• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambaran Penerimaan Diri Ibu Tiri Yang Memiliki Anak Tunarungu

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Gambaran Penerimaan Diri Ibu Tiri Yang Memiliki Anak Tunarungu"

Copied!
274
0
0

Teks penuh

(1)

1

GAMBARAN PENERIMAAN DIRI IBU TIRI YANG

MEMILIKI ANAK TUNARUNGU

SKRIPSI

Diajukan Guna Memenuhi Persyaratan

Ujian Sarjana Psikologi

OLEH:

RIZQI CHAIRIYAH

101301007

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

2 bahwa skripsi saya yang berjudul:

Gambaran Penerimaan Diri Ibu Tiri yang Memiliki Anak Tunarungu

adalah hasil karya sendiri dan belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun.

Adapun bagian-bagian tertentu dalam penulisan skripsi ini yang saya kutip dari hasil karya orang lain dituliskan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah dan etika penulisan ilmiah.

Apabila dikemudian hari ditemukan adanya kecurangan di dalam skripsi ini, saya bersedia menerima sanksi pencabutan gelar akademik yang saya sandang dan sanksi-sanksi lainnya dengan peraturan perundangan yang berlaku.

Medan, 03 Februari 2015

Rizqi Chairiyah

(3)

3

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran penerimaan diri ibu tiri yang memiliki anak tunarungu. Status ibu tiri yang memiliki penilaian negatif di masyarakat membuat ibu tiri membutuhkan adaptasi untuk menerima statusnya dan kondisi keluarganya termasuk kondisi anak tirinya yang tunarungu. Kekurangan bahasa dan lisan membuat anak tunarungu membutuhkan pelayanan khusus dari orang tua ataupun pengasuhnya. Berkaitan dengan kompleksitas mengenai status ibu tiri dan kondisi anak tunarungu tersebut, maka akan mempengaruhi proses penerimaan diri ibu tiri. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori penerimaan diri dari Jersild (1963) dimana penerimaan diri adalah derajat dimana individu memiliki kesadaran terhadap karakteristiknya, ia mampu dan bersedia untuk hidup dengan karakteristik tersebut. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan studi kasus intrinsik. Melibatkan 2 orang partisipan dengan menggunakan teknik pengambilan partisipan berdasarkan theory-based operational construct sampling. Teknik pengambilan data yang digunakan adalah metode wawancara dan observasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kedua partisipan memiliki penerimaan diri yang baik terhadap statusnya sebagai ibu tiri. Partisipan 1 menerima dirinya sebagai ibu tiri yang memiliki anak tunarungu dan menjalani kesepuluh aspek penerimaaan diri dengan baik. Partisipan 1 juga sudah menerima dan menganggap anak tirinya yang tunarungu sebagai anaknya sendiri. Partisipan 2 telah memiliki penerimaan diri yang baik terhadap statusnya sebagai ibu tiri dan dapat menjalani kesembilan aspek penerimaan diri dengan baik dalam hidupnya. Aspek yang tidak terpenuhi pada partisipan 2 yaitu tidak memiliki penerimaan orang lain dengan baik. Namun, partisipan 2 belum bisa menerima dan menganggap anak tirinya yang tunarungu sebagai anaknya sendiri. Hal tersebut dikarenakan perilaku kasar anak tirinya dan penolakan dari ibu mertuanya terhadap dirinya. Pemikiran positif juga berpengaruh terhadap proses penerimaan diri partisipan 1 dan partisipan 2, sehingga kedua partisipan mampu menjalani proses penerimaan dirinya.

(4)

4

ABSTRACT

The aim of this research was to describe stepmother’s self-acceptance who has a deaf child. Status of stepmother have a negative assessment in the public make stepmother requires adaptation to accept her status and condition of her family including her deaf children. Deficiency oral and language makes deaf child need special care from their parents or caregiver. Associated with the complexity the status of stepmother and deaf condition of the child, it will affect the process of stepmother’s self-acceptance. The research used self-acceptance theory from Jersild (1963) in which the self-acceptance is the degree to which individuals have the awareness of their characteristics, it is able and willing to live with these characteristics. This study used a qualitative research method with intrinsic case study approach. Involves 2 participants using a technique theory-based operational construct sampling. Data collection techniques used were interview and observation. The result of the research showed that two participants have a good self-acceptance to her status as a stepmother. The first participants accept her selves as stepmother who have a deaf children and undergo of the tenth aspect of self-acceptance herself well. The first participant also has received and considered step child who are deaf as her own. The second participant has a good acceptance of the status as a stepmother and can undergo ninth self-acceptance aspect well in her life. Aspects that are not fulfilled at the second participant that do not have other people with good reception. Until now, the second participant cannot accept and assume stepchildren who are deaf as her own. That is because the rude behavior from stepchild and rejection from mother in law against her. Positive thinking also affect the process of self-acceptance in first participant and second participant, so the both participants are able to undergo the process self acceptance of herself.

(5)

5

Nya selama menjalankan kewajiban menuntut ilmu hingga akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Sholawat dan salam penulis ucapkan kepada Nabi Muhammad SAW, semoga penulis selalu dapat meneladaninya.

Adapun judul skripsi yang penulis susun untuk memenuhi tugas akhir ini, yaitu “Gambaran Penerimaan Diri Ibu Tiri yang Memiliki Anak Tunarungu”.

Penulis juga tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan dukungan, bantuan, bimbingan serta saran selama penulis menyelesaikan skripsi ini. Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Ibu Prof.Dr.Irmawati,M.si.,psikolog selaku Dekan Fakultas Psikologi USU, beserta pembantu Dekan I, II dan III Fakultas Psikologi USU.

(6)

6

3. Kakak saya yaitu kak Sari yang tiada henti-hentinya menegur dan memarahi peneliti dengan omelannya ketika peneliti lalai mengerjakan tugas ini. Adik-Adikku, Iqbal, Ihsan, Dayat, Dinna, yang selalu rela membantu menemani peneliti keliling untuk menemui partisipan.

4. Kak Debby Anggraini Daulay, M.Psi.Psikolog, selaku dosen pembimbing yang dengan segenap hati telah membimbing saya mulai dari awal hingga akhir dari tugas ini. Terima kasih sebesar-besarnya kepada beliau karena telah memberikan banyak masukan, kritikan, dan saran terhadap penelitian saya ini, sehingga membuat saya mampu mengerjakan tugas ini sampai akhir.

5. Kak Rahma Yurliani, M.Psi. yang juga telah bersedia menjadi second opinion pada metode penelitian saya di bab 3. Terima kasih peneliti ucapkan kepada kak Ama atas waktu yang diberikan kepada saya.

6. Kak Ade Rahmawati Siregar, M.Psi. yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk menguji, memberikan masukan dan kritikan terhadap penyelesaian tugas akhir.

(7)

7

menceritakan pengalamannya kepada peneliti.

9. Terima kasih kepada Riri Amaliah dan Reza Yoga Pratama Ginting yang gak henti-hentinya menegur dan memarahi peneliti ketika peneliti lalai mengerjakan tugas ini. Terima kasih juga untuk dukungan dan nasehatnya selama peneliti mengerjakan tugas ini.

10.Terima kasih kepada Geng Rempong (Icut, Ocha, Anggi, Ririn, Tika) yang selalu memberikan dukungan kepada peneliti, berbagi waktu, kesenangan, kesedihan yang tidak mengenal waktu, dan berbagi bantal bersama. Terima kasih untuk waktunya 4 tahun ini dan untuk Anggi terima kasih telah mengajarkan peneliti tentang makna hidup yang sebenarnya dan mengajarkan peneliti untuk berkata “tidak” sama sesuatu yang gak disukai. Thanks.

11.Terima Kasih Kepada M. Prabudi Aswan Nasution yang telah meluangkan waktunya untuk selalu mengajak peneliti menghabiskan waktu kesana-kesini ketika peneliti merasa bosan. Terima kasih juga selalu mendengarkan keluh kesah peneliti selama mengerjakan tugas ini, meski kaadang gak sependapat.

(8)

8

Penelitian dengan tema penerimaan diri ibu tiri yang memiliki anak tunarungu dilakukan dalam upaya untuk melihat bagaimana penerimaan diri pada ibu tiri yang memiliki anak tunarungu. Saya berharap dengan adanya penelitian ini, kita mampu melihat bahwa tidak semua ibu tiri memiliki karakteristik yang kejam. Saya ingin mengajak kita semua untuk mengubah pandangan kita mengenai staus ibu tiri dan kondisi anak tunarungu.

Akhir kata, “tak ada gading yang tak retak” peneliti menyadari bahwa sangat banyak kekurangan dalam penelitian ini, baik informasi, sumber daya, maupun kemampuan saya sendiri. Oleh karena itu, penulis meminta maaf jika terdapat kesalahan penulisan kata yang salah dan tidak berkenan. Keterbatasan ini saya harapkan dapat menjadi masukan untuk penelitian dimasa yang akan datang. Akhirnya, saya berharap agar penelitian ini bermanfaat bagi masyarakat secara luas.

