• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "II. TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
68
0
0

Teks penuh

(1)

2.1. Perspektif Pembangunan Ekonomi

Sebagaimana diketahui semua negara di dunia kerap bekerja keras untuk melaksanakan pembangunan. Secara umum kemajuan ekonomi merupakan komponen utama pembangunan, namun bukan satu-satunya komponen. Todaro (2000) menyatakan bahwa pembangunan itu bukan hanya fenomena ekonomi, karena pada akhirnya proses pembangunan harus mampu membawa umat manusia melampaui pengutamaan materi dan aspek-aspek keuangan dari kehidupannya sehari-hari. Berdasarkan pengertian tersebut, proses pembangunan selain meningkatkan pendapatan dan output, juga berkenaan dengan serangkaian perubahan yang bersifat mendasar atas struktur-struktur kelembagaan, sosial, adminstrasi, sikap-sikap masyarakat dan bahkan seringkali juga menjangkau adat-istiadat, kebiasaan dan sistem kepercayaan yang hidup dalam masyarakat yang bersangkutan.

Pembahasan tentang pembangunan sebagai suatu disiplin ilmu tercakup dalam ilmu ekonomi pembangunan (development economics). Tujuannya mengacu pada masalah-masalah perkembangan ekonomi di negara-negara berkembang (Arndt, 1992; Arief, 1998; Todaro, 2000; dan Jhingan, 2003). Menurut Arief (1998) disiplin ekonomi pembangunan mulai berkembang di belahan dunia barat sejak PD II (Perang Dunia Kedua) berakhir. Namun menurut Arsyad (1999) Studi tentang pembangunan ekonomi sebenarnya bukanlah suatu perkembangan baru dalam disiplin ilmu ekonomi. Akan lebih tepat jika dikatakan bahwa analisis tentang pembangunan ekonomi yang dilakukan oleh para ekonom

(2)

sekarang ini merupakan suatu “kebangkitan kembali” untuk memperhatikan masalah-masalah yang dianalisis para ekonom pada masa lalu.

Berdasarkan ilmu ekonomi pembangunan, telah diketahui bahwa dalam sejarah perekonomian terdapat berbagai mazhab yang memiliki pandangan yang berbeda terhadap konsep pembangunan ekonomi (Gillis et.al., 1992; Kasliwal, 1995; Hess and Ross, 1997; Todaro, 2000; dan Jhingan, 2003). Todaro (2000) menyatakan bahwa konsep pembangunan ekonomi pasca PD II didominasi oleh aliran pemikiran (yang bersaing satu sama lain) yang dikategorikan dalam empat pendekatan sebagai berikut :

1. Model-model pertumbuhan-bertahap-linier (linier-stage-of-growth model) 2. Kelompok teori dan pola-pola perubahan struktural (the structural change

theories and patterns)

3. Revolusi ketergantungan internasional (international dependence revolution) 4. Kontrarevolusi pasar bebas neoklasik (neoclassical free-market

counterrevolution)

Tahap-tahap pertumbuhan Rostow dan model pertumbuhan Harrod-Domar merupakan aliran pemikiran yang termasuk dalam pendekatan pertama. Menurut Todaro (2000) pendekatan tersebut, yang mengemuka pada dekade 1950 dan 1960-an, cenderung memandang proses pembangunan sebagai serangkaian tahapan pertumbuhan ekonomi yang berurutan, yang sudah barang tentu akan dialami oleh setiap negara yang menjalankan pembangunan. Pada dasarnya, pandangan ini merupakan suatu bentuk teori ekonomi yang menyoroti pembangunan sebagai paduan dan kuantitas tabungan nasional, penanaman modal dan bantuan asing dalam jumlah yang tepat. Faktor-faktor itu sedapat mungkin

(3)

harus diupayakan serta diadakan oleh negara-negara dunia ketiga agar dapat menapaki jalur-jalur pertumbuhan ekonomi modern yang menurut sejarahnya telah dilalui dengan sukses oleh negara-negara yang sekarang terlihat maju.

Aliran pemikiran yang dikategorikan dalam pendekatan kedua (yang berlaku pada dekade 1970-an) didukung oleh ekonom-ekonom yang sangat terkemuka seperti W. Arthur Lewis, yang terkenal dengan model teoretisnya tentang “surplus tenaga kerja dua sektor (two sector surplus labor)”, dan H.B. Chenery, yang sangat terkenal dengan analisis empirisnya tentang “pola-pola pembangunan (patterns of development)”. Aliran pemikiran ini menitikberatkan pada teori dan pola perubahan struktural. Kemudian mereka menggunakan teori-teori ekonomi modern dan analisis statistik guna melukiskan proses struktural internal yang harus dialami oleh negara-negara berkembang agar mampu dan berhasil menciptakan serta sekaligus memperlihatkan pertumbuhan ekonominya yang cepat.

Aliran pemikiran yang dikategorikan dalam pendekatan ketiga sebenarnya terpecah menjadi sejumlah besar aliran, namun demikian menurut Todaro (2000) hal itu dapat dikelompokkan ke dalam tiga aliran pemikiran, yaitu : (1) model ketergantungan neokolonial (neocolonial dependence model), (2) model paradigma palsu (false-paradigm model), dan (3) tesis pembangunan-dualistik (dualistic-development thesis). Aliran tersebut bersifat radikal dan lebih berorientasi politik. Revolusi pendekatan ini memandang keterbelakangan negara-negara berkembang sebagai akibat pola hubungan kekuasaan internasional yang tidak adil, dimana dalam menjalankan operasinya juga dibantu oleh segmen-segmen domestik tertentu. Aspek-aspek kelembagaan dan ekonomi dari pola hubungan itu dianggap sangat ketat sehingga sulit diubah. Sebagai akibatnya,

(4)

perekonomian dan masyarakat, baik dalam skala domestik maupun internasional, yang bersifat dualistik (saling bertentangan) semakin banyak bermunculan. Teori-teori ketergantungan cenderung untuk menekankan keberadaan dan bahaya kendala-kendala institusional, baik itu yang bersifat internal maupun eksternal yang kesemuanya berdimensikan politik terhadap keseluruhan pelaksanaan proses pembangunan ekononomi. Disadari atau tidak, batasan atau kendala-kendala institusional itu senantiasa menghalangi upaya sebagian besar negara-negara berkembang dalam meraih kemajuan ekonomi. Teori ini menaruh perhatian utama terhadap pentingnya menyusun kebijakan baru untuk menghapuskan kemiskinan secara total, menyediakan kesempatan kerja yang lebih bervariasi dan mengurangi ketimpangan distribusi pendapatan. Menurut pendekatan ini, tujuan tersebut dan tujuan-tujuan lainnya yang bersifat egalitarian hanya akan berhasil dicapai dalam suatu konteks lingkup perekonomian yang sehat dan berkembang pesat. Akan tetapi teori ini cenderung menyangsikan bahwasanya pertumbuhan ekonomi akan dapat diraih melalui cara-cara yang dianjurkan secara gencar oleh model-model pertumbuhan bertahap linier maupun teori-teori perubahan struktural.

Sepanjang dekade 1980-an nyaris yang paling menonjol adalah pendekatan yang keempat. Kontrarevolusi neoklasik (seringkali disebut neoliberal) dalam pemikiran ekonomi ini menekankan pada peranan menguntungkan yang dimainkan oleh pasar-pasar bebas, perekonomian terbuka dan swastanisasi perusahaan- perusahaan milik pemerintah atau negara yang kebanyakan memang tidak efisien dan boros. Menurut teori ini, kegagalan pembangunan tidak disebabkan oleh kekuatan-kekuatan eksternal maupun internal sebagaimana diyakini oleh para tokoh teoretis ketergantungan, melainkan

(5)

diakibatkan oleh terlalu banyaknya campur tangan dan regulasi pemerintah dalam kehidupan perekonomian nasional.

Akhimya, pada penghujung dekade 1980-an dan awal dekade 1990-an, sejumlah kecil ekonom neoklasik dan institusional mulai mengembangkan apa yang kemudian menjadi pendekatan kelima, yakni yang disebut-sebut sebagai teori baru pertumbuhan ekonomi. Teori ini mencoba memodifikasikan dan mengembangkan teori pertumbuhan tradisional sedemikian rupa sehingga ia dapat menjelaskan mengapa ada sebagian negara yang mampu berkembang begitu cepat sedangkan yang lain begitu sulit atau bahkan mengalami stagnasi (kemacetan). Teori baru ini juga bermaksud menjelaskan mengapa meskipun konsep-konsep neoklasik seperti pasar bebas dan otonomi sektor swasta begitu gencar didengungkan, tetapi peranan pemerintah dalam keseluruhan proses pembangunan masih tetap sangat besar.

2.2. Teori Perubahan Struktural

Pada bagian ini akan dipaparkan secara mendalam teori perubahan struktural ekonomi. Hal tersebut dilakukan mengingat teori perubahan strukural akan menjadi pegangan atau pijakan utama dalam penelitian ini. Sebagaimana telah dikemukakan di atas, aliran pendekatan perubahan struktural ini didukung teoritis W. Arthur Lewis yang dikenal dengan model tentang “surplus tenaga kerja dua sektor (two sector surplus labor)”, dan H.B. Chenery, yang sangat terkenal dengan analisis empirisnya tentang “pola-pola pembangunan (patterns of

development)”.

(6)

Salah satu model teoritis tentang pembangunan yang paling terkenal, yang memusatkan perhatian pada transformasi struktural (structural transformation) suatu perekonomian subsisten, mula-mula dirumuskan oleh W. Arthur Lewis, salah satu ekonom besar dan penerima Hadiah Nobel, pada pertengahan dekade 1950-an, dan kemudian diubah, diformalkan dan dikembangkan lebih lanjut oleh John Fei dan Gustav Ranis. Pada dasarnya, teori tersebut membahas proses pembangunan di negara-negara Dunia Ketiga yang mengalami kelebihan penawaran tenaga kerja selama akhir dekade 1960-an dan dekade 1970-an.

