• Tidak ada hasil yang ditemukan

1. Pengertian Penerimaan Diri (Self Acceptance)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "1. Pengertian Penerimaan Diri (Self Acceptance)"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

15

1. Pengertian Penerimaan Diri (Self Acceptance)

Jersild mengatakan bahwa penerimaan diri adalah kesediaan untuk menerima dirinya yang mencakup keadaan fisik, psikologik, sosial, dan pencapaian dirinya, baik kelebihan maupun kekurangan yang dimiliki. Penerimaan diri menurut Sheerer (1963, dalam Cronbach, 1963) adalah sikap untuk menilai diri dan keadaannya secara objektif, menerima segala yang ada pada dirinya termasuk kelebihan-kelebihan dan kelemahan-kelemahannya. Individu yang menerima diri berarti telah menyadari, memahami dan menerima diri apa adanya dengan disertai keinginan dan kemampuan diri untuk senantiasa mengembangkan diri sehingga dapat menjalani hidup dengan baik dan penuh tanggung jawab (Paramita & Margaretha, 2013:93).

Supratiknya (1995:84) mengatakan bahwa penerimaan diri adalah memiliki penghargaan yang tinggi terhadap diri sendiri, atau tidak bersikap sinis terhadap diri sendiri, penerimaan diri berkaitan dengan kerelaan membuka diri atau mengungkapkan pikiran, perasaan, dan reaksi terhadap orang lain. Individu yang mampu menerima dirinya adalah individu yang dapat menerima kekurangan dirinya sebagaimana kemampuannya untuk menerima kelebihannya. Hal tersebut sesuai yang diungkapkan oleh Kurniawan (2013) dimana kemampuan penerimaan

(2)

diri yang dimiliki seseorang berbeda-beda tingkatannya. Sebab kemampuan tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain usia, latar belakang pendidikan, pola asuh orang tua, dan dukungan sosial (Marni & Rudy, 2015:2).

Penerimaan diri adalah menerima diri apa adanya, memiliki sikap positif atas dirinya, tidak terbebani oleh kecemasan atau rasa malu, dan mau menerima kelebihan dan kekurangan dirinya (dalam Feist & Feist, 2006). Penerimaan diri bukan mengandung pengertian bahwa individu memiliki gambaran sempurna tentang dirinya melainkan individu tersebut dapat melakukan sesuatu dengan baik mengenai dirinya. Darajat (2003) menyatakan individu yang bisa menerima dirinya dengan sungguh-sungguh akan menghindarkan individu dari rasa rendah diri dan hilangnya kepercayaan diri (Virlia & Andri, 2015:373).

Sedangkan White (2012) mengatakan terdapat proses-proses yang harus dilalui oleh seseorang untuk dapat menerima dirinya, yaitu seseorang harus mampu mengenal dirinya sendiri, menahan diri dari pola kebiasaan yang lalu, mengubah emosi dari suatu peristiwa yang terjadi, menikmati apapun yang terjadi di dalam kehidupannya, serta mereka mampu melepaskan segala kejadian-kejadian yang pernah terjadi di dalam kehidupannya (Virlia & Andri, 2015:373).

Dengan penerimaan diri (self acceptance), individu dapat menerima dan menghargai segala kelebihan dan kekurangan yang ada pada dirinya. Penerimaan diri dalam hal ini bermakna bahwa individu

(3)

bisa menghargai segala aspek yang ada pada dirinya baik yang bersifat positif maupun yang bersifat negatif. Individu yang memiliki self acceptance akan memandang kelemahan atau kekurangan diri sebagai hal yang wajar dimiliki setiap individu, karena pada hakikatnya tidak ada individu yang sempurna, setiap individu pasti memiliki kelemahan dan kekurangan dan hal tersebut tidak akan menghambat individu untuk terus mengaktualisasikan dirinya. Mereka juga selalu bisa menikmati apapun yang terjadi di dalam kehidupannya, serta mereka mampu melepaskan segala kejadian-kejadian yang pernah terjadi di dalam kehidupannya.

