Oleh:
HERI JUNIANTO
NIM. A2021131037
ABSTRAKIndependensi otoritas pengawas merupakan salah satu faktor utama yang menentukan objektifitas dan efektifitas pengawasan. Makalah ini meneliti pengaturan independensi Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai pengawas perbankan di Indonesia, khususnya terkait aspek anggaran OJK yang berasal dari sektor jasa keuangan yang diawasinya. Pengaturan anggaran OJK yang berasal dari sektor jasa keuangan yang diawasi merupakan terobosan baru dalam pembiayaan operasional lembaga negara di bidang pengawasan. Pengaturan ini di satu sisi akan mengurangi beban negara (APBN) dan di sisi lain memberikan independensi yang lebih baik kepada OJK terhadap kemungkinan intervensi lembaga politik yang berwenang menentukan APBN. Akan tetapi, dalam pengawasan perbankan yang ikut membiayai operasionalnya, OJK juga harus terbebas dari situasi yang dapat menyebabkan berkurangnya independensi OJK untuk dapat menjalankan tugas dan wewenangnya secara objektif dan efektif. Independensi diperlukan agar OJK dapat melindungi diri khususnya dari intervensi industri jasa keuangan yang diawasinya maupun dari campur tangan politik. Hal tersebut dimaksudkan agar setiap regulasi dan pengawasan yang dilakukan OJK benar-benar bersifat objektif, tanpa dipengaruhi intervensi dari pihak manapun untuk mencegah potensi benturan kepentingan antara para pelaku yang saling berinteraksi di sektor jasa keuangan dan melindungi kepentingan masyarakat, serta mencapai tujuan stabilitas keuangan.
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Perbankan adalah salah satu bentuk usaha yang diatur dan diawasi secara ketat oleh
pemerintah. Hal ini dapat dipahami, karena perbankan memiliki kedudukan yang strategis,
yakni sebagai penunjang kelancaran sistem pembayaran, pelaksanaan kebijakan moneter
dan pencapaian stabilitas sistem keuangan, sehingga diperlukan perbankan yang sehat,
transparan dan dapat dipertanggungjawabkan. Fungsi utama Perbankan Indonesia adalah
sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat, serta bertujuan untuk menunjang
pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan
pembangunan dan hasil-hasilnya, pertumbuhan ekonomi dan stabilitas nasional, ke arah
peningkatan taraf hidup rakyat banyak.1
Kewenangan pengaturan dan pengawasan terhadap sektor perbankan sebelumnya
ada pada Bank Indonesia, sebagaimana ketentuan Undang-Undang No. 7 Tahun 1992
tentang Perbankan yang telah diubah dengan Undang-Undang No.10 Tahun 1998 dan
Undang nomor 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Namun,
Undang-Undang No. 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia yang lahir paska krisis ekonomi
1997-1998 dan masih dalam eforia reformasi juga mengamanatkan untuk membentuk
sebuah lembaga
________________________ 1
Otoritas Jasa Keuangan (a), Booklet Perbankan Indonesia Edisi 1, Maret 2014 ISSN: 1858-4233, (Jakarta: Departemen Perizinan dan Informasi Perbankan OJK, 2014), hal. 9.
independen yang bertanggungjawab atas pengawasan di sektor perbankan. Sehingga kelak
otoritas Bank Indonesia dalam hal pengawasan di sektor perbankan akan dialihkan ke
lembaga baru yang akan dibentuk tersebut. Meskipun Undang-Undang No.23 tahun 1999
Pasal (34), mengamanatkan pembentukan lembaga dimaksud selambat-lambatnya pada
tanggal 31 Desember 20022, akan tetapi pada kenyataannya sampai waktu yang ditetapkan
lembaga yang dimaksud belum dapat direalisasikan, sehingga Undang-undang nomor 23
tahun 1999 harus mengalami beberapa kali mengalami perubahan. Perubahan pertama
disyahkan melalui Undang-undang No.3 Tahun 2004 dan terakhir dilakukan dengan
Undang-undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang
Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Pada akhirnya, OJK baru terbentuk dengan
lahirnya Undang-Undang Republik Indonesia No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa
Keuangan yang ditanda tangani oleh Presiden Republik Indonesia Dr. H. Susilo Bambang
Yudhoyono pada tanggal 22 November 2011.
Sesuai ketentuan Undang-Undang Republik Indonesia No. 21 Tahun 2011 tentang
Otoritas Jasa Keuangan, maka sejak 31 Desember 2013, pengaturan dan pengawasan
terhadap perbankan telah beralih dari Bank Indonesia ke Otoritas Jasa
Keuangan, selanjutnya disingkat dengan OJK. Dengan pengalihan ini, Perbankan
Indonesia memasuki era baru dalam pengaturan dan pengawasannya.
________________
2
Republik Indonesia (a), Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (UU BI), Lembar Negara RI No. 66 Tahun 1999, tambahan Lembar Negara RI No. 3843, Pasal 34 angka (2).
OJK sebagai suatu lembaga/institusi yang memiliki kewenangan sebagai pengatur
dan pengawas tentu saja harus memiliki independensi di dalam melaksanakan tugasnya.3
Hal ini dinyatakan dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 21 Tahun 2011 tentang
Otoritas Jasa Keuangan, dan secara umum diakui bahwa independensi pengawas sektor
keuangan merupakan salah satu faktor kunci yang menentukan efektifitas pengawasan.
Salah satu aspek penting yang mempengaruhi Independensi OJK, adalah aspek
pembiayaan. Dalam Undang-undang tentang OJK, ketentuan tentang sumber dana
pembiayaan operasional OJK yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (APBN) dan/atau pungutan dari pihak yang melakukan kegiatan di sektor Jasa
Keuangan.4 Ini menunjukkan adanya upaya untuk membebaskan OJK dari ketergantungan
pembiayaan operasional (budgeting) dari Pemerintah maupun DPR yang menyusun dan
mengesahkan APBN. Selanjutnya, menjadi menarik untuk dikaji lebih mendalam adalah
apakah OJK dalam menjalankan tugas dan fungsi terjamin independensinya dengan adanya
sumber dana pembiayaan yang dipungut dari pihak yang melakukan kegiatan di sektor Jasa
Keuangan? (dalam hal ini perbankan).
