• Tidak ada hasil yang ditemukan

TANTANGAN DAN STRATEGI PENGUSAHAAN AGRIBISNIS SAPI POTONG DALAM ERA PERDAGANGAN BEBAS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TANTANGAN DAN STRATEGI PENGUSAHAAN AGRIBISNIS SAPI POTONG DALAM ERA PERDAGANGAN BEBAS"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

TANTANGAN

DAN STRATEGI

PENGUSAHAAN

AGRIBISNIS SAPI

POTONG DALAM ERA

PERDAGANGAN BEBAS

PENDAHULUAN

Tidak lama lagi, kita akan memasuki suatu babak baru perekonomian internasional yakni era perdagangan bebas. Banyak pihak yang memperkirakan bahwa salah satu dampak dari perdagangan bebas adalah meningkatnya pendapatan per kapita setiap negara yang terlibat. Perkiraan yang optimis dalam peningkatan pendapatan ini akan terjadi di kawasan Asia-Pasifi c (APEC), khususnya negara-negara Asia Timur dan Asia Tenggara, yang selama dekade terakhir ini mampu bertumbuh melampaui rata-rata dunia. Diperkirakan dalam era perdagangan bebas, sekitar 50 persen dari GNP dunia akan berada pada kawasan APEC.

Peningkatan pendapatan masyarakat khususnya di kawasan APEC akan membuka peluang bisnis yang lebih besar khususnya bagi bisnis komoditi yang bersifat elastis terhadap perubahan

(2)

pendapatan. Meningkatnya pendapatan masyarakat akan meningkatkan permintaan (konsumsi) produk-produk yang bersifat elastis terhadap perubahan pendapatan sedemikian rupa, sehingga akan meningkatkan kegiatan produksi dan perdagangan produk tersebut.

Salah satu produk yang memiliki sifat produk seperti diatas adalah daging sapi potong. Meskipun faktor pendapatan bukan satu-satunya yang mempengaruhi konsumsi daging sapi namun ada hubungan yang erat antara tingkat pendapatan dengan konsumsi daging sapi. Sebagai gambaran pada tahun 1993, Indonesia dengan pendapatan per kapita masih sekitar US$ 780, konsumsi daging sapi baru mencapai sekitar 1.8 kg/kapita/ tahun. Sementara itu, Korea Selatan dengan pendapatan per kapita sekitar US S 8000, konsumsi daging sapi telah mencapai sekitar 7.1 kg/kapita/tahun. Kemudian Australia dengan pendapatan per kapita sekitar US $ 17000, konsumsi daging sapi telah mencapai sekitar 36 kg/kapita/tahun. Dan Amerika Serikat dengan pendapatan per kapita sekitar US $ 25000, konsumsi daging sapi telah mencapai sekitar 43 kg/kapita/tahun. Gambaran mi menunjukkan bahwa meningkatnya pendapatan akan meningkatkan konsumsi daging sapi.

Karakteristik permintaan daging sapi yang demikian, menjadikan agribisnis sapi potong sebagai salah satu kegiatan bisnis yang prospektif dimasa yang akan datang. Mengingat negara-negara di kawasan Asia Timur dan Tenggara merupakan negara importir daging sapi; komsumsi per kapita daging sapi masih relatif rendah; dan merupakan kawasan pusat pertumbuhan ekonomi dunia dimasa yang akan datang, maka kawasan tersebut merupakan pasar daging sapi yang sangat besar pada waktu yang akan datang.

Perdagangan Bebas dan Perubahan PasarDaging

Sapi

(3)

yang lalu, maka regim protektif dalam perdagangan internasional telah berakhir. Berbagai kebijakan proteksi perdagangan seperti tarif, subsidi, kuota dan berbagai bentuk hambatan non-tarif lairtrtya yang populer membatasi perdagangan internasional di masa lalu akan dihapus atau diminimumkan. Meskipun liberalisasi perdagangan internasional secara penuh akan efektif setelah tahun 2020, namun secara regional telah dan segera dimulai. Kawasan NAFTA misalnya telah dimulai sejak tanggal 1 Januari 1994 yang lalu. Kemudian akan disusul oleh kawasan AFTA pada tahun 2003 dan kawasan APEC pada tahun 2010 yang akan datang.