Dari pengertian-pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa penerimaan diri adalah sikap individu yang memiliki penghargaan dan menerima segala aspek yang ada pada dirinya, baik itu kelebihan maupun kekurangan diri tanpa menyalahkan orang lain dan memiliki keinginan untuk mengembangkan diri untuk terus maju.

2. Aspek-Aspek Penerimaan Diri

Jersild (dalam Meilinda Endah, 2013:14) mengemukakan beberapa aspek-aspek penerimaan diri sebagai berikut :

a. Persepsi mengenai diri dan sikap terhadap penampilan.

b. Sikap terhadap kelemahan dan kekuatan diri sendiri dan orang lain. c. Perasaan infeoritas sebagai gejala penolakan diri.

d. Respon atas penolakan dan kritikan.

(4)

f. Penerimaan diri dan penerimaan orang lain.

g. Penerimaan diri, menuruti kehendak, dan menonjolkan diri. h. Penerimaan diri, spontanitas, dan menikmati hidup.

i. Aspek moral penerimaan diri. j. Sikap terhadap penerimaan diri.

Sheerer (dalam Sari & Sartini, 2002:76-77) menyebutkan aspek-aspek penerimaan diri, yaitu :

a. Keyakinan akan kemampuan dirinya dalam menjalani kehidupan. b. Menganggap dirinya berharga sebagai seorang manusia yang

sederajat dengan individu lain.

c. Menyadari dan tidak merasa malu akan keadaan dirinya.

d. Menempatkan dirinya sebagaimana manusia yang lain sehingga individu lain dapat menerima dirinya.

e. Bertanggung jawab atas segala perbuatannya.

f. Menerima pujian atau celaan atas dirinya secara objektif.

g. Mempercayai prinsip-prinsip atau standar-standar hidupnya tanpa harus diperbudak oleh opini individu-individu lain.

h. Tidak mengingkari atau merasa bersalah atas dorongan-dorongan dan emosi-emosi yang ada pada dirinya.

Menurut Supratiknya (1995) (dalam Ridha Muhammad, 2012:113-114) penerimaan diri berkaitan dengan:

a. Kerelaan untuk membuka atau rnengungkapkan aneka pikiran, perasaan, dan reaksi kita kepada orang lain. Membuka atau

(5)

mengungkapkan aneka pikiran, perasaan, dan reaksi kita kepada orang lain, pertama-tama harus melihat bahwa diri kita tidak seperti apa yang dibayangkan, dan pembukaan diri yang akan kita lakukan tersebut diterima atau tidak olehorang lain. Kalau kita sendiri menolak diri (self-rejecting), maka pembukaan diri akan sebatas dengan pemahaman yang kita punya saja. Dalam penerimaan diri individu, terciptanya suatu penerimaan diri yang baik terhadap kekurangan dan kelebihan yang dimiliki, dapat dilihat dari bagaimana ia mampu untuk menghargai dan menyayangi dirinya sendiri, serta terbuka pada orang lain.

b. Kesehatan psikologis.

Kesehatan psikologis berkaitan erat dengan kualitas perasaan kita terhadap diri sendiri. Orang yang sehat secara psikologis rnemandang dirinya disenangi, mampu, berharga, dan diterima oleh orang lain. Orang yang menolak dirinya biasanya tidak bahagia dan tidak mampu rnembangun serta melestarikan hubungan baik dengan orang lain. Maka, agar kita tumbuh dan berkembang secara psikologis, kita harus menerima diri kita. Untuk rnenolong orang lain tumbuh dan berkernbang secara psikologis, kita harus menolongnya dengan cara memberikan pemahaman terhadap kesehatan psikologis, agar rnenjadi lebih bersikap menerima diri.

(6)

c. Penerimaan terhadap orang lain.

Orang yang menerima diri biasanya lebih bisa menerima orang lain. Bila kita berpikiran positif tentang diri kita, maka kita pun akan berpikir positif tentang orang lain. Sebaliknya bila kita menolak diri kita, maka kita pun akan menolak orang lain.

