• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAERAH DAN POTENSI APLIKASI KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS (Studi Kasus Kebijakan Kehutanan di Kabupaten Pelalawan)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAERAH DAN POTENSI APLIKASI KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS (Studi Kasus Kebijakan Kehutanan di Kabupaten Pelalawan)"

Copied!
117
0
0

Teks penuh

(1)

KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAERAH DAN POTENSI

APLIKASI KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS

(Studi Kasus Kebijakan Kehutanan di Kabupaten Pelalawan)

LENI ROSYLIN

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2008

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis “Kebijakan Pembangunan Daerah dan Potensi Aplikasi Kajian Lingkungan Hidup Strategis (Studi Kasus Kebijakan Kehutanan di Kabupaten Pelalawan)” adalah karya saya sendiri di bawah bimbingan Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal dan/atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Juli 2008

(3)

ABSTRACT

LENI ROSYLIN. Regional Development Policy And Potential Application of Strategic Environment Assessment (Case Study : Forest Policy at Pelalawan Regency). Supervised by : HARIADI KARTODIHARDJO and AWAL SUBANDAR.

Pelalawan Regency is a new regency in the Riau Province, and 994,299 ha or 76,94% of its jurisdiction consists of forest. The forest has been degraded quite seriously in the last few years, and one of the cause is attributed to the regional development policy adopted. As the result consideration of environmental aspect must be taken into account in policy formulation. In doing so, Strategic Environmental Analysis (SEA) becomes a potential tool as it contains a systematic and comprehensive mechanism in evaluating enviromental impacts potentially generated by policy, plan and program. The objectives of this research are as follow: (i) to understand the forest policy formulation process, (ii) to analyze the possibility of SEA application in the formulation process of forest policy sector in the Pelalawan Regency. Furthermore, the research is emphasized on regional development policy of the forest sector relating to licensing of forest resources utilization. In this context, 2 companies holding forest concession on planted forest were taken as case studies. Environmental aspect in law and regulation were identified using content analysis and stakeholder analysis techniques. From the result of content and stakeholders analysis can be disclosed that during the time the involvement socialize and environmental aspect not yet full considered in decision making process. It has been identified also problem relating to SEA application, in which reference regulating of regional development are insuffient and inconsistent. For example, discrepancies on space allocation were found among RTRWK (Regency Spatial Plan), RTRWP (Provincial Spatial Plan) and TGHK (Arrangement on Forest Area Use). Furthermore, inconsistency is also observed in the forest implementation among national, provincial and regency governments. Despite, the problem identified, SEA application is highly potential and necessary in the regional policy formulation in the Pelalawan Regency to decelarate environmental (i.e. forest) degradation.

Keywords : Strategic Environment Assessment, policy process, regional development policy, forest resources.

(4)

RINGKASAN

LENI ROSYILIN. Kebijakan Pembangunan Daerah dan Potensi Aplikasi Kajian Lingkungan Hidup Strategis (Studi Kasus Kebijakan Kehutanan di Kabupaten Pelalawan). Dibimbing oleh HARIADI KARTODIHARDJO dan AWAL SUBANDAR.

Kabupaten Pelalawan merupakan pemekaran dari Kabupaten Kampar (Propinsi Riau) melalui Undang-undang Nomor 53 Tahun 1999. Untuk mendorong kemajuan pembangunan daerah, pemerintah daerah merumuskan berbagai kebijakan berdasarkan potensi sumberdaya alam. Kabupaten Pelalawan memiliki luas 1.396.115 Ha, dengan luas daratan 1.299.264 Ha. Dari wilayah daratan tersebut, 994,299 Ha (76,94%) merupakan kawasan hutan berdasarkan rencana tata ruang wilayah (RTRW) Tahun 2001.

Dalam pelaksanaannya, kebijakan pengelolaan sumberdaya alam telah menyebabkan degradasi terhadap lingkungan khususnya hutan. Kondisi ini menjadi alasan penting untuk memulai menyadari bahwa pengelolaan yang baik dan benar harus dimulai dari kebijakan yang tepat. Dalam hal ini kebijakan pengelolaan hutan harus memperhatikan aspek lingkungan sebagai objek eksploitasi hutan dan aspek ekonomi berupa kerugian yang ditimbulkan akibat kerusakan lingkungan.

Identifikasi dampak lingkungan yang mungkin timbul dari suatu kebijakan dapat dilakukan dengan pendekatan metode Strategic Environment Assessment (SEA). SEA merupakan suatu proses yang sistematis dan komprehensif dalam evaluasi dampak lingkungan yang diperkirakan timbul dari suatu kebijakan, perencanaan atau program dan alternatif-alternatifnya, termasuk persiapan laporan secara tertulis terhadap temuan-temuan yang berguna untuk membuat keputusan publik yang bertanggung jawab (Therivel, 1996). Di Indonesia, Kementerian Lingkungan Hidup mengadopsi SEA dengan nama Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS). maka tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui proses perumusan kebijakan sektor kehutanan di Kabupaten Pelalawan dan potensi peran KLS dalam perumusan kebijakan sektor kehutanan di Kabupaten Pelalawan.

Dengan menggunakan metode content analysis dan stakeholders analysis, penelitian ini mencoba menjelaskan bagaimana proses perumusan kebijakan sektor kehutanan di Kabupaten Pelalawan secara faktual dan mengetahui permasalahan aplikasi KLHS dalam perumusan kebijakan di Kabupaten Pelalawan.

Hasil dan pembahasan memperlihatkan bahwa kebijakan yang berlaku normatif dan implementatif sudah mengintegrasikan lingkungan dalam arti, beberapa bagian sudah meyebutkan tentang pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan. Dan lebih jauh lagi menyebutkan tentang inventarisasi data dan informasi, prakiraan dampak dengan penelitian dan kajian serta monitoring dan evaluasi. Namun ternyata integrasi aspek lingkungan diakui para stakeholders hanya pada level proyek (AMDAL) dan belum memperhatikan kondisi dan kebutuhan daerah. Hal ini disebabkan adanya inkonsitensi antar peraturan perundangan dan pemahaman terhadap peraturan perundangan yang berbeda-beda. Hasil dari studi kasus dua (2) perusahaan yang memiliki Izin

(5)

Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman menunjukkan bahwa evaluasi dampak lingkungan yang dilakukan pada level proyek tidak efektif, sehingga evaluasi dampak lingkungan yang akan timbul harus dilaksanakan pada tahap perumusan kebijakan. Faktor penghambat dalam aplikasi KLHS adalah tarik ulur kewenangan tiap tingkatan pemerintah (pemerintah pusat, pemerintah propinsi dan pemerintah kabupaten). Hambatan aplikasi KLHS lainnya adalah : peraturan perundangan yang belum konsisten dan lemahnya data dan informasi serta masih terbatasnya keterlibatan stakeholders.

Aplikasi KLHS dapat berjalan baik bila peraturan perundangan yang menjadi acuan pembangunan daerah terlebih dahulu dibenahi dan disosialisasikan, didukung dengan regulasi dan optimalisasi peran dan kewenangan stakeholders serta ketersediaan data dan informasi yang baik.

(6)

©Hak cipta milik IPB, tahun 2008 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

(7)

KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAERAH DAN

POTENSI APLIKASI KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS (Studi Kasus Kebijakan Kehutanan di Kabupaten Pelalawan)

LENI ROSYLIN

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2008

(8)

Judul Tesis : Kebijakan Pembangunan Daerah dan Potensi Aplikasi Kajian Lingkungan Hidup Strategis (Studi Kasus Kebijakan Kehutanan di Kabupaten Pelalawan) Nama Mahasiswa : Leni Rosylin

N R P : P052050061

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Hariadi Kartodihardjo M.S Dr. Ir. Awal Subandar, M.Sc

K e t u a A n g g o t a

Diketahui

Ketua Program Studi

Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, M.S Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.S

(9)

PRAKATA

Bissmillahirromanirrahim,

Alhamdulillah dengan rahmat Allah SWT yang tak pernah putus, karena atas berkat rahmat dan karunia serta pertolongan-Nya, penelitian dengan judul Kebijakan Pembangunan Daerah dan Potensi Aplikasi Kajian Lingkungan Hidup Strategis (Studi Kasus Kebijakan Kehutanan di Kabupaten Pelalawan), dapat terselesaikan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proses perumusan kebijakan sektor kehutanan di Kabupaten Pelalawan dan peran KLHS dalam perumusan kebijakan sektor kehutanan di Kabupaten Pelalawan.

Penulis menyadari penelitian ini tidak akan terselesaikan tanpa adanya bantuan dari banyak pihak. Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan terima kasih kepada yang terhormat:

1) Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, MS., selaku Ketua Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan serta seluruh staf atas kemudahan yang diberikan dalam penyelesaian studi di IPB.

2) Dr. Ir. Hariadi Kartodihardjo, M.S., selaku Ketua Komisi Pembimbing yang telah memberikan arahan penelitian dan pembahasan mendalam berbagai aspek pada proses penulisan tesis.

3) Dr. Ir. Awal Subandar, M.Sc., selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah memberikan masukan dan koreksi yang mendalam terhadap hasil penelitian dan proses penulisan tesis.

4) Dr. Ir. Bramasto Nugroho, selaku Penguji Luar yang telah memberikan masukan demi penyempurnaan tesis.

5) H. T. Azmun Djafar, SH Bupati Pelalawan dan H. Ir. Bambang P Suroto, MSi. Kepala Bapedalda Kabupaten Pelalawan yang telah memberi kesempatan dan dukungan untuk mengikuti pendidikan di Program Pascasarjana IPB.

