PENGUKURAN RETURN ON TRAINING INVESTEMENT (ROTI)
Oleh Stefan Tupamahu
∗dan Budi W. Soetjipto
♦Abstract
Training evaluation has been well regarded as a must‐do activity to demonstrate the extent to which a training program improves the performance of ex‐participants and the company. Moreover, there is a need to evaluate a training program in financial terms, more specifically in terms of return on investment (ROI). This article provides step‐by‐step information on how to calculate ROI in training, also known as ROTI (Return on Training Investment).
Dalam persaingan usaha yang semakin meningkat, peran Sumber Daya Manusia (SDM) yang dimiliki suatu perusahaan dirasakan semakin meningkat. Tidak dapat dipungkiri bahwa kompetensi pegawai dalam suatu perusahaan seringkali menjadi salah satu kunci keberhasilan bisnis, khususnya bagi perusahaan‐perusahaan yang bergerak di industri jasa.
Salah satu sektor industri jasa di Indonesia yang memerlukan SDM dengan kompetensi yang baik adalah sektor perbankan. Perkembangan sektor perbankan di negara kita dari tahun ke tahun memberikan gambaran betapa kompetensi pegawai memiliki peran penting dalam perjalanan usaha suatu bank. Sebelum dilanda krisis ekonomi pada tahun 1997‐1998, bank‐ bank besar di Indonesia umumnya bertumpu pada perbankan korporasi (corporate banking) yang mengandalkan nasabah‐nasabah besar dalam jumlah yang terbatas. Sayangnya, ketika krisis melanda Indonesia segmen korporasi tersebut justru menjadi sektor yang mengalami hantaman ekonomi paling besar dibandingkan segmen‐segmen usaha lainnya. Gejolak bisnis yang dialami perusahaan‐perusahaan besar pada masa krisis tersebut pada gilirannya telah membawa dampak yang tidak sedikit terhadap perjalanan usaha bank‐bank besar di Indonesia.
Seiring dengan terjadinya gejolak yang menghantam sektor perbankan korporasi, bank‐bank di Indonesia mulai melirik potensi yang ada di sektor perbankan ritel yang selama ini seakan terpinggirkan dari fokus usaha mereka. Persoalannya, pengembangan sektor ritel ini membutuhkan strategi yang jauh berbeda dibandingkan pengembangan sektor korporasi. Nasabah korporasi umumnya berjumlah terbatas dengan kemampuan pendanaan yang
∗
sangat kuat, dengan target pasar utamanya adalah perusahaan swasta besar dan BUMN, khususnya di sektor pertambangan, industri terkait ekspor, makanan, perdagangan grosir dan ritel, serta sektor telekomunikasi. Sebaliknya nasabah ritel lebih merupakan nasabah perorangan yang berjumlah sangat banyak dengan kemampuan pendanaan yang relatif lebih terbatas. Perbedaan karakteristik nasabah ini memiliki konsekuensi pada terdapatnya perbedaan perlakuan pelayanan bank yang diberikan sesuai dengan tuntutan dari nasabah itu sendiri.
Untuk memberikan pelayanan yang baik kepada nasabah‐nasabah ritel, bank harus memiliki kemampuan teknologi yang baik, jaringan distribusi yang luas, produk‐produk perbankan yang menarik, serta promosi yang gencar disertai iming‐iming hadiah yang jumlahnya tidak sedikit. Selain itu, hal yang tidak kalah pentingnya adalah adanya dukungan kinerja pegawainya melalui peningkatan kompetensi yang terus menerus, dimana dalam era persaingan usaha yang semakin tinggi di segmen ritel tersebut diperlukan pendekatan yang bersifat konsultatif agar karyawan mampu memahami kebutuhan nasabah yang sesungguhnya.
Pentingnya peningkatan kompetensi pegawai yang terus menerus kemudian mendorong perusahaan memberikan pendidikan dan pelatihan/training yang memampukan pegawainya untuk memahami kebutuhan nasabah secara tepat agar dapat menawarkan dan menjual produk perbankan yang sesuai. Pentingnya peran training untuk mengembangkan sektor perbankan ritel ini semakin disadari oleh kalangan perbankan Indonesia, terutama oleh bank‐ bank milik negara yang selama ini cenderung kurang menaruh perhatian terhadap hal tersebut.
Setelah training diberikan, tentunya perusahaan perlu mengetahui sejauhmana kontribusi
training tersebut terhadap perubahan atau peningkatan kinerja pegawai maupun perusahaan
secara keseluruhan. Hal ini penting karena disadari bahwa belum tentu training yang diberikan kemudian selalu memberikan hasil yang efektif sesuai dengan yang diharapkan perusahaan. Untuk itu, perlu dilakukan evaluasi untuk mengukur sejauhmana efektivitas
training tersebut terhadap tujuan yang ingin dicapai. Terkait dengan hal tersebut, Donald L.
Kirkpatrick (1998) mengatakan bahwa evaluasi suatu training adalah bagian yang tidak terpisahkan dari penyelenggaraan training itu sendiri dan bahwa evaluasi tersebut merupakan kegiatan yang harus dilakukan agar training secara keseluruhan dapat berlangsung dengan efektif.
Pada tahun 1959, Kirkpatrick mengemukakan teorinya yang terkenal mengenai evaluasi
training melalui tulisannya di American Society for Training and Development Journal.
Menurutnya, ada empat tingkat/ level dalam evaluasi training, yaitu: − Level 1: Reaction
Evaluasi pada tingkat ini mengukur reaksi kepuasan peserta terhadap pelaksanaan training. − Level 2: Learning Evaluasi pada tingkat ini mengukur sejauhmana peserta memahami materi training yang disampaikan dalam tiga domain kompetensi: knowledge, skill, dan attitude. − Level 3: Behavior
Evaluasi pada tingkat ini mengukur sejauhmana peserta menerapkan/ mengimplementasikan pemahaman kompetensi yang diperolehnya tersebut dalam lingkungan pekerjaannya.
− Level 4: Results
Evaluasi pada tahap ini mengukur seberapa besar dampak pelaksanaan training terhadap kinerja pekerjaan ataupun hasil akhir yang diharapkan.
Meskipun masing‐masing tingkat evaluasi tersebut mengukur hal yang berbeda dan tidak sekuensial, Kirkpatrick menegaskan bahwa evaluasi training harus dilakukan tingkat demi tingkat agar tidak terjadi bias dalam menginterpretasikan hasil evaluasi tersebut. Evaluasi pada Level 3, misalnya, sebaiknya dilakukan apabila Level 1 dan 2 telah dievaluasi dan diinterpretasikan hasilnya terlebih dahulu. Level 1 dan 2 dilakukan pada saat training dilakukan, sementara Level 3 dan 4 dilakukan beberapa waktu setelah eks‐peserta kembali ke pekerjaannya.
Mencermati keempat tingkat evaluasi tersebut, maka dapat dipahami bahwa Level 1 merupakan evaluasi yang paling sederhana dan mudah untuk dilakukan, sementara Level 4 adalah evaluasi yang paling sulit. Umumnya, perusahaan melakukan evaluasi pada Level 1 dan 2 saja dengan pertimbangan keterbatasan waktu, biaya, maupun metode pengukurannya, sebagaimana diuraikan pada bagian lain tulisan ini. Mereka sudah puas pada hasil evaluasi yang mengatakan, misalnya, bahwa training telah dilaksanakan dengan baik, modul‐modul yang diberikan cukup menarik, cara penyampaian oleh trainer sudah baik, materi yang disampaikan dapat dipahami oleh peserta, serta hal‐hal teknis lainnya. Penyelenggaraan evaluasi Level 1 dan Level 2 ini juga relatif mudah dan murah karena dilakukan saat peserta masih berada di lokasi training dan belum kembali ke tempat kerjanya. Metode evaluasi yang digunakanpun relatif sederhana dan bersifat umum dalam pengertian dapat digunakan untuk hampir semua jenis training.
