KEBIJAKAN PELEMBAGAAN PENATAAN RUANG DAERAH
Oleh :Agus Nugraha
ABSTRAK
Desain kebijakan penataan ruang yang diatur dalam UU No. 26 Tahun 2007, menempatkan pemerintah daerah sebagai ujung tombak dalam melaksanakan fungsi pengaturan, pembinaan, pelaksanaan, dan pengawasan. Agar implementasinya berjalan efektif, maka fungsi-fungsi tersebut harus terlembagakan dengan baik. Apakah fungsi-fungsi penyelenggaraan penataan ruang tersebut, dimasukkan menjadi bagian dari tugas Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) atau ditampung dalam Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah (BKPRD). Hasil kajian menunjukkan bahwa fungsi pengaturan dan pelaksanaan (perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian) telah terlembagakan dengan baik dan menjadi tugas pokok dari BKPRD. Sementara fungsi pembinaan, khususnya pengembangan kesadaran masyarakat dan pengawasan, belum nampak terlembagakan dan tegas masuk dalam tugas pokok SKPD ataupun BKPRD.
Kata kunci: Kebijakan, pelembagaan, dan penataan ruang.
Berbagai permasalahan publik yang terjadi sekarang ini seperti banjir, kemacetan, dan polusi, sesungguhnya merupakan dampak dari pembangunan yang tidak sesuai dengan tata ruang yang baik. Hal ini terjadi karena dalam pelaksanaan pembangunan, pemerintah khususnya pemerintah daerah sering tidak konsisten dengan tata ruang yang telah dibuatnya. Seperti diungkap oleh Intsiawati Ayus anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Provinsi Riau yang menyatakan bahwa berbagai permasalahan lingkungan justru berawal dari kebijakan pemerintah daerah itu sendiri, yang melakukan penyimpangan terhadap tata ruang. Peraturan Daerah (Perda) yang menetapkan rencana tata ruang hanyalah sebuah formalitas. Karena pemerintah daerah sering tidak konsekuen dalam melaksanakan perencanaan pembangunan,
ditambah lagi kurangnya koordinasi antardinas dan instansi. Begitu pula Wasis Siswoyo, anggota DPD Provinsi Jawa Timur, menegaskan bahwa Jawa Timur sudah memiliki Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), namun pelaksanaannya tidak sesuai dengan yang telah ditetapkan pemerintah. Banyak pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan dan terus dibiarkan. Contohnya di kota Malang, pembangunan mal tidak sesuai dengan rencana RTRW Kabupaten/Kota, ternyata ketika masyarakat melakukan protes terhadap pembangunan itu, tetap saja berjalan tanpa ada sanksi yang tegas (http://dpd.go.id/2010/07/).
Selain itu, semakin meningkatnya perekonomian, urbanisasi dan jumlah penduduk berimplikasi pada terjadinya alih fungsi lahan pertanian produktif menjadi
lahan perkantoran, sentra bisnis, pabrik dan permukiman. Kondisi ini mengakibatkan permasalahan ruang di suatu wilayah, baik kota maupun kabupaten semakin bertambah, ditandai dengan menurunnya kualitas permukiman, kemacetan, banjir, kawasan kumuh, pencemaran, kurangnya resapan air dan hilangnya ruang publik serta ruang terbuka hijau untuk artikulasi sosial dan kesehatan masyarakat. Untuk itu, pemerintah daerah harus mampu memahani, memformulasikan serta menindaklanjuti permasalahan penataan ruang. Karena pemerintah daerah merupakan ujung tombak semua kebijakan nasional; dalam operasionalnya dominan dilaksanakan oleh
pemerintah daerah khususnya
kabupaten/kota, yang langsung banyak berhadapan dengan masyarakat dalam pemberian izin pembangunan. (Bahal Edison Naiborhu, Direktur Penataan Ruang Wilayah I Dep. Pekerjaan Umum dalam http://www1.pu.go.id/)
Dari uraian di atas, tampak jelas
bahwa adanya kecenderungan
penyimpangan terhadap tata ruang yang telah ditetapkan, mungkin saja terjadi karena rencana tata ruang kurang memperhatikan dinamika pelaksanaan di lapangan. Atau sebaliknya pemanfaatan ruang, kurang memperhatikan rencana tata ruang yang telah disusun dan ditetapkan. Untuk mengatasi permasalahan tersebut di atas dan demi terciptanya tata ruang yang baik bagi kemaslahatan hidup manusia, mutlak
diperlukan adanya kerja sama serta komitmen dari semua pihak terkait, dalam setiap kegiatan penyelenggaraan penataan ruang. Menurut Undang-undang No. 26 Tahun 2007, penyelenggaraan penataan ruang tersebut meliputi: pengaturan, pembinaan, pengawasan, dan pelaksanaan penataan ruang (perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian). Agar semua tahapan penyelenggaraan tersebut berjalan dengan baik, maka hal-hal tersebut harus dilembagakan dengan baik pula. Pelembagaan dimaksudkan supaya jelas pembagian dan pelaksanaan tugas, wewenang, tanggung jawab, hak serta kewajiban dari masing-masing pihak terkait. Sehingga fungsi pengaturan, pembinaan, pengawasan, dan pelaksanaan penataan ruang (perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian) yang dilakukan pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota dapat berjalan sesuai peraturan, mekanisme, dan prosedur yang telah ditentukan.
