• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bahasa Kedanauan (Kajian Ekolinguistik Tentang Pelestarian Ekosistem Kawasan Danau Toba) Chapter III VIII

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Bahasa Kedanauan (Kajian Ekolinguistik Tentang Pelestarian Ekosistem Kawasan Danau Toba) Chapter III VIII"

Copied!
137
0
0

Teks penuh

(1)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Lokasi Penelitian

Danau Toba terletak di pusat suatu puncak topografi dengan panjang 300 km dengan beda tinggi berkisar antara 100-1000 m dimuat dalam peta topografi Sumatra Utara. Luas badan air Danau Toba 1.103 km2 yang menempati 3 area, Pulau Samosir di dalam danau mempunyai luas daratan 647 km2 dan suatu Pulau Pardapur yang lebih kecil dengan luas area 7 km2. Panjang danau adalah 87 km, dengan ukuran panjang keliling danau 294 km. Area cekungan danau dikelilingi oleh batuan vulkanik, dengan tinggian yang berkisar antara 400 hingga 1200 m di atas muka air danau. Danau ini terletak pada garis lintang dan garis bujur antara 98030′ BT; 3005′ LS dan 99020 BT’; 2040′ LS.

Batas perairan Danau Toba meliputi suatu area seluas 3,704 km2 yang terbagi ke dalam lima Kabupaten, yaitu. Kabupaten Tapanuli Utara, Toba Samosir, Simalungun, Dairi dan Karo. Di wilayah Danau Toba, terdapat suatu area untuk tujuan konservasi yang berfungsi sebagai resapan air, pengendalian polusi udara, pencegahan erosi lahan dan stabilisasi lahan.

(2)

Gambar 7: Peta Lingkungan Danau Toba

(3)

3.2. Pendekatan dan Jenis Penelitian

Pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif suatu proses penelitian dan pemahaman yang berdasarkan pada metodologi yang menyelidiki suatu fenomena sosial dan masalah manusia. Pada pendekatan ini, peneliti membuat suatu gambaran kompleks, meneliti kata-kata, laporan terinci dari pandangan responden, dan melakukan studi pada situasi yang alami (Creswell, 1998:15).

Bogdan dan Taylor (Moleong, 2007:3) mengemukakan bahwa metodologi kualitatif merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis maupun lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati. Dengan demikian, wujud data adalah kata-kata

dan rangkaian kata (Denzin dan Lincolon, 2009; lihat Miles dan Huberman, 2007:15-16). Dalam penelitian ini, berupa perangkat cerita rakyat bahasa Batak Toba yang berkaitan dengan situs pelestarian ekosistem pada masyarakat penutur bahasa Batak Toba sekitar Danau Toba. Sementara interpretasi makna dan fungsi kebahasaan dilakukan dalam rangka menemukan makna dan fungsi bahasa (Band. Spradley, 2007) dalam membangun dan merekam khazanah pengetahuan lokal komunitas tutur tentang sumber daya alam dalam bahasa Batak Toba yang berhubungan dengan pelestarian ekosistem. Sementara itu, interpretasi makna dan gagasan-gagasan dilakukan untuk menemukan sumber daya budaya verbal yang bermakna dan berfungsi untuk memelihara dan melestarikan lingkungan alam.

(4)

Penjaringan data dalam penelitian kualitatif dilakukan oleh peneliti sebagai alat utama dalam penjaringan data (human instrument) tersebut. Dengan demikian, negosiasi makna, dalam hal ini makna khazanah teks dalam bahasa Batak Toba yang ditemukan dapat ditafsir, dan dinegosiasi kepada para nara sumber. Negosiasi makna (lihat Bogdan dan Taylor, 1990) sangat penting dilakukan dalam penelitian ini, termasuk negosiasi gagasan pemertahanan, dan pelestarian bahasa, budaya, dan lingkungan lokal di atas landasan kesadaran, tanggung jawab, dan kemauan komunitas tutur sendiri. Tujuannya adalah agar kekayaan makna cerita yang dibalut dalam mitos bahasa Batak Toba yang diteliti ini hasilnya lebih menjadi objective lagi.

3.3.

Sumber Data

Lofland dan Lofland dalam Basrowi dan Suwandi (2008: 169) “sumber utama dalam

penelitian kualitatif ialah kata-kata dan selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen dan lain-lain.” Berdasarkan pendapat tersebut, data penelitian ini bersumber dari data lisan dan tertulis tentang wacana kedanauan bahasa Batak Toba yang berkaitan dengan pemeliharaan keseimbangan ekosistem Danau Toba.

(5)

dan waktu yang dikenal dengan teknik bola salju (snowball sampling). Oleh karena itu, keakurasian data didukung oleh tindakan berikut ini:

a. Kehadiran Penelitian

Penelitian kualitatif dilakukan pada kondisi alamiah dan bersifat penemuan. Dalam penelitian kualitatif, peneliti adalah instrumen kunci. Peneliti bertindak sebagai instrumen sekaligus pengumpul data. Oleh karena itu, kehadiran peneliti di lapangan untuk penelitian kualitatif mutlak diperlukan. Peran peneliti sebagai pengamat penuh dalam menjaring dan menggali wacana di pinggiran Danau Toba.

b. Prosedur Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data digunakan observasi partisipan, wawancara mendalam yang

berkaitan dengan situs cerita rakyat, dan dokumentasi situs tersebut. Terdapat dua dimensi rekaman data, yaitu fidelitas dan struktur. Fidelitas mengandung arti sejauh mana bukti nyata dari lapangan disajikan (rekaman audio atau video memiliki fidelitas tinggi, sedangkan catatan lapangan memiliki fidelitas kurang). Dimensi struktur menjelaskan sejauh mana wawancara dan observasi dilakukan secara sistematis dan terstruktur. Hal-hal yang menyangkut jenis rekaman, format ringkasan rekaman data, dan prosedur perekaman diuraikan pada bagian ini. Selain itu dikemukakan cara-cara untuk memastikan keabsahan data dengan triangulasi dan waktu yang diperlukan dalam pengumpulan data.

c. Metode Pengumpulan Data

(6)

1. Wawancara

Wawancara merupakan alat re-cheking atau pembuktian terhadap informasi atau keterangan yang diperoleh sebelumnya. Teknik wawancara yang digunakan dalam penelitian kualitatif adalah wawancara mendalam. Wawancara mendalam (in–depth

interview) adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara pewawancara dengan informan atau orang yang diwawancarai, dengan atau tanpa menggunakan pedoman (guide) wawancara, di mana pewawancara dan informan terlibat dalam kehidupan sosial yang relatif lama. Dalam hal ini wawancara diarahkan untuk menginvestigasi, menginventarisir wacana kedanauan.

Dalam penelitian ini tdak ditentukan jumlah informan pendamping dan informan utama. Wawancara dilakukan berdasarkan daftar pertanyaan yang terdiri atas:

1. Cerita rakyat menyangkut situs biota Danau Toba yang berhubungan dengan menjaga keseimbangan ekosistem.

2. Cerita rakyat menyangkut situs abiotik Danau Toba

2. Observasi

(7)

Bungin (2007: 115) mengemukakan beberapa bentuk observasi yang dapat digunakan dalam penelitian kualitatif, yaitu observasi partisipasi, observasi tidak terstruktur, dan observasi kelompok tidak terstruktur.

Observasi partisipasi (participant observation) adalah metode pengumpulan data yang digunakan untuk menghimpun data penelitian melalui pengamatan dan pengindraan dimana observer atau peneliti benar-benar terlibat dalam keseharian responden.

Observasi tidak berstruktur adalah observasi yang dilakukan tanpa menggunakan guide observasi. Pada observasi ini peneliti atau pengamat harus mampu mengembangkan daya pengamatannya dalam mengamati suatu objek.Observasi kelompok adalah observasi yang dilakukan secara berkelompok terhadap suatu atau beberapa objek sekaligus.

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam observasi adalah topografi, jumlah dan durasi, intensitas atau kekuatan respon, stimulus kontrol (kondisi dimana perilaku muncul), dan kualitas perilaku.

3. Dokumen

(8)

dan flashdisk, data tersimpan di website, dan lain-lain. Teknik ini digunakan untuk mendukung data wacana kedanauan yang sudah terekam lewat wawancara.

4. Triangulasi

Triangulasi merujuk pada konsistensi suatu penelitian. Patton (2001) memperingatkan bahwa inkonsistensi sebuah analisis tidak boleh dilihat sebagai kelemahan bukti, tetapi kesempatan untuk mengungkap makna lebih dalam data. Miles dan Huberman (1984) memiliki cara yang baik untuk menjelaskan bagaimana triangulasi bekerja secara kongkrit dalam sebuah penyelidikan terhadap sebuah teka-teki: "Detektif melibatkan instrumentasi rumit. Ketika detektif amasses sidik jari, sampel rambut, alibi, saksi mata dan sejenisnya, kasus yang dibangun mungkin cocok pada satu dugaan atau lebih. Berbagai jenis pengukuran yang menyediakan verifikasi berulang."

Manfaat triangulasi adalah meningkatkan kepercayaan penelitian, menciptakan cara-cara inovatif memahami fenomena, mengungkap temuan unik, menantang atau mengintegrasikan teori dan memberi pemahaman yang lebih jelas tentang masalah.

d. Analisis Data

Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis Padan, seperti yang diungkapkan oleh Sudaryanto (1993:13) “Metode padan, alat penentunya di luar, terlepas, dan tidak menjadi bagian bahasa (language) yang bersangkutan.

(9)

data, dengan teknik-teknik misalnya analisis domain, analisis taksonomis, analisis komponensial, dan analisis tema. Dalam hal ini peneliti menggunakan analisis isi/pesan yang termuat dalam cerita rakyat kedanauan yang berkontribusi pada pelesterian ekosistem kedanuan Danau Toba. Pemaknaan leksikon, kalimat, tematik yang berkontribusi dalam pelestarian ekosistem kedanauan.