_______________________ 3
Republik Indonesia (b), Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (UU OJK), Lembar Negara RI No.111 Tahun 2011, tambahan Lembar Negara RI No. 5253, Pasal 1 angka (1). 4
1.2.Pokok Permasalahan
Berdasarkan latar belakang di atas, penulis merumuskan permasalahan dalam
penelitian ini sebagai berikut:
1. Bagaimanakah kedudukan dan struktur organsasi Otoritas Jasa Keuangan?
2. Apakah pengaturan aspek budgeting dengan adanya ketentuan sumber dana
pembiayaan operasional OJK yang dapat dipungut dari pihak yang diawasinya
BAB II
METODE PENELITIAN
Metode penelitian pada hakekatnya memberikan pedoman, cara-cara mempelajari,
menganalisa dan memahami kejadian-kejadian dalam penelitian.5 Penelitian ini merupakan
penelitian hukum karena didasarkan pada metode, sistematikan dan pemikiran tertentu
yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan
menganalisanya.6
2.1. Sumber Data
Dalam penulisan tesis ini, berdasarkan permasalahan serta tujuan penelitian, maka
penulis akan melakukan penelitian hukum normatif yang dapat diartikan sebagai penelitian
hukum kepustakaan atau data-data sekunder.7 Adapun sumber data sekunder ini terdiri
dari:
a. Bahan-bahan hukum primer, adalah semua aturan hukum yang dibentuk dan/atau
dibuat secara resmi oleh suatu lembaga negara, dan/atau badan-badan pemerintah,
yang demi tegaknya daya paksa yang dilakukan secara resmi pula oleh aparat
negara. Yang termasuk bahan-bahan hukum primer ini pertama-tama adalah
seluruh
_______________________________
5
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, cet.3, (Jakarta: UI Press, 1986), hlm. 6 6
ibid., hlm. 43. 7
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif ± Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: Rajawali Press, 1990), hlm.23.
produk badan legislatif, ialah produk hukum yang disebut undang-undang.8 Dalam
penelitian ini, antara lain;
- Undang-undang Republik Indonesia No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.
- Undang-undang Republik Indonesia No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, yang dirubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia No. 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-undang Republik Indonesia No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, dan Undang-undang Republik Indonesia No. 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Penganti Undang- undang No. 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia.
- Undang-undang Republik Indonesia No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 10 Tahun 1998.
- Peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan permasalahan dalam penelitian ini.
b. Bahan-bahan hukum sekunder, adalah juga seluruh informasi tentang hukum yang
berlaku atau yang pernah berlaku di suatu negeri. Namun, berbeda dengan
bahan-bahan hukum primer, bahan-bahan-bahan-bahan hukum yang sekunder ini, secara formal tidak
dapat dikatakan sebagai hukum positif.9 Bahan-bahan hukum sekunder dapat
membantu menganalisa, memahami, dan menjelaskan bahan hukum primer, antara
lain berupa;
______________________________
8
Soetanyo Wignjosoebroto, Hukum, Konsep dan Metode, (Malang: Setara Press, 2013), hlm 67. 9
- Buku-buku literatur.
- Tulisan-tulisan ilmiah berupa jurnal, tesis, makalah, maupun artikel-artikel ilmiah yang berkaitan dengan penelitian ini.
- Tulisan-tulisan ilmiah berupa jurnal, tesis, makalah, maupun artikel-artikel ilmiah yang berkaitan dengan penelitian ini.
c. Bahan-bahan hukum tersier, ialah bahan-bahan yang termuat kamus-kamus hukum,
berbagai terbitan yang memuat indeks hukum, dan semacamnya.10
2.2. Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian tesis ini, penulis mengumpulkan informasi dan pengetahuan yang
relevan dengan mempelajari berbagai bahan hukum utama yang ada seperti peraturan
perundang-undangan yang relevan, juga bahan-bahan hukum pendukung yang tersedia di
perustakaan secara fisik maupun diperoleh secara elektronik (internet), buku-buku koleksi
pribadi, catatan-catatan kuliah dan bahan-bahan hukum lainnya yang mengandung
informasi yang relevan. Sebagai pendamping, untuk memperoleh pengertian yang
memadai tentang bahan-bahan hukum yang dipelajari, terutama yang memuat bahasa asing
atau istilah-istilah hukum yang belum penulis pahami secara mendalam, penulis dibantu
dengan kamus-kamus bahasa maupun kamus istilah hukum, baik dalam bentuk buku
maupun aplikasi elektronik yang cukup banyak tersedia di internet.
______________________
10
2.3. Teknik Analisa Data
Dalam menganalisa data atau bahan-bahan hukum tersebut, digunakan metode
kwalitatif yaitu dengan mendeskripsikan fenomena-fenomena sosial dan budaya dalam
suasana yang wajar, holistik dan tidak dipragmentasi.11 Dalam penelitian ini apa yang telah
ditentukan dalam peraturan perundang-undangan terkait dipelajari secara lebih mendalam
khususnya mengenai aspek hukum independensi OJK dalam melaksanakan fungsi
pengawasan terhadap sektor perbankan. Selanjutnya penulis membandingkan dengan
kondisi dan perkembangan pengaturan lembaga pengawas sektor keuangan di berbagai
negara, maupun dengan lembaga-lembaga yang status kedudukan dan ruang lingkup
tugasnya dapat diperbandingkan dengan keberadaan OJK. Dengan perbandingan tersebut,
penulis meneliti secara lebih mendalam dengan didukung teori-teori hukum yang ada
untuk mengetahui sejauh mana pengaturan independensi OJK dan kemungkinan optimasi
agar OJK dapat melaksanakan tugas dan wewenangnya secara efektif. Dalam proses ini,
tentu saja penulis sangat terbantu masukan-masukan dari para Dosen Pembimbing,
maupun para Dosen Pembahas dalam seminar pengajuan proposal penelitian tesis ini, serta
hasil diskusi-diskusi bersama rekan-rekan sejawat di perusahaan tempat penulis bekerja,
maupun dengan rekan-rekan seprofesi di bidang perbankan dan pihak-pihak lain yang
kompeten mengenai permasalahan yang sedang penulis teliti.
______________________
11
BAB III KERANGKA TEORI
Kerangka Teori dimaksudkan untuk memberikan gambaran atau batasan-batasan
tentang teori-teori yang dipakai sebagai landasan penelitian yang akan dilakukan. Untuk
membahas permasalahan dalam penelitian ini, akan digunakan beberapa teori sebagai pisau
analisis.
Keberadaan OJK adalah suatu produk hukum (dibentuk dengan Undang-undang)
yang memiliki kedudukan dan struktur organisasi, keberadaan dan kegiatannya diatur
dalam ketentuan perundang-undangan, serta dalam operasionalnya bersentuhan dengan
pihak lain dalam interaksi yang membentuk kultur hubungan tertentu. Ini berarti OJK
secara utuh merupakan sebuah sistem yang mempunyai implikasi hukum yang
mengandung aspek; (1) keintegrasian, (2) keteraturan, (3) keutuhan, (4) keterorganisasian,
(5) keterhubungan komponen satu sama lain, dan (6) ketergantungan komponen satu sama
lain.12 Karenanya, untuk pengkajian dalam penulisan tesis ini dipergunakan teori sistem
hukum Lawrence M. Friedmann yang menyatakan bahwa setiap sistem hukum terdiri
dari komponen struktur, substansi dan kultur (legal cultur)13:
____________________________
12
Esmi Warassih, Pranata Hukum sebuah telaah sosiologis, (Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2011), hml .27-28.
