• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perlindungan Hukum terhadap Franchisee Sehubungan Dengan Tindakan Sepihak Franchisor

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Perlindungan Hukum terhadap Franchisee Sehubungan Dengan Tindakan Sepihak Franchisor"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

1

Perlindungan Hukum terhadap Franchisee Sehubungan Dengan

Tindakan Sepihak Franchisor

Edi Wahjuningati

Abstract

The characteristic of the research concerning the legal protection against the Franchisees in connection with the Franchisors’ unilateral action is the normative legal research by making use of the secondary legal materials in the field of law.

The aim of this research is to know the franchisors’ unilateral action and the legal protection against the franchisees in connection with the franchisors’ unilateral action.

Something related with the franchise will not be exempted from any conflicts arising among the contracting parties in the contract. Franchisors, in fact, possess a higher legal position compared to franchisees so that it leads to have the franchisees comply with any provisions which have already been designated by franchisors. In order to anticipate any possible legal affects which may occur, some legal offorts have already been taken either technically or legally in the frame of protecting Franchisees.

Based on the above explanation, we can draw a conelusion that as the form of the legal protection guarantee against Franchisees as the contacting parties who are oftenharmed due to Franchisors’ unilateral action, before signing the Franchise contract, Franchisees have to be more careful in analyzing the would be Franchise and its Franchisors as well as the content of the contract based on the Franchise – stipulating regulations imposed.

Keywords : Franchisors’unilateral action, the legal protection against Franchisors. Pendahuluan

Salah satu bentuk kerjasama yang berkembang pesat di Indonesia pada saat ini adalah bentuk kerjasama dalam bidang usaha Franchise. Hal ini disebabkan Franchise merupakan usaha yang paling menguntungkan untuk mengembangkan dunia usaha. Di samping itu Franchise merupakan perbaikan dari sistem pengembangan usaha yang menggunakan cara penanaman modal secara langsung.

Dengan sistem Franchise ini, akan terjadi penghematan biaya investasi yang seharusnya diperlukan untuk mendirikan dan memelihara jaringan distribusi yang luas. Penghematan ini karena jaringan distribusi akan terjadi sendirinya dengan

(2)

2

semakin banyaknya pembeli Franchise dan Franchisor akan mendapat loyalti dari penjualan lisensi.

Menurut Amir Karamoy, pihak yang memperoleh hak (lisensi) menggunakan merek dagang dan sistem bisnis yaitu perorangan dan atau pengusaha yang lain yang dipilih oleh Franchisor untuk menjadi Franchisee, dengan memberikan imbalan bagi hasil kepada Franchisor berupa fee (uang jaminan awal) dan royalti (uang bagi hasil turus menerus). Keduanya bersepakat melakukan kerjasama saling menguntungkan, dengan berbagai persyaratan yang telah disetujui dan dituangkan dalam perjanjian kontrak yang disebut perjanjian Franchise.1

Sedangkan menurut pendapat Amir Karamoy pada dasarnya sistem bisnis Franchise melibatkan 2 pihak yaitu Franchisor dan Franchisee. Pemilik merek dagang dan sistem bisnis yang terbukti sukses pemilik produk jasa atau sistem operasi yang khas dengan merek tertentu yang biasanya telah dipatenkan disebut Franchisor, sedangkan pihak yang memperoleh hak (lesensi) menggunakan merek dagang dan sistem bisnis yaitu perorangan dan atau pengusaha disebut Franchisee.2

Keuntungan Franchise bagi pihak Franchisor adalah kemungkinan perluasan usaha yang cepat dengan memanfaatkan sumber daya keuangan Franchisee untuk penguasaan atas distribusi produk barang atau jasa. Keuntungan bagi Franchisee adalah dapat menikmati suatu bisnis yang dimiliki oleh Franchisor, yang dalam banyak hal dilengkapi dengan nama dagang yang sudah diterima oleh masyarakat.

Selama ini belum diketemukan adanya suatu perselisihan ataupun kesalahpahaman dalam suatu perjanjian Franchise, baik itu dari segi pengertian, interprestasi hal yang diperjanjikan. Perselisihan atau sengketa yang terjadi pada umumnya timbul karena salah satu pihak melakukan wanprestasi atau sesuatu yang menyimpang dari isi perjanjian.