Beralihnya perdagangan internasional dari regim protektif ke perdagangan bebas akan berdampak langsung pada produk-produk yang diproteksi seperti produk-produk agribisnis sapi potong. Dimasa lalu, banyak negara-negara (eksportir, importir) daging sapi menggunakan proteksi yang relatif tinggi untuk melindungi produksi domestik daging sapi, Beberapa negara Eropa, Amerika Serikat dan sejumlah negara Amerika Latin sebagai eksportir daging sapi menerapkan subsidi bagi agribisnis sapi potongnya, Sementara itu negara-negara importir daging sapi menerapkan tarif yang tinggi, kuota dan hambatan non-tarif Iainnya untuk melindungi kepentingan produsen sapi potong dalam negeri. Negara Jepang dan Korea Selatan mengenakan tarif impor daging sapi lebih dari 100 persen. Kemudian Thailand, Philipina, dan Indonesia menerapkan tarif impor sekitar 15-40 persen, disamping kuota dan lisensi impor. Dalam perdagangan bebas, kebijakan tarif dan subsidi akan dihapuskan/ diminimumkan. Demikian juga kebijakan non-tarif harus dikonversikan ke dalam bentuk tarif (tarifikasi) yang selanjutnya dihapus secara bertahap sampai seminimum mungkin.

Penghapusan bentuk-bentuk proteksi tersebut akan membawa perubahan pada pasar daging sapi internasional. Dalam jangka pendek perubahan-perubahan yang terjadi adalah: pertama, pasar daging sapi dan produknya akan terbuka di setiap negara dan dapat dimasuki dengan mudah oleh setiap negara tanpa hambatan yang berarti. Kedua, produksi daging

(4)

sapi domestik negara-negara importir daging sapi (terutama yang sangat protektif dimasa lalu) akan menurun, karena kalah bersaing dengan daging impor. Ketiga, konsumsi daging sapi di negara-negara importir dan sangat protektif di masa lalu akan meningkat Peningkatan konsumsi daging sapi yang cukup besar diperkirakan akan terjadi pada negara-negara kawasan Asia Timur dan Tenggara. Hal ini disebabkan karena disamping konsumsi daging sapi utama masih rendah selama ini (dibawah rata-rata dunia), juga disebabkan oleh meningkatnya daya beli masyarakat di kawasan tersebut. Peningkatan konsumsi ini tentunya akan meningkatkan impor daging sapi dari kawasan tersebut.

Dalam jangka panjang, peningkatan permintaan daging sapi dan penurunan produksi daging sapi di negara importir, serta penghapusan subsidi pada negara-negara eksportir daging sapi, akan meningkatkan harga daging sapi di pasar internasional. Peningkatan harga daging sapi ini diperkirakan akan membuka peluang bagi pelaku bisnis baru (new entrants). Diperkirakan pendatang baru dalam eksportir daging sapi, akan muncul dari negara-negara yang masih memiliki ruang gerak pengembangan agribisnis sapi potong yang masih luas, seperti Indonesia dan Cina. Sejauh mana peluang ini akan berlaku bagi Indonesia akan tergantung pada berapa besar kenaikan harga daging tersebut dan keseriusan kita menggarap agribisnis sapi potong kita, yang selama ini belum kita kembangkan secara serius.

Selain dampak liberalisasi perdagangan perubahan pasar daging sapi juga terjadi akibat perubahan fundamental dalam preferensi konsumen. Meningkatnya pendidikan dan pengetahuan masyarakat tentang kesehatan, telah meningkatkan perhatian konsumen tentang aspek informasi nutrisi dari bahanmakanan yang akan dikonsumsi. Konsumen daging sapi yang kita hadapi saat ini dan akan datang telah menuntut

(demanding demand) kualitas bahan makanan konsumsi yang aman dan menyehatkan. Selain itu, adanya perubahan gay a hidup serta makin terbatasnya waktu yang tersedia bagi ibu rumah tangga untuk melakukan pekerjaan dapur; telah menyebabkan

(5)

pergeseran permintaan bahan makanan dari yang siap untuk

dimasak (ready to cook) kepada yang siap untuk dikonsumsi

(ready to eat). Secara keseluruhan hal ini telah menyebabkan

peningkatan tuntutan akan keberagaman (increased demand

for variety), tuntutan akan atribut gizi yang lengkap (increased nutritional information), dan peningkatan tuntutan

akan kenyaman dalam mengkonsumsi (increased demand for

convenience) dari daging sapi dan produknya.