Medan, 03 Februari 2015

(9)

9

ERNYATAAN………..

ABSTRAK………. .... ii

ABSTRACT ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL………. .... xii

DAFTAR GAMBAR………. .... xiii

DAFTAR LAMPIRAN………. .... xiv

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah Penelitian ... 15

C. Tujuan Penelitian ... 15

D. Manfaat Penelitian ... 15

a. Manfaat Teoritis ... 15

b. Manfaat Praktis ... 16

E. Sistematika Penulisan ... 16

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 18

A. Penerimaan Diri... 18

1. Pengertian Penerimaan Diri ... 18

2. Aspek-Aspek Penerimaan Diri ... 20

(10)

10

2. Penyesuaian dan Pengasuhan Ibu Tiri di dalam Keluarga ... 29

C. Tunarungu ... 31

1. Pengertian Anak Tunarungu ... 31

2. Faktor Penyebab Ketunarunguan ... 32

3. Klasifikasi Anak Tunarungu ... 34

4. Hambatan dalam Mengasuh Anak Tunarungu ... 36

D. Penerimaan Diri Ibu Tiri yang Memiliki Anak Tunarungu ... 38

E. Paradigma Teoritis ... 43

F. Paradigma Berpikir ... 44

BAB III METODE PENELITIAN ... 45

A. Metode Penelitian Kualitatif ... 45

B. Lokasi Penelitian ... 47

C. Partisipan Penelitian ... 47

1. Karakteristik Partisipan ... 47

2. Jumlah Partisipan ... 48

D. Teknik Pengambilan Partisipan ... 49

E. Metode Pengumpulan Data ... 49

F. Alat Bantu Pengumpulan Data ... 50

G. Kredibilitas Penelitian... 52

H. Prosedur Penelitian ... 53

(11)

11

I. Metode Analisa Data ... 59

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 62

A. Hasil Partisipan 1 ... 63

1. Analisa Data Partisipan 1 ... 63

2. Data Wawancara Partisipan 1 ... 63

a. Hasil Observasi Partisipan 1... 64

b. Rangkuman Hasil Wawancara Partisipan 1 ... 73

3. Aspek-Aspek Penerimaan Diri ... 93

4. Rekapitulasi Analisa Penerimaan Diri Ibu Tiri yang Memiliki anak Tunarungu Partisipan I ... 119

B. Hasil Partisipan 2 ... 127

1. Analisa Data Partisipan 2 ... 127

2. Data Wawancara Partisipan 2 ... 127

a. Hasil Observasi Partisipan 2... 128

b. Rangkuman Hasil Wawancara Partisipan 2 ... 137

3. Aspek-Aspek Penerimaan Diri ... 172

4. Rekapitulasi Analisa Penerimaan Diri Ibu Tiri yang Memiliki anak Tunarungu Partisipan II ... 198

C. Pembahasan ... 211

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 236

(12)
(13)

13

Tabel 2 Waktu dan Lokasi Wawancara Partisipan 1 ... 63

Tabel 3 Rekapitulasi Analisa Penerimaan Diri Ibu Tiri yang Memiliki

Anak Tunarungu Partisipan 1 ... 119

Tabel 4 Gambaran Umum Partisipan 2 ... 127

Tabel 5 Waktu dan Lokasi Wawancara Partisipan 2 ... 127

Tabel 6 Rekapitulasi Analisa Penerimaan Diri Ibu Tiri yang Memiliki

Anak Tunarungu Partisipan 2 ... 198

(14)

14

Anak Tunarungu Partisipan 1... 126

Gambar 2 Skema Gambaran Penerimaan Diri Ibu Tiri yang Memiliki

(15)

15

(16)

3

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran penerimaan diri ibu tiri yang memiliki anak tunarungu. Status ibu tiri yang memiliki penilaian negatif di masyarakat membuat ibu tiri membutuhkan adaptasi untuk menerima statusnya dan kondisi keluarganya termasuk kondisi anak tirinya yang tunarungu. Kekurangan bahasa dan lisan membuat anak tunarungu membutuhkan pelayanan khusus dari orang tua ataupun pengasuhnya. Berkaitan dengan kompleksitas mengenai status ibu tiri dan kondisi anak tunarungu tersebut, maka akan mempengaruhi proses penerimaan diri ibu tiri. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori penerimaan diri dari Jersild (1963) dimana penerimaan diri adalah derajat dimana individu memiliki kesadaran terhadap karakteristiknya, ia mampu dan bersedia untuk hidup dengan karakteristik tersebut. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan studi kasus intrinsik. Melibatkan 2 orang partisipan dengan menggunakan teknik pengambilan partisipan berdasarkan theory-based operational construct sampling. Teknik pengambilan data yang digunakan adalah metode wawancara dan observasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kedua partisipan memiliki penerimaan diri yang baik terhadap statusnya sebagai ibu tiri. Partisipan 1 menerima dirinya sebagai ibu tiri yang memiliki anak tunarungu dan menjalani kesepuluh aspek penerimaaan diri dengan baik. Partisipan 1 juga sudah menerima dan menganggap anak tirinya yang tunarungu sebagai anaknya sendiri. Partisipan 2 telah memiliki penerimaan diri yang baik terhadap statusnya sebagai ibu tiri dan dapat menjalani kesembilan aspek penerimaan diri dengan baik dalam hidupnya. Aspek yang tidak terpenuhi pada partisipan 2 yaitu tidak memiliki penerimaan orang lain dengan baik. Namun, partisipan 2 belum bisa menerima dan menganggap anak tirinya yang tunarungu sebagai anaknya sendiri. Hal tersebut dikarenakan perilaku kasar anak tirinya dan penolakan dari ibu mertuanya terhadap dirinya. Pemikiran positif juga berpengaruh terhadap proses penerimaan diri partisipan 1 dan partisipan 2, sehingga kedua partisipan mampu menjalani proses penerimaan dirinya.

(17)

4

ABSTRACT

The aim of this research was to describe stepmother’s self-acceptance who has a deaf child. Status of stepmother have a negative assessment in the public make stepmother requires adaptation to accept her status and condition of her family including her deaf children. Deficiency oral and language makes deaf child need special care from their parents or caregiver. Associated with the complexity the status of stepmother and deaf condition of the child, it will affect the process of stepmother’s self-acceptance. The research used self-acceptance theory from Jersild (1963) in which the self-acceptance is the degree to which individuals have the awareness of their characteristics, it is able and willing to live with these characteristics. This study used a qualitative research method with intrinsic case study approach. Involves 2 participants using a technique theory-based operational construct sampling. Data collection techniques used were interview and observation. The result of the research showed that two participants have a good self-acceptance to her status as a stepmother. The first participants accept her selves as stepmother who have a deaf children and undergo of the tenth aspect of self-acceptance herself well. The first participant also has received and considered step child who are deaf as her own. The second participant has a good acceptance of the status as a stepmother and can undergo ninth self-acceptance aspect well in her life. Aspects that are not fulfilled at the second participant that do not have other people with good reception. Until now, the second participant cannot accept and assume stepchildren who are deaf as her own. That is because the rude behavior from stepchild and rejection from mother in law against her. Positive thinking also affect the process of self-acceptance in first participant and second participant, so the both participants are able to undergo the process self acceptance of herself.

(18)

16

A. Latar Belakang Masalah

Dewasa ini, fenomena seorang duda yang menikah lagi (remarriage), bukan menjadi hal yang baru. Status duda disebabkan oleh berakhirnya suatu pernikahan yang terjadi karena istri meninggal dunia, sakit atau bercerai (Glick, dalam Dariyo, 2004). Dikarenakan berakhirnya pernikahan ini, tidak jarang seorang duda memutuskan menikah lagi untuk mencari peran pengganti istri ataupun ibu untuk mengurus kehidupannya dan kehidupan anak-anaknya (Agnes, 2010). Survei yang dilakukan Rizka Moeslichan (2010) terhadap 100 janda dan duda di Indonesia tentang perilaku mereka setelah menghadapi perceraian, membuktikan sebanyak 35% duda memiliki keinginan untuk menikah kembali dibandingkan dengan janda (Syafrina dalam Kompas, 2013). Hal ini juga sesuai dengan survei di Inggris yang melibatkan 2000 pria dewasa, yang membuktikan

sebanyak 47% pria yang telah bercerai lebih “berani” untuk menjalin hubungan

sakral (menikah) lagi dibandingkan dengan mantan istri mereka (Landscappist, 2012).

