• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pendidikan yang bermutu sangat tergantung pada kapasitas satuan pendidikan dalam mentranformasikan peserta didik untuk memperoleh nilai tambah, baik yang terkait dengan aspek olah pikir, rasa, hati, dan raganya. Dari sekian banyak komponen pendidikan, guru dan dosen merupakan faktor yang sangat penting dan strategis dalam usaha meningkatkan mutu pendidikan di setiap satuan pendidikan. Dicetuskannya UU Nomor 14 Tahun 2005 mengenai guru dan dosen, menjanjikan tercapaianya kualitas pendidikan Indonesia dengan guru yang profesional, termasuk guru bimbingan dan konseling.

Bimbingan dan konseling merupakan upaya proaktif dan sistematik dalam memfasilitasi individu mencapai tingkat perkembangan yang optimal,

pengembangan perilaku yang efektif, pengembangan lingkungan, dan peningkatan fungsi atau manfaat individu dalam lingkungannya. Semua perubahan perilaku tersebut merupakan proses perkembangan individu, yakni proses interaksi antara individu dengan lingkungan melalui interaksi yang sehat dan produktif.

Bimbingan dan konseling memegang tugas dan tanggung jawab yang penting untuk mengembangkan lingkungan, membangun interaksi dinamis antara individu dengan lingkungan, membelajarkan individu untuk mengembangkan, merubah dan memperbaiki perilaku.

Bimbingan dan konseling bukanlah kegiatan pembelajaran dalam konteks adegan mengajar yang layaknya dilakukan guru sebagai pembelajaran bidang studi, melainkan layanan ahli dalam konteks memandirikan peserta didik. (ABKIN, 2007). Merujuk pada UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, sebutan untuk guru pembimbing dimantapkan menjadi “Konselor.” Keberadaan konselor dalam sistem pendidikan nasional dinyatakan sebagai salah satu kualifikasi pendidik, sejajar dengan kualifikasi guru, dosen, pamong belajar, tutor, widyaiswara, fasilitator dan instruktur (UU No. 20/2003, pasal 1 ayat 6). Pengakuan secara eksplisit dan kesejajaran posisi antara tenaga pendidik satu dengan yang lainnya tidak menghilangkan arti bahwa setiap tenaga pendidik,

(2)

2

termasuk konselor, memiliki konteks tugas, ekspektasi kinerja, dan setting layanan spesifik yang mengandung keunikan dan perbedaan.

Selain kualifikasi akademik dan profesionalisme yang menjadi

permasalahan guru dan konselor secara umum juga terdapat banyaknya faktor yang menjadikan konselor kurang mendapatkan perhatian di sekolah diantaranya adalah 1) rasio atau jumlah guru yang tidak sesuai dengan idealnya penanganan/ pemberian layanan terhadap siswa yaitu 1:150. Sehingga sangat tidak mungkin bagi seorang konselor yang harus menangani 500 siswa disekolahnya. 2) Espektasi konselor yang semakin rancu dengan espektasi guru di sekolah dimana seperti diketahui ekspektasi kinerja konselor yang tidak menggunakan materi pembelajaran sebagai konteks layanan, dengan ekspektasi kinerja guru yang menggunakan materi pembelajaran sebagai konteks layanan, yang sudah terjadi sejak tahun 1995 melalui penerbitan Seri Pemandu Pelaksanaan Layanan Bimbingan dan Konseling di Sekolah (1995) dengan mengacu kepada berbagai peraturan termasuk Surat Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 84 Tahun 1993 tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya. Hal ini diperparah dengan kerancuan pemahaman antara kurikulum pendidikan (KTSP) dan kebijakan ABKIN sebagai asosiasi yang menaungi konselor se-Indonesia, 3) Persepsi masyarakat terhadap kegiatan bimbingan dan konseling. Adanya anggapan bahwa guru BK hanyalah polisi sekolah atau guru yang tidak memiliki pekerjaan yang jelas masih kental terjadi di lapangan, sehingga hal ini pula yang menjadi penyebab kegelisahan BK di sekolah dalam memperjelas tugas dan eskpektasi antara guru bidang studi dan konselor.

Perkembangan pemahaman akan tugas dan espektasi konselor di lapangan masih menjadi pembicaraan yang cukup hangat. Pemahaman akan konteks ekstrakurikuler dan layanan konseling berada dalam satu himpunan yaitu pengembangan diri berdasarkan KTSP yang sudah diberlakukan di sekolah-sekolah masih terus menjadi kajian kita. Pada kenyataannya di lapangan memang dibutuhkan eksistensi pengakuan nama “guru” bagi seorang konselor, karena tanpa ada kata ini konselor tidak dapat melaksanakan kinerja secara struktural misal apabila terdapat pemisahan antara konselor dengan guru secara “label’ maka konselor tidak dapat mengajukan kenaikan pangkat dikarenakan belum adanya

(3)

3

peraturan tentang angka kredit konselor secara khusus. Namun disisi lain “ label” guru bagi konselor juga mengakibatkan kerancuan dalam memberikan makna/ pemahaman tugas guru dan konselor yang jelas berbeda.