6) Jajaran staf Pemerintah Daerah Kabupaten Pelalawan (Bagian Hukum, Pemerintahan, Kepegawaian Sekretariat Kabupaten Pelalawan, Dinas

(10)

Kehutanan, Bappeda, Dinas Perkebunan dan BPS Kabupaten Pelalawan yang membantu kelancaran penelitian.

7) Kawan-kawan dari Organisasi Non-Pemerintah dan Organisasi Kemasyarakatan : Jikalahari, FKD Riau, WWF Riau, WALHI Riau, Yayasan Bangun Negeri Pelalawan, Majelis Pemuda Pelalawan, Forest Wacth Indonesia yang memberikan kesempatan pada peneliti untuk mengakses informasi seoptimal mungkin.

8) Pepen, Sandy, Ipoel, Pak Jun, Indah, V3 & Pak Subhan dan semua teman-teman PSL Angkatan 2005.

9) Pita, Reni, Uci, Bu Ai dan teman-teman LQ, Eva Rahmawati, Mba Sudiani Pratiwi, Mba Osy dan Poppy.

10) Bang Sam, Syawal, Romi, dan Iyul yang turut membantu dalam pengumpulan data.

11) Ayahanda dan Ibunda tercinta, Adinda Laksmi Savitri, Lilfadli Jamil dan Ledyani yang telah memberikan dukungan kepada penulis.

Penulis mempersembahkan tesis ini untuk suami tercinta : Ady Candra dan kedua buah hati : Nasywa Fatimah dan Muhammad Abisali Abrisam yang telah menjadi semangat bagi penulis dan rela berbagi perhatian dengan perkuliahan dan tesis selama penulis menempuh pendidikan di IPB.

Akhir kata, dengan segala kerendahan hati penulis mempersembahkan karya ini untuk pengembangan ilmu pengetahuan terutama bagi integrasi lingkungan hidup dalam perumusan kebijakan pembangunan guna tercapainya pembangunan berkelanjutan. Mohon maaf atas segala kekurangan dalam tesis ini. Sekian dan terima kasih.

Bogor, Juli 2008 Leni Rosylin

(11)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Pekanbaru, pada tanggal 5 Mei 1977 dari ayah bernama H. Mohd. Jamil. K, SH dan ibu bernama Hj. Rahima. Penulis merupakan putri sulung dari empat bersaudara.

Pada Februari 2000, penulis berhasil menyelesaikan pendidikan sarjana strata satu di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Jurusan Ilmu Kelautan, Universitas Riau yang berlokasi di Pekanbaru.

Di tahun 2000 juga, penulis diterima bekerja pada Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Kabupaten Pelalawan Propinsi Riau.

Penulis menikah dengan Ady Candra Spi, Msi pada bulan Maret 2004, dan kini memiliki dua orang putra bernama Nasywa Fatimah (3 tahun) dan Muhammad Abisali Abrisam (1 tahun).

Pada bulan Agustus 2005 penulis diterima sebagai mahasiswa program Pasca Sarjana (S2) pada program Studi Ilmu Pengetahuan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Sekolah Pascasarjana IPB.

(12)
(13)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kebijakan merupakan salah satu unsur penting suatu organisasi atau lembaga sebagai landasan untuk tindakan-tindakan nyata di lapangan. Kebijakan dapat diturunkan dalam bentuk strategi, rencana, peraturan, kesepakatan, konsensus, kode etik, program, proyek dan sebagainya. Keberhasilan kebijakan sangat ditentukan oleh proses pembuatan, pelaksanaan dan pengawasannya.

Kebijakan yang tepat diperlukan dalam melaksanakan pembangunan daerah berkelanjutan. Untuk mendukung hal tersebut ada 3 faktor lingkungan yang perlu diperhatikan, yaitu : (1) terpeliharanya proses ekologi yang essensial, (2) tersedianya sumber daya yang cukup, dan (3) lingkungan sosial-budaya dan ekonomi yang sesuai (Soemarwoto, 2004). Terpeliharanya proses ekologi yang essensial berarti terjaminnya eksistensi bumi dengan sumber daya yang cukup dan potensial untuk dapat digunakan dalam meningkatkan produktivitas kegiatan sosial-budaya dan ekonomi masyarakat secara berkelanjutan. Keberlanjutan ekonomi berarti terus berkembangnya produktivitas kegiatan ekonomi yang dicirikan oleh meningkatnya mutu kehidupan dan kesejahteraan masyarakat secara berkelanjutan.

Demi keberlanjutan ekonomi, seringkali sumber daya alam dan lingkungan dilupakan. Kebijakan pengelolaan sumber daya alam dan implikasinya menjadi isu yang serius untuk diamati karena, sejak diberlakukannya Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 yang kemudian diganti dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah laju degradasi sumber daya alam dan lingkungan semakin cepat.

Salah satu sumber daya alam yang mendapat ancaman adalah hutan, walaupun dua abad terakhir para praktisi kehutanan terus berupaya melaksanakan prinsip-prinsip kelestarian dalam pengelolaan hutan. Realitas menunjukkan bahwa maraknya penggundulan hutan (degradation of forest) akibat perambahan maupun penebangan liar menyebabkan terganggunya ekosistem hutan bahkan sampai terbentuknya suatu padang pasir (desert of forest). Keadaan ini dikhawatirkan mengancam bahkan merusak sumber daya alam tersebut. Sebagai contoh,

(14)

Subandar (2004) menyatakan fakta di Provinsi Riau luas hutan menyusut 80% dalam 2 tahun sejak diberlakukannya otonomi daerah yang mengakibatkan banjir sangat parah dengan kerugian Rp. 1,12 triliyun.

Menurut Elvida dan Sukadri (2002), prinsip pengelolaan hutan harus disesuaikan dengan karakteristik hutan tropis yang meliputi keterkaitan hulu dan hilir, keanekaragaman hayati sebagai stock product dan iptek. Pengelolaan tidak semata-mata untuk meningkatkan penerimaan daerah (termasuk PAD), tetapi dititikberatkan pada kewenangan pemerintah daerah untuk mengelola hutan dengan arif dan bijaksana. Selain peningkatan produksi/ekonomi, hutan harus dilihat sebagai penyangga kehidupan (ekosistem) yang mendukung kesejahteraan rakyat.

Kabupaten Pelalawan memiliki luas 1.396.115 ha, dengan luas daratan 1.292.264 ha, diantaranya berdasarkan rencana tata ruang wilayah (RTRW) seluas 994.299 ha (76,94%) merupakan kawasan hutan konsesi. Kawasan hutan di luar konsesi seluas 297.965 ha (23,06%) berupa Taman Nasional (TN) Tesso Nilo yang berada di Kabupaten Pelalawan seluas 36.872 ha, Suaka Margasatwa (SM) 34.938 ha yang terbagi atas SM Kerumutan seluas 18.607 ha dan sisanya merupakan SM Tasik Metas, SM Tasik Belat, SM Tasik Serkap dan SM Tasik Sarang Burung. Areal di luar konsesi lainnya adalah hutan bakau seluas 8.567 ha. Areal lain yang termasuk pada kategori di luar areal konsesi adalah lahan terbuka dan semak belukar. Adapun kondisi areal di luar konsesi ini secara umum terdiri atas areal transmigrasi, kebun karet yang menjadi milik masyarakat, semak belukar, perkebunan kelapa sawit masyarakat, hutan sekunder dan kebun masyarakat (Tabel1).

Tabel 1. Distribusi total penggunaan lahan di Kabupaten Pelalawan

No Pemanfaatan Luas (Ha) %

1. Perusahaan Perkebunan Swasta 321.353 24.87

2. IUPHHK-HT 411.865 31.87

3. IUPHHK-HA 257.881 19.96

4. Hutan Rakyat 3.200 0.25

5. Areal di Luar Konsensi 297.965 23.06

Jumlah 1.292.264 100.00

(15)

Salah satu upaya untuk memacu pertumbuhan ekonomi Kabupaten Pelalawan adalah dengan memanfaatkan sumber daya alam, berupa hutan dan pengembangan areal pertanian dan perkebunan dengan memanfaatkan areal hutan. Sejauh ini, pemanfaatan areal hutan telah dilakukan secara tidak terkendali dengan sistem tebang liar dan tanpa mengindahkan aturan tebang tanpa bakar (no burn policy) oleh pengusaha di bidang kehutanan, dan pada akhirnya menyebabkan berbagai kerusakan dan pencemaran, seperti polusi udara dan bencana banjir (Riau Pos Online, 16 Maret 2006). Selama periode Juli – Agustus 2005 di Kabupaten Pelalawan terdapat 309 titik api/hotspots (Eyes On The Forest, 2005).

Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten Pelalawan sektor kehutanan dan perkebunan tahun 2006 mencapai Rp.3,299,564.16 (40,43%) dari total keseluruhan Rp.8,160,835.18 (BPS Kabupaten Pelalawan, 2007). Setiap tahun pemerintah daerah mengupayakan agar PDRB sektor perkebunan dan kehutanan mengalami peningkatan. Kebijakan pemerintah untuk menaikkan PDRB sektor kehutanan ini bisa berdampak negatif terhadap sumber daya hutan dan lingkungan. Hal ini perlu diantisipasi karena dari hasil analisis citra satelit, diperoleh kawasan yang memiliki izin pemanfaatan berada dalam kondisi areal tumpang tindih, di luar areal konsesi dan areal pengalihan fungsi kawasan (reskoring). (Dinas Kehutanan dan PT. Tiara Kreasi Utama, 2007).