Sayangnya, hasil evaluasi pada Level 1 dan 2 tersebut menjadi kurang bermakna ketika muncul pertanyaan‐pertanyaan kritis seperti ”Mampukah eks‐peserta training nantinya menerapkan pengetahuan dan keterampilan barunya tersebut dalam pekerjaannya sehari‐ hari?” atau ”Relevankah materi yang diberikan dengan kenyataan yang dihadapi?” atau lebih
kinerjanya?” dan sejumlah pertanyaan lain yang secara keseluruhan akan menggugat efektivitas penyelenggaraan suatu training. Sebaliknya, evaluasi pada Level 3 dan 4 dapat memberikan jawaban atas semua pertanyaan kritis tadi.
Evaluasi pada Level 3 mampu memberikan pemahaman kepada perusahaan/penyelenggara
training mengenai apakah materi yang diberikan dapat diterapkan atau diimplementasikan
dengan baik dalam pekerjaan sehari‐hari dan jika ternyata tidak, kendala‐kendala apa yang perlu diatasi. Hal yang lebih penting lagi, evaluasi pada tahap ini dapat memberikan feedback yang berharga bagi penyempurnaan pelaksanaan training secara keseluruhan dihubungkan dengan kenyataan yang ada sehingga pada akhirnya dapat memberikan kontribusi yang nyata terhadap peningkatan kinerja karyawan.
Sementara itu, evaluasi pada Level 4 akan memberikan jawaban akhir mengenai apakah tujuan penyelenggaraan suatu training telah tercapai atau belum. Umumnya, suatu training diselenggarakan dengan tujuan memberikan dampak yang positif terhadap kinerja perusahaan, misalnya peningkatan hasil penjualan, peningkatan hasil produksi, penurunan biaya produksi, peningkatan pelayanan nasabah, dan sebagainya, meski ada pula training yang tidak berdampak langsung terhadap kinerja perusahaan, seperti training mengenai kepemimpinan, kerjasama antarpegawai, dan sebagainya.
Mencermati hal tersebut, maka dapat dipahami bahwa evaluasi hingga Level 3 dan Level 4 sebenarnya merupakan suatu keharusan apabila perusahaan ingin mengetahui apakah hal‐hal yang menjadi tujuan training telah tercapai dan dengan demikian berarti pula bahwa training tersebut telah terselenggara secara efektif. Sayangnya, masih banyak perusahaan yang menghadapi berbagai masalah dan kendala dalam melakukan evaluasi training hingga level tersebut.
Ada beberapa hal yang menjadi pertimbangan mengapa evaluasi Level 3 dan Level 4 jarang dilakukan, sebagai berikut:
− Waktu
Evaluasi pada Level 3 dan 4 membutuhkan waktu yang relatif cukup lama karena dilakukan setelah eks‐peserta training kembali ke tempat pekerjaannya semula. Jika dalam satu tahun suatu perusahaan menyelenggarakan 10 jenis training saja setiap bulannya dengan jumlah peserta rata‐rata 25 orang dapat dibayangkan berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk mengevaluasi setiap training tersebut. Apalagi, evaluasi harus dilakukan beberapa waktu setelah training diselesaikan agar terdapat cukup waktu bagi eks‐peserta untuk menerapkan materi training tersebut di lingkungan pekerjaannya sehari‐hari.
Lamanya waktu yang diperlukan serta banyaknya dan tersebarnya jumlah eks‐peserta yang perlu disertakan dalam evaluasi Level 3 dan 4 ini mengakibatkan biaya yang diperlukan juga relatif besar, apalagi dibandingkan dengan biaya untuk melakukan evaluasi Level 1 dan 2.
− Metode pengukuran
Banyak perusahaan belum memahami metode pengukuran yang tepat untuk melakukan evaluasi pada Level 4. Salah satu masalah yang dihadapi adalah cara untuk mengukur seberapa besar peran training terhadap perubahan/peningkatan kinerja yang terjadi. Disadari bahwa peningkatan kinerja seorang pegawai tidak hanya disebabkan oleh
training semata, melainkan dapat pula akibat faktor‐faktor lainnya, seperti adanya
lingkungan kerja yang mendukung, perbaikan sistem dan metode kerja, peningkatan teknologi yang digunakan, dan sebagainya. Terkait dengan hal tersebut maka perlu dilakukan pemilahan/isolasi atas peningkatan kinerja atau result yang benar‐benar merupakan dampak training dan bukannya disebabkan oleh faktor‐faktor lainnya.
− Spesifikasi penelitian
Berbeda dari evaluasi Level 1 dan Level 2 yang bersifat umum, evaluasi Level 3 dan Level 4 memiliki spesifikasi khusus yang berbeda antara satu training dengan training lainnya. Dengan demikian, peneliti/evaluator harus memiliki pengetahuan yang mencukupi tentang training itu sendiri, khususnya dikaitkan dengan pekerjaan yang ditangani sehari‐ hari oleh eks‐peserta training tersebut.
Lebih jauh lagi, hasil evaluasi pada Level 4 ini dapat digunakan sebagai dasar perhitungan
Return on Training Investment (ROTI) yang membandingkan hasil yang diperoleh dengan
biaya yang dikeluarkan untuk menyelenggarakan suatu training. Perusahaan/penyelenggara
training semakin menyadari pentingnya dilakukan evaluasi hingga Level 4 sekaligus
pengukuran ROTI‐nya agar mereka memiliki keyakinan bahwa training yang diselenggarakannya benar‐benar memiliki dampak positif terhadap kinerja perusahaannya serta masih memberikan keuntungan finansial yang lebih besar dibandingkan dengan biaya yang mereka keluarkan.
Beberapa peneliti juga menekankan pentingnya evaluasi training yang didasarkan pada perhitungan finansial agar mampu memberikan informasi yang nyata dan tegas kepada perusahaan mengenai kontribusi training tersebut terhadap kinerja perusahaan. Sandra Shelton dan George Alliger (1993), Donna Goldwasser (2001), serta Jack J. Phillips dan Ron Drew Stone (2002) adalah beberapa peneliti yang meyakini bahwa perusahaan harus menghitung secara cermat setiap uang yang dikeluarkan untuk membiayai penyelenggaraan
training, dan bahwa perhitungan tersebut haruslah dalam konteks business results dan return on investment.
Pembahasan di atas menyiratkan perlunya dilakukan evaluasi training yang lengkap dan komprehensif untuk mengetahui efektivitas penyelenggaraan training tersebut dalam konteks perubahan/peningkatan kinerja pegawai yang pada gilirannya membawa dampak positif bagi kemajuan bisnis perusahaan. Lebih jauh lagi, pengukuran efektivitas training tersebut haruslah dilakukan dalam hubungannya dengan business results dan return on
investment agar dapat memberikan gambaran finansial yang sebenarnya bagi perusahaan.
Teori Evaluasi Training: The Four Levels
Salah satu teori mengenai evaluasi training dikemukakan oleh Kirkpatrick pada tahun 1959, yang dikenal dengan The Four Levels Techniques for Evaluating Training Programs. Pada prinsipnya, teori ini menyatakan bahwa proses evaluasi suatu training terdiri dari empat tingkat/level yaitu Level 1 sampai dengan Level 4 yang, meskipun tidak sekuensial, saling terkait satu dengan lainnya. Teori ini sangat terkenal dan telah menjadi bahan diskusi dan perdebatan hingga saat ini, khususnya evaluasi pada Level 4, sehingga bahkan dapat dikatakan tidak ada teori lain mengenai evaluasi training yang demikian terkenalnya dibandingkan teori Kirkpatrick ini.
Evaluasi Training Level 1: Reaction
Kirkpatrick mengatakan bahwa evaluasi atas reaksi peserta mengenai training yang diikutinya merupakan hal yang penting untuk dilakukan karena menurutnya apabila seorang peserta bereaksi negatif dan tidak menyukai cara‐cara penyelenggaraan training maka jangan diharapkan dia mampu mempelajari dan memahami dengan baik materi yang disampaikan dalam training tersebut. Hal‐hal yang dievaluasi pada level ini antara lain mengenai materi
training, instruktur/ trainer, fasilitas yang disediakan, waktu penyelenggaraan, serta metode
yang digunakan.
