PENGANTAR REDAKSI
Syukur Alhamdulillah kita panjatkan kehadirat Allah SWT, karena hanya dengan rahmat-Nya segala yang kita lakukan dengan kerja keras dapat terlaksana dengan baik. Jurnal Etnoreflika Volume 2 Nomor 1 bulan Februari tahun 2013 telah terbit dengan menyajikan 9 (sembilan) tulisan. Ke sembilan tulisan tersebut merupakan hasil penelitian dari sejumlah dosen dengan berbagai disiplin ilmu, yakni sosial dan budaya yang berasal dari jurusan yang berbeda-beda. Jurnal Etnoreflika Volume 1 Nomor 2, Februari 2013, memuat tulisan sebagai berikut:
Permasalahan Aktual Kebudayaan di Provinsi Sulawesi Tengah.
Kepemimpinan Lokal dalam Pelestarian Budaya Buton pada Masyarakat Katobengke di Kota Bau-bau.
Ritual Puhora’ano Sangia pada Masyarakat Cia-cia Burangasi Kabupaten Buton. Interaksi Sosial Pengikut Ahmadiyah Berbasis Kearifan Lokal di Kabupaten Konawe
Selatan.
Etos Kerja dan Nilai Sosial Budaya Masyarakat Tolaki di Kecamatan Tongauna Kabupaten Konawe.
Makna Hutan Bagi Masyarakat Adat Kajang, Suatu Kearifan Lokal dalam Pelestarian Lingkungan.
Komunikasi Simbolik Masjid Agung Keraton Buton (Mengungkap Eksistensi Masjid dan Ekspresi Kesadaran Integratif Kolektif dalam Sistem Sosial Kultural Masyarakat Buton).
Tradisi Lisan Kinoho/Lolamoa (Pantun): Pesan Kearifan Lokal pada Masyarakat Etnis Tolaki di Kabupaten Konawe Sulawesi Tenggara
Model Pendidikan Karakter Berbasis Tradisi Katoba dalam Budaya Masyarakat Muna di Sulawesi Tenggara (Suatu Kajian Komunikasi Budaya Sebagai Upaya Pelestarian Kearifan Lokal)
Semoga sajian dalam jurnal ini, dapat memberikan kontribusi, informasi maupun wawasan baru dalam bidang sosial dan budaya khususnya di daerah Sulawesi Tenggara.
Volume 2, Nomor 1, Februari 2013
DAFTAR ISI
Sulaiman Mamar Muh. Amir La Janu Dewi Anggraini Sarmadan Jumrana La Ode Jumaidin Sutiyana Fachruddin Asriani Hasriany Amin 102-109 110-117 118-123 124-135 136-149 150-160 161-170 171-178 179-191Permasalahan Aktual Kebudayaan di Provinsi Sulawesi Tengah
Kepemimpinan Lokal dalam Peles-tarian Budaya Buton pada Masyara-kat Katobengke di Kota Bau-bau Ritual Puhora’ano Sangia pada Masyarakat Cia-cia Burangasi Kabu-paten Buton
Interaksi Sosial Pengikut Ahmadiyah Berbasis Kearifan Lokal di Kabupat-en Konawe Selatan
Etos Kerja dan Nilai Sosial Budaya Masyarakat Tolaki di Kecamatan Tongauna Kabupaten Konawe Makna Hutan bagi Masyarakat Adat Kajang, Suatu Kearifan Lokal dalam Pelestarian Lingkungan
Komunikasi Simbolik Masjid Agung Keraton Buton (Mengungkap Eksis-tensi Masjid dan Ekspresi Kesadaran Integratif Kolektif dalam Sistem So-sial Kultural Masyarakat Buton) Tradisi Lisan Kinoho/Lolamoa
(Pantun): Pesan Kearifan Lokal pada Masyarakat Etnis Tolaki di Kabupat-en Konawe Sulawesi TKabupat-enggara Model Pendidikan Karakter Berbasis Tradisi Katoba dalam Budaya
Masyarakat Muna di Sulawesi Tenggara (Suatu Kajian Komunikasi Budaya Sebagai Upaya Pelestarian Kearifan Lokal)
ETNOREFLIKA
VOLUME 2 No. 1. Februari 2013. Halaman 171-178
171
TRADISI LISAN KINOHO/LOLAMOA (PANTUN): PESAN KEARIFAN LOKAL PADA MASYARAKAT ETNIS TOLAKI DI KABUPATEN KONAWE
SULAWESI TENGGARA*
Sutiyana Fachruddin **
Asriani***
ABSTRAK
Setiap budaya merupakan aset kearifan lokal yang memiliki nilai sejarah yang patut dilestarikan, diwariskan secara berkesinambungan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Tradisi lisan sebagai warisan budaya dapat dijadikan sebagai salah satu pintu masuk untuk memahami lebih jauh masyarakat dan budaya mereka. Tradisi lisan seharusnya bisa dimanfaatkan pada masa kini untuk membangkitkan kembali nilai-nilai bermasyarakat yang baik dalam kehidupan. Peran penting tradisi lisan dalam suatu masyarakat terletak pada kemampuannya mengkomunikasikan tradisi, pengetahuan, dan adat-istiadat etnis tertentu, atau menguraikan pengalaman-pengalaman manusia baik dalam dimensi perseorangan maupun dimensi sosial, kepada etnik lain. Tradisi lisan ini terdiri dari beberapa bentuk, salah satunya adalah pantun.