Berbagai perubahan kondisi hutan berdampak negatif terhadap kelestarian lingkungan dan hutan. Seharusnya dampak negatif akibat implementasi kebijakan sudah menjadi pertimbangan dalam perumusan kebijakan. Menurut Gillespie dan McNeill, (1992) dalam Sutton (1999), dampak paling buruk terpisahnya kebijakan dan implementasinya adalah hilangnya tanggung jawab pembuat kebijakan terhadap hasil dari implementasi kebijakan. Keterpisahan tersebut dapat membuka pintu darurat (escape hatches), yaitu pembuat kebijakan bisa mengelak dari tanggungjawabnya terhadap implementasi kebijakan yang dibuatnya.

Salah satu cara yang dapat dilakukan oleh pemerintah dalam mempertimbangkan dampak yang akan timbul akibat implementasi kebijakan adalah dengan mengembangkan pendekatan metode SEA (Strategic Environment Assessment). Metode SEA merupakan suatu proses yang sistematis dan komprehensif dalam evaluasi dampak lingkungan yang diperkirakan timbul dari

(16)

suatu kebijakan, perencanaan atau program dan alternatif-alternatifnya, termasuk persiapan laporan secara tertulis terhadap temuan-temuan yang berguna untuk membuat keputusan publik yang bertanggung jawab (Therivel and Partidario, 1996).

Kebijakan untuk menerapkan SEA telah banyak ditempuh oleh banyak negara di dunia, seperti di China untuk pembangunan berbagai sektor (Xiuzhen et al., 2002), Taiwan pada sektor pariwisata (Kuo et al., 2005) dan di Swedia pada sektor energi (Nilsson et al., 2005). IUCN/Nepal (1995) dalam Therivel and Partidario (1996) menerangkan untuk sektor kehutanan di Nepal, dimana SEA digunakan dalam menyusun OFMP (Operational Forest Management Plan) karena memprediksi dampak negatif yang menjadi konsekuensi pembangunan dapat dihindari atau diminimalisasi dengan mempertimbangkan alternatif dan memilih tindakan penanganan yang tepat dengan biaya efektif.

Di Indonesia, Kementerian Lingkungan Hidup pada tahun 2004 mengadopsi SEA dengan nama KLS (Kajian Lingkungan Strategis), namun karena persamaan istilah dengan Departemen Pertahanan yang juga punya KLS untuk maksud yang lain maka pada tahun 2007 berganti nama menjadi KLHS (Kajian Lingkungan Hidup Strategis). Sementara Badan Perencanaan Pembangunan Nasional juga mengadopsi SEA dengan nama SNREA (Strategic Natural Resources Environment Assessment). Karena baru diterapkan, tidak mengherankan bila penerapannya belum terlihat signifikan terhadap perumusan kebijakan. Padahal pendekatan yang digunakan dalam KLHS bukanlah hal baru, banyak pendekatan yang bisa dilakukan pemerintah untuk melibatkan aspek lingkungan dalam merumuskan kebijakan, seperti pendekatan Analisis Biaya dan Manfaat.

Kondisi ini menimbulkan pertanyaan mengapa perumusan kebijakan belum mengintegrasikan aspek lingkungan? Apa permasalahan aplikasi KLHS dalam perumusan kebijakan sektor kehutanan di Kabupaten Pelalawan ? Sehingga penelitian ini perlu dilakukan.

(17)

1.2. Kerangka Pemikiran

Tingkat kerusakan hutan yang tertinggi (sekitar 89 %) terjadi di hutan produksi yang dikelola oleh pemegang HPH (Kartodiardjo, 2003). Di Kabupaten Pelalawan terdapat industri pulp dan kertas yang pemenuhan bahan bakunya berasal dari hutan alam Pelalawan. Untuk memenuhi permintaan bahan baku, industri ini telah memanfaatkan jutaan hektar hutan alam untuk pemenuhan kebutuhan bahan baku dan mengkonversi hutan tersebut menjadi perkebunan akasia. Dalam dua tahun terakhir, APRIL (induk PT. Riau Andalan Pulp dan Paper) sendiri telah mengkonversi 50 ribu hutan alam di hutan gambut di Kabupaten Pelalawan dan membuat jalan untuk memasuki kawasan Semenanjung Kampar (Noor, 2006).

Terkait hal di atas, kebijakan pemerintah untuk konversi hutan atau melepas kawasan hutan menjadi kawasan non hutan (perkebunan, pertanian dan industri) harus dipertimbangkan secara bijaksana, tidak hanya memikirkan aspek ekonomi (keuntungan semata) tetapi harus memikirkan juga dampak negatif yang akan timbul. Disinilah potensi penerapan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) dalam perumusan kebijakan pembangunan.

Teknik KLHS didefinisikan sebagai proses sistematis dan komprehensif dalam evaluasi dampak lingkungan yang diprakirakan akan muncul akibat pelaksanaan kebijakan, rencana atau program (KRP) yang dilakukan pada tahap awal dari proses pengambilan keputusan kegiatan pembangunan selain pertimbangan-pertimbangan ekonomi dan sosial (Kementerian Lingkungan Hidup, 2004).

Penelitian – penelitian yang menggunakan pendekatan KLHS telah banyak memberikan kontribusi dalam memahami bahwa setiap kegiatan pembangunan sebagai implementasi suatu kebijakan tidak selalu menimbulkan dampak positif, namun bisa juga mengakibatkan kerugian (dampak negatif) akibat dari kegiatan atau kebijakan tersebut. Studi yang dilakukan Marzuki (2004) mengenai nilai ekonomi total hutan dalam wilayah PT. Newmont Nusa Tenggara di Kabupaten Sumbawa dengan luas 12.638,56 hektar diperkirakan sebesar Rp. 473,87 miliar/tahun (nilai terendah) sedangkan (nilai tertinggi) adalah sebesar Rp. 1.043 triliun per tahun. Pendapatan pemerintah dan masyarakat dari PT. NNT tahun

(18)

1997-2003 (secara keseluruhan adalah sebesar Rp. 2,278 triliun, kebijakan pengembangan industri pertambangan terbuka oleh PT. NNT dengan mengkonversi hutan lindung tidak layak secara ekonomi.

Gambar 1. Kerangka pikir penelitian

Maturana (2004) menyatakan PT. Riau Andalan Pulp and Paper, perusahaan industri bubur kertas dan kertas yang teletak di Kabupaten Pelalawan memiliki areal yang dapat dikonversi seluas 250.000 ha, mampu menghasilkan nilai manfaat ekonomi (economic benefit) US$ 1,336,119,511, sementara nilai biaya ekonomi (economic cost) US$ 3,547,376,172. Terlihat bahwa biaya-biaya ekonomi lebih tinggi dibandingkan manfaat-manfaat ekonomi yang terkait.

Perencanaan Pembangunan Implementasi Kebijakan Degradasi Sumber daya Alam KLHS Aktor Narasi Kepentingan Kebijakan Pembangunan Berkelanjutan Pengelolaan Sumber daya Hutan

(19)

Selanjutnya menurut Heleosi (2006), di Kabupaten Kutai Kartanegara (dengan pendekatan KLHS dan Cost Benefit Analysis) ternyata diketahui bahwa estimasi nilai ekonomi kebijakan penebangan hutan (dengan volume kayu hasil penebangan 1.103.812,50 m3) selama lima tahun, menimbulkan kerusakan lingkungan sebesar Rp 14,023 trilyun, sedangkan manfaat yang diperoleh hanya sebesar Rp 6,516 trilyun. Hasil analisis biaya manfaat kebijakan penebangan hutan secara kuantitatif menunjukkan nilai kerugian ekonomi karena kerusakan lingkungan lebih besar daripada manfaat ekonomi yang diperoleh pemerintah daerah.

Berdasarkan uraian di atas, yang perlu dilakukan untuk mengetahui sejauh mana aspek lingkungan diintegrasikan dalam penyusunan kebijakan kehutanan di Kabupaten Pelalawan adalah melakukan analisis kebijakan terhadap produk kebijakan pemerintah daerah sektor kehutanan. Analisis ini meliputi aspek kelembagaan dan aturan mainnya, dalam hal ini adalah bagaimana melibatkan aspek lingkungan dalam setiap kebijakan sektor kehutanan.

1.3. Perumusan Masalah

Pemerintah daerah dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan cenderung dilatarbelakangi oleh kepentingan ekonomi, dalam hal ini meningkatkan pendapatan daerah. Aspek lingkungan seharusnya juga menjadi pertimbangan dalam merumuskan kebijakan. Dengan demikian KLHS diharapkan dapat membantu pengambil keputusan dalam merumuskan kebijakan yang arif dan bijaksana tidak hanya dari aspek ekonomi tapi termasuk aspek lingkungan.

Permasalahan degradasi sumber daya alam bukanlah permasalahan aspek biologis dan teknis, melainkan sangat berhubungan erat dengan aspek pengambilan keputusan individu-individu yang terlibat (Arifin, 1997 dalam Kartodihardjo, 2006). Sehingga stakeholders dan pengambil keputusan perlu menyadari pentingnya mempertimbangkan aspek lingkungan dalam setiap tingkatan perencanaan. Menurut KLH (2004) kajian dampak lingkungan pada tingkat perencanaan pembangunan belum melakukan prakiraan dampak yang akan terjadi sebagai akibat pelaksanaan rencana yang telah ditetapkan.

(20)

Sehingga berdasarkan uraian di atas, maka pertanyaan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Mengapa Pemerintah Kabupaten Pelalawan belum mengintegrasikan aspek lingkungan dalam produk kebijakan sektor kehutanan ?