Dengan demikian, bukan hal baru jika konselor sebagai profesi pendidik selalu dipandang sebelah mata oleh guru yang lain terutama di sekolah yang berada di daerah-daerah terpencil. Kerancuan yang terjadi di lapangan membuat penulis mencoba mengkaji serta menyampaikan pemetaan mengenai ekspektasi guru bidang studi dan konselor sehingga dapat digunakan dan menjadi referensi dalam melaksanakan tugas konselor di sekolah.

B. Rumusan Masalah

Rumusan permasalahan yang akan dibahas pada makalah ini adalah sebagai berikut:

1. Apa pengertian ekspektasi kinerja?

2. Bagaimana perbedaan ekspektasi kinerja konselor dengan kinerja guru? 3. Bagaimana ekspektasi kinerja konselor dalam jalur pendidikan formal

berdasar pada ketetapan ABKIN?

4. Bagaimana perbedaan ekspektasi kinerja konselor dengan helping profession

yang lain?

5. Bagaimana kompetensi konselor profesional?

C. Tujuan

Tujuan yang rumuskan pada makalah ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui pengertian ekspektasi kinerja.

2. Untuk mengetahui perbedaan ekspektasi kinerja konselor dengan kinerja guru.

3. Untuk mengetahui ekspektasi kinerja konselor dalam jalur pendidikan formal berdasar pada ketetapan ABKIN.

4. Untuk mengetahui perbedaan ekspektasi kinerja konselor dengan helping profession yang lain.

(4)

4 BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Ekspektasi Kinerja

Secara etimologis, kata ekspektasi berasal dari kata “expectation” dalam

bahasa Inggris yang berarti harapan. Berdasarkan wikipedi.com, ekspektasi adalah “what is considered the most likely to happen. An expectation, which is

a belief that is centred on the future, may or may not be realistic. A less advantageous result gives rise to the emotion of disappointment. If something happens that is not at all expected it is a surprise. An expectation about the behavior or performance of another person, expressed to that person, may have the nature of a strong request, or an order.” Dengan kata lain, ekspektasi adalah

apa yang dianggap paling mungkin terjadi, yang merupakan kepercayaan yang berpusat pada masa depan, realistis atau mungkin tidak realististentang perilaku atau kinerja seseorang yang sifatnya tuntutan, atau suatu perintah.

Pada pengertian ekspektasi di atas terdapat kata “kinerja”. Oleh karena itu, kinerja menurut, John Whitmore (1997 :104) merupakan “pelaksanaan fungsi-fungsi yang dituntut dari seseorang, suatu perbuatan, suatu prestasi, dan Faustino Cardosa Gomes dalam A.A. Anwar Prabu Mangkunegara, (2005: 9)

mengemukakan definisi kinerja sebagai ungkapan seperti output, efisiensi serta efektivitas sering dihubungkan dengan produktivitas.

B. Ekspektasi Kinerja Konselor Tidak Sama Dengan Guru

Dalam kaitan dengan ekspektasi kinerja konselor yang tidak sama dengan kinerja guru, yang keduanya merupakan pendidik yang diperjelas dengan pengertian pendidik berdasarkan dalam Pasal 1 Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional No.20 tahun 2003, yang menyatakan bahwa pendidik adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator, dan sebutan lain yang sesuai dengan kekhususannya, serta berpartisipasi dalam menyelenggarakan pendidikan.

(5)

5

Terkait dengan penjelasan diatas maka, SK Mendikbud No. 25/O/1995 yang merujuk kepada SK Menpan No. 84/1993 menegaskan adanya empat jenis guru, yaitu:

1. Guru kelas adalah guru yang mempunyai tugas, tanggung jawab, wewenang dan hak secara penuh dalam proses belajar mengajar seluruh mata pelajaran di kelas tertentu di TK, SD, SDLB dan SLB tingkat dasar, kecuali mata pelajaran pendidikan jasmani dan kesehatan serta agama.

2. Guru mata pelajaran adalah guru yang mempunyai tugas, tanggung jawab, wewenang dan hak secara penuh dalam proses belajar mengajar pada satu mata pelajaran tertentu di sekolah.

3. Guru praktik adalah guru yang mempunyai tugas, tanggung jawab, wewenang dan hak secara penuh dalam proses belajar mengajar pada kegiatan praktek di sekolah kejuruan atau balai latihan pendidikan teknik.

4. Guru pembimbing adalah guru yang mempunyai tugas, tanggung jawab, wewenang, dan hak secara penuh dalam kegiatan bimbingan dan konseling terhadap sejumlah peserta didik.

Sebutan guru pembimbing ini diganti dengan “guru bimbingan dan konseling atau konselor” yang terdapat di dalam Peraturan Pemerintah No. 74 Tahun 2008 Tentang Guru, dan diperkuat dengan Permendiknas No. 27 Tahun 2008 Tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Konselor.