Untuk mengatasi masalah tersebut pemerintah telah mengeluarkan perangkat hukum yang secara khusus mengatur tentang Franchise yang terdapat pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 42 tahun 2007 tentang Waralaba (Franchise)

1

Darmawan Budi Suseno, Sukses Usaha Waralaba, Cetakan Pertama, Cakrawala, Yogyakarta, 2007, hal. 20 - 21

2 Ibid

(3)

3

serta Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor 259/MPP/Kep/7/1997 tanggal 30 Juli 1997 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Pendaftaran Usaha Waralaba dan Peraturan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia No.31/M-DAG/PER/8/2008 tentang Penyelenggaraan Waralaba.

Di samping itu perlindungan yang dilakukan sebelum di keluarkannya Peraturan Pemerintah dan masih digunakan sampai saat ini adalah Buku III KUH Perdata yang menganut sistem terbuka, artinya memberi kebebasan kepada setiap orang untuk mengadakan suatu perjanjian yang berisi apapun asalkan tidak bertentangan dengan Undang – Undang, ketertiban umum, dan kesusilaan sebagaimana tertulis pada Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata.

Rumusan Masalah

Dari latar belakang masalah yang telah diuraikan maka dapat ditarik suatu rumusan masalah sebagai berikut, yaitu tindakan sepihak Franchisor serta perlindungan hukum terhadap Franchisee sehubungan dengan tindakan sepihak Franchisor.

Tindakan Sepihak Franchisor

Pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 42 Tahun 2007 menyatakan bahwa Franchise (Waralaba) adalah hak khusus yang dimiliki oleh orang perseorangan atau badan usaha terhadap sistem bisnis dengan ciri khas usaha dalam rangka memasarkan barang dan / atau jasa yang telah terbukti berhasil dan dapat dimanfaatkan dan / atau digunakan oleh pihak lain berdasarkan perjanjian Waralaba.

Pasal 1 ayat (2) dan (3) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 42 Tahun 2007 menyatakan bahwa pemberi waralaba (Franchisor) adalah orang perseorangan atau badan usaha yang memberikan hak untuk memanfaatkan dan / atau menggunakan waralaba yang dimilikinya kepada penerima waralaba. Sedangkan penerima waralaba (Franchisee) adalah orang perseorangan atau badan usaha yang

(4)

4

diberikan hak oleh pemberi waralaba untuk memanfaatkan dan / atau menggunakan waralaba yang dimiliki pemberi waralaba.

Waralaba merupakan pilihan untuk berwirausaha dengan risiko paling kecil. Pada awalnya waralaba dimulai dari keberhasilan usaha dari pemilik merek atau Franchisor. Melalui bisnis waralaba Franchisor akan menularkan keberhasilan usahanya kepada Franchisee. Franchisor sebelumnya telah melakukan dan membuat satu formulasi standart untuk sukses sesuai dengan pengalamannya.

Franchisee memikirkan cara-cara memaksimalkan penjualan dan keuntungan di outletnya sendiri, dengan terus menerus memperbaiki pendekatan dan strategi usahanya agar sesuai dengan kebutuhan pasarnya. Sedangkan Franchisor menjaga nilai kompetitif produknya, dan mendukung Franchisee untuk memusatkan upayanya secara efektif.

Dalam Pasal 3 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.42 Tahun 2007, usaha yang dapat digolongkan sebagai usaha Franchise harus memenuhi kriteria sebagai berikut :

1. Memiliki ciri khas usaha;

2. Terbukti sudah memberikan keuntungan;

3. Memiliki standart atas pelayanan dan barang dan / atau jasa yang ditawarkan yang dibuat secara tertulis;

4. Mudah diajarkan dan diaplikasikan;

5. Adanya dukungan yang berkesinambungan dan; 6. Hak kekayaan intelektual yang telah terdaftar.

Agar waralaba dapat berkembang dengan pesat maka persyaratan utama yang harus dimiliki adalah kepastian hukum yang mengikat baik bagi Franchisor maupun Franchisee. Perkembangan bisnis Franchise di Indonesia banyak dipengaruhi oleh perubahan – perubahan kebijaksanaan bisnis dan kelemahan di bidang hukum. Kelemahan di bidang hukum yang mengatur hubungan antara Franchisor dengan Franchisee akan menyababkan kurang menariknya wahana Franchise sebagai suatu alternatif dalam mengembangkan bisnis.