Mengingat di era otonomi daerah sekarang ini, pemerintah daerah memiliki peran yang sangat determininan bahkan
menjadi ujung tombak dalam
penyelenggaraan penataan ruang, maka tulisan ini mencoba menelaah kebijakan pelembagaan penyelenggaraan penataan ruang di daerah. Apakah semua tugas yang diamanatkan UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang kepada pemerintah daerah (provinsi dan kabuapten/kota), telah terwadahi dalam suatu kelembagaan,
sehingga dapat menjamin terciptanya tata ruang yang baik demi kesejahteraan masyarakat?
Memahami Kebijakan Publik
Kebijakan publik (public policy), memiliki peranan yang sangat strategis dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sehingga dapat dikatakan bahwa maju mundurnya suatu negara akan sangat tergantung pada kebijakan publik yang dilakukan negara tersebut. Untuk itu, kebijakan publik harus dilakukan dengan sebaik-baiknya dengan melakukan berbagai strategi dalam membuat kebijakan yang efektif (effective policy making strategies) seperti dikemukakan Noruzi dan Vargas-Hernández (2010), dalam tulisannya yang berjudul A Short Note The Effective Policy Making Strategies in the Public Sector Organizations.
Kebijakan publik pada hakikatnya merupakan tindakan pemerintah untuk mengatasi berbagai masalahah. Seperti dikemukakan Dye (Islamy, 1997) bahwa “public policy is whatever government choose to do or not to do” (kebijakan publik adalah apa pun yang dipilih pemerintah untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu). Pendapat senada dikemukakan oleh Edwards dan Sharkansky (dalam Islamy, 1997) yaitu, “…is what government say and do, or not do. It is the goals or purposes of government programs….” (…adalah apa yang dinyatakan
dan dilakukan atau tidak dilakukan oleh pemerintah. Kebijakan publik itu berupa sasaran atau tujuan program-program pemerintah….). Selanjutnya, Anderson mengemukakan bahwa “public policies are those developed by government bodies and officials” (kebijakan publik adalah kebijakan-kebijakan yang dikembangkan oleh badan-badan atau pejabat-pejabat pemerintah).
Dari pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa kebijakan publik merupakan serangkaian tindakan yang dilakukan pemerintah, baik yang dilakukan oleh seorang atau sekelompok orang untuk mengatasi masalah dan mencapai suatu tujuan tertentu yang berorientasi pada kepentingan masyarakat. Tentu, bila pemerintah memilih untuk melakukan sesuatu maka harus ada tujuannya. Hal ini disebabkan karena sesuatu yang dilakukan oleh pemerintah akan mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap kehidupan masyarakat. Dengan demikian, serangkaian tindakan pemerintah untuk mencapai tujuan dalam menciptakan tata ruang yang baik demi kesejahteraan masyarakat seperti yang diatur dalam UU No. 26 Tahun 2007, adalah merupakan wujud kebijakan publik.
Dalam kebijakan publik, selalu terbuka kemungkinan terjadinya kesenjangan antara apa yang diinginkan oleh pembuat kebijakan, dengan apa yang sesunguhnya terjadi di lapangan. Untuk itu, agar kebijakan publik dapat diimplementasikan dengan baik,
menurut Hogwood dan Gunn (Wahab 2001), diperlukan beberapa hal sebagai berikut: 1. Mudah atau tidaknya masalah
dikendalikan.
a. Kesukaran-kesukaran teknis.
b. Keragaman perilaku yang akan diatur. c. Prosentase totalitas penduduk yang
tercakup dalam kelompok sasaran. d. Tingkat dan ruang lingkup perubahan
perilaku yang dikehendaki 2. Kemampuan
a. Kejelasan dan konsistensi tujuan. b. Digunakannya teori kausal yang
memadai
c. Ketepatan alokasi sumber dana. d. Keterpaduan hierarki dalam dan di
antara lembaga pelaksana.
e. Aturan-aturan keputusan dari badan pelaksana.
f. Rekruitmen pejabat pelaksana. g. Akses formal pihak luar.
3. Variabel di luar undang-undang (kebijaksanaan) yang memengaruhi proses implementasi
a. Kondisi sosio-ekonomi dan teknologi. b. Dukungan publik.
c. Sikap dan sumber-sumber yang dimiliki kelompok-kelompok
d. Dukungan dari pejabat atasan
e. Komitmen dan kemampuan
kepemimpinan pejabat-pejabat pelaksana
4. Tahap-tahap dalam proses implementasi (variabel tergantung)
a. Output-output kebijakan dari badan-badan pelaksana
b. Kepatuhan kelompok-kelompok sasaran terhadap keputusan tersebut c. Dampak-dampak nyata
keputusan-keputusan tersebut
d. Persepsi terhadap dampak keputusan-keputusan tersebut
e. Evaluasi sistem politik terhadap undang-undang.
Dari pendapat di atas jelas bahwa agar kebijakan penyelenggaraan penataan ruang dapat terimplementasikan dengan baik dan dapat mewujudkan tujuan yang telah ditetapkan, maka dukungan dari aspek kelembangan merupakan faktor yang sangat menentukan.