Menurut model pembangunan Lewis, perekonomian terdiri dari dua sektor, yaitu : (1) sektor tradisional, yaitu sektor pedesaan subsisten yang kelebihan penduduk dan ditandai dengan produktivitas marjinal tenaga kerja sama dengan nol, dimana situasi yang memungkinkan Lewis untuk mendefinisikan kondisi surplus tenaga kerja (surplus labor) sebagai suatu fakta bahwa sebagian tenaga kerja tersebut ditarik dari sektor pertanian dan sektor itu tidak akan kehilangan outputnya sedikit pun, dan (2) sektor industri perkotaan modern yang tingkat produktivitasnya tinggi dan menjadi tempat penampungan tenaga kerja yang ditransfer sedikit demi sedikit dari sektor subsisten.

Perhatian utama dari model tersebut diarahkan pada terjadinya proses pengalihan tenaga kerja, serta pertumbuhan output dan peningkatan penyerapan tenaga kerja di sektor yang modern. Pengalihan tenaga kerja dan pertumbuhan kesempatan kerja tersebut dimungkinkan oleh adanya perluasan output pada sektor modern tersebut. Adapun laju atau kecepatan terjadinya perluasan tersebut ditentukan oleh tingkat investasi di bidang industri dan akumulasi modal secara keseluruhan di sektor modern. Peningkatan investasi itu sendiri dimungkinkan

(7)

oleh adanya kelebihan keuntungan sektor modern dari selisih upah, dengan asumsi bahwa para kapitalis yang berkecimpung dalam sektor modern tersebut bersedia menanamkan kembali seluruh keuntungannya. Yang terakhir, tingkat upah di sektor industri perkotaan (sektor modern) diasumsikan konstan dan, berdasarkan suatu premis tertentu, jumlahnya ditetapkan melebihi tingkat rata-rata upah di sektor pertanian subsisten tradisional. (Lewis berasumsi bahwasanya tingkat upah di daerah perkotaan sekurang-kurangnya harus 30 persen lebih tinggi daripada rata-rata pendapatan di daerah-daerah pedesaan untuk memaksa para pekeja pindah dari desa-desa asalnya ke kota-kota). Pada tingkat upah di daerah perkotaan yang konstan, maka kurva penawaran tenaga kerja pedesaan dianggap elastis sempurna.

Gambar 2 mengilustrasikan pertumbuhan sektor modern dari model perekonomian dua sektor rumusan Lewis. Sektor pertama, yakni sektor pertanian subsisten tradisional digambarkan pada dua gambar sebelah kanan. Kurva sebelah kanan atas memperlihatkan bagaimana produksi pangan subsisten semakin sulit mengimbangi kenaikan input tenaga kerja. Ini khas fungsi produksi (production

function) sektor pertanian, di mana total output atau produk (TPA) berupa bahan pangan ditentukan oleh perubahan satu-satunya variabel input, yakni input tenaga kerja (LA), sedangkan input modal, KA, dan teknologi, tA diasumsikan

tidak mengalami perubahan apa pun. Pada kurva kanan bawah menunjukkan kurva produktivitas tenaga kerja marjinal atau MPLA dan kurva produktivitas tenaga kerja rata-rataatau APLAyang merupakan turunan dari kurva produksi total yang ditunjukkan tepat di atasnya. Kuantitas tenaga kerja pertanian (QLA) yang tersedia pada kedua sumbu horisontal dan dinyatakan dalam "jutaan" tenaga kerja.

(8)

Lewis mengemukakan bahwa dalam suatu perekonomian terbelakang, 80 persen hingga 90 persen angkatan kerjanya terkumpul di daerah-daerah pedesaan serta menggeluti pekerjaan di sektor pertanian.

Gambar 2. Pertumbuhan Ekonomi Model W. Arthur Lewis Sumber : Todaro, 2000.

Lewis mengemukakan dua asumsi perihal sektor tradisional. Yang pertama adalah adanya surplus tenaga kerja, atau MPLA, sama dengan nol. Kedua, bahwasanya semua pekerja di daerah pedesaan menghasilkan output yang sama sehingga tingkat upah riil di daerah pedesaan ditentukan oleh produktivitas tenaga

(9)

kerja rata-rata, bukannya produktivitas tenaga kerja marjinal (seperti pada sektor modern). Menurutnya diasumsikan bahwa ada sejumlah LAtenaga kerja pertanian yang menghasilkan produk pangan hingga sebanyak TPA, dan masing-masing tenaga kerja menghasilkan output pangan dalam jumlah yang persis sama, yakni sebanyak WA (ini sama dengan hasil hitungan TPA/LA). Produktivitas marjinal tenaga kerja sebanyak LA tersebut sama dengan nol, sebagaimana terlihat pada kurva di sebelah kiri bawah, dan oleh karenanya, asumsi surplus tenaga kerja berlaku pada seluruh pekerja yang melebihi LA(perhatikan kurva TPAberbentuk horisontal setelah melewati jumlah pekerja LA pada diagram kanan atas). Inilah sumber atau pijakan asumsi surplus tenaga kerja itu.

Kemudian kurva di sebelah kiri atas menunjukkan kurva-kurva produksi total (fungsi produksi) untuk sektor industri modern. Berdasarkan hal itu tingkat output, dari barang-barang manufaktur atau (TPM), merupakan fungsi dari variabel input tenaga kerja, LM, dengan catatan stok modal (K ) M dan teknologi (tM) sama sekali tidak berubah. Pada sumbu horisontal, kuantitas tenaga kerja yang dikerahkan untuk menghasilkan sejumlah output, misalnya TPM1, dengan stok modal KM1, dinyatakan dalam ribuan dari pekerja perkotaan L1. Kemudian dalam model Lewis, stok modal di sektor modern dimungkinkan untuk bertambah dari

KM1 ke KM2, dan ke KM3, sehubungan dengan adanya kegiatan reinvestasi dan pertumbuhan sektor industri modern. Seperti digambarkan pada diagram sebelah kiri atas, hal tersebut akan menggeser kurva total produk ke atas, dari ke TPM (KM1) berubah ke TPM (KM2) dan akhimya ke TPM (KM3). Hal itu menunjukkan proses yang akan menghasilkan keuntungan para kapitalis ini dari investasi ulang dan pertumbuhan. Berdasarkan hal tersebut didapati kurva-kurva produksi tenaga

(10)

kerja marjinal dari sektor modern yang merupakan turunan dari kurva-kurva TPM pada kurva tepat di atasnya. Dengan asumsi bahwa pasar tenaga kerja sektor modern itu kompetitif sempurna, maka kurva-kurva produksi marjinal itulah yang menentukan besar-kecilnya tingkat permintaan yang aktual akan tenaga kerja. Sebagaimana terlihat pada kurva-kurva sebelah bawah Gambar 2a dan Gambar 2b, WA memperlihatkan tingkat rata-rata pendapatan riil dari sektor ekonomi subsisten tradisional di daerah-daerah pedesaan. Dengan demikian, WM pada Gambar 2a memperlihatkan tingkat upah riil pada sektor kapitalis modern. Pada tingkat upah itu, penawaran tenaga kerja pedesaan diasumsikan tidak terbatas atau elastis sempurna yang diperlihatkan oleh kurva penawaran tenaga kerja horisontal WMSL. Dengan kata lain, Lewis mengasumsikan bahwasanya pada tingkat upah di perkotaan sebesar WM yang jauh lebih tinggi daripada tingkat pendapatan pedesaan WM, para penyedia lapangan kerja di sektor modern dapat merekrut tenaga kerja pedesaan sebanyak yang mereka perlukan tanpa harus merasa khawatir bahwa tingkat upah akan meningkat. (Perhatikan bahwa kuantitas tenaga kerja di sektor pedesaan pada Gamar 2b dinyatakan dalam jutaan, sedangkan di sektor modern perkotaan pada Gambar 2a dinyatakan dalam ribuan).

Pada tahap awal pertumbuhan sektor modern dengan penawaran modal

KM1, yang jumlahnya tetap dan sudah tertentu, kurva permintaan terhadap tenaga kerja semata-mata ditentukan oleh penurunan produk marjinal para tenaga kerja, seperti ditunjukkan oleh kurva D1(KM1) yang mempunyai kemiringan negatif (lihat kurva sebelah kiri bawah). Karena para produsen di sektor modern selalu berusaha memaksimumkan keuntungan dan mereka diasumsikan akan terus merekrut tenaga kerja sampai ke titik di mana produk fisik marjinal (marginal

(11)

physical product) sama persis dengan upah riil (yaitu, titik F yang merupakan perpotongan antara kurva permintaan dan penawaran tenaga kerja), kesempatan kerja di sektor modern akan sama dengan L1. Total output sektor modern (TPMl), ditunjukkan oleh bidang yang dibatasi oleh titik-titik 0D1FL1, dengan total tenaga kerja L1. Dari bidang itu, keuntungan total yang diterima oleh para pengusaha (kapitalis) di sektor modern ditunjukkan dengan WMD1F. Menurut Lewis diasumsikan bahwa semua keuntungan tersebut akan ditanamkan kembali sehingga memperbesar stok modal (dari KM1menjadi KM2) menyebabkan kurva produk secara keseluruhan pada sektor modern meningkat menjadi TPM (KM2) yang pada gilirannya akan mengakibatkan terus meningkatnya kurva permintaan tenaga kerja karena pergeseran produk marjinal tenaga kerja. Pergeseran kurva permintaan tenaga kerja ke arah luar dalam gambar ditunjukkan oleh garis D2 (KM2) pada Gambar 2a sebelah bawah. Dari hasil ini diperoleh suatu titik keseimbangan baru tentang tingkat penyerapan tenaga kerja di sektor modern yang ditunjukkan oleh G dengan jumlah tenaga kerja yang dikerahkan pada L2. Jumlah output meningkat menjadi TPM2 atau ditunjukkan oleh bidang 0D2GL2, dengan jumlah upah para pekerja dan keuntungan para pengusaha meningkat menjadi masing-masing 0WMGL2 dan WMD2G. Sekali lagi, keuntungan (WMD2G) yang lebih besar ini akan ditanamkan kembali, dan akan meningkatkan jumlah stok kapital ke KM3, yang akan menggeser kurva produk dan permintaan tenaga kerja masing-masing ke TPM (KM3) dan ke D3 (KM3), serta menaikkan tingkat penyerapan tenaga kerja sektor modern ke L3.