Langkah-langkah penelitian ini dilakukan adalah...

1. Menginventarisir situs-situs yang berpotensi melestarikan ekosistem

2. Mencatat dan mengklasifikasikan situs-situs berdasarkan informasi situs yang terinventarisir.

3. Menggali cerita rakyat yang berkaitan dengan situs tersebut. 4. Merekonstruksi cerita yang sudah terekam.

5. Menganalisis cerita tersebut dari sudut leksikon, konten kalimat yang berkaitan dengan pelestarian ekosistem.

6. Merekonstruksi model pelestarian ekosistem yang terdapat pada pemaknaan cerita rakyat.

e. Pengecekan Keabsahan Temuan

(10)

F. Keabsahan Data

Banyak hasil penelitian kualitatif diragukan kebenarannya karena beberapa hal, yaitu subjektivitas peneliti merupakan hal yang dominan dalam penelitian kualitatif, alat penelitian yang diandalkan adalah wawancara dan observasi mengandung banyak kelemahan ketika dilakukan secara terbuka dan apalagi tanpa kontrol, dan sumber data kualitatif yang kurang credible akan mempengaruhi hasil akurasi penelitian. Oleh karena itu, dibutuhkan beberapa cara menentukan keabsahan data, yaitu:

1. Kredibilitas

Proses dan hasil penelitian dapat diterima atau dipercaya harus memenuhi beberapa kriteria, yaitu lama penelitian, observasi yang detail, triangulasi, debriefing, analisis kasus negatif, membandingkan dengan hasil penelitian lain, dan member check.

Cara memperoleh tingkat kepercayaan hasil penelitian, yaitu:

a. Memperpanjang masa pengamatan memungkinkan peningkatan derajat kepercayaan data yang dikumpulkan, bisa mempelajari kebudayaan dan dapat menguji informasi dari responden, dan untuk membangun kepercayaan para responden terhadap peneliti dan juga kepercayaan diri peneliti sendiri.

b. Pengamatan yang terus menerus, untuk menemukan ciri-ciri dan unsur-unsur dalam situasi yang sangat relevan dengan persoalan atau isu yang sedang diteliti, serta memusatkan diri pada hal-hal tersebut secara rinci.

(11)

d. Peer debriefing (membicarakannya dengan orang lain) yaitu mengekspos hasil sementara atau hasil akhir yang diperoleh dalam bentuk deskripsi dalam diskusi analitik dengan rekan-rekan sejawat.

e. Mengadakan member check yaitu dengan menguji kemungkinan dugaan-dugaan yang berbeda dan mengembangkan pengujian-pengujian untuk mengecek analisis, dengan mengaplikasikannya pada data, serta denganmengajukan pertanyaan-pertanyaan tentang data.

2. Transferabilitas yaitu apakah hasil penelitian ini dapat diterapkan pada situasi yang lain.

3. Dependability yaitu apakah hasil penelitian mengacu pada kekonsistenan peneliti dalam mengumpulkan data, membentuk, dan menggunakan konsep-konsep ketika membuat interpretasi untuk menarik kesimpulan.

4. Konfirmabilitas yaitu apakah hasil penelitian dapat dibuktikan kebenarannya. Kesesuian hasil wawancara wacana rakyat bahasa Batak Toba dengan data yang dikumpulkan dan dicantumkan dalam laporan lapangan.

Gambar 8: Alur Penelitian

(12)
(13)

a. Mendata dan menginventarisir situs-situs yang berkaitan dengan pelestarian Lingkungan Danau Toba

b. Menyeleksi situs-situs yang masih hidup legendanya di tengah masyarakatnya. c. Menganalisis kandungan wacana, berupa leksikon, kalimat, tematik situs yang

masih memiliki legenda.

(14)

BAB IV

DESKRIPSI WILAYAH DAN KARAKTERISTIK DANAU

SERTA SISTEM KEPERCAYAAN CERITA RAKYAT

4.1

Deskripsi Wilayah

A. Letak Geografis dan Luas Danau

Secara geografis Kawasan Danau Toba terletak di pegunungan Bukit Barisan Propinsi Sumatera Utara pada titik koordinat 2021‘ 32‘‘–20 56‘ 28‘‘ Lintang Utara dan 980 26‘ 35‘‘ – 990 15‘ 40‘‘ Bujur Timur.

Gambar: 9 Kondisi Danau Toba

(15)

Tabel:1 Luas Wilayah DTA Danau Toba

No Kabupaten Kecamatan Luas Wilayah (Km2) 1 Samosir Simanindo

Pangururan Palipi Nainggolan Onan Runggu Ronggur Ni Huta Harian

Sitio-tio

Sianjur Mula-mula

198,20 121,43 129,55 87,86 60,89 94,87 560,45 50,76 140,24

B. Iklim

DTA Danau Toba termasuk ke dalam tipe iklim B1, C1, C2, D2, dan E2. Dengan demikian bulan basah (Curah Hujan ≥ 200 mm/bulan) berturut-turut pada kawasan ini

bervariasi antara 3 bulan sampai dengan 7-9 bulan, sedangkan bulan kering (Curah Hujan ≤ 100 mm/bulan) berturut-turut antara 2-3 bulan. Berdasarkan klasifikasi iklim

menurut Scmidt dan Ferguson maka DTA Danau Toba ini termasuk ke dalam tipe iklim A,B dan C.

C. Curah Hujan

(16)

D. Hidrologi

Gambar 10: Sebaran Sungai DTA Danau Toba

Air yang masuk ke Danau Toba berasal dari : (1) Air hujan yang langsung jatuh ke danau ; (2) Air yang berasal dari sungai-sungai yang masuk ke danau. Sungai-sungai yang mengalir dan bermuara ke Danau Toba yaitu (1) Sungai Sigubang, (2) Sungai Bah Bolon, (3) Sungai Guloan, (4) (5) Sungai Arun, (6) Sungai Tomok, (7) Sungai Sibandang, (8) Sungai Halian, (9) Sungai Simare, (10)Sungai Aek Bolon, (11)Sungai Mongu, (12) Sungai Mandosi, (13) Sungai Gopgopan, (14) Sungai Kijang, (15) Sungai Sinabung, (16) Sungai Ringo, (17) Sungai Prembakan, (18) Sungai Sipultakhuda dan (19) Sungai Silang. Sedangkan Outlet Danau Toba satu sungai, yaitu Sungai Asahan.

(17)

Total jumlah sungai yang masuk ke Danau Toba adalah 289 sungai. Dari Pulau Samosir adalah 112 sungai dan dari Daerah Tangkapan Air lainnya adalah 117 sungai. Dari 289 sungai itu, 57 diantaranya mengalirkan air secara tetap dan sisa 222 sungai lagi adalah sungai musiman (intermitten).

F. Topografi dan Tata Guna Lahan

Kondisi topografi DTA Danau Toba didominasi oleh perbukitan dan pegunungan, dengan kelerengan lapangan terdiri dari datar dengan kemiringan (0 – 8 %) seluas 703,39 Km2, landai (8 – 15 %) seluas 791,32 Km2, agak curam (15 – 25 %) seluas 620,64 Km2

, curam (25 – 45 %)seluas 426,69 Km2 sangat curam sampai dengan terjal (> 45 %) seluas 43,962 Km2.

Gambar 11: Kebun di DTA Danau Toba

(18)

Tabel: 2 Penggunaan dan Penutupan Lahan di DTA Danau Toba

Hutan tanaman, hutan jarang, kebun campuran Semak, belukar muda, resam Tanaman Semusim Persawahan

Lahan terbuka (permukiman, bangunan lain, pembukaan lahan)

Tabel: 3 Jenis Penggunaan Lahan pada DTA Danau Toba

No Kabupaten

Jenis Penggunaan Tanah (Ha) Tanah Sawah Tanah Kering Bangunan/

Pekarangan

(19)

Gambar 12: Penggunaan Lahan DTA Danau Toba

G. Fungsi dan Manfaat Danau

1. Cadangan Air (Air Baku Air Minum)

Air danau Toba dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai air baku air minum. 2. Objek Wisata.

Danau Toba yang memiliki pemandangan alam yang menakjubkan sangat berpotensi sebagai sebagai sebagai objek wisata.

3. Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA).

PLTA memproduksi energy listrik 450 megawatt. Potensi sumber daya air Danau Toba telah memproduksi energy listrik sebesar 450 Megawatt melalui PLTA Asahan yang memanfaatkan outlet air Danau Toba yang Sungai Asahan. 4. Transportasi

(20)

4.2 Karakteristik Danau Toba

1. Keanekaragaman Hayati Danau

Secara umum habitat KDT dapat dikelompokkan menjadi 2 tipe habitat yaitu (1) habitat perairan Danau Toba dan (2) habitat daratan Kawasan Danau Toba yang berupa Samosir dan daratan di sekeliling luar danau dalam cakupan Kawasan Danau Toba.

Tabel:4 Habitat Perairan dan Daratan Danau Toba

Meranti, kapur, keruing, puspa, manggis hutan, kayu raja, pinus, liana, epifit, zing iberaceae, pohon Hoting Batu,Atuang (Semecarpus,sp).Sona, kayu ara, Dakkap dan Kamboang angsana, beringin, cemara, ekaliptus, mahoni, kaliandra, kemiri, johar, mindi, palu, pinus dan suren. alpukat, aren, bambu, belimbing, cengkeh, coklat, dadap, durian, gamal, jambu mente, jarak, jengkol, jeruk, kapuk, kecapi, kelapa, kemiri, kopi, kayu manis, mangga, nangka, petai cina, petai, pinang, rambutan, sawit, sawo dan sirsak. berbagai jenis anggrek alam (Dendrobium spp).