Perkembangan mutakhir dari preferensi konsumen tersebut secara konvergen telah merubah perilaku konsumen dalam mengevaluasi suatu produk yang akan dibeli. Bila di masa Ialu konsumen hanya mengevaluasi suatu produk (termasuk daging sapi dan produknya) berdasarkan atribut utama seperti jenis dan harga, maka dewasa ini dan akan datang konsumen telah menuntut atribut yang lebih rinci dan lengkap. Pertama, apakah bahan pangan yang bersangkutan aman untuk

kesehatan (food safety attributes) seperti kandungan patogen

(food borne pailiogens), kandungan logam berat (Iieavy metals), kandungan residu pestisida dan antibiotika (pesticide and veterinary residues), dan Iain-lain. Kedua, apakah bahan makanan yang bersangkutan mengandung nutrisi yang dapat

mendukung kesehatan dan kebugaran (nutritional attributes)

seperti kandungan lemak (fat content), kandungan serat (fiber), kandungan mineral, asam-amino, vitamin, dll. Ketiga,

kandungan nilai dari bahan makanan yang bersangkutan (value

atributes) seperti kemurnian (purity), komposisi nilai apakah

alamiah atau yang diperkaya (enrichment), ukuran (size),

penampilan (appearance), rasa (tastes), dan aspek nilai penyajian

(convenience of preparation). Keempat bagaimana pengepakan

dilakukan (package attributes), apa materialnya (package

materials), label dan informasi lainnya.

Perubahan preferensi konsumen yang demikian telah terjadi secara internasional termasuk di Indonesia. Sehingga perlu diikuti perkembangannya dan diendogenuskan dalam pengembangan agribisnis sapi potong. Kemampuan bersaing dalam bisnis sapi potong di masa yang akan datang akan sangat

(6)

ditentukan oleh kemampuan pelaku agribisnis sapi potong untuk memenuhi atribut yang dituntut konsumen. Pada batas-batas tertentu, harga produk daging sapi (khususnya pada level industri makanan) yang rendah bukan lagi jaminan kemampuan bersaing. Bahkan ada kecenderungan terutama pada pasar yang

menuntut kebersihan dan kenyamanan (clean market), harga

rendah dipersepsikan konsumen sebagai “barang murahan”. Sebaliknya, konsumen telah bersedia membayar harga yang relatif tinggiasalkan sesuai dengan atribut yang dituntut konsumen. Makin maraknya konsumen industri makanan di

Indonesia seperti restoran Pizza Hut, McDonald’s, Hoka Hoka

Bento, dan Wendy’s merupakan indikasi bahwa konsumen telah bersedia membayar produk daging yang relatif mahal asalkan memenuhi atribut yang dituntut konsumen.

Semua hal di atas merupakan tantangan sekaligus peluang yang dihadapi oleh agribisnis sapi potong kita ke depan. Di satu sisi liberalisasi perdagangan akan membuka peluang baru bagi agribisnis sapi potong, namun di sisi lain kita juga berhadapan dengan konsumen yang semakin menuntut atribut yang rinci dan lengkap. Tantangan dan peluang yang demikian tidak mungkin dapat dihadapi dengan pengusaha agribisnis sambilan, berorientasi jangka pendek serta hanya menguasai salah satu segmen dari agribisnis sapi potong saja.

Kinerja Agribisnis Sapi Potong Indonesia

Secara jujur harus kita akui bahwa perhatian kita pada pengembangan agribisnis sapi potong di Indonesia di masa lalu masih sangat miriim. Tulang punggung dalam penyediaan daging sapi di Indonesia hampir sepenuhnya di tangan peternak rakyat yang umumnya skala kecil, hanya sebagai usaha sambilan atau cabang usaha dan tersebar mengikuti penyebaran penduduk, Selain investasi pemerintah dalam pembangunan prasarana dan sarana agribisnis sapi potong, hampir tidak ada investasi swasta (pengusaha swasta) dalam agribisnis sapi potong- Investasi swasta dalam agribisnis sapi potong baru muncul setelah tahun

(7)

1990 pada usaha penggemukan {fattening) dan perdagangan daging sapi, setelah pemerintah membuka impor sapi bakalan secara terbatas.