(5)

5

Upaya pemerintah menumbuhkan Franchise sebagai pola alternatif pengembangan usaha kecil dan menengah merupakan kebijakan yang tepat dan implementasinya berwujud pada kemitraan. Untuk itu diperlukan suatu peraturan perundang-undangan yang mengatur perlunya transparansi tentang eksistensi Franchisor kepada calon Franchisee. Adanya transparansi tersebut merupakan wujud dari profesionalisme Franchisor, sekaligus kesempatan bagi calon Franchisee untuk memperoleh informasi yang obyektif sebelum memutuskan untuk berinvestasi.

Pesatnya pertumbuhan bisnis Franchise itu tidak akan terlepas dari konflik-konflik yang menyertai antara pihak yang terlibat dalam perjanjian tersebut, sehingga pemerintah dalam hal ini tidak tinggal diam. Dengan berdirinya AFI (Asosiasi Franchise Indonesia), diharapkan mampu oleh para pebisnis Franchise untuk saling bertukar pikiran dan menyelesaikan masalah-masalah yang timbul dalam usaha Franchise (waralaba). Perlunya kepastian hukum yang jelas sangat membantu dalam pembentukan format bisnis Franchise. Pemerintah sendiri telah mengatur mengenai perjanjian Franchise di dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2007 yang mengatur tentang waralaba. Hal ini menunjukkan keseriusan pemerintah untuk lebih mengembangkan bisnis waralaba di Indonesia dengan tidak meninggalkan Undang-Undang Hak Paten, Hak Cipta dan Hak Merek, serta asas kebebasan berkontrak di dalam KUH Perdata yang dapat menjadi landasan bagi para Franchisor. Untuk mendukung Peraturan Pemerintah tersebut dikeluarkan pula adanya Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor 259/MPP/KEP/7/1997 tentang Ketentuan Tata Cara Pelaksanaan Pendaftaran Usaha Waralaba dan Peraturan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia No. 31/M-DAG-PER/8/2008 tentang Penyelenggaraan Waralaba.

Perjanjian Franchise, dapat menggunakan dasar hukum yang terdapat dalam ketentuan Pasal 1338 KUH Perdata mengenai asas kebebasan berkontrak. Maksudnya bahwa pada umumnya perjanjian itu dapat dibuat secara bebas menurut kehendak pihak-pihak yang bersangkutan antara lain bebas untuk membuat atau tidak membuat perjanjian, bebas untuk mengadakan perjanjian dengan siapapun, bebas untuk menentukan isi dari perjanjian dan bebas untuk menentukan bentuk perjanjian. Di samping itu juga harus memperhatikan Pasal 1320 KUH Perdata yang

(6)

6

menjelaskan tentang syarat sahnya suatu perjanjian. Syarat sahnya perjanjian menurut Pasal 1320 KUH Perdata adalah adanya kata sepakat / persesuaian kehendak, kecakapan, obyek tertentu dan sebab yang halal.

Menurut R. Setiawan, terdapatnya cacat kehendak atau tidak cakap untuk membuat perjanjian / perikatan mengakibatkan dapat dibatalkannya perjanjian. Jika obyeknya tidak tertentu atau tidak dapat ditentukan atau causanya tidak halal maka perjanjiannya adalah batal.3

Di dalam Pasal 1328 KUH Perdata perjanjian Franchise merupakan bentuk perjanjian kontrak antara Franchisor dengan Franchisee dimana kedua belah pihak saling menyepakati ketentuan yang telah mereka buat. Pasal 1338 KUH Perdata disebutkan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya, asalkan tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan dan Undang-undang.

Dalam Undang-Undang Paten Nomor 14 Tahun 2001 bentuk Franchise ini termasuk ke dalam bidang penemuan berupa resep (untuk Franchise makanan). Jika mengacu pada Pasal 73 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 maka hak paten yang dimiliki oleh Franchisor dapat beralih atau dialihkan baik seluruhnya maupun sebagian kepada Franchisee.