Burung rangkong, elang, kuau, burung hantu, beo, monyet beruk, siamang, kancil, kucing hutan, macan dahan, babi hutan, biawak, Tapir (Tapirus indicus), Kambing Hutan, Rusa (Cervus unicolor), Harimau Sumatera (Panthera tiris sumatrensis), Paku Ekor Kuda (Plathycerium sp), kutilang, sikatan, tekukur, bubut, beo,

2. Sosial, Ekonomi dan Budaya

(21)

dalam menyusun perencanaan pembangunan setempat. Sedangkan kegiatan perekonomian sebagian masyarakat di Kawasan Danau Toba masih mengandalkan pada sektor pertanian, termasuk kegiatan peternakan dan perikanan.

Budidaya pertanian dilakukan umumnya dilakukan pada lahan kering untuk budidaya tanaman pangan, tanaman perkebunan dan kehutanan. Sementara pengusahaan kegiatan pertanian pada lahan basah hanya dilakukan untuk tanaman pangan.

Penduduk bermukim di Kawasan Danau Toba tersebar di 443 desa/kelurahan pada 37 Kecamatan, di tujuh Kabupaten ( Samosir,Toba Samosir, Simalungun, Tapanuli Utara, Humbang Hasundutan, Karo dan Dairi) dengan jumlah total penduduk 580.428 jiwa.

Jalur angkutan danau penyeberangan di perairan Danau Toba : 1. Ajibata ke Tomok.

2. Ajibata ke Pangururan melalui Ambarita.

3. Balige ke Pangururan melalui Nainggolan dan Mogang. 4. Ajibata ke Nainggolan.

5. Nainggolan ke Muara.

4.3 Permasalahan Ekosistem Danau Toba

1. Kerusakan Daerah Tangkapan Air (DTA)

(22)

Luas hutan pada Daerah Tangkapan Air (DTA) Danau Toba pada tahun 1985 adalah ± 78.558 Ha dan menurun pada tahun 1997 menjadi ± 62.403 Ha. Penurunan luas hutan tersebut diikuti dengan pertambahan luas semak belukar dari 103.970 Ha menjadi 114.258 Ha serta bertambahnya luas padang rumput dari 5.870 Ha menjadi 22.528 Ha (LPPM USU, 2000). Penataan ulang terhadap kawasan tutupan hutan yang harus dipelihara di kawasan Danau Toba harus ditata ulang. Salah satu penyebab kebakaran hutan adalah keteledoran masyarakat, sebagian masyarakat membakar alang-alang dengan tujuan untuk mendapatkan rumput muda sebagai makanan ternak. Pembakaran alang-alang dapat merambat ke areal berhutan.

Pada DTA Danau Toba terindikasi telah terjadi penebangan hutan secara liar, penebangan hutan secara untuk kawasan Danau Toba akan menurunkan kapasitas resapan kawasan hutan terhadap air hujan. Pembukaan hutan untuk di konversi menjadi lahan pertanian akan mengakibatkan lahan terbuka sehingga akan meningkatkan laju erosi, transpor sedimen maupun meningkatkan aliran permukaan. Kemampuan resapan kawasan yang telah dibuka penutupan hutannya juga akan menurunkan kemampuan lahan meresapkan air hujan. Peningkatan aliran permukaan dan penurunan resapan ini juga akan mengganggu keseimbangan / neraca air danau dan menurunkan fungsi hidrologis DTA secara umum.

2. Kerusakan Sempadan

a. Okupasi lahan

(23)

mengakibatkan longsor, erosi aliran permukaan dan juga mempengaruhi kualitas air yang mengalir ke Danau Toba.

c. Pertumbuhan dan pemukiman, hotel, restoran yang tidak sesuai dengan tataruang semestinya.

d. Penurunan jumlah wisatawan ke Danau Toba.

e. Pencemaran oleh limbah domestik, pertanian, dan peternakan. f. Erosi lahan dan tepi sungai dan galian pasir.

3. Pencemaran Perairan Air Danau

Kualitas perairan Danau Toba pada dasarnya dipengaruhi oleh kegiatan-kegiatan manusia disekitarnya, terutama pemukiman penduduk, peternakan, pertanian, kegiatan pariwisataan dan perdagangan termasuk pasar, hotel dan restoran serta kegiatan transportasi air. Pengaruh terpenting dari seluruh kegiatan tersebut adalah produksi sampah dan limbah yang secara langsung maupun tidak langsung akan masuk ke dalam perairan danau.

Sumber-sumber pencemar yang potensial menimbulkan pencemaran air Danau Toba adalah sebagai berikut :

a. Limbah domestik.

b. Perahu motor/kapal yang menghasilkan residu minyak dan oli. c. Peternakan yang menghasilkan limbah dan sisa makanan.

d. Budidaya perikanan yang menggunakan keramba jaring apung yang menghasilkan sisa pakan ikan (pellet).

(24)

g. Industri kecil (industri ulos dan industri pengolahan kopi) yang dapat menghasilkan limbah yang dapat mencemari perairan danau.

h. Populasi enceng gondok.

i. Limbah cair yang berasal dari hotel/penginapan di sekitar Danau Toba yang dibuang secara langsung ke perairan danau akan mempengaruhi kadar amonium pada perairan Danau Toba. Adapun kondisi Kualitas Air Danau Toba dapat dilihat pada grafik dibawah ini.

4.4 Religi atau Kepercayaan

Data cerita rakyat membuktikan kepercayaan atau religi selalu berusaha mendekatkan diri dengan lingkungannya. Kepercayaan orang Batak dalam mitologinya adalah persoalan kehidupan yang selalu sangkut pautnya dengan keilahian yang dipercaya sebagai karya Mula Jadi Nabolon. Mite mirip dengan mitologi dalam kepercayaan Hindu dalam cerita turun temurun masyarakat Batak Toba ini, yaitu adanya tiga oknum dewa masing-masing Batara Guru, Soripada dan Mangala Bulan sebagai aspek dari Mulajadi Nabolon yang memiliki otoritas di bumi untuk mengatur kehidupan manusia. Beberapa tulisan konsep mitologi ini berbeda dengan konsep yang diungkapkan oleh Sitor Situmorang tentang “tri tunggal” Dewa orang Batak. Tampubolon menyebut

(25)

Guru yang memberi ilmu pengetahuan, ilmu-ilmu gaib, pengobatan dan penangkalan roh-roh jahat.

Mitologi Batak pada umumnya disampaikan melalui cerita dari mulut ke mulut (tradisi lisan), biasanya pemberitaan seperti ini sukar untuk dipercaya. Hal ini terbukti dari banyaknya beredar cerita-cerita dongeng di kalangan bangsa Batak. Lebih lanjut Warneck membenarkan bahwa hampir semua suku bangsa memiliki dongeng, yang tidak memiliki hubungan satu sama lain. Masing-masing berdiri sendiri (Hutauruk, 2006:8).

Ajaran agama Batak terdapat dalam mitologi Batak ini diperjelas oleh Batara Sangti menyebut ketiga dewa (sama dengan versi Situmorang) pemilik otoritas kedewaan dengan konsep pekerjaan ketiga dewa tersebut mengatur tata kehidupan manusia. Legenda Siboru Deak (Deang) Parujar dalam tonggotonggo (doa) yang disampaikan pada Mula Jadi Nabolon menyebut: Debata Natolu, Natolu Suhu, Naopat Harajaon. Sangti menguraikan pekerjaan dan tugas keempat oleh Debata Asi-asi yaitu menolong manusia dengan bersusah payah dan berkorban. Dewa ini berfungsi sebagai: naso pinele jala naso sinomba (yang tidak disaji dan tidak disembah) sebagai tugas keempat dimaksud dari na opat harajaon.

Dalam konteks kepercayaan tradisional “agama Batak” itu, terdapat konsep bahwa

(26)

dikenakan dipergunakan nantinya setelah roh sebagai pakaian yang membungkus dari rasa dingin, dan ringgit sitio suara (uang) untuk kebutuhan perjalanan menempuh perjalanan ‘jauh’ dari dunia nyata ke dunia maya atau benda-benda lainnya yang

dibutuhkan dalam dunia roh.

Beberapa versi cerita kehidupan orang Batak dapat disimpulkan, orang Batak pada zaman keberhalaan sudah mempercayai adanya Allah yang satu yang disebut Mulajadi Na Bolon yang menjadi sumber dari segala yang ada. Orang Batak kala itu percaya ada kekuatan besar Debata yang menjadikan langit dan bumi dan segala isinya. Juga memelihara kehidupan secara terus menerus. Debata Mulajadi Na Bolon adalah sebagai ilahi yang tidak bermula dan tidak berakhir. Dia adalah awal dari semua yang ada.

(27)

kebudayaan dalam tiga kata, yaitu harajaon (kuasa), hamoraon (kekayaan) dan hasangapon (kehormatan).

Harajaon menunjukkan bahwa tujuan setiap manusia adalah berdiri sendiri secara merdeka dan mengelola hidup dengan wibawa dan kuasanya. Setiap orang Batak (laki-laki), selalu mempunyai keinginan menjadi seorang raja. Pengertian menjadi raja adalah seorang yang dapat mengatur hidupnya sendiri tanpa bantuan orang lain. Oleh karena itu dianggap penting untuk membentuk rumah tangga sendiri, karena rumah tangganya adalah awal dari usaha-usaha untuk mendirikan ke”raja”annya sendiri. Manusia harus menghormati sanak saudaranya dan marga yang dia miliki.