Dalam upaya mendorong pertumbuhan populasi sekaligus untuk perbaikan mutu genetik sapi potong, pemerintah pada tahun 1970-an telah memasyaiakatkan teknologi inseminasi buatan. Namun karena keterbatasan yang dimiliki pemerintah, jangkauan inseminasi buatan masih terbatas. Hasil evaluasi sosial ekonomi pelaksanaan inseminasi buatan sapi potong di wilayah Lampung, Jawa Barat, dan Jawa Timur menunjukkan bahwa realisasi inseminasi buatan sapi potong masih sekitar 30 - 50 persen dari potensi akseptor (PSP-IPB, 1996), Akibatnya terjadi kelebihan kapasitas produksi (over capacity) straw pada Balai Inseminasi Buatan (BIB) sekitar 80 persen setiap tahunnya. Selain itu, pada wilayah-wilayah pelayanan inseminasi buatan tersebut, ditemukan bahwa efisiensi reproduksi dari sapi potong masih relatif rendah (sekitar 60 persen dari potensi efisiensi reproduksi). Hal ini disebabkan karena berbagai faktor seperti keterlambatan diagnosa birahi dari peternak, gangguan organ reproduksi, kualitas pakan yang rendah, dan kesalahan teknis dari para inseminator. Rendahnya efisiensi reproduksi dan terbatasnya jangkauan inseminasi buatan menyebabkan pertumbuhan populasi sapi potong di Indonesia rend ah. Akibatnya laju pertumbuhan produksi daging sapi domestik juga relatif lambat dibandingkan dengan laju pertumbuhan perrnintaan daging sapi domestik. Ketidakseimbangan ini telah ikut menyebabkan relatif mahalnya harga sapi di pasar domestik.

Dalam keadaan demikian, pemerintah menghadapi masalah yang dilematis antara membela konsumen atau produsen. Dari sudut kepentingan konsumen, seharusnya pemerintah membebaskan impor daging atau sapi bakalan, namun harus mengorbankan kepentingan agribisnis sapi potong domestik. Bila pemerintah melarang impor daging dan sapi bakalan, harga daging sapi di pasar domestik akan melambung tinggi, sehingga merugikan konsumen. Tampaknya pilihan yang dilakukan oleh pemerintah paling tidak selama 5 (lima) tahun terakhir ini

(8)

adalah Iebih berpihak pada kepentingan agribisnis sapi potong domestik sembari mencegah kenaikan harga daging sapi yang terlalu tinggi, dengan cara mengimpor daging sapi dan sapi bakalan secara terkontrol (kuota dan pajak impor daging sapi).

Menurut data Dirjen Peternakan, dalam periode tahun 1990 - 1995 (Tabel 7) pangsa daging sapi asal impor mengalami peningkatan rata-rata 83.14 persen per tahun. Namun dernikian, pangsa daging asal impor tersebut relatif kecil (kurang dari 10

persen) dibandingkan dengan kebutuhan daging sapi domestik.

(TABEL 7. HAL. 130)

Relatif cepatnya pertumbuhan impor daging sapi dan sapi bakalan (Tabel 8) menunjukkan bahwa pertumbuhan produksi daging sapi domestik tidak mampu mengikuti pertumbuhan konsumsi daging sapi domestik. Dengan kata lain ada kecenderungan yang kuat bahwa pengadaan daging sapi di

indonesia makin tergantung pada asal impor. ( TABEL.8 HAL

131)

Tabel 7.