Tabel 2.1 Perbedaan Ekspektasi Kinerja Konselor dengan Ekspektasi Kinerja Guru

SUMBER EKSPEKTASI KINERJA

KONSELOR EKSPEKTASI KINERJA GURU ABKIN, Krisis Identitas Profesi Konselor

Tidak menggunakan materi pembelajaran sebagai konteks layananbimbingan dan koseling yang memandirikan.

Menggunakan materi pembelajaran sebagai konteks layanan

Pembelajaran yang mendidik.

SK MENPAN No. 84/1993 Tentang Jabatan Fungsional Guru Dan Angka Kreditnya

Menyusun program bimbingan, melaksanakan program bimbingan, evaluasi pelaksanaan bimbingan, analisis hasil pelaksanaan

bimbingan, dan tindak lanjut dalam program bimbingan terhadap peserta didik yang menjadi tanggung jawabnya.

Menyusun program pengajaran, menyajikan program pengajaran, evaluasi belajar serta menyusun program perbaikan dan pengayaan terhadap peserta didik yang menjadi tanggung jawab

(6)

6

SUMBER EKSPEKTASI KINERJA

KONSELOR EKSPEKTASI KINERJA GURU Pasal 1 Keputusan Bersama Mendikbud dan BAKN Nomor 0433/P/1993 Nomor 25 Tahun 1993 Tentang Juklak jabatan fungsional guru dan

angka kreditnya

Penyusunan program bimbingan dan konseling adalah membuat rencana pelayanan bimbingan dan koseling dalam bidang pembiayaan pribadi/bimbingan sosial,

bimbingan belajar dan bimbingan kerier.

Pelaksanaan bimbingan dan konseling adalah melakukan fungsi pelayanan pemahaman,

pencegahan, pengentasan, pemeliharaan dan perbaikan dan pengembangan dalam bidang bimbingan pribadi/bimbingan sosial, bimbingan belajar dan bimbingan karier.

Evaluasi pelaksanaan bimbingan dan konseling adalah menilai keberhasilan layanan bimbingan dan konseling dalam bidang bimbingan pribadi, bimbingan sosial, bimbingan belajar, dan bimbingan karier.

Analisis hasil evaluasi pelaksanaan bimbingan dan konseling adalah menelaah hasil evaluasi

pelaksanaan bimbingan dan konseling yang mencakup layanan, orientasi, penempatan dan

penyaluran, konseling perorangan, bimbingan kelompok, konseling kelompok dan bimbingan pembelajaran, serta kegiatan pendukungnya.

Tindak lanjut pelaksanaan bimbingan dan konseling adalah kegiatan menindak lanjuti hasil analisis evaluasi tentang layanan orientasi, penempatan, dan penyaluran, konseling perorangan, bimbingan kelompok, konseling kelompok dan bimbingan pembelajaran serta kegiatan pendukungnya.

Penyusunan program pengajaran atau praktek adalah perencanaan kegiatan belajar mengajar yang meliputi perencanaan tahunan perencanaan catur wulan, dan perencanaan yang dituangkan dalam bentuk persiapan mengajar atau persiapan praktik.

Penyajian program pengajaran atau praktek adalah pelaksanaan kegiatan belajar mengajar atau kegiatan praktek berdasarkan rencana yang tertuang dalam persiapan mengajar atau persiapan praktek.

Evaluasi belajar atau praktek adalah penilaian proses dan hasil belajar dalam rangka memperoleh informasi proses dan hasil belajar.

Analisis hasil evaluasi belajar atau praktek adalah kegiatan mengolah dan menafsirkan informasi proses dan hasil belajar untuk mengetahui tingkat keberhasilan kegiatan belajar mengajar.

Penyusunan dan pelaksanaan program perbaikan dan pengayaan adalah upaya yang dilakukan guru untuk memperbaiki sebagian atau seluruh kesulitan yang dihadapi oleh peserta didik yang belum mencapai tingkat penguasaan yang ditetapkan dan bagi peserta didik yang sudah mencapai tingkat penguasaan yang ditetapkan, diberi kesempatan untuk mendalami materi pengajaran tertentu.

(7)

7

SUMBER EKSPEKTASI KINERJA

KONSELOR EKSPEKTASI KINERJA GURU ABKIN, Alur Pikir Pendidikan Profesional Konselor Dan Layanan Bimbingan dan Konseling Dalam Jalur Pendidikan Formal.