Hamoraon menunjukkan bahwa tujuan dalam hidup seorang Batak adalah mensejahterakan kehidupan. Anggapan tradisional, pengertian kesejahteraan lebih dianggap sama dengan banyak memiliki istri dan anak, ladang yang luas dan ternak yang banyak. Kepemilikan ini dianggap sebagai hasil karena memiliki seorang Batak memiliki sahala sebagai raja.

Hasangapon merupakan tujuan dari usaha-usaha untuk mewujudkan gagasan-gagasan harajaon dan hamoraon. Perjuangan untuk mencapai hasangapon digambarkan sebagai motivasi fundamental suku Batak. Dalam mencapai harajaon, hamoraon, dan hasangapon, ketegangan seringkali muncul antara kakak beradik dalam satu marga. Dalam hal ini, seseorang yang memiliki status yang tinggi akan mencoba menengahi, tetapi bila usaha-usaha ini tidak berhasil, sebuah kelompok bisa pergi untuk mendirikan pemukiman baru.

(28)

ciri egaliter yang kuat, dibandingkan misalnya dengan masyarakat Jawa. Sifat ini tidak berarti bahwa masyarakat Toba bebas dari hirarki gender, pada umumnya perempuan menempati posisi rendah dibanding laki-laki.

a. Sahala

Sahala merupakan kemuliaan, kharisma, hikmat, kewibawaan, kebesaran otoritas, penuh kesaktian. Sahala sebagai kekuatan yang membentuk kualitas tondi seseorang.

Sahala hasangapon (kemuliaan), sahala hamoraon (kekayaan), sahala hadatuon

(kekuatan adikodrati) hanya dimiliki oleh orang-orang tertentu.

Berbeda dengan tondi, tidak semua orang memiliki sahala. Jenis sahala, kuantitas dan kualitasnya berbeda-beda pada setiap orang. Sahala kepemimpinan membuat seorang pemimpin berwibawa dan mampu memimpin, sahala kebijaksanaan membuat orang lebih bijaksana dibanding lainnya, demikian juga sahala seorang pemimpin lebih besar dan lebih kuat dari sahala masyarakat awam.

(29)

Wujud sahala adalah gaib, halus dan tidak dapat ditangkap oleh pancaindera manusia dan tidak pula diketahui kapan masuk dan hinggap pada diri manusia. Orang yang disebut marsahala dapat dilihat pada kehidupannya sehari-hari, dan akan terjadi perubahan pada dirinya terutama dari segi sikap dan perilaku. Ciri lain orang yang

marsahala adalah kemampuan pada dirinya untuk memberikan pengobatan pertolongan kepada orang lain. Sahala yang datang itu disebut sahala pangubati. Selain itu ada juga yang disebut sahala pangajari (pengajar), sahala panuturi (penutur) dan sahala panghongkop (jiwa pejuang).

Disisi lain orang yang sudah meninggal dunia boleh jadi akan meningkat menjadi

sahala apabila selama hidupnya tergolong orang yang baik dan suci. Rohnya itu bisa dipanggil melalui upacara agama disebut mardebata ( menyembah Debata). Kegiatan itu dilakukan dengan memohon kepada pargonsi (juru gendang) untuk membunyikan gendang khusus kepada sahala amang atau sahala ompu. Sebaliknya orang yang meninggal bergumulan penuh dosa maka dia setelah mati bukan menjadi sahala

melaikan begu.

b. Sahala Marsangap dan Sahala Martua

(30)

Makna “Sahala Marsangap” secara harfiah adalah tondi yang sangat mulia dan terhormat, sedangkan makna “sahala martua” adalah roh yang sangat bertuah, bermarwah dan bahagia.

Pemimpin yang kuat mempunyai sahala; begitu juga orang tua terhadap anak-anaknya,

hula-hula terhadap boru-nya. Sahala sebagai kualitas tondi berasal atau sebagai rahmat dari Ompu Mulajadi na Bolon. Tiga alam kosmis diyakini oleh Bangsa Batak sebagai dasar dan tujuan akhir dari suatu kehidupan, yaitu: Banua Ginjang (Alam Atas), Banua Tonga (Alam Tengah), Banua Toru (Alam Bawah). Ketiga alam kosmis ini memiliki simbol-simbol yang mempengaruhi kehidupan manusia baik secara badaniah maupun secara rohaniah.

Dipahami bahwa kehidupan ini tidak hanya mengandalkan kemampuan fisik dan pemikiran otak tetapi ada suatu kekuatan supranatural yang kasat mata dipercaya turut menguasai kehidupan manusia, itulah disebut hahomion (kemisterian) yang dipahami sebagai wujud dari kekuasaan roh, dan masyarakat Batak menilainya dengan Roha.

Banyak literatur terutama setelah Bangsa Batak bersentuhan dengan pendatang dari Eropah telah membuat pencitraan tentang kepercayaan Batak sebagai penganut Sipele Begu, Penyembah Berhala, Penyembah Roh Leluhur, dan sampai saat ini pencitraan itulah yang diketahui oleh kalangan orang Batak sendiri bahwa leluhur mereka adalah penganut Sipele Begu.

(31)

keberadaan, lokasi, dan siapa produsen komuditas tersebut. Jadi pada awal berkembang pandangan ini, pada dasarnya belum ada unsur pembuktian.

Sejalan dengan kontak yang lebih intens dengan para pedagang Bangsa Eropah maka eksistensi Bangsa Batak menjadi objek pendataan berbasis keilmuan. Pendataan ini dilakukan dengan suatu ekspedisi, ataupun tujuan khusus untuk pendataan semua aspek kehidupan masyarakat Bangsa Batak.

Hasil-hasil kajian Bangsa Eropah ini banyak hal yang membingungkan mereka tentang praktek-praktek pemujaan roh oleh masyarakat Batak pada masa itu. Ternyata banyak pandangan yang keliru seperti diasumsikan jauh sebelumnya. Banyak ketertarikan mereka tentang konsep ketuhanan yang dianut oleh Bangsa Batak.

Di satu sisi dianggap ada melakukan pemujaan terhadap roh-roh leluhur, termasuk pemujaan kepada kuasa supranatural terhadap dewa-dewa penguasa alam, tetapi di lain pihak ada keyakinan yang berazaskan pemujaan kepada satu oknum tunggal sebagai pencipta Alam Raya Semesta yang disebut Mulajadi Nabolon (monotheisme).

Bentuk konsep inilah yang memicu mereka untuk datang dan mengirimkan evangelisasi

keagamaan dan sejalan dengan eksistensi mereka yang ingin menguasai perdagangan komoditi spesifik yang ada di Tanah Batak.

(32)

Masyarakat Bangsa Batak secara tradisional sudah mengenal suatu Keyakinan dan Kepercayaan yang terkonsep kepada Yang Maha Kuasa Si pencipta Alam Raya Semesta yang dinamai Mulajadi Nabolon (Monotheisme). Namun, mengapa konsep pemujaan terhadap Roh Leluhur (SipeleBegu) yang utama dimunculkan oleh para penyiar agama

Samawi?

Penyebaran ajaran suatu agama, dalam sejarahnya selalu berkaitan dengan kepentingan politik dan penguasa. Ajaran agama yang awalnya mengutamakan manusia dan alam sebagai satu kesatuan di bawah kuasa pencipta, secara gradual beralih kepada konsep manusia sebagai pelaku utama dengan nilai hirarki tertinggi, dan alam serta mahluk ciptaan lainnya diklasifikasikan jauh pada posisi terendah.

Akibat memposisikan hirarki manusia menjadi yang tertinggi dan ciptaan lainnya menjadi terendah, maka muncullah figur-figur dalam ajaran agama yang menjadi didewakan dan bahkan dipertuhankan. Maka terciptalah agama-agama yang bersifat ekspansif yang memunculkan ajarannya sebagai kebenaran tunggal dengan fokus ajaran kepada manusianya, dan meninggalkan alam dan lingkungan hidup komunitas diterbelakangkan.

(33)

dengan perjalanan waktu turut hilang, dihilangkan, dan bahkan sudah menuju kepunahannya.

c. Mulajadi Nabolon

Konsep ketuhanan Bangsa Batak purba merupakan sebuah gagasan berpikir yang memunculkan sosok Mulajadi Nabolon sebagai sumber anutan kepercayaan dan adat istiadat yang dijalankan oleh masyarakat Bangsa Batak secara patuh dengan segala konsekuensi perjalanan kehidupannya.

Mulajadi Nabolon dipercaya sebagai sosok yang mengawali segala sesuatu yang ada di jagad raya, layak dipuja-sembah sebagai pemilik tunggal apa saja yang mampu terekam oleh indra tubuh. Pemujaan kepada Mulajadi Nabolon hanya dapat dilakukan melalui perantara Datu (seorang ahli keagamaan yang berkemampuan berhubungan dengan tuhan dan roh-roh). Pemujaan kepada Mulajadi Nabolon dilakukan secara massal oleh Komunitas Bangsa Batak dengan ritual persembahan tertinggi, termasuk kurban manusia dan hewan ternak terbaik.

(34)

Ada pendapat dari kaum agama Samawi yang menyebutkan bahwa Mulajadi Nabolon

adalah wujud dari Iblis dan tuduhan ini menempatkan Bangsa Batak menjadi tertuduh sebagai Pemuja Iblis. Penilaian yang bersifat dualisme (double standard) dalam menilai anutan sebuah bangsa, menandakan bahwa sebuah ajaran menjadikannya hanya sebagai faham ekslusif dan tidak layak menjadikannya sebagai anutan universal.

