• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Berat Lahir Menurut Saifuddin yang dikutip oleh Kurniasih (2015), berat lahir atau

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Berat Lahir Menurut Saifuddin yang dikutip oleh Kurniasih (2015), berat lahir atau"

Copied!
43
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Berat Lahir

Menurut Saifuddin yang dikutip oleh Kurniasih (2015), berat lahir atau berat bayi lahir adalah berat badan bayi yang di timbang dalam waktu 1 jam pertama setelah lahir. Berat bayi lahir berdasarkan berat badan dapat dikelompokan menjadi dua yaitu Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) dan Bayi Berat Lahir Normal (BBLN).

Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) adalah berat yang dilahirkan dengan berat lahir <2500 gram tanpa memandang usia gestasi, bayi baru lahir normal adalah bayi yang lahir dari kehamilan sampai 42 minggu dan berat badan lahir >2500-4000 gram (Jitowiyono dan Weni, 2010).

Berat badan merupakan salah satu indikator kesehatan bayi baru lahir. Kesehatan bayi sangat dipengaruhi oleh status kesehatan ibu. Pertumbuhan dan perkembangan bayi dipengaruhi oleh keadaan asupan zat gizi selama kehamilan. Hal ini penting untuk tumbuh kembang janin. Kekurangan gizi dan kelebihan gizi saat kehamilan akan mengganggu tumbuh kembang janin. Berdasarkan pendapat Mulyawan (2009) yang mengutip hasil penelitian Rosemary, dapat disimpulkan bahwa status gizi ibu hamil mempunyai pengaruh yang bermakna terhadap kejadian Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) dan Bayi Berat Lahir Normal (BBLN). Defisiensi zat gizi selama kehamilan, khususnya zat gizi makro maka akan berpengaruh pada perkembangan otak bayi seperti yang dinyatakan oleh Georgieff (2006) defisiensi zat gizi makro berpengaruh terhadap neuroanatomi, neurokimia

(2)

Menurut Sutiari dan Wulandari (2012) yang mengutip pendapat Singh, terdapat lebih dari 100 milyar jaringan saraf dalam otak yang integritasnya tergantung pada asupan zat gizi yang cukup. Bayi BBLR telah mengalami kekurangan gizi termasuk kekurangan energi dan protein (zat gizi makro). Defisiensi zat gizi makro dapat mengakibatkan hipomielinisasi dan lebih jauh lagi mengurangi hantaran zat gizi dan migrasi neuron yang abnormal selama periode awal perkembangan otak. Pengaruh neuroanatomi berupa berkurangnya jumlah dan ukuran neuron serta pembentukan sinapsis.

Sinapsis merupakan hubungan penyampaian impuls dari satu neuron ke neuron yang lain. Pengaruh neurokimia berupa perubahan sintesis neurotransmiter dan jumlah reseptornya dan pengaruh neurofisiologi berupa kemampuan neuron untuk bekerja menghantarkan impuls saraf. Energi dan protein mendukung perkembangan otak yang cepat. Otak membutuhkan protein untuk sintesis Deoxyribonucleic acid (DNA) dan Ribonucleic acid (RNA), produksi neurotransmiter, sintesis faktor pertumbuhan serta untuk perpanjangan neurit sehingga fungsi otak efisien dalam jaringan sinapsis. Defisiensi protein menyebabkan kehilangan struktur dendrit dan gangguan pada dendrit tulang belakang. Efek terberat pada bagian kortek dan hipokampus yang berfungsi sebagai pusat memori (Sasaki, 2011).

Berdasarkan pendapat Maryani (2014) yang mengutip hasil penelitian Ludington dan Golant, mengemukakan bahwa selama kehamilan nutrisi ibu akan mempengaruhi perkembangan otak janinnya. Gizi ibu yang buruk akan merusak otak bayi. Penelitian menunjukkan jika gizi ibu buruk maka otak bayi akan

(3)

kekurangan DNA, kecenderungan genetiknya, ukuran dan berat normal kurang, mielinasi berkurang, dan dendrite membentuk percabangan yang lebih sedikit dari normal. Dari berbagai penelitian di atas diketahui bahwa masa gestasi (kehamilan) adalah masa kritis menentukan tumbuh kembang otak, sehingga berbagai zat gizi harus tersedia selama kehamilan. Hal ini terlihat pada pada gambar dibawah ini yaitu proses perkembangan otak selama di dalam kandungan hingga kelahiran.

Gambar 2.1 Perkembangan Otak Manusia (Santrock, 2002) Menurut Santrock yang dikutip oleh Ernawati dkk (2014) gizi yang baik sangat penting untuk pertumbuhan sel-sel otak, terutama pada saat hamil dan juga pada waktu bayi, di mana sel-sel otak sedang tumbuh dengan pesatnya. Kekurangan gizi pada saat pertumbuhan, bisa berakibat berkurangnya jumlah sel-sel otak dari jumlah yang normal. Hal ini tentu saja akan mempengaruhi kerja otak tersebut di kemudian hari.

Bayi berat lahir rendah biasanya memiliki fungsi sistem organ yang belum matur, sehingga dapat mengalami kesulitan untuk beradaptasi dengan

(4)

berat badan di bawah normal mempunyai pola pertumbuhan yang lebih rendah dibandingkan dengan anak yang lahir dengan berat badan normal (Proverawati dan Ismawati, 2010).

Faktor gizi adalah faktor esensial bagi pertumbuhan dan perkembangan otak yang selanjutnya mempengaruhi kualitas dan tingkat kecerdasan. Kurang gizi pada ibu hamil dan bayi mempengaruhi perkembangan otak bayi tersebut. Studi mencatat bahwa BBLR menurunkan skor IQ sampai 5 poin (Syafiq, 2007).

Menurut Oktarina (2012), kejadian retardasi perkembangan otak dan mental pada bayi dengan berat lahir yang rendah berkisar antara 10-20%, termasuk cerebral palsi 3-5%, cacat pendengaran dan penglihatan yang sedang sampai berat 1-4%, dan kesukaran belajar 20%, IQ global rata-rata 90-97 dan 76% di antaranya dapat mengikuti sekolah normal.

2.2 Status Gizi

Gizi adalah suatu proses organisme menggunakan makanan yang dikonsumsi secara normal melalui proses digesti, absorpsi, transportasi, penyimpanan, metabolisme dan pengeluaran zat-zat yang tidak digunakan untuk mempertahankan kehidupan, pertumbuhan dan fungsi normal organ-organ, serta menghasilkan energi. Nutrition status adalah ekspresi dari keadaan keseimbangan dalam bentuk variabel tertentu (Supariasa, 2001). Sedangkan menurut Almatsier (2010) status gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat gizi yang dibedakan antara status gizi kurang, baik dan lebih.

Menurut Sasaki (2011) yang mengutip pendapat Soekirman, status gizi juga diartikan sebagai keadaan kesehatan fisik seseorang atau sekelompok orang

(5)

yang ditentukan dengan salah satu atau kombinasi dari ukuran-ukuran gizi tertentu.

Dari beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa status gizi merupakan suatu ukuran keseimbangan antara kebutuhan dan masukan nutrisi yang diindikasikan oleh variabel tertentu.

Menurut Supariasa (2002), gizi yang baik adalah gizi yang seimbang, artinya asupan zat gizi harus sesuai dengan kebutuhan tubuh. Kebutuhan nutrisi pada setiap orang berbeda-beda berdasarkan unsur metabolik dan genetikanya masing-masing. Kebutuhan gizi pada anak-anak dengan orang dewasa pasti berbeda. Pada usia anak-anak kebutuhan gizi lebih banyak dibandingkan pada orang dewasa, khususnya pada anak usia sekolah, di karenakan pada usia ini tubuh dan otak banyak membutuhkan asupan zat gizi untuk masa pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental dan intelektual. Kebutuhan gizi pada anak usia sekolah jika terpenuhi akan meningkatkan status gizi anak dan mendukung anak pada proses belajar.

Status gizi merupakan salah satu faktor yang menentukan sumber daya manusia dan kualitas hidup. Untuk itu, program perbaikan gizi bertujuan untuk meningkatkan mutu gizi konsumsi pangan, agar terjadi perbaikan status gizi masyarakat, khususnya anak usia sekolah. Menurut Puspita (2012) yang mengutip pendapat Suhardjo, anak sekolah termasuk kelompok rentan gizi. Untuk itu usaha-usaha peningkatan gizi terutama harus ditujukan pada anak-anak.

Menurut Devi (2012) anak sekolah adalah anak yang berusia 6-12 tahun, yang artinya sekolah menjadi pengalaman inti anak. Periode ketika anak-anak

(6)

dianggap mulai bertanggung jawab atas perilakunya sendiri dalam hubungan dengan orang tua mereka, teman sebaya, dan orang lainnya. Usia sekolah merupakan masa anak memperoleh dasar-dasar pengetahuan untuk keberhasilan penyesuaian diri pada kehidupan dewasa dan memperoleh keterampilan tertentu

Menurut Ardi (2016) yang mengutip pendapat Choi, bahwa anak sekolah dasar merupakan sasaran strategis dalam perbaikan gizi masyarakat. Anak sekolah merupakan generasi penerus tumpuan bangsa sehingga perlu dipersiapkan dengan baik kualitasnya, anak sekolah sedang mengalami pertumbuhan secara fisik, mental dan intelektual yang sangat diperlukan guna menunjang kehidupannya di masa mendatang, guna mendukung keadaan tersebut anak sekolah memerlukan kondisi tubuh yang optimal dan bugar, sehingga memerlukan status gizi yang baik.