Masyarakat Tolaki menamakan pantun sebagai kinoho atau lolamoa. Pantun tersebut berisi syair
sindiran, nasehat, sumpah atau perjanjian. Pantun ini biasanya disampaikan dalam upacara adat dan saat penyambutan tamu pada pesta perkawinan atau tamu-tamu pemerintahan yang datang berkunjung.
Kata kunci: pantun, pesan kearifan lokal, tradisi lisan, masyarakat etnis Tolaki
ABSTRACT
[
Every indigeneous culture is an asset that has a value that should be in the preserve
history, passed down continuously from one generation to the next. Oral Tradition as a culture heritage can be used as one of the entrances to further understand the people and their culture. Oral Tradition should be used at the present time to revive the values of good for people in their life. An important role of tradition in a society lies in its ability to communicate the tradition, knowledge, and certain etnic custom, or can be describe human experiences in both individual and social dimension, to the other ethnic groups. This oral tradition consisted of several forms, such as rhyme. For the people of Tolaki, rhyme reffered to as kinoho or lolamoa. This verse is usually delivered in a traditional ceremony, reception as guests at the wedding or government guests who come to visit. Kinoho or lolamoa contains satire, advices, oath and covenant.
Key words: rhyme, lokal wisdom message, oral tradition, people of etnic Tolaki
*Hasil Penelitian
**Staf Pengajar Jurusan Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik, Universitas Haluoleo,
Kendari.
** Staf Pengajar Jurusan Ilmu Administrasi Negara, Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik, Universitas
Etnoreflika, Vol. 2, No. 1, Februari 2013: 171-178
172 A. PENDAHULUAN
Keanekaragaman suku bangsa di Indonesia merupakan kekayaan budaya yang memiliki nilai-nilai kearifan lokal. Kearifan lokal merupakan modal utama masyarakat dalam membangun dirinya tanpa merusak tatanan sosial maupun lingkungan sekitarnya yang mudah meng-alami penyesuaian dan pembaharuan. Kea-rifan lokal merupakan gagasan-gagasan atau nilai-nilai, pandangan-padangan sete-mpat atau (lokal) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya dalam mewujudkan suasana aman dan tentram, namun dapat pula berlaku se-baliknya jika nilai-nilai kearifan lokal suatu daerah di anggap lebih tinggi dari daerah lainnya. Kearifan lokal diwariskan secara turun-temurun, dan dibangun dari nilai-nilai sosial yang dijunjung dalam struktur sosial masyarakat sendiri, memiliki fungsi sebagai pedoman, pengontrol, dan rambu-rambu untuk berperilaku dalam berbagai dimensi kehidupan baik saat berhubungan dengan sesama maupun dengan alam.
Eksistensi kearifan lokal mulai me-ngalami tantangan seiring dengan perkem-bangan zaman. Perkemperkem-bangan pengeta-huan, kemajuan teknologi sangat berpeng-aruh pada perubahan gaya hidup dan pola hidup masyarakat. Warga masyarakat me-ngalami berbagai perubahan cara hidup, gaya hidup, bahkan pandangan hidup mereka. Giddens (2005,9-15) mengemuka- kan bahwa perubahan ini merupakan anca- man bagi kerberadaan tradisi lokal sebagai warisan budaya yang mengandung nilai, identitas dan simbol-simbol kehidupan ma- syarakat. Tantangan zaman ini bukan saja hanya berdampak pada kemunduran nilai-nilai budaya lokal, tetapi juga akan mengancam terjadinya kepunahan berbagai aspek kebudayaan, seperti tradisi lisan yang berkembang secara turun-temurun sebagai bentuk warisan budaya dari generasi sebe-lumnya.