13
Ibid., hml .27-28, (mengutip: Lawrence M. Friedmann, The Legal System: A Social Science Perspective, New York: Russel Sage Foundation, 1986, hal 17).
a. Komponen struktur, yaitu kelembagaan yang diciptakan oleh sistem hukum itu
dengan berbagai macam fungsi dalam rangka mendukung bekerjanya sistem
tersebut. Komponen ini dimungkinkan untuk melihat bagaimana sistem hukum itu
memberikan pelayanan terhadap penggarapan bahan-bahan hukum secara teratur.
b. Komponen substansi, yaitu sebagai output dari sistem hukum, berupa
peraturan-peraturan, keputusan-keputusan yang digunakan baik oleh pihak yang mengatur
maupun yang diatur.
c. Komponen kultur, yaitu terdiri dari nilai-nilai, sikap-sikap, persepsi, custom, ways
of doing, ways of thinking, opinion yang mempengaruhi bekerjanya hukum.
Untuk menganalisa kedudukan dan organisasi OJK sebagai komponen struktur
dalam teori sistem hukum Lawrence M. Friedmann, penulis terlebih dahulu menggali
kerangka konsep hukum yang dikembangkan oleh Baron de Montesquieu. Menurut
MRQWHVTXLHX GDODP EXNXQ\D ³/¶(VSULW GHV /RLV´ \DQJ PHQJLNXWL MDODQ SLNLUDQ
John Locke, membagi kekuasaan negara menjadi tiga cabang, yaitu (i) kekuasaan
legislative sebagai pembuat undang-undang, (ii) kekuasaan eksekutif yang melaksanakan,
dan (iii) kekuasaan untuk menghakimi atau yudikatif. Dari klasifikasi Monstesquieu inilah
dikenal pemisahan kekuasaan negara modern dalam tiga fungsi yang disebut sebagai
³Trias Politica´, yaitu legislatif (the legislative function), eksekutif (the
executive or
administrative function), dan yudikatif (the judicial function).14
____________________
14
Jimly Ashiddiqqie (a), Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II, ( Jakarta: Sekretarian Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Juli 2006), hlm. 13.
Teori separation of powers Montesquieu kemudian mengalami perkembangan dan
kritikan. Jimly Asshidiqqie berpendapat bahwa perkembangan kelembagaan negara secara
teori dan pemikiran berkembang sangat pesat, baik karena faktor-faktor sosial,
ekonomi, politik dan budaya di tengah dinamika gelombang pengaruh globalisasi versus
lokalisme yang semakin kompleks mengakibatkan variasi struktur dan fungsi organisasi
dan institusi-institusi kenegaraan semakin berkembang.15 Untuk menjamin demokrasi,
kekuasaan negara justru harus dibagi-bagi dan dipisah-pisahkan ke dalam beberapa
fungsi yang saling mengendalikan satu sama lain (cheks and balances). Dengan
begitu, kekuasaan dapat diharapkan bersifat terbatas dan terhindar dari kemungkinan
penyalagunaan oleh pihak-pihak yang berkuasa. Pembatasan kekuasaan itu juga
dilakukan dengan membagi-bagi kekuasaan di dalam beberapa organ yang tersusun
secara vertikal, berupa organ atau kelembagaan yang bersifat independen.16
Untuk mengkaji aspek pengaturan, yaitu komponen substansi dalam sistem hukum
yang disampaikan oleh Friedmann, maka harus terlebih perlu dipahami bahwa
pembuatan peraturan perundang-undangan adalah kegiatan yang berhubungan dengan isi
atau substansi peraturan, metode pembentukan, serta proses dan prosedur pembentukan
peraturan. Setiap bagian kegiatan tersebut harus memenuhi persyaratan-persyaratannya
sendiri agar produk hukum tersebut dapat berlaku sebagaimana mestinya, baik secara
____________________
15
Jimly Asshiddiqqie (b), Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, (Jakarta: Sekjen dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2006), hlm. 1.
16
Jimly Asshidiqqie (c), Konstitusi dan Konstitusionalisme, (Sekretarian Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi), Jakarta, Juli 2006, hlm. 125.
yuridis, secara politis maupun sosiologis. Oleh karena itu, menurut Burkhardt Krems
sebagaimana dikutip Attamimi, pembentukan peraturan perundang-undangan bukanlah
merupakan kegiatan yuridis semata, melainkan suatu kegiatan yang bersifat interdisipliner.
Artinya, setiap aktivitas pembentukan peraturan perundang-undangan memerlukan bantuan
ilmu-ilmu tertentu agar produk hukum yang dihasilkan itu dapat diterima dan mendapat
pengakuan masyarakat.17
Metoda dalam pembentukan peraturan perundang-undangan menentukan apakah
suatu peraturan dapat mencapai sasarannya dengan cara yang sebaik-baiknya. Untuk itulah
bantuan dari sosiologi hukum, psikologi hukum, antropologi hukum, budaya hukum dan
ilmu tentang perencanaan sangat diperlukan. Itu artinya, masalah pengaturan hukum
bukanlah semata persoalan-persoalan tentang legalitas formal yakni tentang bagaimana
mengatur sesuatu sesuai dengan prosedur hukum. Melainkan, juga bagaimana mengatur
sehingga dalam masyarakat timbul efek-efek yang memang dikehendaki oleh hukum.
Dalam kehidupan dewasa ini, pranata hukum sebagai sebuah sistem yang
harus menunjukkan eksistensi sebagai alat perubahan sosial, bukan sistem otonom dan
tertutup dari kehidupan sosial.18
Dengan demikian, dalam mengkaji substansi Undang-undang No.21 Tahun 2011
tentang Otoritas Jasa Keuangan perlulah didasari dengan pendekatan interdisipliner,
pengetahuan tentang suasana bathin atau keadaan yang mendasari diperlukannya
pembentukan Otoritas Jasa Keuangan, perdebatan-perdebatan yang terjadi, hasil kajian
____________________________ 17
A. Hamid S. Attamimi, Proses Pembuatan Perundang-undangan Ditinjau Dari Aspek Filsafat, Materi Kursus Penyegaran Perancang Perundang-undangan, Semarang, 1990, hlm. 5-6.
18
ilmiah (misalnya dalam bentuk naskah akademik), dan juga konfigurasi politik maupun
manuver-manuver pihak-pihak yang berkepentingan.