Melayani konseli normal dan sehat, menggunakan rujukan “layanan bimbingan dan konseling yang memandirikan”, sesuai dengan tuntutan realisasi diri (self realization) konseli melalui fasilitasi perkembangan kapasitasnya secara maksimal (capacity development). Meliputi kondisi pribadi klien misalnya penyesuaian diri, sikap, dan kebiasaan belajar, informasi dan pilihan karier, dsb

Menggunakan mata pelajaran sebagai konteks terapan

layanannya, menggunakan rujukan normatif “pembelajaran yang mendidik” yang terfokus pada layanan pendidikan sesuai dengan bakat, minat, dan kebutuhan peserta didik dalam proses pembudayaan sepanjang hayat dalam suasana pendidikan yang bermakna, menyenangkan, dialogis, dan dinamis menuju pencapaian tujuan utuh pendidikan.

Meliputi memberikan mata pelajaran bidang studi seperti mata pelajaran IPA, kimia, dll.

Ditjen PMPTK, Rambu-Rambu Penyelenggaraan Bimbingan dan Konseling Dalam Jalur Pendidikan Formal Ukuran keberhasilan:

 Kemandirian dalam kehidupan

 Lebih bersifat kualitatif yang unsur-unsurnya saling terkait ipsatif (karakter individu)

Pendekatan umum adalah pengenalan diri dan lingkungan oleh Konseli dalam rangka pengatasan masalah pribadi, sosial, belajar dan karier.

Perencanaan tindak intervensi: Kebutuhan pengembangan diri ditetapkan dalam proses transaksional konseli yang difasilitasi konselor.

Ukuran keberhasilan:

 Pencapaian Standar Kompetensi Lulusan

 Lebih bersifat kuantitatif

Pendekatan umum yang digunakan adalah pemanfaatan Instructional Effects &Nurturant Effects melalui pembelajaran.

Perencanaan tindak

intervensi: Kebutuhan belajar ditetapkan dulu untuk ditawarkan pada peserta didik.

Tabel 2.2Keunikan dan Keterkaitan Pelayanan Guru dan Konselor

No. Dimensi Guru Konselor

1. 1 Wilayah Gerak Sistem Pendidikan Formal Sistem Pendidikan Formal

2. 2 Tujuan Umum Pencapaian tujuan Pendidikan

Nasional

Pencapaian tujuan Pendidikan Nasional

3. 3 Konteks Tugas Pembelajaran yang mendidik melalui mata pelajaran dengan skenario guru

Layanan yang memandirikan dengan skenario konseli dan konselor

a a. a. Fokus Kegiatan Pengembangan kemampuan

penguasaan bidang studi dan masalah-masalahnya

Pengembangan potensi diri bidang pribadi, sosial, belajar dan karier serta masalah-masalahnya

b. b. b. Hubungan Kerja Referal Referal

4. 4 Target Intervensi

a. a. a. Individual Minim Utama

b. b. b. Kelompok Pilihan Strategis Pilihan Strategis

(8)

8

No. Dimensi Guru Konselor

5. 5 Ekspektasi Kerja

a. a.Ukuran Keberhasilan Pencapaian Standar

Kompetensi Lulusan (SKL), Bersifat kuantitatif

Kemandirian dalam kehidupan, Bersifat kualitatif

b. b.Pendekatan Umum Pemanfaatan Instructional Effects dan Nurturant Effect melalui pembelajaran yang mendidik

Pengenalan diri dan lingkungan oleh konseli dalam rangka

pengatasan masalah pribadi, sosial, belajar dan karier. Skenario tindakan merupakan hasil transaksi yang merupakan hasil konseli. c. c.Perencanaan tindak

intervensi

Kebutuhan belajar ditetapkan dulu untuk ditawarkan pada peserta didik

Kebutuhan pengembangan diri ditetapkan dalam proses transaksional konseli yang difasilitasi konselor d. d.Pelaksanaan tindak

intervensi

Penyesuaian proses berdasarkan respon ideosinkratik peserta didik yang lebih terstruktur

Penyesuaian proses berdasarkan respon ideosinkratik konseli dalam transaksi makna yang lebih lentur dan terbuka

Sumber : Dirjen PMPTK, 2007

C. Ekspektasi Kinerja Konselor Dalam Jalur Pendidikan Formal Menurut ABKIN

Ekspektasi kinerja lulusan program pendidikan profesional termasuk lulusan Program Pendidikan Profesional Konselor Pra jabatan, lazim diejawantahkan dalam bingkai profesionalisasi. Dengan kata lain, profesionalisasi suatu bidang layanan ahli termasuk layanan ahli di bidang bimbingan dan konseling

menandakan adanya (a) pengakuan dari masyarakat dan pemerintah bahwa kegiatannya merupakan layanan unik yang (b) didasarkan atas keahlian yang perlu dipelajari secara sistematis dan bersungguh-sungguh serta memakan waktu yang cukup panjang, sehingga (c) pengampunya diberikan penghargaan yang layak, dan (d) untuk melindungi kemaslahatan pemakai layanan, otoritas publik dan

organisasi profesi, dengan dibantu oleh masyarakat khususnya pemakai layanan, wajib menjaga agar hanya pengampu layanan ahli yang kompeten yang

mengedepankan kemaslahatan pemakai layanan, yang diizinkan menyelenggarakan layanan ahli kepada masyarakat (ABKIN: 2008).