Ada beberapa manfaat yang dapat diperoleh dengan melakukan evaluasi Level 1 ini. Pertama, memberikan umpan balik (feedback) yang berguna bagi penyempurnaan penyelenggaraan
training berikutnya. Kedua, jika peserta tidak ditanya reaksinya maka dengan kata lain pihak
penyelenggara akan merasa paling tahu dan sudah merasa benar dalam menyelenggarakan
training. Ketiga, evaluasi Level 1 akan memberikan informasi kuantitatif yang dapat menjadi
masukan bagi para manajer ataupun pihak‐pihak lain yang berkepentingan dengan program
training tersebut. Keempat, umpan balik peserta training akan memberikan informasi yang
sangat berharga bagi para trainer dalam meningkatkan kinerjanya pada program‐program
training berikutnya.
Evaluasi Training Level 2: Learning
Tiga domain kompetensi (knowledge, skills, dan attitudes) merupakan hal‐hal yang dapat diajarkan dalam suatu training. Oleh karenanya, evaluasi pada level ini juga menekankan pada seberapa jauh pembelajaran (learning) peserta atas materi training dalam konteks peningkatan kompetensi mereka. Kirkpatrick menekankan pentingnya dilakukan evaluasi ini
karena menurutnya jika seorang peserta tidak dapat memahami dengan baik materi yang diberikan, maka jangan berharap akan terjadi perubahan dalam behavior‐nya saat dia kembali ke tempat kerjanya.
Untuk mengetahui apakah seorang peserta telah memahami dengan baik materi training, biasanya dilakukan pengujian sebelum dan sesudah training (pre‐test dan post‐test) dengan materi yang sama atau tidak jauh berbeda sehingga hasilnya dapat diperbandingkan. Jika terdapat peningkatan skor hasil post‐test dibandingkan pre‐test maka diyakini bahwa peserta tersebut telah memiliki pemahaman yang lebih baik sebagai dampak mengikuti training.
Evaluasi Training Level 3: Behavior
Evaluasi Level 3 ini dilakukan untuk mengetahui seberapa jauh perubahan yang terjadi pada eks‐peserta pada saat dia kembali ke lingkungan pekerjaannya setelah mengikuti training, khususnya perubahan atas behavior ketiga domain kompetensi (knowledge, skills, dan
attitudes). Menurut Kirkpatrick, pertanyaan kritis pada evaluasi ini adalah: perubahan‐
perubahan dalam job behavior apa saja yang terjadi setelah seorang pegawai mengikuti
training tertentu? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, menurutnya ada tiga hal penting
yang harus diperhatikan yaitu pertama, eks‐peserta tidak dapat merubah behavior‐nya sampai dia memperoleh kesempatan untuk melakukannya. Kedua, sangat sukar untuk memperkirakan kapan perubahan itu akan terjadi dan ketiga, bisa jadi eks‐peserta tadi menerapkan pengetahuan dan keterampilan barunya dalam pekerjaannya sehari‐hari sekembalinya dari training, namun kemudian tidak melakukannya lagi di kemudian hari.
Dengan kata lain, evaluasi Level 3 ini tidak cukup hanya sekedar mengukur perubahan yang terjadi pada behavior eks‐peserta, namun lebih jauh lagi perlu dievaluasi pula sejauhmana perubahan yang terjadi tersebut dapat diterapkan dalam praktek kerja sehari‐harinya. Evaluasi ini perlu dilakukan karena bisa saja perubahan yang dialami oleh eks‐peserta training berupa meningkatnya pengetahuan, bertambahnya keterampilan, atau berubahnya perilaku dalam bekerja pada kenyataannya tidak membawa pengaruh besar ketika dicoba untuk diterapkan dalam pekerjaannya, halmana disebabkan oleh adanya faktor‐faktor non‐training yang menjadi penghambat, misalnya sistem operasional yang kurang handal, lingkungan kerja yang kurang kondusif, dan sebagainya. Memperhatikan pentingnya penerapan perubahan
behavior dalam praktek kerja sehari‐hari, Kirkpatrick juga menyarankan perlunya diberikan
bantuan, dorongan, serta penghargaan bagi eks‐peserta training ketika dia kembali ke tempat kerjanya.
Evaluasi Training Level 4: Results
Evaluasi Level 4 diakui oleh Kirkpatrick sebagai evaluasi yang paling penting sekaligus paling sulit untuk dilakukan, yaitu sejauhmana training yang dilakukan memberikan dampak/ hasil (results) terhadap peningkatan kinerja eks‐peserta, unit kerja, maupun perusahaan secara keseluruhan. Kirkpatrick meyakini bahwa dampak training terhadap kinerja tidaklah mungkin
dievaluasi dalam konteks analisis keuangan. Ada dua hal yang mendasari keyakinannya tersebut. Pertama, tidaklah mungkin mengukur results yang diperoleh dari training dalam satuan keuangan untuk kemudian dibandingkan dengan biaya yang dikeluarkan untuk penyelenggaraan training tersebut. Kedua, jikapun hal pertama tadi dapat dilakukan, analisis yang diperoleh tidak lalu menyimpulkan bahwa manfaat yang diperoleh merupakan hasil langsung dari program training. Dengan kata lain, masih ada faktor‐faktor lain yang juga mempengaruhi peningkatan kinerja yang terjadi dan tidak semata‐mata merupakan hasil
training.
Menurut Kirkpatrick, results yang diperoleh seringkali merupakan sesuatu yang sangat sulit untuk dikuantifisir, misalnya peningkatan kualitas kerja, produktivitas yang semakin meningkat, peningkatan kepuasan kerja, efektivitas komunikasi, penurunan tingkat kesalahan, peningkatan kerjasama antar pegawai, dan sebagainya. Di sisi lain, biaya penyelenggaraan program juga terlalu sukar untuk ditentukan dan diisolasi dari biaya‐biaya lainnya. Dengan kata lain, terlalu banyak faktor yang mempengaruhi perhitungan manfaat maupun biaya suatu training. Kritik Atas Teori The Four Levels Meskipun teori The Four Levels tadi telah memberikan dasar yang kuat dalam hal melakukan evaluasi training, tidak sedikit pula pakar yang mengajukan kritik atas beberapa keterbatasan yang ada dalam teori tersebut. Dalam bukunya, Raymond A. Noe (2005) mengemukakan tiga kritik. Pertama, penelitian yang dilakukan tidak menunjukkan pemahaman bahwa setiap level dipengaruhi oleh level sebelumnya sebagaimana yang dikemukakan dalam kerangka Kirkpatrick, dan juga bahwa tidak terbukti adanya perbedaan tingkat kepentingan dalam setiap level evaluasi.
Kedua, pendekatan yang digunakan dalam teori The Four Levels tidak mempertimbangkan
tujuan dari evaluasi itu sendiri. Seharusnya, menurut Noe, hasil evaluasi tersebut dihubungkan dengan kebutuhan training (training needs), tujuan training, serta pertimbangan‐pertimbangan stratejik yang melatarbelakangi diselenggarakannya training tersebut.
Kritik ketiga terkait dengan waktu pelaksanaan evaluasi. Menurut teori The Four Levels, evaluasi harus dilakukan secara bertahap, level demi level, padahal dalam kenyataannya evaluasi Level 1 dan Level 2 harus dilakukan dalam waktu yang hampir bersamaan ‐yaitu di akhir program‐ untuk mengukur apakah memang telah terjadi peningkatan pengetahuan, keterampilan, dan sikap kerja yang positif atas para peserta training.
Berdasarkan kritik‐kritik tersebut, para pakar berpendapat bahwa dalam melakukan evaluasi
agar mampu memberikan kesimpulan yang lebih komprehensif. Noe mengelompokkan training outcomes tersebut dalam lima kategori, yaitu: − cognitive outcomes (digunakan untuk mengukur sejauhmana peserta memahami prinsip‐ prinsip, fakta, teknik, prosedur, atau proses kerja yang diberikan dalam training), − skill‐based outcomes (digunakan untuk mengukur peningkatan keterampilan dan perilaku kerja peserta),
− affective outcomes (digunakan untuk mengukur reaksi dan motivasi peserta atas penyelenggaraan training),
− results (digunakan untuk mengukur kontribusi training kepada peningkatan kinerja perusahaan), dan
− return on investment (membandingkan manfaat yang diperoleh dari hasil penyelenggaraan training dengan biaya yang dikeluarkan).