2. Apa permasalahan aplikasi KLHS dalam perumusan kebijakan sektor kehutanan di Kabupaten Pelalawan ?

1.4. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proses perumusan kebijakan sektor kehutanan dan permasalahan aplikasi KLHS dalam perumusan kebijakan sektor kehutanan di Kabupaten Pelalawan.

1.5. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai : a. Rekomendasi bagi pemerintah dalam perumusan kebijakan.

b. Dasar untuk penelitian lanjutan untuk berbagai sektor dan kawasan lain. c. Pengkayaan studi pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan.

(21)

II. TINJAUAN PUSTAKA

Pada bab ini akan dijelaskan berbagai tinjauan pustaka sehubungan dengan maksud penelitian. Tinjauan pustaka dimulai dengan urutan sebagai berikut : pembuatan kebijakan, stakeholders analysis, content analysis dan Kajian Lingkungan Hidup Strategis. Sub bab tentang Kajian Lingkungan Strategis akan dibagi menjadi : definisi, tahapan, implementasi, pendekatan dan model penerapan.

1.1. Pembuatan Kebijakan

Sutton (1999) menyatakan bahwa segala sesuatu yang diputuskan oleh para pembuat keputusan dianggap sebagai perwujudan pemikiran umum dan pemisahan keputusan-keputusan tersebut dari implementasinya, padahal naskah suatu kebijakan dilahirkan oleh suatu proses yang “chaotic”. Lindayati (2003) menyatakan pengalaman di Indonesia menunjukkan bahwa pembuatan kebijakan tidak hanya didorong oleh kepentingan pemerintah; tetapi juga melibatkan proses ”pembelajaran” bagi pembuat kebijakan dimana gagasan kebijakan memainkan peranan utama.

Arus utama dalam pembuatan kebijakan yang berjalan saat ini disebut sebagai model liner. Model ini dikenal juga dengan model rasional atau common-sense. Urutan pembuatan kebijakan dalam model ini adalah sebagai berikut (Sutton, 1999) :

1. Mengenali dan merumuskan isu yang diperkirakan sebagai masalah. 2. Merumuskan tindakan untuk mengatasai masalah.

3. Memberi bobot terhadap alternatif tindakan dengan mengenali resiko dan hambatan yang mungkin terjadi.

4. Memilih tindakan sebagai kebijakan yang dianggap paling tepat. 5. Pelaksanaan kebijakan.

6. Evaluasi terhadap pelaksanaan kebijakan.

Rangkaian tahapan tersebut di atas secara skematik dapat digambarkan sebagai berikut (Gambar 2).

(22)

Tahap Penetapan Agenda Tahap Penetapan Keputusan Tahap Implementasi kebijakan Tindakan Status Terpilih Pelaksanaan Berhasil

Terpilih Pelaksanaan Gagal Penguatan Lembaga Formulasi Isu dan Masalah Tindakan/Solusi Tidak Terpilih Memperkuat “political will” Tidak Rerpilih

Gambar 2. Tahap pembuatan kebijakan dengan model linier Sumber : Grindle and Thomas (1990) dalam Sutton (1999)

Dalam model ini diasumsikan pembuat kebijakan bertindak rasional dalam mengikuti tahap demi tahap pelaksanaan pembuatan kebijakan dan dapat menggunakan seluruh informasi yang diperlukan. Apabila masalah tidak dapat dipecahkan melalui segenap tindakan yang telah ditetapkan, kesalahan biasanya tidak dialamatkan pada isi kebijakan itu sendiri melainkan pada pelaksanaannya. Kesalahan dalam pelaksanaan kebjakan biasanya dialamatkan pada lemahnya ‟political will‟, terbatasnya sumberdaya (anggaran, sumberdaya manusia), serta lemahnya manajemen. Kelemahan pendekatan rasional tersebut dapat dilihat, misalnya, apabila memang anggaran, sumberdaya dan manajemen pelaksanaan kebijakan lemah, mengapa. kelemahan-kelemahan tersebut tidak dipertimbangkan dalam tahap penetapan agenda? Bagaimana tindakan sebagai solusi diputuskan juga sangat tergantung siapa yang mempunyai kewenangan, dan oleh karenanya, pemegang kewenangan seharusnya dapat mengarahkan tindakannya untuk menjalankan solusi tersebut. Asumsi ini seringkali tidak dipenuhi. Disamping itu, informasi sebagai bahan untuk mendalami isu dan menetapkan masalah seringkali tidak mencukupi (Sutton, 1999).

Di bidang kehutanan sendiri, Kartodihardjo (2006) menyatakan kerangka pemikiran yang dipergunakan untuk merumuskan kebijakan lebih bertumpu pada aspek-aspek teknis dan teknologi pelaksanaan kegiatan pengelolaan hutan. Sementara itu arah perilaku aktor-aktor yang terlibat sebagai unit-unit pengambil keputusan belum diperhatikan. Lebih jauh lagi Kartodihardjo (2006)

(23)

menambahkan bahwa landasan strategi yang perlu digunakan pemerintah adalah bagaimana menetapkan keputusan atau menjalankan kebijakan sehingga dapat : (i) setidak-tidaknya mempertahankan kapasitas pengelolaan kawasan hutan yang ada saat ini, dan (ii) menarik investasi maupun peran masyarakat untuk turut serta mendukung tujuan pembangunan kehutanan pada umumnya dan khususnya meningkatkan kapasitas pengelolaan kawasan hutan.

Proses pembuatan kebijakan mempunyai karakteristik sebagai berikut (Institute of Development Studies, 2006):

1. Pembuatan kebijakan harus dipahami sebagai suatu proses politik yang sesungguhnya yaitu sesuatu yang bersifat analitis atau suatu pemecahan masalah. Proses pembuatan kebijakan sama sekali bukan semata-mata bersifat teknis, aktivitas rasional-lah yang sering dipertahankan.

2. Pembuatan kebijakan adalah suatu proses yang kompleks dan tidak menentu, bersifat berulang-ulang dan sering juga didasarkan pada percobaan, kesempatan belajar dari kekeliruan, dan mengambil ukuran-ukuran yang bersifat perbaikan. Oleh karena itu tidak ada keputusan atau hasil kebijakan tunggal yang optimal.

3. Selalu ada tumpang-tindih dan agenda yang berlawanan; disana mungkin tidak ada kesepakatan yang penuh antar stakeholders atas apa permasalahan kebijakan penting yang sebenarnya.

4. Keputusan tidaklah bersifat teknis dan terpisah: nilai-nilai dan fakta-fakta saling terjalin. Pertimbangan-pertimbangan nilai memainkan peran utama. 5. Implementasi melibatkan pertimbangan dan negosiasi oleh para pengambil

keputusan dan pelaksana keputusan (memberi kesempatan untuk melakukan inovasi dan lebih dihargai).

6. Tenaga ahli teknis dan penentu kebijakan bekerja sama „saling membangun‟ kebijakan. Kerja sama ini dikenal juga sebagai co-produksi (produksi bersama) antara kebijakan dan ilmu pengetahuan.

7. Co-Produksi kebijakan dan ilmu pengetahuan sering dilakukan untuk mengurangi ketidaktahuan dan ketidakpastian ilmiah, dimana ilmuwan berusaha melengkapi dengan memberi jawaban untuk pembuat kebijakan, dan selanjutnya didiskusikan.

(24)

Diskursus & Naratif Politik & Kepentingan Pelaku & Jaringan Kerja

8. Proses kebijakan meliputi beberapa perspektif atas biaya sebagai perspektif dari kemiskinan dan ketermarjinalan yang sering terabaikan.

Proses pembuatan kebijakan dapat dikembangkan dan diuraikan dalam suatu kerangka sederhana yang menghubungkan tiga tema yang saling berhubungan (Institute of Development Studies, 2006), yaitu :

1. Pengetahuan dan diskursus (apa yang merupakan „kebijakan naratif‟? Bagaimana hal tersebut dirangkai melalui ilmu pengetahuan, riset dan lain sebagainya ?);

2. Para pelaku dan jaringan kerja (siapa yang terlibat dan bagaimana mereka terhubung ?); dan

3. Politik dan kepentingan ( apakah yang merupakan dasar dinamika kekuasaan ?)

Gambar 3. Kerangka hubungan antar faktor dalam proses perumusan kebijakan (Sumber : Institute of Development Studies, 2006)

Sutton (1999) menjelaskan bahwa pengembangan narasi (narrative development) yaitu suatu keyakinan di masa lalu berisi penyederhanaan kompleksitas situasi yang seringkali digunakan oleh pembuat kebijakan. Mereka sering menetapkan keyakinan-keyakinan tersebut sebagai kearifan di masa lalu yang sulit sekali ditinggalkan. Keberadaan kelompok kepentingan, kekuasaan, dan kewenangan mempunyai kedudukan penting karena akan saling memberi pengaruh terhadap ‟kebenaran‟, asumsi, jalan keluar, berdasarkan argumentasi dari pengalaman, literatur, atau pasal-pasal dalam peraturan-perundangan. Kelompok-kelompok tersebut menentukan cakupan atau arena yang dibahas dalam pembuatan kebijakan. Narasi membatasi ruang untuk melakukan manuver atau membatasi ruang kebijakan (policy space), yaitu kemampuan pembuat

(25)

kebijakan untuk menemukan alternatif atau pendekatan baru. Narasi dilahirkan melalui jaringan pembuat kebijakan (policy coalition/network) dan mengembangkan paradigmanya sendiri sehingga menjadi sangat berpengaruh.