(19)

17

internal maupun fisik terhadap keadaan sekitar yang berubah (Hinchliff, S, 1999). Hal ini sesuai dengan kutipan wawancara dengan ibu Erna yaitu sebagai berikut :

“…Keputusan saya untuk menikah dengan laki-laki berstatus duda, bukan paksaan dari pihak manapun, tapi yah… tentunya butuh adaptasi dengan lingkungan baru, kayak mana menghadapi keluarga baru saya, karena kan saya punya peran baru untuk menjalani hidup sebagai seorang istri sekaligus sebagai ibu tiri…

(Komunikasi personal, 20 Oktober 2013)

Dibandingkan pernikahan antara gadis dan jejaka, pernikahan dengan duda atau janda tentu memerlukan lebih banyak pertimbangan, apalagi bila telah mempunyai anak. Seperti yang diungkapkan Farli Erla Zuhanna, P.Si (dalam Ivvaty, 2007) sebagai konsultan di Pusat Konsultasi Psikologi Terapan (PKTP) Consulting yang berada di Fakultas Psikologi Universitas Pancasila, Jakarta Selatan:

“...perlu disadari bahwa pernikahan ini tidak menyelaraskan dua perasaan saja tapi juga perlu mempertimbangkan anak, orang tua, mertua dan lingkungan sosial. Apalagi, stereotype orang tua tiri lebih kejam dari orang tua kandung masih sangat melekat dalam masyarakat, sehingga muncul persepsi bahwa perlakuan dan pengasuhan orang tua kepada anak biologis (anak kandung) akan berbeda bila dibandingkan dengan anak Non-Biologis (anak tiri) ...”

(20)

18

hal ini seringkali membuat status ibu tiri menjadi bahan pembicaraan yang kurang baik di dalam masyarakat (Swari, 2012). Gambaran tentang ibu tiri yang kejam, juga masih melekat pada pandangan sebagian masyarakat jaman sekarang. Hal ini sesuai dengan kutipan wawancara dengan saudari Aina yaitu sebagai berikut:

“…Ibu tiri itukan biasanya digambarin orang-orang hem… punya sifat yang jelek, kayak kejam, jahat, identik dengan penyiksaan sama si anak dari suaminya. Mau jaman dulu atau sekarang, ibu tiri itu tetap punya gambaran kayak gitu kan istilahnya…”

(Komunikasi personal, 15 Desember 2013) “…Sebaik-baiknya ibu tiri, tetap aja bedalah kasih sayangnya sama anak dari suaminya, hem…rasa tulusnya pun beda karena kan itu bukan anak dari rahimnya sendiri, momok yang nakutin deh pokonya kalok bahas ibu tiri itu…”

(Komunikasi personal, 15 Desember 2013)

Pada kenyataannya tidak semua ibu tiri memiliki karakteristik negatif yang berkembang sesuai dengan cerita di dalam masyarakat. Pada sebagian masyarakat, ada juga yang memiliki pandangan positif mengenai status ibu tiri (Swari, 2012). Hal ini juga sesuai dengan hasil temuan lapangan yang ditemukan oleh peneliti, dimana pada jaman sekarang ini ada sebagian masyarakat yang tidak begitu mempermasalahkan status ibu tiri dan karakteristiknya. Hal ini sesuai dengan kutipan wawancara dengan saudara Dini yaitu sebagai berikut:

“…Kalok dibilang kejam, itu bukan patokan juga sih. Menurut saya, gak semua ibu tiri tuh kejam, toh ada juga ibu kandung yang kejamnya melebihi ibu tiri, nyiksa anak kandung juga kan?…”

(21)

19

(Komunikasi personal, 15 Desember 2013)

Pada awalnya, kedatangan orang tua tiri seringkali dipandang sebagai hal yang negatif, namun sebenarnya orang tua tiri dapat menyediakan dukungan dan keamanan bagi keluarga orang tua tunggal. Keberadaan orang tua tiri dapat memberikan tambahan waktu, tenaga, dan bahkan uang yang mungkin saja sangat dibutuhkan oleh keluarga yang dimasuki (Bonkowski, dalam Papalia 2001). Hal ini sesuai dengan kutipan wawancara dengan ibu Erna yaitu sebagai berikut :

“…Saya kan juga kerja, jadi hasilnya itu biasanya buat nambah-nambah kebutuhan pendidikan, seperti hem..SPP anak dari suami saya, gitulah...

(Komunikasi personal, 20 Oktober 2013)

(22)

20

Pada dasarnya, penerimaan diri adalah sebuah proses (Jersild, 1963). Hal ini dijelaskan oleh Jersild (1963), melalui beberapa aspek penerimaan diri yaitu, persepsi mengenai diri dan sikap terhadap penampilan; sikap terhadap kelemahan dan kekuatan diri sendiri dan orang lain; mampu mengatasi perasaan inferioritas; respon yang baik atas penolakan dan kritikan; keseimbangan antara real self dan ideal self; memiliki penerimaan diri dan penerimaan orang lain; menerima diri, menuruti kehendak dan menonjolkan diri; menerima diri, spontanitas, menikmati hidup; kejujuran dalam penerimaan diri, serta sikap yang baik terhadap penerimaan diri. Begitu juga dengan status sebagai ibu tiri yang dimiliki oleh seorang wanita, membutuhkan waktu dalam menjalani proses penerimaan diri agar akhirnya ia bisa menerima dirinya dengan status tersebut. Hal ini sesuai dengan kutipan wawancara dengan ibu Erna yaitu sebagai berikut:

“…Kalok ditanya tentang proses, pasti butuh proseslah untuk ngejalani hidup sebagai ibu tiri. Memang awalnya agak dikit susah gitulah, tapi lama-kelamaan, berjalannya waktu..terbiasa aja gitu jadi ibu tiri, yaah..udah bisa nerima gitulah walaupun agak lama gitu. Ngadepin penilaian orang, ngasuh anak tiri sendiri,ya..semua proses itu udah bisa kakak terima.…”

(Komunikasi personal, 20 Oktober 2013) “….Ada persepsi negatif kan sama sebutan ibu tiri. Denger penilaian negatif dari orang-orang, ngebuat saya harus bisa nerima diri saya dulu sebagai ibu tiri, baru saya bisa nerima penilaian yang muncul itu. Kan kalok udah punya pandangan positif sama diri sendiri, ntar pasti bisa ngadepin persepsi negatiftentang ibu tiri yang muncul di masyarakat…”

(23)

21

pandangan orang lain (Jersild, 1963). Pandangan realistik ini berupa persepsi positif yang dimiliki ibu tiri, dengan meyakini bahwa pandangan negatif yang muncul di masyarakat merupakan hal yang tidak sepenuhnya benar. Oleh karena itu, pandangan realistik yang dimiliki oleh ibu tiri merupakan suatu proses untuk mengevaluasi respon ataupun penilaian yang muncul tentang dirinya dihadapan orang lain.

Peran ibu tiri selain menjadi seorang istri, ia juga memiliki tanggung jawab untuk menggantikan peran ibu kandung dalam mengasuh anak-anak dari suaminya (Agnes, 2010). Dalam menjalani perannya, ibu tiri juga harus dapat menyesuaikan diri dengan berbagai keadaan yang menjadi karakteristik dari keluarga barunya tersebut. Selain harus menerima kondisi sang suami sebagai duda, ibu tiri juga harus menerima segala kondisi keluarga, seperti keadaan rumah tangga, kondisi ekonomi, kondisi anak dari suaminya dan sebagainya. Hal ini sesuai dengan kutipan wawancara dengan ibu Erna yaitu sebagai berikut :

...Setiap keluarga kan pasti udah punya aturan, kebiasaan, hem..karakteristik yang beda-beda antar anggota keluarganya, jadi..sebagai orang baru, sebagai ibu tiri juga, saya harus menerima segalakondisi apapun yang terjadi di dalam keluarga baru saya, nerima Bapaknya, anak-anaknya..karena itu semua adalah kehidupan saya, kehidupan baru saya sebagai istri dan ibu tiri....

(24)

22

berkebutuhan khusus. Ketika orang tua mengetahui bahwa anaknya mengalami suatu kondisi kecacatan tertentu, tentu ia akan menunjukkan berbagai reaksi emosi seperti cemas, sedih khawatir, takut, serta marah (Safaria, 2005). Begitu juga yang dialami oleh ibu tiri ketika ia menghadapi dan menerima kondisi anak tiri yang berkebutuhan khusus, maka ibu tiri akan merespon serta memiliki persepsi yang berbeda-beda pula. Hal ini berkaitan dengan penerimaan dan kesiapan pola asuh yang memiliki tantangan yang lebih berat (Mahabbati, 2009). Hal ini sesuai dengan kutipan wawancara dengan ibu Hanum dan ibu Muna, yaitu sebagai berikut :

“...Awalnya, kakak ngerasa “aneh” gitu waktu ngadepin anak luar biasa ini, shock jugak pasti kan? Bingung harus gimana, sempat ngerasa malu jugak sih waktu itu ...”

(Komunikasi personal, 20 Oktober 2013)

“...Karena kakak belum pernah punya anak, dan gak pernah jugak kan ngurus anak luar biasa, jadi waktu pertama ngerawatnya sempat bingung, terus kesal juga...karena kan gak ngerti apa mau dia...”

(Komunikasi personal, 20 Oktober 2013)

(25)

23

secara utuh akibat adanya perbedaan kondisi dengan kebanyakan anak lainnya.