Memperhatikan kelima kategori training outcomes tersebut, maka hal yang paling membedakannya dengan teori The Four Levels sebenarnya adalah pada kategori kelima (return on investment) yang menegaskan perlunya diperbandingkan biaya penyelenggaraan
training dengan manfaat yang diperoleh dalam bentuk analisis finansial dengan
menggunakan ukuran‐ukuran keuangan.
Pendekatan Finansial Dalam Mengukur Dampak Training:
Return on Training Investment
Sebagaimana telah dikemukakan di atas, teori The Four Levels telah menjadi bahan diskusi dan perdebatan hingga saat ini, khususnya evaluasi pada Level 4. Diskusi dan perdebatan terjadi sehubungan dengan mungkin tidaknya suatu training diukur dalam perspektif finansial, khususnya dalam bentuk perhitungan Return on Investment (ROI) atau dalam hal ini
Return on Training Investment (ROTI).
Beberapa pakar, termasuk Kirkpatrick sendiri, berpendapat bahwa Level 4 mengukur seluruh hasil akhir (final result) yang disebabkan oleh training tersebut dan bahwa yang dimaksudkan dengan pengukuran pada Level 4 tersebut bukanlah merupakan suatu analisis finansial, termasuk ROTI ataupun training cost‐benefit analysis. Menurut Karie A. Willyerd (1997), banyak orang yang salah menginterpretasikan Level 4 sebagai tahap perhitungan ROI, padahal Kirkpatrick secara tegas menyebutnya sebagai tahap pengukuran results, dimana kedua istilah tadi pada dasarnya memiliki perbedaan yang cukup signifikan sehingga penting untung dipermasalahkan.
Menurutnya, paling tidak ada tiga keterbatasan metode ROI yang menyebabkannya bukanlah merupakan alat diagnostik yang baik untuk mengevaluasi suatu training. Pertama, ROI biasanya tidak mencakup seluruh tujuan stratejik perusahaan. Kedua, ROI lebih merupakan potret sesaat yang memberikan informasi mengenai apa yang telah dicapai perusahaan, namun tidak mampu memberikan gambaran mengenai apa yang akan dicapai di masa depan.
Ketiga, ROI merupakan sebuah lagging indicator. Pendeknya, menurut Karie, ROI bukanlah suatu metode yang mampu memberikan gambaran yang menyeluruh mengenai evaluasi
training sebaik yang diberikan oleh pengukuran result sebagaimana yang dimaksudkan oleh
Kirkpatrick.
Sebaliknya, beberapa pakar justru menekankan pentingnya evaluasi training yang didasarkan pada perhitungan finansial agar mampu memberikan informasi yang nyata dan tegas kepada perusahaan mengenai kontribusi training tersebut terhadap kinerja perusahaan. Sandra Shelton dan George Alliger (1993) menegaskan bahwa tidak dapat dihindari lagi bahwa perusahaan harus menghitung secara cermat setiap uang yang dikeluarkan untuk membiayai penyelenggaraan training, dan bahwa perhitungan tersebut haruslah dalam konteks business
results dan return on investment. Shelton dan Alliger mensinyalir bahwa banyak perusahaan
tidak mau melakukan evaluasi finansial atas training yang diselenggarakannya karena masalah pengumpulan data dan interpretasinya yang sulit dan membutuhkan banyak waktu, meski sebenarnya mereka telah menyadari bahwa training cost‐benefit analysis akan memberikan informasi yang jauh lebih baik bagi kepentingan perusahaan dibandingkan data yang diperoleh dari survey mengenai pelaksanaan training itu sendiri.
Donna Goldwasser (2001) juga menekankan perlunya dilakukan evaluasi training yang didasarkan atas perhitungan manfaat dan biaya secara tegas, bahkan dia mengatakan bahwa evaluasi pada ketiga level pertama (Level 1 sampai dengan Level 3) menjadi berkurang maknanya apabila perusahaan tidak mengevaluasi training sesuai dengan bottom line‐nya, yaitu meningkatkan kinerja pegawai dan perusahaan secara keseluruhan. Goldwasser mengatakan bahwa salah satu hambatan utama dalam melakukan evaluasi Level 4 dan perhitungan ROTI adalah masalah metode pengukuran (measurement) yang tepat untuk digunakan, termasuk untuk mengisolasi hasil yang diperoleh akibat training dari faktor‐faktor lainnya.
Jack J. Phillips dan Ron Drew Stone (2002) bahkan lebih tegas lagi. Phillips dan Stone tidak hanya berpendapat bahwa evaluasi training harus dilakukan dalam konteks training cost‐
benefit analysis, namun lebih jauh lagi mereka menyebut perhitungan ROTI sebagai evaluasi Level 5. Level 5 ini merupakan evaluasi terhadap nilai‐nilai finansial dari pengaruh bisnis
(business impact) yang diakibatkan oleh penyelenggaraan training, dibandingkan dengan biaya training itu sendiri. Data business impact dikonversi ke dalam nilai‐nilai finansial agar dapat dimasukkan dalam perhitungan matematis ROTI. Dengan perhitungan tersebut maka nilai training yang sesungguhnya dapat tergambarkan dalam konteks bisnis perusahaan secara keseluruhan. Secara tegas, mereka menyatakan bahwa evaluasi training tidaklah lengkap bila tidak dilakukan hingga Level 5.
Phillips dan Stone juga mengemukakan perlunya diperhitungkan manfaat‐manfaat training lain yang merupakan intangible benefits yang tidak dapat atau tidak boleh dikonversi ke
dalam nilai‐nilai finansial. Beberapa contoh intangible benefits antara lain peningkatan kepuasan pelanggan/nasabah, perbaikan dalam hal response time kepada pelanggan/nasabah, peningkatan kerjasama, dan sebagainya.
Berkaitan dengan evaluasi hingga Level 4 sekaligus perhitungan ROTI ini, Shelton dan Alliger (1993) mengingatkan bahwa tidak semua jenis training perlu dievaluasi hingga level tersebut. Langkah pertama yang harus dilakukan menurut mereka adalah meyakini terlebih dahulu apakah memang training yang akan dievaluasi memiliki dampak langsung terhadap business
results perusahaan dan memang ditujukan untuk meningkatkan kinerja perusahaan secara
langsung. Jika tidak, maka evaluasi hingga Level 4 dan perhitungan ROTI sesungguhnya tidak diperlukan. Setelah memastikan hal tersebut, harus pula diyakini bahwa evaluasi Level 4 dan perhitungan ROTI tersebut memang dapat dilakukan (doable) terkait dengan ketersediaan data, waktu, biaya, dan terutama metode pengukuran kinerja usaha dari perusahaan yang bersangkutan.
Berdasarkan penelaahan terhadap berbagai pandangan para peneliti di atas maka dapat dipahami bahwa pada dasarnya dimungkinkan untuk melakukan evaluasi suatu training hingga ke perhitungan dampak finansialnya, antara lain dalam bentuk Return on Training
Investment. Dalam melakukan perhitungan dampak finansial training tersebut, terdapat dua
hal penting yang perlu dicermati, yaitu pertama perlunya dilakukan isolasi atas faktor training dari faktor‐faktor lainnya agar perusahaan dapat meyakini seberapa besar kontribusi training terhadap perubahan/peningkatan kinerja seseorang; dan kedua kemampuan untuk mengkonversi data yang diperoleh ke dalam ukuran‐ukuran finansial. Tahap isolasi faktor
training dan tahap konversi data ini sekaligus menjawab keraguan Kirkpatrick mengenai
mungkin tidaknya perhitungan dampak finansial training dilakukan.
Ilustrasi Penghitungan ROTI
Sebagai ilustrasi dalam penghitungan ROTI digunakan training Selling Retail Bank Services (SRBS) yang diselenggarakan oleh Bank X. Bank X merupakan salah satu bank milik negara terbesar di Indonesia dilihat dari sisi jumlah aktiva maupun dana pihak ketiganya. Bank X melayani lebih dari enam juta nasabah dan memiliki sekitar 18.000 orang pegawai, serta lebih dari 800 kantor cabang dan kantor kas. Jaringan distribusi lainnya adalah ATM sejumlah lebih dari 1.500 unit serta jaringan ATM Link hasil kerja sama dengan bank‐bank milik negara lainnya, yang memungkinkan nasabah untuk mengakses ke lebih dari 3.000 ATM.