Tradisi lisan sebagai aktivitas kul-tural mengandung aspek estetika dan moral, berfungsi dalam menyebarkan aspek-aspek moral dan etika yang terdapat di dalamnya. Nilai-nilai karakter yang terkandung di dalamnya merupakan suatu kekuatan yang diyakini menjadi akar dalam menopang keutuhan suatu bangsa. Dengan demikian diperlukan suatu upaya pengembangan nilai-nilai kearifan lokal dalam tradisi yang mulai kehilangan maknanya bagi masya-rakat. Tradisi lisan atau folklor lisan bisa berbentuk cerita, teka-teki, puisi rakyat, cerita prosa rakyat, dan nyanyian rakyat. Peran penting tradisi lisan dalam suatu masyarakat terletak pada kemampuannya mengkomunikasikan tradisi, pengetahuan, dan adat-adat istiadat etnis tertentu, atau menguraikan pengalaman-pengalaman ma-nusia baik dalam dimensi perseorangan maupun dimensi sosial, kepada etnik lain.
Tradisi lisan sebagai warisan bu-daya dapat dijadikan sebagai salah satu pintu masuk untuk memahami lebih jauh masyarakat dan budaya mereka. Tradisi lisan seharusnya bisa dimanfaatkan pada masa kini untuk membangkitkan kembali nilai-nilai bermasyarakat yang baik dalam kehidupan. Salah satu etnis asli yang ada di Provinsi Sulawesi Tenggara adalah etnis Tolaki. Sebagaimana daerah lain di nusan-tara, suku Tolaki juga memiliki tradisi tutur yang mengandung nilai-nilai kearifan lokal dan identitas budayanya. Tradisi tutur ini dikemas sebagai suatu pesan yang terdiri dari beberapa bentuk yang dikenal oleh masyarakat sebagai pantun (kinoho) dan nyanyian tradisional (sua-sua). Dalam tra-disi ini memiliki aturan dalam menyam-paikannya, baik dari konteksnya maupun isi dan gaya penyampaiannya. Oleh karena itu, pantun dalam tradisi tutur masyarakat Tolaki akan dikaji menurut bentuk, isi mau- pun gaya penyampaiannya dengan pen-dekatan ilmu komunikasi.
Sutiyana & Asriani-Tradisi Lisan Kinoho/Lolamoa (Pantun): Pesan Kearifan Lokal pada Masyarakat Etnis Tolaki di Kabupaten Konawe Sulawesi Tenggara
173 B. METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan untuk mema-hami dan mendeskripsikan bentuk tradisi lisan pantun daerah pada masyarakat etnis Tolaki Kabupaten Konawe di Sulawesi Tenggara. Untuk mempermudah jalannya penelitian, maka dilakukan melalui bebe- rapa tahapan, dimulai dari tahap per-siapan yakni pengumpulan bahan pustaka dan survey atau pengamatan awal di lapangan guna memastikan fenomena yang akan dikaji dan tersedianya data etnografi yang dapat dipublikasikan. Setelah tahap per-siapan dilaksanakan, selanjutnya ke lokasi penelitian guna mengumpulkan data dengan teknik pengamatan dan wawancara men- dalam, Tahap selanjutnya adalah mengana- lisis dan menginterpretasi data sehingga nampak luaran yang dihasilkan. Analisis data dalam penelitian kualitatif dilakukan secara terus-menerus sepanjang proses pe-nelitian berlangsung, yang dilakukan secara deskriptif kualitatif dan interpretatif.
C. ASAL USUL ORANG TOLAKI Suku Tolaki, salah satu suku ter-besar yang ada di Propinsi Sulawesi Teng-gara. Hasil penelusuran literatur mengenai sejarah kebudayaan Tolaki mengungkap- kan mengenai penelitian dan pendapat mereka tentang sejarah asal-usul orang Tolaki dan persebarannya. Sebagaimana yang diungkapkan Alb.C. Kruyt (1920) seorang peneliti dari Belanda dalam Tamburaka (2006), menyatakan bahwa “suku Tolaki mempunyai pertalian darah dengan suku Malili di daerah Mori, hampir pasti perpindahannya berasal dari Utara ke Selatan menempati dan menduduki tempat sekarang ini yakni sepanjang sungai Lasolo yang bersumber dari Danau Towuti”.