Penawaran dan Pangsa Daging Sapi Tahun 1990 – 1995 di Indonesia (Ribu ton)

Sumber Penyediaan 1990 1991 1992 1993 1994 1995 Pertumbuhan (%/tahun) Produksi Domestik 259.2 262.2 297 346.3 358.2 389 8.61 Pangsa (%) 99.5 98.6 98 97.7 95.8 91.8 -1.59 Impor 1.4 3.7 5.8 8 15.7 34.7 95.25 Pangsa (%) 0.5 1.4 2 2.3 4.2 8.2 83.14 Total 260.6 265.9 302.8 354.3 373.9 423.7 10.35

Sumber : Statistik Peternakan dan Data File Ditjen Peternakan (hal 130)

Tabel 8.

Perkembangan Volume Dan Nilai Impor Sapi Potong Bakalan, Daging Sapi dan Hati/Jeroan Sapi Indonesia Tahun 1990 – Juli 1996

JENIS PRODUK 1990 1991 1992 1993 1994 1995 (%/thn)Trend 1996Juli Sapi Bakalan Volume (000 ekor) 0 13.2 19.1 35.4 78.2 196.1 100.43 508.3 Nilai (US $ 000) 0 5390 8299.1 17112.8 49189 147522 136.88 103754 Daging Sapi Volume (000 ekor) 1422.4 1866.6 3148.9 3050.5 4799.3 7259 41.08 8948.4 Nilai (US $ 000) 5771 5485.5 6998.5 6128 7502 11539.2 17.29 18525.8 Hati/Jeroan Sapi Volume (000 ekor) 1993 3665 7180.8 5846.9 7908.7 11963.4 49.56 9318.6 Nilai (US $ 000) 2251.4 3471.2 5883.6 5190.7 7699.5 7145.8 30.61 9641.1

Total Nilai (US $ 000) 8022,4 14346.7 21181.2 28431.5 64390.5 166207 154.74 131921 Sumber : Data File Ditjen Peternakan (diolah)

(9)

Dengan pembatasan impor daging sapi dan sapi bakalan yang dilakukan oleh pemerintah, maka mahalnya harga daging sapi di pasar domestik (berkisar antara Rp 10.000 - Rp 15.000/kg) selama irri lebih banyak disebabkan oleh tingginya biaya pengadaan daging sapi di dalam negeri. Selain efisiensi reproduksi dan produkti vitas yang masih rendah, tingginya biaya pengadaan ini disebabkan oleh karakteristik dan usaha sapi potong domestik.

Dengan skala pengusahaan sapi potong petemak rakyat yang kecil-kecil dan terpencar-pencar, biaya pengumpulan menjadi relatif tinggi Kemudian, proses produksi sapi potong yang melibatkan banyak tahapan dengan pelaku dan wilayah yang berbeda (sapi lepas sapih dari peternak A di wilayah I ke peternak B di wilayah II ke peternak C di wilayah III ke Feedloter dan seterusnya) menyebabkan biaya transportasi menjadi besar dan

menciptakan masalah margin ganda (double margins). Akhirnya

harga pokok penjualan per unit daging sapi di tingkat konsumen menjadi relatif tinggi.

Tabel 7.

Penawaran dan Pangsa Daging Sapi Tahun 1990 – 1995 di Indonesia (Ribu ton)

Sumber Penyediaan 1990 1991 1992 1993 1994 1995 Pertumbuhan (%/tahun) Produksi Domestik 259.2 262.2 297 346.3 358.2 389 8.61 Pangsa (%) 99.5 98.6 98 97.7 95.8 91.8 -1.59 Impor 1.4 3.7 5.8 8 15.7 34.7 95.25 Pangsa (%) 0.5 1.4 2 2.3 4.2 8.2 83.14 Total 260.6 265.9 302.8 354.3 373.9 423.7 10.35

Sumber : Statistik Peternakan dan Data File Ditjen Peternakan (hal 130)

Tabel 8.