Anak berkebutuhan khusus, umumnya dianggap “aneh” oleh sebagian

besar orang. Hal ini disebabkan, karena anak berkebutuhan khusus dianggap berbeda dari anak normal lainnya. Perbedaan ini dikarenakan anak berkebutuhan khusus memiliki keterbatasan pada dirinya karena kemungkinan adanya masalah pada perkembangan fungsi indera, kemampuan belajar, perilaku dan emosi, serta kesulitan berinteraksi sosial dengan orang lain pada umumnya (Soemantri, 2006). Seorang anak berkebutuhan khusus, bisa saja memiliki satu ataupun beberapa keterbatasan (tunaganda) pada dirinya, yang dikhawatirkan akan dapat memperparah kondisi penyesuaian diri dalam kehidupan sehari-hari (Hallahan and Kauffman, 1988). Berdasarkan data Pusdatin (Pusat Data dan Informasi) Kementrian Sosial, jumlah penyandang disabilitas diperkirakan mencapai 4,8 persen dari 240 juta penduduk Indonesia, dengan perincian 3.474.035 adalah tunanetra; 3.010.830 adalah tunadaksa; 2.547.626 adalah tunarungu; 1.389.614 adalah tunagrahita; dan 1.158.012 adalah penyandang disabilitas kronis (BKKBN, 2013).

(26)

24

pendengarannya tidak berfungsi lagi meskipun menggunakan alat bantu dengar (hearing of aids). Sedangkan, kurang dengar (hard of hearing) adalah anak yang indera pendengarannya mengalami kerusakan, tetapi masih dapat berfungsi untuk mendengar, baik menggunakan ataupun tanpa menggunakan alat bantu dengar (Hallahan dan Kauffman, 1988). Adapun penyebab kelainan pendengaran atau tunarungu dapat terjadi sebelum anak dilahirkan (pre-natal), seperti keturunan, kelainan organ pendengaran sejak dalam kandungan, ataupun sesudah anak dilahirkan (post-natal), seperti infeksi, meningitis, otitis media, serta trauma fisik (Heward, 1996).

(27)

25

pembicaraan dapat diterima dengan alat bantu mendengar (Soemantri, 2006). Apabila dilihat secara fisik, anak tunarungu tidak berbeda dengan anak-anak pada umumnya. Namun, pada saat berkomunikasi baru diketahui bahwa anak tersebut mengalami ketunarunguan. Apabila tidak mendapatkan penanganan yang tepat, ketunarunguan dapat mengakibatkan terjadinya suatu kendala atau hambatan dalam berbagai aspek kehidupan seseorang (Meadow, dalam Hallahan dan Kauffman, 1988).

Kekurangan akan pemahaman bahasa lisan atau tulisan seringkali menyebabkan anak tunarungu menafsirkan sesuatu secara berbeda atau salah, sehingga menyebabkan tekanan emosi pada dirinya. Respon emosi yang ditampilkan umumnya seperti frustasi, temper, keras kepala, dan bisa juga menjadi menarik diri. Bila tidak ditangani sejak dini, maka tekanan emosi tersebut pada akhirnya dapat menghambat perkembangan kepribadiannya. Kondisi inilah yang kemudian dapat mengganggu interaksi ataupun proses sosial dalam lingkungan kehidupannya sehari-hari (Soemantri, 2006).

(28)

26

terciptanya kepercayaan dalam membina hubungan serta berusaha menerima segala kekurangan yang dimiliki anak (Rye, 2007).

Umumnya, hambatan yang paling sering ditemui pada orang tua yang mengasuh anak tunarungu adalah kurangnya pemahaman atau pengetahuan orang tua tentang anak tunarungu, sehingga dengan segala keterbatasan yang ditunjukkan anak dapat memicu timbulnya sikap yang kurang sabar dalam mengasuh anak tunarungu tersebut (Heward, 1996). Hal ini sesuai dengan kutipan wawancara dengan ibu Nurul, yaitu sebagai berikut:

“…Gak ngerti sih awalnya ngurusin anak tunarungu ini, bingung gitu kan komunikasi sama dia kayak gimana, terus belom lagi waktu dia rewel minta ini-itu..susahlah mahaminya gimana ditambah saya gak bisa bahasa isyarat ke dia supaya dianya ngerti. Sempat kesel juga sih ngadepin maunya dia apa, karena gak jelas itu kan?…”

(Komunikasi Personal, 2 November 2013)

“…Kalok kurang sabar, sih iya. Karena ini kan sebenernya pengalaman pertama kakak juga ngurus anak tunarungu kan? Kurang sabarnya yaah itulah waktu keinginan kita sama keinginan dia itu gak sesuai..yaudah jadinya ngerasa gak sabar aja ngadepin dia kadang…”

(Komunikasi Personal, 2 November 2013)

(29)

27

status tersebut serta mengasuh anak tirinya dengan segala keterbatasan yang dimilikinya. Hal ini sesuai dengan kutipan wawancara dengan saudari Nurul, yaitu sebagai berikut :

“…Penilaian dari orang-orang sekitar itu memang paling berdampak sih ke saya. Hem..intinya saya harus bisa sih nerima penilaian- penilaian orang tentang status ibu tiri itu. Terus nambah lagi kan status saya, jadinya ibu tiri yang punya anak tunarungu…hehehe…hem…berupaya sabar, nerima aja sih intinya ngadepin penilaian negatif dari orang-orang, walaupun sempat juga marah ke diri sendiri, kesel gitu…”

(Komunikasi Personal, 2 November 2013)

“…Saya coba sih untuk paham apa maunya anak saya (tiri), walaupun agak terkendala waktu sih, tapi saya coba cari tahu ‘googling’ nyari gimana cara ngasuh anak tunarungu, cara beajar bahasa isyarat, kayak gitu sih…”

(Komunikasi Personal, 2 November 2013)

(30)

28

Sejalan dengan aspek penerimaan diri Jersild (1963) tentang keseimbangan real self dan ideal self, menyatakan bahwa setiap orang memiliki real self dan ideal self, namun tidak semua individu dapat menerima dirinya, karena ideal self dan real self yang ada di dalam dirinya. Begitu juga halnya dengan diri ibu tiri. Real self adalah sesuatu yang diyakini seseorang sebagai dirinya, sedangkan ideal self adalah harapan seseorang terhadap dirinya (Hurlock, 1978). Apabila ideal self tersebut tidak realistis dan sulit untuk dicapai dalam kehidupan yang nyata, maka hal ini akan menyebabkan rasa kecewa, menyesal, dan frustrasi (Hurlock, 1978). Hal ini sesuai dengan kutipan wawancara dengan ibu Nurul, yaitu sebagai berikut :

“…Kalok ditanya pengennya apa..ya..dapet suami lajang, punya keluarga sendiri, nata keluarga sama-sama, punya anak dari rahim sendiri, tapi kan keadaannya sekarang beda..tapi yaudah jalanin aja yang penting udah hidup sama-sama suami, anaknya, tenanglah…”

(Komunikasi personal, 20 Oktober 2013)

“…Ya..sebagai orang tua pasti pengen punya anak yang baik-baik..normal gitu kan. Gak kurang apa-apa didirinya. Hem..tapi kakak kan kenyataannya sekarang dapet duda, terus punya anak yang luar biasa pulak. Ya..mau gimana udah jodoh kakak dapet suami yang seperti itukan? Tapi kakak sama sekali gak ngerasa nyesal kok punya hidup yang sekarang ini, gak seburuk pikiran orang-orang. Masa depan kakak sekarang ya sama mereka…”

(Komunikasi personal, 20 Oktober 2013)

(31)

29

penerimaan diri tentang penerimaan diri dan penerimaan orang lain. Menurut Jersild (1963), setelah individu dapat menerima dirinya sendiri, dan keadaan dirinya telah diterima oleh orang lain, maka individu tersebut memiliki keleluasaan untuk menikmati segala hal dalam hidupnya. Jadi, agar status ibu tiri yang memiliki anak tunarungu dapat diterima oleh orang lain, maka terlebih dahulu ibu tiri harus berupaya menerima dan menyesuaikan dirinya dengan status tersebut.

(32)

30

maka peneliti mencoba merumuskan masalah penelitian dalam bentuk pertanyaan yaitu :

a.“Bagaimana gambaran penerimaan diri Ibu tiri yang memiliki anak

tunarungu?”

b. “Bagaimana pengaruh pemikiran positif terhadap proses penerimaan diri

ibu tiri yang memiliki anak tunarungu?”

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini ialah untuk mengetahui gambaran penerimaan diri ibu tiri yang memiliki anak tunarungu.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan dua manfaat, yaitu: manfaat secara teoritis dan manfaat secara praktis.

1. Manfaat Teoritis

- Menjadi salah satu sumber bahan atau rujukan untuk mengembangkan penelitian sejenis dimasa depan.

(33)

31

informasi mengenai penerimaan diri sebagai ibu tiri terutama bagi ibu tiri yang memiliki anak tunarungu.

- Bagi masyarakat, agar dapat memahami keadaan psikologis ibu tiri yang memiliki anak tunarungu, sehingga dapat memberikan dukungan sosial yang dibutuhkan.

- Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan masukan bagi para peneliti lainnya untuk pengembangan penelitian lebih lanjut.

E. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

 BAB I : PENDAHULUAN

Bab ini menjelaskan tentang latar belakang masalah penelitian, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, serta sistematika penullisan.

 BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

(34)

32

responden penelitian, lokasi penelitian, teknik pengambilan partisipan, metode pengambilan data, alat bantu pengumpulan data, kredibilitas penelitian, serta prosedur penelitian.

 BAB IV : ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini berisi deskripsi partisipan, analisa dan pembahasan data yang diperoleh dari hasil temuan lapangan dalam bentuk penjelasan yang terperinci yang menghubungkan data temuan lapangan dengan teori yang telah dijabarkan di bab II untuk menjawab .

 BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN

(35)

33

Bagian ini menjelaskan mengenai teori penerimaan diri ibu tiri yang sejalan dengan fokus penelitian yaitu penerimaan diri ibu tiri yang memiliki anak tunarungu. Menjawab rumusan masalah penelitian, maka fokus teori yang akan diuraikan mengenai pengertian penerimaan diri, aspek-aspek penerimaan diri yang dikemukakan oleh Jersild (1963). Teori mengenai ibu tiri, pengasuhan ibu tiri di dalam keluarga, dan anak tunarungu juga akan diuraikan.

A. Penerimaan Diri

1. Pengertian Penerimaan Diri

Penerimaan diri adalah derajat dimana individu memiliki kesadaran terhadap karakteristiknya, kemudian ia mampu dan bersedia untuk hidup dengan karakteristik tersebut. Individu yang menerima dirinya sendiri adalah individu yang memiliki keyakinan akan standar-standar dan pengakuan terhadap dirinya tanpa terpaku pada pendapat orang lain dan memiliki perhitungan akan keterbatasan dirinya tanpa memandang dirinya secara irasional atau tidak masuk akal (Jersild dalam Hurlock 1978).

(36)

34

Menurut Jersild (1963), individu yang memiliki penerimaan diri akan berfikir lebih realistik tentang penampilan dan bagaimana dirinya terlihat dalam pandangan orang lain. Hal ini bukan berarti individu tersebut mempunyai gambaran sempurna tentang dirinya, melainkan individu tersebut dapat melakukan sesuatu dan berbicara dengan baik mengenai dirinya yang sebenarnya.

Jersild (1963) mengemukakan individu yang memiliki penerimaan diri, akan memandang kelemahan dan kekuatan dalam dirinya lebih baik daripada individu yang tidak memiliki penerimaan diri. Individu tersebut kurang menyukai jika harus menyia-nyiakan energinya untuk melakukan hal yang tidak mungkin, atau berusaha menyembunyikan kelemahan dirinya sendiri maupun orang lain. Individu akan menggunakan kemampuan yang dimilikinya dengan lebih leluasa. Selain itu, individu juga bersikap baik dalam menilai kelemahan dan kekuatan dirinya dan orang lain.

(37)

35 sebagai berikut :

a. Persepsi mengenali diri dan sikap terhadap penampilan

Individu yang memiliki penerimaan diri yang baik, berarti dia sudah dapat mengenali dirinya sendiri, dapat berpikir lebih realistik tentang penampilannya dan bagaimana dirinya terlihat dalam pandangan orang lain. Bagaimana seorang individu mempersepsikan dirinya dengan baik, bukan berarti individu tersebut mempunyai gambaran sempurna tentang dirinya, melainkan individu tersebut dapat melakukan sesuatu dan berbicara dengan baik mengenai dirinya yang sebenarnya.

b. Sikap terhadap kelemahan dan kekuatan diri sendiri dan orang lain

(38)

36

rasa kurang berharga yang timbul karena ketidakmampuan psikologis atau sosial yang dirasa secara subjektif, ataupun karena keadaan jasmani yang kurang sempurna. Perasaan inferior yang muncul ini, berasal dari dalam diri (internal) dan dari lingkungan (eksternal) individu. Inferioritas merupakan perasaan yang relatif tetap (persistent) tentang ketidakmampuan diri, atau munculnya kecenderungan untuk merasa kurang dan rendah diri. Seorang individu yang terkadang merasakan inferioritas atau disebut dengan infeority complex, adalah seorang individu yang tidak memiliki sikap penerimaan diri yang baik dan hal tersebut akan mengganggu penilaian yang realistik atas dirinya. Individu yang memiliki rasa inferior, akan membuat dirinya menjadi menolak atau menarik diri dari lingkungan sosialnya (Jersild, 1963).

d. Respon yang baik atas penolakan dan kritikan

(39)

37

e. Keseimbangan antara “real self”dan“ideal self”

Tidak semua individu dapat menerima dirinya, karena setiap orang memiliki real self dan ideal self di dalam dirinya. Real self adalah sesuatu yang diyakini seseorang sebagai dirinya, sedangkan ideal self adalah harapan seseorang terhadap dirinya. Apabila ideal self tersebut tidak realistis dan sulit untuk dicapai dalam kehidupan yang nyata, maka hal ini akan menyebabkan rasa kecewa, menyesal dan frustrasi (Hurlock, 1978). Individu yang memiliki penerimaan diri adalah individu yang dapat mempertahankan harapan dan tuntutan dari dalam dirinya dengan baik. Agar individu dapat menyesuaikan ideal self dan real self-nya, maka individu harus mempersiapkan atau memiliki harapan-harapan lain yang dapat dicapainya sehingga ia tidak akan kecewa ketika harapan atau real self yang diinginkannya tidak tercapai.

f. Memiliki penerimaan diri dan penerimaan orang lain dengan baik

(40)

38

seorang individu telah menerima dirinya, hal tersebut bukan berarti individu memanjakan dirinya. Individu yang telah memiliki penerimaan diri, akan melakukan keinginannya tanpa harus merasa rendah diri dengan lingkungan sekitarnya. Semakin individu menerima dirinya dan diterima orang lain, maka individu akan semakin mampu untuk terlihat percaya diri dalam interaksi sosialnya dengan orang lain.

h. Penerimaan diri, spontanitas, menikmati hidup

Individu dengan penerimaan diri yang baik, mempunyai lebih banyak keleluasaan untuk menikmati hal-hal dalam hidupnya. Namun, terkadang ia kurang termotivasi untuk melakukan sesuatu yang rumit. Individu tersebut tidak hanya leluasa menikmati sesuatu yang dilakukannya, akan tetapi juga leluasa untuk menolak atau menghindari sesuatu yang tidak ingin dilakukannya.

i. Kejujuran dalam menerima diri

(41)

39

Individu yang memiliki penerimaan diri akan memandang dirinya secara positif dan apa adanya. Individu yang dapat menerima beberapa aspek hidupnya, bisa saja mengalami keraguan dan kesulitan dalam menghormati orang lain. Hal tersebut merupakan arahan agar dapat menerima dirinya. Individu dengan penerimaan diri dapat membangun kekuatannya untuk menghadapi kelemahan dan keterbatasannya. Banyak hal dalam perkembangan seorang individu yang belum sempurna. Bagi seseorang individu yang menerima dirinya, akan lebih baik jika dapat menggunakan kemampuannya dalam perkembangan hidupnya.

Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat diketahui aspek-aspek penerimaan diri, yaitu persepsi mengenai diri dan sikap terhadap penampilan; sikap terhadap kelemahan dan kekuatan diri sendiri dan orang lain; perasaan inferioritas sebagai gejala penolakan diri; respon yang baik atas penolakan dan kritikan; keseimbangan antara real self dan ideal self; memiliki penerimaan diri dan penerimaan orang lain; menerima diri, menuruti kehendak, dan menonjolkan diri; menerima diri, spontanitas, menikmati hidup; kejujuran dalam penerimaan diri, serta sikap yang baik terhadap penerimaan diri.

3. Proses Penerimaan Diri

(42)

40

yang baik adalah individu yang mampu mengatasi perasaan inferioritas yang muncul pada dirinya. Ketika individu tidak mampu mengatasi perasaan inferior yang muncul pada dirinya, maka akan mengganggu penilaian realistik atas dirinya. Kemudian, setelah individu tersebut mampu mengatasi perasaan inferior yang muncul pada dirinya, maka individu tersebut akan memiliki respon yang baik terhadap penilaian yang muncul mengenai dirinya. Individu mampu menerima kritikan serta dapat mengambil hikmah dari kritikan tersebut, dan mampu belajar dari pengalaman dan meninjau kembali sikapnya yang terdahulu untuk memperbaiki diri.

(43)

41

Setelah individu tersebut melalui beberapa proses diatas, maka individu akan dapat merasakan keleluasaan untuk menikmati hal-hal di dalam hidupnya. Individu tersebut tidak hanya leluasa untuk menikmati sesuatu yang dilakukannya, namun juga leluasa untuk menolak atau menghindari sesuatu yang tidak ingin dilakukannya. Individu yang sudah memiliki penerimaan diri yang baik, dapat secara terbuka mengakui dirinya dengan apa adanya tanpa harus memanipulasi diri menjadi orang lain. Adapun proses akhir dari penerimaan diri, yaitu memiliki sikap yang baik terhadap penerimaan diri yang dimilikinya. Sikap tersebut dapat ditunjukkan dengan cara menghadapi kekurangan dan kelebihan dirinya di dalam perkembangan hidupnya. Individu dapat dikatakan memiliki penerimaan diri yang baik adalah individu yang mampu melalui segala proses penerimaan diri diatas. Oleh karena itu Jersild (1963) mengatakan bahwa dalam menerima dirinya, maka seorang individu membutuhkan waktu untuk melalui segala aspek penerimaan diri.