Landasan Kebijakan Pelembagaan Penataan Ruang
Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 serta makna yang terkandung dalam falsafah dan dasar negara Pancasila mengamanatkan bahwa ruang wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), baik sebagai kesatuan wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi, maupun sebagai sumber daya, merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa kepada bangsa Indonesia yang perlu disyukuri, dilindungi, dan dikelola secara berkelanjutan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
(Penjelasan Pendahuluan UU No. 26 Tahun 2007).
Hal lain yang mendorong pentingnya pengaturan tata ruang, ditegaskan dalam pendahuluan UU No. 26 Tahun 2007, bahwa secara geografis, letak NKRI berada di antara dua benua dan dua samudera sangat strategis, baik bagi kepentingan nasional maupun internasional. Secara ekosistem, kondisi alamiah Indonesia sangat khas karena posisinya yang berada di dekat khatulistiwa dengan cuaca, musim, dan iklim tropis, yang merupakan aset atau sumber daya yang sangat besar bagi bangsa Indonesia. Di samping keberadaan yang bernilai sangat strategis tersebut, Indonesia berada pula pada kawasan rawan bencana, yang secara alamiah dapat mengancam keselamatan bangsa.
Dengan keberadaan tersebut,
penyelenggaraan penataan ruang wilayah nasional harus dilakukan secara komprehensif, holistik, terkoordinasi, terpadu, terpadu, efektif, dan efisien dengan
memperhatikan faktor politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, keamanan, dan kelestarian lingkungan hidup. Untuk mewujudkan hal tersebut, negara menyelenggarakan penataan ruang, yang pelaksanaan wewenangnya dilakukan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah dengan tetap menghormati hak yang dimiliki oleh setiap orang
Peran pemerintah daerah dalam penataan ruang diatur UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah pada pasal 13 dan 14, yang menegaskan bahwa perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang merupakan urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah provinsi dan pemerintahan kabupaten/kota. Selanjutnya UU No. 26 Tahun 2007, pasal 10 dan pasal 11, secara jelas mengatur lingkup kewenangan pemerintah provinsi dan kabupaten/kota dalam penataan ruang, seperti terangkum pada tabel berikut ini.
Tabel 1
Kewenangan Pemerintah Daerah dalam Penyelenggaraan Penataan Ruang
Kewenangan Provinsi
Kewenangan Kabupaten/Kota
1.Pengaturan, pembinaan, dan pengawasanterhadap pelaksanaan penataan ruang wilayah provinsi, dan kabupaten/kota, serta terhadap pelaksanaan penataan ruang kawasan strategis provinsi dan kabupaten/kota;
2.Pelaksanaan penataan ruang wilayah provinsi : a. perencanaan tata ruang wilayah provinsi; b. pemanfaatan ruang wilayah provinsi; dan c. pengendalian pemanfaatan ruang wilayah
provinsi.
3.Pelaksanaan penataan ruang kawasan strategis
1. Pengaturan, pembinaan, dan pengawasan terhadap pelaksanaan penataan ruang wilayah
kabupaten/kota dan kawasan strategis kabupaten/kota;
2. Pelaksanaan penataan ruang wilayah kabupaten/kota :
a. perencanaan tata ruang wilayah kabupaten/kota;
b. pemanfaatan ruang wilayah kabupaten/kota; dan
provinsi :
a. penetapan kawasan strategis provinsi; b. perencanaan tata ruang kawasan strategis
provinsi;
c. pemanfaatan ruang kawasan strategis provinsi; dan
d. pengendalian pemanfaatan ruang kawasan strategis provinsi
.
4.Kerja sama penataan ruang antar provinsi dan pemfasilitasan kerja sama penataan ruang antarkabupaten/kota.
kabupaten/kota.
3. Pelaksanaan penataan ruang kawasan strategiskabupaten/kota :
a. penetapan kawasan strategis kabupaten/kota; b. perencanaan tata ruang kawasan strategis
kabupaten/kota;
c. pemanfaatan ruang kawasan strategis kabupaten/kota; dan
b.
pengendalian pemanfaatan ruang kawasan strategis kabupaten/kota.4. Kerja sama penataan ruang antar kabupaten/kota.
Analisis Kelembagaan Tata Ruang Daerah
Mengingat penyelenggaraan penataan ruang di daerah merupakan urusan wajib yang telah diserahkan oleh pemerintah pusat dan menjadi kewenangan pemerintah daerah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota, maka tentu tugas wajib tersebut harus diwadahi dalam suatu kelembagaan. Baik ditampung dalam organisasi perangkat daerah yang sudah ada, atau dibentuk lembaga baru sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Guna mendeskripsikan hal tersebut, maka silklus penyelengaraan penataan ruang yang meliputi pengaturan, pembinaan, pelaksanaan dan pengawasan, masing-masing ditelaah ditinjau dari aspek kelembagaannya.
Kelembagaan dalam Fungsi Pengaturan
Menurut UU No. 26 Tahun 2007, pengaturan penataan ruang adalah upaya pembentukan landasan hukum bagi pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan
masyarakat dalam penataan ruang. Selanjutnya ditegaskan dalam Pasal 3 Peraturan Pemerintah (PP) No. 15 Tahun 2010 bahwa kegiatan pengaturan penataan ruang disusun dan ditetapkan oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah provinsi, dan pemerintah daerah
kabupaten/kota sesuai dengan
kewenangannya.