Perkembangan Volume Dan Nilai Impor Sapi Potong Bakalan, Daging Sapi dan Hati/Jeroan Sapi Indonesia Tahun 1990 – Juli 1996

JENIS PRODUK 1990 1991 1992 1993 1994 1995 (%/thn)Trend 1996Juli Sapi Bakalan Volume (000 ekor) 0 13.2 19.1 35.4 78.2 196.1 100.43 508.3 Nilai (US $ 000) 0 5390 8299.1 17112.8 49189 147522 136.88 103754 Daging Sapi Volume (000 ekor) 1422.4 1866.6 3148.9 3050.5 4799.3 7259 41.08 8948.4 Nilai (US $ 000) 5771 5485.5 6998.5 6128 7502 11539.2 17.29 18525.8 Hati/Jeroan Sapi Volume (000 ekor) 1993 3665 7180.8 5846.9 7908.7 11963.4 49.56 9318.6 Nilai (US $ 000) 2251.4 3471.2 5883.6 5190.7 7699.5 7145.8 30.61 9641.1

Total Nilai (US $ 000) 8022,4 14346.7 21181.2 28431.5 64390.5 166207 154.74 131921 Sumber : Data File Ditjen Peternakan (diolah)

(10)

Secara teoritis, relatif mahalnya harga daging sapi di pasar domestik akan merangsang produsen sapi potong untuk meningkatkan produksinya.Fenomena ekonomi ini tampaknya tidak berjalan pada peternak rakyat. Hal ini banyak disebabkan karena usaha sapi potong bagi peternak rakyat masih bersifat usaha sambilan dan cenderung berfungsi sebagai tabungan dan atau status sosial. Pada pola dan peran usaha sapi potong peternak rakyat yang demikian, signal pasar bukan lagi menjadi pertimbangan utama dalam pengambilan keputusan bagi peternak, melainkan lebih banyak ditentukan oleh pertimbangan non ekonomi. Yang juga menjadi pertanyaan besar adalah mengapa para pengusaha swasta tidak terangsang

untuk memasuki usaha penghasil sapi bakalan (breeding farm)

di Indonesia?

Dengan kinerja agribisnis sapi potong yang demikian, jelas sulit diharapkan menjadi andalan penyediaan daging sapi dalam perdagangan bebas yang akan datang. Kalau kondisi agribisnis sapi potong yang demikian tetap berlangsung, dikhawatirkan akan terdesak oleh daging sapi impor. Sebaliknya, bila pengadaan daging sapi dipenuhi sebagian besar oleh impor akan menghadapi resiko dan mengorbankan devisa yang besar. Dengan jumlah penduduk Indonesia yang diperkiiakan berjumlah sekitar 220 juta jiwa pada tahun 2005, dan konsumsi perkapita daging sapi 2 kg saja, maka kita memerlukan sekitar 4 juta ekor sapi potong setiap tahunnya. Bila separuhnya saja dipenuhi dari impor, maka seluruh produksi sapi potong dari Queensland Australia harus kita impor. Jelas hal ini mengorbankan devisa negara yang cukup besar, Selain itu, untuk memperoleh sekitar 2 juta ekor sapi setiap tahun dari pasar internasional tidaklah mudah dimasa yang akan da tang. Oleh sebab itu, pilihan yang terbaik bagi kita adalah mempercepat pertumbuhan agribisnis sapi potong di Indonesia.

Strategi Pengusahaan Agribisnis Sapi Potong

Untuk mempercepat pengembangan agribisnis sapi potong khususnya pengadaan sapi bakalan, tidak dapat hanya dengan

(11)

mengandalkan peternak rakyat. Peran serta pengusaha swasta khususnya anggota Asosiasi Pengusaha Feedloter Indonesia (APFINDO) dan ASPIDI sangat diperlukan. Bila selama ini APFINDO hanya bergerak pada bidang importir sapi bakalan dan feedloter, dan ASPIDI pada perdagangan sapi, di masa yang akan datang perlu mengembangkan usahanya pada usaha pembibitan sapi potong di dalam negeri, sedemikian rupa, sehingga agribisnis sapi potong dari hulu hingga ke hilir dikuasai secara utuh.

Bentuk pengusahaan sapi potong yang mungkin dan diharapkan dilaksanakan oleh anggota APFINDO dan ASPIDI adalah salah satu atau kombinasi dari berikut ini, Pertama, pengusahaan agribisnis sapi potong dengan pola kemitraan usaha dengan peternak rakyat. Pada pola ini peternak rakyat sapi potong pada suatu wilayah tertentu (mis.2-5 kabupaten, tergantung kepadatan sapi potong) dijadikan wilayah binaan masing-masing anggotaASPIDI/APFINDO, yang dikembangkan lebih lanjut menjadi sumber bakalan. Dalam hal ini usaha peternak rakyat diperbesar skala pemeliharaannya sehingga menjadi usaha pokok penghasil bakalan bahkan sampai penggemukan, sementara usaha pemotongan, perdagangan daging sapi bahkan sampai pada industri makanan ditangani oleh pengusaha.

