dalam mempertahankan dan menjamin di taatinya hukum materiil dengan menggunakan cara procedural yang ditetapkan oleh hukum formal.

Selanjutnya menurut Satjipto Raharjo penegakan hukum pada hakikatnya merupakan penegakan ide-ide atau konsep-konsep tentang keadilan, kebenaran, kemamfaatan sosial, dan sebagainya. Jadi Penegakan hukum merupakan usaha untuk mewujudkan ide dan konsep-konsep tadi menjadi kenyataan. Pada hakikatnya penegakan hukum

(26)

37

mewujudkan nilai-nilai atau kaedah-kaedah yang memuat keadilan dan kebenaran, penegakan hukum bukan hanya menjadi tugas dari para penegak hukum yang sudah di kenal secara konvensional, tetapi menjadi tugas dari setiap orang. Meskipun demikian, dalam kaitannya dengan hukum publik pemerintahlah yang bertanggung jawab. Adapun penegakan hukum disini dapat dilihat dari dua sudut pandang yaitu:

a. Ditinjau dari sudut subyeknya

Penegakan hukum jika ditinjau dari sudut subyeknya, maka jika dalam arti luas, proses penegakkan hukum ini melibatkan semua subjek hukum dalam setiap hubungan hukum. Yang mana siapa saja yang telah melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dengan mendasarkan diri pada norma aturan hukum yang berlaku, berarti dia menjalankan atau menegakkan aturan hukum. Sedangkan dalam arti sempit, bahwa penegakkan hukum hanya diartikan sebagai upaya aparatur penegakan hukum tertentu untuk menjamin dan memastikan bahwa suatu aturan hukum berjalan sebagaimana seharusnya.

b. Ditinjau dari sudut obyeknya, yaitu dari segi hukumnya

Kita dapat melihat atau memahami penegakan hukum ini dengan dua sudut pandang yaitu pertama dalam arti luas, bahwa penegakkan hukum yang mencakup pada nilai-nilai keadilan yang di dalamnya terkandung bunyi aturan formal maupun nilai-nilai keadilan yang ada dalam bermasyarakat.

Sedangkan dalam arti sempit, bahwa penegakkan hukum itu hanya menyangkut penegakkan peraturan yang formal dan bentuknya tertulis.

(27)

38

3. Faktor faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum

Faktor faktor yang mempengaruhi penegakan hukum menurut Soerjono Soekanto ialah:15

a. Faktor Hukum

Dalam penyelenggaraan hukum di lapangan memang sering terjadi pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan, hal ini disebabkan oleh konsepsi keadilan merupakan suatu rumusan yang bersifat abstrak, sedangkan kepastian hukum merupakan suatu prosedur yang telah ditentukan secara normatif. Maka suatu kebijakan atau tindakan yang tidak sepenuhnya berdasar pada hukum merupakan sesuatu yang dapat dibenarkan sepanjang kebijakan atau tindakan itu tidak bertentangan dengan hukum. Sedangkan pada hakikatnya penyelenggaraan hukum bukan hanya mencakup law enforcement, namun juga peace maintenance, karena penyelenggaraan hukum sesungguhnya merupakan proses penyerasian antara nilai kaedah dan pola perilaku nyata yang bertujuan untuk mencapai kedamaian.

b. Faktor Penegakan Hukum

Fungsi hukum, mentalitas atau kepribadian petugas penegak hukum memainkan peranan penting, kalau peraturan sudah baik, tetapi kualitas petugas kurang baik, ada masalah. Oleh karena itu,

15

Soerjono Soekanto. 2004, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegeakan Hukum Cetakan

(28)

39

salah satu kunci keberhasilan dalam penegakan hukum adalah mentalitas atau kepribadian penegak hukum.