Allport (Hjelle & Zeigler, 1992 dalam Resty, 2016:4) mengungkapkan bahwa orang yang menerima dirinya adalah orang-orang yang:

a. Memiliki gambaran yang positif tentang dirinya.

b. Dapat mengatur dan dapat bertoleransi dengan rasa frustasi dan kemarahannya.

c. Dapat berinteraksi dan menerima kritikan dari orang lain. d. Dapat mengatur keadaan emosi (depresi dan kemarahan).

Dari pendapat-pandapat tentang aspek-aspek penerimaan diri tersebut penulis menyimpulkan beberapa aspek yang dapat digunakan sebagai indikator penelitian ini. Aspek-aspek tersebut dianggap bisa menjelaskan bagaimana penerimaan diri seseorang, yaitu sebagai berikut: a. Persepsi mengenai diri dan sikap terhadap penampilan.

b. Menikmati hidup.

c. Dapat berinteraksi dan penerimaan terhadap orang lain tanpa memusuhi mereka apabila diberi kritik.

(7)

d. Menganggap dirinya berharga sebagai seorang manusia yang sederajat dengan individu lain dan tidak merasa malu dengan keadaan dirinya.

e. Mempercayai prinsip-prinsip atau standar-standar hidupnya tanpa harus diperbudak oleh opini-opini individu lain.

f. Kerelaan untuk membuka atau mengungkapkan pikiran, perasaan, dan reaksi kepada orang lain.

g. Dapat mengatur dan dapat bertoleransi dengan rasa rustrasi dan kemarahannya.

3. Karakteristik Penerimaan Diri (Self Acceptance)

Tentunya orang yang memiliki self acceptance dan tidak memiliki self acceptance berbeda dalam tingkah lakunya. Seseorang dikatakan memiliki self acceptance yang baik dapat dilihat dari perkataan dan perilakunya sehari-hari. Pada umumnya perilaku yang dimunculkannya lebih cenderung positif dan senang melakukan kegiatan yang berhubungan dengan banyak orang. Sehingga ini akan sangat berdampak positif terhadap kematangan pada dirinya.

Beberapa karakteristik seseorang yang memiliki penerimaan diri menurut Jersild (1963) (dalam Sari & Sartini, 2002:76-77) adalah: a. Memiliki penghargaan yang realistis terhadap kelebihan-kelebihan

dirinya.

b. Memiliki keyakinan akan standar-standar dan prinsip-prinsip dirinya tanpa harus diperbudak oleh opini individu-individu lain.

(8)

c. Memiliki kemampuan untuk memandang dirinya secara realistis tanpa harus menjadi malu akan keadaannya.

d. Mengenali kelebihan-kelebihan dirinya dan bebas memanfaatkannya. e. Mengenali kelemahan-kelemahan dirinya tanpa harus menyalahkan

dirinya.

f. Memiliki spontanitas dan rasa tanggung jawab dalam diri.

g. Menerima potensi dirinya tanpa menyalahkan dirinya atas kondisi-kondisi yang berada di luar kontrol mereka.

h. Tidak melihat diri mereka sebagai individu yang harus dikuasai rasa marah atau takut atau menjadi tidak berarti karena keinginan-keinginannya tapi dirinya bebas dari ketakutan untuk berbuat kesalahan, merasa memiliki hak untuk memiliki ide-ide dan keinginan-keinginan serta harapan-harapan tertentu.

i. Tidak merasa iri akan kepuasan-kepuasan yang belum mereka raih. Hal terpenting ketika seseorang mampu menerima dirinya adalah ketika seseorang tersebut dapat menerima segala potensi yang ada pada dirinya, baik itu yang berkaitan dengan kelebihan yang dimilikinya juga yang berkaitan dengan kelemahan/kekurangan yang ada pada dirinya maka orang tersebut akan dapat berinteraksi dengan baik dengan orang lain karena orang tersebut akan bersedia menerima kritik ataupun penolakan dari orang lain dengan sikap positif.