Konsep pemikiran ajaran Agama Mulajadi tidak ada yang memberikan pemahaman tetang peperangan atau persaingan diantara dewa-dewa penguasa langit, melainkan hak penguasaan oleh para dewa mutlak berorientasi kepada pengawasan perilaku manusia sebagai pewaris bumi. Oleh karena itu, gagasan pemikiran Bangsa Batak tentang dewa-dewa penguasa langit dalam ujud penyembahannya bukanlah untuk berusaha membinasakan pemahaman dari tindakan dewa yang tidak disukai, dan sebab akibat adalah wujud dari kepasrahan untuk menerima konsekwensi.

Konsep pemikiran yang demikian tertanam dihati sanubari terdalam, menjadi genetika Bangsa Batak untuk bersikap menyatu dan memiliki alam lingkungan dimana langit dijunjung dan dimana kaki berpijak adalah sebagai sesuatu milik Pencipta Alam Semesta Mulajadi Nabolon.

(35)

d. Debata (Dewata)

Pada era sebelum tahun 1960-an, orang Batak melafalkan silabel wa dengan ba, dalam tulisan beraksara latin. Sebagai contoh kata Jahowa (Allah) menjadi Jahoba, demikian pula Dewata menjadi Debata yang diartikan sebagai Tuhan.

Debata kemungkinan berasal dari ajaran Agama Hindu yang menyebutnya dengan kata

Devata (Sanskerta) dan diartikan sebagai dewa, juga berasal dari kata Deva (laki-laki),

Devi (perempuan). Walau demikian, banyak juga kosa kata ini yang mirip-mirip berasal dari kepercayaan bangsa-bangsa purba seperti Indo-Iranian menyebutnya Dev, Deiwos

(Proto-Indo-Europe), Deus-Divus (Latin), Dievas (Lituania), Dievs (Latvia), Deiwas

(Prisia), Divine-Deity (English), Dieu (Prancis), Deus (Portugis), Dios (Spanyol), Dio

(Italia), Dias (Junani).

Boleh jadi interaksi Bangsa Batak dengan Hindu terjadi pada masa Rajendra Chola dari Kerajaan Cola (India Selatan) mercokol di Tanah Batak di awal millennia ke-2. Dicatatkan dalam sejarah bahwa pasukan Chola bermukim di Tanah Batak untuk rencana penyerangan pertama ke Sriwijaya di tahun 1025 Masehi. Tetapi melihat hubungan perdagangan komoditi dari Tanah Batak sudah berlangsung jauh sebelumnya dengan para pedagang Parsi, Arab dan lainnya, jauh sebelum bermukimnya tentara Chola, maka boleh jadi pengaruh ini datang dari Parsi.

(36)

masing-masing dewa mempunyai fungsi yang berbeda, satu tujuan yang sama, yaitu untuk kehidupan manusia.

Ketiga Debata yang dimaksudkan adalah Debata Batara Guru, Debata Soripada, Debata Mangala Bulan. Ketiga dewa ini bersinggasana di langit, dimana Debata Batara Guru bersinggasana di Banua Ginjang, Debata Soripada di Banua Tonga,

Debata Mangala Bulan di Banua Toru. Ketiga dewa Debata Natolu diciptakan oleh

Mulajadi Nabolon melalui proses kelahiran oleh Debata Asiasi.

Debata Batara Guru dipuja dan disembah oleh manusia atas segala kehidupan manusia yang bersifat spiritual, ritual agama, adat istiadat, hubungan kekerabatan. Debata Soripada dipuja dan disembah manusia atas segala kehidupan manusia yang bersiafat duniawi, pengetahuan, perdagangan, keahlian, dan segala pergulatan kehidupan dunia.

Debata Mangala Bulan dipuja dan disembah oleh manusia atas segala kehidupan manusia yang bersifat penderitaan, bencana, penyakit, nasib buruk, kematian.

Ada dewa lainnya yang bersinggasana di Langit yang disebut Debata Asiasi, adalah satu sosok dewa yang memiliki tiga wujud dan tiga fungsi. Debata Asiasi bersinggasana di langit dimana Mulajadi Nabolon bersinggasana dan fungsinya sebagai wakil dari

Mulajadi Nabolon untuk melakukan penciptaan di Kerajaan Langit. Debata Asiasi

digambarkan berbentuk burung sakti dengan tiga wujud yaitu Manuk Patiaraja, Manuk Hulambujati, Manuk Simandoang.

(37)

secara berurutan. Fungsi ketiga dari Debata Asiasi dalam wujud Manuk Simandoang

adalah memberikan roh kehidupan pada setiap kelahiran anak manusia.

Ada juga dewa dewi lain yang bersinggasana di langit yang bertugas untuk melayani kegiatan Mulajadi Nabolon dalam penciptaan Alrase dan menjaga kehidupan manusia. Dewa ini bernama Leangleangmandi sebagai Malaikat pembawa pesan antara manusia kepada dewa-dewa di Langit dan kepada Mulajadi Nabolon. Dewa Leangleangmandi

dipuja dan disembah agar dengan senang hati mau menyampaikan pesan melalui tonggotonggo (doa) kepada dewa-dewa di Langit maupun kepada Mulajadi Nabolon.

Gagasan berpikir Bangsa Batak tidak hanya berhenti pada bentuk pemujaan kepada Pencipta Alrase Mulajadi Nabolon dan para Dewa-dewi, tetapi alam pikiran mereka berkembang untuk menghormati termasuk takut akan roh-roh yang berasal dari roh kehidupan manusia. Dalam praktek kehidupan masyarakat Bangsa Batak ada melakukan pemujaan kepada Mulajadi Nabolon, Debata, tetapi tidak semua wujud roh dilakukan pemujaan.

Berikut adalah Alam Roh yang dikenal ada pada manusia:

e. Tondi (Roh Kehidupan)

Sejak penciptaan manusia melalui kelahirannya di bumi oleh pasangan Dewa-dewi dari Langit, manusia berhak untuk memiliki Tondi (Roh Kehidupan). Ada tujuh belas roh dalam Tondi seseorang, yang dipersiapkan oleh Mulajadi Nabolon kepada manusia, dan ke tujuh belas roh tersebut telah disematkan kepada manusia pertama.

(38)

pada diri seseorang maka itulah pencapaian tertinggi dari seseorang yang hidup di dunia dan dia dapat disebut menjadi manusia setengah dewa.

Seluruh kehidupan pribadi masyarakat batak ketika masih animism/tidak beragama (pagan, keiden/kafir diresapi konsep religious yang bersifat magis (religious magis). Lingkungan hidu dan peri laku, dibimbing konsep religius magis, dan pemikirannya dikuasai oleh konsep adikodrati

Penyelenggaraan ritual adat Batak sekarang ini, bersumber/berasal dari ritual penyelenggaraan adat Batak dahulu yang pada dasarnya terfokus kepada permohonan berkat dan keselamatan dari Mulajadinabolon, panguasa semesta alam serta roh-roh leluhur yang dipercayai oleh masyarakat waktu itu. Oleh karena itu, memahami adat Batak secara benar dikaitkan dengan pemahaman iman agama sekarang, harus pula memahami religius magis adat batak itu pada awalnya agar tidak terjebak terhadap tata cara dan pengertian dan pemahaman terhadap sarana dalam penyelenggeraan adat batak yang sebenarnya sudah bersifat magis

Beberapa pemahamn tatanan dalam penyelenggaraan adat batak yang brsifat magis antara lain

a. Tondi, atau roh zat yang tidak yampak dan menyertai manusia, yang menjadi sumber adhikodrati. Kualitas tondi ini tidak sama pada diri seseorang.

(39)

Keadaan manusia yang menyebabkan tondi meninggalkan jasad/habang tondi untuk sementara antara lain adalah, saat tidur, sakit keras, terkejut luar biasa, ketakutan yang luar biasa, mengalami peristiwa luar biasa/kecelakaan/ kebakaran.

Sedangkan tondi dalam keadaan lemah antara lain, seorang wanita yang menjelang melahirkan (kandungan sekitar 7 bulan) seseorang lajang yang akan merantau jauh dari lingkungannya, orang mud menjelang remaja.

Jika seseorang habang tondinya atau tondinya dalam keadaan lemah, diperlukan acara “paulak tondi” (menguatkan tondi/roh).

b. Sahala/Kuasa Tondi, adalah atribut dan daya kuasa khusu, yang setiap orang memilikinya, tetapi tidak sama besarnya untuk semua orang. Selain kuasa tondi ada perbedaan khas antara kondisi roh orang-orang, yang satu sam lainnya mempunyai tali perhubungan tertentu (affina dan agnate). Sahala semua orang dapat dengan aktif mempengaruhi orang lain dengan cara yang berbeda-beda.

(40)

c. Orang-orang yang secara umum mempunyai posisi manjur dapat memindahkan sahalanya kepada orang laim antara lain:

 Hula-hula kepada borunya.

 Natoras (Orang tua) kepada anak-anaknya  Ompung/kakek kepada pahompu (cucucunya)  Guru kepada muridnya

 Halak na bongar/halak na begu, yaitu orang kaya na gabe, serta jadi panutan di hidupnya dan lingkungannya

 Pemimpin atau Raja adat yang mempunyai karisma dan keteledanan

 Datu atau dukun yang dipercayai mempunyai sahala yang kuat lebih dari yang

lain, seperti Sisingamangaraja.

 Sarana yang digunakan dalam upacara menyalurkan/parhitean sahala/berkat

adalah: ulos, beras, ikan , tabas-tabas/atau doa kepada mulajadi nabolon.

Roh Kehidupan bersemayam dalam tubuh manusia dan hidup bersamasama dalam kehidupan manusia seutuhnya. Apabila tujuh belas roh yang bersemayam dalam tubuh manusia dapat bersinergi secara bersama-sama maka manusia itu akan disebut sempurnah dan menjadi manusia setengah dewa yang memiliki Hikmat, Bijaksana, sehat jasmani dan rohani.