c. Faktor Sarana atau Fasilitas Pendukung

Disini faktor sarana atau fasilitas pendukung mencakup perangkat lunak dan perangkat keras, salah satu contoh perangkat lunak adalah pendidikan. Pendidikan yang diterima oleh Polisi saat ini cenderung pada hal-hal yang praktis konvensional, sehingga dalam banyak hal polisi mengalami hambatan di dalam tujuannya, diantaranya adalah pengetahuan tentang kejahatan computer, dalam tindak pidana khusus yang selama ini masih diberikan wewenang kepada jaksa, hal tersebut karena secara teknis yuridis polisi dianggap belum mampu dan belum siap.

d. Faktor Masyarakat

Penegak hukum berasal dari masyarakat dan mempunyai tujuan untuk mencapai kedamaian di dalam masyarakat. Setiap warga masyarakat atau kelompok sedikit banyaknya mempunyai kesadaran hukum, persoalan yang timbul adalah taraf kepatuhan hukum yaitu kepatuhan hukum yang tinggi, sedang, atau kurang. Adanya derajat kepatuhan hukum masyarakat terhadap hukum, merupakan salah satu indikator berfungsinya hukum yang bersangkutan.

e. Faktor Kebudayaan

Berdasarkan konsep kebudayaan sehari-hari, orang begitu sering membicarakan soal kebudayaan. Kebudayaan menurut Soerjono Soekanto, mempunyai fungsi yang sangat besar bagi

(29)

40

manusia dan masyarakat, yaitu mengatur agar manusia dapat mengerti bagaimana seharusnya bertindak, berbuat, dan menentukan sikapnya kalau mereka berhubungan dengan orang lain. Dengan demikian, kebudayaan adalah suatu garis pokok tentang perikelakuan yang menetapkan peraturan mengenai apa yang harus dilakukan, dan apa yang dilarang.

4. Teori Penegakan Hukum

Penegakan hukum merupakan suatu usaha untuk mewujudkan ide-ide keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan sosial menjadi kenyataan. Jadi penegakan hukum pada hakikatnya adalah proses perwujudan ide-ide. Maka dapat disimpulkan bahwa penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman pelaku dalam lalu lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Adapun teori-teori yang ada dalam penegakan hukum, menurut Joseph Goldstein, yang mana beliau membedakan penegakan hukum pidana menjadi 3 bagian yaitu:16

a. Total enforcement, yakni ruang lingkup penegakan hukum pidana sebagaimana yang dirumuskan oleh hukum pidana substantif (subtantive law of crime). Penegakan hukum pidana secara total ini tidak mungkin dilakukan sebab para penegak hukum dibatasi secara ketat oleh hukum acara pidana yang antara lain mencakup aturanaturan penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan

16

(30)

41

dan pemeriksaan pendahuluan. Disamping itu mungkin terjadi hukum pidana substantif sendiri memberikan batasan-batasan. Misalnya dibutuhkan aduan terlebih dahulu sebagai syarat penuntutan pada delik-delik aduan (klacht delicten). Ruang lingkup yang dibatasi ini disebut sebagai area of noenforcement.

b. Full enforcement, setelah ruang lingkup penegakan hukum pidana yang bersifat total tersebut dikurangi area of no enforcement dalam penegakan hukum ini para penegak hukum diharapkan penegakan hukum secara maksimal.

c. Actual enforcement, menurut Joseph Goldstein full enforcement ini dianggap not a realistic expectation, sebab adanya keterbatasanketerbatasan dalam bentuk waktu, personil, alat-alat investigasi, dana dan sebagainya, yang kesemuanya mengakibatkan keharusan dilakukannya discretion dan sisanya inilah yang disebut dengan actual enforcement.

Sebagai suatu proses yang bersifat sistemik, maka penegakan hukum pidana menampakkan diri sebagai penerapan hukum pidana (criminal law application) yang melibatkan sub sistem struktural berupa aparat kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan pemasyarakatan. Termasuk didalamnya tentu saja lembaga penasehat hukum. Dalam hal ini penerapan hukum haruslah dipandang dari 3 dimensi:

1. penerapan hukum dipandang sebagai sistem normatif (normative system) yaitu penerapan keseluruhan aturan hukum yang menggambarkan nilai-nilai sosial yang didukung oleh sanksi pidana.