Pada awal pembentukannya, bank ini memiliki core competence sebagai corporate bank sebagaimana halnya dengan bank‐bank milik negara lainnya. Namun seiring dengan terjadinya gejolak di segmen corporate bank serta sejalan dengan visi baru perusahaan yang ditetapkan tahun 2001, dilakukan transformasi core competence Bank X menjadi universal
bank yang memiliki keunggulan bersaing di segmen consumer/ritel, commercial, dan corporate bank. Transformasi tersebut menuntut Bank X untuk mengejar ketertinggalannya
dari bank‐bank pesaing, khususnya di segmen ritel, sementara segmen corporate dan
commercial relatif tidak terlalu menuntut perhatian mengingat pengalaman bank‐bank
bergabung (legacy banks) yang telah puluhan tahun berkiprah di industri perbankan Indonesia.
Begitu pentingnya untuk segera mengembangkan segmen usaha ritel, hingga manajemen Bank X memutuskan untuk melakukan perubahan secara quantum‐leap di segmen tersebut. Berbagai upaya perbaikan telah dilakukan bank tersebut, antara lain menyelenggarakan program kampanye produk deposito dan tabungan secara besar‐besaran, pembukaan Priority
Banking Center bagi nasabah utama, peningkatan kredit kepada segmen usaha kecil dan
menengah, serta peluncuran kartu kredit. Untuk meningkatkan kemudahan pencapaian pelayanan nasabah ritel, Bank X juga terus menyempurnakan jaringan distribusi baik kantor cabang, kantor kas, maupun ATM. Dalam perkembangannya di tahun‐tahun selanjutnya, upaya Bank X untuk mengembangkan segmen usaha ritel ini semakin gencar untuk mengejar ketertinggalan dari bank‐bank pesaingnya.
Dalam kaitannya dengan strategi perusahaan untuk mengejar ketertinggalannya dalam pengembangan sektor perbankan ritel tersebut, training Selling Retail Bank Services (SRBS) merupakan salah satu kegiatan pendidikan dan pelatihan yang memiliki nilai stratejik bagi pengembangan usaha Bank X. Bahkan, dalam konteks persaingan antarbank yang semakin meningkat, SRBS telah berkembang menjadi salah satu training yang diandalkan oleh Bank X untuk terus meningkatkan kompetensinya di segmen ritel. Training SRBS ini diselenggarakan sejak tahun 2001 dan telah diikuti oleh ribuan pegawai Bank X, khususnya yang terkait dengan pengembangan usaha sektor ritel bank tersebut. Evaluasi Level 1 dan 2 atas training SRBS ini juga telah dilakukan selama ini dengan menunjukkan hasil yang baik.
Sekilas Tentang Training Selling Retail Bank Services
Ada 5 (lima) tujuan yang ingin dicapai melalui penyelenggaraan training SRBS ini, sebagai berikut:
• Peserta mampu mempelajari proses penjualan produk‐produk perbankan segmen ritel serta menentukan langkah yang akan dilakukan saat berinteraksi dengan nasabah.
• Peserta mampu mengamati situasi dan masalah agar dapat menentukan kebutuhan nasabah dengan tepat.
• Peserta mengetahui manfaat dan perbedaan setiap fitur produk serta memahami cara penerapannya saat berinteraksi.
• Peserta mengetahui cara mengatasi keluhan nasabah serta menarik manfaat dari keluhan tersebut.
• Peserta mengetahui cara mendapatkan komitmen dari nasabah terhadap produk/layanan yang diberikan.
Sementara itu, peserta training adalah pihak‐pihak yang terlibat langsung dalam proses penjualan produk dan jasa, khususnya di segmen ritel, seperti frontliners, dan unit pemasaran baik di bidang dana maupun kredit. Peserta umumnya berasal dari berbagai tingkat jabatan seperti Customer Service Officer, Customer Service Representative, Marketing Officer, dan
Assistant Marketing Officer.
Profil Responden
Responden adalah eks‐peserta training Selling Retail Bank Services yang telah mengikuti
training tersebut minimal satu bulan sebelumnya, untuk memberi kesempatan baginya
menerapkan materi training dalam pekerjaannya sehari‐hari. Dari sekitar 300 kuesioner yang disebarkan, tercatat 120 kuesioner yang dikirimkan kembali dan dapat diolah. Dengan demikian, tingkat pengembalian kuesioner mencapai sekitar 40%. Sebagian besar kuesioner yang kembali berasal dari cabang‐cabang Bank X di wilayah Jabodetabek dan Pulau Jawa lainnya, sementara sisanya berasal dari cabang‐cabang di Pulau Sumatera, Bali, Kalimantan, dan Nusa Tenggara.
Dari 120 responden yang mengisi kuesioner, 77% di antaranya merupakan pegawai perempuan, sementara sebagian besar (64%) memiliki usia antara 25 hingga 35 tahun (lihat Tabel 1). Profil pegawai frontliners ini umum terdapat di industri perbankan nasional, termasuk Bank X, yang memang lebih banyak menempatkan pegawai perempuan berusia muda di posisi jabatan yang berinteraksi langsung dengan nasabah.
Tabel 1 Usia Responden
Usia Jumlah Persentase
<25 tahun 4 3% 25‐35 tahun 77 64% 36‐45 tahun 27 23% >45 tahun 12 10% Jumlah 120 100% Sumber: Hasil analisis .
Selanjutnya, 68% responden memiliki tingkat pendidikan S1, sementara pengalaman kerja mereka sebagian besar telah lebih dari 6 tahun (lihat Tabel 2 dan 3). Kedua karakteristik ini mengindikasikan bahwa rata‐rata responden telah memiliki tingkat pendidikan, wawasan, serta pengalaman kerja yang relatif cukup memadai.
Tabel 2 Tingkat Pendidikan Responden
Tingkat Pendidikan Jumlah Persentase
SLTA 16 13% D3 20 17% S1 82 68% S2 2 2% Jumlah 120 100% Sumber: Hasil analisis . Tabel 3 Pengalaman Kerja Responden
Lama Bekerja Jumlah Persentase
<1 tahun 0 0% 1‐3 tahun 21 18% 3‐6 tahun 40 33% >6 tahun 59 49% Jumlah 120 100% Sumber: Hasil analisis
Tahapan Penghitungan
Untuk mencapai tujuan akhirnya, penghitungan dibagi dalam beberapa tahap proses kegiatan sebagaimana terlihat pada Gambar 1. Proses kegiatan tersebut pada dasarnya mengacu pada proses yang dikemukakan oleh Jack J. Phillips (2002), dengan dilakukan beberapa penyederhanaan sesuai lingkup ilustrasi ini.
Tahap Pengumpulan Data
Data yang digunakan merupakan data yang dikumpulkan setelah program training SRBS dilakukan dan para eks‐peserta telah kembali ke tempat kerjanya semula, agar terdapat kesempatan yang cukup bagi mereka untuk menerapkan pengetahuan dan keterampilan yang diperolehnya selama training.
Menurut Jack J. Phillips (2002), tahap pengumpulan data ini merupakan salah satu tahap terpenting dari seluruh rangkaian proses karena apabila tidak dilakukan dengan baik maka tidak mungkin mencapai hasil yang diharapkan. Tahap ini juga merupakan kegiatan yang paling banyak menyita waktu dibandingkan dengan kegiatan‐kegiatan lainnya. Phillips juga mengatakan bahwa pemilihan metode yang tepat dalam tahap pengumpulan data ini ditentukan oleh beberapa faktor, antara lain jenis training, kesediaan eks‐peserta untuk bekerjasama, kendala‐kendala yang ada dalam organisasi/ perusahaan, ketersediaan data,
biaya dan waktu yang dibutuhkan untuk mengumpulkan data, serta keakuratan data itu sendiri.