Asal usul persebaran orang Tolaki oleh beberapa peneliti lokal maupun barat (misionaris zending Kristen Belanda) men-jelaskan mengenai asal-usul orang Tolaki adalah berasal dari Hok Bin, Tiongkok Se-latan pada tahun 6000 SM. Beberapa
pen-dapat menyatakan penduduk Tolaki berasal dari daerah/wilayah sekitar Tongkin (per-batasan antara Birma-Kamboja Tiongkok bagian Selatan), yang melakukan perjalanan panjang dalam rentang waktu yang lama melalui kepulauan Hiruku Jepang ke kepu-lauan di Filiphina Selatan, pulau-pulau yang tersebar di bagian Timur Sulawesi de-ngan menggunakan perahu-perahu cadik yang sangat sederhana melalui sungai La-solo dan kemudian secara bergelombang tiba dan membangun pemukiman di sekitar danau Mahalona dan danau Matana.
Rombongan pertama yang tiba di danau Mahalona dan danau Matana ke-mudian disusul oleh kedatangan rom-bongan kedua pada 4000 tahun SM, selan-jutnya terakhir rombongan ketiga pada 2000 tahun SM yang kemudian mendesak rombongan pertama, yang menjadi puak-puak leluhur orang Tolaki menyebar dalam berbagai rombongan kelompok suku-suku yang tersebar di seluruh pelosok bagian Utara, Timur, Selatan dan Barat Sulawesi. Mengutip penjelasan dari Dr. Albert C. Kruyt bahwa semua suku-suku bangsa yang ada di Sulawesi yang menggunakan Fonem bahasa “To” yang berarti “orang” seperti To Luwuk, To Banggai, To Mori, To Nsea, To Mohon, To Bungku, To Mornene, To laki, dan sebagainya memiliki pertalian darah atau asal-usul yang sama yaitu ber-asal dari Moro Filiphina Selatan yang sejak 6000 tahun SM, telah tiba di Utara, kemudian melanjutkan perjalanan secara bergelombang masuk ke daratan pulau Sulawesi dari arah Timur dan karena desa-kan peperangan, wabah penyakit dan sebab-sebab persaingan lalu terpecah-pecah me-nyebar ke berbagai arah dan pemukiman-pemukiman yang baru kemudian memba-ngun kehidupan kelompok yang melahirkan berbagai perpecahan suku-suku dengan adat istiadat dan bahasa yang berbeda-beda. (mengutip Kruyt, Alberts C Een Ander over Tolaki van Mekongga (Zuid Oost Celebes) (Tijdschriff voor Indhiche, Taal, land en Volkekunde Deel LXI. Alberecht & Co,
Etnoreflika, Vol. 2, No. 1, Februari 2013: 171-178
174 Batavia, 1922) hlm.XXXIV. dalam Basrin Melamba dan Tasman Taewa, 2011, hal 8)
Tradisi lisan orang tolaki meng- isahkan asal usul leluhur mereka dari kayangan atau sebagai dewa yang turun dari langit, yaitu tolahinga atau orang yang berasal dari langit (kerajaan langit). Menurut Tarimana (1993), mungkin yang dimaksud “langit” adalah “kerajaan langit” sebagaimana dikenal dalam budaya Cina (Granat, dalam Needhan 1973 yang dikutip Tarimana). Dalam dugaannya, ada keter- kaitan antara kata “hiu” yang dalam bahasa Cina berarti “langit” dengan kata “heo” (Tolaki) yang berarti “ikut pergi ke langit”.
Pada masa lalu sebelum menganut agama samawi, orang Tolaki memiliki ke-percayaan pada dewa-dewa yang di sebut Sangia yang menguasai jagad raya dan kehidupan manusia. Kepercayaan terhadap Sangia ini terdiri atas tiga Sangia Utama yakni : Sangia Mbuu (dewa pokok) sebagai pencipta alam, Sangia Wonua (dewa negeri) sebagai pemelihara alam, dan Sa-ngia Mokora (dewa pemusnah alam). Se-lain kepercayaan atas dewa-dewa (Sangia) masyarakat Tolaki juga memiliki keper-cayaan animisme lainnya seperti meyakini adanya roh-roh yang mendiami semua be-nda yang disebut “sanggoleo” dan tradisi mongae sebagaimana pada beberapa suku bangsa lain seperti Dayak, Irian Jaya, Batak dan Toraja terdapat unsur “Koppensnellen” (mengayau atau penggal kepala).