(9)

Sheerer (Marni & Rudy, 2015:3) menyebutkan ciri-ciri orang yang memiliki penerimaan diri adalah sebagi berikut:

a. Kepercayaan atas kemampuannya untuk dapat menghadapi hidupnya.

b. Menganggap dirinya sederajat dengan orang-orang lain. c. Tidak menganggap dirinya sebagai orang hebat atau aneh. d. Tidak mengharapkan bahwa orang lain mengucilkannya. e. Tidak malu-malu atau serba takut dicela orang lain. f. Mempertanggung jawabkan perbuatannya.

g. Mengikuti standar pola hidupnya sendiri dan tidak ikut-ikutan. h. Menerima pujian atau celaan secara objektif.

i. Tidak menganiaya sendiri dengan kekangan-kekangan yang berlebih-lebihan atau tidak memanfaatkan sifat-sifat yang luar biasa.

j. Menyatakan perasaannya dengan wajar.

Ciri-ciri seseorang yang mau menerima dirinya menurut Allport (Resty, 2016:4) adalah sebagai berikut:

a. Memiliki gambaran yang positif tentang dirinya.

b. Dapat mengatur dan dapat bertoleransi dengan rasa frustasi dan kemarahannya.

c. Dapat berinteraksi dengan orang lain tanpa memusuhi mereka apabila orang lain beri kritik.

(10)

Dari pendapat-pandapat tentang karakteristik individu yang memiliki penerimaan diri di atas maka dapat penulis simpulkan individu yang memiliki penerimaan diri memiliki karakteristik-karakteristik sebagai berikut:

a. Memiliki keyakinan akan standar-standar dan prinsip-prinsip dirinya tanpa harus diperbudak oleh opini individu-individu lain.

b. Menyadari kekurangan tanpa menyalahkan diri sendiri dan orang lain.

c. Menerima kualitas-kualitas kemanusiaan mereka tanpa menyalahkan diri mereka terhadap keadaan-keadaan di luar kendali mereka.

d. Menganggap dirinya sederajat dengan orang-orang lain. e. Tidak menganggap dirinya sebagai orang hebat atau aneh. f. Tidak malu-malu atau serba takut dicela orang lain.

g. Mengikuti standar pola hidupnya sendiri dan tidak ikut-ikutan. h. Menerima pujian atau celaan secara objektif.

i. Tidak melihat diri mereka sebagai individu yang harus dikuasai rasa marah atau takut atau menjadi tidak berarti karena keinginan-keinginannya tapi dirinya bebas dari ketakutan untuk berbuat kesalahan, merasa memiliki hak untuk memiliki ide-ide dan keinginan-keinginan serta harapan-harapan tertentu.

j. Tidak merasa iri akan kepuasan-kepuasan yang belum mereka raih. k. Dapat mengatur dan dapat bertoleransi dengan rasa frustrasi dan

(11)

l. Dapat berinteraksi dengan orang lain tanpa memusuhi mereka apabila orang lain beri kritik.

m. Dapat mengatur keadaan emosi mereka.

B. Wanita Bercadar

1. Pengertian Wanita Bercadar

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), wanita adalah perempuan, lebih halus: kaum wanita, kaum putri. Sedangkan cadar secara istilah dalam bahasa Inggris dikenal sebagai veil (sebagaimana varian Eropa lain, misalnya voile dalam bahasa Perancis) biasa dipakai untuk merujuk pada penutup tradisional kepala, wajah (mata, hidung, atau mulut), atau tubuh perempuan di Timur Tengah dan Asia Selatan. Makna leksikal yang dikandung kata ini adalah “penutup”, dalam arti “menutupi” atau menyembunyikan, atau “menyamarkan” (Ratri, 2011:31).

Cadar dalam studi tafsir Islam sendiri adalah jilbab yang tebal, longgar, dan menutupi seluruh aurat, termasuk wajah serta telapak tangan. Ubaidah dan sahabat lain mengatakan bahwa kaum wanita mengulurkan kain tersebut dari atas kepalanya, sehingga tidak ada yang tampak, kecuali dua matanya. Diantara yang termasuk jenis ini adalah an niqab/cadar (Sari, at al:116).