Rangkaian proses pertumbuhan berkesinambungan (self-sustaininggrowth) atas sektor modern dan perluasan kesempatan kerja tersebut di atas, diasumsikan akan terus berlangsung sampai semua surplus tenaga kerja pedesaan diserap habis

(12)

oleh sektor industri. Selanjutnya, tenaga kerja tambahan yang berikutnya hanya dapat ditarik dari sektor pertanian dengan biaya yang lebih tinggi karena hal tersebut pasti akan mengakibatkan merosotnya produksi pangan. Hanya penurunan rasio tenaga kerja terhadap tanah secara drastis sajalah yang akan mampu membuat produk marjinal tenaga kerja desa menjadi tidak sama dengan nol lagi. Dengan demikian, ketika tingkat upah serta kesempatan kerja di sektor modern terus mengalami pertumbuhan, maka kemiringan kurva penawaran tenaga kerja bernilai positif. Transforrnasi struktural perekonomian dengan sendirinya akan menjadi suatu kenyataan dan perekonomian pun pada akhimya pasti beralih dari perekonomian pertanian tradisional yang berpusat di daerah pedesaan menjadi sebuah perekonomian industri modern yang berorientasikan kepada pola kehidupan perkotaan.

Meskipun model dua sektor Lewis ini cukup lugas dan jelas, serta secara umum sudah sesuai dengan pengalaman sejarah pertumbuhan ekonomi modern negara-negara Barat, namun menurut Todaro (2000) tiga dari asumsi-asumsi utamanya ternyata sama sekali tidak cocok dengan kenyataan institusional dan ekonomis di sebagian besar negara-negara Dunia Ketiga sekarang ini.

Pertama, model ini secara implisit mengasumsikan bahwa tingkat pengalihan tenaga kerja dan penciptaan kesempatan kerja di sektor modern pasti sebanding dengan tingkat akumulasi modal sektor modern. Semakin cepat tingkat akumulasi modalnya, maka akan semakin tinggi tingkat pertumbuhan sektor modern dan semakin cepat pula penciptaan lapangan kerja baru. Akan tetapi, apa yang akan terjadi seandainya keuntungan para kapitalis tersebut justru diinvestasikan kembali dalam bentuk barang-barang modal yang lebih canggih

(13)

dan lebih hemat tenaga kerja (capital intensive)? Gambar 3 mengembangkan Gambar 2a di sebelah bawah, dan terlihat bahwa kurva permintaan tanaga kerja tidak lagi bergeser ke luar, akan tetapi bersilang. Kurva permintaan D2 (KM2) miring lebih negatif daripada D2 (WMI) untuk menunjukkan fakta bahwa tambahan stok modal, yang dimanfaatkan kemajuan teknologi hemat tenaga kerja, yaitu teknologi KM2yang hanya memerlukan lebih sedikit tenaga kerja bagi setiap unit output daripada teknologi yang sebelumnya, yakni KM1.

Terlihat jelas bahwa, meskipun jumlah output telah meningkat sangat besar (yaitu, 0D2EL1 yang jau lebih besar daripada 0D1EL1) akan tetapi upah keseluruhan (0WMEL1) dan kesempatan kerja (L1) tetap saja tidak berubah. Semua output tambahan diterima oleh para pengusaha (kapitalis) itu dalam bentuk peningkatan keuntungan. Dengan demikian Gambar 3 menujukkan apa yang oleh sementara pengamat disebut sebagai pertumbuhan ekonomi yang antipembangunan (antidevelopmental etonomic growth), yaitu semua tambahan pendapatan dan pertumbuhan output hanya akan dibagikan kepada sekelompok kecil pemilik modal, sedangkan tingkat pendapatan dan kesempatan kerja dari sebagian besar tenaga kela justru tidak akan mengalami peningkatan yang berarti.

Kedua, asumsi yang sering dan patut dipersoalkan dari model tersebut adalah adanya dugaan bahwa di pedesaan terjadi kelebihan tenaga kerja, sedangkan di daerah perkotaan terjadi penyerapan faktor-faktor produksi secara optimal (full employment). Namun sebagian besar penelitian ternyata menunjukkan bahwa keadaan yang sebaliknyalah yang lebih mungkin terjadi di negara-negara Dunia Ketiga (yaitu, jumlah pengangguran di perkotaan cukup besar tetapi hanya sedikit surplus tenaga kerja di pedesaan). Dugaan tersebut

(14)

sampai batas tertentu memang masih bisa diterima semata-mata karena adanya dua pengecualian terhadap kenyataan yang baru saja disebutkan, yaitu adanya arus pekerja musiman dan perpindahan permanen penduduk secara geografis (misalnya saja, di beberapa tempat di anak benua Asia dan di berbagai daerah yang terisolasi di Amerika Latin, di mana kepemilikan tanahnya sangat tidak merata). Akan tetapi, para ahli ekonomi pembangunan pada saat ini, pada umumnya kelihatan telah sepakat bahwa asumsi surplus tenaga kerja di perkotaan secara empiris lebih sahih daripada asumsi sebaliknya yang dikemukakan oleh Lewis.

Gambar 3. Modifikasi Model Lewis yang Menunjukkan Tambahan Stok Modal yang Bersifat Capital Intensive

Sumber : Todaro, 2000.

Ketiga, asumsi dugaan tentang pasar tenaga kerja yang kompetitif di sektor modern akan menjamin keberadaan upah riil di perkotaan yang konstan sampai pada suatu titik dimana surplus penawaran tenaga kerja habis terpakai adalah tidak dapat diterima. Berdasarkan bukti empiris ditunjukkan bahwa sebelum tahun

(15)

1980-an tingkat upah pasar tenaga kerja perkotaan di hampir semua negara sedang berkembang adalah cenderung meningkat sangat besar dari waktu ke waktu, baik secara absolut maupun secara relatif, apabila dibandingkan dengan rata-rata pendapatan di daerah pedesaan. Kecenderungan tetap terjadi sekalipun ada kenaikan tingkat pengangguran di sektor modern dan produktivitas marjinal yang rendah atau nol di sektor pertanian. Faktor-faktor kelembagaan cenderung untuk menghapuskan atau meniadakan kekuatan-kekuatan kompetitif yang terjadi di pasar tenaga kerja sektor modern di negara-negara Dunia Ketiga.

2.2.2. Model Pola-Pola Pembangunan

Sama halnya, dengan model yang disusun oleh Lewis, analisis pola pembangunan (patterns-of-development analysis) juga memusatkan perhatiannya pada proses yang mengubah struktur ekonomi, industri dan kelembagaan secara bertahap pada suatu perekonomian yang terbelakang, sehingga memungkinkan tampilnya industri-industri baru untuk menggantikan kedudukan sektor pertanian sebagai penggerak roda pembangunan. Namun, berlainan dengan model Lewis, pola atau teori ini menyatakan bahwa peningkatan tabungan dan investasi merupakan syarat yang harus dipenuhi, akan tetapi tidak akan memadai jika harus berdiri sendiri (necessary but not sufficient conditions) dalam memacu pertumbuhan ekonomi. Pola ini juga mensyaratkan bahwa selain akumulasi modal untuk pengadaan sumber daya fisik maupun sumber daya manusia, diperlukan juga suatu rangkaian perubahan yang saling berkaitan dalam struktur perekonomian negara yang bersangkutan demi terselenggaranya transisi yang bersifat mendasar dari sistem ekonomi tradisional ke sistem ekonomi modern. Perubahan-perubahan yang bersifat struktural ini melibatkan seluruh fungsi

(16)

ekonomi termasuk transformasi produksi dan perubahan komposisi permintaan konsumen, perdagangan intemasional dan sumber daya, serta perubahan dalam faktor-faktor sosioekonomi seperti proses urbanisasi, pertumbuhan dan sebaran/distribusi penduduk di negara yang bersangkutan.

Model perubahan struktural yang paling terkenal dalam hal ini adalah model yang disusun oleh Hollis B. Chenery, seorang ekonom terkemuka dari Universitas Harvard. Chenery sendiri mendasarkan perumusan model perubahan strukturalnya pada serangkaian penelitian empiris, dimana dia secara khusus mengadakan penelitian untuk menyelidiki pola-pola pembangunan di sejumlah negara-negara dunia ketiga selama kurun waktu pasca perang dunia kedua.

Rangkaian penelitian empiris yang dilakukan oleh pakar ekonomi tersebut dilakukan secara cross sectional (antarnegara pada periode tertentu) maupun antarwaktu (secara khusus, meliputi sejumlah negara tertentu sepanjang kurun waktu yang cukup panjang). Dia mengambil negara-negara berkembang dengan berbagai tingkat pendapatan sebagai bahan studi guna mengidentifikasi karakteristik-karakteristik yang sekiranya berpengaruh besar terhadap keberhasilan proses pembangunan mereka. Faktor-faktor yang didapatinya penting antara lain adalah kelancaran transisi dari pola perekonomian agraris ke perekonomian industri, kesinambungan akumulasi modal fisik dan manusia, perubahan jenis permintaan konsumen dari produk kebutuhan pokok ke berbagai macam barang dan jasa, perkembangan daerah perkotaan terutama pusat-pusat industri berkat migrasi para pencari kerja dari daerah-daerah pertanian di pedesaan dan kota-kota kecil, serta pengurangan jumlah anggota dalam setiap keluarga dan kenaikan populasi pada umumnya karena anak sudah tidak lagi

(17)

dipandang sebagai salah satu faktor penunjang ekonomi keluarga sehingga para orang tua pun menjadi lebih mementingkan kualitas (pendidikan) anak daripada sekedar kuantitasnya.