Berkaitan dengan hal tersebut, Phillips menawarkan 10 (sepuluh) metode pengumpulan data yang dapat diterapkan dalam melakukan evaluasi training Level 3 dan Level 4 ini, sebagai berikut:
• Follow‐up Surveys
Metode ini merupakan sarana untuk memperoleh pendapat, keyakinan, serta nilai‐nilai yang dimiliki responden dalam melakukan operasional pekerjaannya, sehingga hanya dapat digunakan untuk evaluasi Level 3 saja.
Tahap 1: Pengumpulan Data
Tahap 4: Identifikasi Biaya Training
Tahap 5: Perhitungan Return on Training Investment
Evaluasi Training Level 3, Level 4, dan
ROTI
Tahap 6: Identifikasi Intangible Benefits
Tahap 3: Konversi Data Menjadi Monetary
Values
Sumber: Jack J. Phillips, How to Measure Training Results, 2002, dengan penyesuaian.
Tahap 2: Isolasi Pengaruh Training Gambar 1
• Follow‐up Questionnaires
Metode ini dapat digunakan untuk evaluasi Level 3 maupun Level 4 karena mencakup isu yang lebih luas dengan jenis pertanyaan yang beragam dibandingkan metode sebelumnya. Suatu kuesioner bersifat lebih fleksibel dan dapat memberikan informasi yang beragam, mulai dari sikap kerja sampai dengan statistik peningkatan kinerja yang terjadi.
• Observations on the Job
Metode ini digunakan untuk evaluasi Level 3 dan kadangkala dianggap kurang menyenangkan karena pada prinsipnya dilakukan dengan cara mengawasi secara diam‐ diam pekerjaan responden. Metode ini hanya efektif apabila pengawas merupakan orang yang tidak dikenal oleh responden.
• Follow‐up Interviews
Secara umum, metode ini dapat memberikan informasi yang lebih lengkap karena kelengkapan dan kebenaran data dapat diyakini oleh peneliti. Kekurangannya adalah bahwa metode ini relatif lebih mahal dan membutuhkan waktu yang lama, di samping kesulitan dalam pengolahan data karena sebagian informasinya bersifat subyektif. Metode ini digunakan untuk evaluasi Level 3.
• Follow‐up Focus Groups
Metode ini sesuai untuk digunakan pada evaluasi Level 3. Keuntungan dari metode ini adalah pendekatannya yang lebih bersifat ekonomikal dibandingkan metode Follow‐up
Interviews serta adanya sinergi yang muncul dari hasil diskusi kelompok, sementara
kekurangmampuannya untuk memberikan pembahasan yang lebih detil menjadi kekurangan metode ini.
• Assignment Related to the Program
Dalam beberapa kasus, metode ini dapat digunakan untuk evaluasi Level 3 maupun
Level 4. Pada prinsipnya, responden diminta menyelesaikan suatu pekerjaan tertentu
dalam waktu yang telah ditentukan untuk mengamati penerapan pengetahuan dan keterampilan yang diperolehnya selama training dalam pekerjaan sehari‐hari.
• Action Planning/Improvement Plans
Metode ini juga dapat digunakan untuk evaluasi Level 3 dan Level 4. Responden diminta untuk menyusun rencana aksi/action plan sebagai bagian dari program training yang diikutinya. Rencana aksi tersebut berisikan hal‐hal yang harus diselesaikan, oleh siapa, dan kapan waktu penyelesaiannya.
Metode ini merupakan variasi dari metode Action Planning Process, dimana komitmen yang dibuat antara responden/eks‐peserta, atasannya, dan trainer menjadi kontrak kinerja yang harus dicapai oleh responden. Sebagaimana halnya dengan metode Action
Planning Process, metode ini juga dapat digunakan dalam evaluasi Level 3 dan Level 4.
• Program Follow‐up Session
Metode ini membagi suatu program training menjadi beberapa sesi dengan tujuan antara lain untuk memberikan evaluasi yang lebih baik dari program tersebut. Metode ini dapat digunakan dalam evaluasi training Level 3 dan Level 4.
• Performance Monitoring
Metode ini memungkinkan manajemen mengevaluasi kinerja responden dengan memanfaatkan pula laporan dan data‐data historis perusahaan. Oleh karenanya, metode ini lebih sesuai untuk digunakan pada evaluasi Level 4.
Dari sepuluh metode di atas, metode pengumpulan data dengan menggunakan kuesioner merupakan salah satu metode yang paling sering dipakai dan dapat diterapkan dalam evaluasi Level 3 maupun Level 4.
Kuesioner digunakan untuk mengumpulkan data dari para eks‐peserta training SRBS, dengan pertimbangan antara lain:
− jenis training yang memungkinkan untuk dilakukan pengumpulan data menggunakan kuesioner,
− keterbatasan waktu dan biaya, khususnya mengingat distribusi eks‐peserta yang berasal dari cabang‐cabang Bank X di hampir seluruh wilayah Indonesia,
− dimungkinkan untuk mencapai tingkat partisipasi yang relatif tinggi dari para eks‐ peserta training dengan memanfaatkan sistem birokrasi yang ada di Bank X.
Terkait dengan evaluasi training Level 3 dan Level 4, Jack J Phillips (2002) telah memberikan kisi‐kisi mengenai isi kuesioner dalam rangka evaluasi tersebut. Jenis pertanyaan yang terdapat dalam kuesioner tersebut merupakan kombinasi antara pertanyaan tertutup, pertanyaan terbuka, kombinasi pertanyaan tertutup dan terbuka, serta pertanyaan semi terbuka. Dengan melakukan beberapa penyesuaian atas kisi‐kisi tersebut, selanjutnya dapat disusun kuesioner dalam rangka evaluasi training SRBS untuk Level 3 dan Level 4 yang terdiri dari 15 (limabelas) item pertanyaan.
Selanjutnya, kuesioner tersebut dikirimkan ke eks‐peserta training SRBS yang berada di cabang‐cabang Bank X di wilayah Indonesia. Sesuai dengan masukan dari unit kerja terkait di Bank X, eks‐peserta yang diminta untuk berpartisipasi dibatasi pada eks‐peserta training tahun 2005 saja untuk menghindari terjadinya bias dalam menjawab pertanyaan terkait
masih mengingat materi training SRBS dengan cukup baik sehingga mampu memberikan respon sebagaimana yang diharapkan.
Kuesioner dikirimkan kepada eks‐peserta training sebagai sumber data yang dianggap paling berkompeten. Terkait dengan sumber data tersebut, terdapat beberapa pendapat yang dikemukakan oleh para peneliti. Secara umum, para peneliti berpendapat bahwa untuk memperoleh hasil yang lebih obyektif, evaluasi perubahan perilaku seseorang setelah dia mengikuti training tertentu perlu dilakukan secara 3600 dengan menyertakan pula atasan, rekan kerja, bawahan, atau pihak lain yang dapat mengamati perubahan perilaku eks‐ peserta tersebut.
Dalam hal ini, Jack J. Phillips (2002) mengatakan bahwa participant (eks‐peserta) merupakan sumber data yang paling sering digunakan dan bahwa mereka memang berada pada posisi yang memungkinkan untuk memberikan data yang lengkap. Menurutnya, participant merupakan sumber data yang sangat credible karena pada dasarnya mereka merupakan orang yang memang mengalami sendiri perubahan akibat training dan juga merupakan orang yang paling mengetahui proses kerja serta pencapaian kinerja yang dihasilkan setelah mengikuti training tersebut.
Kirkpatrick (1998) juga menegaskan hal yang sama. Menurutnya, trainee (eks‐peserta) adalah orang yang paling mengetahui perubahan apa yang telah terjadi dalam perilaku kerjanya serta sejauhmana terjadi peningkatan kinerja dalam pekerjaannya sehari‐hari. Dalam petunjuk/guidelines untuk melakukan evaluasi Level 3 yang dikemukakannya, Kirkpatrick mengusulkan agar penelitian dapat dilakukan terhadap eks‐peserta dan/atau terhadap atasan, rekan kerja, bawahan, atau pihak lain yang dapat mengamati perubahan
behavior eks‐peserta.