Pada gilirannya ini berarti bahwa, secara konseptual terapan layanan ahli termasuk layanan ahli bimbingan dan konseling itu selalu merupakan

pengejawantahan seni yang berpijak pada landasan akademik yang kokoh (Gage, 1978). Penggunaan kerangka pikir seni yang berbasis penguasaan akademik yang

(9)

9

kokoh atau seni yang berbasis saintifik ini penting digarisbawahi karena dalam penyelenggaraan layanan ahli di setiap bidang perbantuan atau pemfasilitasian (the helping professions). Seorang pengampu layanan ahli, tidak terkecuali konselor, selalu berpikir dan bertindak dalam bingkai filosofik yang khas yang dibangunnya sendiri dengan mengintegrasikan apa yang diketahui dari hasil penelitian dan pendapat ahli dalam kawasaan keahliannya itu dengan apa yang dikehendaki oleh dirinya yang bisa sejalan akan tetapi juga bisa tidak sejalan dengan yang dikehendaki oleh masyarakat (pilihan nilai). Bingkai filosofik ini akan membentuk suatu wawasan atau worldview yang selalu mewarnai cara seorang konselor melihat dirinya, melihat tugasnya, melihat konseli yang hendak dilayaninya, pendeknya cara seorang konselor melihat dunianya (Corey, 2001). Akan tetapi disamping kesamaannya itu, juga terdapat ciri khas dari tiap tahapan kontekstual tiap bidang layanan ahli tersebut sehingga, meskipun sebagai

kemampuan, sosoknya sama yaitu mengedepankan kemaslahatan pengguna layanan, akan tetapi berbeda dari segi rujukan normatif yang digunakan sehingga bersifat khas untuk tiap konteks layanan ahli.

Sebagai perbandingan, karena mengemban misi yang berbeda, kiprah seorang konselor yang melayani konseli normal dan sehat, menggunakan rujukan “layanan bimbingan dan konseling yang memandirikan”, sesuai dengan tuntutan realisasi diri (self realization) konseli melalui fasilitasi perkembangan

kapasitasnya secara maksimal (capacity development), sedangkan seorang guru yang menggunakan mata pelajaran sebagai konteks terapan layanannya,

menggunakan rujukan normatif “pembelajaran yang mendidik” yang terfokus pada layanan pendidikan sesuai dengan bakat, minta, dan kebutuhan peserta didik dalam proses pembudayaan sepanjang hayat dalam suasana pendidikan yang bermakna, menyenang-kan, dialogis, dan dinamis menuju pencapaian tujuan utuh pendidikan.

Dengan kata lain, sebagaimana dikemukakan dalam bagian telaah yuridis, terdapat perbedaan yang mendasar dalam pendekatan dan teknik dalam pelak-sanaan layanan ahli yang diampu oleh konselor, dengan pendekatan dan teknik dalam pelaksanaan layanan ahli yang diampu oleh guru. Jelasnya, penyetalaan memang dilakukan secara sepihak pada tahap perancangan yang bertolak dari

(10)

10

identifikasi kebutuhan belajar siswa oleh guru, meskipun segara harus dilakukan penyetalaan sambil jalan secara transaksional dari waktu ke waktu (on-going adjusmentsi) sepanjang rentang episode pembelajaran dengan menggunakan “bahasa diskursis kelas yang khas” (Bellack, dkk. 1966). Penyetalaan sosok layanan selalu dilakukan dalam kedua jenis layanan ahli tersebut, karena kedua jenis layanan ahli digerakkan oleh motif altruistik dalam arti selalu menggunakan penyikapan yang empatik, menghormati keragaman, serta mengedepankan kemas-lahatan pengguna layanan dalam konteks kemaskemas-lahatan umum, sehingga harus dilakukan dengan mencermati Penataan Pendidikan Profesional Konselor dan Layanan Bimbingan dan Konseling dalam Jalur Pendidikan Formal kemungkinan dampak jangka panjang dari tindak layanannya itu terhadap pengguna layanan, bahkan terhadap lingkungan di mana pengguna layanan itu hidup. Oleh karena itu, tiap pengampu layanan ahli itu juga dinamakan “the reflective practitioner

(Schone, 1983), sehingga juga layak dikarakterisasikan sebagai “… a safe practitioner” (Direktorat PPTK-KPT Ditjen Dikti, 2003).

Perbedaan rentang usia peserta didik pada tiap jenjang memicu tampilnya kebutuhan pelayanan bimbingan dan konseling yang berbeda-beda pada tiap jenjang pendidikan. Batas ragam kebutuhan antara jenjang yang satu dengan jenjang yang lainnya tidak terbedakan sangat tajam. Dengan kata lain, batas perbedaan antar jenjang tersebut lebih merupakan suatu wilayah. Berikut ini digambarkan secara umum perbedaan ciri khas ekspektasi kinerja konselor di tiap jenjang pendidikan.