Pendekatan yang digunakan dalam memprediksi pola perubahan struktural adalah model ekonometrik yang berbentuk persamaan tunggal. Pada awal penelitian Chenery menggunakan model yang dikenal sebagai model elastisitas pertumbuhan (Chenery, 1960 dalam Budiharsono, 1996). Dalam model ini, yang kemudian dipakai oleh ECAFE (1967) untuk memproyeksi pertumbuhan ekonomi jangka panjang negara-negara wilayah ECAFE, menunjukkan gambaran sistem ekonomi yang masih sederhana karena diasumsikan perdagangan luar negeri tidak ada, perkembangan teknologi dan pertumbuhan bersifat konstan, sehingga strategi demand side merupakan faktor penting dalam menentukan pola output. Kemudian dalam model ini diasumsikan bahwa pola konsumsi mengikuti hukum Engel, sehingga tingkat pendapatan akan menentukan pola output sektoral. Model ini menggunakan model log linier dengan peubah penjelas yang masuk dalam model adalah pendapatan perkapita (Y) dan jumlah penduduk (N). Dalam model ini, Y tidak hanya mewakili peubah tingkat dan komposisi permintaan, tetapi juga mewakili peubah tentang keadaan penawaran faktor produksi dan tingkat teknologi dari suatu negara, dengan demikian parameternya disebut sebagai koefisien elastisitas pertumbuhan dan bukan elastisitas pendapatan.

Kemudian Chenery bersama bersama Syrquin (1975) dalam Budiharsono (1996) mengembangkan model untuk menduga pola perubahan struktural tersebut akibat meningkatnya pendapatan. Model ini merupakan pengembangan model Chenery-Taylor (1968) mengemukakan 3 (tiga) model regresi untuk data cross

(18)

section antar negara dan 1 (satu) model regresi untuk data time series. Model ini lebih lengkap dari model sebelumnya karena sudah memasukkan faktor perdagangan luar negeri dan waktu (periodesiasi).

Berdasarkan penelitian Chenery-Syrquin (1975) diketahui bahwa sebagai proses, alokasi pembangunan ekonomi dapat dianggap sebagai suatu proses pertumbuhan ekonomi atau proses peningkatan pendapatan nasional per kapita yang disertai dengan, antara lain : perubahan ekonomi dari suatu perekonomian yang dominan sektor Pertanian menjadi dominan sektor Industri Pengolahan (manufacture)dan sektor Jasa. Dari hasil studi tersebut, banyak para ahli ekonomi berpendapat bahwa setiap negara yang pembangunannya dianggap berhasil ditandai dengan antara lain oleh meningkatnya sektor industri baik dalam struktur produksi maupun dalam sruktur ekspornya.

2.3. Model Pertumbuhan Tidak Seimbang

Sebagai suatu teori, analisis yang berkaitan dengan perubahan struktural terutama yang telah dikemukakan oleh Lewis masih sangat sederhana, sehubungan dengan itu dalam studi ini juga dipaparkan teori dari A.O. Hirschman untuk melengkapi penjelasan yang terkait dengan perubahan struktural. Konsep pertumbuhan tidak seimbang dikemukakan oleh A.O. Hirschman memiliki pengertian bahwa dalam pembangunan ekonomi didasarkan atas pertumbuhan yang tidak seimbang (unbalance growth). Menurut Hirschman (dalam Jhingan, 2003 dan Arief, 1998) investasi pada industri atau sektor-sektor perekonomian yang strategis dan berhubungan satu dengan lain melalui keterkaitan (linkage) akan menghasilkan kesempatan investasi baru dan membuka jalan bagi pembangunan ekonomi lebih lanjut.

(19)

Pada hakekatnya konsep pertumbuhan tidak seimbang adalah suatu strategi yang mengembangkan sektor yang memiliki keterkaitan kuat. Menurut teori keterkaitan ini yang dimaksud adalah meliputi keterkaitan ke belakang (backward linkage) dan ke depan (forward linkage). Usulan untuk mengembangkan sektor ekonomi yang memiliki keterkaitan ini berlaku tidak hanya pada sektor industri juga kepada sektor pertanian saja tetapi keseluruhan sektor ekonomi. Menurut Hayami dan Ruttan (1971) konsep ketidakseimbangan dalam dan antar sektor pertanian adalah suatu sumber penting dari keterkaitan ke belakang dan ke depan dalam mentransmisikan kemajuan teknologi di dalam sektor pertanian terhadap keseluruhan pembangunan ekonomi.

Menurut Hirschman pola pembangunan tak seimbang didasarkan atas pertimbangan sebagai berikut : (Arsyad, 1999)

1. Secara historis pembangunan ekonomi yang terjadi coraknya tidak seimbang. 2. Untuk mempertinggi efisiensi penggunaan sumberdaya-sumberdaya yang

tersedia.

3. Pembangunan tak seimbang akan menimbulkan kemacetan (bottlenecks) atau gangguan-gangguan dalam proses pembangunan tetapi akan menjadi pendorong bagi pembangunan selanjutnya.

Berdasarkan uraian di atas pada dasarnya Hirschman merumuskan model yang selanjutnya dikenal dengan efek keterkaitan ke depan dan ke belakang. Keterkaitan ke depan mendorong keputusan investasi pada sektor atau industri yang memanfaatkan output tertentu untuk proses produksi selanjutnya. Hal ini dapat menurunkan biaya produksi di industri hilir melalui external economies. Keterkaitan ke belakang mendorong keputusan investasi pada sektor yang

(20)

menyediakan input. Peningkatan keterkaitan antar sektor atau antar industri merangsang peningkatan investasi yang selanjutnya mendorong peningkatan permintaan input yang merupakan output dari suatu sektor atau industri tertentu yang akhirnya mendorong peningkatan pertumbuhan ekonomi.

Saling ketergantungan antar sektor dapat dirumuskan dalam tiga jenis efek keterkaitan, yaitu: (1) efek keterkaitan antar industri (interindustry linkage effect), mengukur efek peningkatan satu unit permintaan akhir (final demand) terhadap tingkat produksi dalam setiap sektor, (2) efek keterkaitan ketenagakerjaan (employment linkage effect), mengukur penggunaan total tenaga kerja dalam satu sektor sebagai akibat perubahan satu unit permintaan akhir, dan (3) efek keterkaitan penciptaan pendapatan (income generation linkage effect) mengukur efek perubahan salah satu variabel eksogen dalam permintaan akhir terhadap peningkatan pendapatan (Chenery and Clark, 1959 dalam Ginting, 2006).

Peningkatan dalam satu unit permintaan akhir dapat meningkatkan produksi dalam setiap sektor melalui efek keterkaitan antar industri dan tingkat penyerapan tenaga kerja melalui efek keterkaitan ketenagakerjaan. Peningkatan output dan ketenagakerjaan timbul dari keterkaitan ini, juga dicerminkan oleh penciptaan pendapatan tenaga kerja melalui keterkaitan penciptaan pendapatan mendorong peningkatan permintaan barang-barang konsumsi, menginduksi lebih banyak output dan kesempatan kerja.

Pembangunan sektor pertanian disatu pihak meningkatkan permintaan input antara (intermediate input), seperti : pupuk, insektisida, traktor dan lain-lain yang dipasok oleh sektor bukan pertanian ini disebut keterkaitan ke belakang (backward linkage). Namun dipihak lain, sektor pertanian meningkatkan

(21)

penawaran output untuk sektor-sektor lain (industri pertanian), di samping ada yang digunakan sendiri oleh sektor pertanian ini, disebut keterkaitan ke depan (forward linkage). Dengan demikian kedua aspek inilah dikenal sebagai efek keterkaitan antar industri (interindustry linkage effect) yang mengarah ke belakang dan ke depan.

Selain itu, pembangunan sektor pertanian akan meningkatkan penyediaan kesempatan kerja dan pendapatan di sektor pertanian, yang selanjutnya meningkatkan permintaan terhadap barang-barang konsumsi yang dihasilkan sektor lain. Keinginan untuk mengkonsumsi barang-barang tersebut merupakan dorongan untuk meningkatkan produktivitas dan akhirnya meningkatkan tabungan disektor pertanian. Hubungan inilah dikenal sebagai efek keterkaitan ketenagakerjaan (employment linkage effect) dan efek keterkaitan penciptaan pendapatan (income generation linkage effect).

2.4. Distribusi Pendapatan

Suatu studi untuk melihat berhasil tidaknya pembangunan ekonomi saat ini, tidaklah cukup hanya diukur berdasarkan laju pertumbuhan ekonomi dan kenaikan pendapatan per kapita saja. Apalah artinya jika pertumbuhan ekonomi tinggi dan pendapatan per kapita meningkat, namun distribusi pendapatan yang terjadi tidak merata, dimana penduduk kaya yang berjumlah sedikit lebih banyak menikmati kenaikan pendapatan tersebut, sedangkan penduduk miskin yang jumlahnya lebih banyak hanya sedikit menerima pendapatan. Dengan kata lain, dalam kondisi ketimpangan semacam itu penduduk yang merasakan kenaikan pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita tersebut hanyalah penduduk kaya yang jumlahnya sedikit, sementara penduduk miskin yang jumlah lebih

(22)

banyak tidak mengalami perbaikan pendapatan. Sehubungan dengan itu pemahaman mengenai distribusi pendapatan ini sangat penting, terutama sekali bila ingin mengkaji keberhasilan suatu pembangunan ekonomi.

Hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan pemerataan distribusi pendapatan sampai sekarang masih menjadi kontroversi. Di satu pihak, ada yang berpendapat bahwa keduanya saling bertentangan (trade off), tetapi di pihak lain ada yang berpendapat sebaliknya. Menurut Wie (1983) banyak ekonom beranggapan bahwa antara pertumbuhan ekonomi yang pesat dan pembagian pendapatan terdapat suatu kondisi trade off yang membawa implikasi kepada pemerataan dalam pembagian pendapatan hanya dapat dicapai jika laju pertumbuhan ekonomi diturunkan. Gejala lain yang mencemaskan adalah bahwa pembangunan ekonomi yang mengutamakan proses industrialisasi yang pesat, khususnya industrialisasi yang padat modal menyebabkan peningkatan dalam pengangguran terutama di daerah perkotaan di mana terpusat sebagian terbesar industri-industri yang baru didirikan. Pada gilirannya kondisi ini akan menunjukkan adanya tingkat ketidakmerataan distribusi pendapatan.

Adelman dan Morris (1973) dalam Arsyad (1999) mengemukakan delapan penyebab ketidakmerataan distribusi pendapatan sebagai berikut :

1. Pertambahan penduduk yang tinggi sehingga mengakibatkan menurunnya pendapatan per kapita.

2. Inflasi

3. Ketidakmerataan pembangunan antar daerah

4. Investasi yang sangat banyak dalam proyek-proyek padat modal (capital

intensive).