D. BENTUK SENI DAN BUDAYA OR- ANG TOLAKI
Sebagaimana suku bangsa lain di Nusantara ini, orang Tolaki juga mengenal beberapa bentuk seni sastra. Sastra dalam bentuk prosa dan sastra dalam bentuk puisi (Tarimana, 1985:256) dengan uraian seba-gai berikut:
1. Sastra dalam bentuk prosa terdiri : a. Onango (dongeng), isinya
menggam-barkan asal mula kejadian dari unsur alam, juga menggambarkan sifat dan
tingkah laku binatang yang baik dan yang buruk, yang dapat dicontoh oleh manusia seperti dongeng kolopua ano o’hada (kura-kura dan kera);
b. Tula-tula (kisah) menggambarkan liku-liku kehidupan tokoh-tokoh masy-arakat yakni kisah Oheo (kisah manusia pertama orang Tolaki), kisah Onggabo (penyelamat dan pelanjut kerajaan Konawe);
c. Kukua (silsilah) menggabarkan silsilah mengenai suatu kerajaan dan nama-nama rajanya secara turun temurun;
d. Peoliwi (pesan-pesan leluhur) isinya menggambarkan ajaran moral, nasehat dan petuah bagi kehidupan seseorang, keluarga dan bagi kehidupan masya-rakat yang lebih luas.
2. Sastra dalam bentuk puisi terdiri atas; a. Taenango (syair yang berirama) isi-
nya menggambarkan sifat berani, watak ksatria, kepahlawanan, seperti syair Tebaununggu ”Tebaununggu Temalau Wonua”;
b. Kinoho atau lolamoa (pantun) isinya menggambarkan pujian, cemohan,dan sindiran;
c. O’doa (mantera) berisi pujian, pujaan dan harapan dan permohonan yang ditujukan pada makhluk halus, dewa-dewa, Tuhan baik sebagai tanda syukur maupun sebagai penolak bala; d. Singguru (teka-teki) berisi ungkapan,
pikiran, dan perasaan yang memer-lukan tebakan yang tepat;
e. Bitara ndolea (perumpamaan) isinya mengandung maksud mempertemu- kan dua pendapat yang berbeda deng- an menggunakan bahasa kiasan (Tari-mana,1990).
E.PANTUN DALAM TRADISI LISAN MASYARAKAT SUKU TOLAKI
Setiap budaya merupakan aset kea-rifan lokal yang memiliki nilai sejarah yang patut dilestarikan, diwariskan secara
ber-Sutiyana & Asriani-Tradisi Lisan Kinoho/Lolamoa (Pantun): Pesan Kearifan Lokal pada Masyarakat Etnis Tolaki di Kabupaten Konawe Sulawesi Tenggara
175 kesinambungan dari satu generasi ke gene- rasi berikutnya. Lebih lanjut dapat menjadi landasan dalam perencanaan dan pem-binaan interaksi sosial masyarakat. Kebu-dayaan lisan masyarakat Tolaki seperti juga di daerah lain, dituturkan secara turun-temurun dan tidak diketahui pasti siapa penciptanya. Namun dari beberapa tradisi lisan yang ada, terdapat ungkapan yang masih melekat erat dalam kehidupan masy-arakat Tolaki. Berikut ini dikemukakan bentuk pantun pada masyarakat Suku To-laki:
1. Kinoho Mbesadola (Pantun Pergaul-
an)
Pantun ini merupakan pantun yang berisi kiasan atau sindiran, sebagai berikut: a. Contoh kiasan yang dilontarkan se-
orang pemudi pada seorang pemuda jika seorang pemudi menolak perasa- an cinta si pemuda, seperti :
“kumokondo-kondo keku anandokondo mau mate mekondo tato onggo metonda”
Maksudnya: “walaupun kamu berusaha dekat dengan saya, saya tidak akan bisa jalan dengan kamu”. Pantun ini berisi penolakan secara halus dari seorang pemudi kepada seorang pe- muda.