Lebih lanjut PP No. 15 Tahun 2010 pasal 2 menggariskan bahwa pengaturan penataan ruang diselenggarakan untuk:
a. Mewujudkan ketertiban dalam penyelenggaraan penataan ruang;
b. Memberikan kepastian hukum bagi seluruh pemangku kepentingan dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab serta hak dan kewajibannya dalam penyelenggaraan penataan ruang; dan c. Mewujudkan keadilan bagi seluruh
pemangku kepentingan dalam seluruh aspek penyelenggaraan penataan ruang.
Dalam pasal 4 ayat 2 dan 3, pengaturan penataan ruang oleh pemerintah
daerah meliputi penyusunan dan penetapan, seperti terlihat pada berikut ini :
Tabel 2
Fungsi Pengaturan Pemerintah Daerah Dalam Penyelenggaraan Penataan Ruang
Provinsi Kabupaten/Kota
1.Rencana tata ruang wilayah provinsi, rencana tata ruang kawasan strategis provinsi, dan arahan peraturan zonasi sistem provinsi yang ditetapkan dengan peraturan daerah provinsi; dan
2.Ketentuan tentang perizinan, penetapan bentuk dan besaran insentif dan disinsentif, sanksi administratif, serta petunjuk pelaksanaan pedoman bidang penataan ruang yang ditetapkan dengan peraturan gubernur.
3.Menetapkan peraturan lain di bidang penataan ruang sesuai kewenangan berdasarkan ketentuan peraturan perundangundangan.
1. Rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota, rencana tata ruang kawasan strategis kabupaten/kota, rencana detail tata ruang kabupaten/kota termasuk peraturan zonasi yang ditetapkan dengan peraturan daerah kabupaten/kota; dan
2. Ketentuan tentang perizinan, bentuk dan besaran insentif dan disinsentif, serta sanksi administratif, yang ditetapkan dengan peraturan bupati/walikota
3. Menetapkan peraturan lain di bidang penataan ruang sesuai kewenangan berdasarkan ketentuan peraturan perundangundangan.
Dari tabel di atas, tampak jelas bahwa lingkup fungsi pengaturan dalam penyelenggaran penataan ruang oleh pemerintah daerah, secara kelembagaan terwadahi dengan tugas dan tanggung jawab kepala daerah. Untuk provinsi, Gubernur mengajukan rancangan Perda tentang RTRW Provinsi, Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis (RTRKS) Provinsi, dan arahan
sistem zonasi, kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) untuk dibahas dan ditetapkan menjadi Perda. Begitu pula halnya dengan Bupati untuk Kabupaten dan Walikota untuk Kota. Untuk lebih jelasnya, tinjauan kelembagaan terhadap fungsi pengaturan, dapat dilihat dari tabel berikut ini.
Tabel 3
Kelembagaan untuk Fungsi Pengaturan
Lingkup Pengaturan Provinsi Kabupaten/Kota
1. Penetapan RTRW, RTKS, RDTR
dan sistem zonasi Gubernur dan DPRD Bupati/Walikota dan DPRD 2. Ketentuan perizinan, bentuk dan
besaran insentif serta disinsentif, sanksi administratif, serta petunjuk pelaksanaan pedoman bidang penataan ruang
Gubernur Bupati/Walikota
3. Peraturan lain di bidang penataan
Guna membantu kepala daerah dalam melaksanakan tugas tersebut, Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No. 50 Tahun 2009, menegaskan bahwa di daerah dibentuk Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah (BKPRD). Badan ini bersifat ad-hoc, yang dibentuk untuk mendukung pelaksanaan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang di Provinsi dan di Kabupaten/Kota, serta mempunyai fungsi membantu pelaksanaan tugas Gubernur dan Bupati/Walikota dalam koordinasi penataan ruang di daerah. Susunan keanggotaan BKPRD terdiri atas:
a. Penanggung jawab : Kepala dan Wakil Kepala Daerah;
b. Ketua : Sekretaris
Daerah;
c. Sekretaris : Kepala Bappeda;
d. Anggota : SKPD terkait penataan ruang yang disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan daerah.