1. Jenjang Taman Kanak-kanak

Di jenjang Taman Kanak-kanak di tanah air tidak ditemukan posisi struktural bagi konselor. Pada jenjang ini fungsi bimbingan dan konseling lebih bersifat preventif dan developmental. Secara pragmatik, komponen kurikulum

pelaksanaan dalam bimbingan konseling yang perlu dikembangkan oleh konselor jenjang Taman Kanak-kanak Rambu-rambu Penyelenggaraan Bimbingan dan Konseling dalam Jalur Pendidikan Formal 4 membutuhkan alokasi waktu yang lebih besar dibandingkan dengan yang dibutuhkan oleh siswa pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Sebaliknya, pada jenjang Taman Kanak-kanak komponen perencanaan individual student planning (yang terdiri dari : pelayanan

(11)

11

appraisal, advicement transition planning) dan pelayanan responsive services, (yang berupa pelayanan konseling dan konsultasi) memerlukan alokasi waktu yang lebih kecil. Kegiatan konselor di jenjang Taman Kanak-kanak dalam

komponen responsive services, dilaksanakan terutama untuk memberikan layanan konsultasi kepada guru dan orang tua dalam mengatasi perilaku-perilaku

mengganggu (disruptive) siswa Taman Kanak-kanak. 2. Jenjang Sekolah Dasar

Sampai saat ini, di jenjang Sekolah Dasar-pun juga tidak ditemukan posisi struktural untuk konselor. Namun demikian sesuai dengan tingkat perkembangan peserta didik usia sekolah dasar, kebutuhan akan pelayanannya bukannya tidak ada meskipun tentu saja berbeda dari ekspektasi kinerja konselor di jenjang sekolah menengah dan jenjang perguruan tinggi. Dengan kata lain, konselor juga dapat berperan serta secara produktif di jenjang sekolah dasar, bukan dengan memposisikan diri sebagai fasilitator pengembangan diri peserta didik yang tidak jelas posisinya, melainkan dengan memposisikan diri sebagai Konselor Kunjung yang membantu guru sekolah dasar mengatasi perilaku menganggu (disruptive behavior), antara lain dengan pendekatan direct behavioral consultation. Setiap gugus sekolah dasar diangkat 2 (dua) atau 3 (tiga) konselor untuk memberikan pelayanan bimbingan dan konseling.

3. Jenjang Sekolah Menengah

Secara hukum, posisi konselor (penyelenggara profesi pelayanan bimbingan dan konseling) di tingkat sekolah menengah telah ada sejak tahun 1975, yaitu sejak diberlakukannya kurikulum bimbingan dan konseling. Dalam sistem

pendidikan Indonesia, konselor di sekolah menengah mendapat peran dan posisi/ tempat yang jelas. Peran konselor, sebagai salah satu komponen student support services, adalah men-suport perkembangan aspek-aspek pribadi, sosial, karier, dan akademik peserta didik, melalui pengembangan menu program bimbingan

dan konseling pembantuan kepada peserta didik dalam individual student

planning, pemberian pelayanan responsive2, dan pengembangan system support. Pada jenjang ini, konselor menjalankan semua fungsi bimbingan dan konseling. Setiap sekolah menengah idealnya diangkat konselor dengan perbandingan 1 : 100.

(12)

12 4. Jenjang Perguruan Tinggi

Meskipun secara struktural posisi konselor Perguruan Tinggi belum tercantum dalam sistem pendidikan di tanah air, namun bimbingan dan konseling dalam rangka men-“support” perkembangan personal, sosial akademik, dan karier

mahasiswa dibutuhkan. Sama dengan konselor pada jenjang pendidikan Taman Kanak-kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah, konselor Perguruan Tinggi juga harus mengembangkan dan mengimplementasikan kurikulum pelayanan dasar bimbingan dan konseling, individual student planning, responsive services, serta

system support. Namun, alokasi waktu konselor perguruan tinggi lebih banyak pada pemberian bantuan individual student career planning dan penyelenggaraan

responsive services. Setiap perguruan tinggi menyelenggarakan pelayanan bimbingan dan konseling melalui suatu unit yang ditetapkan pimpinan perguruan tinggi yang bersangkutan.

D. Ekspektasi Kinerja Konselor Tidak Sama dengan Helping Profession Yang Lain

1. Psikolog

Psikolog adalah seorang ahli yang telah menyelesaikan program belajar dalam ilmu psikologi dengan spesialisasi (psikologi klinis, psikologi industri, psikologi pendidikan). Seorang psikolog sekurang-kurangnya telah menempuh pendidikan Sarjana dan Program Profesi pada Fakultas Psikologi. Walaupun psikolog dilatih untuk menangani semua orang dengan kondisi gangguan

psikologis, mereka diwajibkan untuk menangani pasien/klien hanya pada bidang di mana merupakan spesialisasi mereka. Psikolog secara formal dapat

mendiagnosis kondisi psikologis pasien dengan menggunakan tes psikologi serta menggunakan teknik terapi untuk menyembuhkan kondisi klien/pasien, namun mereka tidak dapat memberikan resep obat.