Selain itu juga dalam tesis ini, berkaitan legal culture yang merupakan komponen
ketiga dalam sistem hukum yang disampaikan Friedmann, maka perlu dipelajari nilai-nilai,
sikap-sikap, persepsi, custom, ways of doing, ways of thinking, opinion yang terbentuk dari
keberadaan OJK dan pengaturan hubungan serta interaksi dalam operasionalnya. Dari
keberadaan dan pengaturan operasionalnya tersebut, maka yang harus dijaga adalah
kemandirian dan independensi OJK dalam menjalankan tugas dan fungsinya sebagaimana
diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam mengkaji
independensi suatu lembaga independen, belakangan ini banyak ahli, termasuk di bidang
hukum dan administrasi publik, menggunakan teori prinsipal agen (principal-agent theory)
yang diperkenalkan oleh Barle dan Means.19 Analisis principal-agents menghasilkan
pendapat dan menunjukkan apakah lembaga independen dapat membuat keputusan
yang otonom dan melakukan tindakan yang independan.20
Dalam kaitan dengan penelitian tesis ini, terkait independensi OJK yang
pembiayaan operasionalnya dapat dipungut dari pihak yang diawasinya, teori
principal-______________________________
19
Kajian awal dari pendekatan teori Principal-agent dapat ditemukan dalam tulisan Berle and Means (1932), yang meneliti proses pendelegasian dalam level sebuah perusahaan. Lihat A. Berle and G. Means, The Modern Corporation and Private property, (New Pork: Macmillan, 1932). Setelah Berle dan Means, Stephen Ross merupakan pemikir pertama dalam memberikan kajian tentang urgensi principal-agent theory, karena ia menjelaskan hubungan antara principal dan agents sebagai hubungan di antara dua pihak atau lebih, di dalam suatu domain/ranah khusus dari situasi pemecahan masalah. Lihat Stephen Ross, The
(NRQRPLF 7KHRW\ RI $JHQF\ 7KH 3ULQFLSDO¶V 3UREOHP, (American Economic Review, vol. 63, 2, 1973), hlm 134.
20
Sooenhee Kim, Shena Ashley, dan W. Hendry Lambright, Public Administration Agency in the Context of Global, (Edward Elgar Publishing Limited, Sheltenham, UK), 2014, hlm.50.
agents ini dapat digunakan dengan pengertian bahwa prinsipal diasumsikan sebagai pihak
yang menguasai sumber daya (bisa berupa kewenangan, infrastruktur, maupun sumber
daya lainnya, termasuk keuangan) dan agen sebagai pihak yang menerima pelimpahan atau
pendelegasian agar dapat menjalankan tugas dan fungsinya. Dengan teori ini, penulis
berusaha mendapatkan pemahaman tentang keterkaitan independensi dengan ketersediaan
sumber daya keuangan dan pihak yang menyediakan sumber daya keuangan tersebut.
BAB IV
HASIL PEMBAHASAN
4.1.Status, Kedudukan dan Struktur Kelembagaan Otoritas Jasa Keuangan di Indonesia
4.1.A. Landasan Hukum Pembentukan Otoritas Jasa Keuangan
Kehadiran Otoritas Jasa Keuangan (OJK) di Indonesia tidak terlepas dari berbagai
kondisi yang melatar belakanginya. Amanat untuk membentuk lembaga pengawas
perbankan di Indonesia dituangkan dalam UU No.23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia.
Dalam UU tersebut, ditentukan secara tegas bahwa tugas mengawasi bank akan dilakukan
oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen, dan dibentuk dengan
Undang-undang. Kemudian disebutkan pula, bahwa pembentukan lembaga pengawas
tersebut akan dilaksanakan selambat-lambatnya 31 Desember 2002. Inilah yang menjadi
landasan hukum bagi pembentukan seuatu lembaga independen untuk mengawasi sektor
jasa keuangan yang kini kita kenal dengan sebutan Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 34 UU No.23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia:
(1) Tugas mengawasi Bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen, dan dibentuk dengan undang-undang.
(2) Pembentukan lembaga pengawas sebagaimana simaksud pada ayat (1) akan dilaksanakan selambat-lambatnya 31 Desember 2002.
Pada kenyataannya, meskipun pembentukan lembaga pengawas sektor jasa
keuangan ditetapkan oleh UU No.23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
selambat-lambatnya sampai 31 Desember 2002, lembaga yang dimaksud belumlah terbentuk sampai
berakhirnya tahun 2002. Karenanya, UU tersebut diamandemen dengan UU No.3 Tahun
2004 tentang Perubahan atas UU No.23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, di mana
amanat untuk membentuk lembaga pengawasan sektor jasa keuangan ditentukan
selambat-lambatnya akhir tahun 2010. Dan lembaga yang dimaksud barulah terbentuk dengan
ditetapkannya Undang-undang No.21 tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK)
pada 22 November 2011. Pasal 2 Undang-undang ini berbunyi:
(1) Dengan Undang-Undang ini dibentuk OJK.
(2) OJK adalah lembaga yang independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari campur tangan pihak lain, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur dalam Undang-Undang ini.
4.1.B. Status dan Kedudukan Otoritas Jasa Keuangan
Menurut pasal 1 angka 1 UU No.21 tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan
(UU OJK), sebagaimana telah diperbaiki oleh Mahkamah Konstitusi (MK) lewat amar
putusan MK pada tanggal 4 Agustus 2015 atas perkara No.25/PPU-XII/2014 perihal
Pengujian UU No.21 tahun 2011 tentang OJK terhadap UUD 194521, Otoritas Jasa
Keuangan adalah lembaga yang independen,yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang
________________
21
Lihat Keputusan MK, http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/putusan/25_PUU-XII_2014.pdf. , hlm.296. diakses pada 20 Maret 2016.
pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam
Undang-undang ini. Lebih lanjut dalam pasal 2 ayat (2) UU OJK menegaskan bahwa OJK
adalah lembaga yang independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya,
bebas dari campur tangan pihak lain, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur
dalam Undang-Undang ini. Asas independensi secara tegas dituangkan dalam Penjelasan
UU OJK bagian Umum dinyatakan bahwa OJK dalam pengambilan keputusan dan
pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenang OJK, dengan tetap sesuai peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Kemudian dijelaskan pula, bahwa secara kelembagaan, OJK berada di luar
Pemerintah, yang dimaknai bahwa OJK tidak menjadi bagian dari kekuasaan
Pemerintah. Namun, tidak menutup kemungkinan adanya unsur-unsur perwakilan
Pemerintah karena pada hakikatnya OJK merupakan otoritas di sektor jasa keuangan yang
memiliki relasi dan keterkaitan yang kuat dengan otoritas lain, dalam hal ini otoritas fiskal
dan moneter.
Dalam Pasal 3 UU OJK, dijelaskan bahwa OJK berkedudukan di Ibu Kota Negara
Kesatuan Republik Indonesia dan dapat mempunyai kantor di dalam dan di luar wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia yang dibentuk sesuai dengan kebutuhan.