Di dalam Undang – Undang Merek Nomor 15 Tahun 2001 bahwa Franchisor wajib mendaftarkan Franchisenya untuk mendapatkan hak merek yang dalam hal ini bisa berupa logo atau gambar. Pada umumnya suatu bisnis Franchise sangat terkait dengan masalah-masalah yang berkenaan dengan merek atau paten dan hak cipta beserta peraturan pelaksanaannya yang umumnya berlaku terhadap suatu perjanjian Franchise. Berlakunya Undang-Undang Merek, berhubung ikut terlibatnya merek dagang dan logo miliknya pihak Franchisor dalam suatu bisnis Franchise. Untuk itu perlu kepastian tentang kepemilikan dan penggunaannya yang semuanya diatur dalam Undang-Undang Merek. Dalam suatu bisnis Franchise dimungkinkan adanya penemuan baru oleh pihak Franchisor dimana penemuan tersebut dapat dipatenkan. Lewat suatu lisensi penemuan baru tersebut dapat digunakan untuk kepentingan

3

R. Setiawan, Pokok – Pokok Hukum Perjanjian, Cetakan II, Bina Cipta, Bandung, 1978, hal. 57

(7)

7

pihak Franchisee. Itulah sebabnya jika penemuan baru tersebut ada dan dapat dipatenkan maka Undang – Undang Paten berlaku juga terhadap suatu perjanjian Franchise.

Menurut Suryono Ekotama, bisnis Franchise berbeda dibanding bisnis lainnya. Bisnis Franchise tidak sekedar berjualan produk. Bisnis Franchise itu berjualan Hak Atas Kekayaan Intelektual. Hal ini merupakan salah satu keunggulan bisnis Franchise, sehingga tidak mudah ditiru oleh pelaku bisnis lain. Di pasaran saat ini banyak produk yang satu sama lain mirip tetapi kualitas dan produsennya berbeda. Pemilik produk yang asli tidak dapat berbuat banyak karena tidak memiliki instrumen apapun untuk mempertahankan eksistensi produknya. Disinilah peran penting Hak Atas Kekayaan Intelektual yang melindungi pemilik produk atau bisnis aslinya supaya tetap dapat berproduksi atau melakukan bisnisnya secara eksklusif.4

Dengan demikian kedudukan hukum Franchise di Indonesia cukup kuat dan diatur keberadaannya dalam suatu Undang-Undang atau peraturan tersendiri.

Di dalam kenyataannya sering kali pihak Franchisor mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dibandingkan dengan kedudukan dari pihak Franchisee, sehingga mengakibatkan pihak Franchisee harus bersedia mengikuti aturan main atau segala ketentuan dalam perjanjian baik mengenai klausula maupun prosedur yang telah ditetapkan oleh pihak Franchisor.

Hubungan hukum antara pihak Franchisor dengan pihak Franchisee secara teori adalah hubungan antara dua pihak yang independen (berdiri sendiri), dimana hak dan kewajiban mereka ditentukan oleh kedua belah pihak dalam suatu perjanjian yang telah mereka buat sendiri. Franchisee merupakan bagian daripada Franchisor hal ini dapat dilihat dari komponen-komponen dagang yang dimiliki oleh Franchisee mirip dengan milik Franchisor seperti logo, merek, nama dagang, jenis Franchise, sistem manajemen, dan lain-lain. Namun outlet milik Franchisee tidak dapat dikatakan sebagai bagian dari agen Franchisor, sebab modal dan tempat usaha adalah milik dari Franchisee, akan tetapi konsep dan penataan ruang harus sama atau disesuaikan dengan ketentuan yang berlaku dalam perjanjian.

4

Suryono Ekotama, Cara Gampang Bikin Bisnis Franchise, cetakan I, Malpress (Anggota IKAPI), Yogyakarta, 2008, hal.57.

(8)

8

Di dalam perjanjian Franchise biasanya pihak yang paling lemah kedudukannya adalah pihak Franchisee. Pihak Franchisee karena perjanjian yang sudah disepakatinya tersebut harus rela mengikuti segala ketentuan dan prosedur yang ditetapkan oleh pihak Franchisor hal ini terkadang tidak diimbangi dengan pemenuhan kewajiban pihak Franchisor kepada pihak Franchisee karena pihak Franchisor lebih mementingkan hak daripada kewajibannya.