2. Psikiater

Psikiater adalah dokter medis yang mempunyai spesialisasi dalam bidang penyembuhan kelainan-kelainan mental. Seorang psikiater sekurang-kurangnya telah menyelesaikan pendidikan Sarjana Kedokteran dan Program Profesi (dokter) serta mengambil spesialisasi Psikiatri. Psikiatri adalah bidang spesialisasi dalam

(13)

13

ilmu kedokteran yang mengkhususkan diri dalam penelitian, diagnosa, proses pencegahan dan penyembuhan kelainan mental dan perilaku yang tidak normal beserta sejumlah masalah yang berhubungan dengan penyesuaian diri (personal adjustment). Psikiater menggunakan obat-obatan (dapat memberikan resep obat) dan menggunakan terapi untuk merawat dan menangani pasien.

3. Dokter

Dokter adalah seorang lulusan pendidikan kedokteran yang ahli dalam hal penyakit dan pengobatannya. Seorang dokter sekurang-kurangnya telah

menyelesaikan pendidikan Sarjana Kedokteran dan Program Profesi (dokter). Bantuan yang diberikan melalui pengobatan dan terapi secara medis dengan menggunakan obat-obatan tertentu.

4. Konselor (Guru Pembimbing)

Konselor adalah seseorang yang memiliki keahlian dalam melakukan konseling dan telah menyelesaikan pendidikan secara akademis serta memiliki pengalaman latihan-latihan keterampilan secara profesional. Seorang konselor sekurang-kurangnya Sarjana lulusan Bimbingan dan Konseling. Konselor dapat menyediakan layanan terapi, tetapi mereka tidak dapat mendiagnosa kondisi psikologis, khususnya dapat melakukan diagnosa psikologis awal konseli yang dilayani berupa mendiagnosa kesulitan belajar, kemampuan akademik, minat, bakat, dan sebagainya. Namun konselor tidak dapat menggunakan tes psikologi yang berbentuk “tes proyektif” dalam mendiagnosa kondisi psikologis klien atau konseli yang dilayani, dan juga konselor tidak dapat memberikan resep obat.

E. Konselor Profesional

Keberadaan konselor dalam sistem pendidikan nasional dinyatakan sebagai salah satu kualifikasi pendidik, sejajar dengan kualifikasi guru, dosen, pamong belajar, tutor, widyaiswara, fasilitator, dan instruktur (UU No. 20 Tahun 2003 Pasal 1 Ayat 6). Kesejajaran posisi ini tidaklah berarti bahwa semua tenaga pendidik itu tanpa keunikan konteks tugas dan ekspektasi kinerja. Demikian juga konselor memiliki keunikan konteks tugas dan ekspektasi kinerja yang tidak persis sama dengan guru. Hal ini mengandung implikasi bahwa untuk masing-masing kualifikasi pendidik, termasuk konselor, perlu disusun standar kualifikasi

(14)

14

akademik dan kompetensi berdasar kepada konteks tugas dan ekspektasi kinerja masing-masing.

Sosok utuh kompetensi konselor mencakup kompetensi akademik dan profesional sebagai satu keutuhan. Kompetensi akademik merupakan landasan ilmiah dari kiat pelaksanaan pelayanan profesional bimbingan dan konseling. Kompetensi akademik merupakan landasan bagi pengembangan kompetensi profesional, yang meliputi: (1) memahami secara mendalam konseli yang

dilayani, (2) menguasai landasan dan kerangka teoretik bimbingan dan konseling, (3) menyelenggarakan pelayanan bimbingan dan konseling yang memandirikan, dan (4) mengembangkan pribadi dan profesionalitas konselor secara

berkelanjutan.

1. Kualifikasi Akademik Konselor

Konselor adalah tenaga pendidik profesional yang telah menyelesaikan pendidikan akademik strata satu (S-1) program studi Bimbingan dan Konseling dan program Pendidikan Profesi Konselor dari perguruan tinggi penyelenggara program pengadaan tenaga kependidikan yang terakreditasi. Sedangkan bagi individu yang menerima pelayanan profesi bimbingan dan konseling disebut konseli, dan pelayanan bimbingan dan konseling pada jalur pendidikan formal dan nonformal diselenggarakan oleh konselor. Kualifikasi akademik konselor dalam satuan pendidikan pada jalur pendidikan formal adalah:

a. Sarjana pendidikan (S-1) dalam bidang Bimbingan dan Konseling. b. Berpendidikan profesi konselor.

2. Kompetensi Konselor

Rumusan Standar Kompetensi Konselor telah dikembangkan dan dirumuskan atas dasar kerangka pikir yang menegaskan konteks tugas dan ekspektasi kinerja konselor. Namun bila ditata ke dalam empat kompetensi pendidik sebagaimana tertuang dalam PP 19/2005, maka rumusan kompetensi akademik dan profesional konselor dapat dipetakan dan dirumuskan ke dalam kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional sebagaimana termaktub dalam Permendiknas Nomor 27 Tahun 2008 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Konselor.