Masyarakat Bangsa Batak meyakini bahwa setiap manusia memiliki tubuh dan Tondi

(41)

Batak berupaya agar tubuhnya tetap disenangi oleh Tondi-nya sebagai tempatnya besemayam. Pemeliharaan Tondi ini selalu dilakukan dengan pola hidup dengan percaya diri tinggi dan mempersipkan diri secara dinamis (mar-roha).

Pencapaian hidup sempurnah inilah yang menjadi cita-cita manusia Batak. Namun kenyataannya kesempurnahan jasmani dan rohani yang penuh hikmat dan kebijaksanaan ini sungguh sulit dicapai dalam kehidupan manusia. Pada kehidupan masyarakat Bangsa Batak dahulu, kesempurnahan kehidupan seperti ini, diterjemahkan dalam keberadaan hidup yang sudah memiliki banyak keturunan, memiliki harta, sangat dihargai dan menjadi panutan orang sekitarnya, dan biasanya menjadi raja na nimiahan (raja yang dipuja puji orang sekitarnya).

Ada kalanya ketika seseorang mengalami sakit fisik, mengalami musibah, dianggap roh (Tondi) nya keluar dari tubuhnya sehingga apabila rohnya ini tidak dikembalikan ke dalam tubuhnya boleh jadi berakibat kepada kematian yang belum ajal. Kematian yang seperti ini dianggap tidak wajar dan rohnya tidak akan menempati tempat yang layak di Langit dimana dipercaya sebagai tingkatan (tujuh tingkatan) arwah bersemayam setelah kematian.

(42)

Apabila seseorang sempurnah setengah dewa yang disebutkan sebelumnya menemui ajalnya meninggal dunia, maka kematiannya dirayakan layaknya pesta besar berharihari lamanya sambil bernyanyi dan menari mengelilingi mayat yang disemayamkan itu. Beberapa kerbau disembelih untuk penganan dan tidak boleh ada kekurangan makan bagi yang menghadiri pelayatan.

Semua orang harus merasa senang dan gembira atas kematian itu sebagai wujud pengucapan terimakasih kepada Mulajadi Nabolon karena ditengah-tengah mereka ada yang mencapai tingkat kehidupan demikian semasa hidupnya. Ada pembagian hak raja-raja dalam bentuk bagian-bagian dari daging kerbau yang disembelih (jambar). Mayat yang kemudian dikebumikan ditempat tertinggi di kawasan kampung biasanya di gunung milik ulayat marga dan menjadi lokasi keramat yang disebut Sombaon. Dalam praktek kehidupan masyarakat Bangsa Batak tidak melakukan pemujaan kepada Tondi

(jiwa orang hidup).

Sombaon (Penghuni dan Tempat Keramat)

Setiap marga-marga pada Bangsa Batak ada memiliki tempat-tempat keramat yang umumnya berlokasi disekitar perkampungannya, tetapi tidak semua kelompok marga memiliki tempat keramat yang disebut Sombaon. Tempat tempat keramat yang dimaksudkan ada yang ditakuti dan ada pula yang memang diperlukan.

(43)

komunitas masyarakat yang ada di setiap perkampungan, seperti sumber air bersih untuk kebutuhan minum disebut Homban.

Tempat-tempat keramat yang memang sengaja dipersiapkan harus dilakukan dengan sebuah acara ritual dan melakukan tonggo-tonggo kepada Mulajadi Nabolon dan dewa-dewa penguasa Langit dan bumi, dengan harapan bahwa tempat tersebut menjadi media pembawa berkat, kesehatan, rejeki bagi penghuni kampung.

Sebagai contoh: untuk menentukan tempat keramat seperti Homban (sumber air bersih), maka disediakan makanan berupa lepat dari beras (lampet), itak gurgur (dari tepung beras), telur, daun sirih. Daun sirih (berjumlah ganjil) diletakkan diatas nampan atau piring, lalu diatasnya diletakkan telur dan itak gurgur. Sementara lampet untuk dimakan bersama oleh yang mengadakan ritual. Tetua kampung mengangkat sesajen diatas kepala dengan dua tangan lalu memanjatkan doa (tonggo-tonggo) kepada Mulajadi Nabolon dan dewa-dewa penguasa Langit dan Bumi. Selesai Tonggo-tonggo lalu itak gurgur dipercikkan disekeliling sumber air dan sisa sesajen diletakkan ditempat terbaik disekitar homban. Lalu mereka makan lampet bersama.

(44)

Dalam hal Sombaon yang sudah dipaparkan awal terjadinya, maka secara bergenerasi turun temurun, bahwa Sombaon adalah tempat bersemayamnya roh leluhur yang penuh Hikmat dan bijaksana. Tentu saja roh Sombaon tidak ditakuti oleh para keturunannya dan mereka pada saat-saat tertentu memberikan sesembahan sambil berdoa agar

Sombaon melindungi keturunannya menuju hal-hal yang baik dalam keturunannya.

Masyarakat Bangsa Batak meyakini bahwa Tondi setiap orang tidak pernah mati, hanya keberadaannya yang tidak sama. Semasih hidup Tondi berda di dalam tubuh yang hidup, sementara setelah kematian Tondi tetap hidup sesuai takdirnya dimana ada yang bersemayam di Langit ke tujuh (terakhir) sampai kepada Langit ke satu, dimana tempat para dewa bersemayam.

Tondi dari junjungan leluhur yang hidup sebagai Sombaon diyakini dapat berhubungan dengan keturunannya dalam kondisi spiritual. Pemujaan secara pribadi dapat dilakukan oleh orang per orang dari keturunannya, tetapi untuk hal-hal besar dapat juga dilakukan melalui perhelatan besar. Biasanya perhelatan besar ini dilakukan apabila dalam kehidupan keturunannya mengalami banyak musibah, gagal panen, wabah, musim kering berkepanjangan dan hal-hal buruk yang bersifat missal dan berkesinambungan.

(45)

Penyembelihan hewan ternak sampai ke jenis kerbau dilakukan, disamping untuk kebutuhan penganan peserta acara juga sebagai simbolisasi ucapan syukur kepada

Mulajadi Nabolon bahwa mereka masih mampu melakukan acara ritual untuk penghormatan kepada leluhur mereka.

Pada saat acara berlangsung, para peserta acara berpakaian adat lengkap dengan ulos, perangkat gendang (gondang) ditabuh, tarian ritual (tortor) dihentakkan, gerakan-gerakan monoton mengikuti beat monoton dari gendang membawa alam pikiran mereka fokus kepada kehadiran roh leluhur. Mediator Datu melakukan gerakan-gerakan yang tak lazim (biasanya diluar kemampuan manusia normal).

Pada saat Datu sudah mengalami trance (kesurupan) menandakan ada arwah yang masuk ke dalam tubuhnya. Biasanya wajahnya mengalami perubahan bentuk, suaranya berubah, dan perubahan ini umumnya diketahu oleh generasi keturunan dari roh yang datang tersebut.

Tidak selamanya sang Datu yang mengalami trance tetapi dari pihak keturunan boleh jadi yang terpilih sebagai tempat merasuknya (songgop, sorop) roh tersebut. Pihak keturunan yang menyaksikan keadaan seseorang mengalami trance akan menguji roh (arwah) siapa yang sedang merasuk itu, untuk memastikan bahwa leluhur mereka (Sombaon) yang sedang berkunjung kepada mereka, dan bukan dari arwah yang bergentayangan.

(46)

melakukan permintaan yang biasanya berupa nasihat untuk dilaksanakan oleh keturunan

Sombaon itu, dengan harapan bahwa mereka akan mendapatkan kembali kebaikan bagi keluarga keturunan Sombaon itu.

Sedikit agak beda dengan praktek ritual yang dilakukan oleh komunitas di luar Bangsa Batak yang meminta semacam wangsit dari leluhur yang tidak dikenalnya, namun masyarakat Bangsa Batak umumnya melakukan praktek ritual seperti ini hanya kepada garis leluhur yang dikenalnya yang disebut Sombaon. Dalam praktek kehidupan masyarakat Bangsa Batak ada melakukan pemujaan kepada Sombaon.

Sahala (Roh Kebajikan)

Agak sulit bagi sebagian orang untuk mengartikan Sahala walau dia merasakan bahwa ada Sahala tertentu yang hinggap pada diri seseorang, atau pada dirinya sendiri. Sahala adalah sesuatu yang bersifat supranatural (gaib) yang dimiliki oleh seseorang yang penilaiannya bersifat baik dan peruntukannya juga untuk kebaikan, baik untuk dirinya maupun untuk orang lain (Kebajikan).

Gagasan berpikir Bangsa Batak tentang Sahala adalah bentuk bentuk reinkarnasi dari suatu perilaku baik yang dilakukan oleh seseorang yang sudah menjadi leluhur yang dimuliakan dan diturunkan kepada generasi keturunannya baik secara alami hadir kembali atau melalui peniruan sikap dan perilaku yang dipraktekkan. Sebagaimana dipaparkan sebelumnya bahwa Bangsa Batak meyakini bahwa Tondi tetap hidup selamanya baik selama berada di dalam tubuh yang hidup maupun setelah kematian. Diyakini pula oleh Bangsa Batak bahwa Tondi adalah warisan dari Mulajadi Nabolon

(47)

Berdasarkan keyakinan tersebut bahwa Sahala merupakan Roh Kebajikan dari Leluhur yang hidup kembali kepada seseorang di keturunannya. Bentuk reinkarnasi ini tidaklah sama seperti pemahaman pada kepercayaan Hindu tetapi berupa bentuk reinkarnasi parsial yang menjadi bagian dari kehidupan keturunan seorang leluhur yang dimuliakan. Semua orang Batak menginginkan mendapatkan Sahala dalam dirinya, dan bahkan berkeinginan mendapatkan Sahala dari Tuhannya.