Status gizi dapat dinilai dengan dua cara, yaitu penilaian status gizi secara langsung dan penilaian status gizi secara tidak langsung. Penilaian status gizi secara langsung dapat dilakukan dengan empat cara yaitu antropometri, klinis, biokimia dan biofisik. Penilaian status gizi dalam penelitian ini menggunakan cara antropometri. Antropometri gizi berhubungan dengan berbagai pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat gizi. Antropometri sebagai indikator status gizi dilakukan dengan mengukur beberapa parameter. Parameter adalah ukuran tunggal dari tubuh manusia, antara lain: Umur (U), Berat Badan (BB), Tinggi Badan (TB), Lingkar Lengan Atas (LLA), lingkar kepala, lingkar dada, lingkar pinggul, dan lemak di bawah kulit. Parameter yang digunakan dalam penelitian ini adalah umur, BB, TB dan IMT. Umur

(7)

merupakan faktor penting dalam penentuan status gizi, karena kesalahan penentuan umur akan mengakibatkan kesalahan interprestasi status gizi. Hasil pengukuran BB dan TB yang akurat akan menjadi tidak berarti bila tidak disertai penentuan umur yang tepat (Supariasa. et al, 2002).

Indeks antropometri yang umum digunakan dalam menilai status gizi adalah berat badan menurut umur (BB/U), tinggi badan menurut umur (TB/U), dan berat badan menurut tinggi badan (BB/TB), Indeks massa tubuh menurut umur (IMT/U). BB/U bermanfaat untuk menggambarkan status gizi seseorang pada saat ini, TB/U memberikan gambaran status gizi masa lalu, BB/TB merupakan indikator yang baik untuk menilai status gizi saat ini. Pengukuran antropometri terbaik adalah metode Indeks Massa Tubuh (IMT) yang menggunakan indikator BB/TB2. Ukuran ini dapat menggambarkan status gizi saat ini dengan lebih sensitif dan spesifik. Pengukuran secara IMT mengelompokkan status gizi dalam 5 kategori, yaitu sangat kurus, kurus, normal, gemuk dan obesitas (Supariasa et al, 2002).

Penilaian status gizi anak usia sekolah, indikator yang tepat adalah Indeks massa tubuh menurut umur (IMT/U) anak umur 5-18 tahun. Dalam penelitian ini parameter status gizi yang digunakan adalah IMT/U. Penilaian status gizi berdasarkan indeks IMT/U dapat di lihat pada tabel berikut :

Tabel 2.1 Penilaian Status Gizi berdasarkan Indeks IMT/U

Indeks Kategori status gizi Ambang Batas (Z-score) Indeks Massa Tubuh

Menurut Umur (IMT/U) Anak Umur 5-18 Tahun

Sangat kurus <-3 SD

Kurus -3 SD sampai dengan <-2 SD Normal -2 SD sampai dengan 1 SD Gemuk >1 SD sampai dengan 2 SD

(8)

Menurut Ardi (2016) yang mengutip pendapat Boeree, kesehatan dan pertumbuhan anak merupakan masalah yang perlu mendapat perhatian terus-menerus oleh berbagai pihak, seperti pemerintah maupun keluarga. Anak-anak merupakan penerus bangsa, di tangan merekalah kelak nasib bangsa ini akan ditentukan. Jika suatu bangsa memiliki anak-anak yang sehat jasmani dan rohani, akan tercipta sumber daya manusia yang berkualitas, cerdas dan produktif. Turunnya kualitas suatu generasi dapat dicegah dengan cara menyelamatkan mereka dari gangguan kesehatan fisik, mental maupun intelektual. Memang harus diakui bahwa kekhawatiran pada orang tua terhadap kecerdasan putra-putrinya mereka sangat besar. Banyak faktor yang berpengaruh terhadap tingkat kecerdasan seseorang, antara lain faktor gizi.

Anak usia sekolah cenderung rentan gizi yaitu keadaan kurus kering dan kecil pendek (stunting). Keadaan tersebut jika ditemukan pada usia anak sekolah, hal ini akan menjadi indikator adanya kurang gizi kronis. Keadaan ini akan menyebabkan anak mengalami gangguan pertumbuhan otak dan tingkat kecerdasan, yang akan mempengaruhi hasil prestasi belajar anak di sekolah. Berdasarkan pendapat Ardi (2016) yang mengutip pendapat Wibowo et al, bahwa status gizi anak mempunyai dampak positif terhadap inteligensinya. Hal ini dibuktikan oleh penelitian Syafiq (2007), Studi mencatat bahwa stunting menurunkan skor IQ 5-10 poin.

Penelitian yang mendukung yaitu Sari (2010) menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara status gizi dengan kecerdasan yaitu dibandingkan anak dengan status gizi normal, anak dengan status gizi rendah mempunyai skor IQ 13

(9)

poin lebih rendah secara signifikan, sedangkan anak dengan gizi baik mempunyai skor IQ 10 poin lebih tinggi namun tidak signifikan secara statistik.

Kecerdasan tidak hanya berpengaruh pada anak dengan status gizi kurang, tetapi juga pada anak dengan status gizi lebih yaitu gemuk dan obesitas. Hal ini dapat meningkatkan deposit lemak yang berakibat terhambatnya aliran darah ke otak sehingga otak mengalami kekurangan oksigen. Dalam waktu lama hal ini dapat menimbulkan gangguan belajar dan berdampak pada prestasi belajar (Puspita, 2012).

Menurut Puspita (2012) yang mengutip hasil penelitian Gable, menunjukkan anak sekolah dasar yang mengalami berat badan berlebih cenderung memiliki nilai yang kurang pada beberapa mata pelajaran dibandingkan dengan anak yang memiliki berat badan normal. Hal ini merupakan bukti nyata adanya pengaruh berat badan berlebih terhadap prestasi belajar. Belajar berkaitan erat dengan kecerdasan.

Menurut Budiyati (2011) yang mengutip pendapat Rudolph, gemuk dan obesitas berpotensi mengalami berbagai gangguan sistem tubuh, baik kardiovaskuler, pernafasan, endokrin, neurologi, integumen, sistem imunitas, serta gangguan psikologis dan gangguan perkembangan. Penelitian Sartika (2011), menyebutkan gemuk dan obesitas pada anak usia 6-7 tahun dapat menurunkan tingkat kecerdasan karena aktivitas dan kreativitas anak menjadi menurun dan cenderung malas akibat kelebihan berat badan. Kemudian penelitian lain yaitu Ahsan yang dikutip oleh Puspita (2012), dari 40 anak yang obesitas didapatkan 29 anak (72,5%) dengan tingkat perkembangan normal, 6 anak (15%) dengan tingkat

(10)

perkembangan meragukan dan 5 anak (12,5%) dengan tingkat perkembangan abnormal.

Menurut Budiyati (2011) yang mengutip pendapat Gable, bahwa pengaruh berat badan berlebih lainnya dalam kecerdasan yaitu kelebihan berat badan pada anak ternyata berpengaruh buruk pada kemampuan matematika bahwaa rasa gelisah dan terasingkan menjadi pemicu. Peneliti dari Department of Nutrition and Exercise Physiology di Missouri, mengetahui hal ini setelah mempelajari rekam jejak 6.300 siswa sejak taman kanak-kanak. Dari waktu ke waktu, orangtua diminta mengisi kuisioner tentang anak-anak berikut tes akademiknya. Hasil penelitian menunjukkan anak-anak yang mengalami obesitas sejak taman kanak-kanak lemah dalam ujian matematika. Anak laki-laki yang baru mengalami kegemukan saat kelas tiga atau empat menunjukkan kelemahan berhitung yang kronis. Kegemukan yang terjadi belakangan pada anak perempuan menyebabkan kelemahan matematika sementara. Temuan ini menunjukkan hubungan kompleks antara berat badan dan kecerdasan anak.

Kegemukan di usia dini diketahui meningkatkan risiko penyakit seperti intoleransi glukosa, hipertensi, dan kolesterol tinggi. Sebagian peneliti menduga risiko ini juga mengancam kemampuan kognitif anak. Dalam sebuah penelitian disebutkan anak dengan body mass index tinggi, berarti semakin gemuk berpengaruh negatif pada prestasi akademik (Sartika, 2011).

Menurut Ali dan Neny (2003), kecerdasan merupakan satu dari empat faktor internal prestasi belajar seseorang. Kecerdasan memiliki peran yang cukup penting dalam proses belajar dan menentukan keberhasilan proses belajar itu

(11)

sendiri. Anak yang memiliki kecerdasan normal atau di atas normal akan dengan mudah memahami materi pelajaran di sekolah, maka anak tersebut sangat berpotensi mendapatkan prestasi belajar yang bagus.

2.3 Intelligence Quotient (IQ)

Menurut Nur’eini (2012) yang mengutip pendapat David Wechsler, inteligensi adalah kemampuan untuk bertindak secara terarah, berpikir secara rasional, dan menghadapi lingkungannya secara efektif. Secara garis besar dapat disimpulkan bahwa integensi adalah suatu kemampuan mental yang melibatkan proses berfikir secara rasional. Oleh karena itu, inteligensi tidak dapat diamati secara langsung, melainkan harus disimpulkan dari berbagai tindakan nyata yang merupakan manifestasi dari proses berpikir rasional itu.

Menurut Azwar (2011) yang mengutip pendapat Alfret Binet (tokoh perintis pengukuran inteligensi), bahwa inteligensi terdiri dari tiga komponen, yaitu: (1) kemampuan untuk mengarahkan pikiran dan tindakan, (2) kemampuan untuk mengubah arah tindakan setelah tindakan tersebut dilaksanakan, dan (3) kemampuan untuk mengkritik diri sendiri atau melakukan auto critism.