Dalam Permendagri tersebut, juga ditegaskan tugas BKPRD Provinsi secara pokok adalah sebagai berikut:
a. Mengoordinasikan dan merumuskan penyusunan rencana tata ruang provinsi; b. Memaduserasikan rencana pembangunan
jangka panjang dan menengah (RPJP/M) dengan rencana tata ruang provinsi serta mempertimbangkan pengarusutamaan pembangunan berkelanjutan melalui instrumen Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS);
c. Mengintegrasikan, memaduserasikan, dan mengharmonisasikan rencana tata ruang provinsi dengan rencana tata ruang wilayah nasional, rencana tata ruang pulau/kepulauan, rencana tata ruang kawasan strategis nasional, rencana tata ruang wilayah provinsi yang berbatasan, dan rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota dalam provinsi yang bersangkutan;
d. Mengoordinasikan pelaksanaan konsultasi rancangan peraturan daerah tentang rencana tata ruang provinsi kepada Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional (BKPRN) dalam rangka memperoleh persetujuan substansi teknis;
e. Mengkoordinasikan pelaksanaan evaluasi rancangan peraturan daerah tentang rencana tata ruang provinsi kepada Menteri Dalam Negeri;
f. Mengkoordinasikan proses penetapan rencana tata ruang provinsi;
g. Mensinergikan penyusunan rencana tata ruang kabupaten/kota dengan provinsi dan antar kabupaten/kota yang berbatasan; h. Melakukan fasilitasi dan supervisi
penyusunan rencana tata ruang yang menjadi wewenang dan tanggung jawab Pemerintah Kabupaten/Kota dalam provinsi yang bersangkutan;
i. Melakukan fasilitasi pelaksanaan konsultasi substansi teknis rencana tata ruang kabupaten/kota;
j. Memberikan masukan kepada Gubernur untuk dijadikan bahan rekomendasi atas
rancangan peraturan daerah tentang rencana tata ruang kabupaten/kota dalam rangka persetujuan substansi teknis; k. Memberikan rekomendasi kepada
Gubernur dalam proses penetapan rancangan peraturan daerah menjadi peraturan daerah tentang rencana tata ruang kabupaten/kota;
l. Melakukan fasilitasi pelaksanaan konsultasi substansi teknis rencana tata ruang kabupaten/kota ke BKPRN;
m.Melakukan fasilitasi pelaksanaan evaluasi rencana tata ruang kabupaten/kota;
n. Melakukan fasilitasi proses penetapan rencana tata ruang kabupaten/kota; dan o. Mengoptimalkan peran masyarakat dalam
perencanaan tata ruang.
Sementara itu tugas BKPRD Kabupaten/Kota secara pokok adalah sebagai berikut:
a. Mengkoordinasikan dan merumuskan penyusunan rencana tata ruang kabupaten/kota;
b. Memaduserasikan rencana pembangunan jangka panjang dan menengah RPJP/M) dengan rencana tata ruang kabupaten/kota
serta mempertimbangkan
pengarusutamaan pembangunan
berkelanjutan melalui instrumen Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS); c. Mengintegrasikan, memaduserasikan, dan
mengharmonisasikan rencana tata ruang kabupaten/kota dengan rencana tata ruang wilayah nasional, rencana tata ruang pulau/kepulauan, rencana tata ruang
kawasan strategis nasional, rencana tata ruang wilayah provinsi, rencana tata ruang kawasan strategis provinsi, dan rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota yang berbatasan;
d. Mensinergikan penyusunan rencana tata ruang kabupaten/kota dengan provinsi dan antar kabupaten/kota yang berbatasan; e. Mengkoordinasikan pelaksanaan
konsultasi rancangan peraturan daerah tentang rencana tata ruang kabupaten/kota kepada BKPRD Provinsi dan BKPRN; f. Mengkoordinasikan pelaksanaan evaluasi
rencana tata ruang kabupaten/kota ke provinsi;
g. Mengkoordinasikan proses penetapan rencana tata ruang kabupaten/kota; dan h. Mengoptimalkan peran masyarakat dalam
perencanaan tata ruang.
Walaupun kepala daerah dalam melaksanakan fungsi pengaturan penyelenggaraan penataan ruang dibantu oleh BKPRD yang diketuai oleh Sekretaris Daerah (Sekda), namun keberhasilan pelaksanaan fungsi tersebut akan banyak bergantung pada komitmen dan kemampuan kepala daerah mendorong kinerja para bawahnnya. Kelembagaan dalam Fungsi Pembinaan
Pembinaan penataan ruang yang dimaksud dalam UU No. 26 Tahun 2007, adalah upaya untuk meningkatkan kinerja penataan ruang yang diselenggarakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan
masyarakat. Pasal 6 PP No. 15 Tahun 2010 menegaskan bahwa pembinaan penataan ruang diselenggarakan untuk :
a. Meningkatkan kualitas dan efektifitas penyelenggaraan penataan ruang;
b. Meningkatkan kapasitas dan kemandirian
pemangku kepentingan dalam
penyelenggaraan penataan ruang;
c. Meningkatkan peran masyarakat dalam penyelenggaraan penataan ruang;
d. Meningkatkan kualitas struktur ruang dan pola ruang.
Pembinaan tersebut
dilakukan secara berjenjang tugas dan tanggung jawab tersebut melekat bagi pemerintah pusat untuk membina pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota. Juga pemerintah daerah provinsi berkewajiban untuk membina pemerintah daerah kabupaten/kota, serta pemerintah kabupaten/kota melakukan pembinaan langsung kepada masyarakat. PP No. 68 Tahun 2010 tentang Bentuk dan Tata Cara Peran Masyarakat dalam Penataan Ruang pada pasal 20 secara tegas menyatakan bahwa Pemerintah dan pemerintah daerah memiliki tugas dan tanggung jawab dalam pembinaan dan pengawasan pelaksanaan peran masyarakat di bidang penataan ruang sesuai dengan kewenangannya.
Pembinaan tersebut dapat dilakukan dengan cara, antara lain:
a. Sosialisasi peraturan perundang-undangan dan pedoman bidang penataan ruang;
b. Pemberian bimbingan, supervisi, dan konsultasi pelaksanaan penataan ruang; c. Pengembangan sistem informasi dan
komunikasi penataan ruang;
d. Penyebarluasan informasi penataan ruang kepada masyarakat; dan
e. Pengembangan kesadaran dan tanggung jawab masyarakat.