Bentuk-bentuk aura tubuh sepeti, berwibawa, bersahaja, talenta, keahlian-keahlian yang tidak awam bahkan illogic merupakan wujud adanya Sahala pada diri seseorang. Oleh karena itu Sahala menjadi bagian dari jiwa (Tondi, roh) seseorang yang hidup. Dalam praktek kehidupan masyarakat Bangsa Batak tidak melakukan pemujaan kepada Sahala.

Sumangot (Penampakan Roh)

Sumangot dapat diartikan sebagai penampakan dari roh yang mampu dilihat oleh seseorang. Secara harfiah kata Sumangot berarti semangat (spirit = roh aktif) yang muncul dalam bentuk kelebat atau penampakan utuh oleh seseorang.

Diyakini oleh masyarakat Bangsa Batak bahwa Sumangot adalah bentuk arwah dari garis keturunan yang sudah meninggal. Jadi Sumangot adalah bentuk arwah yang dikenal olehnya dan secara batin tidak ditakuti, tetapi dalam prakteknya boleh jadi menjadi penampakan yang menakutkan bagi dirinya, yang umumnya berkaitan dengan perbuatan selama hidupnya.

(48)

yang tidak baik dan dulunya menjadi sesuatu yang tidak disenangi oleh sang ayah yang sudah meninggal tersebut, maka ada kalanya seseorang yang melakukan ketidakbaikan itu akan melihat penampakan mendiang ayahnya itu, dan penampakan itu menjadi sesuatu peringatan baginya untuk tidak melakukan hal yang tidak baik itu di dalam hidupnya.

Penampakan roh (Sumangot) seseorang dapat juga menjadi penghibur apabila penampakan itu terjadi pada seseorang yang secang berputus asa dalam kehidupannya, sementara Sumangot yang terlihat olehnya adalah sosok orang yang pantang menyerah dalam hidupnya, maka penampakan itu menjadi pembangkit semangat hidupnya untuk merubah keputusasaannya.

Penampakan Sumangot kepada seseorang menjadi motivasi bagi dirinya untuk berubah menjadi lebih baik. Oleh karena itu bentuk roh ini tidak dianggap sebagai roh jahat yang dikenal, tetapi menjadi roh kebaikan yang datang dari leluhur garis keturunannya. Dalam praktek kehidupan masyarakat Bangsa Batak tidak melakukan pemujaan kepada

Sumangot.

Begu (Hantu, Setan, Iblis)

Orang Batak sangat takut dengan Begu, atau Hantu, setan, Iblis. Walaupun masyarakat Bangsa Batak secara batin hidup dalam keyakinan spiritual yang dilingkupi oleh dunia roh, tetapi untuk roh-roh yang tidak dikenalnya, dianya akan merasa takut dan tidak akan mau mendekat kepada Begu.

(49)

setan atau iblis. Biasanya Begu bersemayam di kawasan seperti hutan, sungai, jurang, batu besar, gunung, pohon besar yang dikenal angker.

Keyakinan masyarakat Bangsa Batak tentang Begu terjadi karena tiga hal yaitu Begu

yang sudah ada secara alami sebagai penunggu kawasan angker, Begu yang gentayangan dari orang mati tak wajar, Begu yang sengaja dibentuk dan dipelihara oleh seseorang untuk tujuan tertentu dapat disuruhsuruh oleh pemiliknya.

Walaupun ditakuti, Begu yang terjadi secara alami dan Begu yang ada karena kematian tak wajar masih dapat difahami bagaimana gagasan pemikiran tentang Begu itu sebagai roh yang ditakuti. Tetapi tentang Begu yang sengaja dibentuk dan dipelihara dan dapat disuruh untuk tujuan tertentu (tujuan jahat) memang hampir tak dapat diterima akal sehat.

Pemahaman yang mendasar tentang roh yang menjadi Begu bukanlah menjadi anutan yang bertujuan untuk kebaikan (agama) sehingga konsep berpikirnya bukanlah untuk disembah dan tidak diberikan sesajen. Tetapi untuk Begu yang memang sengaja diciptakan, dalam prakteknya memang dilakukan pemberian sesajen atas konsekwensi imbalbalik bagi yang memeliharanya. Jadi untuk Begu jenis ini bukan lagi masuk dalam konteks anutan kepercayaan, atau sudah diluar ajaran agama leluhur.

(50)

marga menempatkan leluhurnya sebagai Sombaon, tetapi kelompok suku marga lainnya menganggap itu sebagai Begu. Demikian pula pengklasifikasian roh-roh lainnya boleh saja disebut Begu karena kelompok suku marga lainnya tidak mengenal roh tersebut.

Sebagai contoh bila satu kelompok marga menempatkan leluhurnya sebagai Sombaon

maka kelompok suku marga lain menganggap penghuni Sombaon itu adalah Begu Solobean. Demikian pula dengan Sumangot oleh pihak lain dapat disebut menjadi Begu Silan. Jadi, walaupun masyarakat Bangsa Batak meyakini adanya Roh Baik dan Roh Jahat, tetapi secara kelompok yang berbeda boleh jadi Roh Baik dianggap sebagai Roh Jahat dan sebaliknya, tergantung kepada pengenalan seseorang terhadap roh yang dimaksud.

Beberapa penamaan Begu yang ditakuti oleh masyarakat Bangsa Batak:

1. Begu Harangan, bentuk roh yang tersugesti di benak orang yang melintasi kawasan angker.

2. Begu jau, arwah gentayangan dari roh orang mati yang tidak dikenal asal muasalnya.

3. Begu Nurnur, berupa roh orang mati yang dimakamkan dalam petimati yang tidak layak. Begu ini berwujud besar dan biasanya mengganggu wanita hamil yang bertujuan untuk menggugurkannya.

4. BeguAntuk, roh yang mengakibatkan penyakit sampar dan kolera.

5. BeguSiharhar, berupa roh orang yang mati tidak meninggalkan keturunan. 6. BeguLaos, arwah gentayangan dari roh orang mati yang semasa hidupnya hanya

(51)

7. Begu Ganjang, roh peliharaan yang bentuknya bila terlihat akan semakin tinggi dan tinggi sehingga orang yang melihatnya merasa tercekik dan mati.

8. Begumonggop, 9. Beguharera,

10.Begusihabiaran bolon,

11.Sibiangsa 12.Pangulubalang 13.Silan

14.Solobean

15.Sigumoang

16. Polosit, penghisap darah balita, mungkin sama dengan Palasik di Minangkabau

17. Dan banyak penamaan lainnya.

Melihat banyaknya definisi dunia roh pada masyarakat Batak maka sebutan-sebutan yang mengatakan bahwa mereka sebagai Sipele Begu, Penyembah berhala, Penyembah roh leluhur menjadi lebih pamor dibanding dengan anutan kepercayaan kepada Pencipta Alam Raya Semesta, Mulajadi Nabolon. Namun, sebuah cerita dramatisasi diciptakan sedemikian rupa, bahkan hingga saat ini oleh para pemuka agama Samawi yang memateraikan bahwa kepercayaan purba Bangsa Batak kepada Mulajadi Nabolon adalah manifestasi dari Pemujaan Setan.

(52)

Terkadang muncul pertanyaan besar tentang keabsahan suatu bentuk penyembahan kepada superioritas Langit sebagai manifestasi ucapan syukur dalam istilah pelean, sesembahan, persembahan, antara benda-benda seperti daun sirih, telur, jenis makanan

menjadi tidak sah dan dianggap sebagai pemujaan kepada setan ketimbang bentuk uang

yang menjadi sah sebagai pengucapan syukur kepada Tuhan?

Dari satu sisi penilaian dengan melepaskan segala atribut latar belakang dapat memposisikan bahwa masyarakat Bangsa Batak secara komunitas lebih dominan menggagas anutan kepercayaannya pada penyembahan kepada adanya satu kuasa Pencipta Alam Raya Semesta, dan tidak terlihat adanya anutan kepada bentuk penyembahan roh yang disebut Begu atau SipeleBegu, namun mereka sejak awal bersentuhan dengan dunia asing sampai sekarang ini tetaplah sebagai objek yang diisolasikan, dikungkung, dibuat tak berdaya dengan citra leluhur sebagai komunitas

Penyembah Setan, SipeleBegu.

(53)

BAB V

PAPARAN DATA HASIL REKONSTRUKSI

CERITA RAKYAT

5.1 Bahasa Kedanauan dari Data Cerita Rakyat Hasil Rekonstruksi

Hasil rekonstruksi wacana yang terekam dideskripsikan sesuai dengan hubungan-hubungan internal dengan pola yang berkaitan . Upaya rekonstruksi struktur yang mengungkap struktur mendekatai lengkap sesuai dengan objek studi Levis Strauss pada umumnya. Oleh karena itu, sebuah struktur bersifat utuh, transformasional, dan meregulasi diri sendiri (self-regulatory) dapat dilahirkan.

Strukturalisme adalah metodologi yang menekankan struktur daripada substansi dan hubungan dari pada yang lain. Hal ini menyatakan menemukan proses berpikir yang mendasari perilaku manusia dengan memeriksa hal-hal seperti kekerabatan, mitos, dan bahasa. Lebih lanjut, ada realitas tersembunyi di balik semua ekspresi budaya. Selanjutnya strukturalis bertujuan untuk memahami makna yang mendasari pemikiran manusia yang terungkap melalui aktivitas budaya. Pada dasarnya, unsur-unsur budaya yang tidak jelas dalam dan dari dirinya sendiri, melainkan merupakan bagian dari sistem yang berarti. Sebagai model analitis, strukturalisme menganggap universalitas proses pemikiran manusia dalam upaya untuk menjelaskan “struktur dalam” atau makna yang mendasari yang ada dalam fenomena budaya. Sesuatu selalu

keluar hanya sebagai elemen dari penanda suatu sistem.