Menurut Shihab dalam Tanra (2016:118), cadar dalam Islam adalah jilbab yang tebal dan longgar yang menutup semua aurat

(12)

termasuk wajah dan telapak tangan. Dasar dari penggunaan cadar adalah untuk menjaga perempuan sehingga tidak menjadi fitnah dan menarik perhatian laki-laki yang bukan mahramnya. Bahwa memakai cadar (dan juga jilbab) bukanlah sekedar budaya Timur-Tengah, namun budaya Islam dan ajaran Islam yang sudah diajarkan oleh para ulama Islam sebagai pewaris para nabi yang memberikan pengajaran kepada seluruh umat Islam, bukan kepada masyarakat Timur-Tengah saja. Jika memang budaya Islam ini sudah dianggap sebagai budaya lokal oleh masyarakat timur-tengah, maka tentu ini adalah perkara yang baik. Karena memang demikian sepatutnya, seorang muslim berbudaya Islam (Tanra, 2016:118).

Wanita bercadar adalah wanita muslimah yang mengenakan baju panjang sejenis jubah dan menutup semua badan hingga kepalanya serta memakai penutup muka atau cadar sehingga yang nampak hanya kedua matanya. Cadar dalam Islam merupakan versi lanjutan dari jilbab. Pengguna cadar menambah penutup wajah, sehingga hanya terlihat mata saja, bahkan telapak tanganpun juga harus ditutupi. Jika berjilbab mensyaratkan pula penggunaan baju panjang, maka bercadar diikuti pula pengguna gamis (bukan celana). Rok-rok panjang dan lebar dan biasanya aksesoris berwarna hitam atau gelap (Sari, at al, 119).

Jadi dapat disimpulkan, wanita bercadar adalah perempuan yang menggunakan jilbab yang tebal dan longgar disertai kain penutup sebahagian wajah sehingga yang terlihat hanya mata saja.

(13)

2. Alasan Penggunaan Cadar

Syaikh Muhammad Nashiruddin Albani (ulama dan ahli hadits) seperti dikutip (dalam Susanti, 2008:45) memandang bahwa wajah perempuan tidak termasuk bagian yang wajib di tutupi, namun ia menganjurkan sebagian di tutup untuk mencegah kejahatan mengingat dekadensi moral yang umum terjadi di masyarakat modern seperti sekarang ini. Adapun peraturan memakai hijab menurutnya adalah sebagai berikut:

a. Hijab harus menutup seluruh tubuh.

b. Hijab hendaknya bukan merupakan sumber daya tarik (pamer kemewahan).

c. Hijab merupakan kain yang tebal dengan keyakinan bahwa pakaian tembus pandang hanya akan memperkuat daya tarik perempuan dan menjadi sumber kejahatan.

d. Hijab merupakan pakaian yang lapang dan tidak sempit. e. Pakaian tidak menyerupai pakaian laki-laki.

f. Pakaian tidak menyerupai pakaian kafir.

g. Pakaian tidak boleh merefleksikan kebesaran dunia.

Sedangkan menurut R. Rusmini Suria Atmaja seperti dikutip Susanti (2008:45) (dalam Labib MZ 1990: 25) menyatakan bahwa di antara alasan penggunaan cadar (hijab), adalah sebagai berikut:

a. Memenuhi syarat peradaban sehingga tidak menyinggung rasa kesusilaan.

(14)

b. Memenuhi syarat kesehatan, yakni melindungi tubuh dari gangguan luar seperti: panas teriknya matahari, udara dingin dan debu.

c. Memenuhi rasa keindahan, sesuai dengan syari’at dan peradaban. d. Menutup segala kekurangan yang ada pada tubuh.

Pandangan berbeda disampaikan oleh Ibrahim Amini, mengenai alasan penggunaan hijab sebagai berikut :

a. Melindungi secara lebih baik nilai-nilai sosial terhadap upaya-upaya busuk yang menjadikan wanita sebagai objek tontonan.

b. Perbuatan-perbuatan kotor dan tidak terpuji dapat di kendalikan. c. Memberikan ketenangan lahir dan batin karena akan terbebas dari

gangguan (Susanti, 2008:45).