(23)

6. Pelaksanaan kebijakan industri substitusi impor yang mengakibatkan kenaikan harga-harga barang hasil industri untuk melindungi usaha-usaha golongan kapitalis.

7. Memburuknya nilai tukar (term of trade) bagi negara-negara berkembang dengan negara-negara maju sebagai akibat ketidakelastisitasan permintaan negara-negara terhadap barang-barang ekspor negara berkembang.

8. Hancurnya industri-industri kerajinan rakyat.

Pembicaraan mengenai distribusi pendapatan pada dasarnya dapat digolongkan menjadi dua, yakni distribusi pendapatan fungsional dan distribusi pendapatan antar rumahtangga. Konsep distribusi pendapatan fungsional berusaha menjelaskan pembagian pendapatan yang diterima oleh masing-masing faktor produksi, misalnya antara pendapatan yang diterima pekerja, pemilik modal dan kekayaan. Konsep ini mengacu pada teori keseimbangan Neo-klasik, yang diturunkan dari solusi pasar persaingan sempurna (Yotopoulus and Nuggent, 1976).

Pada prinsipnya distribusi pendapatan dengan pendekatan fungsional dapat dijabarkan dengan menggunakan fungsi produksi, seperti :

Y = f (K , L)

dimana Y adalah output fisik, K adalah kapital, dan L adalah tenaga kerja. Melalui derivasi persamaan [1] akan diperoleh produk marginal faktor produksi tenaga kerja (MPL) dan produk marginal faktor produksi kapital (MPK). Dengan mengetahui besamya MPL dan MPK akan dapat ditentukan pembagian pendapatan atau output fisik yang dihasilkan oleh masing-masing faktor produksi menurut

Tingkat Upah

SL R

(24)

harga pasar. Gambar 4 memberikan suatu ilustrasi yang sederhana mengenai distribusi pendapatan dengan pendekatan fungsional.

Anggaplah sekarang hanya ada dua faktor produksi, yaitu modal dan tenaga kerja. Dengan kurve penawaran tenaga kerja Neo-klasik, SL, dan kurve permintaan tenaga kerja, DL, maka tingkat upah pada keseimbangan pasar tenaga kerja adalah sebesar 0W, dan tingkat pekerjaan sebesar 0L. Jumlah output nasional digambarkan dengan daerah 0REL. Pendapatan nasional ini kemudian dibagi dalam dua bagian, yaitu : 0WEL untuk tenaga kerja dalam bentuk upah dan WRE

Gambar 4. Distribusi Pendapatan Dengan Pendekatan Fungsional Sumber : Todaro (2000)

merupakan keuntungan pemiliki modal. Disini kelihatan bagaimana pendapatan nasional itu dibagi-bagi menurut fungsi upah dan modal.

Kelemahan yang sering dijumpai dengan pendekatan ini terletak pada asumsi yang menyertainya. Misalnya, asumsi adanya pasar persaingan sempuma,

0

(25)

motif mendapatkan keuntungan maksimum, penalaran dan informasi sempuma. Asumsi-asumsi tersebut sangat mudah diungkapkan dalam teori, namun dalam kenyataannya sangat sulit dijumpai (Insukrindo, 1990).

Distribusi pendapatan antar rumahtangga dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu distribusi pendapatan absolut atau mutlak dan distribusi pendapatan relatif. Konsep yang disebut pertama berkaitan dengan proporsi jumlah rumah tangga yang pendapatannya dapat mencapai suatu tingkat tertentu atau lebih kecil dari itu, dan biasanya dikaitkan dengan jumlah penduduk yang berada dibawah garis kemiskinan (relatif atau absolut). Sedangkan distribusi pendapatan relatif menunjukkan perbandingan pendapatan yang diterima oleh berbagai kelas penerima pendapatan. Pada umumnya pembicaraan mengenai distribusi pendapatan lebih ditekankan pada pengertian atau konsep distribusi pendapatan relatif. Misalkan, 40% penduduk berpendapatan rendah menerima 17% dari jumlah pendapatan. Baik jumlah pendapatan yang diterima maupun jumlah penduduk, kedua-duanya dinyatakan dalam bentuk persentase (Esmara, 1996).

Selain distribusi pendapatan antar rumah tangga, distribusi pendapatan relatif bisa juga dikaji dengan tolok ukur lain, misalnya distribusi menurut sumber pendapatan, menurut kelompok, menurut klasifikasi pekerjaan atau menurut jenis pekerjaan. Meskipun distribusi antar perorangan atau rumah tangga adalah salah satu yang terpenting ditinjau dari segi kesejanteraan, klasifikasi lain mungkin lebih penting ditinjau dari segi kebijakan (Gemmell, 1994).

2.5. Strategi Pembangunan Ekonomi

Strategi pembangunan ekonomi yang diterapkan oleh berbagai negara berkembang merujuk pada bagaimana menentukan strategi yang cocok yang

(26)

mendatangkan perubahan dalam pertumbuhan ekonomi di satu daerah atau negara. Pilihan strategi ini akan memberikan ciri tidak saja hanya mempersoalkan perubahan struktur ekonomi, tetapi pilihan sektor potensial yang diletakkan di depan sebagai titik dinamis perubahan ekonomi tersebut. Gillis et.al. (1992) merumuskan strategi pembangunan ekonomi yang meliputi : strategi industri berdasarkan ekspor produk primer (primary–export–led growth strategy, PEP), strategi pembangunan industri substitusi impor (inward looking strategy dengan penekanan pada import substitution industrialization strategy, ISI) dan strategi industri promosi ekspor (outward looking strategy dengan penekanan pada

export–led industrialization strategy, IPE). Berdasarkan perspektif waktu, strategi PEP diterapkan pada era sebelum tahun 1950-an, strategi ISI menjadi strategi dominan dalam pembangunan ekonomian pada era tahun 1960-an dan strategi IPE berkembang pada era tahun 1970-an ke atas.

2.5.1. Strategi Promosi Ekspor Produk Primer (PEP)

Gillis et.al. (1992) menyatakan bahwa terdapat tiga manfaat dari strategi PEP menurut para ekonom pada saat itu. Ketiga manfaat tersebut adalah :

Pertama, meningkatkan manfaat dari faktor-faktor produksi yang dimiliki suatu negara. Penerapan strategi ini akan memberikan stimulus dalam penggunaan faktor produksi berupa peningkatan intensitas penggunaan lahan dan meningkatkan produktivitas tenaga kerja. Kedua, memperluas kepemilikan faktor produksi. Perluasan pasar-pasar potensial untuk produk-produk primer akan meningkatkan pengadaan investasi luar negeri, tabungan domestik, tenaga kerja dan angkatan kerja berkeahlian sebagai komplemen dari faktor-faktor produksi tetap seperti lahan dan sumberdaya alam lainnya. Ketiga, strategi PEP

(27)

memberikan efek keterkaitan, terutama keterkaitan ke belakang, konsumsi dan fiskal. Keterkaitan ke belakang dapat meningkatkan skala usaha, menurunkan biaya produksi dan menciptakan pasar domesik dan ekspor yang lebih kompetitif. Keterkaitan konsumsi diperlihatkan oleh kenaikan upah tenaga kerja akan meningkatkan permintaan atas pangan, sandang, perumahan dan kebutuhan lainnya. Sementara itu, keterkaitan fiskal diperlihatkan oleh peningkatan penerimaan pemerintah dari ekspor berupa pajak atau deviden yang dapat digunakan untuk membiayai pembangunan sektor lainnya.

Meskipun demikian strategi PEP memiliki berbagai hambatan dalam penerapannya di negara-negara sedang berkembang, dimana ekspor produk-produk primer selain minyak tidak efektif mendorong pembangunan ekonomi. Hal itu disebabkan : (1) pasar untuk produk-produk primer tumbuh melambat untuk meningkatkan pertumbuhan, (2) harga ekspor produk primer yang diterima cenderung menurun, (3) penerimaan tidak stabil (berfluktuasi), dan (4) keterkaitan tidak bekerja sebagaimana mestinya (Djaimi, 2006). Menurut Prebisch–Singer (1950) dalam Djaimi (2006) menyatakan bahwa tidak hanya pertumbuhan permintaan produk primer yang melambat, dalam jangka panjang harga yang diterima untuk komoditas-komoditas tersebut akan jatuh di pasar dunia relatif terhadap harga impor industri negara sedang berkembang daripada di negara maju. Hal ini terjadi karena ekspor produk primer dari negara sedang berkembang meningkat lebih cepat dari yang dibutuhkan oleh negara-negara industri. Kemudian Behrman (1987) menyatakan bahwa penerimaan ekspor produk primer tidak stabil tersebut akan ditransmisikan ke perekonomian domestik dan membuat permintaan domestik menjadi tidak stabil dan investasi lebih beresiko.

(28)

Ketidakpastian akses terhadap impor bahan baku, menyebabkan penerimaan ekspor berfluktuasi. Dan Gillis et. al., 1992 menyatakan booming ekspor produk-produk primer mendorong negara-negara berkembang lebih cenderung mengembangkan industri pengolahan mineral (barang tambang) dengan karakteristik : skala besar, padat modal, teknologi tinggi dan upah yang tinggi. Industri yang dikembangkan ini menciptakan kesempatan kerja yang kecil dan memiliki keterkaitan yang kecil terhadap perekonomian secara keseluruhan.

2.5.2. Strategi Industri Substitusi Impor (ISI)

Substitusi impor merupakan substitusi produksi domestik terhadap impor produk-produk industri manufaktur. Konsep dasar dari strategi ISI meliputi :

Pertama, mengidentifikasi pasar domestik yang besar, yang mengindikasikan peningkatan impor dari tahun ke tahun. Kedua, memastikan bahwa teknologi produksi dapat diterapkan oleh industri manufaktur lokal atau para investor luar negeri bersedia mensuplai teknologi, manajemen dan kapital. Ketiga, menerapkan hambatan-hambatan tarif, seperti tarif atau kuota impor, untuk mengatasi biaya awal yang tinggi dari produksi lokal dan membuatnya menguntungkan bagi investor-investor lokal dalam mencapai target industri (Gillis et. al., 1992).