(44)

42

kekurangannya. Salah satu karakteristik dari orang yang meiliki penyesuaian diri yang baik adalah lebih mengenali kelebihan dan kekurangannya, biasanya memiliki keyakinan diri (self confidence). Selain itu juga lebih dapat menerima kritik, dibandingkan dengan orang yang kurang dapat menerima dirinya. Dengan demikian orang yang memiliki penerimaan diri dapat mengevaluasi dirinya secara realistik, sehingga dapat menggunakan semua potensinya secara efektif hal tersebut dikarenakan memiliki anggapan yang realistik terhadap dirinya maka akan bersikap jujur dan tidak berpura-pura.

b. Dalam penyesuaian sosial

(45)

43

B. Ibu Tiri

1. Pengertian Ibu Tiri

Kata ‘tiri’ memiliki definisi bukan darah daging sendiri. Ibu tiri adalah seorang perempuan yang dinikahi oleh ayah kandung setelah ayah kandung tidak memiliki ikatan pernikahan dengan ibu kandung yang disebabkan oleh perpisahan maupun kematian (Beer dalam Zanden, 1997). Ibu tiri adalah wanita pengganti ibu kandung yang dinikahi oleh ayah kandung serta memiliki hak dan kewajiban yang sama seperti ibu kandung dan hidup bersama dengan ayah kandung (Chumar, 2012). Kata ibu tiri menjadi hal yang menakutkan bagi anak-anak (Widiastuty, dalam Agnes 2010). Kedatangan orang tua tiri seringkali dipandang sebagai hal yang negatif, namun sebenarnya disatu sisi, orang tua tiri dapat menyediakan dukungan dan keamanan bagi keluarga orang tua tunggal. Keberadaan orang tua tiri dapat memberikan tambahan waktu, tenaga, dan bahkan uang yang mungkin saja sangat dibutuhkan oleh keluarga yang dimasuki (Bonkowski, dalam Agnes 2010).

(46)

44

sejak jaman dahulu. Ketika seorang wanita menyandang status sebagai ibu tiri, maka karakteristik ibu tiri yang negatif juga akan melekat pada wanita tersebut. Oleh karena status ibu tiri yang sering dipandang sebagai hal yang negatif, membuat para wanita yang menyandang peran ini berupaya menyesuaikan diri agar bisa menerima dirinya dengan status tersebut (Agnes, 2010). Untuk dapat menyesuaikan diri dengan status ibu tiri tersebut, maka ibu tiri membutuhkan dukungan dari orang-orang terdekatnya seperti, suami, orang tua, maupun keluarga baru yang dimasukinya. Dukungan yang diberikan tersebut, dapat membuat ibu tiri merasa yakin dan percaya diri dalam menghadapi stereotype ataupun penilaian negatif yang muncul di masyarakat (Sfakianos, 2012).

(47)

45

membangun hubungan dengan anak tiri, maka akan terbentuk ikatan atau interaksi yang saling memuaskan. Melalui tahun pertama pernikahan, ibu tiri seharusnya mendekatkan diri dengan ikut terlibat dalam berbagai aktivitas keluarga baru dan anak tirinya. Aktivitas di dalam keluarga ini, akan mengurangi kekhawatiran anak-anak saat berkumpul dengan ibu tirinya serta dapat menjalin interaksi yang dekat dengan anak tirinya. Orang dewasa seringkali mengira bahwa cara mengetahui anak tirinya adalah dengan menghabiskan waktu secara personal dengan mereka. Namun, hal tersebut bukanlah cara efektif untuk membangun interaksi dengan anak tiri. Anak tiri pada umumnya lebih suka didekati oleh ibu tirinya, ketika ada ayah kandung bersamanya (Ron Deal, 2009).

(48)

46

C. Tunarungu

1. Pengertian Anak Tunarungu

(49)

47

Gangguan pendengaran (hearing impairment) adalah istilah umum yang melibatkan gangguan pada alat indera pendengaran yaitu telinga dari ringan sampai sangat berat, yang mencakup anak-anak yang sulit mendengar (hard of hearing) dan tuli (deaf). Seseorang yang tuli (deaf), tidak bisa menggunakan pendengarannya untuk memahami pembicaraan, meskipun dia mungkin mendengar beberapa suara (Heward, 1996).

2. Faktor Penyebab Ketunarunguan

Menurut S.C. Brown (dalam Heward, 1996) ada 4 penyebab tuli (deaf) dan gangguan pendengaran yang berat pada anak-anak yang membutuhkan perhatian, yaitu :

a. Maternal rubella, dikenal juga dengan cacar Jerman. Maternal rubella merupakan symptom ringan yang juga menyebabkan tuli (deaf), gangguan penglihatan dan macam-macam gangguan serius pada perkembangan anak-anak yang terjadi pada ibu hamil selama trimester pertama.

(50)

48

kehamilan menimbulkan bermacam-macam penyebab.

d. Meningitis. Adapun penyebab utama gangguan pendengaran adalah meningitis. Meningitis adalah bakteri atau infeksi virus yang bisa menyebabkan efek lain, merusak alat-alat pendengaran di dalam telinga.

Gangguan pendengaran juga disebabkan otitis media, yaitu infeksi atau peradangan pada telinga tengah. Jika tidak diobati, maka akan menimbulkan penumpukan cairan dan gendang telinga pecah, dimana menyebabkan gangguan pendengaran secara permanen.

Cara yang paling umum untuk mengklasifikasikan penyebab gangguan pendengaran adalah berdasarkan lokasi dari masalah dalam mekanisme pendengaran. Ada 3 klasifikasi utama, yaitu conductive hearing losses, sensorineural hearing losses, dan mixed hearing losses (Heward, 1996):

(51)

49

impairments melibatkan masalah pada perbatasan telinga dalam. Sensorineural loss diindikasikan jika udara dan tulang hampir setengahnya abnormal.

c. Mixed hearing losses adalah kerusakan pendengaran yang merupakan gabungan antara conductive hearing losses dan sensorineural hearing losses.

3. Klasifikasi Anak Tunarungu

Gangguan pendengaran individu biasanya digambarkan dengan istilah slight, mild, moderate, severe dan profound tergantung pada tingkat pendengaran rata-rata dalam desibel, seluruh frekuensi yang paling penting untuk memahami pembicaraan (500 sampai 2000 Hz). Adapun klasifikasi derajat pendengaran menurut Heward (1996), yaitu :

(52)

50

Namun, ia bisa kehilangan sebanyak 50% dari diskusi kelas jika suara samar. Ia juga memiliki kosakata yang terbatas dan berbicara tidak sesuai dengan tata bahasa.

c. Moderate loss, hanya mampu mendengar suara mulai 56 hingga 70 dB. Anak yang mengalami moderate loss, hanya dapat memahami percakapan keras serta cenderung memiliki gangguan bicara, cenderung memiliki kesulitan dalam penggunaan bahasa dan pemahaman, serta memiliki kosakata yang terbatas.

d. Severe loss, hanya mampu mendengar suara mulai 71 hingga 90 dB. Anak yang mengalami severe loss, dapat mendengar suara-suara keras sekitar 1 kaki dari telinga. Kemungkinan individu mampu membedakan vokal tetapi tidak semua konsonan. Kosakata dan bahasa yang dimilikinya mungkin terganggu atau memburuk. Jika individu kehilangan pendengaran sebelum usia 1 tahun, maka kosakata dan bahasa tidak mungkin untuk berkembang secara spontan.

e. Profound loss hanya mampu mendengar suara 91 dB atau lebih. Anak yang mengalami profound loss mungkin mendengar beberapa suara keras tapi getaran indra lebih sensitif. Individu juga memiliki kosakata dan bahasa yang mungkin terganggu atau memburuk sehingga akan mengganggu proses komunikasi dan interaksi sosialnya dengan orang lain.

(53)

51

suara mulai 71 hingga 90 dB; dan profound loss hanya mampu mendengar suara 91 dB atau lebih.

4. Hambatan dalam Mengasuh Anak Tunarungu

Mengasuh dan merawat anak adalah sebuah tantangan tersendiri bagi orang tua. Ayah dan ibu memiliki peran yang sama di dalam mengasuh anak-anaknya. Peran yang saling melengkapi dalam mengasuh anak, membantu anak untuk mengembangkan identitas dirinya. Oleh karena itu, ayah dan ibu harus memiliki tanggung jawab yang seimbang agar anak-anaknya dapat tumbuh dengan optimal. Namun, ketika ayah dan ibu mendapat karunia untuk membesarkan anak tunarungu, maka situasi yang dihadapi akan sedikit berbeda dengan keluarga pada umumnya (Rahmhita, 2011).