Dari pendapat-pandapat di atas dapat penulis simpulkan alasan dan tujuan dari penggunaan cadar, yakni sebagai berikut:

a. Mencegah kejahatan mengingat dekadensi moral yang umum terjadi di masyarakat modern seperti sekarang ini.

b. Memenuhi syarat peradaban sehingga tidak menyinggung rasa kesusilaan.

c. Memenuhi syarat kesehatan, yakni melindungi tubuh dari gangguan luar seperti: panas teriknya matahari, udara dingin dan debu.

d. Memenuhi rasa keindahan, sesuai dengan syari’at dan peradaban. e. Menutup segala kekurangan yang ada pada tubuh.

(15)

g. Memberikan ketenangan lahir dan batin karena akan terbebas dari gangguan.

C. Studi Penelitian yang Relevan

Penelitian yang relevan dengan penelitian ini dilakukan oleh Sari, et al dengan judul “Studi Fenomenologi Mengenai Penyesuaian Diri Pada Wanita Bercadar”. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana proses penyesuaian diri pada wanita bercadar di wilayah Surakarta. Penelitian ini dilakukan secara kualitatif dengan rancangan studi fenomenologi yang diharapkan mampu menggali data dari subjek secara lebih mendalam sehingga mampu menjelaskan situasi yang dialami oleh subjek dalam kehidupan sehari-hari dan tetap selaras dengan konteks dimana gejala itu muncul di dunia. Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa setiap subjek memiliki alasan bercadar yang berbeda-beda dan respon masing-masing dalam menyesuaikan diri. Subjek 1 bercadar karena perintah suami, subjek 2 bercadar karena menganggap cadar adalah wajib, dan subjek 3 bercadar karena merasa malu dan risih dilihat wajahnya oleh orang lain.

Perbedaan latar belakang subjek menggunakan cadar tersebut mempengaruhi bagaimana strategi penyesuaian diri yang dimiliki. Subjek 1 mengatasi ketidaksiapannya dengan lingkungan baru dengan membentuk sikap menghindar dan mengisi dengan fokus terhadap mimpinya mengembangkan kreativitas anak. Subjek terus berupaya meyakinkan kedua orang tuanya dengan mengatasi segala keinginan orang tuanya namun tetap berpegang teguh pada keyakinannya. Sedangkan subjek 3 melakukan

(16)

interaksi yang wajar dengan teman-temannya baik laki-laki maupun perempuan, mengenakan pakaian yang berwarna-warni, membaur dan aktif dengan lingkungan tempat tinggalnya, serta melakukan self talk sebagai salah satu sarana untuk bangkit dari keterpurukan.

Penelitian lain juga dilakukan oleh Mira Rzki Wijayanti pada tahun 2008 dengan judul penelitian “Gambaran resilensi pada muslimah dewasa muda yang menggunakan cadar”. Penelitian ini bertujuan untuk melihat gambaran resilensi pada muslimah dewasa muda yang menggunakan cadar. Resilensi adalah kemampuan yang dimiliki individu untuk mampu bertahan dan berkembang secara positif dalam situasi penuh tekanan. Seorang perempuan bercadar yang resilen akan mampu beradaptasi dengan perubahan yang ada, mengatasi tekanan, memandang hidup secara positif, pulih dan berkembang menjadi individu yang lebih kuat dan bijak. Penelitian ini diharapkan dapat menganalisa lebih dalam tujuh faktor resilensi yang dimiliki oleh perempuan bercadar serta mengidentifikasi faktor-faktor protektif yang ada, sehingga diperoleh sebuah pemahaman yang komprehensif terhadap kemampuan resilensi muslimah bercadar. Hasil dari penelitian ini dapat digunakan bagi para pembaca khususnya para akademis Psikologi untuk dapat mengetahui dan lebih jauh lagi memahami kemampuan resilensi muslimah bercadar dalam menghadapi dan mengatasi konflik yang ada serta berkembang di tengah berbagai tekanan yang dialaminya. Penelitian lainnya yang masih berkaitan penelitian yang akan penulis lakukan adalah penelitian yang dilakukan oleh Mutiah pada tahun