Tugas dan tanggung jawab pemerintah daerah dalam melaksanakan pembinaan langsung kepada masyarakat tentang penataan ruang, tentu secara umum menjadi tugas Gubernur, Bupati dan Walikota untuk mewujudkannya. Selanjutnya kepala daerah, dapat menugaskan secara operasional kepada Satuan Kerja Perangkat Daerah SKPD). Apakah kegiatan pembinaan tersebut, akan menjadi tugas Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) atau dinas lain seperti Dinas Pekerjaan Umum (PU) dan Dinas Tata Ruang, sepenuhnya akan tergantung pada pengaturan kepala daerah dengan memperhatikan berbagai peraturan yang berlaku.
Begitu pula penegasan pasal 23 PP No. 68 Tahun 2010 bahwa dalam rangka meningkatkan peran masyarakat, pemerintah daerah harus membangun sistem informasi dan komunikasi penyelenggaraan penataan ruang yang dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat. Sistem informasi dan komunikasi tersebut, harus memuat paling sedikit:
a. Informasi tentang kebijakan, rencana, dan program penataan ruang yang sedang dan/atau akan dilakukan, dan/atau sudah ditetapkan;
b. Informasi rencana tata ruang yang sudah ditetapkan;
c. Informasi arahan pemanfaatan ruang yang berisi indikasi program utama jangka menengah lima tahunan; dan
d. Informasi arahan pengendalian pemanfaatan ruang yang berisi arahan/ketentuan peraturan zonasi,
arahan/ketentuan perizinan,
arahan/ketentuan insentif dan disinsentif, serta arahan sanksi.
Tugas ini mungkin saja oleh kepala daerah dimasukkan menjadi job description dari BAPPEDA, Dinas Tata Ruang, atau bahkan di daerah ada Badan Komunikasi dan Sistem informasi. Itu semua tergantung situasi, kondisi, dan kemampuan daerah serta komitmen dan kreasi kepala daerah dalam mewujudkan tata ruang yang baik di daerahnya.
Selain tugas pembinaan penataan ruang didelegasikan kepada SKPD, juga bisa ditegaskan menjadi tugas dari BKPRD seperti diatur dalam Permendagri No. 50 Tahun 2009. BKPRD memiliki fungsi untuk membantu kepala daerah dalam penyelenggaran penataan ruang, yang salah satunya tersurat tugas “mengoptimalkan peran masyarakat dalam perencanaan,
pemanfaatan dan pengendalian penataan ruang”.
Kelembagaan dalam Fungsi Pelaksanaan Pelaksanaan penataan ruang adalah upaya pencapaian tujuan penataan ruang melalui pelaksanaan perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Ketiga aktivitas tersebut, menurut Permendagri No. 50 Tahun 2009 dilakukan oleh BKPRD, yang di dalamnya secara khusus memiliki Kelompok Kerja Perencanaan Tata Ruang dan Kelompok Kerja Pemanfaatan dan Pengendalian Tata Ruang. Adapun Kelompok Kerja Perencanaan Tata Ruang mempunyai susunan keanggotaan terdiri atas :
a. Ketua : Kepala Bidang pada Bappeda yang membidangi penataan ruang;
b. Wakil Ketua : Kepala Bidang/Sub Dinas pada Dinas yang membidangi penataan ruang;
c. Sekretaris : Kepala Sub Bidang yang membidangi penataan ruang pada Bappeda;
d. Anggota : SKPD terkait penataan ruang yang disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan daerah.
Kelompok Kerja Perencanaan Tata Ruang tersebut mempunyai tugas :
a. Memberikan masukan kepada BKPRD dalam rangka pelaksanaan kebijakan penataan ruang provinsi;
b. Melakukan fasilitasi penyusunan rencana tata ruang dengan mempertimbangkan instrumen Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS);
c. Melakukan fasilitasi penyusunan program dan pembiayaan dalam rangka penerapan rencana tata ruang;
d. melakukan fasilitasi pengintegrasian program pembangunan yang tertuang dalam rencana tata ruang dengan rencana pembangunan jangka panjang dan menengah;
e. Menyiapkan bahan dalam rangka memperoleh persetujuan substansi teknis rencana tata ruang; dan
f. Menginventarisasi dan mengkaji permasalahan dalam perencanaan serta memberikan alternatif pemecahannya untuk dibahas dalam sidang pleno BKPRD.
Sementara itu Kelompok Kerja Pemanfaatan dan Pengendalian Pemanfaatan Ruang mempunyai susunan keanggotaan terdiri atas :
a. Ketua :Kepala Bidang/Sub Dinas pada Dinas yang membidangi penataan ruang; b. Wakil Ketua :Kepala Bagian Hukum; c. Sekretaris :Kepala Seksi/Sub Bidang pada
Dinas yang membidangi penataan ruang; d. Anggota :SKPD terkait penataan ruang
yang disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan daerah.