4.1.C. Struktur Organisasi Otoritas Jasa Keuangan
Struktur organisasi kelembagaan OJK terdiri atas Dewan Komisaris OJK dan
Ketentuan pasal 10 UU OJK menetap OJK dipimpin oleh Dewan Komisioner
secara kolektif kolegial, berjumlah sembilan orang yang ditetapkan dengan Keputusan
Presiden dan terdiri dari:
a. seorang Ketua merangkap anggota;
b. seorang Wakil Ketua sebagai Ketua Komite Etik merangkap anggota;
c. seorang Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan merangkap anggota;
d. seorang Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal merangkap anggota;
e. seorang Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya merangkap anggota;
f. seorang Ketua Dewan Audit merangkap anggota;
g. seorang anggota yang membidangi edukasi dan perlindungan Konsumen;
h. seorang anggota Ex-officio dari Bank Indonesia yang merupakan anggota Dewan Gubernur Bank Indonesia; dan
i. seorang anggota Ex-officio dari Kementerian Keuangan yang merupakan pejabat setingkat eselon I Kementerian Keuangan.
Untuk mendukung kelancaran pelaksanaan fungsi, tugas dan wewenang OJK,
Dewan Komisioner menyusun struktur organisasi, membentuk organ pendukung, membagi
tugas dan wewenang, serta menetapkan ketentuan lebih lanjut mengenai organisasi dan tata
kerja OJK dengan Peraturan Dewan Komisioner (Pasal 26). Adapun Struktur Organisasi
Sumber: http://www.ojk.go.id/id/tentang-ojk/Pages/Struktur-Organisasi.aspx , diakses tanggal 18 April 2016.
Dalam mengisi posisi-posisi struktur organisasi OJK, Dewan Komisioner
mengangkat dan memberhentikan pejabat dan pegawai OJK, termasuk mempekerjakan
pegawai negeri (Pasal 27), bahkan mengangkat staf ahli (Pasal 26 ayat (3)). Ini cukup
mencerminkan bahwa OJK memiliki kemandirian dalam mengelola sumber daya
manusianya.
4.1.D. Hubungan Kelembagaan Otoritas Jasa Keuangan dengan Lembaga Terkait di Bidang Jasa Keuangan
Pengaturan UU OJK mengenai hubungan atau koordinasi OJK dengan lembaga
negara lainnya dari segi pelaksanaan tugas meliputi:
1. Tugas pengaturan dan pengawasan perbankan, yang akan terkait dengan lembaga (Pasal 39-43):
a. Bank Indonesia;
b. Lembaga Penjamin Simpanan.
2. Tugas menjaga Stabilitas Sistem Keuangan, yang akan terkait dengan lembaga (Pasal 44-46):
a. Menteri Keuangan;
b. Gubernur Bank Indonesia; c. Ketua Dewan Komisioner LPS.
3. Tugas penyidikan, yang akan terkait dengan lembaga (Pasal 49-51): a. Penyidik Pegawai Negeri Sipil dari instansi lain;
b. Kejaksaan; c. Kepolisian; d. Pengadilan.
1.1. Independensi Otoritas Jasa Keuangan dari Aspek Anggaran dalam Pengawasan Perbankan
Sebagaimana dikemukakan dalam Bab Pendahuluan bahwa fokus penelitian tesis
ini adalah mengkaji independensi OJK dari aspek anggaran dalam melaksanakan tugasnya
mengawasi sektor perbankan. Penelitian ini sangat penting dan menarik, karena
penganggaran merupakan salah satu aspek terpenting dari suatu organisasi yang bahkan
dapat mempengaruhi arah perjalanan organisasi tersebut, sementara pengaturan
penganggaran OJK yang dapat bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(APBN) dan/atau pungutan dari pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan
merupakan hal baru dalam pengaturan penganggaran suatu lembaga negara yang dibentuk
dengan Undang-Undang.
Literasi yang dituangkan dalam bab tinjauan pustaka juga mengungkapkan bahwa
aspek pembiayaan atau anggaran merupakan salah satu kunci penting yang mempengaruhi
independensi dan efektifitas pengawas perbankan. Independensi dalam aspek anggaran
anggaran mereka sendiri dan sumber alokasi anggaran, serta prioritas dalam menggunakan
anggaran tersebut. Otoritas pengawas yang mempunyai tingkat independensi yang tinggi
dalam aspek budgetary independence akan lebih tangguh dalam menghadapi pengaruh
eksternal agar dapat bergerak secara mandiri dan cepat dalam kebutuhan yang mendesak di
sektor finansial dan memastikan sistem penggajian mereka akan cukup menarik dalam
merekrut sumber daya manusia yang kompeten.
Otoritas independen yang dibiayai melalui pemberian dari anggaran pemerintah,
dapat dikatakan cenderung terbuka dan lemah dari berbagai bentuk intervensi politik.
Dalam kondisi tertentu, seperti ketika otoritas pengawas tersebut dianggap secara politik
lebih ketat pada jaringan pelaku usaha tertentu, pemerintah dapat saja mengintervensi
dengan menahan atau mengurangi anggaran yang diberikan. Lebih lanjut, dapat juga
terjadi anggaran otoritas pengawas dipotong oleh Pemerintah dengan dalih kebijakan fiskal
yang mendesak. Contoh aktual pemotongan anggaran lembaga pengawas dapat dilihat
pada Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) tahun 2016 untuk Komisi Pengawas
Persaingan Usaha yang ditetapkan memperoleh anggaran sebesar Rp.132,3 miliar,
kemudian dengan alasan realisasi penerimaan pajak negara yang rendah pada awal tahun
ini, kemudian anggarannya diturunkan menjadi Rp.105,3 miliar, padahal saat ini KPPU
sedang menangani kasus-kasus besar di bidang ototmotif, industri kesehatan, pendidikan
hingga komoditas pangan.22
__________________________________ 22
Lihat: http://finansial.bisnis.com/read/20160608/10/555860/anggaran-dipotong-pemerintah-kppu-kewalahan, diakses pada tanggal 14 Juni 2016.
Adapun di lain sisi, anggaran otoritas yang bersumber dari industri bisnis yang
diawasi mempunyai beberapa keuntungan dibandingkan dengan pemberian anggaran dari
pemerintah, seperti misalnya mengurangi lingkup dari campur tangan politis dan tingkat
kebebasan yang lebih tinggi untuk otoritas menentukan anggarannya sendiri
menyesuaikan dengan kebutuhan dan prioritasnya. Namun perlu juga disadari adanya
risiko jika iuran/fee dari dunia industri belum terstruktur dengan jelas, yang dapat
berimplikasi pada ketergantungan yang tinggi terhadap industri dan dapat berakibat
melemahkan kemandirian otoritas pengawas.