(17)

2013 dengan judul “Dinamika Komunikasi Wanita Bercadar”. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui makna cadar bagi wanita bercadar itu sendiri dan mengetahui pengelolaan kesan yang terjadi dalam komunitas wanita bercadar tersebut. Metode yang digunakan adalah metode kualitatif dengan pendekatan fenomenologi. Dalam penelitian ini terdapat 11 informan yang bersedia mengartikulasi pengalamannya secara terbuka. Umumnya penulis memperoleh sebuah pernyataan yang spontan sehingga didapat data yang natural. Makna cadar yang mereka konstruksi, penulis reduksi menjadi tiga kategori, yaitu cadar sebagai kewajiban, cadar sebagai kehormatan dan cadar berawal dari tradisi keluarga yang ketiga kategori ini sangat dipengaruhi oleh faktor situasional. Penelitian ini memperlihatkan dan memahami interaksi dan komunikasi yang terjadi dalam komunitas wanita Arab yang mengenakan cadar itu sendiri maupun interaksi yang terjadi dengan masyarakat sekitar, terjadi nuansa-nuansa identitas etnik ketika interaksi tersebut berlangsung.

Penelitian lain yang masih berkaitan dengan penelitian yang akan penulis lakukan adalah penelitian yang dilakukan oleh Indra Tanra pada tahun 2016 dengan judul “Persepsi Masyarakat Tentang Perempuan Bercadar” Penelitian tentang Persepsi Masyarakat Tentang Perempuan Bercadar (studi kasus Desa To’bia Kabupaten Luwu) ini bertujuan untuk mengetahui persepsi masyarakat tentang perempuan bercadar di Desa To’bia Kabupaten Luwu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa persepsi masayarakat terhadap perempuan bercadar itu sanagat negatif dan juga

(18)

mereka tidak menerima adanya perempuan bercadar di Desa mereka, bahkan sebagian masayarakt mengucilkan atau bahkan menolak keberadaan mereka dan mereka tidak di anggap di dalam masayarakat.

Selain itu, penelitian yang masih berkaitan dengan penelitian ini juga dilakukan oleh Zakiyah Jamal pada tahun 2013 dengan judul “Fenomena Wanita Bercadar (Studi Fenomenologi Konstruksi Realitas Sosial Dan Interaksi Sosial Wanita Bercadar di Surabaya)”. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan pendekatan fenomenologi, yang mana studi fenomenoloi ini mencoba mencari pemahaman tentang bagaimana wanita bercadar yang dianggap negatif oleh sebagaian masyarakat mengkonstruksi realitas sosial dan konsep-konsep penting dalam dirinya seperti interaksi sosial dan stereotype. Teknik pengumpulan data yang di gunakan peneliti adalah in depth interview. Kesimpulan dari penelitian ini adalah konstruksi realitas sosial wanita bercadar memiliki pendapat yang berbedabeda setiap individu seperti mengkonstruksi dirinya sebagai wanita muslimah, terhormat serta memotivasi dirinya sendiri untuk lebih baik. Interaksi sosial wanita bercadar yakni tetap melakukan interaksi dengan masyarakat namun dengan eksistensi yang berbeda.