“Tambukuru ipitu Sinonggi rua wingi Maku ipitukura Taku onggo ikiro”
Maksudnya: “walaupun dipaksa, saya tidak akan suka”. Pantun di atas sebagai penolakan keras dari seorang pemudi kepada seorang pemuda yang diungkapkan dengan kata-kata yang hal- us. Penolakan ini terjadi karena di masa lalu di kalangan masyarakat Tolaki ter- kadang seorang pemuda jika merasa cintanya akan ditolak sang pemudi maka dia akan berusaha keras agar cintanya bisa diterima, misalnya dengan men-
dekati kedua orang tua sang pemudi, se- hingga dikenal adanya perjodohan (dijo-dohkan) walaupun sang pemudi tidak su- ka. Dengan kondisi yang seperti itu ma- ka seorang pemudi mengungkapkan pe- rasaannya kepada pemuda melalui pan- tun.
b. Pantun yang mengandung sindiran pada seseorang yang sering keluar rumah tanpa urusan yang jelas, dalam masya- rakat Tolaki dikenal dengan istilah tam- beololaika, seperti :
“pasapu beta-beta Teopo beta-beta
Pasapu tambeololaika”
Sindiran di atas biasanya diberi- kan kepada orang yang sering keluar rumah atau bertamu di rumah tetangga tanpa urusan yang jelas dan tidak meng- enal waktu-waktu bertamu. Dalam ma- syarakat Tolaki sikap tambeololaika merupakan kebiasaan yang dianggap tidak baik, sebab jika seseorang suka atau pun senang menghabiskan waktu- nya di rumah tetangga atau teman tanpa urusan yang jelas biasanya mencermin- kan orang tersebut memiliki sifat pe- malas dan suka menceritakan kebu-rukan orang lain.
2. Kinoho Agama
Islam memberikan pengaruh dalam bidang seni dan sastra Tolaki khususnya dalam bidang puisi, berupa munculnya kinoho agama atau lolamoa (pantun di bidang agama khususnya Islam). Kinoho agama adalah salah satu jenis kinoho yang biasa disampaikan pada acara yang bersifat ritual atau keagamaan, seperti baca doa (mobasa o’doa), selamatan dan tahlilan (taholele). Ungkapan pantun (kinoho) ini merupakan nasehat dari pemuka agama yang di dalamnya mengungkapkan sebagai berikut:
“Keno otandato dunggu terondo Dungguito mberano banggo-banggo
Etnoreflika, Vol. 2, No. 1, Februari 2013: 171-178
176 Keno malaekato meori nggombule
To’ono motulei tomotanggo-tanggo Kotupa Nabi keno kinondo
Hende Watumetala ineteteaha Peoliwi Nabi niniwatuakondo Iamo totekolupe lako inemateaha Artinya:
Jika tanda telah mendahului Sampailah atas sarung di dada
Dan kalau Malaikat telah memanggil pu-lang
Tidak dapat ditangguhkan lagi Ketupat Nabi jika dipandang Bagai batu berjejer di titian Berpesan nabi yang kita junjung Jangan lupa kematianmu
3. Kinoho Sara (Adat)
Kehidupan masyarakat Tolaki pada masa lalu mengenal sistem kepemimpinan oleh seorang raja atau mokole (Kerajaan Konawe), Bokeo (Kerajaan Mekongga). Seorang Mokole (Raja) dalam sumpah pe- lantikannya ia menaati dan tunduk pada hukum yang berlaku. Kinoho atau lolamoa (pantun) yang diucapkan pada saat pelan-tikan raja, seorang juru sumpah mengucap- kan ikrar perjanjian kenegaraan. Masy-arakat Tolaki juga mengenal pantun yang diungkapkan ketika melantik juru bicara adat pihak laki-laki (pabitara) dan juru bicara adat pihak perempuan (Tolea). Ini biasanya kita dengarkan pada saat pelak-sanaan adat pesta pernikahan antara Tolea dan pabitara ketika pondotokino o’sara (pohue o’sara) yang berbunyi sebagai berikut:
Aso Ruo Tolu Omba
Puumbuungguki-soosorongguki Puu sinurungako
Puu sinehengako-puu mosehengako Akuto sumurunggomiu;
Tewali tolea pabitara
Iamo imonggelu ehe mombisi-pisi Iamo iposule osara
Iamo iporuhu onggono Aika mokula – aika hondowa
Aika mopupu –aiki motipu Keimondulo-taamololunggae Kioki iposule osara
Kioki iporuhu onggono Aito morini-aito monapa Morini mbuumbundi Monapa mbuundawaro
Metotoro oloho-mesuke ndaliawa Puu mbuu tukomu-palimbali uwamu. Aso ruo tolu omba
Sumpah di atas mengandung pesan agar seorang pabitara dan tolea dalam melaksanakan tugasnya mampu berlaku adil, menjalankan prosedur adat sesuai ketentuan o’sara. Berkata yang benar jika benar dan mengatakan salah jika salah. Berlaku adil, tidak memilih-milih atau melihat kedudukan dari pihak kedua mem-pelai. Jika pesan tersebut mampu dilak-sanakan, maka dalam kehidupannya (pa- bitara dan tolea) akan mendapat keba-hagiaan, sebaliknya jika keduanya tidak mampu melaksanakan amanah tersebut, maka mereka akan mendapatkan kesulitan di dalam kehidupannya. Oleh karena itu, masyarakat menaruh kepercayaan pada keduanya karena sifat kejujuran, keadilan serta keberaniannya mengungkapkan suatu solusi, pertimbangan ataupun nasehat dalam menyelesaikan masalah sehubungan dengan perkawinan.