Pengaturan bahwa anggaran OJK dapat bersumber dari Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (APBN) dan/atau pungutan dari pihak yang melakukan kegiatan di sektor
jasa keuangan merupakan sebuah langkah terobosan dalam pembiayaan suatu lembaga
negara, di mana kecenderungan umumnya pembiayaan sepenuhnya bersumber pada APBN
yang merupakan produk bersama Pemerintah dan DPR. Dengan pengaturan yang
demikian, sumber dana pembiayaan yang merupakan salah satu kunci penting yang
mempengaruhi independensi dan efektifitas pengawas perbankan, tidak lagi hanya
tergantung pendanaan dari alokasi pemerintah (APBN) atau bank sentral dapat membuka
celah bagi campur tangan politik. Dari sudut pandang principle agent theory, pengaturan
pengganggaran yang demikian dapat mengurangi pengaruh maupun kemungkinan
intervensi dari principal (Pemerintah dan DPR) karena penguasaan akan sumber daya
keuangan yang dibutuhkan oleh agent (OJK).
Dari pengaturan sebagaimana diuraikan di atas, secara garis besar independensi
menarik untuk diperdebatkan, yaitu apakah independensi OJK yang cukup baik dalam
mengurangi peluang intervensi politik di satu sisi, tidak akan membebani industri yang
pada akhirnya menjadi beban masyarakat bagi masyarakat pemakai jasa keuangan?
Pungutan yang dilakukan oleh OJK bagi Perbankan merupakan beban baru bagi
perbankan, pengaturan ini tidak sepenuhnya sejalan dengan upaya pemerintah untuk
meningkatkan efisiensi perbankan agar dapat menyalurkan dana pinjamannya dengan suku
bunga rendah sehingga memberikan stimulus yang besar bagi perekonomin nasional.
Karenanya, penulis mengusulkan agar pembiayaan OJK yang berasal dari
pungutan langsung kepada perbankan dihentikan, tetapi diganti dengan pungutan kepada
LPS yang sudah menerima pembayaran premi jaminan simpanan dari perbankan. Dengan
demikian perbankan tidak dibebani biaya baru, sementara LPS memperoleh manfaat
perbankan diatur dan diawasi secara objektif dan independen sehinga dapat beroperasi
BAB V PENUTUP
5.1. Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan dan pembahasan pada bab-bab sebelumnya, maka penulis
menyimpulkan sebagai berikut:
1. Status kelembagaan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) adalah lembaga independen yang berada di luar pemerintahan, yang bermakna OJK tidak menjadi bagian dari kekuasaan pemerintahan/eksekutif.
2. Sebagai pengawas di sektor jasa keuangan, OJK harus memiliki independensi yang memadai agar dapat melaksanakan tugasnya secara objektif dan professional.
3. Pengaturan independensi OJK secara umum sudah cukup baik, terutama dalam meminimalisir peluang terjadinya intervensi politik, akan tetapi dalam kaitan dengan aspek penganggaran OJK masih terdapat peluang mempengaruhi independensi OJK dalam menjalankan tugasnya secara objektif dan independen dari pengaruh eksternal, khususnya berkaitan dengan pengaturan pungutan OJK terhadap perbankan.
5.2. Saran
1. Untuk menjaga stabilitas sistem keuangan nasional, OJK dan lembaga-lembaga terkait lainnya, yaitu Kementerian Kuangan, Bank Indonesia dan Lembaga Penjamin Simpanan tergabung dalam Forum Komunikasi Stabilitas Sistem Keuangan. Akan tetapi dalam melaksanakan tugas penyidikan sebagaimana diatur dalam pasal 49-51 UU OJK, perlu disepakati adanya protokol koordinasi antara OJK dengan lembaga Kepolisian dan Kejaksaan.
2. Untuk meningkatkan independensi OJK agar lebih optimal menjalankan tugasnya secara objektif dan independen dari pengaruh eksternal, khususnya berkaitan dengan pengaturan punggutan OJK terhadap perbankan, penulis menyarankan untuk dilakukan amandemen dengan usulan menghentikan pungutan (biaya rutin) OJK secara langsung kepada perbankan, dan sebagai gantinya biaya operasional OJK dibebankan kepada LPS. Dan diharapkan akan mendatangkan manfaat, antara lain;
a. Terjadinya peningkatan independensi OJK, khususnya terhadap perbankan, karena dengan demikian OJK dapat lebih leluasa untuk bersikap dan bertindak secara objektif dan independen dalam melaksanakan pengaturan dan pengawasan perbankan tanpa ada rasa pakewu atau ganjalan hati karena operasional OJK dibiayai langsung oleh perbankan;
b. Terjadi perbaikan dalam praktek Good Public Governance dalam penataan sistem keuangan nasional, karena dapat dihindari tumpang tindih pungutan yang dilakukan oleh OJK dan LPS terhadap perbankan, serta adanya pengaturan tugas dan wewenangan maupun hak dan kewajiban masing-masing lembaga secara lebih baik.
c. Terjadi perbaikan praktek Good Corporate Governance pada LPS, yaitu adanya peningkatan peran LPS dalam membiayai upaya-upaya untuk memastikan industri (perbankan) yang dijaminnya dapat berjalan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan menerapkan prinsip-prinsip yang umum berlaku bagi perbankan.
d. Terjadi efisiensi biaya pada industri perbankan, dan OJK dapat dengan tegas miminta kepada perbankan untuk menurunkan suku bunga kredit yang selama ini dinilai terlalu tinggi dan menghambat pertumbuhan ekonomi maupun kemudahan berusaha, khususnya bagi usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM).
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku-Buku
Andi Mustari Pide, Pengantar Hukum Tata Negara, Cet. 1, Gaya Media Pratama, Jakarta, 1999.
Bagir Manan, Sistem Peradilan Berwibawa (Suatu Pencarian), FH UII Press, Yogyakarta, 2005.
Berle A. dan Means G., The Modern Corporation and Private property, Macmillan, New York, USA, 1932.
Dirk Schoenmaker, Financial Supervision in the European Union, G. Caprio (ed.), Elsevier Amsterdam, 2011.
Esmi Warassih, Pranata Hukum sebuah telaah sosiologis, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 2011.
Firmansyah Arifin, dan kawan-kawan, Lembaga Negara dan Sengketa Kewenangan Antar Lembaga Negara, Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN), Jakarta, 2005.
Hans Kelsen, General Teory of Law and State, Russell & Russell, New York, USA, 1961.
Jimly Ashiddiqqie (a), Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II, Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta, Juli 2006.
Jimly Asshiddiqqie (b), Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2006.
Jimly Asshidiqqie (c), Konstitusi dan Konstitusionalisme, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi), Jakarta, Juli 2006.
Marcus Lukman, Penerapan Metode Statistik Non Parametrik Dalam Penelitian Hukum, PMIH UNTAN Press, Universitas Tanjungpura, Pontianak, Januari 2007.
Otoritas Jasa Keuangan, Booklet Perbankan Indonesia Edisi 1, Maret 2014 ISSN: 1858-4233, Jakarta: Departemen Perizinan dan Informasi Perbankan OJK, 2014.