Dari beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa intelegensi adalah suatu kemampuan mental yang melibatkan proses berpikir secara rasional dan kemampuan untuk menggunakan daya pikir tersebut dalam memahami situasi yang baru.

Menurut Witherington yang dikutip oleh Izzaty (2008), terdapat tiga macam kecerdasan yang dimiliki manusia, yaitu IQ (Intelligence Quotient), EQ (Emotional Quotient) dan SQ (Social Quotient). IQ memungkinkan manusia

(12)

berpikir secara rasional dan logis, EQ memungkinkan manusia untuk menggunakan perasaan yang terwujud dalam tingkah laku dan emosi, dan SQ memungkinkan manusia untuk berpikir bahwa ada hal-hal yang tidak bisa dicapai dengan logika dan perasaan.

Dari ketiga macam kecerdasan di atas, kecerdasan intelektual merupakan kecerdasan manusia yang paling utama. Kecerdasan ini dikemukakan oleh William Stern pada tahun 1912 berkreasi serta berinovasi (Suhendro, 2012).

Intelligence Quotient atau IQ adalah skor yang diperoleh dari tes intelegensi, dengan mengukur proses berpikir konvergen, yaitu kemampuan untuk memberikan satu jawaban atau kesimpulan yang logis berdasarkan informasi yang diberikan (Nur’eini, 2012).

Menurut Ardi (2016) yang mengutip hasil penelitian Terman dapat disimpulkan bahwa skor tes IQ rata-rata adalah 90-110. Meskipun demikian, tidak semua tes inteligensi akan menghasilkan angka IQ karena IQ memang bukan satu-satunya cara untuk menyatakan tingkat kecerdasan seseorang. Beberapa tes inteligensi bahkan tidak menghasilkan IQ, akan tetapi memberikan klasifikasi tingkat inteligensi seperti pola berpikir divergen atau konvergen.

IQ ditujukan untuk mengukur dan mengetahui fungsi otak kiri yang mengatur kemampuan kognisi, seperti kemampuan berbahasa, analisa, akademis, logika dan intelektual. IQ mengukur bagaimana kinerja seseorang dalam sebuah tes inteligensi dibandingkan keseluruhan populasi (Angga, 2012).

(13)

2.3.1 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi IQ Anak

Menurut Nova (2011) yang mengutip pendapat Loekito, bahwa individu tidak dilahirkan dengan IQ yang tidak dapat berubah, tetapi IQ menjadi stabil secara bertahap selama masa kanak-kanak dan hanya berubah sedikit setelah itu. Tinggi rendahnya IQ seorang anak dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor. Menurut Boeree yang dikutip oleh Ardi (2016), inteligensi anak dipengaruhi oleh banyak faktor. Secara garis besar, IQ dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu:

1) Faktor Genetik

Faktor genetik merupakan modal dasar untuk dalam mencapai hasil akhir proses tumbuh kembang anak. Melalui instruksi genetik yang terkandung dalam sel telur yang telah dibuahi, dapat ditentukan kualitas pertumbuhan. Potensi genetik yang bermutu hendaknya dapat berinteraksi dengan lingkungan secara positif sehingga diperoleh hasil akhir yang optimal.

Secara biologis, individu berkembang dari dua sel benih yaitu sel telur (ovum) yang ada pada ibu dan sel sperma yang berasal dari ayah yang akan membuahi sel telur. Sperma dan sel telur masing-masing berisi 23 kromosom, yaitu struktur yang berisi faktor-faktor herediter. Di dalam setiap kromosom terdapat struktur yang lebih kecil yang disebut sebagai gen. Gen inilah yang sesungguhnya menjadi penentu sifat-sifat unik yang akan diturunkan seperti warna mata, warna rambut dan kulit (Azwar, 2008).

Menurut Komorita dkk, yang dikutip oleh Azwar (2008), bahwa hereditas menetapkan batas perkembangan yang dapat dilakukan oleh lingkungan. Bagaimanapun juga besarnya stimulus lingkungan yang diterima oleh organisme

(14)

yang bersangkutan tidak dapat melampaui batas yang telah ditetapkan oleh faktor keturunan.

Berdasarkan pendapat Santrock (2008) yang mengutip berbagai macam penelitian di Amerika Serikat yang dikemukakan oleh Neisser et al, menemukan pewarisan IQ antara 0,4 sampai 0,8, serta menjelaskan bahwa kurang dari sampai lebih dari setengah variasi pada IQ di antara anak-anak yang diteliti disebabkan adanya variasi pada gen-gen mereka.

Penelitian lain juga menunjukkan bukti adanya pewarisan inteligensi berasal dari penelitian yang menghubungkan IQ orang dari berbagai tingkatan genetik. Menurut Azwar (2008) yang mengutip hasil penelitian Eysenck, melaporkan hasil studi awal yang dilakukan di Inggris oleh Herman dan Hogben, yang melakukan penelitian anak kembar berjenis kelamin berbeda dan saudara sekandung biasa. Hasil penelitian menunjukkan terdapat perbedaan rata-rata IQ sebesar 9,2 point, dari analisa lanjutan mengatakan bahwa 80% variasi total IQ disebabkan oleh faktor genetik.

Menurut Sari (2010) yang mengutip pendapat Boeree, bahwa kecerdasan dapat diturunkan melalui gen-gen dalam kromosom. Oleh karena itu, tidak heran jika ayah-ibu yang cerdas akan melahirkan anak yang cerdas pula. Akan tetapi faktor genetik bukanlah penentu utama kecerdasan seperti yang dinyatakan oleh Santrock (2011), meskipun dukungan genetika mempengaruhi tingkat inteligensi seseorang, namun pengaruh lingkungan juga berperan penting dalam mengubah skor IQ secara signifikan.

(15)

2) Faktor Gizi

Untuk mencapai tumbuh kembang yang baik maka diperlukan zat makanan yang adekuat. Makanan yang kurang baik secara kualitas maupun kuantitas akan menyebabkan gizi kurang. Keadaan gizi kurang dapat mengakibatkan perubahan struktural dan fungsional pada otak.

Menurut Sasaki (2011) gizi merupakan salah satu penentu kualitas Sumber Daya Manusia, di antaranya kualitas kecerdasan anak. Kecerdasan berkaitan erat dengan kualitas otak. Untuk mendapatkan kualitas otak yang maksimal dibutuhkan keadaan gizi yang baik.

Gizi yang baik sangat penting untuk pertumbuhan sel-sel otak, terutama pada saat hamil dan juga pada waktu bayi, di mana sel-sel otak sedang tumbuh dengan pesatnya. Kekurangan gizi pada saat pertumbuhan, bisa berakibat berkurangnya jumlah sel-sel otak dari jumlah yang normal. Hal ini tentu saja akan mempengaruhi kerja otak tersebut di kemudian hari. Menurut Nova (2011) yang mengutip hasil penelitian Walter, bahwa terhadap 825 anak dengan malnutrisi berat ternyata mempunyai kemampuan intelektual lebih rendah dibandingkan anak yang mempunyai gizi baik.

Menurut Sari (2010) yang mengutip pendapat Sigh, kualitas perkembangan otak manusia tergantung pada interaksi antara potensi genetik dan faktor-faktor lingkungan seperti asupan gizi, stimulasi dan sikap orang tua. Sel-sel otak lebih sensitif terhadap zat gizi dari pada sel-sel tubuh yang lain. Otak adalah organ fisik yang sangat berharga, pusat segala eksistensi kita seperti inteligensi,

(16)

kepribadian, emosi, akal, spiritual dan jiwa. Kita dapat mengoptimalkan fungsi saraf dalam otak melalui kecukupan zat gizi dan aktivitas mental dan fisik.

Menurut Georgieff yang dikutip oleh Ardi (2016) bahwa defisiensi berbagai zat gizi terutama zat gizi makro akan mempengaruhi neuroanatomi, neurokimia dan neurofisiologi perkembangan otak. Pengaruh neuroanatomi berupa berkurangnya jumlah dan ukuran neuron serta pembentukan sinapsis. Pengaruh neurokimia berupa perubahan sintesis neurotransmiter dan jumlah reseptornya. Pengaruh neurofisiologi berupa kemampuan neuron untuk bekerja menghantarkan impuls saraf.

Menurut Georgieff yang dikutip oleh Ardi (2016), protein dan energi mendukung perkembangan otak yang cepat. Otak membutuhkan protein untuk sintesis Deoxyribonucleic acid (DNA) dan Ribonucleic acid (RNA), produksi neurotransmiter, sintesis faktor pertumbuhan serta untuk perpanjangan neurit sehingga fungsi otak efisien dalam jaringan sinapsis. Defisiensi protein menyebabkan kehilangan struktur dendrit dan gangguan pada dendrit tulang belakang. Efek terberat pada bagian kortek dan hipokampus yang berfungsi sebagai pusat memori. Hal ini juga searah dengan pendapat Eillen dan Marotz (2010), bahwa kebutuhan gizi dibagi atas dua bagian, yaitu gizi makro dan gizi mikro. Zat gizi makro seperti energi, protein dan lemak, serta kebutuhan zat gizi mikro yakni vitamin dan mineral. Zat gizi makro berfungsi pada proses metabolisme otak dan peningkatan efisiensi proses rangsangan otak, sehingga kekurangan gizi makro menyebabkan terganggunya asupan makanan ke otak dan terganggunya proses metabolisme otak.