4. Kinoho Singguru (Teka Teki)
Kinoho singguru adalah pantun yang syair-syairnya berisikan bahasa tebak-tebakan atau menebak sesuatu hal. Seperti benda, orang atau pun peristiwa tertentu. Menurut salah seorang masyarakat Tolaki, kinoho singguru biasanya dipakai untuk menyindir secara halus, terkadang kukan dengan humor. Tradisi ini biasa dila-kukan oleh orang Tolaki di masa lalu ketika selesai mengadakan hajatan perkawinan se-bagai hiburan pelepas lelah dan menga-krabkan sesama keluarga.
Sutiyana & Asriani-Tradisi Lisan Kinoho/Lolamoa (Pantun): Pesan Kearifan Lokal pada Masyarakat Etnis Tolaki di Kabupaten Konawe Sulawesi Tenggara
177 D. PENUTUP
Masyarakat Tolaki secara turun-temurun berupaya melestarikan tradisi lisan pantun seperti yang telah diuraikan dari hasil penelusuran literatur dan wawancara dengan beberapa tokoh masyarakat Tolaki dan orang-orang yang peduli terhadap wari-san budaya masa lalu. Pantun mengandung nilai-nilai moral, etika, kepercayaan dan aturan yang diyakini memiliki daya spiri-tual yang kuat, sehingga menjadi pedoman dalam menjalankan kehidupan bermasya-rakat. Koentjaraningrat (1997) menyebut proses pembelajaran seperti ini sebagai pembudayaan atau biasa pula dikenal de-ngan istilah institusionalisasi yaitu proses belajar yang dilalui oleh setiap orang selama hidupnya untuk menyesuaikan diri di alam pikirannya serta sikapnya terhadap adat, sistem norma dan semua peraturan yang terdapat dalam kebudayaan dan ma- syarakatnya. Pembelajaran tentang tata-krama, sopan santun, dan adat-istiadat, ber- fungsi sebagai pendidikan karakter yang lebih menekankan kepada perilaku-perilaku aktual tentang bagaimana seseorang dapat disebut berkepribadian baik atau tidak baik berdasarkan norma-norma yang bersifat kontekstual dan kultural.
Perkembangan tradisi pantun ( kin-oho) pada masyarakat Tolaki didukung dengan adanya upaya dari orang-orang yang memandang bahwa nilai-nilai yang terkandung di dalam mengandung nilai-nilai kebaikan yang dapat dijadikan pedo-man dan teladan dalam kehidupan ber-masyarakat, berbangsa dan bernegara. Ki-noho agama sampai saat ini masih terus di- lestarikan oleh masyarakat Tolaki pada acara-acara tahlilan (pepokolapasia) dan kinoho sara ketika mendudukan adat per-kawinan (sara mberapu). Secara turun-temurun nilai-nilai etika maupun moral yang terkandung dalam kinoho tersebut ada yang tidak mengalami perubahan, namun terdapat pula yang mengalami penyesuaian sebagaimana penggunaannya tersebut
sete-lah agama Islam masuk ke Kerajaan Ko-nawe.