Kedua, pengusaha agribisnis sapi potong dengan pola pengusahaan integrasi vertikal. Dalam pola ini pengusaha/grup pengusaha mengembangkan suatu usaha pembibitan (ranch) sebagai sumber bakalan (tentu saja ini sesuai untuk wilayah luar Jawa khususnya di wilayah KTI), usaha penggemukan, pemotongan, perdagangan yang terintegrasi secara vertikal. Pada pola ini dapat bekerjasama (usaha patungan) dengan pengusaha sapi potong Australia atau negara eksportir lain.

Bila salah satu atau kombinasi dari kedua pola tersebut diatas dapat direalisasikan, maka agribisnis sapi potong di Indonesia akan dapat bertahan bahkan dapat merebut peluang-peluang ekonomi dalam era perdagangan bebas yang akan datang. Pengusahaan agribisnis sapi potong yang terintegrasi secara

(12)

vertikal mulai dari hulu sampai ke hilir, akan dapat mengurangi tahapan-tahapan proses produksi sapi potong yang ada selama ini, sehingga dapat mengurangi biaya transportasi dan mengurangi margin ganda yang ditimbulkannya. Dengan demikian efisiensi pengadaan daging sapi asal domestik dapat ditingkatkan. Selain itu, pengusahaan agribisnis sapi potong secara terintegrasi vertikal akan mempermudah penyesuaian terhadap perubahan pasar (misalnya: perubahan preferensi konsumen).

Catatan Penutup

Untuk mempercepat pengadaan sapi bakalan dari dalam negeri tentu saja memerlukan sapi bibit yang unggul. Sumber sapi bibit ini dapat dipenuhi dari turunan F2 dari hasil inseminasi buatan yang saat ini terdapat cukup banyak di wilayah pelayanan IB seperti Lampung, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan NTB.

Selain itu, impor sapi bibit {parent stock) juga perlu dilakukan

dari Australia Utara. Selain itu, Bina Mulia Ternak (BMT) milik BUMN Departemen Pertanian yang ada di Sulawesi Selatan, barangkali lebih baik diserahkan kepada perusahaan swasta, guna dapat dikembangkan sebagai perusahaan pembibitan yang lebih maju.

Referensi

Dokumen terkait

Program peningkatan mutu guru dibutuhkan oleh para guru SMP se- Kabupaten Banyumas. Agar efektif, program peningkatan mutu guru hendaknya berbasis pada kebutuhan

Narkotika golongan I adalah narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan ilmu pengetahuan dan tidak ditujukan untuk terapi serta mempunyai potensi sangat tinggi

Bahan bakar yang digunakan bisa diperoleh dari pabrik sendiri yaitu produk biodiesel, kemudian untuk kebutuhan listrik dapat menggunakan generator yang menggunakan biodiesel,

Hasil dari penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa peternak yang ada di Desa Karangwangi, Kecamatan Cidaun, Kabupaten Cianjur selatan ini mendukung adanya

Sumber dhata primer saka panliten TPMB Medang, Kecamatan Glagah, Kabupaten Lamongan yaiku (1) Bapak Abdul Mutholib minangka juru kunci pasareyan mbah Boyopatih

Dengan menggunakan metode ini memungkinkan untuk dilakukan suatu simulasi dari Dengan menggunakan metode ini memungkinkan untuk dilakukan suatu simulasi dari beberapa

Responden ibu hamil yang mempunyai perilaku diet yang negatif dalam pencegahan hiperemesis gravidarum penyebab utamanya ibu hamil mempunyai perilaku diet yang

Kondisi faktor lingkungan sosial seperti tempat tinggal, pekerjaan, pendidikan dan kuantil indeks kepemilikan merupakan determinan variabel yang dapat dimodifikasi