(17)

Sejumlah penelitian pada tikus memperlihatkan bahwa keadaan malnutrisi prenatal dan pascanatal dini menimbulkan banyak perubahan dalam struktur otak tikus tersebut, kendati perubahan itu akan membaik pada saat tikus itu diberi makan kembali. Namun demikian, beberapa perubahan dianggap permanen, seperti jumlah mielin dan dendrit kortikal dalam medulla spinalis serta peningkatan jumlah mitokondria dalam sel-sel neuron syaraf (Baker-Henningham & Grantham-McGregor, 2009)

Pembentukan neuron sangat penting dalam perkembangan otak. Maka perlu untuk menjaga agar pertumbuhan tersebut tidak terganggu seperti yang dinyatakan oleh Georgieff (2006) bahwa otak menggunakan glukosa sebagai sumber energi utamanya. Asam glutamik atau glutamat adalah metabolit yang umum dari metabolism glukosa. Glutamat terlibat dalam beberapa proses metabolik dalam otak. Ia berperan sebagai precursor bagi neurotransmitter inhibitorik, ɤ-amino butyric acid (GABA). Peningkatan kadar glutamate berhubungan dengan peningkatan aktivitas otak. Lebih lanjut, eksitotoksisitas yang dipicu oleh glutamat merupakan mekanisme utama yang dapat menyebabkan kehilangan neuron.

3) Faktor Lingkungan

Lingkungan yang baik adalah lingkungan yang dapat memberikan kebutuhan mental bagi si anak. Kebutuhan mental meliputi kasih sayang, rasa aman, pengertian, perhatian, penghargaan serta rangsangan (stimulasi). Kekurangan rangsangan intelektual pada masa bayi dan balita dapat menyebabkan hambatan pada perkembangan kecerdasannya. Stimulasi memegang peranan

(18)

sangat penting dalam memaksimalkan kecerdasan anak. Stimulasi diperlukan agar hubungan antar sel syaraf otak (sinaps) dapat berkembang. Penting untuk diingat bahwa sinaps akan menghilang secara spontan bila tidak digunakan (Safwan, 2008).

Interaksi yang harmonis antara anak dengan anggota keluarga akan menimbulkan keakraban dalam keluarga. Anak akan terbuka pada orang tuanya sehingga setiap permasalahan dapat dipecahkan bersama karena adanya kedekatan dan kepercayaan antara orangtua dan anak. Kualitas interaksi yang baik akan menimbulkan pemahaman terhadap kebutuhan masing-masing dan upaya untuk memenuhi kebutuhan tersebut yang dilandasi rasa saling menyayangi (Soetjiningsih, 2012).

Menurut Watanabe et al, yang dikutip oleh Ardi (2016), di Vietnam menunjukkan bahwa peranan stimulus dan intervensi gizi secara bersama-sama sangat penting dalam meningkatkan skor tes kognitif anak-anak yang menderita gizi kurang. Anak-anak gizi kurang yang diberikan intervensi gizi dan stimulus memiliki tes skor kognitif yang lebih tinggi daripada anak yang hanya diberikan intervensi gizi saja. Sedangkan menurut Purwandari, dkk (2008), yang melakukan penelitian tentang intelegensi pada anak yang disapih sebelum dua tahun dan sesudah dua tahun menunjukkan bahwa rangsangan intelektual menunjukkan hubungan yang bermakna terhadap intelegensia anak. Anak-anak yang mendapatkan rangsangan intelektual baik memiliki proporsi intelektual yang lebih baik daripada anak-anak dengan rangsangan intelektual jelek.

(19)

Berkaitan dengan faktor lingkungan lain yang juga mempunyai efek positif terhadap kecerdasan anak, yaitu riwayat social-budaya, bahwa menurut Mc Wayne (2004), anak yang tumbuh dengan penghasilan orang tua yang rendah mempunyai risiko tertundanya perkembangan kognitif yang lebih tinggi dibandingkan anak yang tumbuh dengan penghasilan orangtua yang tinggi.

Sebagian besar peneliti setuju bahwa faktor genetik bukanlah penentu utama kecerdasan, begitu juga dengan faktor lainnya. Meskipun dukungan genetik mempengaruhi intelektual seseorang, namun pengaruh lingkungan dan kesempatan yang tersedia bagi anak juga dapat mengubah skor IQ mereka secara signifikan. Menurut Neisser yang dikutip oleh Ardi (2016), bahwa anak-anak yang diberi suplemen gizi protein selama beberapa tahun, meskipun tingkat sosial ekonomi orangtuanya rendah, menunjukkan peningkatan kinerja dalam tes kecerdasan, dibandingkan dengan kelompok anak yang tidak diberikan suplemen gizi protein.

2.3.2 Tes IQ

Menurut Angga (2012) test inteligensi atau tes IQ adalah suatu jenis tes psikologis yang khusus dipergunakan untuk mengukur taraf inteligensi atau tingkat kecerdasan seseorang. Tes inteligensi dirancang untuk mengukur proses berpikir yang bersifat konvergen, yaitu kemampuan untuk memberikan satu jawaban atau kesimpulan yang logis berdasarkan informasi yang diberikan.

Menurut Nur’eini (2012) terdapat beberapa macam jenis tes IQ yang sering digunakan untuk usia anak-anak, antara lain:

(20)

1) Stanford–Binet Intelligence Scale.

Tes ini dikelompokkan menurut berbagai level usia. Dalam masing-masing tes untuk setiap level usia berisi soal-soal dengan taraf kesukaran yang tidak jauh berbeda. Skala Stanford-Binet dikenakan secara individual. Tes ini dilaksanakan pada satu individu dan soal-soalnya diberikan secara lisan oleh pemberi tes. Oleh karena itu pemberi tes adalah orang yang mempunyai latar belakang pendidikan yang cukup dibidang psikologi (Azwar, 2008)

Menurut Baron yang dikutip oleh Azwar (2008), menurut revisi terakhir, konsep inteligensi Stanford-Binet dikelompokkan menjadi empat tipe penalaran yang masing-masing diwakili oleh beberapa tes. Antara lain: (1) penelaran verbal, (2) penalaran kuantitatif, (3) penalaran visual abstrak, (4) memori jangka pendek.

Menurut skala Stanford-Binet, IQ diklasifikasikan sebagai berikut : a) 140-169 : Sangat Superior

b) 120-139 : Superior

c) 110-119 : Bright Normal (High Average) d) 90-110 : Average (Rata-Rata)

e) 80-89 : Low Average

f) 70-79 : Borderline-Defective 2) Wechlser Scale.

Tes ini dikembangkan oleh David Wechler, yang mencakup Wechsler Adult Intelligence Scale-Revised (WAIS-R); Wechsler Intelligence Scale-Edisi III (WAIS-III) bagi anak-anak yang berusia 6-16 tahun; dan Wechsler Preschool and Primary Scale of Intelligence-Revised (WPPSI-R), yang digunakan bagi

(21)

anak-anak yang berusia 4-6,5 tahun. Skala Wechlser dikelompokkan menjadi 12 sub skala, enam skala verbal dan enam skala non-verbal

3) Culture Fair Intelligence Test (CFIT).

Menurut Cattel yang dikutip oleh Nur’eini (2012), mengembangkan Culture Fair Intelligence Test, yang berusaha mengkombinasikan beberapa pertanyaan bersifat pemahaman gambar-gambar sehingga dapat mengurangi sebanyak mungkin pengaruh kecakapan verbal, iklim kebudayaan, dan tingkat pendidikan. Tes ini membuat batasan yang lebih jelas antara kemampuan dasar dengan hasil belajar khusus serta memberikan analisis dan prediksi yang lebih baik dari potensi maksimal individu.

Culture Fair Intelligence Test (CFIT), disusun oleh R. B. Cattel terdiri dari 3 bentuk yaitu skala 1 untuk anak usia 4–8 tahun, skala 2 untuk anak usia 8–13 tahun atau dewasa rata-rata, skala 3 untuk murid SLTA ke atas atau dewasa superior. Menurut skala Cattel, IQ diklasifikasikan sebagai berikut :

a) 140-169 : Very Superior b) 120-139 : Superior c) 110-119 : High Average d) 90-109 : Average e) 80-89 : Low Average f) 70-79 : Bordeline g) 30-69 : Mentally Defective

(22)

4) Tes Progressive Matrices

Raven progressive Matrices (sering disebut sebagai Raven Matriks) atau RPM adalah tes kelompok nonverbal biasanya digunakan dalam pengaturan pendidikan. Tes ini merupakan tes yang paling popular dan paling umum, diberikan kepada kelompok anak dari 5 tahun sampai orangtua. Berdasarkan teori dari Sperman yang disebut dengan teori dua faktor yang terdiri dari dua kemampuan mental yaitu inteligensi umum “General Factor = faktor g” dan kemampuan spesifik “Special Factor = faktor s”. menurut Sperman bahwa kemampuan seseorang bertindak dalam setiap situasi sangat bergantung pada kemampuan umum dan kemampuan khusus. Dari teori tersebut, J.C. Raven dari Inggris menciptakan tes “PM” guna mengukur inteligensi umum (Nur’eini, 2012). Pada soal tes PM terdiri dari set matriks atau susunan bagian dari desain. Pada setiap persoalan terdapat suatu bagian yang dihilangkan pada ujung kanan bawah dari desain tersebut. Tugas subjek adalah memilih dari sejumlah alternative jawaban yang tersedia yang cocok untuk mengisi bagian yang hilang. Soal yang mudah hanya menuntut ketepatan dalam diskriminasi. Sedangkan soal yang lebih sulit melibatkan kemampuan analogi, pergantian pola serta hubungan logis (Nur’eini, 2012).