Pasal 8 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.42 tahun 2007 menyatakan bahwa pemberi waralaba (Franchisor) wajib memberikan pembinaan dalam bentuk pelatihan, bimbingan operasional manajemen, pemasaran, penelitian dan pengembangan kepada penerima waralaba secara berkesinambungan.

Perlindungan Hukum Terhadap Franchisee Sehubungan dengan Tindakan Sepihak Franchisor

Bentuk perlindungan terhadap Franchisee tertuang dalam klausula perjanjian antara kedua belah pihak yaitu antara Franchisor dengan Franchisee.

Menurut Hendri E. Ramdhan, prinsip kerjasama yang diatur dengan perjanjian adalah bahwa apabila kelak terjadi perselisihan, semua pihak kembali berkaca pada perjanjian itu sehingga dapat ditentukan pihak manakah yang melanggar aturan dan pihak yang merasa dirugikan dapat menyampaikan keberatannya sesuai aturan dalam perjanjian.5

Franchisee sebelum menandatangani kontrak perjanjian harus teliti untuk menganalisa calon Franchise beserta Franchisornya sebab banyak sekali tawaran dari pihak Franchisor yang sebenarnya menggiurkan hal ini dalam rangka menarik calon pembeli Franchise.

Menurut Dewi Hartanti, ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam memilih bisnis Franchise agar bisnis Franchise terus berkembang adalah mencari informasi sebanyak-banyaknya tentang bisnis Franchise, analisis produk usaha Franchise, melihat perkembangan usahanya, jujur pada diri sendiri, menyelidiki kondisi keuangan Franchisor, mengetahui kinerja outlet yang telah ada, mempelajari

5

Hendri E. Ramdhan, Franchise Untuk Orang Awam, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2009, hal.37.

(9)

9

dan mempertimbangkan secara matang draft dan kontrak dengan baik, merencanakan bisnis, memilih bisnis Franchise yang sesuai dengan keuangan yang ada, memilih Franchisor yang memberikan bantuan finansial, memilih Franchisor yang memberikan hak kepada Franchisee dalam memilih lokasi gerai, memilih Franchisor yang mau berbagi pengalaman, memilih Franchisor yang memberikan pelatihan kepada karyawan / tenaga kerja sampai yang bersangkutan mahir, memilih Franchisor yang menyediakan peralatan untuk Franchiseenya, memilih Franchisor yang mensupplai bahan untuk produk yang akan dijual Franchisee dan memilih Franchisor yang beromzet besar.6

Pasal 1 ayat (6) Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia No. 12/M-DAG/PER/3/2006 menyatakan bahwa perjanjian waralaba adalah perjanjian secara tertulis antara pemberi waralaba dengan penerima waralaba utama.

Sebelum membuat perjanjian, pemberi waralaba wajib memberikan keterangan tertulis atau prospektus mengenai data dan atau informasi usahanya dengan benar, kepada penerima waralaba sebagaimana dinyatakan dalam pasal 5 Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia No.12/M-DAG/PER/3/2006 yaitu paling sedikit memuat :

a. Identitas pemberi waralaba, berikut keterangan mengenai kegiatan usahanya termasuk neraca dan daftar rugi laba 1 (satu) tahun terakhir;

b. Hak kekayaan intelektual atau penemuan atau ciri khas usaha yang menjadi obyek waralaba disertai dokumen pendukung;

c. Keterangan mengenai kriteria atau persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi penerima waralaba termasuk biaya investasi;

d. Bantuan dan fasilitas yang diberikan pemberi waralaba kepada penerima waralaba;

e. Hak dan kewajiban antara pemberi waralaba dan penerima waralaba; dan

f. Data atau informasi lain yang perlu diketahui oleh penerima waralaba dalam rangka pelaksanaan perjanjian waralaba selain huruf a sampai dengan huruf e.

6

Dewi Hartanti, Bisnis Franchise Modal 2 juta …., Cetakan I, Indonesia Cerdas, 2009, hal.28-36

(10)

10

Jika pemberi waralaba tidak memberikan pembinaan dalam bentuk pelatihan, bimbingan operasional manajemen, pemasaran, penelitian dan pengembangan kepada penerima waralaba secara berkesinambungan dan tidak mendaftarkan prospektus penawaran waralaba sebelum membuat perjanjian waralaba dengan penerima waralaba serta tidak mendaftarkan perjanjian waralaba maka berdasarkan pasal 16 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2007 bahwa Menteri, Gubernur, Bupati / Walikota dapat mengenakan sanksi administratif bagi pemberi waralaba dan penerima waralaba yang melanggar ketentuan yang berlaku. Sanksi tersebut dapat berupa peringatan tertulis, denda dan / atau pencabutan surat tanda pendaftaran waralaba.