(31)

42

2. penerapan hukum dipandang sebagai sistem administratif (administrative system) yang mencakup interaksi antara sebagai aparatur penegak hukum yang merupakan sub sistem peradilan diatas.

3. penerapan hukum pidana merupakan sistem sosial (social system), dalam arti bahwa dalam mendefinisikan tindak pidana harus pula diperhitungkan sebagai perspektif pemikiran yang ada dalam lapisan.

D. Pertimbangan Hakim dan Pertimbangan Hukum 1. Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Pidana

Kita ketahui bahwa hakim dalam memutus suatu perkara, maka hakim tersebut perlu memberikan pertimbangan-pertimbangan terlebih dahulu. Maka disini yang dimaksud dengan pertimbangan hakim ialah hal-hal yang menjadi dasar atau yang telah dipertimbangkan oleh hakim dalam memutus suatu perkara tindak pidana. Namun disini hakim sebelum memutus suatu perkara tersebut, hakim harus melihat atau memperhatikan hal-hal penting dalam persidangan tersebut. Yang mana hakim dalam memeriksa atau menetapkan seseorang dapat dipidana harus melihat dari syarat subjektif dan syarat objektif. Maksud dari hakim memeriksa atau menetapkan seseorang dengan memperhatikan syarat subjektif adalah dengan adanya kesalahan, kemudian kemampuan bertanggungjawab dari seseorang tersebut, dan tidak ada alasan pemaaf bagi seseorang tersebut. Kemudian maksud dari syarat objektif adalah

(32)

43

perbuatan yang dilakukan oleh pelaku telah sesuai dengan rumusan delik, bersifat melawan hukum dan tidak adanya alasan pembenar.

Selanjutnya jika sudah terpenuhi semua hal-hal tersebut, maka hakim akan mempertimbangkan hal-hal yang dapat meringankan atau memperberat pelaku didalam putusannya. Karena pertimbangan hakim sendiri dinilai dari faktor hukum dan non-hukum. Yang mana faktor-faktor tersebut haruslah ada dalam putusan, seperti halnya faktor-faktor hukum meliputi pengulangan tindak pidana atau residive. Sedangkan faktor non-hukum seperti sikap terdakwa dalam persidangan dan alasan-alasan lain yang meringankan terdakwa.17

Kemudian dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau KUHP sudah dijelaskan dalam Pasal 197 ayat (1) bahwa : “Pertimbangan disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan beserta alat pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang yang menjadi dasar penentuan kesalahan terdakwa.”

Selanjutnya dalam Pasal 183 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana menjelaskan bahwa : “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.”

2. Pertimbangan Hukum Oleh Hakim Dalam Memutus Perkara

17 https://googleweblight.com/i?u=https://seniorkampus.blogspot.com/2017/09/pertimbangan-hakim-dalam-menjatuhkan.html?m%3D1&hl=id-ID, diakses pada tanggal 19 Desember 2019

(33)

44

Kita ketahui bahwa hakim merupakan mahkota dalam suatu proses persidangan. Seperti yang sudah dijelaskan dalam Pasal 1 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau biasa disebut dengan KUHAP bahwa : “Hakim adalah pejabat Peradilan Negara yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili.” Kata “mengadili” sendiri merupakan rangkaian dari tindakan hakim dalam memeriksa, menerima ataupun memutus suatu perkara. Yang mana harus berdasarkan asas bebas, jujur dan tidak memihak siapapun dalam sidang suatu perkara. Kemudian hakim juga harus menjunjung tinggi asas peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan.

Menurut Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman bahwa : “Pertimbangan hakim adalah pemikiran-pemikiran atau pendapat hakim dalam menjatuhkan putusan dengan melihat hal-hal yang dapat meringankan atau memperberat pelaku. Setiap hakim wajib menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap perkara yang sedang diperiksa dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari putusan.”18

Sehingga pertimbangan hakim disini memiliki peran yang sangat penting dalam memberikan putusan.