(54)

52

segala keterbatasan yang ditunjukkan anak dapat memicu timbulnya sikap yang kurang sabar dalam mengasuh anak tunarungu tersebut (Heward, 1996). Tidak sedikit orang tua yang memiliki anak tunarungu, menitipkan anak mereka ke lembaga sosial yang bergerak di bidang tersebut. Hal tersebut dikarenakan orang tua tidak mengetahui cara mengasuh anak tunarungu karena hambatan komunikasi yang dialami oleh anak tersebut. Meski tidak sepenuhnya salah, namun cara seperti ini juga tidak tepat untuk dilakukan. Hal tersebut dikarenakan pada dasarnya, pendidikan terbaik bagi anak tunarungu adalah pendidikan yang berasal dari rumah, yaitu keluarga. (Anne, 2009).

(55)

53

D. Penerimaan Diri Ibu Tiri yang Memiliki Anak Tunarungu

Orang tua yang mengetahui bahwa anaknya mengalami suatu kondisi kecacatan tertentu, maka ia akan menunjukkan berbagai reaksi emosi seperti cemas, sedih khawatir, takut, serta marah (Safaria, 2005). Selain itu, berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Mahabbati (2009) mengenai penerimaan dan kesiapan pola asuh ibu terhadap anak berkebutuhan khusus, menunjukkan hasil bahwa orang tua kandung akan memiliki sikap dan respon yang berbeda-beda dalam menerima kondisi anaknya yang berkebutuhan khusus. Fase penerimaan tersebut ditandai dengan perasaan terkejut (shock), ketidakpercayaan, denial (penolakan atau penyangkalan), bargaining (tawar-menawar) hingga fase depresi.

(56)

54

ataupun ide-ide yang dimilikinya karena masih mampu untuk mendengar dan berbicara seperti anak normal pada umumnya (Soemantri, 2006).

Salah satu kondisi yang dirasakan berbeda dan tentunya membutuhkan penyesuaian khusus antara lain adalah ketika ibu tiri mengasuh anak yang tunarungu. Ibu tiri adalah seorang perempuan yang dinikahi oleh ayah kandung setelah ayah kandung tidak memiliki ikatan pernikahan dengan ibu kandung yang disebabkan oleh perpisahan maupun kematian (Beer dalam Zanden, 1997). Selain itu, ibu tiri adalah wanita pengganti ibu kandung yang dinikahi oleh ayah kandung serta memiliki hak dan kewajiban yang sama seperti ibu kandung dan hidup bersama dengan ayah kandung (Chumar, 2012).

(57)

55

diri agar bisa menerima dirinya dengan status tersebut (Agnes, 2010). Adanya fenomena tentang karakteristik ibu tiri yang kejam, jahat, serta tidak perhatian terhadap anak bawaan suaminya, maka menjadi suatu masalah tersendiri bagi wanita yang menyandang status sebagai ibu tiri. Kondisi akan menjadi sulit ketika ibu tiri memiliki anak tiri yang tunarungu. Menerima status sebagai ibu tiri saja sudah membutuhkan proses, apalagi ketika ia harus dihadapkan pada kondisi pengasuhan anak tiri yang mengalami tunarungu. Berkaitan dengan kompleksitas dalam upaya penanganan dan pengasuhan anak tunarungu tersebut, maka proses penerimaan diri ibu tiri tentu akan menjadi lebih sulit.

Penerimaan diri adalah derajat dimana individu memiliki kesadaran terhadap karakteristiknya, sehingga ia mampu dan bersedia untuk hidup dengan karakteristik tersebut (Jersild, dalam Hurlock 1978). Individu yang menerima dirinya sendiri adalah individu yang memiliki keyakinan akan standar-standar dan pengakuan terhadap dirinya tanpa terpaku pada pendapat orang lain dan memiliki perhitungan akan keterbatasan dirinya (Jersild, 1963). Penerimaan diri yang baik pada ibu tiri, yaitu ketika ia memiliki keyakinan bahwa status ibu tiri bukanlah hal yang negatif. Ia juga tidak terpaku pada pandangan ataupun pendapat orang lain mengenai status ibu tiri tersebut.

(58)

56

real self dan ideal self; memiliki penerimaan diri dan penerimaan orang lain; menerima diri, menuruti kehendak dan menonjolkan diri; menerima diri, spontanitas, menikmati hidup; kejujuran dalam penerimaan diri, serta sikap yang baik terhadap penerimaan diri (Jersild, 1963).

Menurut Jersild (1963), setelah individu tersebut mampu melalui berbagai aspek penerimaan diri dengan baik, maka ia akan memiliki penerimaan diri yang baik pula. Oleh karena itu, Jersild (1963) mengatakan bahwa individu membutuhkan waktu dalam menerima dirinya. Berdasarkan hasil penelitian Melati (2013), mengenai penerimaan diri ibu yang memiliki anak tunanetra, menyatakan bahwa seorang ibu membutuhkan waktu untuk menerima kondisi anaknya yang tunanetra dan menjalani hidup sebagai seorang ibu yang memiliki anak tunanetra. Kondisi ini juga dialami oleh ibu tiri yang memiliki anak berkebutuhan khusus, khususnya anak tunarungu. Adanya berbagai tantangan dan hambatan yang harus dihadapi sebagai ibu tiri yang memiliki anak tunarungu, membuat ibu tiri membutuhkan waktu untuk berupaya menerima dirinya dengan status tersebut.

(59)

57

(60)

58

Ibu Tiri yang Memiliki Anak Tunarungu

Ibu Tiri Tunarungu

Penilaian Negatif Ibu Tiri (Swari, 2012)

 Kejam kepada anak suaminya

 Jahat kepada anak suaminya

 Tidak sayang kepada anak suaminya

Penilaian Anak Tunarungu (Heward, 1996)

 Memiliki keterbatasan komunikasi

 Memiliki perbedaan emosi, perilaku dengan anak normal pada umumnya

 Membutuhkan perhatian dan pelayanan

khusus Berupaya

Menyesuaikan dan Menerima Diri

Aspek-Aspek Penerimaan Diri (Jersild, 1963)

a. Persepsi mengenali diri & sikap thdp penampilan b. Sikap thdp kelemahan & kekuatan diri sendiri & org lain c. Perasaan inferioritas sbg gejala penolakan diri

d. Respon atas penolakan & kritikan

e. Keseimbangan antara “real self” &“ideal self” f. Memiliki penerimaan diri & penerimaan orang lain g. Penerimaan diri, menuruti kehendak & menonjolkan diri h. Penerimaan diri, spontanitas, menikmati hidup

i. Kejujuran dalam penerimaan diri j. Sikap yang baik terhadap penerimaan diri

(61)

59

F. Paradigma Berpikir

Gambar 2. Paradigma Berpikir

Keterangan Gambar :

: Cerai, karena meninggal, sakit atau cerai hidup : Status Ibu Tiri

Cerai Mati Menikah Kembali

Suami

Istri Istri

Mengasuh

Anak

Menjadi Ibu Tiri

Anak Berkebutuhan

Khusus

Permasalahan

-Penilaian negatif mengenai status ibu tiri

-Memiliki status sebagai ibu tiri

-Memiliki anak tiri yang tunarungu

(62)

60

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Metode Penelitian Kualitatif

Pernikahan antara seorang duda yang memiliki anak tunarungu dengan seorang wanita akan memunculkan ikatan pernikahan yang baru. Adanya ikatan pernikahan yang baru ini, maka akan memunculkan peran ibu pengganti yaitu ibu tiri (Arnee, 2013). Adanya penilaian negatif di masyarakat tentang karakteristik ibu tiri yang kejam, jahat, serta tidak perhatian terhadap anak bawaan dari suaminya, membuat wanita yang menyandang status tersebut membutuhkan upaya untuk menerima dirinya. Pandangan negatif pada ibu tiri tersebut, muncul dari legenda serta pandangan masyarakat yang mengembangkan cerita-cerita negatif dalam kehidupan bermasyarakat, sehingga hal ini seringkali membuat status ibu tiri menjadi bahan pembicaraan yang kurang baik didalam masyarakat (Swari, 2012).

(63)

61

fokus penelitian yaitu untuk mengetahui “gambaran penerimaan diri ibu tiri

yang memiliki anak tunarungu”.

Mengingat proses penerimaan diri pada wanita yang menyandang status sebagai ibu tiri yang memiliki anak tunarungu bersifat sangat individual, maka proses penerimaan diri tersebut membutuhkan penyesuain berbeda untuk setiap wanita yang menyandang peran sebagai ibu tiri meskipun ketika menghadapi kondisi yang sama (memiliki anak tunarungu), maka penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan tipe penelitian studi kasus intrinsik. Dimana penelitian dilakukan karena ketertarikan atau kepedulian pada suatu kasus khusus untuk memahami secara utuh kasus tersebut, tanpa harus bermaksud untuk menghasilkan konsep-konsep atau teori ataupun tanpa upaya menggeneralisasi (Poerwandari, 2005). Penelitian studi kasus membuat peneliti dapat memperoleh pemahaman utuh dan terintegrasi mengenai interelasi berbagai fakta dan dimensi dari kasus khusus (Poerwandari, 2007).