Ruth de Krvoy, Collapse: The Venezuelan Banking Crisis of 1994, Group of Thirty, Washington DC, USA, 2000.
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Cet.II, Perct. Alumni, Bandung, 1996.
Sean Gailmard, Accountability and Principal-Agent Models, Oxford University Press, Oxford, UK, Agustus 2012.
Soerjono Soekantodan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif ± Suatu Tinjauan Singkat, Rajawali Press, Jakarta, 1990.
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, cet.3, UI Press, Jakarta, 1986.
Soetanyo Wignjosoebroto, Hukum, Konsep dan Metode, Setara Press, Malang, 2013.
Sooenhee Kim, Shena Ashley, dan W. Hendry Lambright, Public Administration Agency in the Context of Global, Edward Elgar Publishing Limited, Sheltenham (UK), 2014.
Suparji, Penanaman Modal Asing: Insentif vs Pembatasan, Penerbit Universitas Al-Azhar Indonesia, Jakarta, 2008.
William F. Fox Jr., Understanding Administrative Law, LexisNexis Publishing, New York, USA, 2012.
William F. Funk and Richard H. Seamon, Administrative Law: Examples and Explanations , Aspen Publishers, Inc., New York, USA, 2001.
Zulkarnain Sitompul, Problematika Perbankan, (Bandung: Penerbit Book Terrace and Library, 2005.
B. Jurnal dan Makalah
A. Hamid S. Attamimi, Proses Pembuatan Perundang-undangan Ditinjau Dari Aspek Filsafat, Materi Kursus Penyegaran Perancang Perundang-undangan, Semarang, 1990.
Anouk Werksma, The Changing Roe of The European Central Bank and The European Banking Authority in The Banking Union, University of Twente, Netherland, 2013.
Bank Indonesia (a), Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan, ISSN:1693-3265, Vol.11, No.1, Jakarta, 2013.
Bank Indonesia (b), Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan, ISSN: 1693-3265, Volume 10, Nomor 3, Jakarta, 2012.
Bank Indonesia (c), Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan, ISSN: 1693-3265, Volume 10, Nomor 1, Jakarta, 2012.
Bank Indonesia (d), Buletin Hukum Perbankan dan Kebangsentralan, ISSN: 1693-3265, Volume 8, Nomor 3, Jakarta, 2010.
Donato Masciandaro, M. Quintyn dan Michael Taylor; Financial Independence and Accoutability ± Exploring the determinants, IMF Working paper WP/08/146, 2008.
Donato Masciandaro, Maria J. Nieto dan Hendriette Prast, Financial Governance of Banking Supervision, Documentos de Trabajo No.0725, Banco de Espana, Spanyol 2007.
Eva Hupkes, M. Quintyn dan Michael W. Taylor; The Accountability of Financial Sector Supervisors: Principles and Practice, IMF Working Paper WP/05/51, March 2005.
Fabrio Gilardi (a), The Intstitutional Foundations of Regulatory Capitalism: The Diffusion of Independent Regulatory Agencies in Western Europe, Annuals of the American Academy of Political and Social Science 598, 2005.
Fabrizio Gilardi (b), Principal-Agent Models Go to Europe:Independent Regulatory Agenciesas Ultimate Step of Delegation Applications ,QVWLWXW G¶(WXGHV
Politiques et Internationales ± Universite de Lausanne, Switzerland, disampaikan dalam The European Consortium for Political Research (ECPR) General Conference di Canterburn (UK) pada tanggal 6-8 September 2001.
Hasbi Hasan, Efektifitas Pengawasan Otoritas Jasa Keuangan Terhadap Lembaga Perbankan Syariah, Jurnal Legislasi Indonesia, Vol.9 NBo.3, 2012.
Jared P. Cole dan Daniel T. Shedd, Administrative Law Primer: Statutory
'HILQLWLRQV RI ³$JHQF\´ DQG &KDUDFWHULVWLFV RI $JHQF\ ,QGHSHQGHQFH, Congressional Research Service, USA, May 22 2014.
Jimly Asshidiqie (d), Beberapa Catatan Tentang Lembaga-Lembaga Khusus Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara, disampaikan dalam Seminar Nasional Lembaga-Lembaga Non Struktural, Kemenkumham RI, Jakarta, Maret 2011.
Jimly Asshidiqie (e), Struktur Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan Ke-empat UUD 1945, makalah dalam Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII, Denpasar 14-18 Juli 2003.
Jimly Asshiddiqie (f), Fungsi Campuran KPPU Sebagai Lembaga Quasi-Peradilan, www.jimly.com/makalah/namafile/61/Makalah-KPPU_Koreksian.pdf, diakses tanggal 8 Oktober 2015.
Jocab E. Gersen, Designing Agencies, in Research Handbook On Public Choise And Public Law, University of California, USA, 2010.
Kempe Ronald Hope, The New Public Management: Context and Practice in Africa, International Public Management Journal, Vol. 4, 2001.
Marc Quintyn dan Michael W. Taylor (a), Regulatory and Supervisory Independence and Financial Stability, International Monetary Fund Working Paper WP/02/46, March 2002.
Marc Quintyn and Michael W. Taylor (b), Should Financial Sector Regulators Be Independence?, IMF Economic Issues No.32, International Monetary Fund March 8, 2004.
Marc Quintyn, Silvia Ramirez and Michael W. Taylor, The Fear of Freedom: Politicants and The Independence and Accountability of Financial Sector Regulators,
International Monetary Fund Working Paper WP/07/25, February 2007.
Mark A. Pollack ³Delegation, Agency, and Agenda Setting in the European Community´ 7KH ,2 )RXQGDWLRQ DQG WKH 0DVVDFKXVHWWV ,QVWLWXWH RI 7HFKQRORJ\
International Organiation, vol.51,1, pp.99-134, 1997.
Moh. Mahfud MD., Politik Hukum Menuju Pembangunan Sistem Hukum Nasional, disampaikan dalam Seminar Arah Pembangunan Hukum Menurut UUD 1945 Hasil Amandemen yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Departemen Hukum dan HAM RI pada tanggal 29-31 Mei 2006 di Mercure Accor Hotel Jakarta, 2006.
Otoritas Jasa Keuangan (a), Booklet Perbankan Indonesia Edisi I, Maret 2014 ISSN:1858-4233, Departemen Perizinan danInformasi Perbankan OJK, Jakarta, 2014.
Reza Y. Siregar dan James E. Williams, Designing an Integrated Financial Supervision Agency: Selected Lessons and Challenges for Indonesia, Discussion Paper No.0405, CIES University of Adelaide, Australia 2004.
Richard B. Stewart, The Reformation of American Administrative Law, 88 Harvard Law Review, 1975.
Rosa Maria Lastra, Central Bank Independence and Financial Stability, Estabilidad Financiera, No. 18, Banco the Espana, May 2010.