(15)

15 BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan

Penegasan ekspektasi kinerja bahwa konselor berpikir dan bertindak dalam bingkai filosofik yang khas yang dibangunnya sendiri dengan mengintegrasikan apa yang diketahui dari hasil penelitian dan pendapat ahli yang akan membentuk suatu wawasan atau worldview yang selalu mewarnai cara seorang konselor melihat dirinya, melihat tugasnya, melihat konseli yang hendak dilayaninya, pendeknya cara seorang konselor melihat dunianya.

Konselor juga digerakkan oleh motif altruistik dalam arti selalu menggunakan penyikapan yang empatik, menghormati keragaman, serta

mengedepankan kemaslahatan pengguna layanan, yang dilakukan dengan dengan selalu mencermati kemungkinan dampak jangka panjang dari tindak layanannya itu terhadap pengguna layanan, sehingga juga layak dinamakan“… a safe practitioner”.

Permendiknas No. 27 Tahun 2008 menetapkan kualifikasi akademik dan kompetensi konselor yang dikembangkan dan dirumuskan atas dasar kerangka pikir yang menegaskan konteks tugas dan ekspektasi kinerja konselor. Sosok utuh kompetensi konselor mencakup kompetensi akademik dan profesional sebagai satu keutuhan.

B. Saran

Penegasan ekspektasi kinerja konselor akan terwujud jika ada kesadaran untuk melaksanakan ketentuan tentang kualifikasi akademik dan kompetensi konselor sehingga layak dinamakan konselor profesional.

(16)

16

DAFTAR RUJUKAN

Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia. 2007. Penataan Pendidikan

Profesional Konselor dan Layanan Bimbingan dan Konseling dalam Jalur Pendidikan Formal (Naskah Akademik). Bandung: ABKIN.

Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia. 2007. Rambu-Rambu

Penyelenggaraan Bimbingan dan Konseling dalam Jalur Pendidikan Formal (Naskah Akademik). Bandung: ABKIN.

Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia. 2008. Krisis Identitas Profesi Bimbingan dan Konseling. Bandung: ABKIN.

Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan. 2007. Rambu-Rambu Penyelenggaraan Bimbingan dan Konseling Dalam Jalur Pendidikan Formal (Naskah Akademik). Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.

Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara. 1993. Surat Keputusan Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara No. 84/1993. Tentang Jabatan Fungsional Guru Dan Angka Kreditnya. Jakarta: Kementerian Negara Pendayagunaan Aparatur Negara

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. 1995. Surat Keputusan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan No. 25. Tentang Petunjuk Pelaksanaan Jabatan

Fungsional Guru dan Angka Kreditnya. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Menteri Pendidikan Nasional. 2008. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 27 Tahun 2008 Tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Konselor. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.

Arjanto, Paul. 2011. Ekspektasi Kinerja Konselor Tida Sama Dengan Guru. (online) (http://paul-arjanto.blogspot.com/2011/06/konteks-tugas-konselor.html, diakses, 5 Oktober 2011).

Psikolog, Psikiater, Dokter dan Konselor (Guru Pembimbing). (online)

(http://gumilar.edublogs.org/bimbingan-konseling/, diakses, 3 Nopember 2011)

Peraturan Pemerintah No. 74 Tahun 2008 Tentang Guru. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.

Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.

Gambar

Tabel 2.1 Perbedaan Ekspektasi Kinerja Konselor dengan Ekspektasi  Kinerja Guru
Tabel 2.2  Keunikan dan Keterkaitan Pelayanan Guru dan Konselor

Referensi

Dokumen terkait

Posted at the Zurich Open Repository and Archive, University of Zurich. Horunā, anbēru, soshite sonogo jinruigakuteki shiten ni okeru Suisu jin no Nihon zō. Nihon to Suisu no kōryū

Ketiga tesis di atas secara substantif memang meneliti tentang pemasaran pendidikan di sebuah lembaga, baik pada sekolah tingkat menengah maupun sekolah tinggi. Akan

[r]

Ia juga mengajak relawan dari mahasiswa IPB University terutama yang tinggal di dalam kampus untuk bersama-sama membantu memberikan makan kucing secara

Dengan adanya evaluasi baik secara internal dan eksternal Himpunan jurusan khususnya Himpunan Mahasiswa Mesin (HMM) dapat mengakomodir segala bentuk aspirasi dari seluruh

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh waktu pemaparan cuaca ( weathering ) terhadap karakteristik komposit HDPE–sampah organik berupa kekuatan bending dan

yang dikeluarkan perusahaan untuk program imbalan berbasis ekuitas atau untuk pekerja (atau instrumen keuangan ekuitas yang diterbitkan perusahaan yang keuangan ekuitas