1.2.Stakeholder Analysis

Istilah stakeholders atau parapihak sudah banyak digunakan dalam hubungannya dengan proses pengambilan keputusan. Stakeholders bukan hanya kumpulan para pihak, tapi pelaku (kelompok atau individu) yang memiliki kewenangan dan kepentingan dalam pengambilan keputusan atau pelaku (kelompok atau individu) yang dapat mempengaruhi dan/atau dipengaruhi oleh suatu pencapaian tujuan tertentu (Maryono et al., 2005).

Stakeholders analysis adalah sebuah proses sistematis dalam mengumpulkan dan menganalisis informasi yang bersifat kualitatif untuk menentukan siapa yang berperan atau mempunyai kepentingan dalam membuat, mengembangkan dan mengimplementasikan sebuah kebijakan (Schmeer, 2000).

Schmeer (2000) juga menambahkan bahwa stakeholders dalam suatu proses adalah para aktor (pribadi atau organisasi) yang mempunyai kepentingan dalam sebuah kebijakan. Stakeholders, atau " pihak-pihak yang berkepentingan," umumnya dikelompokkan ke dalam kategori berikut : international/donors, politisi nasional (lembaga legistatif, kepala daerah), masyarakat, pihak swasta dan LSM.

Gavin and Pinder (1998) menyatakan stakeholders analysis bertujuan untuk: 1. Mengidentifikasi dan menggambarkan karakteristik stakeholders kunci. 2. Menilai cara mereka yang mungkin akan mempengaruhi hasil

program/proyek.

3. Memahami hubungan antar stakeholders, mencakup penilaian konflik atau potensi konflik kepentingan antar stakeholders.

4. Menilai kapasitas yang berbeda dari stakeholders untuk berpartisipasi. Overseas Development Administration (ODA) memanfaatkan stakeholders analysis untuk membantu pemimpin dan penasehat dalam menilai suatu lingkungan proyek, dan untuk menginformasikan posisi ODA dalam negosiasi

(26)

suatu proyek. Lebih rinci lagi, stakeholders analysis bermanfaat untuk (ODA, 1995) :

1) Meneruskan kepentinganan stakeholders dalam hubungan terhadap permasalahan yang akan diselesaikan dengan proyek (langkah identifikasi) atau tujuan proyek (pertama proyek dimulai).

2) Mengidentifikasi potensi konflik kepentingan antar stakeholders, yang akan mempengaruhi penilaian ODA'S terhadap resiko proyek sebelum pendanaan disetujui (merupakan hal yang penting dalam proses pengusulan proyek). 3) Membantu mengidentifikasi hubungan antar stakeholders yang mempunyai

kekuatan dan memungkinkan koalisi dari pembiayaan proyek, kepemilikan dan bekerjasama.

4) Membantu menilai jenis partisipasi yang sesuai dari stakeholders yang berbeda, pada urutan langkah-langkah dalam alur proyek.

Menurut Schmeer (2000) stakeholders analysis dapat dilakukan dengan tahapan sebagai berikut : (1) merencanakan proses, (2) seleksi dan defenisi kebijakan, (3) identifikasi stakeholders kunci, (4) memilih peralatan, (5) mengumpulkan dan menyimpan informasi, (6) mengisi tabel stakeholders, (7) menganalisis tabel stakeholders, dan (8) menggunakan informasi.

Meyers, 2005 menyatakan bahwa stakeholders mempunyai kekuatan yang sangat berbeda-beda untuk mengontrol keputusan yang berpengaruh pada kebijakan dan lembaga, dan mereka memiliki derajat potensi yang berbeda untuk disumbangkan atau derajat kepentingan yang berbeda untuk mencapai tujuan tertentu.

1. Kekuatan untuk mempengaruhi kebijakan atau lembaga berakar dari kontrol keputusan dengan efek positif atau negatif. Kekuatan stakeholders dapat dimengerti pada tingkat kemampuan stakeholders untuk membujuk dan memaksa orang lain membuat keputusan, dan mengikuti serangkaian tindakan tertentu. Kekuatan dapat berasal dari sifat organisasi stakeholders, atau posis mereka dalam hubungannya dengan stakeholders lain.

2. Potensi untuk mempengaruhi atau dipengaruhi oleh kebijakan dan lembaga berada pada karakteristik khusus yang spesifik terhadap konteks dan lokasi,

(27)

seperti halnya ilmu pengetahuan dan hak. Yang menjadi perhatian khusus disini adalah stakeholders yang mempunyai potensi besar tetapi kekuatan lemah. Persoalan kebutuhan dan kepentingan stakeholders ini yang paling penting dalam banyak inisiatif untuk meningkatkan proses kebijakan dan lembaga.

1.3. Content Analysis

Content analysis adalah teknik penelitian yang digunakan untuk menganalisis dokumen-dokumen tertulis seperti laporan, surat, transkrip wawancara, dan bentuk-bentuk tertulis lainnya (Henderson, 1991 dan Krippendorf, 1980). Teknik penelitian ini bisa berupa teknik kuantitatf yang sistematis dan bisa direplikasi yang digunakan untuk menjelaskan atau memahami konsep yang sedang dipelajari (Riffe et al., 1998). Teknik ini memungkinkan peneliti untuk mempelajari perilaku manusia secara tidak langsung melalui analisis cara mereka berkomunikasi (Fraenkel et al., 1996).

Teknik analisis ini memiliki kelebihan karena sifatnya yang unobtrusive (tidak langsung dan tidak mengganggu obyek yang diteliti), ekonomis, bisa direplikasi serta tidak dibatasi oleh ruang dan waktu. Namun demikian kelemahan dari metode ini diantaranya adalah sumber data yang terdokumentasi terbatas, dan sulit menentukan validitas jika ada ketidaksepakatan antar penguji (Fraenkel et al., 1996).

Tahapan/prosedur dalam melakukan content analysis dimulai dari identifikasi permasalahan penelitian, review teori dan penelitian sebelumnya, menentukan fokus penelitian, mendefinisikan isi dokumen yang relevan, membuat desain yang lebih spesifik, membuat tabel contoh, membangun protokol untuk pengkodean, spesifikasi populasi, spesifikasi kerangka sample, melakukan analisis percobaan, memproses data dan melaporkan hasil (Borg et al., 1989; Riffe et al., 1998; Fraenkel et al., 1996, dan Krippendorff, 1980). Secara ringkas tahapan content analysis ini disajikan pada Gambar 4.

(28)

Gambar 4. Prosedur content analysis

2.4. Kajian Lingkungan Hidup Strategis 2.4.1.Latar Belakang KLHS

Perkembangan KLHS dimulai sejak adanya kekecewaan terhadap kapasitas EIA (Environmental Impact Assessment) dalam membantu pengambilan keputusan. Dengan pertimbangan dan telah dibahas secara luas, ini disebabkan oleh (Partidario, 1999) :

1. Waktu pengambilan keputusan, terutama pada hambatan kecil di tingkat kebijakan dan perencanaan, tambahan keputusan terjadi dalam kekosongan pendekatan kajian dampak yang sistematik, akan berpengaruh pada tahapan berikutnya yaitu pada rancangan dan perencanaan proyek lingkungan.

Konseptualisasi (Conceptualization) Rancangan (Design) Analisis (Analysis)

Identifikasi Problem Penelitian

Review Theory

dan Penelitian Sebelumnya

Assert Research Questions

Penentuan Konteks yang relevan

Spesifikasi Desain Formal

Pembuatan Dummy Tables

Pretest

Proses pengolahan data : Analisis kualitatif, Analisis Kuantitatif

atau gabungan keduanya Tetapkan Reliability

HASIL

Pembangunan Protokol Pengkodean

Spesifikasikan Populasi Spesifikasi Sampling Frame

(29)

2. Lingkup pengambilan keputusan. Kurangnya dasar dan ruang lingkup yang tidak jelas dari keputusan kebijakan dan perencanaan merupakan faktor pembatas utama untuk melaksanakan metode yang paragmatis dan teknologis seperti EIA.

3. Tahapan informasi. Disadari bahwa proyek EIA membutuhan tingkatan informasi dan kepastian dimana tidak tersedia dan tidak dapat diberikan bersamaaan pada tahapan kebijakan dan perencanaan.

Urutan peristiwa yang mendorong munculnya KLHS diuraikan dalam Tabel Tabel 2. Sejarah KLHS

Tahun Peristiwa

1969 The National Environmental Policy Act (NEPA) melalui Kongres US, memberi mandat pada para agen dan departemen pemerintah pusat untuk mempertimbangkan dan menilai efek proposal terhadap lingkungan untuk disahkan dan proyek utama lain. 1978 US Council for Environmental Quality (USCEQ) mengeluarkan peraturan untuk NEPA yang mana meminta USAID dan kebutuhan spesifik untuk penilaian program. 1989 Bank Dunia mengadopsi perintah internal (OD. 4.00) dalam EIA untuk

mempertimbangkan persiapan penilaian sektor dan regional

1990 European Economic Community mengeluarkan proposal yang pertama untuk petunjuk Penilaian lingkungan dari Kebijakan, Rencana dan Program

1991 UNECE Convention pada EIA dalam konteks menyeluruh mempromosikan aplikasi EA untuk kebijakan, rencana dan program (diadopsi dari Espoo, Finlandia)

1991 The OECD Development Assistance Committee mengadopsi prinsip yang mengarah pada pengaturan spesifik untuk menganalisa dan memonitor dampak lingkungan dari program bantuan ( OECD, 1992)

1992 UNDP memperkenalkan peninjauan lingkungan sebagai alat perencanaan (UNDP, 1992)

1997 The European Commission mengeluarkan proposal Council Directive untuk menilai efek dari rencana dan program terhadap lingkungan

(European Commission, 1997) Sumber : Partidario (2000)

Namun, kebutuhan akan KLHS tidak hanya karena kelemahan EIA. Penggagas KLHS mendesak dalam kapasitas KLHS sebagai instrumen untuk memperkenalkan kepekaan lingkungan dan mengintegrasikannya dalam kebijakan, rencana dan program. Peran KLHS sebagai penentu untuk memperkenalkan prinsip pembangunan berkelanjutan dan menggunakannya untuk pertimbangan efek kumulatif yang lebih baik.