Penelitian lain yang masih berkaitan dengan penelitian ini adalah penelitian yang dilakukan oleh Mutiara Sukma Novri pada tahun 2016. “Konstruksi Makna Cadar Oleh Wanita Bercadar Jamaah Pengajian Masjid Umar Bin Khatab Kelurahan Delima Kecamatan Tampan Pekanbaru”. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana membangun motif

(19)

makna terselubung wanita bercadar, makna dan pengalaman komunikasi sehari-hari mereka. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa motif dari wanita berkerudung cadar jamaah masjid Umar Bin Khatab ada dua, yakni motif masa lalu dan motif masa depan. Motif masa lalu merupakan dasar agama yang telah mendarah daging. Ada kejadian yang menyebabkan wanita itu bercadar dan membentuk sudut pandang baru di dalamnya serta motif untuk menjaga diri dari pandangan laki-laki yang tidak mukhrim. Sedangkan motif masa adalah untuk mengharapkan berkah atau ridho Allah SWT., menjadi wanita sholehah, menjadi panutan bagi orang lain serta untuk menghormati suaminya. Menjadikan wanita berkerudung bercadar bahwa yang mereka gunakan adalah perintah agama yang ada hukumnya dan afdhol, mereka juga mengenakan cadar sebagai kebutuhan psikologis bagi pengendalian diri dan berperilaku.

Penelitian lainnya dilakukan oleh Khamdan Qolbi pada tahun 2013 dengan judul “Makna Penggunaan Cadar Mahasiswi Institut Keislaman Abdullah Faqih (INFAKA)”. Penelitian ini membahas tentang pemaknaan penggunaan cadar oleh mahasiswi di lingkungan kampus dan latar belakang mahasiswi melepas cadar saat berada di luar kampus. Hasil dalam penelitian ini menunjukkan bahwa penggunaan cadar yang dilakukan oleh mahasiswi tidak ada hubungan dan kaitannya dengan cadar dalam islam yaitu sebagai penutup aurat akan tetapi mereka memahami cadar sebagai sebuah aturan dan perintah kyai yang mereka gunakan saat mengikuti kegiatan akademik.

(20)

Adapun hal yang membedakan antara penelitian yang telah ada dengan penelitian yang akan penulis lakukan adalah bahwa belum pernah dilakukan sebuah penelitian penerimaan diri (self acceptance) wanita bercadar di UIN Imam Bonjol Padang. Penelitian ini berbeda dengan penelitian sebelumnya, penelitian yang pernah dilakukan mengenai wanita bercadar ini sebelumnya tentang penyesuaian diri, dinamika komunikasi, konstruksi makna cadar bagi wanita bercadar, gambaran resilensinya, pemaknaan penggunaan cadar, realitas sosial dan interaksi sosial serta persepsi masyarakat tentang wanita bercadar. Sedangkan penelitian yang akan peneliti lakukan adalah mengenai penerimaan diri (self acceptance) wanita bercadar. Selain itu perbedaan lainnya berupa subjek, maupun lokasi penelitian. Karena itu penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan keasliannya.

Referensi

Dokumen terkait

Gambar 4.5 Grafik pengaruh penambahan jumlah node dan jumlah koneksi terhadap rata- rata packet loss pada routing AODV dan DSR…....47.. Gambar 4.6 Grafik pengaruh

1) Que la doctrina contenida en las obras de Aristóteles dedicada a especialistas (pragmateíai) no fue del todo desco­ nocida en el período de renacimiento que

Pendidikan anak usia dini (PAUD) adalah jenjang pendidikan sebelum jenjang pendidikan dasar yang merupakan suatu upaya pembinaan yang ditujukan bagi anak sejak

Sebagaimana dijelaskan dalam Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional bahwa Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah

Untuk metode ini sangat umum digunakan dalam penelitian hewan tanah, sehingga dapat juga mempelajari ekologi binatang gua dengan membandingkan antar gua atau hanya antar zona dalam

Kecamatan Kebasen, Kecamatan Kemranjen, Kecamatan Sumpiuh, Kecamatan Kalibagor, Kecamatan Patikraja, Kecamatan Ajibarang, Kecamatan Gumelar, Kecamatan Pekuncen,

Dalam pengiriman ikan kerapu hidup dipengaruhi oleh sistem pengeluaran kotoran (zat amonia) yang dihasilkan oleh ikan, dimana suhu yang tinggi menyebabkan ikan

Ketika akan shalat dhuhur berjamaah, apakah anda memposisikan diri sesuai dengan keinginan anda tanpa memperhatikan kerapatan saf yang berada di depan anda.. Apakah anda