Menurut Krugman dan Obstfeld (1991) negara-negara yang menerapkan stategi ISI tidak menyebabkan negara-negara tersebut menjadi lebih maju bahkan menyebabkan stagnasi pendapatan per kapita. Pada kasus beberapa negara berkembang hal itu terjadi. Menurut Basalim et. al. (2000), kegagalan negara-negara sedang berkembang meningkatkan perekonomiannya, termasuk Indonesia, dengan menerapkan strategi ISI adalah : Pertama, pengembangan industri substitusi impor dijalankan dengan melakukan proteksi pemerintah yang

(29)

berlebihan berupa pemberian fasilitas kredit, fiskal dan perlindungan tarif. Hal ini membawa konsekuensi berupa kondisi pasar yang tidak sehat, harga yang terlalu tinggi, mutu barang rendah dan timbulnya praktek-praktek monopoli atau sejenisnya. Lebih tegas dinyatakan oleh Tambunan (2004) bahwa proteksi itu menjadikan industri menjadi tidak efisien. Inefisien ini telah membuat industri menjadi high cost industry. Kedua, industri yang dikembangkan cenderung bersifat padat modal, sehingga peranannya dalam penyerapan tenaga kerja sangat kecil. Disamping itu, pengembangan industri padat modal ini menyebabkan industri kecil dan menengah sejenis yang padat karya kalah bersaing, sehingga tingkat pengangguran bertambah. Ketiga, industri substitusi impor bersifat

inward-looking dalam memasarkan produknya dan outward-looking dalam permintaan input, implikasinya multiplier effects yang ditimbulkan sangat kecil.

Keempat, pengembangan industri ini cenderung menguras devisa negara guna mengimpor bahan baku/penolong dan barang modal yang diperlukan, di sisi lain produk-produk yang dihasilkan kalah bersaing dengan produk-produk sejenis dari negara lain karena kualitas yang relatif rendah. Kelima, apabila produk-produk industri ini di ekspor, maka devisa yang diperoleh negara-negara sedang berkembang sangat kecil. Hal ini disebabkan produk industri yang dihasilkan merupakan subcontracting exports dari perusahaan asing kepada afilisasinya di negara lain.

Selanjutnya Tambunan (2004) menyatakan bahwa dari pengalaman Indonesia, strategi ISI tidak hanya memberikan dampak buruk terhadap sektor industri, tetapi juga terhadap sektor pertanian dan pedesaan. Dengan tarif impor yang tinggi dalam skim ISI, impor barang modal yang dibutuhkan oleh sektor pertanian manjadi mahal sehingga investasi menurun. Dia menyatakan bahwa

(30)

secara umum, sektor pertanian berada pada situasi yang berat dalam posisi “underinvestment”.

2.5.3. Strategi Industri Promosi Ekspor (IPE)

Inward–looking strategy dari ISI merupakan salah satu cara untuk mempercepat perubahan dalam teori comparative advantage. Pendekatan alternatif adalah outward–looking strategy yang secara langsung mentargetkan untuk mengekspor produk-produk manufaktur. Walaupun substitusi impor merupakan bagian utama dari outward looking strategies, tetapi hanya langkah pertama untuk mewujudkan industri yang kompetitif secara internasional.

Outward–looking development berakar dari teori ekonomi Neoklasik, tetapi strategi ini paling banyak dipraktekkan di Asia Timur yang dikenal dengan

market–oriented theories of development (teori pembangunan berorientasi pasar).

Outward–looking development lebih dikenal dengan strategi IPE (Gillis et.

al., 1992).

Menurut Gillis et. al. (1992) memahami strategi IPE dapat dijelaskan melalui tiga prinsip dasar dari sistem ekonomi pasar, yaitu : (1) barang dan jasa harus tersedia sesuai dengan mekanisme pasar, (2) harga harus merefleksikan kelangkaan relatif dari perekonomian, dan (3) kompetisi di dalam maupun di luar pasar domestik.

Teori Neoklasik secara ideal menghendaki kontrol pemerintah dan distorsi harga sekecil mungkin. Namun demikian, esensi dari strategi IPE tidak mengabaikan adanya intervesi atau distorsi dalam pasar, dengan kata lain intervensi pemerintah dapat dilakukan apabila terjadi market failure (kegagalan pasar). Oleh karenanya, perusahaan-perusahaan swasta menentukan apa yang

(31)

dihasilkan untuk pasar domestik dan ekspor. Dalam dunia Neoklasik, strategi IPE dinyatakan sebagai keluaran kekuatan pasar. Gambaran ini telah mendominasi literatur pembangunan dan dijadikan formulasi dasar dari program-program utama dari penyesuaian struktural yang lebih berorientasi ke luar (Balassa, 1980 dan Djaimi, 2006).

Selanjutnya Amsden (1989) menyatakan bahwa learning by doing sebagai prestasi penting bagi sejumlah negara untuk mengadopsi teknologi dalam rangka mengembangkan industri pada abad ke-20. Disamping itu mereka juga harus membangun institusi-institusi ekonomi modern seperti korporasi dan pasar modal. Untuk mewujudkannya, berdasarkan pengalaman Jepang dan Korea Selatan, pemerintah melakukan sejumlah intervensi berupa pengawasan dan subsidi, terutama dalam rangka mengadopsi teknologi baru. Hal ini dilakukan untuk mendorong perusahaan-perusahaan domestik masuk ke pasar ekspor.

Intervensi pemerintah dalam mensukseskan strategi IPE perlu dilakukan dengan hati-hati, yang harus diiringi dengan sejumlah latihan dan kedisiplinan para pejabat pemerintah dalam mensukseskannya. Hanya sedikit pemerintah yang cukup terlatih dan disiplin dalam melaksanakan strategi IPE, antara lain Jepang dan empat negara macan Asia (Korea Selatan, Taiwan, Hongkong dan Singapura). Intervensi seperti ini secara langsung mempengaruhi hubungan antara pejabat pemerintah dan perusahaan swasta, yaitu ketergantungan yang saling menguntungkan antara satu sama lain. Oleh karenanya sangat sulit bagi para pejabat pemerintah untuk tetap objektif dan disiplin dalam memberikan imbalan kepada pemenang dan menghukum yang menyimpang (Pack dan Westphal, 1986).

(32)

Selanjutnya Gillis et. al. (1992) menyatakan bahwa berbagai intervensi yang dilakukan pemerintah dalam mensukseskan strategi IPE. Intervensi tersebut cenderung menyuburkan perilaku rent–seeking dan menimbulkan distorsi seperti yang ditimbulkan oleh strategi ISI. Disamping itu, intervensi pemerintah cenderung menyebabkan high cost economic (perekonomian biaya tinggi) dan hanya sedikit prospek industri kompetitif secara internasional yang terbentuk.

2.5.4. Strategi Industri Berbasis Pertanian (ADLI)

Agricultural demand-led industrialization strategy (ADLI, strategi industri berbasis pertanian) berperan penting dalam meningkatkan produktivitas pertanian melalui inovasi teknologi dan peningkatan investasi dalam meningkatkan pendapatan masyarakat di pedesaan. Strategi ini dianjurkan karena produktif dan secara kelembagaan terkait dengan perekonomian secara keseluruhan, stimulasi pertanian pangan menghasilkan insentif pangan yang kuat (meningkatkan permintaan konsumen rumahtangga perdesaan) dan insentif penawaran (meningkatkan suplai pangan tanpa meningkatkan harga). Insentif-insentif ini mampu mengendalikan perluasan industri. Strategi ini berawal dari kebijakan-kebijakan pertumbuhan ekonomi terdahulu, yaitu strategi ISI dan IPE (Adelman, 1984 dalam Adelman, 1995 dan Kasryno dan Stepanek, 1985).

Dalam strategi ADLI, perbaikan produktivitas lahan pertanian berdampak pada sejumlah pasar. Pertama, perbaikan ini menstimulus permintaan input-input antara (seperti pupuk, bibit unggul dan pestisida) dan barang-barang kapital baru (seperti peralatan irigasi baru dan infrastuktur) serta meningkatkan permintaan tenaga kerja. Investasi di sektor pertanian mampu menciptakan kesempatan kerja di sektor non pertanian tergantung pada kekuatan keterkaitan ke belakang sektor

(33)

pertanian dan pembagian suplai antara produksi domestik dan impor. Peningkatan produktivitas meningkatkan kesempatan kerja bagi penggarap tanah, apabila inovasi dalam meningkatkan produktivitas lahan menggunakan metode pertanian yang padat tenaga kerja (Adelman, 1984 dalam Adelman, 1995 dan Kasryno dan Stepanek, 1985). Kedua, apabila tren pengeluaran rata-rata dari rumahtangga pertanian kecil dan menengah lebih besar dari pemilik lahan, maka tambahan pendapatan kelompok rumahtangga tersebut terutama lebih banyak dibelanjakan pada komoditas-komoditas non pertanian dan jasa. Barang dan jasa ini meliputi tekstil, pangan olahan, jasa persorangan, pendidikan dan lainnya. Karena strategi ini memberi efek terhadap pertumbuhan dan kesempatan kerja, keterkaitan konsumsi rumahtangga perdesaan merupakan kunci dari sisi permintaan yang mengendalikan industrialisasi di negara-negara sedang berkembang yang berpendapatan rendah (Kasryno dan Stepanek, 1985). Haggblade, Hazell dan Brown (1989) dalam Djaimi (2006) menyatakan bahwa untuk negara-negara berpendapatan rendah seperti Asia Selatan dan sub-Saharan Afrika, imbas perluasan sektor pertanian memberikan efek positip terbesar terhadap kesempatan kerja melalui pengeluaran rumahtangga perdesaan pada barang-barang dan upah non pertanian. Mereka juga melaporkan bahwa keterkaitan konsumsi memberikan efek multiplier sebesar 60-80 persen dari total multiplier pertumbuhan pertanian di negara-negara tersebut. Ketiga, peningkatan penawaran pertanian memastikan upah nominal tidak meningkat. Hal ini mengindikasikan bahwa perluasan industri domestik tidak menyebabkan terjadinya inflasi (Medani, 1985). Dengan demikian keuntungan industri terjamin, upah nominal yang rendah memberikan imbas terhadap kesempatan kerja dalam menghasilkan barang-barang nontradable dan

(34)

jasa yang padat tenaga kerja. Besaran dari efek kesempatan kerja tidak langsung mendorong industri dari sisi penawaran.