Dengan kata lain, penilaian 3600 bukanlah merupakan hal yang mutlak harus dilakukan, melainkan merupakan sebuah pilihan yang pemutusannya dilakukan dengan mempertimbangkan pula keberadaan berbagai kendala dan faktor, terutama biaya dan waktu yang dibutuhkan, relatif terhadap hasil yang akan diperoleh. Meskipun demikian, tidak pula dapat dipungkiri bahwa hasil penelitian yang dilakukan secara 3600 akan memberikan hasil yang lebih obyektif dibandingkan dengan hanya menggunakan satu sumber data tertentu saja.
Tahap Isolasi Pengaruh Training
Kenyataan bahwa kegiatan pendidikan dan pelatihan akan memberikan dampak/pengaruh terhadap perubahan kinerja seseorang merupakan hal yang tidak terbantahkan. Pertanyaannya adalah: apakah perubahan kinerja yang terjadi pada seseorang melulu hanya disebabkan oleh keikutsertaannya dalam suatu program training tertentu? Lebih jauh lagi,
lainnya? Pemikiran ini telah menjadi bahan perdebatan panjang di kalangan para peneliti selama bertahun‐tahun, termasuk Kirkpatrick sendiri.
Menurut Kirkpatrick (1998), perubahan kinerja seseorang setelah mengikuti training (yang merupakan results dari training tersebut) tidaklah secara tegas dan jelas membuktikan bahwa hasil positif yang diperoleh tersebut merupakan akibat langsung dari program
training tadi. Dengan dasar pemikiran tersebut, Kirkpatrick sekaligus menegaskan
pendapatnya bahwa evaluasi training tidak mungkin dilakukan dalam perspektif finansial yang membutuhkan perhitungan secara eksak.
Berbeda dengan Kirkpatrick, Jack J. Phillips (2002) sebaliknya tidak hanya berpendapat bahwa mengisolasi pengaruh training dari faktor‐faktor lainnya merupakan hal yang mungkin untuk dilakukan, namun lebih jauh lagi Phillips juga menawarkan 10 (sepuluh) strategi terbaik untuk melakukan hal tersebut. Kesepuluh strategi tersebut adalah sebagai berikut:
• Control Groups
Metode ini sebenarnya merupakan metode isolasi yang paling akurat, yang dilakukan dengan cara membandingkan kinerja antara kelompok yang mengikuti program
training dengan kelompok lain (control groups) yang tidak mengikuti program training.
Hanya saja, metode ini juga memiliki beberapa kelemahan, antara lain sangat sulitnya untuk mendapatkan control groups yang benar‐benar identik dengan kelompok yang mengikuti program training selain dari pengaruh training itu sendiri. Kelemahan lainnnya adalah apabila kelompok‐kelompok yang dibandingkan tersebut berada di lokasi yang berbeda, maka terdapat pengaruh lingkungan yang berbeda pula.
• Trend Line Analysis
Metode ini pada prinsipnya memperkirakan besarnya pengaruh training dengan menggunakan data‐data historis yang ada. Data‐data sebelum dan sesudah training digambarkan dalam suatu grafik yang menunjukkan adanya kecenderungan/trend yang berbeda antara kedua periode pengamatan tersebut. Keuntungan dari metode ini adalah sederhana, murah, dan relatif mudah digunakan, sementara kelemahannya antara lain hanya dapat diterapkan pada pekerjaan yang memiliki data historis yang relatif lengkap dan memadai.
• Forecasting
Sebagaimana halnya dengan metode Trend Line Analysis, metode ini juga merupakan metode statistik. Hanya saja pengukuran besarnya perbaikan kinerja yang terjadi setelah mengikuti program training tidak digambarkan dalam bentuk grafik, melainkan dihitung dalam bentuk persamaan matematika.
• Participant Estimate
Metode ini merupakan salah satu metode isolasi yang relatif mudah digunakan dengan cara meminta responden/eks‐peserta untuk memperkirakan besarnya pengaruh
training terhadap pekerjaannya dalam ukuran persentase. Pertimbangan penggunaan
metode ini antara lain adalah bahwa eks‐peserta training merupakan pihak yang terlibat langsung dan oleh karenanya paling mengetahui perubahan apa saja yang terjadi setelah dia mengikuti program training.
• Supervisor Estimate
Metode ini merupakan pelengkap dari metode Participant Estimate, dimana atasan dari responden juga diminta untuk memperkirakan persentase dampak training terhadap perubahan kinerja responden yang bersangkutan.
• Management Estimate
Dalam beberapa kasus, sebagai informasi tambahan, pihak manajemen dapat pula dimintakan untuk memperkirakan besarnya pengaruh training terhadap perubahan kinerja yang terjadi.
• Customer Input
Metode ini dilakukan dengan menanyakan kepada nasabah/pelanggan mengenai perubahan pelayanan yang diterimanya setelah pegawai menerapkan materi training yang diikutinya. Metode ini lebih sesuai untuk difokuskan pada perubahan perilaku yang memang menjadi tujuan dari program training tersebut.
• Experts Estimate
Kadangkala tenaga ahli (experts), baik yang berasal dari dalam maupun luar perusahaan, dapat dimintakan pendapatnya untuk memperkirakan besarnya pengaruh
training. Kelemahan metode ini antara lain adalah kemungkinan tidak akuratnya
estimasi yang diberikan oleh experts tersebut terkait dengan ketidakterlibatannya dalam proses evaluasi secara keseluruhan.
• Subordinate Input
Metode ini dilakukan dengan meminta bawahan responden untuk memperkirakan pengaruh training terhadap kinerja responden. Pendekatan ini sesuai untuk digunakan pada situasi dimana perubahan/peningkatan kinerja dicapai melalui penggunaan keterampilan bersama pegawai‐pegawai lainnya.
• Other Factors Impact
Pada prinsipnya, metode ini mengukur dampak training dengan cara mengukur terlebih dahulu besarnya pengaruh dari faktor‐faktor lain. Dengan kata lain, besarnya
sebagai pengaruh faktor‐faktor lain tersebut. Metode ini lebih sesuai untuk digunakan ketika faktor‐faktor lain tersebut relatif mudah diidentifikasi dan dihitung.
Penetapan metode mana yang dipilih tergantung dari jenis training, kendala‐kendala yang ada dalam organisasi/perusahaan, ketersediaan data, biaya dan waktu yang dibutuhkan untuk mengumpulkan data, serta kompetensi sumber data yang dipilih.
Menurut Phillips, salah satu metode yang paling mudah digunakan adalah memperoleh data berdasarkan perkiraan dari participant (eks‐peserta) training itu sendiri, yaitu dengan menggunakan metode Participant Estimate. Efektivitas pendekatan ini terletak pada asumsi bahwa participant memiliki kemampuan untuk menentukan atau memperkirakan seberapa besar peningkatan kinerja yang dialaminya itu terkait dengan program training yang diikutinya. Participant seharusnya merupakan pihak yang paling mengetahui seberapa besar perubahan yang disebabkan oleh pengaplikasian program training dalam pekerjaannya sehari‐hari.
Lebih jauh lagi, Phillips juga berpendapat bahwa meskipun hanya merupakan estimasi, nilai yang diperoleh biasanya memiliki kredibilitas yang tinggi, terutama mengingat participant berada di tengah‐tengah perubahan atau peningkatan kinerja yang terjadi. Pemikiran ini pula, di samping pertimbangan faktor biaya dan waktu, yang mendasari pemilihan metode
Participant Estimate. Sementara itu, terdapat pula kelemahan dari pendekatan ini yaitu
adanya unsur subyektivitas responden dalam memberikan perkiraan besarnya kontribusi masing‐masing faktor. Hal yang dapat dilakukan untuk mengurangi pengaruh subyektivitas ini adalah dengan menanyakan seberapa jauh tingkat keyakinan (level of confidence) responden dalam memberikan perkiraannya tersebut.
Namun, sebelum menetapkan metode mana yang akan digunakan, Phillips juga menekankan perlunya terlebih dahulu diidentifikasi faktor‐faktor apa saja yang memiliki kontribusi terhadap perubahan yang terjadi setelah program training diselenggarakan.