Berdasarkan perkembangan tes PM, tes ini memiliki tiga bentuk tes yang berbeda derajat kesulitannya sehingga dapat digunakan bagi bermacam populasi subjek. Tiga jenis tersebut adalah :

(23)

A. Coloured Progressive Matrices (CPM)

Coloured Progressive Matrices merupakan salah satu contoh bentuk skala inteligensi yang disusun oleh J.C.Raven, dan dapat diberikan secara individual maupun kelompok. CPM merupakan tes yang bersifat non verbal, materi soal-soal yang diberikan tidak dalam bentuk tulisan atau bacaan, melainkan dengan metode gambar-gambar yang berupa figure dan desain abstrak, sehingga dihadapkan tidak tercemari oleh faktor budaya (Azwar, 2008).

Tes ini mengukur kemampuan anak usia antara 5 sampai 11 tahun. Di samping itu tes ini dapat dipakai untuk anak-anak yang tergolong devective atau pada yang lanjut usia (Nur’eini, 2012).

Soal yang mudah menuntut ketepatan dalam diskriminasi, sedangkan soal yang lebih sulit melibatkan kemampuan analogi pergantian pola serta hubungan logis. Tes CPM berbentuk buku soal yang terdiri dari 36 soal dalam 3 set, yaitu A, Ab, dan B. Menurut Raven yang dikutip oleh Nur’eini (2012), bahwa tes CPM di maksudkan untuk mengungkap aspek: (a) berpikir logis, (b) kecakapan pengamatan ruang, (c) kemampuan untuk mencari dan mengerti hubungan antara keseluruhan dan bagian-bagian, jadi termasuk kemampuan analisis dan kemampuan integrasi, (d) kemampuan berpikir secara analogi.

B. Standart Progressive Matrices (SPM)

Tes ini digunakan untuk umum, terdiri dari 60 soal dalam 5 set, yaitu A, B, C, D dan E, kemudian masing-masing set terdiri atas 12 butir soal. Butir-butir soal tersebut disusun dari yang termudah sampai yang tersulit (Nur’eini, 2012).

(24)

CPM dan SPM menyatakan hasilnya dalam tingkat atau level intelektualitas dalam beberapa kategori, menurut besarnya skor dan usia subjek yang di tes, yaitu:

a) Grade I : kapasitas intelektual superior

b) Grade II : kapasitas intelektual di atas rata-rata c) Grade III : kapasitas intelektual rata-rata

d) Grade IV : kapasitas intektual di bawah rata-rata e) Grade V : kapasitas intelektual terhambat.

Dalam penelitian ini, tes IQ yang digunakan adalah tes Coloured Progressive Matrices (CPM) dan Standart Progressive Matrices (SPM). Alat tes yang digunakan disesuaikan dengan usia peserta. Pada penelitian ini, CPM digunakan untuk tes IQ anak sekolah dasar kelas 1 dan 2, sedangkan SPM untuk kelas 3 sampai 6. Keunggulan menggunakan tes ini yaitu tes ini digunakan untuk mengukur kemampuan dalam hal pengertian dan melihat hubungan bagian-bagian gambar yang disajikan serta mengembangkan pola berpikir yang sistematis dan mengungkap kemampuan intelektual (inteligensi umum) individu. Tes ini dianggap sebagai culture fair test (adil untuk semua budaya) karena mampu meminimalkan pengaruh budaya tertentu. Pengolahan dan analisis hasil pengukurannya juga relatif mudah. Tes IQ dilaksanakan oleh psikolog (Nur’eini, 2012).

Menurut Anastasi yang dikutip oleh Ardi (2016), bahwa beberapa penelitian telah dilakukan di luar negeri dan diperoleh koefisien realibilitas SPM dengan retest berkisar antara 0,7 dan 0,9 sedangkan korelasi dengan tes inteligensi

(25)

verbal maupun performace koefisiennya berkisar antara 0,4 dan 0,75. Validitas yang cukup tinggi dari korelasi tes SPM dengan tes yang dibuat Terman dan Merril serta SPM dengan WISC. Penelitian lain yang menggunakan alat tes IQ yang sama yaitu Nova (2011) menggunakan alat tes CPM dan SPM pada penelitiannya untuk melihat perbedaan tingkat kecerdasan intelektual pada anak usia sekolah dasar dengan riwayat BBLR dan BBLC.

Coloured Progressive Matrices (CPM) dan Standart Progressive Matrices (SPM) akan menghasilkan tingkatan intelektualitas sehingga untuk mendapatkan skor IQ individual dan taraf IQ, dibutuhkan bantuan lembaga konsultan psikolog dalam mengkonversikan skor mentah dalam persentil, kemudian ke dalam IQ yang menggunakan tabel equivalensi. Setelah IQ masing-masing siswa diperoleh, maka IQ harus dicocokkan dengan klasifikasi tertentu untuk mengetahui taraf IQ siswa. Pada penelitian ini, peneliti mendapatkan bantuan dari Biro Konsultasi Psikologi yaitu Elviati Achmad Psi.

2.4 Keterkaitan Berat Lahir dengan Tingkat Kecerdasan (Intelligence Quotient - IQ) Anak

Gizi merupakan salah satu penentu kualitas Sumber Daya Manusia, di antaranya kualitas kecerdasan anak. Kecerdasan berkaitan dengan kualitas otak. Untuk mendapatkan kualitas otak yang maksimal dibutuhkan keadaan gizi yang baik. Gizi yang cukup dan memenuhi kebutuhan merupakan determinan utama dalam pertumbuhan dan perkembangan otak dari sejak dalam kandungan sampai fase tersebut selesai. Salah satu perkembangan otak dimulai dari masa perinatal (kehamilan). Salah satu perinatal yang menjadi resiko terjadinya gangguan

(26)

perkembangan adalah Berat Bayi Lahir Rendah (BBLR) (Sutiari dan Wulandari, 2012).

World health Organization (WHO) sejak tahun 1961 menyatakan bahwa semua bayi baru lahir yang berat badannya kurang atau sama dengan 2.500 gram disebut low birth weight infant. Salah satu penyebab terjadinya BBLR adalah kekurangan gizi pada saat kehamilan (Asiyah, 2014).

Kehamilan menyebabakan meningkatnya metabolisme energi, karena itu kebutuhan energi dan zat gizi lainnya meningkat selama kehamilan. Peningkatan energi dan zat gizi tersebut diperlukan untuk pertumbuhan dan perkembangan janin, pertambahan besar organ kandungan, perubahan komposisi dan metabolisme tubuh ibu (Prawirohardjo, 2005).

Kekurangan zat gizi tertentu yang diperlukan saat hamil dapat menyebabkan janin tumbuh tidak sempurna salah satunya pada pertumbuhan dan perkembangan otak. Gizi ibu yang buruk akan merusak otak bayi. Menurut Puspita (2012) yang mengutip hasil penelitian Ludington dan golant, dapat disimpulkan bahwa jika gizi ibu buruk maka otak bayi akan kekurangan DNA, kecenderungan genetiknya, ukuran dan berat normal kurang, mielinasi berkurang dan dendrit membentuk percabangan yang sedikit dari normal.

Menurut Santrock yang dikutip oleh Ernawati dkk (2014) bahwa gizi yang baik sangat penting untuk pertumbuhan sel-sel otak, terutama pada saat hamil dan juga pada waktu bayi, di mana sel-sel otak sedang tumbuh dengan pesatnya. Kekurangan gizi pada saat pertumbuhan, bisa berakibat berkurangnya jumlah

(27)

sel-sel otak dari jumlah yang normal. Hal ini tentu saja akan mempengaruhi kerja otak tersebut di kemudian hari.

Otak manusia memiliki struktur yang sangat kompleks dan memiliki kemampuan yang luar biasa. Otak terdiri dari neuron-neuron dan penghubung yang disebut sinapsis. Neuron bekerja berdasarkan impuls/sinyal yang diberikan pada neuron. Neuron meneruskannya pada neuron lain. Diperkirakan manusia memiliki 1012 neuron dan 6 x 1018 sinapsis. Dengan jumlah yang begitu banyak, otak mampu mengenali pola, melakukan perhitungan dan mengontrol organ-organ tubuh dengan kecepatan yang lebih tinggi dibandingkan komputer digital (Rochman, 2009).

Pada waktu lahir, otak mempunyai struktur yang menakjubkan karena kemampuannya membentuk sendiri aturan-aturan/pola berdasarkan pengalaman yang diterima. Jumlah dan kemampuan neuron berkembang seiring dengan pertumbuhan fisik manusia, terutama pada umur 0-2 tahun. Pada 2 tahun pertama umur manusia, terbentuk 1 juta sinapsis per detiknya, sebagaimana pada gambar dibawah ini: (Santrock, 2002).

Gambar 2.2 Pertumbuhan Sinapsis (Santrock, 2002)

Pada bayi berat lahir rendah, biasanya memiliki fungsi sistem organ yang belum matur seperti pada pembentukan sel-sel otak yang disebut dengan neuron.

(28)

100 milyar neuron telah dimiliki oleh seorang bayi ketika lahir ke dunia. Setiap neuron akan dihubungkan satu dengan yang lainnya yang disebut dengan sinapsis (Santrock, 2002).

Setelah bayi lahir pembentukan sinapsis meningkat secara dramatis. Akan tetapi, jika bayi dengan BBLR pembentukan sinapsis akan mengalami gangguan pertumbuhan. Hal ini disebabkan bayi sudah mengalami defisiensi zat gizi makro di dalam kandungan untuk proses perkembangan otak. Salah satunya adalah protein. Protein merupakan salah satu sumber zat gizi makro yang berkontribusi besar pada fungsi otak. Defisiensi zat gizi makro berpengaruh terhadap perkembangan otak yaitu mengakibatkan hipomielinisasi dan lebih jauh lagi mengurangi hantaran zat gizi dan migrasi neuron yang abnormal selama periode awal perkembangan otak. Pembentukkan myelin yang terganggu akan mengakibatkan sedikitnya bagian saraf yang tumbuh dan berdampak pada kualitas kemampuan otak dalam menyerap dan mengolah informasi (Georgieff, 2006).