(54)

tempat tinggal, pakaian, dan sebagainya semuanya dapat dikatakan sebagai bahasa (Lane dalam Ahimsa-Putra, 2001: 67)

Levi Strauss (dalam Endraswara, 2005:215) menyatakan bahwa dalam pandangan struktural, akan mampu melihat fenomena sosial budaya yang mengekspresikan seni, ritual, dan pola-pola kehidupan. Hal ini merupakan representasi struktur luar yang akan menggambarkan dalam human mind. Dalam kaitan ini Levi Strauss (dalam Endraswara, 2005:232) menjelaskan bahwa dalam mitos terdapat hubungan unit-unit (yang merupakan struktur) yang tidak terisolasi, tetapi merupakan kesatuan relasi-relasi hubungan tersebut dapat dikombinasikan dan digunakan untuk mengungkap makna di balik mitos itu. Dalam kaitan ini, analisis mitos seperti hanya mempelajari sinar-sinar terbias ke dalam mitem dan sekuen yang kemudian dipadukan ke dalam struktur tunggal.

(55)

suatu gejala, aspek sinkronis ditempatkan mendahului aspek diakronis. Keempat, relasi-relasi yang berada dalam struktur dapat disederhanakan lagi menjadi oposisi berpasangan (oposisi biner). Oposisi ini dapat dikelompokkan menjadi oposisi biner yang tidak inklusif misalnya menikah dan tidak menikah, dan oposisi yang eksklusif misalnya siang dan malam (Ahimsa-Putra, 2001 65-70).

(56)

5.2 Bahasa dalam Bentuk Leksikon Bermakna Pelestarian

Bahasa yang berbentuk leksikon yang terdapat di cerita rakyat yang sudah dipaparkan sebelumnya dapat dideskripsikan ke dalam table berikut ini:

Tabel: 5 Leksikon Ekolinguistik Keberagaman

Leksikon Potensi Pelestarian Dunia Tumbuhan

No. Leksikon Makna Potensi Metafora

1. adaran padang rumput Adarhon ‘tuturkan’ 2. toras jerami padi Toras ‘tua’

4. andor tanaman menjalar dililit andor: berketurunan 5. bagot pohon enau bagot di robean ‘aren

7. baji kayu pembelah sibaji hau na tindang sibola aek sabinga ‘sifat pengadu domba’

8. baringin beringin Marwah dan anak perempuan

13. durame jerami Songon durami namasak

‘hal yang tidak berguna’

14. eme padi diemehon ‘dihargai dengan

padi’;mangemehon‘menjual sesuatu yang diharagai dengan padi’ mareme nabibi ‘abortus, keguguran kandungan ibu’

15. gadong ubi Nagadongon ‘orang tak berguna’

16. gala-gala ‘jenis pohon yang

(57)

dan berbuku’

17. gambir ‘gambir’ margambir ‘jodoh’

18. gambiri kemiri

19. gaol pisang Lampak ni gaol

‘persaudaraan/persahabatan yang teguh’

20. gasgas semak belukar Tung gasgas ‘pertemuannya lama dan puas’

21. halto biji enau Bagot namarhalto ‘karakter dewasa’

22. haminjon kemenyan 23. harambir kelapa 24. harangan hutan 25. harimonting kemunting,

tumbuhan perdu

26. hariara Jenis pohon beringin Anak laki-laki; anak yang dituakan

27. hotang rotan Hotang dibebe ‘perkataan harus dicerna dengan baik’

30. jampalan ‘padang rumput’ Jampalan ‘perantauan’

31. lage tikar terbuat dari pandan’

32. laklak kulit kayu’ Malaklak ‘terkelupas’

33. lambe pelepah enau’ marlambe ‘mengandung

untuk hewan’

35. lapung ‘gabah tak berisi’ Lapung ‘tidak berguna’

36. lata ‘bibit’ kecambah

tanaman

ramba na poso na so tubuan lata

jolma na poso naso umboto hata

37. limut ‘limut’ Marlimut tanggurung ‘sudah tua’

38. linjuang ‘tanaman penghias

(58)

39. motung ‘jenis pohon

daunnya

berwarnanya dua’ 40. napuran ‘sirih’

41. oma ‘jenis rumput rawa’

42. pahu ‘tumbuhan pakis’

43. palia ‘petai’

44. pangko ‘bagian batang enau

yang keras’ Tua, keras

45. parbue ‘buah’ Berketurunan, hasil 46. pussu ‘pucuk’

47. ramba ‘semak belukar’

48. ramos ‘lebat untuk buah’

49. ranggas ‘kayu kering’

50. raru ‘jenis kulit kayu

57. tandiang ‘tumbuhan pakis’

58. tobbak ‘hutan’

59. tumbur ‘tunas’

60. tungkko ‘tunggul pohon’ partukkoan‘tempat

pertemuan’

Leksikon Potensi Pelestarian Dunia Hewan

No. Leksikon Makna Potensi Metafora

1. bagitok sejenis ikan mirip gabus

Sibagitok ‘lugu’ 2. bagot ni horbo susu kerbau

3. bisusur ulat bulu

4. bortung kodok besar bortung‘kekenyangan’

5. daldal lebah penyengat daldal ‘bandal’

6. darapati merpati maroha songon darapati

(59)

gabus 12. itu-itu ‘ikan lele’

13. lali elang

14. jonggi Lembu jantan 15. lampu-lampu Kupu-kupu 16. lakitang siput kecil’

17. leang-leang ‘burung layang -layang’

18. loba ‘lebah’

19. lombu ‘lembu’

20. lote ‘burung puyuh’

21. manuk mira ‘ayam jantan’ Marmanuk di ampang ‘me-

ramal dengan memotong ayam diletakkan di tampi lalu ditutup dengan ampang’

22. patiaraja ‘raja burung’

23. pidong ‘burung’

24. pira ‘telur’

25. pora-pora ‘ikan tawes’

26. sese ‘jangkrik hutan’

27. sibaganding tua ‘sejenis ular’ ‘rumah’

28. sihapor ‘belalang’

29. sikke ‘anjing tanah’

30. sinur ‘berkembang biak’ Sinur pinahan

‘berkembang biak ternak, 31. sitinda ulok ‘bangau’

32. tohuk ‘katak’

Leksikon Potensi Pelestarian Dunia Non-Biota

No. Leksikon Makna Potensi Metafora

1. abat-abat rintangan Segala penghalang 2. aek air Aek sitio-tio‘air terakhir’

3. partuaekan Sumber air

4. martutuaek Acara pemberian nama

kedewasaan 5. bahul-bahul kantongan dari

anyaman pandan/baion

parbahul-bahul nabolon

‘wanita yang memiliki hati yang sabar’ (berlapang

(60)

dari bambu maundal ho situdoan. Ari

12. bombong pagar pembatas bombongan‘bendungan’ manompas bongbong

16. burta lumpur bercampur humus yang digunakan sebagai pupuk

Diburta‘dimarahi’

17. dalan jalan

18. daon obat Mandaoni‘melindungi’

19. doras deras

20 dorpi dinding terbuat dari bambu

Porpar dorpi‘berargumen

untuk kebaikan’

21. durung alat tangkap ikan Mandurung ‘memberikan persembahan’

22. hajo guci

23. halibitonga pelangi

24. halisusung angin puting beliung 25. hiong tabung terbuat dari

batang bambu 26. hombung lemari tempat

(61)

33. nambur ‘endapan embun’

34. parhorsihan ‘padang pasir’

35. partukkuan ‘tempat berunding biasanya di bawah

41. poting ‘wadah pengambilan

air’ bersinonim

45. robean ‘jalan setapak yang

terjal’‘lereng gu -nung’

46. saba ‘sawah’

47. sambulo ‘tempat idaman’

48. samon ‘remang-remang’ 49. sangke ‘gantungan’

50. sige ‘tangga terbuat dari sebatang bambu’ 51. sihal-sihal ‘batu penyekat’

52. simbora ‘timah’ ‘jimat’

53. simbur ‘rintik-rintik’

54. sindor ‘batu cadas’ gadaikan 55. soban ‘kayu bakar’

56. sobuon ‘kulit luar padi’

57. soding ‘rumah khusus’

(62)

62. sopo ‘rumah’

67. talaga ‘muara’ tempat tak terhormat 68. takkal ‘pupuk kandang’

69. takkuju ‘luapan air’

70 tarup ‘atap’

71. tibalan ‘tumpukan batang

padi yang sudah disabit’

72. tinggala ‘bajak’

73. topas ‘dinding rumah’

Leksikon Potensi Pelestarian Pengetahuan Lingkungan

No. Leksikon Makna Potensi Metafora

1. datu dukun

5. huntal guncang Humuntal ‘berguncang’

6. huntam tutup Huntam ‘diam’

7. huta kampung

8. jagar wibawa

9. letek anyam

10. linduat ‘anak kembar’

11. linggom lindung linggomi ‘lindungi’ 12. lingkang ‘kelupas’ terbelah

13. litok ‘keruh’ Litohi mualna ‘dirusak

hidupnya’ 14. mabaor ‘hanyut’

15. malim ‘penganut agama

batak’

16. malos ‘layu’

17. marmahan ‘menggembalakan’

18. mangareap ‘melayang,

19. mangase taon ‘upacara menjaga

keharmonisan alam dengan manusia’ (mamele taon)

Gambar

Gambar 7: Peta Lingkungan Danau Toba
Gambar 10:  Sebaran Sungai DTA Danau Toba
Gambar 11: Kebun di DTA Danau Toba
Gambar 12: Penggunaan Lahan DTA Danau Toba
+3

Referensi

Dokumen terkait