Pasal 5 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.42 Tahun 2007 menyatakan bahwa perjanjian waralaba memuat klausula paling sedikit :

a. Nama dan alamat para pihak b. Jenis Hak Kekayaan Intelektual c. Kegiatan usaha

d. Hak dankewajiban para pihak

e. Bantuan, fasilitas, bimbingan operasional, pelatihan dan pemasaran yang diberikan pemberi waralaba kepada penerima waralaba

f. Wilayah usaha

g. Jangka waktu perjanjian h. Tata cara pembayaran imbalan

i. Kepemilikan, perubahan kepemilikan dan hak ahli waris j. Penyelesaian sengketa

k. Tata cara perpanjangan, pengakhiran dan pemutusan perjanjian

Jika berpijak pada ketentuan umum maka suatu perjanjian Franchise yang ditawarkan oleh Franchisor tidak dapat diganggu gugat atau dengan kata lain bentuk dan isi dari perjanjian tersebut ditentukan oleh pihak Franchisor, dan pihak Franchisee tinggal membubuhkan tanda tangan tanpa adanya negosiasi dengan pihak Franchisor mengenai isi dari perjanjian. Seolah-olah pihak Franchisee tidak mempunyai hak untuk mengajukan saran atau usulan terhadap perjanjian Franchise

(11)

11

yang akan dijalaninya padahal belum tentu semua aturan yang ditetapkan dapat memberikan keuntungan bagi kedua belah pihak.

Hak-hak yang biasa diterima oleh Franchisee masih sangat dibatasi, sehingga kemungkinan Franchisee untuk memperjuangkan haknya masih terikat dengan isi perjanjian yang disepakatinya itu. Jika terjadi masalah dalam pelaksanaan perjanjian Franchise tersebut, maka Franchisee harus meninjau ulang komitmen yang telah disepakati dengan Franchisor.

Dengan adanya pengkajian tersebut diharapkan calon Franchisee nantinya tidak akan tertipu dan merasa dirugikan oleh pihak atau pemilik Franchise. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi adanya tindakan sepihak dari Franchisor kepada Franchisee.

Menurut Gunawan Widjaja, bahwa bila terdapat suatu sengketa atau perselisihan maka sebelum mengambil suatu tindakan tertentu sebaiknya pertama-tama perlu diidentifikasi masalah pokok, menetapkan pihak mana atau siapa yang dapat dibebani tanggung jawab dengan meneliti statusnya dengan memperhatikan hubungan hukum yang ada baik berdasarkan perjanjian atau kontrak (bila ada) atau karena sebab yang ditentukan oleh Undang-Undang.7

Berdasarkan Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia No. 12/M-DAG/PER/3/2006 bahwa perjanjian waralaba dapat memuat klausula pemberian hak bagi penerima waralaba utama untuk membuat perjanjian waralaba lanjutan. Sedangkan jangka waktu perjanjian waralaba antara pemberi waralaba (Franchisor) dengan penerima waralaba (Franchisee) utama berlaku paling sedikit 10 (sepuluh) tahun. Jangka waktu perjanjian waralaba antara penerima waralaba utama dengan penerima waralaba lanjutan berlaku paling sedikit 5 (lima) tahun.

Apabila Franchisor menghentikan kegiatan usaha Franchise, dengan alasan bahwa usaha tersebut masih dalam persengketaan menyangkut merek antara Franchisor dengan pihak lain, maka selama masih dalam persengketaan kegiatan usaha Franchise baik Franchisor maupun Franchisee dihentikan untuk sementara waktu. Jelas hal ini merugikan Franchisee karena tidak dapat beroperasi padahal

7

Gunawan Widjaja, Seri Aspek Hukum Dalam Bisnis, Cetakan I, Prenada Media Group, Jakarta, 2008, hal.89-90.