Ada tiga implikasi kebijakan dalam penerapan strategi ADLI. Pertama, dalam rangka membangun tingkat pertumbuhan produksi pertanian yang kuat, sangat penting memperluas investasi dalam bentuk fisik dan infrastruktur kelembagaan. Ini termasuk investai dalam riset budidaya dan diseminasinya, investasi sosial perdesaan dan jasa pendidikan, serta investasi pemasaran dan jaringan transportasi. Kedua, para perencana harus menghilangkan unsur-unsur perdagangan yang menyebabkan kerusakan pertanian berupa penghisapan peningkatan surplus perdesaan potensial. Ketiga, para perencana seharusnya membangun suatu kebijakan perdagangan terbuka. De Janvry dan Sadaulet (1986) mendemonstrasikan manfaat efek peningkatan suplai pangan dalam mengurangi pengeluaran impor pangan pada negara-negara sedang berkembang berpendapatan rendah. Pengurangan impor pangan akan mengendurkan pertukaran luar negeri untuk membeli barang-barang kapital impor. Hal ini akan menyebabkan harga barang-barang konsumsi non pertanian yang inelastis meningkat. Peningkatan harga barang-barang konsumsi non pertanian menyebabkan permintaan pangan menurun, selanjutnya mengurangi keuntungan petani. Dalam jangka panjang, pengurangan keuntungan pertanian pangan akan membatasi permintaan agregat, menyebabkan strategi ADLI menjadi kolap.

Selanjutnya strategi ADLI tergantung pada asumsi bahwa elastisitas pendapatan rumahtangga perdesaan dan elastisitas harga dari penawarannya terhadap barang-barang non-tradables padat tenaga kerja tinggi. Jika elastisitas-elastisitas ini rendah, maka keberhasilan strategi ADLI dalam jangka panjang

(35)

tidak terjamin. Oleh karenanya, pengembangan ekonomi terbuka menjadi kekuatan untuk mendukung industrialisasi melalui ekspor produk primer dan pertanian (De Janvry dan Sadoulet, 1986 dan Adelman dan Vogel, 1991).

Berdasarkan uraian tentang strategi ADLI di atas dapat dinyatakan bahwa strategi tersebut menyajikan strategi pembangunan perdesaan yang memanfaatkan kekuatan permintaan rumahtangga perdesaan dalam rangka meningkatkan produksi barang dan jasa non pertanian secara domestik yang padat tenaga kerja. Peningkatan produksi barang dan jasa tersebut secara simultan meningkatkan penawaran pertanian melalui inovasi teknologi.

Ekonomi di Propinsi Jawa Barat sebagaimana telah dikemukakan pada bab terdahulu menunjukkan bahwa sektor Industri Pengolahan adalah sektor yang masih memberikan kontribusi terbesar terhadap PDRB dan output yang dipasarkan lebih berorientasi ekspor (menurut data BPS Jabar tahun 2004 disebutkan bahwa sampai tahun 2002 produk unggulan yang menjadi andalan untuk memperoleh devisa adalah subsektor industri pengolahan, yaitu mesin dan alat pengangkutan, hasil industri menurut bahan dan hasil industri lainnya). Oleh karenanya, pilihan strategi IPE bagi pengembangan ekonomi privinsi Jawa Barat ke depan nampaknya masih dianggap relevan. Namun demikian perlu dikaji lebih lanjut apakah kebijakan tersebut menjadi tepat.

2.6. Model Ekonomi Keseimbangan Umum

Pembahasan-pembahasan strategi industri di atas menunjukkan bahwa dalam perubahan struktur ekonomi, selalu dicirikan adanya sektor ekonomi yang menjadi “leader” dalam pertumbuhan ekonomi. Premis pembangunan industri tidak dapat berdiri tunggal tetapi selalu kait mengkait. Tumbuhnya satu industri di

(36)

satu lokasi/daerah selalu menarik industri lain sehingga pertumbuhan industri berkembang kait mengkait. Untuk memahami perubahan seperti output, tenaga kerja, distribusi pendapatan dan multiplier, secara keseluruhan meningkatkan pemahaman perubahan ini dapat dilakukan melalui alat analisis yang termasuk dalam teori kesimbangan umum.

Model ekonomi keseimbangan umum (general equilibrium economic

model) adalah salah satu model ekonomi yang dapat menganalisis secara bersama-sama perubahan-perubahan makroekonomi maupun perekonomian secara sektoral dan regional. Model keseimbangan umum melihat ekonomi sebagai suatu sistem (Dixon et. al., 1992). Pada model ini terdapat keterkaitan antara pelaku ekonomi, yaitu antar industri, rumahtangga, investor, pemerintah, eksportir dan importir, dan antara pasar komoditas yang berbeda. Seluruh pasar yang ada dalam keadaan keseimbangan dan mempunyai struktur yang spesifik untuk mencapai keseimbangan.

Terdapat model-model keseimbangan umum yang dapat digunakan dalam mempersiapkan rencana pembangunan ekonomi. Jhingan (2003) menyatakan bahwa salah satu jenis model perencanaan tersebut adalah model Input-Output (IO). Baumol (1972) dalam Nazara (1997) menyatakan analisis IO sebagai usaha untuk memasukkan fenomena keseimbangan umum dalam analisis empiris sisi produksi. Keseimbangan dalam analisis IO didasarkan arus transaksi antar pelaku perekonomian yang penekanan utamanya adalah pada sisi produksi. Nazara (1997) menyatakan bahwa selain IO, alat analisis lain yang dikembangkan bagi perencanaan ekonomi adalah Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE) atau disebut

(37)

sebagai Social Accounting Matrix (SAM) dan Computable General Equilibrium (CGE).

2.6.1. Model Input-Output (IO)

Konsep dasar analisis IO diperkenalkan pertama sekali oleh tokoh kaum Physiocracy yaitu Francois Quesnay. Landerth menjelaskan bahwa Francois Quesnay menyusun Analyse du Tableau Economique pada tahun 1758. Dia menyusun suatu matriks yang menunjukkan adanya interdependensi dalam susunan ekonomi. Tabel ekonomi itu memperlihatkan cara transaksi jual beli yang dilakukan di berbagai sektor ekonomi dari suatu sektor ke sektor lain. Selain itu ia menyebutkan bahwa Quesnay menyajikan arus keseimbangan ekonomi melalui tabel ekonomi, sedangkan Smith memberikan gambaran melalui proses pasar dan Walras melihat keseimbangan dengan mengambil analogi pada ilmu fisik. Salah satu pemikiran Walras yang kemudian dikembangkan oleh Wassily Leontief menjadi analisis IO, yaitu Analisis Keseimbangan Umum (General Equilibrium).

Model keseimbangan umum dari Walras menjelaskan adanya dua lembaga ekonomi yaitu rumah tangga dan perusahaan. Diantara kedua lembaga tersebut terjadi penawaran barang-barang jadi (final good) dari perusahaan dan permintaan terhadap barang-barang jadi oleh rumah tangga, tetapi secara bersamaan terjadi permintaan terhadap faktor-faktor produksi dari perusahaan terhadap rumah tangga. Apabila terjadi jumlah yang diminta sama dengan jumlah yang ditawarkan, maka tercapailah keseimbangan umum yang dimaksud.

Menurut Leontief (1985) analisis IO merupakan suatu metode yang secara sistematis mengukur hubungan timbal balik diantara beberapa sektor dalam sistem ekonomi yang kompleks. Sistem ekonomi yang dimaksud dapat diterapkan berupa

(38)

sistem suatu bangsa atau dunia. Kemudian ia juga memfokuskan perhatian terhadap hubungan antar sektor di dalam suatu wilayah, dan mendasarkan analisisnya terhadap keseimbangan. Sehingga Model IO dapat dianggap sebagai suatu kemajuan penting di dalam pengembangan teori keseimbangan umum.

Konsep dasar Model IO Leontief didasarkan atas : (1) struktur perekonomian tersusun dari berbagai sektor (industri) yang satu sama lain berinteraksi melalui transaksi jual beli, (2) output suatu sektor dijual kepada sektor lainnya untuk memenuni permintaan akhir rumah tangga, pemerintah, pembentukan modal dan ekspor, (3) input suatu sektor dibeli dari sektor-sektor lainnya, dan rumah tangga dalam bentuk jasa dan tenaga kerja, pemerintah dalam bentuk pajak tidak langsung, penyusutan, surplus usaha dan impor, (4) hubungan Input-Output bersifat linier, (5) dalam suatu kurun waktu analisa, biasanya satu tahun, total input sama dengan total output, dan (6) suatu sektor terdiri dari satu atau beberapa perusahaan. Suatu sektor hanya menghasilkan suatu output, dan output tersebut dihasilkan oleh satu teknologi.

Model IO tersebut didasarkan atas beberapa asumsi. Asumsi itu diantaranya adalah : (1) homogenitas, yang berarti suatu komoditi hanya dihasilkan secara tunggal oleh suatu sektor dengan susunan yang tunggal dan tidak ada substitusi ouput diantara berbagai sektor, (2) linieritas, ialah prinsip dimana fungsi produksi bersifat linier dan homogen. Artinya perubahan suatu tingkat output selalu didahului oleh perubahan pemakaian input yang proporsional, dan (3) aditivitas ialah suatu prinsip dimana efek total dari pelaksanaan produksi diberbagai sektor dihasilkan oleh masing-masing sektor

(39)

secara terpisah. Hal ini berarti bahwa semua pengaruh di luar sistem input-ouput diabaikan.

Berdasarkan asumsi tersebut, maka tabel IO sebagai model kuantitatif memiliki keterbatasan, yakni bahwa koefisien input ataupun koefisien teknis diasumsikan tetap (konstan) selama periode analisis atau proyeksi. Karena koefisien teknis dianggap konstan, maka teknologi yang digunakan oleh sektor-sektor ekonomi dalam proses produksi pun dianggap konstan. Akibatnya perubahan kuantitas dan harga input akan selalu sebanding dengan perubahan kuantitas dan harga output.