2.4.2. Definisi KLHS

Ada dua definisi KLHS yang lazim dilaksanakan dalam studi KLHS, yaitu definisi yang menekankan pada pendekatan evaluasi dampak lingkungan

(30)

(EIA-driven) dan pendekatan keberlanjutan (sustainability-(EIA-driven). Definisi pertama, menempatkan KLHS pada posisi mengevaluasi dampak lingkungan dari suatu kebijakan, rencana atau program pembangunan, seperti tertuang dalam definisi berikut (Sadler dan Verheem, 1996) : “KLHS adalah proses sistematis untuk menjamin bahwa konsekuensi atau dampak lingkungan akibat suatu usulan kebijakan, rencana atau program telah dipertimbangkan dan dievaluasi sedini mungkin dalam proses pengambilan keputusan, paralel dengan pertimbangan sosial dan ekonomi”.

Sedangkan definisi kedua lebih menekankan pada keberlanjutan pengelolaan sumberdaya seperti tertuang dalam definisi berikut : “Merupakan proses untuk mengintegrasikan pertimbangan lingkungan dalam pengambilan keputusan pada tahap kebijakan, rencana atau program, untuk menjamin prinsip keberlanjutan sedini mungkin”.

Berdasarkan kedua definisi tersebut di atas serta mempertimbangkan kesesuaian dengan kebutuhan instrumen pengelolaan lingkungan di Indonesia, maka definisi KLHS yang digunakan di Indonesia adalah proses sistematis dan komprehensif untuk mengevaluasi dampak lingkungan dengan mempertimbangkan aspek sosial-ekonomi serta prinsip-prinsip keberlanjutan dari usulan kebijakan, rencana atau program pembangunan.

Prinsip-prinsip pokok yang harus menjadi pertimbangan dalam melakukan Kajian Lingkungan Hidup Strategis, menurut Kementerian Lingkungan Hidup (2004) :

1. Aplikasi KLHS harus menjadi bagian tidak terpisahkan dari keseluruhan proses dan kaidah-kaidah pembangunan berkelanjutan.

2. Teknik KLHS diaplikasikan terhadap kebijakan, rencana atau program (KRP) secara terpisah atau kombinasi dari ketiganya. Analisis pertimbangan-pertimbangan lingkungan harus diintegrasikan secara penuh dan pada tahap awal dari proses perumusan KRP.

3. Teknik KLHS diaplikasikan pada tingkat konsep dan bukan pada aktivitas fisik (lokasi dan rancang bangun) tertentu yang lazimnya menjadi domain studi AMDAL.

(31)

4. Salah satu aspek kajian dalam melaksanakan KLHS adalah melakukan evaluasi dan membandingkan dampak lingkungan dari berbagai alternatif pilihan KRP yang menjadi kajian.

5. Dalam suatu proses pengambilan keputusan pembangunan, KLHS seharusnya menjadi bagian dari pertanggungjawaban publik.

6. Pendekatan pelaksanaannya bersifat ekosistemik, yang berlandaskan pada prinsip-prinsip eko-efisiensi dan pembangunan berwawasan lingkungan. 7. Pelibatan seluruh stakeholders yang meliputi instansi pemerintah terkait,

legislatif, perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat termasuk lembaga adat, dan sektor swasta terkait. Teknis pelaksanaannya dilakukan secara partisipatif, antara lain, melalui diskusi kelompok terarah (focused group discussion) dan multi criteria decision making (contoh : metode Analytical Hierarky Process).

8. Tidak menghambat pelaksanaan investasi di daerah.

9. Difokuskan pada dampak tidak langsung, dampak kumulatif, dan dampak sinergistik, baik pada tingkat lokal, regional, nasional, dan global.

Pendekatan yang digunakan dalam penerapan KLHS akan berbeda pada setiap negara, baik dari segi metodologi maupun implikasinya. Menurut Kementerian Lingkungan Hidup (2004), beberapa pendekatan KLHS yang ditempuh di berbagai negara dapat disajikan secara ringkas, sebagai berikut : 1. Pendekatan KLHS secara formal (formal SEA), menyerupai metodologi

AMDAL dengan memasukkan pertimbangan dan disusun dalam sebuah laporan untuk dijadikan sebagai dasar pengambilan keputusan. Di negara Amerika Serikat, Belanda, dan Selandia Baru formal SEA diimplementasikan dalam peraturan.

2. Penilaian Lingkungan (Environmental Appraisal), umumnya dibatasi pada isu-isu yang berkaitan dengan badan yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan kegiatan. Pendekatan ini biasanya tidak dilengkapi laporan implikasi lingkungan, kurang sistematis, dan umumnya tidak disertai diskusi dengan instansi lain maupun masyarakat.

(32)

3. Penilaian Analisis Biaya Manfaat (Cost benefit Appraisal), difokuskan untuk mengurangi biaya (ekonomi dan lingkungan) dan meningkatkan keuntungan atas kegiatan-kegiatan yang strategic. Penyusunan formal SEA dilakukan secara komprehensif.

4. Pendekatan Proyek yang dimodifikasi (Modified Project SEA), menggunakan metodologi AMDAL dan digunakan untuk kajian terhadap program sebagai dasar penyusunan rencana proyek.

5. Pendekatan yang lebih mengarah pada rasionalisasi KRP, dimana prinsip-prinsip kajian lingkungan cenderung dirancang dalam bentuk kebijakan-kebijakan dan rencana-rencana melalui identifikasi kebutuhan dan pilihan untuk pembangunan yang berkelanjutan.

6. Pendekatan ekosistemik, menekankan pentingnya menempatkan obyek kajian dalam konteks keterkaitan dengan sistem lain yang lebih besar.

2.4.3. Tahapan KLHS

Kerangka kerja dan metodologi KLHS diuraikan dalam Gambar 5. Dengan tahapan sebagai berikut (KLH, 2008) :

1. Penyaringan, tahapan ini dlakukan untuk mengetahui apakah diperlukan studi KLHS. Kegiatan pada tahapan ini meliputi : menentukan konteks dan data dasar, konteks kelembagaan, isu-isu permasalahan lingkungan hidup, keterkaitan KRP dengan persoalan lingkungan hidup, tujuan dan fokus KLHS. 2. Pelingkupan, tahapan ini dilakukan untuk mengetahui ruang lingkup KLHS

melalui studi data dasar, isu-isu keberlanjutan pembangunan, sasaran KLHS dan sasaran KRP.

3. Alternatif KRP, pada tahapan ini dilakukan perumusan tujuan/sasaran KRP, identifikasi dan perbandingan alternative KRP, analisis KRP dan alternatifnya, KRP lain yang relevan, analisis system (bisa dengan sistem pemodelan, teknik-ekonomik).

4. Analisis Lingkungan (Evaluasi dan Valuasi Dampak KRP), dilakukan dengan : (a) interpretasi data; (b) evaluasi dan prakiraan dampak KRP; (c) memfokuskan pada dampak tidak langsung, kumulatif, dan sinergistik; (d) analisis: multi-kriteria, ketidakpastian, dan pembobotan; (e) mitigasi dampak.

(33)

5. Alternatif KRP dan Pengambilan Keputusan, bagian dari tahapan ini adalah : (a) proses dan mekanisme pengambilan keputusan; (b) keterlibatan publik dan stakeholders lain; (c) argumentasi pengambilan keputusan. Bisa dengan metode analisis multi-kriteria, survei publik, valuasi ekonomi, efektivitas biaya, analisis biaya-manfaat.

6. Rencana Pemantauan dan Pengelolaan KRP, yang dilakukan pada tahapan ini adalah : (a) implementasi mitigasi dampak; (b) perbaikan KRP; (c) tindaklanjut pengelolaan dampak KRP melalui pembentukan Sistem Pengelolaan Lingkungan Hidup Adaptif.

Perbandingan aplikasi tahapan KLHS di berbagai negara dengan tahapan yang diterapkan di Indonesia disajikan dalam Tabel 3.