Menurut Ernawati dkk (2014) yang mengutip hasil penelitian Luize, dapat disimpulkan bahwa bayi yang mengalami kekurangan energi dan protein berat memiliki bobot otak 15-20% lebih ringan dibandingkan bayi normal. Defisiensi bisa mencapai 40% bila berlangsung sejak janin. Bobot otak yang ringan berarti otak memiliki jumlah neuron yang sedikit dan ukuran neuron yang kecil sebagai elemen penting pada penyusun sistem saraf pusat dan dapat mengganggu pembentukan sinapsis.

Tidak ada yang lebih utama untuk meraih kesuksesan hidup dari pada fungsi otak yang optimal. Kita dapat mengoptimalkan fungsi saraf dalam otak melalui

(29)

kecukupan zat gizi dan melalui aktivitas mental dan fisik. Proses pertumbuhan otak akan melambat setelah melewati periode emas yaitu umur 0-2 tahun, akan tetapi setelah masa tersebut tidak kalah pentingnya. Dengan asupan gizi dan energi yang seimbang, otak akan menerima rangsangan yang baik untuk terus bekerja secara optimal (Soetjiningsih, 2012).

Kekurangan gizi pada kehamilan dapat mempengaruhi proses pertumbuhan janin dan dapat menimbulkan keguguran, abortus, kematian neonatal, cacat bawaan, anemia pada bayi lahir dengan berat badan lahir rendah (Depkes RI, 2010). Menurut Proverawati dan Ismawati (2010), bahwa bayi yang lahir dengan berat badan dibawah normal mempunyai pola pertumbuhan yang lebih rendah dibandingkan dengan anak yang lahir berat badan normal.

Menurut Nova (2011) kondisi BBLR akan sangat berpengaruh terhadap perkembangan kesehatan anak selanjutnya. Selain kekurangan gizi, bayi yang baru lahir tersebut juga akan mengalami kemunduran perkembangan otak. Hal ini akan berakibat terjadinya penurunan kemampuan belajar dan kemampuan akademik pada usia yang lebih lanjut. Sebuah studi mencatat bahwa BBLR menurunkan skor IQ sampai 5 poin (Syafiq, 2007).

Menurut Oktarina (2012), berdasarkan penelitian di Amerika dan Inggris, berat badan mempengaruhi IQ atau intelegensi (British med journal). Hal ini berlaku untuk bayi dengan BBLR maupun normal, peningkatan berat badan berbanding lurus dengan peningkatan IQ. Penelitian yang mendukung hal tersebut yaitu Matte, New York Academy of Med bahwa hasil penelitian menunjukkan terdapat perbedaan lebih jelas pada anak laki-laki kenaikan 1 kg berat badan

(30)

meningkatkan skor IQ sampai 4,6 sedangkan pada anak perempuan, peningkatan kenaikan 1 kg berat badan meningkatkan skor IQ sampai 2,8. Kemudian, menurut Hanid yang dikutip oleh Agustini (2013), bahwa penelitian yang dilakukan di Malaysia menunjukkan hubungan yang signifikan antara berat badan lahir dengan kemampuan kognitif anak.

Menurut Kurniasih (2015), kekurangan gizi pada anak terutama pada usia 6-7 tahun bisa menurunkan tingkat kecerdasan anak, karena aktivitas dan kreativitas anak menjadi menurun dan cenderung malas. Kejadian BBLR di Indonesia masih perlu dicermati bersama. Karena bayi berat lahir rendah dan berat lahir lebih dapat mengalami gangguan mental dan fisik pada usia tumbuh kembang selanjutnya.

2.5 Keterkaitan Status Gizi dengan Tingkat Kecerdasan (Intelligence Quotient-IQ) Anak

Pertumbuhan anak umur antara satu tahun sampai pra-remaja sering disebut sebagai masa laten atau tenang. Walaupun pada masa ini pertumbuhan fisiknya lambat, tetapi merupakan masa untuk perkembangan sosial, kognitif, dan emosional. Anak usia sekolah mempunyai aktivitas yang lebih banyak sehingga membutuhkan energi dan asupan zat gizi yang lebih banyak pula. Di samping itu, sistem penyimpanan glikogen di otot pada anak sangat sedikit, mengakibatkan terbatasnya persediaan asam amino untuk glikoneogenesis. Hal ini dapat berdampak pada keadaan anak yang menjadi tidak bersemangat, lemah, dan lesu (Soetjiningsih, 2012).

(31)

Anak membutuhkan nutrisi lebih banyak untuk pertumbuhan tulang, gigi, otot, dan darah. Ditambah lagi dengan berbagai masalah yang menyertai pertumbuhannya, seperti anak mulai memilih-milih makanan sesuai keinginannya, atau pengaruh teman dan iklan di media massa. Anak memiliki risiko malnutrisi apabila kebutuhan nutrisi yang menunjang proses tumbuh kembangnya tidak tercukupi dengan baik (Devi, 2012).

Menurut Indrawati dkk (2013) yang mengutip pendapat Behrman dkk, bahwa pertumbuhan dan perkembangan seseorang selalu dikaitkan dengan kondisi status gizi setiap individu. Semakin baik status gizi anak, maka akan lebih baik pula proses tumbuh kembang anak tersebut. Kandungan gizi yang didapatkan dari konsumsi makanan sehari-hari, tentu sangat berpengaruh terhadap hasil dari makanan tersebut. Apalagi jika didukung dengan status ekonomi keluarga yang baik, maka akan memiliki peluang yang lebih baik pula untuk mendapatkan makanan cukup gizi, sehingga kecukupan gizi anak dapat terpenuhi. Namun demikian, pada dasarnya kebutuhan nutrisi individu bervariasi sesuai dengan perbedaan genetik dan metabolik. Kondisi nutrisi yang baik akan membantu mencegah penyakit kronis dan sangat berperan dalam pengembangan fisik dan mental anak.

Menurut Devi (2012), pemenuhan gizi yang baik pada masa usia sekolah dasar sangat berperan dalam pencapaian pertumbuhan badan yang optimal, termasuk di dalamnya pertumbuhan otak anak. Pada usia sekolah, beban anak untuk pemenuhan gizinya dua kali lipat dibandingkan pada usia dewasa, karena pada usia sekolah adanya peningkatan aktivitas anak. Asupan zat gizi di dapatkan

(32)

dengan mengkonsumsi makanan yang memenuhi kecukupan energi dan semua zat gizi yang meliputi karbohidrat, protein, vitamin, mineral, dan lemak.

Pengaruh makanan terhadap perkembangan otak, apabila makanan tidak cukup mengandung zat-zat gizi yang dibutuhkan, dan keadaan ini berlangsung lama, akan menyebabkan perubahan metabolisme dalam otak, berakibat terjadi ketidakmampuan berfungsi normal. Pada keadaan yang lebih berat dan kronis, kekurangan gizi menyebabkan pertumbuhan badan terganggu, badan lebih kecil diikuti dengan ukuran otak yang juga kecil. Jumlah sel dalam otak berkurang dan terjadi ketidakmatangan dan ketidaksempurnaan organisasi biokimia (neurotransmitter) dalam otak. Keadaan ini berpengaruh terhadap perkembangan kecerdasan anak (Pamularsih, 2009).

Menurut Pamularsih yang dikutip oleh Indrawati dkk (2013), kualitas perkembangan otak manusia tergantung pada interaksi antara potensi genetik dan faktor-faktor lingkungan seperti asupan gizi, stimulasi dan sikap orangtua. Sel-sel otak lebih sensitif terhadap zat gizi dari pada sel-sel tubuh yang lain. Zat gizi yang berperan terhadap pertumbuhan dan perkembangan otak yaitu, karbohidrat, protein, lemak, DHA (Asam dokosaheksaenoat), AA (Asam arakidonat), zat besi, seng (Zn), vitamin dan mineral.

Menurut Santrock (2011), otak adalah organ fisik yang sangat berharga, pusat segala eksistensi kita seperti inteligen, kepribadian, emosional, akal, spiritual dan jiwa. Tidak ada yang lebih utama untuk meraih kesuksesan hidup dari pada fungsi otak yang optimal. Kita dapat mengoptimalkan fungsi saraf dalam otak melalui kecukupan zat gizi dan melalui aktivitas mental dan fisik.

(33)

Dengan asupan zat gizi dan energi yang seimbang, otak akan menerima rangsangan yang baik untuk terus bekerja secara optimal, terutama untuk mengolah semua informasi yang diperoleh saat beraktivitas.

Otak merupakan organ yang dipakai berpikir dan pusat penerimaan rangsangan dari luar, di mana aktivitas ini memerlukan zat gizi dalam jumlah yang besar. Otak merupakan organ yang membutuhkan sumber bahan bakar glukosa (monosakarida) dan secara proporsional mengkonsumsi energi terbesar dibandingkan dengan organ tubuh lainnya. Menurut singh yang dikutip oleh Ardi (2016) terdapat lebih dari 100 milyar jaringan saraf dalam otak yang integritasnya tergantung pada asupan zat gizi yang cukup dan juga aktivitas mental dan fisik.

Menurut Georgieff , yang dikutip oleh Ardi (2016), menyatakan bahwa defisiensi berbagai zat gizi terutama zat gizi makro akan mempengaruhi neuroanatomi, neurokimia dan neurofisiologi dari perkembangan otak. Tergantung pada waktu dan lamanya defisiensi, akan mengurangi jumlah dan ukuran neuron serta pembentukan sinapsis.