Model IO dapat digunakan untuk berbagai tujuan antara lain : (1) untuk analisis struktural, yaitu melukiskan hubungan permintaan dan penawaran pada tingkat keseimbangan, (2) sebagai alat evaluasi pengaruh ekonomi pada investasi masyarakat terhadap perekonomian regional dan nasional, (3) sebagai alat analisis regional dan interregional, (5) untuk analisis dampak antar sektor ekonomi, tenaga kerja pendapatan dan lain-lain, (6) untuk analisis kepekaan dan uji kelayakan, (7) bersama-sama dengan metode Linier Programming dapat digunakan untuk tujuan perencanaan, dan (8) bersama-sama dengan analisis comparative cost, untuk analisis industrial kompleks dalam suatu rangkaian analisis ekonomi regional.

Sedangkan kegunaan tabel IO antara lain untuk : (1) memperkirakan dampak permintaan akhir terhadap output, nilai tambah, impor, penerimaan pajak dan penyerapan tenaga kerja di berbagai sektor produksi, (2) menyusun proyeksi

variabel-variabel ekonomi makro, (3) menganalisis perubahan harga, (4) mengetahui sektor-sektor yang pengaruhnya paling dominan terhadap

(40)

pertumbuhan ekonomi dan sektor-sektor yang peka terhadap pertumbuhan perekonomian nasional, (5) melihat komposisi penyediaan dan penggunaan barang dan jasa, terutama dalam analisis terhadap kebutuhan impor dan kemungkinan substitusinya, dan (6) melihat konsistensi dan kelemahan berbagai data statistik yang pada gilirannya dapat digunakan sebagai landasan perbaikan, penyempurnaan dan pengembangan lebih lanjut (Biro Pusat Statistik, 1994).

Dengan mengetahui jumlah sektor atau industri yang menyusun perekonomian suatu wilayah, maka dapat disusun suatu tabel IO dengan bentuk sederhana sebagaimana terlihat dalam Tabel 1.

Tabel 1. Tabel Input-Ouput Sederhana (2 Sektor) Sektor

Prpoduksi Permintaan Akhir

Total Output 1 2 C I G E X Sektor Produksi 1 z11 z12 C1 I1 G1 E1 X1 2 z21 z22 C2 I2 G2 E2 X2 Nilai Tambah L L1 L2 LC LI LG LE L N N1 N2 NC NI NG NE N Impor M M1 M2 MC ML MG ME M Total Input X X1 X2 C I G E X Sumber : Nazara, 1997

Berdasarkan Tabel 1 diasumsikan bahwa :

1. Dalam perekonomian hanya terdapat dua sektor produksi, yaitu sektor 1 dan 2. 2. Terdapat empat komponen permintaan akhir, yaitu : konsumsi rumahtangga

(C), investasi perusahaan (I), pengeluaran pemerintah (G), dan ekspor (E). 3. Terdapat dua faktor produksi, yaitu : (1) tenaga kerja dengan balas jasa upah

(41)

produksi maupun pengguna akhir juga dapat membeli barang dari luar negeri dalam bentuk impor (M).

Sebagaimana terlihat dalam Tabel 1, total input harus sama dengan total output. Kemudian sesuai sifatnya yang linier, maka dapat dituliskan :

X1 + X2 + L + N + M = X

= X1 + X2 + C + I + G +E

atau

L + N = C + I + G + E – M ………..……. (2.1) merupakan persamaan yang menunjukkan identitas pendapatan nasional. Sehubungan dengan ini maka secara teoretis terdapat dua cara dalam menentukan pendapatan nasional, yaitu :

1. Pendapatan nasional sebagai penjumlahan dari balas jasa faktor produksi dalam perekonomian tersebut, yaitu : L + N (sebagaimana ditunjukkan oleh sisi kiri persamaan)

2. Pendapatan nasional sebagai penjumlahan dari pengeluaran yang dilakukan oleh pelaku ekonomi dalam perekonomian tersebut, yaitu : C + I + G + E – M (sebagaimana ditunjukkan oleh sisi kanan persamaan).

Berdasarkan Tabel 1 terdapat tiga daerah yang diarsir. Masing-masing kelompok tersebut dapat dijadikan satu matrik tersendiri. Matrik dengan elemen kelompok di kiri atas disebut sebagai matrik input antara, Z, yang dituliskan sebagai berikut : ⎥ ⎦ ⎤ ⎢ ⎣ ⎡ = 22 12 21 11 z z z z Z

(42)

Matrik dengan elemen kelompok di kiri bawah disebut sebagai matrik input primer yang berisikan balas jasa faktor produksi dari masing-masing sektor di dalam perekonomian. Matrik input primer, W, dituliskan sebagai berikut :

⎥ ⎦ ⎤ ⎢ ⎣ ⎡ = 2 2 1 1 N L N L Z

Sedangkan matrik dengan elemen kelompok di kanan atas disebut sebagai matrik permintaan akhir, yang berisikan permintaan akhir untuk masing-masing sektor di dalam perekonomian. Biasanya matrik ini dijadikan sebuah vektor kolom, yang setiap elemennya adalah total permintaan akhir dari masing-masing sektor di dalam perekonomian. Bentuk matrik permintaan akhir adalah :

⎥ ⎦ ⎤ ⎢ ⎣ ⎡ = ⎥ ⎦ ⎤ ⎢ ⎣ ⎡ = 2 1 2 2 1 2 1 1 1 1 Y Y E I G C E I G C Y

Dengan mengetahui zij dan Xj maka dapat ditentukan koefisien teknologi, aij, (yang sering disebut pula sebagai koefisien input-output atau koefisien input langsung) sebagai berikut :

ij ij ij X z a =

Seluruh koefesien teknologi tersebut selanjutnya dapat dinyatakan dalam sebuah matrik A dengan bentuk sebagai berikut :

⎥ ⎥ ⎥ ⎥ ⎥ ⎥ ⎦ ⎤ ⎢ ⎢ ⎢ ⎢ ⎢ ⎢ ⎣ ⎡ = nn n n n a an a a a a a a a A . . 2 . . . . . . . . . . . . 22 21 . . 12 1 2 1 11

Setelah diperoleh koefesien teknologi tersebut, maka sistem persamaan distribusi dari output sektor-i dituliskan sebagai berikut :

(43)

n n nn n n n n n n n Y X a X a X a X Y X a X a X a X Y X a X a X a X + + + + = + + + + = + + + + = .. . . .. .. 2 2 1 1 2 2 2 22 1 21 2 1 1 2 12 1 11 1 ………. (2.2)

Dengan menggeser seluruh elemen ke kiri, kecuali Yi, dari persamaan (2.2) akan diperoleh bentuk : n n nn n n n n n n n Y X a X a X a X Y X a X a X a X Y X a X a X a X = − − − − = − − − − = − − − − .. . . .. .. 2 2 1 1 2 2 2 22 1 21 2 1 1 2 12 1 11 1 ……….… (2.3)

Kemudian dengan menyatukan Xi yang sama maka persamaan (2.3) dapat disederhanakan menjadi bentuk :

n n nn n n n n n n Y X a X a X a Y X a X a X a Y X a X a X a = − + − − = − − + − = − − − ) 1 ( .. . . .. ) 1 ( .. ) 1 ( 2 2 1 1 2 2 2 22 1 21 1 1 2 12 1 11 …..………. (2.4)

Sistem persamaan (2.4) kemudian dapat dituliskan dalam notasi matrik yang lebih sederhana sebagai berikut :

Y X A I− ) =

( ……….. (2.5)

dimana I merupakan matrik identitas berukuran n x n dan A merupakan matrik teknologi. Sedangkan X dan Y adalah vektor kolom yang berbentuk :

⎥ ⎥ ⎥ ⎥ ⎥ ⎥ ⎦ ⎤ ⎢ ⎢ ⎢ ⎢ ⎢ ⎢ ⎣ ⎡ = n X X X X . . 2 1 dan ⎥ ⎥ ⎥ ⎥ ⎥ ⎥ ⎦ ⎤ ⎢ ⎢ ⎢ ⎢ ⎢ ⎢ ⎣ ⎡ = n Y Y Y Y . . 2 1

Kondisi persamaan (2.5) dapat dituliskan bentuk persamaan sebagai berikut :

Gambar

Gambar 2.  Pertumbuhan Ekonomi Model W. Arthur Lewis   Sumber  :  Todaro,  2000.
Tabel 1. Tabel Input-Ouput Sederhana (2 Sektor)   Sektor
Tabel 2. Struktur SAM  Pendapatan  Pengeluaran 1 2 3 Faktor Produksi  4  Institusi  5 6    Aktivitas

Referensi

Dokumen terkait

Dengan demikian, analisis fundamental merupakan analisis yang berbasis pada berbagai data riil untuk mengevaluasi atau memproyeksi nilai

Permintaan agregat miring ke bawah ketika tingkat harga berubah pada model IS-LM, untuk setiap jumlah uang beredar M, tingkat harga P yang lebih tinggi akan mengurangi

kegiatan yang ditujukan untuk memacu tingkat permintaan terhadap produk yang dipasarkan dengan komunikasi antara produsen dan konsumen. Komunikasi pemasaran

Menurut Rahmawati (2008) yang berjudul Analisis Tingkat Kepuasan Pelanggan Terhadap Kualitas Pelayanan Salon Dina Lee, Bogor mengemukakan bahwa tujuan penelitian ini adalah

Tabel I–O dapat digunakan untuk (1) memperkirakan dampak permintaan akhir dan perubahannya (pengeluaran rumah tangga, pengeluaran pemerintah, investasi, dan ekspor) terhadap

 Menjelaskan faktor-faktor permintaan untuk uang  Menentukan keseimbangan tingkat bunga dan riil GDP  Menurunkan kurva penawaran aggregata. 3 Keseimbangan IS-LM

“Analisis rasio keuangan merupakan instrumen analisis prestasi perusahaan yang menjelaskan berbagai hubungan dan indikator keuangan, yang ditujukan untuk

Muawanah, 2017 2.5 Kurva Permintaan dan Penawaran Linear 2.5.1 Kurva Permintaan Fungsi permintaan yang mencerminkan perilaku konsumen di pasar dimana sifat yang berlaku yaitu