(34)

Tabel 3. Perbandingan tahapan aplikasi KLHS di beberapa negara dibandingkan dengan Indonesia Komponen

Tahapan SEA

Negara-negara lain

(Canada, USA, UK, Belanda, Denmark)

Indonesia Penyaringan Semua dokumen yang ada sebagai dokumen strategis yang diajukan dan

disetujui oleh kewenangan pusat di pemerintahan pusat

Menentukan konteks dan data dasar; konteks kelembagaan; isu-isu permasalahan LH; keterkaitan KRP dengan persoalan LH; tujuan dan fokus KLHS

Pelingkupan Peraturan tentang level analisis yang digunakan dalam pengelolaan harus disetarakan dengan level dalam antisipasi dampak lingkungan, selanjutnya hal ini memberikan penekanan bahwa pedoman SEA merupakan rujukan degan kebijakan yang ada dalam hal bagaimana melaksanakan SEA

Ruang lingkup KLS; studi data dasar, isu-isu keberlanjutan pembangunan, sasaran KLHS dan sasaran KRP

Tipe dampak yang diperkirakan

Lingkungan hidup, ekonomi, sosial dan kesehatan Fokus dampak: tidak langsung, kumulatif, dan sinergistik;

Partisipasi publik

Ya, untuk meningkatkan keberhasilan, analisis harus menentukan siapa saja yang terkena dampak, stakeholder, dan masyarakat umum yang menerima dampak

Keterlibatan publik dan stakeholders lain;

Metode & tahap per data yang ada

Sumber informasi bagi perhatian terhadap masyarakat :

1. analisis sosial dan ekonomi yang berjalan sesuai pada proposal 2. mekanisme konsultasi publik yang berjalan di departemen (tanggung

jawab pihak berwenang memberi kesempatan partisipasi publik 3. departemen ahli, pakar dan organisasi lainnya

Analisis multi-kriteria, efektivitas biaya, analisis manfaat-biaya, survei publik

Alternatif Alternatif dampak lingkungan harus dievaluasi dan dibandingkan untuk membantu identifikasi bagaimana cara PPP dapat mengurangi resiko lingkungan

Alternatif KRP dan Pengambilan Keputusan : hasil, proses dan mekanisme pengambilan keputusan; argumentasi pengambilan keputusan

Pengajuan laporan

Sebagai bagian dari dokumen pembangunan daerah Bisa dilakukan di tiga tahapan :

1. dilaksanakan pada pembahasan Laporan Pendahuluan, yang dilakukan setelah tahap persiapan dan tahap review RTRW;

2. dilaksanakan pada pembahasan laporan Buku Data dan Analisis, yang dilakukan setelah tahap pengumpulan data dan tahap analisis;

3. dilaksanakan pada pembahasan laporan Buku Rencana, yang dilakukan setelah tahap konsepsi rencana.

Mitigasi bencana

Kebijakan perencanaan bahwa ”peninjauan dan monitoring merupakan aspek kunci dalam ”rencana, monitor dan mengatur” pendekatan sistem perencanaan

Implementasi mitigasi dampak; perbaikan KRP; Peninjauan

SEA

Kebijakan dinilai dengan pengujian terhadap tujuan dan target berkelanjutan Tindak lanjut pengelolaan dampak KRP melalui pembentukan Sistem Pengelolaan LH Adaptif

(35)

Gambar 5. Kerangka kerja dan metodologi KLHS (adaptasi dari Therivel dan Brown, 1999; ODPM, 2003; Nilsson, et al., 2005; Dalal-Clayton dan Sadler, 2005)

1. Penapisan

Apakah diperlukan studi KLS; Menentukan konteks dan data dasar; Konteks kelembagaan;

Isu-isu permasalahan LH; Keterkaitan KRP dengan persoalan LH; Tujuan dan fokus KLS

4. Analisis Lingkungan [Evaluasi dan Valuasi Dampak KRP]

Interpretasi data; Evaluasi dan prakiraan dampak KRP; Fokus dampak: tidak langsung, kumulatif, dan sinergistik; Analisis: multi-kriteria, ketidakpastian, dan pembobotan; mitigasi dampak

6. Rencana Pemantauan dan Pengelolaan KRP Implementasi mitigasi dampak; monev untuk perbaikan KRP; Tindaklanjut pengelolaan dampak KRP melalui pembentukan Sistem Pengelolaan LH Adaptif [Gambar 3.4] 3.Alternatif KRP Tujuan/sasaran KRP; Identifikasi dan perbandingan alternatif KRP; Analisis KRP dan alternatifnya; KRP lain yang relevan; Analisis sistem

5. Alternatif KRP dan Pengambilan Keputusan Hasil, proses dan

mekanisme pengambilan keputusan; Keterlibatan publik dan stakeholders lain; Argumentasi pengambilan keputusan

SIG/data dasar dan sasaran-sasaran LH

Indikator, aliran dampak LH, analisis manfaat dan risiko LH

Efektivitas biaya, analisis biaya-manfaat

Analisis masalah, kelembagaan,

stakeholders, analisis jaringan kerja kebijakan termasuk aspirasi publik

Lokakarya skenario kebijakan

Model sistem-sistem teknik-ekonomik

Analisis multi-kriteria, survei publik, valuasi ekonomi

2. Pelingkupan

Ruang lingkup KLS; Studi data dasar, Isu-isu

keberlanjutan pembangunan; Sasaran KLS dan sasaran KRP

(36)

2.4.4. Elemen Penting dalam KLHS

Menurut KLH (2008), elemen penting dalam KLHS adalah : sesuai kebutuhan (fit for the purpose), berorientasi pada tujuan (objective-led oriented), didorong motif keberlanjutan (sustainability-driven), ruang lingkup komprehensif (comprehensive scope), relevan dengan pengambilan keputusan (decision-relevant), terpadu (integrated), transparan (transparent), partisipatif (participative), dapat dipertanggungjawabkan (accountable), efektif dalam pembiayaan (cost-effective).

Secara substansial, KLHS merupakan suatu upaya sistematis dan logis dalam memberikan landasan bagi terwujudnya pembangunan berkelanjutan melalui proses pengambilan keputusan yang telah mempertimbangkan aspek lingkungan secara lebih proporsional selain aspek ekonomi dan sosial.

Menurut Sheate et al., (2001), kunci keberhasilan aplikasi KLHS adalah sebagai berikut :

1. Memerlukan proses transparan, pertimbangan lingkungan terhadap kebijakan, rencana dan program yang strategis.

2. Menilai dampak kebijakan dengan memberi pilihan alternatif yang terbaik. 3. Pertikaian antar stakeholders, pembuat keputusan dan publik dibenahi.

4. Memerlukan proses sistematik, membenahi kekurangan antara institusi dalam kerangka kerja bersama.

5. Diatur oleh peraturan perundangan. 6. Data dan informasi yang baik.

7. Ada badan independen untuk menilai dan dapat dipertanggungjawabkan. 8. Integrasi dimulai dari awal sampai akhir dan sebagai katalisator

pembangunan sebagai panduan dan pelatihan.

9. Secara aktif, partisipatif dan proses pendidikan bagi semua kelompok, stakeholders mampu mengambil keputusan yang mampu meningkatkan kesadaran untuk dimensi strategis (KRP).

10.Berkelanjutan dan proses belajar dimana pengambilan keputusan yang selama ini di perbaharui dengan konsekuensi untuk mengimplementasi KLHS.

11.Tergantung pada kualitas dan ketepatan yang tinggi dalam aplikasi metode penilaian, kualitatif dan kuantitatif.

(37)

2.4.5. Implementasi KLHS

Chaker et al., (2005) menyatakan untuk mengimplementasikan KLHS ada banyak cara, tergantung pada keadaan, termasuk peraturan dan perundang-undangan dan penyelenggaraan pemerintah yang ada. Selanjutnya untuk mengimplementasikan KLHS dibutuhkan pelatihan dan peningkatan kapasitas (capacity building).

Tabel 4. Prosedur dan metodologi pelaksanaan KLHS di beberapa negara

Negara Aplikasi Prosedur Metodologi

Canada Kebijakan dan Program Tidak ditentukan Tidak ada panduan Amerika

Serikat

Program dan Rencana Programmatic Environmental Impact Studies (PEIS)

AMDAL

Inggris Kebijakan, Rencana dan Program

Panduan Matrik/Daftar Uji Swedia,

Denmark

Kebijakan, Rencana dan Program

AMDAL Matrik/Daftar Uji Belanda Kebijakan, Rencana dan

Program

AMDAL AMDAL/Kriteria

prinsip pembangunan berkelanjutan Jerman, Prancis Kebijakan, Rencana dan

Program

AMDAL Tidak ada panduan New Zealand Kebijakan, Rencana dan

Program

UU Pengelolaan Sumberdaya Alam

Tidak ada panduan Australia Kebijakan, Rencana dan

Program

AMDAL Tidak ada panduan Sumber : Partidario (1995) dalam KLH (2004)

Di Cina, implementasi KLHS pada tahap kebijakan, rencana dan program sudah terlihat di berbagai sektor pembangunan. Konsep KLHS sudah diadopsi lebih dari 10 tahun untuk mendukung pengambilan keputusan di level kebijakan, antara lain : Strategi Energi Daerah (Strategi Propinsi Shanxi untuk Industri Batu Bara dan Listrik), Kebijakan Pengembangan Industri Automobil, Perencanaan Wilayah Pantai Timur Xiamen dan Pencegahan dan Pengendalian Pencemaran Udara di RRC. Oleh karena itu, KLHS secepatnya akan diatur dengan peraturan perundangan di China (Xiuzhen et al., 2002).

Penerapan KLHS berikutnya adalah sebagai alat pendukung perencanaan di Malaysia yang masih pada tahap persiapan. Di Malaysia KLHS digunakan untuk mengidentifikasi berbagai dampak lingkungan dari kebijakan, rencana dan program, yang berhubungan dengan Rencana Pembangunan Nasional untuk mendukung program pembangunan berkelanjutan (Briffett et al., 2003).

(38)

Tabel 5. Prosedur KLHS pada beberapa organisasi internasional

No Agen Prosedur Deskripsi

1. AIDEnvironment bekerjasama dengan Netherlands Development Organization Strategic Environmental Analysis

- Mengintegrasikan perhatian terhadap lingkungan dalam kebijakan dan strategi perencanaan.