Sinapsis yang terbentuk bertriliun-triliun sambungan antar neuron. Banyaknya sambungan mempengaruhi kemampuan otak. Kegiatan otak dipengaruhi dan tergantung pada kegiatan neuron sambungan antar neuron. Pemantapan sambungan terjadi apabila neuron mendapat informasi yang menghasilkan sinyal-sinyal listrik yang dapat merangsang bertambahnya myelin. Semakin banyak myelin yang diproduksi, semakin banyak bagian syaraf yang tumbuh, makin banyak sinapsis yang terbentuk akan merangsang pertumbuhan neuron yang membentuk unit. Kualitas kemampuan otak dalam menyerap dan

(34)

mengolah informasi tergantung dari banyaknya neuron yang membentuk unit (Santrock, 2002).

Hal ini menunjukkan bahwa, faktor gizi adalah faktor esensial bagi pertumbuhan dan perkembangan otak. Kurang gizi pada ibu hamil dan bayi mempengaruhi perkembangan otak bayi tersebut. Studi mencatat bahwa stunting menurunkan skor IQ 5-10 poin (Syafiq, 2007).

Menurut Karsin yang dikutip oleh Indrawati dkk (2013), bahwa anak yang mengalami Kurang Energi Protein (KEP) mempunyai skor IQ lebih rendah 10-13 skor dibandingkan anak yang tidak KEP. Protein merupakan salah satu sumber zat gizi makro (makronutrien) yang berkontribusi besar pada fungsi otak seperti yang dinyatakan oleh Boeree yang dikutip oleh Ardi (2016), bahwa asam amino esensial diperlukan untuk mengatur pembentukan neurotransmiter di otak. Selain KEP, malnutrisi pada anak-anak dapat dipengaruhi oleh kekurangan mikronutrien (zat besi, yodium, seng, dan vitamin A), yang juga memiliki pengaruh buruk pada pertumbuhan. Penelitian lain yaitu Liu et.al (2004) di Mauritius menemukan bahwa anak dengan kurang gizi pada umur 3 tahun memiliki rerata skor IQ pada umur 11 tahun lebih rendah daripada anak dengan gizi baik.

Status gizi anak penting untuk kelangsungan hidup dan kesehatan. Menurut Almatsier (2010) status gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat gizi yang dibedakan antara status gizi kurang, baik dan lebih.

Pada periode anak, permasalahan yang banyak muncul bukan hanya gizi kurang akan tertapi keadaan gizi lebih yang menjadi masalah baru dalam masalah

(35)

kesehatan pada anak. Gizi lebih dikelompokkan atas 2 yaitu keadaan gemuk dan obesitas. Gemuk dan obesitas berpotensi mengalami berbagai gangguan sistem tubuh, baik kardiovaskuler, pernafasan, endokrin, neurologi, integumen, sistem imunitas, serta gangguan psikologis dan gangguan perkembangan (Budiyati, 2011).

Anak-anak dengan kegemukan atau kelebihan berat badan juga dapat mengalami kesulitan bergerak dan terganggu pertumbuhannya karena timbunan lemak yang berlebihan pada organ-organ tubuh yang seharusnya berkembang. Belum lagi efek psikologis yang dialami anak, misalnya ejekan dari teman-teman sekelas pada anak-anak yang telah bersekolah. Menurut Sartika (2011), obesitas atau kegemukan pada anak terutama pada usia 6-7 tahun bisa menurunkan tingkat kecerdasan anak, karena aktivitas dan kreativitas anak menjadi menurun dan cenderung malas.

Menurut Cohen yang dikutip oleh Sa’adah (2014), bahwa kejadian obesitas berkaitan erat dengan fungsi kognitif secara umum dan kemampuan mengingat. Mekanisme yang mendasari hubungan antara obesitas dengan fungsi kognitif belum diketahui secara pasti dan kemungkinan besar melibatkan banyak etiologi yang saling berinteraksi satu sama lain. Namun demikian, diduga terdapat peranan dari mekanisme vaskular dan metabolik yang memperbesar terjadinya penuaan otak dini (premature brain aging).

Menurut Santrock (2011), pertumbuhan dan perkembangan otak 50% lebih banyak pada periode tiga tahun masa kehidupan, 30% pada usia sampai 6 tahun dan setelah masa periode tersebut otak hanya sedikit mengalami perubahan

(36)

akan tetapi penting agar tidak banyak terjadi kerusakan sel otak yang lebih banyak. Pada umur 2 tahun, otak memiliki ukuran 80% orang dewasa. Setelah usia tersebut, neuron tidak lagi terbentuk hanya sel-sel otak lain seperti glia dan sambungan neuron baru yang akan tubuh, kira-kira 1000 trilliun sambungan pada umur 3 tahun. Perkembangan neuron di otak dipengaruhi oleh gen dan lingkungan termasuk zat gizi, stimulasi dan pengalaman.

Menurut Hurlock (2008) walaupun banyak neuron-neuron yang diciptakan melebihi dari yang anak butuhkan, tetapi hanya neuron-neuron yang dirangsang saja yang memberikan kesempatan belajar di kemudian hari. Neuron-neuron yang tidak dirangsang akan dilenyapkan melalui proses alamiah dan proses tersebut dikenal sebagai “pemangkasan neuron”. Pemangkasan sambungan-sambungan yang tidak digunakan dan diperlukan ini memungkinkan jalan yang sudah dirangsang untuk tumbuh dan membuat hubungan yang lebih rumit. Dalam kata lain, neuron-neuron yang tidak dirangsang selama periode waktu kritis tertentu akan hilang atau diubah. Sehingga, perlu sekali memahami jendela peluang atau kesempatan yang ada secara alamiah agar dapat merangsang dan mendukung hubungan otak yang berguna untuk pembelajaran sepanjang hayat.

Gambar 2.3 Jendela Kesempatan Atau Jendela Peluang Dalam Perkembangan Otak Anak. ( Santrock, 2008)

(37)

Masa-masa awal perkembangan merupakan masa-masa penting untuk perkembangan otak, tetapi tidak kalah pentingnya masa-masa sesudahnya. Kualitas perkembangan otak akan mempengaruhi inteligensi anak. Dalam dunia pendidikan dan pengajaran, masalah inteligensi merupakan salah satu masalah pokok. Peranan inteligensi dalam proses pendidikan penting menentukan dalam hal berhasil dan tidaknya seseorang dalam hal belajar, terlebih-lebih pada waktu anak masih sangat muda, inteligensi sangat besar pengaruhnya (Papalia, 2008).

Menurut Theo dan Martin yang dikutip oleh Yusuf dan Syamsu (2011), bahwa pembelajaran berkaitan erat dengan perkembangan kognitif. Hasil-hasil studi dibidang neurologi bahwa perkembangan kognitif anak telah mencapai 80% ketika anak berusia 8 tahun.

Perkembangan kognitif yang terletak pada perubahan-perubahan yang terjadi dalam hubungan di antara neuron yaitu sinapsis. Pembelajaran melibatkan penguatan sinapsis yang telah ada atau pembentukan sinapsis baru. Setiap pembelajaran akan menghadirkan pengalaman yang akan “menyalakan” beberapa sirkuit neuron atau membiarkannya. Sirkuit neuron yang dinyalakan dari waktu kewaktu akan membesar dan menguat, sedangkan yang tidak digunakan akan mengecil kemudian putus (pruning) (Santrock, 2011).

Pembentukan sinapsis baru diperoleh dengan memperhatikan asupan zat gizi yang kita makan. Pada anak usia sekolah, dengan adanya kegiatan belajar dan berfikir, pemenuhan kebutuhan zat gizi penting untuk pembentukan sinapsis yang lebih banyak dan penguatan sinapsis. Peran sinapsis pada neuron dapat

(38)

perkembangan intelegensi anak mengalami keterlambatan akibat status gizi di masa lalunya, jika dilakukan penanganan yang baik dan tepat yaitu dengan melibatkan semua sektor dan ahli, maka akan memberikan dampak yang lebih baik daripada hanya dengan intervensi gizi saja.

Proses pembentukan sinapsis dalam jumlah sangat besar dan pemangkasan sinapsis dapat terjadi dalam 2 bentuk. Proses pertama disebut sebagai “pengalaman-harapan”, karena sinapsis dibentuk secara berlebihan pada bagian-bagian otak itu menunggu stimulasi untuk diaktifkan. Stimulasi agar tetap bertahan adalah melalui stimulasi visual dan auditori (penglihatan dan pendengaran). Proses pembentukan sinapsis kedua disebut “bergantung pengalaman”. Disebut demikian karena sinapsis dapat pula terbentuk ketika seseorang belajar sesuatu dan sukses memproses informasi tersebut di otaknya. Sinapsis akan terbentuk dibagian otak yang bersesuaian dengan fungsi dimana informasi itu diolah. Proses pembentukan sinapsis kedua ini sangat penting artinya di dalam pendidikan. Seseorang yang banyak belajar tentunya akan mempunyai lebih banyak sinapsis dibandingkan dengan orang yang tidak belajar (mengolah informasi di otaknya) (Robert, 2011).

Perkembangan sinapsis anak terjadi akibat respon terhadap pengalaman anak. Beberapa sinapsis akan menjadi semakin kuat terbentuk namun banyak sinapsis akan menghilang perlahan selama masa pertumbuhan anak pada masa remaja biasanya tinggal separuh saja sinapsis yang tetap ada. Ketika ada stimulasi, maka otak akan membentuk jalur merespon stimulasi tersebut. Seperti ketika seseorang yang mengajak anak untuk menghafal perkalian, semakin sering anak

(39)

diajak untuk terus mengulang hafalan maka kemampuan anak akan semakin berkembang. Akibatnya banyak jalur sinapsis yang terbentuk kuat. Jika jarang untuk diulang maka jalur sinapsis yang terbentuk akan menghilang karena hanya dengan stimulasi lingkungan berulang sinapsis akan terbentuk kuat (Safwan, 2008).

Kerusakan sel-sel otak pada periode kritis pertumbuhan dan perkembangan otak anak dapat dipulihkan. Perlu untuk dipahami bahwa struktur dan fungsi otak adalah fleksibel terkait dengan berbagai sistem tubuh dan lingkungan. Adalah benar, sel-sel otak yang mengalami kematian tidak bisa sembuh kembali, tetapi masih ada kemungkinan ruang dan waktu bahwa fungsi otak yang hilang akibat kerusakan tersebut diambil alih oleh bagian otak yang lain dengan cara atau mekanisme plastisitas. Mekanisme ini merupakan mekanisme kompleks yang melibatkan: perubahan kimia saraf, kelistrikan saraf, penerimaan saraf, perubahan struktur neuron saraf, reorganisasi otak, dll (Ayriza, 2010).

Menurut Heryati (2008), plastisitas adalah kemampuan sistem saraf pusat (otak) untuk beradaptasi atau berubah setelah ada pengaruh atau stimulasi lingkungan. Berdasarkan konsep plastisitas, maka kerusakan pada otak dimungkinkan untuk terjadi proses recovery (pemulihan). Plastisitas pada otak merupakan kapasitas dari sistem saraf pusat untuk beradaptasi dan memodifikasi organisasi struktural & fungsional terhadap kebutuhan, yang bisa berlangsung terus sesuai kebutuhan dan atau stimulasi.

Otak yang normal akan berkembang sesuai dengan kebutuhan (apabila dibutuhkan atau digunakan, maka otak akan berkembang dan sebaliknya).

(40)

Pengaturan fungsi tertentu pada otak terdapat pada beberapa tingkat atau area, sehingga bila ada satu rusak, masih ada yang mengatur fungsi yang rusak. Daerah yang tidak memiliki fungsi khusus pada otak dapat belajar atau mengambil alih fungsi dari daerah yang mengalami kerusakan. Hal ini merupakan dasar tentang struktur dan fungsi pada otak terkait dengan plastisitas (Heryati, 2008).

Pemberian stimulasi untuk merangsang perkembangan anak sangat bermanfaat untuk merangsang perkembangan syaraf-syaraf anak. Hal ini berkaitan dengan struktur dan fungsi otak yaitu fleksibel terkait dengan berbagai sistem tubuh dan lingkungan. Salah satu fungsi plastisitas (pemulihan) otak adalah peningkatan sensitivitas hubungan saraf (Denervation supersensitivity) dan pengefektifan sinapsis laten (Silent synapsis recruitment) (Eillen dan Marotz, 2010).

Menurut Robert (2011), ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi pemulihan pada otak yaitu pengalaman, pemakaian (latihan motorik) dan lingkungan. Adanya pemulihan otak dengan latihan motorik akan menghasilkan perubahan fungsional di dalam otak. Otak manusia terbukti sangat adaptif dan plastis serta dapat mengadakan perubahan struktural dan fungsional apabila diberikan stimulasi lingkungan. Stimulasi lingkungan berupa stimulasi sensoris diterima oleh individu sebagai sebuah pengalaman dan respon tindakan. Hal ini telah dibuktikan pada penelitian Mendez dan Adair yang dikutip oleh Ardi (2016), dimana semakin tinggi kelas anak yang berarti semakin lama anak mendapatkan stimulasi dari sekolah perbedaan kecerdasan anak antara anak gizi buruk dan anak normal semakin kecil.

(41)

Informasi yang masuk dan diterima otak melalui memori jangka pendek hanya merupakan fenomena biolistrik yang berlangsung beberapa menit sampai beberapa jam. Keberhasilan pembelajaran terjadi bila informasi ditransfer ke memori jangka panjang dapat diingat lebih lama, malahan seumur hidup. Proses transfer informasi itu dapat melalui strategi latihan, ulangan, perhatian & asosiasi. Memori jangka panjang terjadi perubahan struktrur otak dengan aktivitas gen, pembentukan protein baru dan pertumbuhan cabang-cabang sel neuron. Otak bisa dianalogikan dengan otot, dimana semakin diaktifkan semakin baik hasil yang diperoleh (Safwan, 2008).

Menurut Heryati (2008), anak yang mengalami gangguan pertumbuhan fisik dan gangguan perkembangan otak dengan adanya sistem plastisitas otak akan memulihkan fungsi otak yang sudah mengalami gangguan. Ada beberapa faktor yang dapat menunjang terjadinya pemulihan otak yaitu stimulasi lingkungan, stimulasi yang sering, durasi yang tepat pada stimulasi dan konsistensi. Dengan memperhatikan faktor yang menunjang terjadinya plastisitas maka dapat memperbaiki kualitas perkembangan otak anak termasuk kecerdasan anak. Hal ini sangat penting artinya di dalam pendidikan. Seseorang yang banyak belajar tentunya akan mempunyai lebih banyak sinapsis dibandingkan dengan orang yang tidak belajar. Maka perlu untuk diperhatikan kembali status gizi anak usia sekolah untuk mendukung proses plastisitas.

Menurut Santrock yang dikutip oleh Indrawati dkk (2013) bahwa kecerdasan merupakan satu dari empat faktor internal prestasi belajar seseorang. Kecerdasan memiliki peran yang cukup penting dalam proses belajar dan

(42)

menentukan keberhasilan proses belajar itu sendiri. Siswa yang memiliki kecerdasan normal atau di atas normal akan dengan mudah memahami materi pelajaran, maka siswa tersebut sangat berpotensi mendapatkan prestasi belajar yang bagus.

2.6Kerangka Konsep Penelitian

Kerangka konsep kaitan antara berat lahir dan status gizi dengan tingkat kecerdasan intelektual (IQ), dapat dilihat pada gambar berikut :

Gambar 2.4 Kerangka Konsep Penelitian

Bagan di atas menunjukkan kaitan antara berat lahir dan status gizi dengan tingkat kecerdasan intelektual anak. Berat lahir berkaitan dengan gizi yang cukup untuk kebutuhan pertumbuhan dan perkembangan otak selama dalam kandungan. Bayi yang kekurangan zat gizi selama dalam kandungan akan mempengaruhi berat otak, yaitu 15-20% lebih ringan dibandingkan bayi berat normal. Berat otak yang ringan berarti otak memiliki gangguan pertumbuhan dan perkembangan otak baik jumlah dan ukuran sel-sel otak, pembentukkan sinapsis, produksi neurotransmitter yang berdampak pada gangguan fungsi pusat memori di otak, sehingga dapat mempengaruhi kecerdasan anak.

Tingkat Kecerdasan Intellektual (Intelligence Quotient – IQ) Berat Lahir Status Gizi Pendidikan Ibu

(43)

Status gizi berkaitan dengan perkembangan kecerdasan anak dilihat dari, gizi yang baik merupakan asupan zat gizi dan energi harus sesuai dengan kebutuhan tubuh untuk pertumbuhan dan perkembangan anak. Semakin baik status gizi seseorang, maka akan lebih baik pula proses tumbuh kembang anak tersebut. Termasuk perkembanga otak anak. Perkembangan kecerdasan anak dapat diukur dengan tes IQ sehingga dapat menggambarkan tingkatan kecerdasan anak.

Gambar

Gambar 2.1 Perkembangan Otak Manusia (Santrock, 2002)  Menurut  Santrock  yang  dikutip  oleh  Ernawati  dkk  (2014)  gizi  yang  baik  sangat penting untuk pertumbuhan sel-sel otak, terutama pada saat hamil dan juga  pada  waktu  bayi,  di  mana  sel-sel
Gambar 2.2 Pertumbuhan Sinapsis (Santrock, 2002)
Gambar 2.3  Jendela Kesempatan Atau Jendela Peluang Dalam  Perkembangan Otak Anak. ( Santrock, 2008)
Gambar 2.4 Kerangka Konsep Penelitian

Referensi

Dokumen terkait

Kepulauan dari perairan Indonesia menjadi satu kesatuan, sedangkan laut yang menghubungkan pulau demi pulau merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari daratnya.. Mengacu pada

Dari hasil pra survey yang dilakukan di UPT Perpustakaan Universitas Diponegoro, untuk ketersediaan sarana penyelamatan masih kurang.Dari hasil wawancara dengan

Dari hasil pengujian aktivitas antioksidan ekstrak cair kayu secang pada lama waktu perebusan 20 menit menunjukkan penurunan absorbansi yang cukup tajam, hal

Pada gambar tersebut terlihat bahwa struktur mikro hasil pengecoran aluminium skrap, unsur silikon (Si) tersebar tidak merata dan didominasi oleh aluminium (Al).

hukum. Hak menuntut ganti kerugian dan rehabilitasi. Perlindungan hukum terhadap hak-hak tersangka/terdakwa di atas merupakan upaya-upaya untuk mendukung asas praduga

penelitian ini berasal dari pimpinan dan pegawai Bank Negara Indonesia (BNI) Syariah Cabang Semarang yang terlibat dalam pengelolaan pembiayaan jual

For example, you can defi ne an abstract generic base class that is implemented with a concrete type in the derived class.. Consider the following example, where the class

Zaman ini dimulai pada abad ke-15, banyak penemuan yang mengubah pola pikir sebelumnya terutama dengan penemuan empiris yang didukung oleh alat bantu yang lebih baik.. Penemuan