Kelompok Kerja Pemanfaatan dan Pengendalian Pemanfaatan Ruang mempunyai tugas :
a. Memberikan masukan kepada Ketua BKPRD dalam rangka perumusan kebijakan pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang;
b. Melakukan fasilitasi pelaksanaan pemantauan terhadap penegakkan peraturan daerah tentang rencana tata ruang;
c. Melakukan fasilitasi pelaksanaan evaluasi terhadap penegakkan peraturan daerah tentang rencana tata ruang;
d. Melakukan fasilitasi pelaksanaan pelaporan terhadap penegakkan peraturan daerah tentang rencana tata ruang;
e. Melakukan fasilitasi pelaksanaan perizinan pemanfaatan ruang;
f. Melakukan fasilitasi pelaksanaan penertiban pemanfaatan ruang; dan g. Menginventarisasi dan mengkaji
permasalahan dalam pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang serta memberikan alternatif pemecahannya untuk dibahas dalam sidang pleno BKPRD.
Mengingat pentingnya tugas BKPRD dalam perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian penataan ruang, maka tentu BKPRD harus didukung oleh sekretariat yang andal. Menurut ketentuan pasal 18, sekretariat BKPRD tersebut dipimpin oleh
Sekretaris Bappeda
Provinsi/Kabupaten/Kota, yang mempunyai tugas:
a. Menyiapkan bahan dalam rangka kelancaran tugas BKPRD;
b. Menyusun jadwal dan agenda kerja BKPRD;
c. Melakukan fasilitasi penyelenggaraan kegiatan BKPRD;
d. Mengoordinasikan pelaksanaan kegiatan pada kelompok kerja dalam BKPRD; e. Mengolah data dan informasi untuk
mendukung pelaksanaan tugas-tugas BKPRD;
f. Menyiapkan dan mengembangkan informasi tata ruang;
g. Menyiapkan laporan pelaksanaan koordinasi penataan ruang; dan
h. Menerima pengaduan dari masyarakat berkaitan dengan terjadinya pelanggaran dalam penyelenggaraan penataan ruang.
Melihat kompleksnya tugas sekretariat guna mendukung pelaksanaan tugas BKPRD, maka tentu diperlukan tenaga-tenaga profesional yang andal. Untuk itu, walaupun kepala sekretariat dirangkap oleh Sekretaris Bappeda, akan tetapi staf pendukungnya sebaiknya pegawai yang terampil dan secara khusus bekerja untuk mendukung fungsi BKPRD.
Kelembagaan Dalam Fungsi Pengawasan
Pengawasan penataan ruang adalah upaya agar penyelenggaraan penataan ruang dapat diwujudkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 198 PP No. 15 Tahun 2010, menegaskan bahwa pengawasan penataan ruang diselenggarakan untuk:
a. Menjamin tercapainya tujuan penyelenggaraan penataan ruang;
b. Menjamin terlaksananya penegakan hukum bidang penataan ruang; dan
c. Meningkatkan kualitas penyelenggaraan penataan ruang.
Pengawasan penataan ruang tersebut dilakukan melalui penilaian terhadap kinerja: a. Pengaturan, pembinaan, dan pelaksanaan penataan ruang;
b. Fungsi dan manfaat penyelenggaraan penataan ruang; dan
c. Pemenuhan standar pelayanan minimal bidang penataan ruang.
Adapun bentuk pengawasannya, bisa dalam bentuk pengawasan teknis yakni pengawasan terhadap keseluruhan proses penyelenggaraan penataan ruang yang dilakukan secara berkala, dan pengawasan khusus yang merupakan pengawasan terhadap permasalahan khusus dalam penyelenggaraan penataan ruang yang dilaksanakan sesuai kebutuhan. Adapun pengawasan teknis penataan ruang meliputi kegiatan:
a. Mengawasi masukan, prosedur, dan keluaran, dalam aspek pengaturan penataan ruang, pembinaan penataan ruang, dan pelaksanaan penataan ruang; b. Mengawasi fungsi dan manfaat keluaran. c. Mengawasi ketersediaan dan pemenuhan
standar pelayanan minimal bidang penataan ruang.
Sementara pengawasan khusus meliputi kegiatan:
a. Memeriksa data dan informasi
permasalahan khusus dalam
penyelenggaraan penataan ruang; dan b. Melakukan kajian teknis terhadap
permasalahan khusus dalam
penyelenggaraan penataan ruang.
Pengawasan penataan ruang tersebut menghasilkan laporan yang memuat
penilaian:
a. Penataan ruang diselenggarakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; atau
b. Penataan ruang diselenggarakan tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Penataan ruang yang diselenggarakan tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan menghasilkan rekomendasi:
a. Untuk dilakukan penyesuaian dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan/atau
b. Untuk dilakukan penertiban dan pengenaan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Tindak lanjut hasil pengawasan penataan ruang tersebut :
a. Penyampaian hasil pengawasan kepada pemangku kepentingan terkait;
b. Penyampaian hasil pengawasan yang terdapat indikasi pelanggaran pidana di bidang penataan ruang kepada penyidik pegawai negeri sipil; dan
c. Pelaksanaan hasil pengawasan.