- Menerapkan pokok permasalahan untuk mendukung institusi pemerintahan dan LSM dalam analisis dan perencanaan lingkungan untuk menentukan kebijakan pembangunan berkelanjutan serta strategi perencanaan

2. Development

Assistance Committee (DAC)

KLHS - Pada bulan November 2002, DAC bekerja pada perusahaan bidang pembangunan dan lingkungan untuk peningkatan ketetapan aturan KLHS dalam perusahan

- Ketetapan yang dibuat difokuskan pada peragaan nilai tambah KLHS dalam pengambilan keputusan perusahaan pembangunan, seperti hubungan timbal balik dan sinergi di antara pendekatan berbeda yang digunakan oleh perusahaan pembangunan dan lembaga pendukung.

3. European Commission (EC)

Dana Struktural Bertujuan untuk meningkatkan pembangunan dan perbaikan struktural daerah yang memiliki aktifitas ekonomi dan pembangunan berkelanjutan terbelakang, pengembangan sumberdaya manusia dan kesempatan kerja, perlindungan dan perbaikan lingkungan, perbaikan perbaikan, peningkatan persamaan hak antara laki-laki dan perempuan dengan mendukung adaptasi dan memperbaharui kebijakan dan sistem pendidikan dan pelatihan tenaga kerja

4. Canadian Departemen of Foreign Affairs And International Trade (DFAIT) Laporan : strategic environmental assessment

Tahapan; a. Penilaian kondisi lingkungan saat ini; b. Membuat tujuan, target dan prioritas; c. Membuat draft pengajuan pembangunan dan mengidentifikasi alternatifnya; d.Membuat indikator lingkungan; e. Mengintegrasikan hasil penilaian dalam keputusan akhir pada perencanaan dan program

- Laporan lingkungan North American Free Trade Agreement (NAFTA);

a. Perjanjian dagang pertama untuk menjalankan laporan lingkungan. Tiap negara berkewajiban untuk melakukan penilaian masing-masing.

b. Menerapkannya untuk menjamin kesadaran lingkungan yang telah dilakukan selama proses negosiasi dan dokumen pengaruh lingkungan potensial NAFTA

c. Memastikan kesimpulan perjanjian pada perusahaan lingkungan, yang disediakan bagi penetapan North American Commission on Environmental Co-operation.

- Tiga fase berbeda dalam penilaian oleh Word Trade Organization (WTO), Negosiasi beberapa pihak; a. Tahap awal (berakhir tahun 1999) dimasukkan dalam analisis sebelumnya, laporan lingkungan tahun

1994 babak Uruguay. Analisis retrospektif dimaksudkan untuk membantu menentukan metode untuk menilai babak baru

b. Tahap kedua (mulai Desember 1999 hingga Maret 2000) berfokus pada formulasi metodologi untuk babak baru yang digambarkan di kementerian Seattle. Komentar diterima pada analisis retrospektif akan dimasukkan dalam pembangunan pada metodologi tersebut

(39)

Lanjutan Tabel 5.

No. Agen Prosedur Deskripsi

c. Tahap ketiga KLHS (dari maret 2000) mencakup laporan rinci permasalahan lingkungan sesuai paremeter yang ditetapkan di metodologi, dan akan dikerjakan sesuai dengan hasil kesepakatan yang kerjakan selama beberapa tahun kedepan

5 UK Department for International Development (DFID) Strategic environmental assessment

Pedoman kebijakan dan inisiasi pembangunan di daerah dan atau sektor pembangunan, diterapkan pada: - Aktivitas yang kegiatan pelaksanaannya bersifat umum (perbaikan subsidi pertanian, kebijakan perdagangan

atau perbaikan perekonomian)

- Investasi sektoral atau program pendukung lainnya (sumberdaya air atau pengelolaan limbah, pariwisata, perencanaan trasnportasi, sektor energi, penggalian barang tambang)

- Strategi formulasi kebijakan dan perencanaan regional (manajemen perencanaan kawasan pesisir, rencana pembangunan kawasan industri/perkotaan, manajemen penyangga atau rencana pembangunan regional) - Kondisi mudah untuk pengaruh kumulatif

- Kegiatan atau aktifitas yang dapat menyebabkan pembangunan diluar kendali (kawasan industri, program pembangunan kegiatan perkotaan dan jalan

- Kegiatan dengan program dibuat jumlah besar dalam skala pembangunan yang kecil atau kegiatan skala masyarakat yang sangat kecil atau jumalhnya sangat banyak untuk dinilai satu per satu

6 UNDP Program/kegiatan peninjauan lingkungan hidup

- Target kegiatan adalah staf, kunci pengambil keputusan dan pemangku kepentingan lainnya - Metodologi terbagi atas;

a. Menentukan kondisi dasar program/kegiatan (biofisika lingkungan, lingkungan sosial, peningkatan ekonomi dalam pelaksanaan dan sekitar perencanaan/program, pelatihan manajemen dan kapabilitas) b. Penelitian pada dampak dan peluang utama terhadap alam dan sosial-ekonomi

c. Memeriksa (kelayakan hasil modifikasi/alternatif) sejauhmana draft kegiatan /program dapat dituangkan dalam strategi operasional, dan kondisi awal kedalam laporan

d. Mendampingi dalam pembuatan perangkat strategis lainnya termasuk perangkat program integrasi dan penilaian (IPAT) dan peninjauan pedoman manajemen lingkungan hidup (EMG)

7 United Nations Environment Programme (UNEP) Integrasi strategis penilaian kebijakan dagang

- Sasaran pada pembuat kebijakan lingkungan, pembuat kebijakan perdagangan, praktisi ekonomi lingkungan hidup, dan praktisi EIA

- Kerangka kerja dalam menganalisa danpak nilai ekonomi, lingkungan hidup dan sosial dalam perdagangan liberal

- Metodologi antisipasi;

a. Diperoleh informasi dasar tentang aspek lingkungan hidup, sosial dan aspek ekonomi b. Integrasi tentang model pendugaan, teknik penilaian dan analisis keuntungan

(40)

Lanjutan Tabel 5.

No. Agen Prosedur Deskripsi

8 USAID Perencanaan

pedesaan

- Berfokus pada bantuan manajemen tujuan pembangunan berkelanjutan, mulai dari tahap kebijakan hingga kegiatan tertentu dan peninjauan kemajuan yang dicapai pada semua tahapan

- Dibutuhkan pada semua rencana strategi pedesaan digambarkan dengan agenda integratif aktifitas pembangunan berkelanjutan, pemanfaatan dengan benar, sinergi sesuai substansi program yang ada.

- Rencana strategis perdesaan dikembangkan sejalan dengan misi kepala daerah; mitra tuan rumah dan USA 9. World Bank Environmental

Assessment (EA) - penilaian regional dan sektoral - analisis lingkungan hidup pedesaan - laporan energi dan lingkungan analisis dampak kemiskinan dan sosial

- EA merupakan salah satu dari 10 kebijakan pengamanan dari bank, dan digunakan untuk menilai resiko dan keuntungan lingkungan terkait dengan kegiatan peminjaman bank. Ini diterapkan di level strategi, perencanaan, program dan sektoral (Mercier, 2002)

- Strategi lingkungan 2001 dibuat untuk menerapkan SEA pada kegiatan perbankan untuk menempatkan lingkungan dalam semua kegiatan perbankan dan pengusahaannya. Hal ini dimungkinkan dengan mengaitkan perencanaan dengan proses pengambilan keputusan di tahap awal

- Program pendidikan diluncurkan tahun 2001 untuk meningkatkan efektivitas penerapan SEA

- Tahap keterlibatan jawatan pemerintahan dan fihak tertentu, mitra pembangunan, dan komunitas luas pembangunan berkelanjutan.

Gambar

Tabel 1. Distribusi total penggunaan lahan di Kabupaten Pelalawan
Gambar 1. Kerangka pikir penelitian
Gambar 2. Tahap pembuatan kebijakan dengan model linier   Sumber  : Grindle and Thomas (1990) dalam Sutton (1999)
Gambar 3. Kerangka hubungan antar faktor dalam proses perumusan kebijakan  (Sumber : Institute of Development Studies, 2006)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dalam konteks pembahasan tentang pengendalian proses statistikal, terminology kualitas didefinisikan sebagai konsistensi peningkatan atau perbaikan dan penurunan variasi

Pengurus Pusat PKC biasanya merepresentasikan kedudukan dan kekuasaannya (termasuk lambang senioritas). PP PKC mengadakan rapat rutin yang berlangsung selama 4 kali

Senam lansia yang diterapkan dalam penelitian ini bermanfaat untuk mempertahankan ROM lutut lanjut usia, dimana terdapat perbedaan ROM lutut yang bermakna antara kelompok senam

Alhamdulillah, segala puji dan syukur penulis haturkan kepada Allah SWT yang telah memberikan nikmat yang tak terhitung sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir

Analisis koefisiensi determinasi merupakan koefisiensi korelasi yang digunakan untuk mengetahui prosentasi pengaruh yang terjadi antara variabel terikat dengan

 Kerjasama secara setara dan berkeadilan antara suami dan istri serta anak- anak baik laki-laki maupun perempuan tercermin dalam semua fungsi keluarga melalui pembagian

(2) Seluruh pendapatan dan pemanfaatan hasil pembayaran swadaya dan partisipasi masyarakat, serta pungutan retribusi desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

Penelitian berhasil mengembangkan model pendidikan karakter dalam internalisasi pendidikan Pancasila pada anak usia dini lewat bebe- rapa model strategi pengembangan