(12)

12

Franchisee dalam hal ini tidak bersalah. Franchisee tidak dapat dipersalahkan ataupun dituntut berkaitan dengan penggunaan merek yang dipersengketakan melainkan Franchisee tetap berhak menggunakan merek dan menjalankan usahanya sebagai konsekuensi dari adanya lisensi sampai berakhirnya jangka waktu perjanjian dan gugatan sepenuhnya dalam hal ini ditujukan kepada Franchisor yang kemudian diproses lewat pengadilan atau dengan kata lain persengketaan merek tidak membuat perjanjian ikut berakhir.

Jika proses pengadilan diputuskan bahwa pihak Franchisor bersalah dan dibatalkan pemilikan mereknya maka Franchisee berhak menarik kembali bagian dari loyalti yang telah dibayarkan sekaligus dari Franchisor untuk kemudian diserahkan kepada pemilik merek yang memenangkan gugatan. Begitu pula dengan uang muka yang telah dibayarkan berhak untuk ditarik kembali dan diserahkan kepada pihak Franchisor yang menang dalam gugatan. Perjanjian Franchise yang telah dibuat, tetap berlaku selama sisa jangka waktu perjanjian dan kewajiban Franchisee beralih kepada pemilik merek yang tidak dibatalkan tersebut.

Dengan demikian atas lisensi yang dimilikinya Franchisee tetap mempunyai hak melaksanakannya walaupun di dalam masa perjanjian tersebut terdapat sengketa mengenai merek Franchise yang bersangkutan. Perjanjian Franchise tidak akan berakhir dan Franchise tidak menanggung beban apapun atas persengketaan tersebut. Di samping itu jika Franchisor membatalkan perjanjian Franchise padahal pihak Franchisee telah melaksanakan kewajibannya atau pihak Franchisor dengan alasan yang tidak jelas mencabut atau menghindari kewajibannya terhadap Franchisee maka kepada Franchisor berlaku Pasal 1338 KUH Perdata yaitu bahwa semua persetujuan atau perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya, persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak atau karena alasan – alasan yang oleh undang – undang dinyatakan cukup untuk itu. Dengan demikian Franchisor tidak diperbolehkan untuk bertindak semena-mena melakukan pemutusan perjanjian.

Perjanjian Franchise (waralaba) juga memuat ketentuan mengenai pengakhiran karena pelanggaran kontrak oleh Franchisee atau sebab lain yang ditentukan misalnya kepailitan yang dialami oleh Franchisee, pelanggaran pidana

(13)

13

ataupun kehilangan lisensi. Dalam rangka melindungi kepentingan penerima waralaba dari tindakan sepihak Franchisor, juga keterlibatan pengusaha kecil dan menengah sebagai penerima waralaba atau pemasok barang atau jasa, ketentuan Pasal 10 Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 259/MPP/KEP/7/1997 menyatakan bahwa Menteri Perindustrian dan Perdagangan atau pejabat lain yang ditunjuk dapat memberikan saran penyempurnaan atas perjanjian Franchise antara pihak Franchisor dan Franchisee.

Di samping itu Pasal 15 ayat (1) dan (2) Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia No. 12/M-DAG/PER/3/2006 dinyatakan bahwa dalam hal pemberi waralaba memutuskan perjanjian waralaba dengan penerima waralaba sebelum berakhirnya masa berlakunya perjanjian waralaba dan kemudian menunjuk penerima waralaba yang baru, penerbitan STPUW bagi penerima waralaba yang baru hanya diberikan kalau penerima waralaba telah menyelesaikan segala permasalahan yang timbul sebagai akibat dari pemutusan tersebut dalam bentuk kesepakatan bersama melalui penyelesaian secara tuntas. Selanjutnya dalam hal penerima waralaba utama yang bertindak sebagai pemberi waralaba memutuskan perjanjian waralaba dengan penerima waralaba lanjutan yang lama sebelum berakhir masa berlakunya perjanjian waralaba, dan kemudian menunjuk penerima waralaba lanjutan yang baru, penerbitan STPUW bagi penerima waralaba lanjutan yang baru hanya bisa diberikan jika penerima waralaba utama telah menyelesaikan segala permasalahan yang timbul sebagai akibat dari pemutusan tersebut dalam bentuk kesepakatan bersama melalui penyelesaian secara tuntas.