Saskia Lavrijssen, An Analysis of The Constitutional Position of The US Independence Agencies, Tilec Discussion Paper DP 2004-001, Tilburg University, 2004.
Siti Sundari Arie, Laporan KOMPENDIUM Hukum Bidang Perbankan,
Puslitbang Siskumnas Kementerian Hukum dan HAM RI, Jakarta, 2011.
Stanley Fischer, Central Bank Independence Revisited, American Economic Review, Papers and Proceedings, Vol.85, No.2, Washington, DC., USA, May 1995.
Stavros Gadinis, From Independence to Politics in Financial, UC Berkelay Public Law Research Paper No.2137215, California Law Review, August 2012.
Stephen Ross, 7KH (NRQRPLF 7KHRW\ RI $JHQF\ 7KH 3ULQFLSDO¶V 3UREOHP, American Economic Review, vol. 63, 2, 1973.
Steven Seelig dan Alicia Novoa, Governance Practices at Financial Regulatory and Supervisory Agencies, International Monetary Fund Working Paper WP/09/135, July 2009.
Tim Panitia Antar Departemen Rancangan Uandang-Undang Tentang Otoritas Jasa Keuangan, Naskah Akademik Pembentukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Jakarta, 2010.
C. Peraturan Perundang-undangan
Republik Indonesia (a), Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (UU BI), Lembar Negara RI No. 66, tambahan Lembar Negara No. 3843.
Republik Indonesia (b), Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (UU OJK), Lembar Negara RI No.111 Tahun 2011, tambahan Lembar Negara No. 5253.
Republik Indonesia (c), Undang-undang Nomor 11 Tahun 1953 tentang Penetapan Undang-undang Pokok Bank Indonesia, Lembar Negara RI No.40 Tahun 1953.
Republik Indonesia (d), Undang-undang Nomor 24 tahun 1951 tentang Nasionalisasi De Javasche Bank N.V., Lembar Negara RI No.104 Tahun 1951.
Republik Indonesia (e), Undang-Undang Nomor 13 tahun 1968 tentang Bank Sentral, Lembar Negara RI No.63 Tahun 1968, tambahan Lembar Negara No.2865.
Republik Indonesia (f), Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No.23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, Lembar Negara RI No.7 Tahun 2004, tambahan Lembar Negara No.4357.
Republik Indonesia (g), Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU), Lembar Negara RI No.30 Tahun 2002, tambahan Lembar Negara No. 4191.
Republik Indonesia (h), Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 Perubahan UU No.15 tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU), Lembar Negara RI No.108 Tahun 2003, tambahan Lembar Negara No. 4324.
Republik Indonesia (i), Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU PPTPPU),
Lembar Negara RI No.122 Tahun 2010, tambahan Lembar Negara No. 5164.
Republik Indonesia (j), Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan, Lembar Negara RI No.96 Tahun 2004, tambahan Lembar Negara No.4420.
Badan Pemeriksa Keuangan, Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia No.1 tahun 2007 tentang Stantar Pemeriksa Keuangan Negara, Lembar Negara RI No.42 Tahun 2007.
Otoritas Jasa Keuangan, Peraturan OJK Nomor 3/POJK.02/2014 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pungutan oleh Otoritas Jasa Keuangan, Lembar Negara RI No.66 Tahun 2014, tambahan Lembar Negara No.5521.
D. Lain-lain
Antara News, Perbanas Mengaku Masih Keberatan Iuran OJK, http://www.antaranews.com/berita/352508/perbanas-mengaku-masih-keberatan-iuran-ojk, diakses tanggal 23 April 2016.
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kemendikbud RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia, http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/kbbi/index.php, diakses tgl. 6 Oktober 2015.
Bank Indonesia, Status dan Kedudukan,
http://www.bi.go.id/id/tentang-bi/fungsi-bi/status/Contents/Default.aspx, diakses tanggal 8 Oktober 2015.
Bisnis.com., Anggaran dipotong Pemerintah KPPU Kewalahan,
http://finansial.bisnis.com/read/20160608/10/555860/anggaran-dipotong-pemerintah-kppu-kewalahan. diakses pada tanggal 14 Juni 2016.
Bisnis.com., Iuran OJK lebih baik dihapus,
http://finansial.bisnis.com/read/20150423/90/426411/iuran-ojk-lebih-baik-dihapus,
diakses 23 April 2016.
Detik.Com., Kisah Sukses dan Gagal OJK di Negara Lain, http://finance.detik.com/read/2014/01/08/172156/2461977/5/kisah-sukses-dan-gagal-ojk-di-negara-lain, diakses tanggal 8 Oktober 2015.
Hendry Campell Black, %ODFN¶V /DZ 'LFWLRQDU\, Sixth Edition, (St. Paul Minn, West Oublishing Co, USA, 1997.
Infobank, OJK Incar Pungutan Rp.4,37T,
http://infobanknews.com/ojk-incar-pungutan-rp437-triliun/, diakses tanggal 24 Mei 2016.
Lembaga Penjamin Simpanan, Laporan Tahunan,
http://www.lps.go.id/web/guest/laporan-tahunan, diakses 24 Mei 2016.
Kemenkeu RI, Pengesahan RUU Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan,
http://www.kemenkeu.go.id/SP/ruu-pencegahan-dan-penanganan-krisis-sistem-keuangan-disetujui-untuk-disahkan-menjadi-undang, diakses tanggal 25 April
2016.
Komisi Pengawas Persaingan Usaha, Visi dan Misi KPPU, http://www.kppu.go.id/id/tentang-kppu/visi-dan-misi/, diakses tanggal 8 Oktober 2015.
Kompas, Bunga Kredit Indonesia Paling Tinggi di Asean,
http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2016/02/29/181509626/Bunga.Kredit.di.Indonesia.Paling.Tingg i, diakses tanggal 24 April 2016
Mahkamah Konstitusi, Putusan Dalam Perkra Permohonan Pengujian Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan Terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/putusan/25_PUU-XII_2014.pdf., diakses 20
Maret 2016.
Maqdil Isamail, Independensi, akuntabilitas dan transparansi bank Indonesia sebagai bank sentral : studi perbandingan undang-undang bank Indonesia,
http://maqdirismail.blogspot.co.id/2008/08/independensi-bank-sentral-dalam-undang.html., diakses 6 Januari 2015.
Otoritas Jasa Keuangan, Struktur Organisasi,
http://www.ojk.go.id/id/tentang-ojk/Pages/Struktur-Organisasi.aspx, diakses tanggal 18 April 2016.
Otoritas Jasa Keuangan, Publikasi Laporan Keuangan OJK 2014,
http://www.ojk.go.id/id/data-dan-statistik/ojk/Pages/Publikasi-Laporan-Keuangan-OJK-2014-yang-Telah-Diaudit-BPK.aspx, diakses 24 Mei 2016.
Pusat Pelaporan dan Analisa Transaksi Keuangan, Tentang Kami - Sejarah,