Kemudian, yang jadi pertanyaan secara kelembagaan siapakah yang melaksnakan tugas pengawasan tersebut? Secara hirarkis ketentuan pasal 8 dan 10 UU No. 26 Tahun 2007 mengatur bahwa pemerintah pusat bertugas melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan penataan
ruang wilayah nasional, provinsi, dan
kabupaten/kota, serta terhadap pelaksanaan penataan ruang kawasan strategis nasional, provinsi, dan kabupaten/kota. Pemerintah
Daerah Provinsi bertugas melakukan
pengawasan terhadap pelaksanaan penataan ruang wilayah provinsi, dan kabupaten/kota, serta terhadap pelaksanaan penataan ruang kawasan strategis provinsi dan kabupaten/kota. Terakhir, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota bertugas melakukan pengawasan terhadap
pelaksanaan penataan ruang wilayah
kabupaten/kota, serta terhadap pelaksanaan
penataan ruang kawasan strategis
kabupaten/kota.
Ketentuan UU tersebut, jelas
menugaskan fungsi pengawasan pada
pemerintah daerah, sehingga otomatis yang bertanggung jawab adalah kepala daerah, gubernur, bupati atau walikota. Karena hal ini berada pada wilayah kewenangan kepala daerah, tentu bentuk-bentuk kelembagaan yang terlibat dalam proses pengawasan dapat berbeda antara satu daerah dengan daerah lainnya sesuai dengan ciri, kondisi, kebutuhan dan kemampuan seiring dengan penerapan Otonomi Daerah.
Secara umum, pengawasan dilakukan bisa secara melekat atau struktural, dimana posisi yang ada diatas mengawasi
posisi yang ada dibawahnya. Seperti
pemerintah pusat mengawasi pemerintah
provinsi, dan pemerintah provinsi mengawasi pemerintah kabupaten/kota. Selain itu, juga bisa dilakukan secara fungsional, dimana ada
institusi yang secara khusus berfungsi
melakukan tugas pengawasan. Seperti Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK), Inspektorat
Jenderal Departemen, Inspektorat Provinsi, dan Inspektorat kabupaten/Kota. Melihat hal ini, tentu kepala daerah akan mempertimbangkan,
apakah tugas pengawasan dalam
penyelenggaraan penataan ruang, dilakukan secara struktural masuk dalam tugas SKPD tertentu, Bappeda misalnya. Atau dilakukan secara fungsional, dimana penugasan diberikan kepada institusi yang secara khusus melakukan pengawasan, inspektorat misalnya. Selain itu, kepala daerah juga bisa mengoptimalkan peran BKPRD, walaupun pada pasal 2 Permendagri N0. 50 Tahun 2009 lingkup tugasnya hanya perencanaan, pemanfaatan, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Namun tidak ada salahnya jika dipandang perlu, kepala daerah secara tegas memasukan tugas pengawasan digabung dengan tugas pengendalian, masuk dalam tugas BKPRD.
Kesimpulan
Dari keseluruhan
pembahasan tentang kebijakan pelembagaan penyelenggaraan penataan ruang di daerah, dapat diambil kesimpulan bahwa fungsi pengaturan, pembinaan, pelaksanaan, dan pengawasan, secara umum terwadahi dalam kelembagaan pemerintah daerah provinsi yang dipimpin gubernur dan kabupaten/kota yang dipimpin bupati/walikota. Untuk membantu kepala daerah dalam menyelenggaraan penataan ruang tersebut, Permendagri No. 50 Tahun 2009,
mengamanatkan kepada
Gubernur/Bupati/Walikota untuk membentuk Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah (BKPRN). Fungsi pengaturan dan pelaksanaan (perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian), secara operasional tegas dinyatakan sebagai tugas BKPRD. Namun demikian, fungsi pembinaan khususnya pengembangan kesadaran dan tanggung jawab masyarakat serta fungsi pengawasan, tidak secara tegas dinyatakan sebagai tugas BKPRD. Untuk itu, karena wewenang dan tanggung jawab penyelenggaraan penataan ruang berada pada tangan kepala daerah, maka tentu implementasinya akan banyak bergantung pada komitmen, kreasi dan kemampuan kepala daerah dalam mendayagunakan sumber daya daerahnya, demi terwujudnya tata ruang yang baik bagi kesejahteraan masyarakat.
Daftar Pustaka
Wahab, Abdul, Solichin. 2001.
Analisis
Kebijaksanaan: Dari Formulasi
ke Implementasi Kebijaksanaan
Negara
, Edisi Kedua. Jakarta:
Bumi Aksara
Islamy, Irfan. 1997.
Prinsip-prinsip
Perumusan
Kebijaksanaan
Negara
, Edisi 2 Cet. 1. Jakarta:
Bina Aksara
Mohammad Reza Noruzi dan José G.
Vargas-Hernández.
(2010).
A
Short Note on the Effective Policy
Making Strategies in the Public
Sector
Organizations.
Interdisiplinary
Journal
of
Contemporary
Research
in
Business
. Vol. 2 No. 4.
Http://dpd.go.id/2010/07/masalah-perkotaan-disebabkan-inkonsistensi-
pemerintah-dalam-rencana-tata-ruang/Diakses 20 November 2011.
Http://www1.pu.go.id/uploads/berita/ppw
060509anty. Diakses 28 November 2011.
Peraturan :
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.
2. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. 3. Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah. 4. Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun
2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang.
5. Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2010 tentang Bentuk dan Tata Cara Peran Masyarakat dalam Penataan Ruang.
6. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 50 Tahun 2009 tentang Pedoman Koordinasi Penataan Ruang Daerah.