(64)

62

B. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Medan dan sekitarnya serta dilakukan berdasarkan waktu dan tempat yang telah disepakati oleh peneliti dan responden. Proses pengambilan data pada partisipan 1 dilakukan di rumah partisipan yaitu di Mabar, Medan Deli. Proses pengambilan data pada partisipan 2 dilakukan di rumah partisipan yaitu di Kecamatan Tembung, Medan Tembung.

C. Partisipan Penelitian

1. Karakteristik Partisipan

Adapun kriteria yang digunakan untuk penentuan partisipan penelitian adalah sebagai berikut:

a. Wanita yang menikah dengan duda dan memiliki anak tunarungu

Mengingat fenomena penelitian ini adalah seorang wanita yang menyandang status sebagai ibu tiri yang memiliki anak tunarungu, maka penelitian ini hanya dikhususkan kepada wanita yang menikah dengan duda yang memiliki anak tunarungu.

b. Wanita yang mengasuh anak tiri yang tunarungu

(65)

63

tunarungu sebagai anak yang diasuh oleh ibu tiri, karena pada dasarnya anak tunarungu mengalami kekurangan dan kehilangan kemampuan mendengar yang diakibatkan karena tidak berfungsinya sebagian atau seluruh alat pendengaran, sehingga ia tidak dapat menggunakan pendengarannya dalam kehidupan sehari-hari (Heward, 1996). Dikarenakan keterbatasannya tersebut, maka ibu tiri akan membutuhkan penyesuaian khusus dalam memahami bahasa, komunikasi dan penyesuaian dalam mengasuh anak tunarungu tersebut.

2. Jumlah Partisipan

(66)

64

penelitian ini adalah 2 orang. Hal tersebut dikarenakan wanita yang menikah dengan duda yang memiliki anak tunarungu di lapangan, tidak banyak yang memiliki karakteristik sesuai dengan tujuan penelitian.

D. Teknik Pengambilan Partisipan

Teknik pengambilan partisipan pada penelitian ini menggunakan teknik pengambilan subjek berdasarkan teori, atau berdasarkan konstruk operasional (theory-based operational construct sampling). Sampel dipilih dengan kriteria tertentu, berdasarkan teori atau berdasarkan konstruk operasional sesuai dengan tujuan penelitian. Sampel adalah ibu tiri yang memiliki anak tunarungu. Dan ingin mengetahui proses penerimaan diri ibu tiri tersebut sesuai dengan teori penerimaan diri oleh Jersild (1963). Hal ini dilakukan agar sampel sungguh-sungguh mewakili (bersifat representatif) fenomena yang dipelajari (Poerwandari, 2007).

E. Metode Pengumpulan Data

(67)

65

1994 dalam Poerwandari, 2007). Pengumpulan data pada penelitian dilakukan dengan menggunakan metode wawancara mendalam (depth interview) sebagai metode utama. Wawancara dilakukan melalui wawancara dengan pedoman umum. Peneliti memiliki pedoman wawancara yang sangat umum yang mencantumkan masalah yang ingin diketahui, yaitu mengenai proses penerimaan diri. Pedoman wawancara digunakan untuk mengingatkan peneliti mengenai aspek yang ingin digali.

Observasi juga digunakan sebagai metode pendukung pada saat wawancara. Observasi dilakukan untuk mengetahui keadaan selama berlangsungnya wawancara. Adapun yang diobservasi yaitu penampilan fisik partisipan, setting wawancara, perilaku responden selama wawancara, hal-hal yang mengganggu selama wawancara, serta hal-hal yang sering dilakukan partisipan selama wawancara.

F. Alat Bantu Pengumpulan Data

Menurut Poerwandari (2007) bahwa menjadi alat terpenting dalam penelitian kualitatif adalah peneliti sendiri. Namun, untuk memudahkan peneliti untuk pengumpulan data, maka peneliti membutuhkan alat bantu, sepeti alat perekam (tape recorder), pedoman wawancara dan pedoman observasi.

1. Alat Perekam (Tape Recorder)

(68)

66

bijaksana jika peneliti hanya mengandalkan ingatan saja. Untuk tujuan tersebut, dalam penelitian ini peneliti merasa perlu menggunakan alat perekam (tape recorder) agar peneliti mudah mengulang hasil rekaman wawancara yang telah dilakukan dan menghubungi partisipan kembali apabila ada hal yang masih belum lengkap atau belum jelas. Penggunaan alat perekam ini dilakukan dengan terlebih dahulu meminta izin atau persetujuan dari partisipan.

2. Pedoman Wawancara

Penelitian ini menggunakan pedoman umum wawancara. Peneliti dilengkapi pedoman wawancara yang mencantumkan isu tentang aspek-aspek penerimaan diri oleh Jersild (1963). Menurut Poerwandari (2007), penggunaan pedoman wawancara semata-mata berfungsi untuk memuat pokok-pokok pertanyaan yang diajukan, yaitu open-ended question, yang bertujuan menjaga arah wawancara tetap sesuai dengan tujuan penelitian. Pedoman wawancara juga berguna untuk mengkategorisasikan jawaban partisipan yang akan mempermudah dalam menganalisa data yang diperoleh.

3. Pedoman Observasi

(69)

67

rapport yang dibangun oleh peneliti yang dapat dilihat dari respon partisipan terhadap pertanyaan yang diajukan.

G. Kredibilitas Penelitian

Kredibilitas adalah istilah yang digunakan dalam penelitian kualitatif untuk menggantikan konsep validitas (Poerwandari, 2007). Kredibilitas penelitian kualitatif menurut Poerwandari (2007), terletak pada keberhasilannya mencapai maksud, mengeksplorasi masalah atau mendeskripsikan setting, proses, kelompok sosial atau pola interaksi yang kompleks.

(70)

68

H. Prosedur Penelitian

Pada prosedur penelitian, diuraikan bagaimana semua langkah penelitian dirangkai menjadi suatu prosedur penelitian yang utuh, dimulai dari perencanaan atau persiapan tindakan yang dilakukan dalam rangka pelaksanaan penelitian yang harus dilakukan dalam suatu penelitian. Adapun prosedur penelitian pada penelitian ini, yaitu:

1.Tahap Persiapan Penelitian

Pada tahap persiapan penelitian, peneliti menggunakan sejumlah hal yang diperlukan untuk melaksanakan penelitian (Moleong, 2006) yaitu sebagai berikut:

a. Mengumpulkan data dan teori yang berkaitan dengan kehidupan ibu tiri, bagaimana sikap ibu tiri dalam menghadapi penilaian negatif atau stereotype yang muncul akibat status yang dimilikinya, bagaimana tanggapan ibu tiri terhadap duda yang memiliki anak tunarungu, serta bagaimana ibu tiri menerima dirinya sebagai ibu tiri yang memiliki anak tunarungu.

b. Menyusun pedoman wawancara

Gambar

Gambar 1. Paradigma Teoritis
Gambar 2. Paradigma Berpikir
Tabel 1. Gambaran Umum Partisipan 1
Gambar I. Skema Gambaran Penerimaan Diri Ibu Tiri yang Memiliki Anak Tunarungu Partisipan I (Sartika)
+5

Referensi

Dokumen terkait

ABSTRAK Faktor - Faktor Yang Mempengaruhi Kinerja Petngas Penyuluh Lapangan Pertanian Pada Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian, Perikanan, Kehutanan Dan Ketahanan Pangan BP4KKP

Diagram 3.11 Presentase Pendidikan Pengunjung Pasar Baru 54 Diagram 3.12 Presentase Kebutuhan Memperbaiki EGD di Pasar Baru 54 Diagram 3.13 Presentase Kebutuhan Peta di

Penelitian ini menggunakan beberapa tahapan seperti digambarkan dalam Gambar 1 dimana metode AHP-Indeks Model diterapkan untuk menentukan prioritas dan mengembangkan

Untuk metode ini sangat umum digunakan dalam penelitian hewan tanah, sehingga dapat juga mempelajari ekologi binatang gua dengan membandingkan antar gua atau hanya antar zona dalam

Jenis elektroda ini adalah jenis elektroda selaput selulosa yang dapat dipakai untuk pengelasan dengan penembusan yang dalam. Pengelasan dapat pada segala posisi dan terak yang

Jenis"jenis shunt dapat dilakukan dengan anastomosis sisi"ke"sisi atau ujung" ke"sisi $6ambar 4&( Keunggulan anastomosis sisi"ke"sisi adalah

Kecamatan Kebasen, Kecamatan Kemranjen, Kecamatan Sumpiuh, Kecamatan Kalibagor, Kecamatan Patikraja, Kecamatan Ajibarang, Kecamatan Gumelar, Kecamatan Pekuncen,

Sejalan dengan apa yang dikatakan Wulansari, Pangaribuan (2017, hlm. 23) berpendapat bahwa keluarga tidak hanya memandang anak sebagai wadah dari semua harapannya, tetapi