Selanjutnya yang berperan penting dalam menegakan keadilan yaitu pengadilan. Karena pengadilan sendiri merupakan tempat untuk mendapatkan keadilan. Namun didalamnya ada seorang hakim yang memutus suatu perkara, karena hakim disini tidak bekerja “demi hukum” atau “demi undang-undang” melainkan hakim bekerja “Demi Keadilan

18

(34)

45

Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.” Dengan demikian maka hakim disini bekerja atau mewakili Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karena itu hakim dalam menyelesaikan perkara harus bekerja secara jujur, bersih dan adil. Dimana untuk memberikan putusan pengadilan yang menciptakan kepastian hukum dan mencerminkan keadilan, maka hakim tersebut harus mengetahui duduk perkara dan peraturan hukum yang mengaturnya untuk diterapkan.

Selanjutnya pertimbangan hukum disini dijadikan sebagai dasar dari argumentasi hakim dalam memutus suatu perkara. Dan jika argumen hukum itu tidak benar, maka orang lain dapat menilai bahwa putusan tersebut tidak benar dan tidak adil. Adapun pertimbangan hukum yang tidak benar, dapat terjadi karena :

a. Hakim tidak mempunyai cukup pengetahuan hukum tentang masalah atau perkara yang sedang ditangani;

b. Hakim sengaja menggunakan dalil-dalil hukum yang tidak benar atau tidak sesuai dengan perkara yang ditangani, karena adanya faktor-faktor yang mempengaruhi seperti suap dan lain sebagainya; c. Hakim tidak memiliki banyak waktu untuk menuliskan semua argumen hukum, dikarenakan banyaknya perkara yang mungkin harus diselesaikan dalam waktu yang singkat;

d. Hakim yang malas untuk meningkatkan pengetahuan dan wawasannya sehingga berpengaruh pada kualitas putusan yang dibuat oleh hakim itu sendiri.

(35)

46

Maka pertimbangan hukum dari hakim itu sendiri tidak kalah penting jika dibandingkan dengan amar putusan hakim. Karena pertimbangan hukum disini merupakan isi dari putusan tersebut. Bahkan jika dalam putusan tersebut tidak memuat pertimbangan hukum, maka dapat dijadikan alasan untuk mengajukan upaya hukum lain baik itu berupa banding atau kasasi. Yang mana dengan adanya upaya hukum lain tersebut dapat menimbulkan potensi putusan tersebut akan dapat dibatalkan oleh pengadilan yang lebih tinggi.

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan minat membaca novel teenlit dengan sikap kreatif siswa di MTs Negeri 1 Bojonegoroi. Variabel dalam penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk meningkatkan prestasi belajar matematika melalui model pembelajaran kooperatif Jigsaw pada siswa kelas VIII A MTs Al Jauhar Semin Kabupaten

Tindak Tutur dalam Transaksi Jual Beli di Pasar Ujung Murung Banjarmasin Kalimantan Selatan. Tindak tutur adalah tindakan-tindakan yang ditampilkan lewat tuturan, sedangkan jual

• Impor garam hanya dapat dilakukan oleh IP (Importir Produsen) sebagai bahan baku/penolong dan Importir Terdaftar (IT) yang ditunjuk Departemen Perdagangan yang memenuhi

Primer yang digunakan dalam PCR ada dua yaitu oligonukleotida yang mempunyai sikuen yang identik dengan salah satu rantai DNA cetakan pada ujung 5’-fosfat,

Kecenderungan untuk menafsirkan dogmatika agama (scripture) secara rigit dan literalis seperti dilakukan oleh kaum fundamentalis Protestan itu, ternyata ditemukan

Persentase pengguna layanan yang merasa puas terhadap pemenuhan sarana dan prasarana BPS Seksi Tata Usaha Survei Kebutuha n Data Survei Kepuasan Konsumen Survei

Kemudian sistem akan melakukan validasi data yang di input tersebut, jika gagal maka sistem akan kembali ke halaman pengisian data. Jika benar, maka sistem akan