Dalam proses perkawinan terjadi perpaduan antara agama dan adat. Ketika akan mengadakan upacara perkawinan bia-sanya diadakan acara penamatan Alquran (pandetama) bagi kedua mempelai. Selan-jutnya pada saat pelaksanaan ijab Kabul dilakukan pembacaan ayat-ayat suci Al-quran. Demikian pula pada upacara kema-tian, pada saat pemandian jenazah diakhiri dengan memandikan empat sisi badan (ba-ho silapa), sambil dibacakan doa oleh se- orang Imam. Selesai jenazah dimandikan, jenazah tersebut diletakkan di ruangan tengah di tengah-tengah keluarga kemudian dilaksanakan upacara kalo yang disebut “meokouhi” (pamitan orang yang meni-nggal dunia kepada keluarganya), (Tari-mana,1993)
Pada pantun adat (kinoho sara) selalu dimulai dengan pembukaan “Aso, ruo, tolu, omba” secara literal dalam bahasa Indonesia berarti “satu, dua, tiga, empat” merupakan ungkapan yang berasal dari makna “kalo sara”. Ungkapan tersebut se-bagai suatu bentuk permohonan atas perlin-dungan pada bagian depan, belakang, atas dan bawah diri manusia. Lebih luas lagi ungkapan tersebut sebagai perlindungan pada lingkungan masyarakat Tolaki di bagi-an Timur, Barat, Utara dbagi-an bagibagi-an Selatbagi-an dari Kerajaan Konawe yang disebut sebagai “siwole mbatohuu”. Nilai etika, moral, kepercayaan dan hukum yang terkandung dalam ungkapan kinoho menjadi pelajaran yang berharga dari generasi masa lalu pada generasi berikutnya mengenai tata krama dalam pergaulan, tata karma menyambut pemimpin atau tamu dan hukum adat yang dapat mengatur kehidupan.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Irwan. 2006. Konstruksi dan Re- produksi Kebudayaan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Etnoreflika, Vol. 2, No. 1, Februari 2013: 171-178
178 Aderlaepe, 2006. Analisis Semiotik Sastra
Lisan Kantola: Sastra Lisan Daerah Muna. Kendari: Kantor Bahasa Pro- pinsi Sulawesi Tenggara Departemen Pendidikan Nasional.
Benard, Russell, H. 1994. Research Me-thods In Anthropology. London-New Delhi: SAGE Publications.
Bungin, Burhan. 2007. Penelitian Kuali-tatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijak- an Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya. Jakarta: Kencana.
Endraswara, Suwardi, 2003. Metodologi Penelitian dan Kebudayaan. Yog-yakarata: Gadjah Mada University Pers.
---, 2009. Metodologi Penelitian Foklore: Konsep, Toeri, dan dan Aplikasi. Yogyakarta: Media Pressindo.
Giddens, Anthony. 2005. Konsekuensi-konsekuensi Modernitas. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Haviland, William A. 1985. Antropologi. Jakarta: Erlangga.
Ihromi, T.O.. 1990. Pokok-Pokok Antropo-logi Budaya. Jakarta: Gramedia Koentjaraningrat. 1984. Masyarakat Desa
di Indonesia. Jakarta: FE-UI
---,1990. Sejarah Teori An- tropologi I. Jakarta: UI Press.
---,1997. Manusia dan Ke-budayaan Indonesia. Jakarta: Dja-mbatan
Kuswarno, Engkus. 2008. Etnografi Komu-nikasi: Suatu Pengantar dan Contoh Penelitiannya. Bandung: Widya Pad- jadjaran.
Melamba, Basrin & Tasman. 2011. Arsite-ktur Tradisional Tolaki di Sulawesi Tenggara. Denpasar-Bali: Pustaka Larasan.
Melamba, Basrin, dan Asriani, Adrian Tawai, Aswati. 2011. Sejarah Suku Tolaki di Konawe. Yogyakarta: Teras. ---, 2010. Kota Lama Kota Baru: Kendari. Kajian Sejarah, So- sial, Politik dan Ekonomi. Yogya- karta: Penerbit Teras
Sarmadan dan Basrin Melamba. 2012. Falsafah dan Sistem Politik Suku Tolaki Di Sulawesi Tenggara.
Spradley, James. 1997. Metode Etno-grafi. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Suparlan, Parsudi. 1993. Manusia, Kebu-dayaan, dan Lingkungannya. Ja-karta.: Raja Grafindo Persada.
Sibarani, Robert. 2004. Antropolinguistik: Antropologi Linguistik atau Linguistik Antropologi. Medan: Penerbit Poda. Suud, Muslimin. 2006. O’sara: Hukum
Adat Tolaki. Kendari: Lembaga Pengkajian Sejarah dan Kebu-dayaan Tolaki.
Sobur, Alex. 2003. Semotika Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya
Tarimana, Rauf. 1993. Seri Etnografi: Kebudayaan Tolaki. Jakarta: Balai Pustaka
---. 1990. Konsep Kohanu (Budaya Malu). Kendari: Balai Penelitian Universitas Haluoleo Tamburaka, R.E., 2006. Sejarah Sulawesi
Tenggara dan 40 Tahun Sultra Membangun.