Penutup

Dari pembahasan yang dilakukan terhadap permasalahan maka dapat diambil suatu simpulan dari pembahasan sebagai berikut : bahwa di dalam kenyataan seringkali pihak Franchisor mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dibandingkan dengan kedudukan Franchisee sehingga mau atau tidak pihak Franchisee harus bersedia mengikuti segala ketentuan dalam perjanjian yang ditetapkan oleh Franchisor yang tidak diimbangi dengan pemenuhan kewajiban pihak Franchisor kepada pihak Franchisee, oleh sebab itu Franchisee sebelum menanda tangani

(14)

14

kontrak perjanjian harus teliti dalam menganalisa calon Franchise beserta Franchisornya dengan memperhatikan 16 hal seperti yang telah penulis sampaikan sebelumnya.

Adapun secara yuridis mendasarkan pada pasal-pasal KUH Perdata, Undang-Undang hak cipta, paten, merek, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.42 Tahun 2007 tentang Waralaba, Keputusan dan Peraturan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia.

Dari kesimpulan tersebut penulis memberikan saran perlu adanya suatu pengaturan yang lebih kuat tentang kedudukan perjanjian Franchise dalam tata hukum Indonesia, disertai adanya kebijakan nasional ke arah terciptanya keseimbangan hak dan kewajiban bagi pihak Franchisee dengan pihak Franchisor.

(15)

15

DAFTAR BACAAN

Budi Suseno, Darmawan, Sukses Usaha Waralaba, Cakrawala, Yogyakarta, Cetakan Pertama, 2007.

Ekotama, Suryono, Cara Gampang Bikin Bisnis Franchise, Media Pressindo, Yogyakarta, Cetakan Pertama, 2008.

Hartanti, Dewi, Bisnis Franchise Modal 2 Juta, Indonesia Cerdas, Yogyakarta, Cetakan Pertama, 2009.

Ramdhan, Hendry E, Franchise untuk orang awam, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2009.

Setiawan R, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Bina Cipta, Bandung, Cetakan Kedua, 1978.

Widjaja, Gunawan, Seri Aspek Hukum Dalam Bisnis, Prenada Media Group, Jakarta, Cetakan Pertama, 2008.

Peraturan Perundang – Undangan Kitab Undang – Undang Hukum Perdata

Undang – Undang Nomor 19 Tahun 2002, tentang Hak Cipta Undang – Undang Nomor 14 Tahun 2001, tentang Hak Paten Undang – Undang Nomor 15 Tahun 2001, tentang Merek

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2007 tentang Waralaba Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor

259/MPP/KEP/7/1997, tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Pendaftaran Usaha Waralaba.

Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia No.12/M-DAG/PER/3/2006 tentang Ketentuan dan Tata Cara Penerbitan Surat Tanda Pendaftaran Usaha Waralaba.

Peraturan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia No.31/M-DAG/PER/8/2008 tentang Penyelenggaraan Waralaba.

Referensi

Dokumen terkait

Demikian Pengumuman Penyedia Barang/Jasa Pekerjaan PENGADAAN CETAK PERATURAN BUPATI. TENTANG PENJABARAN PERUBAHAN APBD KABUPATEN TEGAL TAHUN

Raya Boulevard Barat, Kelapa Gading Square, Jakarta Utara, 14240 Jakarta Barat.. Dapur Buntut PIK 1 Rukan Garden House Blok

Berdasarkan hasil penelitian yang peneliti lakukan, dewasa madya menunda pernikahan, dia ingin mempunyai calon suami berpendidikan yang lebih tinggi darinya, wanita

 Manusia  ingin  mengharap-­‐ kan  kebahagiaan,  karena  semua  manusia   pasti  menginginkan  kebahagiaan... Memfokuskan  siswa  sebagai  sumber

terdiri atas rangkaian kendali, rangkaian sensor, dan rangkaian analogi instalasi listrik dan (ii) hasil pengukuran kinerja prototipe sistem elektronis untuk pemantauan

sC rLil ik<iL pcndid ik.. rintah tid al... kabuj1;.lICll alall kota)... rlw IlIIplelllelllolioll (

Data peubah tingkat hambatan relatif pada uji kultur ganda, uji produksi senyawa volatil, serta pertumbuhan padi dianalisis ragam dan perlakuan yang berpengaruh nyata diuji