Langevin Learning Services (2001), sebuah konsultan training internasional, berpendapat
bahwa hal‐hal yang dianggap memiliki pengaruh terhadap kinerja seseorang dapat dikelompokkan dalam 7 (tujuh) faktor pengaruh, sebagai berikut:
• Knowledge and Skill
Faktor ini merupakan pengaruh dari program training yang diselenggarakan. Peningkatan pengetahuan dan keterampilan seorang pegawai pada kenyataannya akan berpengaruh positif terhadap peningkatan kinerjanya.
• Capacity
Faktor ini merupakan kemampuan mental dan fisik individu yang memungkinkannya melakukan pekerjaannya dengan baik.
• Standards
Faktor lain yang berpengaruh adalah adanya standar kerja yang jelas sehingga seorang pegawai dapat mengetahui dengan tepat apa yang harus dilakukan dan kapan melakukannya. • Measurement Adanya sistem pengukuran kinerja yang jelas, transparan, obyektif, serta disusun atas dasar standar kerja yang baku akan berpengaruh pula terhadap kinerja pegawai. • Feedback
Adanya informasi mengenai penilaian bagaimana hasil kerja seseorang juga akan berpengaruh terhadap kinerjanya. Dalam hal ini, masukan yang diperoleh secara cepat, cukup sering, spesifik, akurat, dan obyektif diyakini memiliki pengaruh yang positif.
• Conditions
Situasi dan kondisi kerja yang kondusif, seperti sistem operasional yang baik, kelengkapan fasilitas kerja, lay‐out ruang yang baik, ketersediaan informasi yang dibutuhkan, serta otoritas kerja yang jelas akan berpengaruh positif terhadap kinerja seorang pegawai.
• Incentives
Sistem penggajian yang adil, adanya insentif untuk hasil pekerjaan yang baik, serta penerapan sistem reward and punishment merupakan beberapa hal yang memotivasi seorang pegawai untuk bekerja dengan lebih baik dan menghasilkan performa kerja yang tinggi.
Pengelompokan faktor sesuai usulan Langevin Learning Services tersebut digunakan untuk melakukan isolasi pengaruh training dari faktor‐faktor lainnya. Dalam prakteknya, setiap eks‐peserta diminta untuk memperkirakan/memberikan estimasi persentase dari setiap faktor tersebut terhadap perubahan atau peningkatan kinerja yang dialaminya setelah mengikuti training SRBS.
Tahap Konversi Data Menjadi Monetary Values
Mengonversi data business results ‐ yang diperoleh dari evaluasi Level 4 ‐ menjadi monetary
values pada dasarnya merupakan tahap awal untuk mengekspresikan dampak training
dalam ukuran finansial. Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, pengekspresian dalam ukuran finansial ini telah menjadi bahan perdebatan para peneliti mengenai mungkin tidaknya hal tersebut dilakukan, meskipun pada umumnya mereka sepakat bahwa evaluasi tentang efektivitas training memang akan memberikan hasil yang lebih nyata bagi perusahaan apabila dapat diukur secara finansial.
Jack J. Phillips (2002) membedakan business results dalam dua kategori data, yaitu hard data dan soft data. Hard data merupakan pengukuran‐pengukuran kinerja usaha yang umum digunakan serta memiliki obyektivitas yang tinggi dan relatif lebih mudah diukur. Menurutnya, contoh hard data antara lain output yang dihasilkan, tingkat penjualan, biaya, atau waktu kerja yang digunakan. Sementara itu, soft data lebih subyektif, sukar untuk dikuantifisir, dan memiliki tingkat kepercayaan yang lebih rendah dibandingkan dengan hard
data. Contoh soft data antara lain tingkat kepuasan kerja, loyalitas pegawai, tingkat
kehadiran pegawai, complaint nasabah, dan lain‐lain.
Lebih jauh lagi, Phillips juga mengemukakan 4 (empat) langkah konversi data, sebagai berikut: − Langkah 1: Menentukan ukuran kinerja yang dipengaruhi oleh program training. − Langkah 2: Menentukan nilai dari setiap unit ukuran tersebut (V). − Langkah 3: Menentukan peningkatan/perubahan kinerja yang terjadi (ΔP). − Langkah 4: Menghitung nilai peningkatan kinerja (V x ΔP).
Training SRBS, sebagaimana telah dikemukakan di bagian awal, memiliki beberapa tujuan
yang pada pokoknya bermaksud untuk meningkatkan kemampuan peserta dalam melakukan proses penjualan produk‐produk bank, khususnya produk segmen ritel, serta mendapatkan komitmen dari nasabah/calon nasabah. Oleh karenanya, evaluasi Level 4
training SRBS ini lebih difokuskan pada peningkatan penjualan produk‐produk ritel bank
yang terjadi di cabang‐cabang Bank X.
Produk ritel yang ditawarkan oleh Bank X relatif tidak berbeda jauh dari produk‐produk sejenis yang ada di bank‐bank lain. Produk‐produk utamanya adalah sebagai berikut: − Giro (Current accounts), − Tabungan (Saving accounts), − Simpanan berjangka (Time deposits), − Kartu kredit (Credit cards), − Kredit konsumer (Consumer loans).
Selain produk‐produk utama tersebut, terdapat pula produk ritel lainnya namun tingkat penjualannya tidak terlalu signifikan dibandingkan produk utama tadi.
Dengan mempertimbangkan hal tersebut di atas, maka penerapan keempat langkah konversi yang dikemukakan oleh Phillips (2002) dalam evaluasi training SRBS ini menjadi: − Langkah 1: Ukuran kinerja: tingkat penjualan produk‐produk utama ritel Bank X.
− Langkah 2: Nilai dari setiap unit penjualan produk (V): menggunakan metode Product
Profitability Analysis (PPA).
− Langkah 3: Peningkatan penjualan yang terjadi (ΔP): diperoleh dari perbandingan antara tingkat penjualan sebelum dan sesudah mengikuti program training
kuesioner yang dikirimkan, pertanyaan yang terkait dengan masalah ini ada di item pertanyaan no.8. − Langkah 4: Menghitung nilai peningkatan kinerja (V x ΔP). Tahap Identifikasi Biaya Training
Jack J. Phillips mengidentifikasi 6 (enam) kategori biaya dalam penyelenggaraan suatu
training, yaitu:
− Needs assessment: biaya ini tidak selalu diperhitungkan karena hanya timbul apabila memang program training didahului dengan kegiatan needs assessment yang membutuhkan biaya yang signifikan.
− Design and development: biaya ini dikeluarkan dalam rangka mendesain dan membangun program training yang biasanya diperhitungkan secara prorata selama satu atau dua tahun, kecuali apabila program training tersebut diperkirakan tidak akan berubah dalam jangka waktu lama.
− Acquisition: biaya ini dikeluarkan apabila program training dibeli dari pihak ketiga, meliputi antara lain pembelian materi, lisensi, biaya sertifikasi, serta biaya‐biaya lain yang terkait dengan hak untuk menyelenggarakan training tersebut.
− Delivery: komponen biaya ini merupakan yang terbesar dibandingkan biaya‐biaya lainnya, meliputi salaries of trainers, program materials, travel and meals, serta
facilities yang digunakan.
− Evaluation: biaya ini dikeluarkan pada saat dilakukan evaluasi training khususnya Level 3 dan Level 4 yang dilakukan setelah eks‐peserta kembali ke tempat kerjanya masing‐ masing, meliputi biaya yang terkait dengan penyusunan dan pengiriman kuesioner serta survey yang dilakukan.
− Overhead: biaya ini sebenarnya tidak terkait langsung dengan penyelenggaraan program training tertentu dan relatif sulit untuk diperkirakan secara tepat, di samping nilainya yang tidak terlalu signifikan dalam perhitungan biaya penyelenggaraan suatu
training.
Biaya training yang digunakan antara lain akan mendasarkan pada hasil perhitungan yang telah dilakukan oleh unit kerja terkait di Bank X, khususnya untuk delivery cost, di samping perhitungan‐perhitungan yang didasarkan pada rata‐rata biaya yang dikeluarkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di bank tersebut.
Tahap Perhitungan Return on Training Investment
Perhitungan Return on Training Investment (ROTI) dilakukan dengan menggunakan formula sebagai berikut: